IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA
OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H14084025
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
BAMBANG WAHYU PONCO AJI. Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua (dibimbing oleh ALLA ASMARA)
Provinsi Papua telah menjalankan otonomi daerah sejak tahun 2001. Dengan adanya otonomi daerah maka Provinsi Papua dituntut untuk melakukan pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta menetapkan kebijakan yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB Provinsi Papua yaitu sektor pertambangan. Peranan sektor pertambangan pada PDRB Provinsi Papua sebesar 65 persen. Adanya dominasi sektor ini menyebabkan terjadinya ketimpangan secara sektoral dan ketimpangan antar wilayah. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi untuk dikembangkan di Provinsi Papua dan menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua. Untuk dapat mengetahui potensi sektor-sektor basis maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location Quotient. Untuk dapat mengetahui ketimpangan antar wilayah maka dilakukan analisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Identifikasi sektor basis dan analisis ketimpangan antar wilayah dilakukan dengan melibatkan peran sektor pertambangan dan tanpa melibatkan peran sektor pertambangan (dieliminasi). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa selain sektor pertambangan (LQ=6,02) dan pertanian (LQ=1,01 dan LQ=2,56), sektor basis di Provinsi Papua yaitu sektor bangunan (LQ=1,93), sektor pengangkutan dan komunikasi (LQ=1,68), serta sektor jasa-jasa (LQ=1,67). Berdasarkan hasil analisis ketimpangan antar wilayah, Provinsi Papua pada satu sisi mengalami ketimpangan antar wilayah tingkat menengah (Indeks Williamson 0,4 – 0,69), dan pada sisi lain mengalami ketimpangan antar wilayah yang sangat tinggi (Indeks Williamson >1).
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini maka diberikan saran kepada pemerintah daerah untuk melakukan penelitian lebih mendalam terhadap sektor basis masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Papua dengan menguraikan sampai per sub sektor dan memberikan perhatian pada pengembangan sektorsektor tesebut. Selain itu untuk mengatasi ketimpangan sektoral maupun ketimpangan antar wilayah yang terjadi, maka Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota perlu mengembangkan sektor lain sebagai sektor basis untuk menggantikan sektor pertambangan dan penggalian, salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan mengeluarkan peraturan daerah yang mendukung dan mendorong tumbuhnya sektor-sektor basis.
IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA
OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H14084025
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Deperteman Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
:
Bambang Wahyu Ponco Aji
Nomor Registrasi Pokok
:
H14084025
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
:
Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Alla Asmara, S.Pt, M.Si NIP. 132159707
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131846872
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Bambang Wahyu Ponco Aji H14084025
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan alih jenjang S1 Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor dan mencapai gelar Sarjana Ekonomi. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Alla Asmara, S.Pt, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji karya ilmiah penulis. Semua saran dan kritik beliau merupakan hal yang sangat berharga bagi penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan moral dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Penulis dengan segenap kemampuan berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2008
Bambang Wahyu Ponco Aji H14084025
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………….………
iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….………
iv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….…
v
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ……………………………….…
1
1.2 Identifikasi Masalah ……...………………………….….…
4
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………….…….
7
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………….……..
7
1.5 Ruang Lingkup Penulisan ………………………….………
8
LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teori ……………………………...………..……
9
2.1.1. Konsep Otonomi Daerah ……………………………
9
2.1.2. Dampak Otonomi Daerah …………………………...
11
2.1.3. Teori Basis Ekonomi ……………………………......
12
2.1.4. Konsep Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah .
18
2.1.5. Penelitian Terdahulu …………………………….....
23
2.2 Kerangka Operasional ……………………………...……..
28
v
BAB III.
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data …………………………………….
31
3.2 Metode Analisis ……………………………………………
32
3.2.1. Analisis Sektor Basis ..……………………………...
32
3.2.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah ……………..
37
BAB IV. GAMBARAN UMUM
BAB V.
4.1 Kondisi Umum Wilayah …………………………………..
40
4.2 Kependudukan ………………………………………….….
41
4.3 Perekonomian Provinsi Papua ..……………………………
42
4.4 Gambaran Sektor Pertambangan …………………………...
46
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………...………… 5.1. Analisis Sektor Basis ...........................................................
51
5.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah .................................
57
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ………………………………………………...
62
6.2 Saran …………………………………………………….....
62
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........
64
LAMPIRAN ……………………………….......................…………………
66
RIWAYAT HIDUP PENULIS ......................................................................
89
vi
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1.
Halaman
Struktur Perekonomian Provinsi Papua 2001 - 2007 Berdasarkan Kontribusi Sektor Terhadap Total PDRB ………………………..
3
Laju Pertumbuhan PDRB Papua Dirinci menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2007 ……………………………………….
6
3.1.
Kriteria Ketimpangan Antar Wilayah ……………………………
38
4.1.
Wilayah Administrasi Provinsi Papua Tahun 2006 ……………...
41
4.2.
Kepadatan Penduduk Provinsi Papua Tahun 2006 ........................
42
4.3.
Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap Gabungan PDRB Provinsi Papua …………………………………………………...
44
LQ Provinsi Papua dengan Sub Sektor Pertambangan dan Tanpa Sub Sektor Pertambangan ………………………………………..
56
Indeks Ketimpangan Antar Wilayah Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan …………………………………………………….
58
1.2.
5.1.
5.2.
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1.
Halaman
Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Provinsi Papua Tahun 2000 – 2007 ………………..
5
2.1.
Kerangka Pemikiran Penelitian …………………………………..
30
5.1.
Indeks Williamson Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan ………...
59
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Halaman Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2007.
64
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2007 ...............................................
67
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 – 2007
70
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 – 2007...............................................
73
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2007 ..................
76
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tanpa Sub Sektor Pertambangan Tahun 2001 – 2007 ................................................
77
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 – 2007 .................
78
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tanpa Sub Sektor Pertambangan Tahun 2001 – 2007 ................................................
79
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi PapuaTahun 2001 – 2007 ..........................................
80
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Tanpa Sub Sektor Tambang Tahun 2001 – 2007 ..............................................................................................
81
PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/ Kota Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Papua Tahun 2001 – 2007 ..............................................................................................
82
ix
12.
13.
14.
PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/ Kota Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Papua Tahun 2001 – 2007...............................................
83
Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Tahun 2001 – 2007 ........................................................................
84
Location Quotient Provinsi Papua Tahun 2001 – 2007.................
85
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah relatif berbeda dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah lain. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik sumber daya fisik dan non-fisiknya. Beragamnya potensi dan karakteristik sumber daya tersebut menyebabkan tidak meratanya pembangunan antar daerah maupun antar sektor. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Oleh karena tu pembangunan daerah perlu dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang serta diarahkan agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai dengan prioritas dan potensi daerah. Tujuan pembangunan daerah dalam kerangka kebijakan pembangunan sangat bergantung pada permasalahan dan karakteristik spesifik wilayah yang terkait. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah melakukan pergeseran paradigma dari sentralistik menuju desentralistik. Merujuk UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemerintah daerah menyebutkan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundangundangan. Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya
2
untuk memberikan wewenang lebih besar kepada daerah agar dapat membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk memberdayakan kapasitas daerah dan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan
dan
meningkatkan
perekonomiannya.
Peningkatan
dan
pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global. Berangkat dari keadaan ini maka otonomi daerah diharapkan bisa menjadi suatu solusi bagi permasalahan yang ada di daerah. Perbedaan kandungan sumber daya alam, perbedaan kondisi demografis, kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu serta alokasi besaran investasi sebagai sumber-sumber ketimpangan dapat dinetralisir oleh kewenangan pemerintah daerah dengan adanya kekuatan otonomi daerah. Provinsi Papua telah menjalankan otonomi daerah sejak tahun 2001. Dengan adanya otonomi daerah maka Provinsi Papua dituntut untuk melakukan pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta menetapkan kebijakan yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
3
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa struktur perekonomian Provinsi Papua paling dominan adalah sektor primer kemudian diikuti sektor tersier dan sektor sekunder. Dominannya sektor primer disebabkan besarnya kontribusi sektor pertambangan, rata-rata pada periode tersebut mencapai 68 persen per tahun. Terkonsentrasinya perekonomian Provinsi Papua pada satu sektor saja menyebabkan kondisi perekonomiannya secara sektoral mengalami ketimpangan. Selain itu dominannya sektor pertambangan juga mengakibatkan adanya ketimpangan antar wilayah. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Mimika sebagai daerah yang kaya sumber daya pertambangan menguasai sekitar 68 persen komposisi PDRB Provinsi Papua.
Tabel 1.1. Struktur Perekonomian Provinsi Papua 2001 - 2007 Berdasarkan Kontribusi Sektor terhadap Total PDRB (persentase) LAPANGAN USAHA
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sektor Primer
81,88
79,25
76,85
73,28
82,05
79,74
78,72
1. Pertanian
12,98
14,62
15,35
15,75
10,41
10,97
9,99
2. Pertambangan & Penggalian
68,90
64,62
61,50
57,53
71,65
68,77
68,74
Sektor Sekunder
5,38
5,93
6,63
7,80
5,31
6,07
6,44
3. Industri Pengolahan
1,89
2,01
2,25
2,51
1,62
1,78
1,62
4. Listrik, Gas & Air Bersih
0,14
0,19
0,24
0,26
0,17
0,17
0,16
5. Bangunan
3,36
3,74
4,14
5,02
3,53
4,11
4,66
Sektor Tersier
12,74
14,82
16,52
18,92
12,63
14,19
14,84
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
3,78
4,44
5,13
6,00
4,02
4,44
4,44
7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
2,62
3,01
3,88
4,72
3,44
3,88
4,05
0,89
0,96
1,01
1,25
0,83
1,08
1,48
5,46
6,41
6,50
6,95
4,35
4,78
4,86
TOTAL
100
100
100
100
100
100
100
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2007
4
Besarnya kontribusi sektor pertambangan pada PDRB Provinsi Papua ternyata tidak banyak membawa pengaruh untuk mendongkrak pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lain. Ketiadaan industri pengolahan bahan tambang di Provinsi Papua menyebabkan seluruh hasil penambangan dikirim keluar Provinsi Papua tanpa melalui proses produksi. Padahal melalui proses produksi hingga terciptanya output akan memberikan banyak nilai tambah pada perekonomian Provinsi Papua. Berdasarkan kondisi tersebut, adanya dominasi sub sektor pertambangan namun belum memberikan manfaat yang lebih besar kepada perekonomian Provinsi Papua maka perlu suatu analisis untuk melihat besarnya ketimpangan antar wilayah yang terjadi dan solusinya serta analisis identifikasi sektor-sektor basis yang mampu menjadi tumpuan perekonomian Provinsi Papua. Untuk itu diperlukan penelitian mengenai “Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua”.
1.2. Identifikasi Masalah Desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah mengindikasikan bahwa pemerintah daerah sudah saatnya tidak mengandalkan lagi dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Oleh karena itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengatur keuangannya sendiri dengan memanfaatkan potensi-potensi ekonomi yang ada untuk membiayai pembangunan daerahnya. Adanya inisiatif pemerintah daerah mengembangkan potensi-potensi ekonomi yang ada diharapkan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber dana untuk membiayai
5
pelaksanaan pembangunan daerah. Dimana hasil pembangunan ini dapat dinikmati secara merata, sehingga dengan keberhasilan pembangunan oleh pemerintah daerah dapat mengurangi dampak dari ketimpangan antar wilayah yang terjadi. Pembangunan daerah dalam jangka panjang harus dapat menjadi suatu usaha untuk menumbuhkan perekonomian daerah dan nasional sehingga diharapkan kedepannya daerah otonom dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. 40,00 36,4
30,00 25,00 20,00 15,00 10,00
8,89 3,22
5,15
5,00
4,50
4,78
5,69
5,03
5,51
6,32 4,28
-0,28
07 20
06 20
05 20
04 20
03 20
3,64
02 20
-5,00
4,92
01 20
0,00
00 20
Pertumbuhan Ekonomi (%)
35,00
-10,00 -15,00
-17,2
-20,00
-22,53
-25,00 -30,00 Indonesia
Papua
Gambar 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Provinsi Papua Tahun 2000 - 2007
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pada masa pelaksanaan otonomi daerah di Provinsi Papua, laju pertumbuhan ekonominya sangat fluktuatif dibanding laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua makin menurun sejak dilaksanakannya otonomi daerah tahun 2001. Puncak penurunan terjadi pada tahun 2004 dengan laju pertumbuhan ekonomi minus 22,53 persen. Selanjutnya laju pertumbuhan ekonomi sangat fluktuatif dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007.
6
Permasalahan laju pertumbuhan ekonomi ini dapat kita pahami dari data pada Tabel 1.2. Fluktuatifnya laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua disebabkan oleh laju pertumbuhan sub sektor pertambangan. Seluruh sumbangan sub sektor pertambangan dalam PDRB Provinsi Papua berasal dari hasil produksi penambangan PT. Freeport. Besar atau kecilnya persentase kenaikan maupun penurunan sub sektor pertambangan sangat ditentukan oleh nilai kandungan logam hasil produksi penambangan PT. Freeport.
Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan PDRB Papua Dirinci menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 - 2007 (Persentase) SEKTOR 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Tanpa Migas c. Penggalian
2001 9,31 10,68 0 10,69
2002 2003
2004
2005
2006
2007
6,84
-0,62
4,82
5,16
0,58
3,80 -3,47 -36,26 61,74 -31,38
0,57
0
4,82 0
0
0
0
0
3,78 -3,52 -36,47 62,18 -31,62
0,41
9,24
8,58
6,49
7,57
9,46
3. Industri Pengolahan
6,26
4,97
5,87
3,21
3,64
6,79
-1,16
4. Listrik, Gas & Air Bersih
4,64
5,93
9,38
7,41
8,01
8,74
5,98
5. Bangunan
4,85 10,45
7,64
8,85
7,54
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
7,32
8,87
8,06
8,20
7. Pengangkutan & Komunikasi
9,26 13,33 19,68
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
9,77
12,25 18,53
10,86 17,41 9,63
9,69
13,97 13,74
13,76 15,48 25,25 47,16
-49,64
2,91
5,01
17,03
7,66
9. Jasa-Jasa
10,60
8,71
2,67
3,62
1,80
PDRB Papua
8,76
9,58
8,89
5,15 -0,28 -22,53 36,40 -17,20
4,28
PDRB Papua Tanpa Tambang
5,09
8,20
6,63
4,39
6,09
8,71
8,66
PDB Indonesia Tanpa Tambang
3,32
4,33
4,81
5,47
5,50
5,53
6,34
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2007
7
Berdasarkan informasi yang telah disampaikan diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor basis di Provinsi Papua pada masa otonomi daerah? 2. Bagaimana ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua pada masa otonomi daerah ?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini secara umum yaitu : 1. Mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi untuk dikembangkan di Provinsi Papua. 2. Menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna : 1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan analisis mengenai perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Provinsi Papua. 2. Bagi mahasiswa yang lain dapat menjadi proses pembelajaran dan pengkajian dengan menggunakan disiplin ilmu yang telah dipelajari serta tercipta output yang dapat dijadikan sumber data, informasi, serta literatur bagi kegiatan penulisan maupun penelitian selanjutnya.
8
3. Bagi Pemerintah Daerah Provinsi Papua, dapat menjadi bahan masukan dalam mengelola dan mengembangkan wilayahnya berdasarkan potensi yang ada
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai ketimpangan antar wilayah yang timbul karena perbedaan kepemilikan sumber daya pertambangan dan ketimpangan sektoral yang terjadi karena dominasi sub sektor pertambangan, sehingga mengaburkan potensi sektor basis penopang perekonomian Provinsi Papua. Lingkup penelitian adalah Provinsi Papua pada masa otonomi daerah yaitu tahun 2001 - 2007.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Konsep Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahnya yang menjadi urusan rumah tangganya. Otonomi daerah adalah hak dan wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pergeseran paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang peraturan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemberlakukan undang-undang tersebut diharapkan akan mengubah pandangan pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah
kabupaten/kota,
sehingga
pemerintah
daerah
kabupaten/kota
mempunyai peluang untuk secara leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi dan prakarsa daerah (Putra, 2004).
10
Pasal 1 (h) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menyebutkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Berdasarkan pasal tersebut, kewengan daerah tidak hanya terbatas pada urusan yang akan diatur dan dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya (Ramadhanny, 2007). Oleh karena itu ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah. c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakekatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, artinya penetapan kebijakan sendiri, serta pembiayaan sendiri dan pertanggungjawaban daerah sendiri (Aser, 2005).
11
Berpegang pada landasan hukum diatas maka pemerintah daerah mempunyai wewenang secara penuh untuk untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri berdasarkan potensi yang ada. Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk mengidentifikasi potensi-potensi yang dimiliki daerah karena potensi tersebut sangat menentukan dalam prioritas pembangunan terutama sektor-sektor unggulan.
2.1.2. Dampak Otonomi Daerah Penerapan
otonomi
daerah
membagi
dan
menetapkan
berbagai
kewenangan tertentu antara pusat dan daerah dalam proses pembangunan dan pengembangan suatu daerah. Perubahan dalam sistem ketatanegaraan ini tentu saja melahirkan warna baru dengan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya terhadap tingkat hidup masyarakat. Dalam hal kebijakan dan kewenangan tertentu pemerintah pusat masih memegang kendali dan memiliki kewenangan mutlak. Disisi lain, hasil-hasil pembangunan sudah berubah dengan adanya otonomi daerah, latar belakang dan keadaan suatu daerah dapat mengakibatkan adanya perbedaan tingkat hidup antara satu provinsi dengan provinsi yang lain, bahkan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi. Tingkat hidup suatu daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota Sangat dipengaruhi oleh berbagai potensi yang dimiliki, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lain. Perbedaan potensi yang dimiliki, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lainnya. Perbedaan potensi yang dimiliki masing-masing daerah ini mendorong perlunya
12
dibentuk suatu indeks ketimpangan antar wilayah yang dapat digunakan sebagai ukuran baku dalam membandingkan tingkat hidup antar kabupaten/kota di Provinsi Papua. Sehingga pada akhirnya dapat diketahui dampak otonomi daerah terhadap kemajuan suatu daerah dan kesenjangan yang timbul antar daerah dalam aspek sosial ekonomi. Selanjutnya dianalisa seberapa besar ketimpangan antar wilayah dan faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan antar wilayah.
2.1.3. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) Dalam pengertian ekonomi regional dikenal adanya pengertian sektor basis dan sektor non basis. Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya, 1996). Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad, dalam Sadau (2002) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Pendekatan basis ekonomi sebenarnya
13
dilandasi pada pendapat bahwa yang perlu dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut secara efisien dan efektif. Secara umum, analisis ini digunakan untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor andalannya. Pentingnya ditetapkan komoditas unggulan di suatu wilayah (nasional, provinsi dan kabupaten) dengan metode LQ, didasarkan pada pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Selain itu hanya komoditas-komoditas yang diusahakan secara efisien yang mampu bersaing secara berkelanjutan, sehingga penetapan komoditas unggulan menjadi keharusan agar sumberdaya pembangunan di suatu wilayah lebih effisien dan terfokus (Handewi, 2003). Lebih lanjut model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas dua sektor, yaitu: 1.
Sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Sektor basis mampu menghasilkan produk/jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah. Itu berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain. Artinya sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan.
14
2.
Sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu melayani pasar daerah itu sendiri sehingga permintaannya sangat dipengaruhi kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non unggulan. Menurut Tarigan (2007), metode
untuk memilah kegiatan basis dan
kegiatan non basis adalah sebagai berikut : a.
Metode Langsung Metode langsung dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut. Kelemahan metode ini yaitu : pertanyaan yang berhubungan dengan pendapatan data akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering tercampur kegiatan basis dan non basis.
b.
Metode Tidak Langsung Metode ini dipakai karena rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya. Metode ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan basis adalah otomatis menjadi kegiatan basis.
c.
Metode Campuran Metode ini dipakai pada suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang tercampur antara kegiatan basis dan kegiatan non basis. Apabila dipakai metode asumsi murni maka akan memberikan kesalahan yang besar, jika dipakai metode langsung yang murni maka akan
15
cukup berat. Oleh karena itu orang melakukan gabungan antara metode langsung dan metode tidak langsung yang disebut metode campuran. Pelaksanaan metode campuran dengan melakukan survei pendahuluan yaitu pengumpulan data sekunder, kemudian dianalisis mana kegiatan basis dan non basis. Asumsinya apabila 70 persen atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar wilayah maka maka kegiatan itu langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila 70 persen atau lebih produknya dipasarkan ditingkat lokal maka langsung dianggap non basis. Apabila porsi basis dan non basis tidak begitu kontras maka porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku usaha. d.
Metode Location Quotient Metode LQ membandingkan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor tertentu untuk lingkup wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama untuk lingkup wilayah yang lebih besar. LQ
li / e Li / E
Dimana: li = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah sektor i di wilayah analisis e
= banyaknya lapangan kerja/nilai tambah di wilayah analisis
Li = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah sektor i secara nasional E = banyaknya lapangan kerja/nilai tambah secara nasional
16
Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Dari rumus diatas, apabila LQ > 1 berarti porsi lapangan kerja atau nilai tambah sektor i di wilayah analisis terhadap total lapangan kerja atau nilai tambah wilayah adalah lebih besar dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk sektor yang sama secara nasional. LQ > 1 memberikan indikasi bahwa sektor tersebut adalah basis sedangkan apabila LQ < 1 berarti sektor tersebut adalah non basis. Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang sederhana
dengan
segala
kelebihan
dan
keterbatasannya.
Menurut
Hendayana (2000), kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spread sheet dari Excel bahkan jika datanya tidak terlalu banyak kalkulator pun bisa digunakan. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data sangat diperlukan. Disamping itu untuk menghindari
17
bias diperlukan nilai rata-rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun. Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan. Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan batasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, acuannya sering tidak jelas. Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang kita duga. Misalnya suatu wilayah provinsi yang diduga memiliki keunggulan di sektor non pangan, yang muncul malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu data yang dijadikan sumber bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi terlebih dahulu dengan beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan gambaran tingkat konsistensi data yang mantap dan akurat . Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono, 2001). Teori basis ini selanjutnya menyatakan bahwa karena sektor basis menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan meningkatkan investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industriy basic, tetapi juga
18
menaikkan permintaan akan industry non basic. Dengan dasar teori ini maka identifikasi sektor unggulan/sektor basis sangat penting terutama dalam rangka menentukan prioritas dan perencanaan pembangunan ekonomi didaerah. Oleh karena itu perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Manfaat mengetahui sektor unggulan yaitu mampu memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional dan regional. Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Bank Indonesia, 2005).
2.1.4. Konsep Ketimpangan Antar Wilayah Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini
menyebabkan
kemampuan
suatu
daerah
dalam
mendorong
proses
pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat
wilayah
maju
(Underdeveloped Region).
(Developed
Region)
dan
wilayah
terbelakang
19
Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Selain itu ketimpangan antar wilayah juga membawa implikasi pada perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. a.
Hipotesa Neo Klasik Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula
dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik. Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik. Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan
20
menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya. b.
Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2008) yaitu : 1)
Perbedaan kandungan sumber daya alam Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi
kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumbe daya alam dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi lebih tinggi.
21
2)
Perbedaan kondisi demografis Perbedaan
kondisi
demografis
meliputi
perbedaan
tingkat
pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. 3)
Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar
daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. 4)
Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah
dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang
22
selanjutnya akan
mendorong
proses
pembangunan
daerah
melalui
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. 5)
Alokasi dana pembangunan antar wilayah Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada
sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. c.
Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Salah satu model yang cukup representatif untuk mengukur tingkat
ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks williamson yang dikemukakan oleh Williamson (1965). Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau weighted index terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau un-weighted index) untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu. Formula yang digunakan menurut Sjafrizal (2008) yaitu :
23
n
( y y V
w
i 1
i
)2 (
f n) i
y
Dimana : yi = PDRB Perkapita daerah i y
= PDRB Perkapita rata-rata seluruh daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i n
= Jumlah penduduk seluruh daerah
2.1.5. Penelitian Terdahulu Rangkaian berbagai penelitian tentang kesenjangan ditandai oleh tonggaktonggak temuan. Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1966) menekankan pada kesenjangan antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan rata-rata antarwilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping meneliti pola dan faktor penentu kesenjangan, peneliti juga mengamati proses terjadinya kesenjangan. Myrdal, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang
24
menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar. Dalam penelitian lain, kesenjangan juga dikaitkan dengan faktor alam, yaitu tingkat kekayaan sumber daya alam suatu wilayah. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa urbanisasi, sebagai akibat dari kesenjangan perdesaan dan perkotaan, merupakan proses menuju suatu bentuk tertentu dari keseimbangan. Guna memberikan gambaran perkembagan terakhir tentang penelitian kesenjangan, berikut ini disampaikan tinjauan singkat dari beberapa hasil penelitian. Barrios dan Strobl, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007) menuliskan laporan penelitian mengenai hubungan antara kesenjangan antarwilayah dengan pembangunan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data Produk Domestik Bruto di negara-negara Uni Eropa yang diolah dengan metoda ekonometrik untuk menjelaskan pola hubungan antara PDB dengan kesenjangan antarwilayah yang berbentuk kurva huruf u terbalik. Hasil penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa untuk negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memilki pola kesenjangan wilayah yang berbentuk kurva huruf u terbalik. Temuan ini sejalan dengan temuan Kuznets. Temuan lain dari penelitian ini membuktikan bahwa variabel yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan ekonomi negara Uni Eropa antara lain struktur anggaran negara dan desentralisasi fiskal dan mekanisme redistribusi jaminan sosial memberi dampak terhadap kesenjangan antar wilayah.
25
Penelitian lain yang relevan dengan desentralisasi dilakukan oleh Lessmann, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007). Ia meneliti mengenai hubungan desentralisasi fiskal dengan kesenjangan wilayah. Penelitian ini mengunakan beberapa data statistik ekonomi 17 negara OECD yang diolah melalui analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan. Namun, hasil temuan ini hanya berlaku bagi negara-negara maju saja. Bagi negara berkembang dan miskin, desentralisasi mungkin akan menyebabkan semakin tajamnya kesenjangan antarwilayah. Hal ini disebabkan masih tingginya tingkat korupsi dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya dan pelayanan publik. Azulaidin (2003) mengidentifikasi pengaruh investasi, jumlah penduduk, ekspor netto dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dan mengidentifikasi sektor yang menjadi basisekonomi di wilayah pembangunan serta menggambarkan ketimpangan pembangunan antar wilayah pembangunan di Provinsi Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku menurut Kabupaten dan Kota, PDRB perkapita, data penduduk, penanaman modal (PMA dan PMDN ), pengeluaran pemerintah dan data ekspor netto Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Kantor Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
26
dan BAPPEDA Sumatera Utara. Sebagai alat analisis pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Location Quotient (LQ ) dan Indeks Williamson. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa di Wilayah Pembangunan III dan IV lebih maju bila dibandingkan dengan Wilayah Pembangunan I dan II. Secara positif dan sinifikan jumlah penduduk, penanaman modal, pengeluaran pemerintah dan ekspor netto memeberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian menjadi basis ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Tingkat ketimpangan terbesar terdapat didaerah Asahan, Medan. Labuhan Batu dan yang memiliki ketimpangan rendah adalah Langkat, Tebing Tinggi dan Tapanuli Selatan. Rahman (2003) menganalisis peranan basis sektor pertanian dalam pembangunan wilayah di era otonomi Kesimpulannya bahwa masing-masing kecamatan di Kabupaten Kuningan memiliki beberapa komoditi basis pertanian yang jumlahnya berbeda-beda, secara keseluruhan surplus pendapatan komoditi basis yang dihasilkan relatif besar sehingga dapat digunakan untuk membeli komoditi non basis yang kurang untuk pendapatan masyarakat setempat. Hasil analisis LQ dan spesialisasi menunjukkan bahwa hampir semua komoditi pertanian menyebar dan tidak terdapat spesialisasi kegiatan pertanian atau cenderung menghaslkan komoditi yang beragam. Daniati (2004) meneliti tentang evaluasi pembentukan Kabupaten Mentawai salah satunya memakai Location Quotients untuk menentukan sektor unggulan. Ditemukan bahwa sektor/subsektor unggulan
di Kabupaten
27
Mentawai adalah sektor pertanian utamanya sub sektor perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Nugroho (2004) meneliti ketimpangan pembangunan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat, digunakan indeks Williamson. Ketimpangan pembangunan antar kecamatan yang tertinggi terdapat di Kabupaten Ciamis yaitu 1,54. Sementara ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Garut, Subang dan Karawang relatif sama yaitu 1,00. Ditemukan bahwa ketimpangan pembangunan sebagian besar berasal dari kecamatankecamatan non pesisir. Kristiyanti (2007) menganalisis sektor basis perekonomian dan peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur. Berdasar perhitungan LQ ada 5 sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Tahun 2004-2005 ada 3 sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah. Ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpanagn sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan pendapatan belum optimal. Sektor basis yang memiliki pearanan besar dalam mengurangi tingkat ketimpangan
28
pendapatan terbesar di Propinsi Jawa Timur adalah sektor pertanian rata-rata 19 persen. Sektor basis lainnya seperti listrik, gas dan air bersih, serta sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata dibawah 3 persen. Namun sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama periode pengamatan sebesar 45 persen. Jadi tidak semua sektor basis dapat berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.
2.2. Kerangka Operasional Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Sumber daya manusia yang handal dan didukung oleh potensi sumber daya alam yang besar akan mampu mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik yang ditunjukkan dengan adanya pemerataan pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Perekonomian Provinsi Papua yang didukung dengan sumber daya alam besar ternyata belum diimbangi dengan penyediaan sumber daya yang handal. Akibatnya potensi-potensi ekonomi belum termanfaatkan secara optimal. Perekonomian masih didominasi oleh sektor pertambangan, sehingga potensipotensi ekonomi yang lain belum terlihat peran pentingnya. Adanya otonomi daerah, dimana kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sangat luas. Sedangkan Sektor-sektor
29
ekonomi yang ada belum mampu dioptimalkan. Dimana struktur perekonomian Provinsi Papua sebagian besar kontribusinya berasal dari sektor pertambangan. Sedangkan secara nyata sumbangan sektor pertambangan pada perekonomian masih sangat kecil, karena keberadaannya tidak banyak memberikan nilai tambah bagi sektor-sektor yang lain. Adanya dominasi sektor pertambangan menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah dan ketimpangan secara sektoral. Dimana untuk mengetahui besarnya ketimpangan wilayah yang ada dilakukan analisis dengan perhitungan menggunakan
indeks sektor
williamson.
Analisis
pertambangan
dan
dilakukan tanpa
tersendiri
memperhitungkan
dengan sektor
pertambangan. Ketimpangan sektoral yang ada tampak pada sangat besarnya dominasi sektor pertambangan pada PDRB Provinsi Papua. Adanya hal ini mengaburkan peranan sektor-sektor yang lain. Untuk dapat mengetahui potensi peran sektorsektor ekonomi maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location Quotient. Jadi analisis dilakukan dengan memisahkan adanya peranan sektor tambang dan tidak memperhitungkan sektor tambang sehingga akan didapatkan sektor-sektor unggulan yang lain selain sektor pertambangan.
30
Kondisi Perekonomian Provinsi Papua
Dominasi Pertambangan
Ketimpangan Wilayah
Analisis Ketimpangan Antar Wilayah
Ketimpangan Sektoral
Indeks Williamson
Location Quotient
Indeks Ketimpangan Wilayah
Analisis Sektor Basis
Sektor Basis / Unggulan
Kebijakan Otonomi Daerah
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS dan BPS Provinsi Papua. Data yang digunakan berupa data PDB Indonesia tahun 2001 – 2007, data PDRB Provinsi Papua tahun 2001 – 2007, dan data PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Papua tahun 2001 – 2007. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian di suatu wilayah dalam suatu tahun tertentu. Pada dasarnya PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha di suatu wilayah tertentu atau merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Dalam perhitungan PDRB digunakan dua macam harga, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. a. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku setiap tahun dan dapat digunakan untuk melihat struktur ekonomi. b. PDRB atas dasar harga konstan dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar dan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun.
32
Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan tahun dasar 2000. Penggunaan tahun dasar 2000 ditetapkan secara nasional untuk dijadikan sebagai dasar perhitungan PDRB yang disebabkan antara lain adanya kondisi perekonomian nasional yang relatif stabil tahun 2000, dan diselesaikannya Tabel Input Output (I-O) Indonesia pada tahun 2000 oleh BPS serta rekomendasi dari PBB.
3.2. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis sektor basis dan analisis ketimpangan antar wilayah. Dimana semua metode analisis diatas membedakan antara analisis PDRB tanpa mengeliminasi sub sektor pertambangan
dan
analisis
PDRB
dengan
mengeliminasi
sub
sektor
pertambangan.
3.2.1. Analisis Sektor Basis Richardson, dalam Ghalib (2005) menyatakan bahwa teori ekonomi basis dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lain dan mengetahui hubungan antar sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh besarnya nilai ekspor dari wilayah tersebut. Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisa dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga
33
dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis yang dapat melayani pasar ekspor. Analisis basis menggunakan rumus yang sangat sederhana padahal analisis ini cukup ampuh untuk mengkaji dan memproyeksi pertumbuhan ekonomi wilayah. Permasalahan yang berat dalam menggunakan analisis ini adalah ketepatan dalam pemilahan antara kegiatan basis dan non basis dan berapa sebenarnya porsi masing-masing dalam perekonomian wilayah (Tarigan, 2007). Ada beberapa metode pemilahan sektor basis dan non basis. Berhubung rumitnya melakukan survei langsung maka penulis memilih Metode Location Quotient. Location Quotient merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor andalannya. Location Quotient adalah suatu metode untuk menghitung perbandingan relatif sumbangan nilai tambah sebuah sektor di suatu daerah terhadap sumbangan nilai tambah sektor yang bersangkutan dalam skala provinsi atau nasional. Location Quotients merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk menentukan kapasitas ekspor perekonomian daerah dan derajat self-sufficiency suatu sektor. Dalam teknik ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
34
1)
Kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industri basis.
2)
Kegiatan ekonomi atau industri yang mengalami pasar di daerah tersebut saja, jenis ini dinamakan industri non basis atau industri lokal. Dasar pemikiran teknik ini adalah teori basis ekonomi yang intinya adalah
karena industri basis menghasilkan barang-barang dan jasa untuk pasar di daerah maupun di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan ke luar daerah akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus pendapatan dari luar daerah ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di daerah tersebut, dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya menaikkan permintaan terhadap industri basis, tetapi juga menaikkan permintaan akan industri non basis atau lokal. Kenaikan permintaan ini akan mendorong kenaikan investasi pada industri yang bersangkutan sehingga investasi modal dalam sektor industri lokal merupakan investasi yang didorong sebagai akibat dari industri basis. Oleh karena itu, industri basic-lah yang patut dikembangkan di suatu daerah. Untuk keperluan ini dipakai LQ, yaitu usaha mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi dalam suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian daerah itu dengan peranan kegiatan atau industri sejenis dalam perekonomian nasional. Metode LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian suatu wilayah yang mengarah pada identifikasi
35
spesialisasi kegiatan perekonomian, atau dengan kata lain untuk mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran penetapan sektor unggulan sebagai leading sector perekonomian suatu wilayah (Adisasmita, 2006). Rumusan Location Quotient (LQ) menurut Val, dalam Sadau (2002) yang kemudian digunakan dalam penentuan sektor basis dan non basis di Provinsi Papua, yang dinyatakan dalam persamaan berikut: LQ
Xr / RVr Xn / RVn
atau
LQ
Xr / Xn RVr / RVn
Dimana: LQ
= Koefisien Location Quotient (LQ) Provinsi Papua
Xr
= PDRB sektor i di Provinsi Papua
RVr
= Total PDRB Provinsi Papua
Xn
= PDB sektor i Indonesia
RVn
= Total PDB Indonesia.
Untuk dapat menentukan suatu sektor sebagai sektor basis atau non basis maka pengukuran dengan metode LQ diberikan kriteria sebagai berikut : 1. LQ > 1 Jika LQ lebih besar dari 1 berarti sektor basis, artinya komoditas i di Provinsi Papua memiliki keunggulan komparatif dibanding sektor yang sama pada tingkat nasional. 2. LQ < 1 Jika LQ lebih kecil dari 1 berarti sektor non basis, artinya komoditas i di Provinsi Papua tidak memiliki keunggulan komparatif dibanding sektor yang
36
sama pada tingkat nasional, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri. 3. LQ = 1 Jika LQ sama dengan 1 berarti sektor non basis, artinya komoditas i di Provinsi Papua tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar.
Menurut Hendayana (2003), setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan demikian halnya dengan metode LQ. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi
komoditas
unggulan
antara
lain
penerapannya
sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spreadsheet dari Excel. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data sangat
diperlukan. Disamping itu untuk menghindari bias musiman dan
tahunan diperlukan nilai rata -rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun. Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan. Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan batasan wilayah yang dikaji dan ruang
lingkup aktivitas,
acuannya
sering
tidak
jelas.
Akibatnya
hasil
hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang kita duga.
37
Misalnya suatu wilayah provinsi yang diduga memiliki keunggulan di
sektor
non pangan, yang muncul malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu data yang dijadikan sumber bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi terlebih dahulu dengan beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan gambaran tingkat konsistensi data yang mantap dan akurat.
3.2.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah Perhitungan ketimpangan dilakukan dengan pendekatan wilayah. Dalam pendekatan wilayah sumber data yang digunakan adalah PDRB perkapita yaitu untuk menggambarkan seberapa besar proses kegiatan ekonomi di suatu daerah yang dihitung ditinjau dari nilai tambahnya. Ukuran yang sering digunakan oleh para peneliti, pengamat dan perencana pembangunan,
untuk
memperoleh
gambaran tentang kondisi suatu wilayah dibanding wilayah lainnya adalah dengan menggunakan Indeks Wiliamson. Indeks
Williamson
dapat
menggambarkan
tendensi
pemerataan
pembangunan antar wilayah yang berada dalam suatu kawasan regional (propinsi atau kabupaten/kota). Perhitungan Indeks Williamson ini merupakan koefisien variasi yang diberi penimbang proporsi jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota terhadap jumlah penduduk Provinsi Papua. Menurut Sjafrizal (2008) formula yang digunakan untuk menghitung angka Indeks Wiliamson adalah sebagai berikut :
38
n
( y y V
w
i 1
i
)2 (
f n) i
y
Dimana : yi = PDRB Perkapita daerah i y
= PDRB Perkapita rata-rata seluruh daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i n
= Jumlah penduduk seluruh daerah
i = 1,2,3…n
Untuk mengetahui besarnya ketimpangan yang terjadi maka diperlukan kriteria tingkat ketimpangan antar wilayah :
Tabel 3.1. Kriteria Ketimpangan Antar Wilayah Indeks
Ketimpangan
1 0,7 – 1 0,4 – 0,69 0,39
Sangat Tinggi Tinggi Menengah Rendah
Sumber : Nugroho (2004), dimodifikasi
Kriteria Penilaiannya adalah sebagai berikut: 1. Jika nilai Vw menjauhi 0 (nol), menunjukkan bahwa tingkat disparitas regional atau tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Papua semakin besar (kemerataan antar kabupaten/kota semakin memburuk).
39
2. Jika nilai Vw mendekati 0 (nol), menunjukkan bahwa tingkat disparitas regional atau tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Papua semakin kecil (kemerataan antar kabupaten/kota semakin membaik).
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1. Kondisi Umum Wilayah Provinsi Papua yang secara geografis terletak antara 2°25´ LU – 9° Lintang Selatan dan 130° - 141° Bujur Timur. Batas wilayah Provinsi Papua adalah Laut Arafura di bagian selatan, Negara Papua New Guinea di sebelah Timur, Samudera Pasifik di sebelah Utara, Provinsi Papua Barat di sebelah Barat. Semenjak adanya otonomi daerah, Provinsi Papua banyak mengalami pemekaran wilayah administrasi. Berdasarkan data statistik tahun 2006, jumlah wilayah administrasi di Provinsi Papua ada 19 kabupaten, 1 kota, 283 distrik dan 3.398 desa/kampung. Dimana diantara wilayah administrasi tersebut 10 kabupaten relatif masih tergolong sebagai kabupaten baru. Wilayah administrasi tersebut yaitu Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2002, serta Kabupaten Supiori yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2003. Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.062 Km2. Dimana 37,55 persen luas wilayah Provinsi Papua merupakan wilayah administrasi Kabupaten Merauke dan pemekarannya, yaitu 13,87 persen merupakan wilayah Kabupaten Merauke,
41
8,98 persen merupakan wilayah Kabupaten Boven Digoel, 8,72 persen merupakan wilayah Kabupaten Mappi dan 5,98 persen merupakan wilayah Kabupaten Asmat.
Tabel 4.1. Wilayah Administrasi Provinsi Papua Tahun 2006
Kabupaten/Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Merauke Jayawijaya Jayapura Paniai Puncak Jaya Nabire Mimika Kepulauan Yapen Biak Numfor Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Sarmi Keerom Waropen Supiori Kota Jayapura
Papua
Ibukota
Jumlah Distrik
Jumlah Desa/ Kampung
Luas 2 (Km )
% Thd Luas Papua
Merauke Wamena Sentani Enarotali Mulia Nabire Timika Serui Biak Tanah Merah Kepi Agats Ninia Oksibil Karubaga Sarmi Arso Waren Sorendiweri Jayapura
11 39 16 11 16 17 12 7 10 15 6 7 51 10 30 8 5 3 4 5
168 378 132 280 147 156 85 112 187 88 137 139 510 90 505 98 48 62 38 38
43.979 12.680 15.309 14.215 10.852 16.312 20.040 3.131 2.360 28.471 27.632 18.976 15.771 16.908 8.816 25.902 9.365 24.628 775 940
13,87 4,00 4,83 4,48 3,42 5,14 6,32 0,99 0,74 8,98 8,72 5,98 4,97 5,33 2,78 8,17 2,95 7,77 0,24 0,30
Jayapura
283
3 398
317.062
100,00
Sumber : Provinsi Papua dalam Angka, 2007
4.2. Kependudukan Jumlah penduduk Provinsi Papua menurut data statistik tahun 2006 sebanyak 2.000.738 jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kabupaten Jayawijaya sebanyak 11,23 persen dari total penduduk Provinsi Papua, kemudian Kota Jayapura yaitu 10,68 persen, Kabupaten Paniai 8,61 persen dan Kabupaten Merauke 8,31 persen.
42
Persebaran penduduk di Provinsi Papua belum merata. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan luas wilayah masing-masing kabupaten dengan jumlah penduduknya. Kota Jayapura merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu 227 jiwa/Km2, disusul oleh Kabupaten Biak Numfor 57 jiwa/Km2 dan Kabupaten Kepulauan Yapen 38 jiwa/Km2.
Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk Provinsi Papua Tahun 2006
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kepadatan Penduduk 2 (Jiwa/Km )
Kabupaten/Kota
Luas 2 (Km )
Merauke Jayawijaya Jayapura Paniai Puncak Jaya Nabire Mimika Kepulauan Yapen Biak Numfor Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Sarmi Keerom Waropen Supiori Kota Jayapura
43.979 12.680 15.309 14.215 10.852 16.312 20.040 3.131 2.360 28.471 27.632 18.976 15.771 16.908 8.816 25.902 9.365 24.628 775 940
166.195 224.734 98.138 172.315 75.472 106.468 120.426 119.178 134.881 33.545 70.655 66.146 146.434 94.446 47.133 33.705 40.462 23.094 13.558 213.753
3,78 17,72 6,41 12,12 6,95 6,53 6,01 38,06 57,15 1,18 2,56 3,49 9,29 5,59 5,35 1,30 4,32 0,94 17,49 227,40
317.062
2.000.738
6,31
Papua
Penduduk
Sumber : Provinsi Papua dalam Angka, 2007
4.3. Perekonomian Provinsi Papua Rata-rata Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Papua selama 2001-2007 adalah Rp 19,8 triliun/tahun. Nilai PDRB tertinggi selama
43
2001-2007 dicapai pada tahun 2005 dengan nilai Rp 22,2 triliun dan terendah pada tahun 2004 dengan nilai Rp 16,3 triliun. Apabila sub sektor pertambangan sebagai sub sektor yang mendominasi perekonomian Provinsi Papua dielimininasi dari perhitungan PDRB maka akan diperoleh rata-rata PDRB Provinsi Papua selama 2001-2007 adalah Rp 7,4 triliun. Nilai PDRB tertinggi selama 2001-2007 dicapai pada tahun 2007 dengan nilai Rp 9,4 triliun dan terendah pada tahun 2001 dengan nilai Rp 6,2 triliun. Eliminasi sub sektor pertambangan dari perhitungan PDRB Provinsi Papua dapat menunjukkan bahwa PDRB Provinsi Papua selama 2001-2007 atau pada masa otonomi daerah terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan atau penurunan nilai PDRB selama 2001-2007 atau pada masa otonomi daerah sangat dipengaruhi oleh pendapatan dari sub sektor pertambangan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua selama 2001-2007 adalah sebesar 2,10 persen/tahun. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam kurun waktu tersebut dicapai pada tahun 2005 sebesar 36,40 persen dan pertumbuhan ekonomi terendah pada tahun 2004 yaitu minus 22,53 persen. Apabila eliminasi sub sektor pertambangan juga dilakukan terhadap perhitungan pertumbuhan PDRB Provinsi Papua selama 2001-2007 maka rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua adalah 6,82 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai pada tahun 2006 sebesar 8,71 persen dan pertumbuhan ekonomi terendah pada tahun 2004 yaitu 4,39 persen.
44
Tabel 4.3. Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap Gabungan PDRB Provinsi Papua 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Ratarata
Merauke
3,97
4,60
5,02
5,63
3,92
4,44
4,12
4,53
Jayawijaya
2,46
2,75
2,88
2,95
1,79
1,78
1,79
2,34
Jayapura
2,14
2,42
2,63
2,92
1,94
2,07
2,08
2,31
Nabire
3,16
3,58
3,86
4,13
2,65
2,70
2,66
3,25
Yapen Waropen
1,21
1,36
1,35
1,41
0,91
0,93
0,91
1,15
Biak
2,27
2,61
2,74
2,93
1,89
1,96
1,94
2,34
Paniai
1,04
1,20
1,31
1,46
0,97
1,03
1,06
1,16
Puncak Jaya
0,89
1,02
1,15
1,32
0,90
0,97
0,99
1,03
71,01
67,05
64,28
60,52
73,75
71,25
Kota Jayapura
6,15
7,06
7,87
8,99
6,06
6,77
7,24
7,16
Boven Digoel
1,16
1,25
1,43
1,67
1,18
1,49
1,57
1,39
Mappi
0,58
0,64
0,66
0,70
0,49
0,66
0,72
0,64
Asmat
0,49
0,54
0,56
0,58
0,42
0,56
0,64
0,54
Yahukimo
0,37
0,38
0,41
0,46
0,29
0,30
0,30
0,36
Pegunungan Bintang
0,49
0,51
0,54
0,59
0,38
0,40
0,42
0,47
Tolikara
0,45
0,48
0,51
0,57
0,36
0,38
0,38
0,45
Sarmi
0,75
0,91
1,02
1,19
0,79
0,86
0,88
0,91
Keerom
0,77
0,90
0,99
1,09
0,72
0,87
0,90
0,89
Waropen
0,38
0,42
0,46
0,51
0,33
0,35
0,35
0,40
Supiori
0,26
0,31
0,34
0,37
0,23
0,25
0,26
0,29
Kab/Kota
Mimika
Papua
70,79 68,38
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Papua 2007
Sementara itu, rata-rata PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Papua selama 2001-2007 adalah Rp 19,93 triliun. Wilayah yang menghasilkan rata-rata PDRB tertinggi adalah Kabupaten Mimika dengan nilai Rp 12,67 triliun, disusul oleh Kota Jayapura dengan nilai Rp 1,63 triliun dan Kabupaten Merauke Rp 1,04 triliun. Dimana kabupaten/kota yang menghasilkan rata-rata PDRB terendah
45
adalah Kabupaten Supiori dengan nilai Rp 75,4 miliar. Hal ini disebabkan Kabupaten Supiori merupakan wilayah yang terbentuk hasil pemekaran pada tahun 2003 sehingga potensinya belum banyak dimanfaatkan, selain luas wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang sedikit. Apabila eliminasi sub sektor pertambangan juga dilakukan terhadap perhitungan diatas, maka rata-rata PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Papua selama 2001-2007 adalah Rp 7,8 triliun. Kabupaten Mimika merupakan wilayah yang memberi rata-rata kontribusi terbesar terhadap perekonomian Provinsi Papua yaitu 68 persen. Namun apabila sub sektor pertambangan dieliminasi dari perhitungan maka wilayah yang memberi rata-rata kontribusi terbesar adalah Kota Jayapura yaitu 21,16 persen dan Kabupaten Merauke 13,38 persen. Sedangkan, kontribusi dari kabupaten/kota lainnya relatif lebih rendah dibandingkan kabupaten/kota tersebut. Hasil analisis Standar Deviasi (SD) masing-masing sektor disajikan pada Tabel 4.4. Berdasarkan hasil analisis SD terlihat bahwa sektor pertambangan dan penggalian mempunyai nilai SD yang paling besar (2,684.16), menyusul sektor pertanian (133.54). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa sektor pertambangan dan penggalian tingkat stabilitasnya lebih labil dibandingkan dengan sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena kegiatan dalam sektor pertambangan dan penggalian lebih banyak dipengaruhi oleh kandungan konsentrat pada kapasitas produksi per hari PT Freeport Indonesia. Apabila sub sektor pertambangan dieliminasi dari perhitungan maka diperoleh standar deviasi 3.89, jauh lebih stabil.
46
Tabel 4.4. Standar Deviasi Sektoral PDRB Kabupaten/Kota Tahun 2001-2007 (Milyar) Lapangan Usaha
1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih
Tambang
133.54 2,684.16 40.28 3.99
5. Bangunan
70.56
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
70.76
7. Pengangkutan & Komunikasi
68.64
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
29.10
9. Jasa-Jasa
84.28
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2007, diolah
4.4. Gambaran Sektor Pertambangan Berdasarkan informasi dari dinas pertambangan Provinsi Papua yang dapat diakses di website www.papua.go.id maka dapat diperoleh gambaran umum sektor pertambangan di Provinsi Papua. Potensi sumberdaya mineral dan energi di Provinsi Papua telah dikenal luas oleh masyarakat international sebelum perang dunia kedua. Seorang geologist yang bernama J.J Dozy dalam ekspedisinya pada tahun 1936 Pegunungan Tengah dalam upaya pencarian minyak bumi, menemukan sebuah bukit berbentuk seperti gigi setinggi 131 meter yang kaya unsur tembaga kemudian ia menamakannya Erstberg atau Gunung Bijih. Tahun 1960 publikasi J.J Dozy dibaca oleh Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Co dan menindaklanjutinya dengan meninjau bukit tersebut. Pada tanggal 7 April 1967 Perjanjian Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran
47
Inc. ditandatangani. Dimana Freeport mempunyai hak ekslusif untuk mengelola wilayah 10 x 10 Km2 atau seluas 100 km2 di sekitar Ertsberg. Sejak saat itulah pertambangan modern dimulai di Provinsi Papua. Pada bulan Desember 1967 dimulailah pemboran untuk melakukan studi kelayakan. Studi ini selesai 2 tahun kemudian atau pada tahun 1969. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan tahap kontruksi pada 1969 - 1972. Pada tahun 1972 dimulailah pengapalan konsentrat tembaga untuk pertama kalinya ke Hibi Jepang. Mulai tahun inilah Provinsi Papua menjadi pengekspor konsentrat tembaga. Produksi Freeport pada saat itu baru mencapai 8.000 ton bijih/hari, kemudian meningkat menjadi 18.000 ton bijih/hari. Selama tahun 1967-1988, Freeport menemukan sejumlah endapan tembaga dalam skala kecil seperti Gunung Bijih Timur, Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep Ore zone (DOZ), DOM. Kemudian Pada tahun 1988 Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan kadar yang cukup ekonomis dengan cadangan lebih dari 400 MT yang merupakan endapan tunggal tembaga terbesar. Untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan investasi yang cukup besar, sehingga diperlukan adanya jaminan perpanjangan kontrak karya. Maka pada 30 Desember 1996 ditandatanganilah perpanjangan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia dengan membaginya menjadi 2 blok, yaitu blok A yang merupakan daerah kontrak karya lama, dan blok B seluas 1,9 juta ha untuk Blok B. Keberhasilah Freeport menemukan sejumlah cadangan endapan tembaga di daerah konsensinya dan adanya kesamaan sejarah geologinya dengan Papua
48
New Guinea (terdapat 13 Perusahaan tambang yang sudah berproduksi), kemudian memicu perusahaan lain untuk menanamkan modalnya di Provinsi Papua. Oleh karena itu tidak heran jika mulai dari 1996 terjadi booming investasi pertambangan di Papua. Hingga akhir tahun 2000 paling tidak terdapat 22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan Kuasa Pertambangan dan 3 perusahaan di bidang pengusahaan batubara melakukan eksplorasi di Provinsi Papua . Dalam UU No. 11 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, investasi asing di bidang pertambangan umum dilakukan melalui penerapan sistem Kontrak Karya (KK), yaitu perjanjian antara pemerintah dengan investor yang berbadan hukum Indonesia, dimana pemerintah bertindak sebagai pihak pemilik (principal) sedangkan perusahaan pertambangan bertindak sebagai kontraktor. Perjanjian kontrak karya secara khusus memberi hak tunggal kepada investor untuk melakukan penelitian sumberdaya mineral yang terkandung dalam wilayah kontrak karya, dan kemudian menambang, mengolah dan memasarkan endapan mineral yang ditemukan. Hak tunggal ini diberikan sebagai konsekuensi atas kesediaan menanggung resiko atas pelaksanaan kegiatan eksplorasi dimana resiko kegagalannya sangat tinggi, disamping pemenuhan pembayaran pajak dan kewajiban lainnya yang disebutkan dalam Kontrak Karya. Dalam melaksanakan operasinya, pemegang Kontrak Karya mempunyai hak kendali dan manajemen tunggal atas semua kegiatannya, termasuk mempekerjakan sub kontraktor untuk melaksanakan tahap-tahap operasinya. Pemegang Kontrak Karya juga mempunyai kewajiban seperti menanam modal, membayar pajak dan pungutan-pungutan lain, kewajiban mengikuti standar
49
pertambangan yang ditetapkan pemerintah, kewajiban melaksanakan peraturan lingkungan hidup, dan kewajiban melaksanakan standar keselamatan kerja dan kesehatan. Jika diperhatikan maka di masa lalu, semua keputusan mengenai pengusahaan pertambangan selalu dilakukan di Jakarta atau oleh pemerintah pusat. Peranan pemerintah daerah pada saat itu hampir tidak ada. Hal ini menimbulkan adanya ketidakadilan di dalam pembagian hasil dari pengusahaan sumber daya mineral tersebut. Padahal apabila kita cermati, hampir semua akibat yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas tersebut dipikul seluruhnya oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang ada di sekitar lokasi penambangan. Hal ini sering menimbulkan konflik sosial dan ketidakstabilan keamanan di sekitar lokasi kegiatan tambang. Belum isu mengenai masalah lingkungan hidup. Limbah tailing yang dihasilkan dari proses produksi PT Freeport telah banyak mencemari sungai. Dimana mata rantai makanan di daerah Omawita, Kaugapu dan sepanjang Kali Ajkwa Kabupaten Mimika terputus akibat sedimentasi tailing. Selain itu pemerintah pusat maupun Provinsi Papua merasa kompensasi yang diberikan leh PT Freeport masih belum cukup sehingga perlu ada tambahan kompensasi. Disisi lain PT Freeport mengaku telah melakukan penanganan terhadap limbah ini dan hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa limbah tailing tidak beracun. Berdasarkan studi LAPI ITB limbah tailing sejak tahun 2000 dimanfaatkan sebagai bahan baku semen. Selain itu PT Freeport juga telah memberikan bantuan kepada masyarakat Papua terutama suku-suku di sekitar
50
lokasi PT Freeport baik berupa pembangunan perumahan, fasilitas kesehatan, dan program-program pelatihan. Adanya pro dan kontra adanya PT Freeport dikalangan masyarakat telah merambah sampai tingkat pemerintahan. Oleh karena itu adanya Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua memberikan kesempatan yang luas bagi Pemerintah Provinsi Papua untuk membuat kebijakan yang lebih adil, baik bagi masyarakat pemilik hak ulayat, pemerintah daerah maupun bagi perusahaan itu sendiri.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Sektor Basis Indikator suatu sektor dikatakan menjadi sektor unggulan daerah adalah ketika sektor tersebut menjadi sektor basis, yakni memiliki nilai LQ yang lebih besar dari satu. Hasil analisis tanpa melakukan eliminasi terhadap sub sektor pertambangan menunjukkan bahwa yang menjadi sektor basis (sektor unggulan) dari tahun 2001 sampai tahun 2007 adalah sektor pertanian dengan nilai LQ ratarata sebesar 1,01 serta sektor pertambangan dan penggalian sebesar 6,02. Besarnya nilai LQ sektor pertanian menunjukkan bahwa produksi sektor tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di Provinsi Papua dan juga mampu melakukan ekspor. Berdasarkan nilai LQ hasil penghitungan, sektor pertanian yang menonjol berurutan terdapat pada sub sektor kehutanan, perikanan, tanaman bahan makanan, serta peternakan dan hasil-hasilnya. Sektor kehutanan memberikan peranan besar dalam perekonomian Provinsi Papua dimana hutan banyak menghasilkan produk yang bernilai ekonomis tinggi. Pulikasi Papua dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa volume hasil hutan berupa beberapa jenis kayu yang terjual di dalam negeri tahun 2004 sebanyak 337.029,86 kubik, sedangkan volume penjualan hasil hutan berupa beberapa jenis kayu di luar negeri tahun 2004 sebanyak 313.155,64 kubik dan tahun 2005 sebanyak 138.630,37 kubik. Demikian pula produksi hasil hutan ikutan seperti kulit masoi, gaharu,
52
kemendangan dan gambir tahun 2002 sebanyak 16.561.736 kg, Tahun 2003 sebanyak 58.259.883 kg dan tahun 2004 sebanyak 213.665.085 kg. Data ini mendukung bahwa Provinsi Papua telah mampu memanfaatkan hasil hutan untuk kepentingan masyarakat dan untuk ekspor. Demikian pula produksi perikanan, tahun 2005 sebanyak 209. 216 ton dan tahun 2006 meningkat menjadi 227.207 ton dengan nilai 2,7 trilyun. Jika ditinjau dari besarnya konstribusi yang diberikan sektor pertambangan dan penggalian untuk PDRB Provinsi Papua maka tidak mengherankan bila sektor ini menjadi sektor basis (sektor unggulan). Dimana 68 persen nilai tambah sektor pertambangan berasal dari PT Freeport. Data produksi pertambangan PT Freeport tahun 2005 menunjukkan bahwa dari bijih yang diproses menjadi konsentrat ratarata diperoleh kadar tembaga 29,81 persen dan emas 39,56 persen. Hasil
analisis
dengan
mengeliminasi
sub
sektor
pertambangan
menunjukkan bahwa yang menjadi sektor basis (sektor unggulan) dari tahun 2001 sampai tahun 2007 adalah sektor pertanian dengan nilai LQ rata-rata sebesar 2,56, sektor bangunan sebesar 1,93, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 1,68, sektor jasa-jasa sebesar 1,67. Ternyata dengan mengeliminasi sub sektor pertambangan dari perhitungan memunculkan 3 sektor lain sebagai sektor basis selain sektor pertanian, yaitu sektor bangunan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 1,93, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 1,68, serta sektor jasa-jasa sebesar 1,67. Sedangkan sektor non basis (bukan unggulan) antara lain : sektor industri dan pengolahan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,20, sektor listrik, gas
53
dan air bersih sebesar 0,69, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 0,73 serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Hasil
analisis
dengan
mengeliminasi
sub
sektor
pertambangan
memunculkan adanya sektor-sektor non basis yang berpotensi sebagai sektor basis. Hal ini menunjukkan adanya peranan unggul sub sektor-sub sektor yang semula tidak menjadi basis. Sub sektor tanaman pangan, sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya, sub sektor penggalian, sub sektor air bersih, sub sektor pengangkutan, sub sektor komunikasi serta sub sektor hiburan dan rekreasi. Munculnya sub sektor air bersih sebagai basis menunjukkan bahwa sarana air bersih sudah makin banyak dinikmati oleh masyarakat di Papua, walaupun ketika sub sektor pertambangan masih dominan, nilai LQ sektor listrik, gas dan air bersih relatif kecil. Dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang mendapat pelayanan listrik dan air bersih yakni yang tinggal di wilayah perkotaan. Sektor bangunan berada pada urutan kedua menjadi basis yaitu denga ratarata nilai LQ 1,93. Sektor bangunan sebagai sektor basis dapat dijelaskan dari meningkatnya jumlah infrastruktur pemerintah maupun swasta. Keadaan ini menunjukkan suatu perkembangan yang nyata dimana pada masa otonomi daerah pemerintah Provinsi Papua sedang giat membangun fasilitas infrastruktur terutama untuk menunjang pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum masyarakat. Kantor-kantor pemerintah dan sarana pelayanan umum banyak dibangun di daerah yang baru mekar. Selain itu di wilayah perkotaan pihak swasta banyak mendirikan bangunan usaha.
54
Sektor unggulan berikutnya yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi dengan rata-rata nilai LQ adalah 1,68. Pada sub sektor pengangkutan baik angkutan jalan raya, angkutan laut, angkutan sungai, danau dan penyeberangan serta angkutan udara semuanya memegang peran penting, hal ini sesuai dengan kondisi wilayah geografis Provinsi Papua yang bergunung-gunung, wilayahnya sulit ditembus, masih banyak sungai lebar dan pulau-pulaunya dikelilingi oleh laut maka hal ini mendukung pertumbuhan sub sektor pengangkutan laut dan pengangkutan udara. Dimana umumnya transportasi antar kabupaten dan antar distrik menggunakan moda transportasi laut dan udara sehingga moda-moda angkutan diatas menjadi sarana yang sangat vital bagi masyarakat. Maka wajar apabila sektor pengangkutan dan komunikasi berpotensi sebagai sektor basis. Keadaan diatas dapat dijelaskan dengan data jumlah kunjungan kapal dan banyaknya penumpang yang tiba maupun berangkat dari pelabuhan-pelabuhan laut. Kunjungan kapal selama tahun 2004 sebanyak 3.198 kali, dengan jumlah penumpang tiba sebanyak 323.602 orang dan jumlah penumpang berangkat sebanyak 298.581 orang. Untuk transportasi udara keadaan ini dapat ditunjukan dengan banyaknya penerbangan dan penumpang baik yang berangkat maupun datang di bandara ibukota-ibukota kabupaten/kota. Tahun 2003 jumlah penerbangan berangkat sebanyak 32.529 kali, meningkat 22,2 persen pada tahun 2004 menjadi 41.824 kali, sedang penerbangan yang datang sebanyak 34.742 kali tahun 2003 meningkat sebanyak 16,74 persen pada tahun 2004. Untuk penumpang yang berangkat pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebanyak 44,4 persen
55
dibanding tahun 2003, sedang penumpang yang datang tahun 2004 meningkat sebanyak 239.444 penumpang atau 39 persen dibanding tahun 2003. Sektor unggulan yang keempat yaitu jasa-jasa banyak ditopang oleh sub sektor pemerintahan umum. Alasan utama sektor jasa-jasa menjadi sektor basis adalah adanya pemekaran beberapa kabupaten, distrik dan kampung pada masa otonomi daerah. Untuk menangani wilayah-wilayah yang telah dimekarkan ini oleh pemerintah daerah dibentuk administrasi pemerintahan. Dalam hal ini subsub administrasi pemerintahan adalah gaji para pegawai pemerintah daerah. Dimana pertumbuhan jumlah pegawai pemerintah daerah semakin pesat pada masa otonomi daerah. Keadaan ini sejalan dengan banyaknya kabupaten dan distrik
pemekaran
yang
merekrut
para
pegawai
baru
di
lingkungan
instansnya.Pada sisi lain nilai LQ sub sektor swasta bukan merupakan sub sektor basis namun bsub sektor hiburan dan rekreasi merupakan unggulan. Sektor-sektor non basis (bukan unggulan) antara lain sektor industri dan pengolahan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,08, sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 0,28, sektor bangunan sebesar 0,78, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 0,30, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan sebesar 0,14, dan sektor jasa-jasa sebesar 0,68. Kondisi diatas menggambarkan bahwa sektor-sektor yang menjadi sektor basis merupakan sektor kuat disebabkan karena mempunyai nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor tersebut potensial dalam menunjang perekonomian Provinsi Papua dan mempunyai kecenderungan ekspor ke daerah (provinsi) lain. Sedangkan yang menjadi sektor non basis yaitu
56
sektor-sektor yang nilai LQnya lebih kecil dari satu (LQ < 1) sehingga menyebabkan sektor-sektor ini mempunyai kecenderungan untuk impor dari daerah (provinsi) lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dengan adanya ekspor maka Provinsi Papua akan memperoleh pendapatan. Dengan adanya arus pendapatan dari luar daerah (provinsi) ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di Provinsi Papua, dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Adapun perhitungan nilai LQ suatu sektor dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 5.1. LQ Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan 2001
Sektor T
ET
2002 T
ET
2003 T
ET
2004 T
ET
2005 T
ET
2006 T
ET
2007 T
ET
Rata-Rata T
ET
1.
0,84 2,63 0,86 2,62 0,92 2,60 1,20 2,54 0,95 2,58 1,23 2,55 1,22 2,42 1,01 2,56
2.
5,93 0,11 6,06 0,12 6,23 0,12 5,64 0,14 6,85 0,15 5,89 0,17 5,92 0,19 6,02 0,14
3.
0,07 0,21 0,07 0,21 0,07 0,20 0,09 0,20 0,07 0,20 0,09 0,19 0,09 0,18 0,08 0,20
4.
0,23 0,71 0,22 0,66 0,24 0,68 0,33 0,70 0,26 0,71 0,34 0,71 0,34 0,67 0,28 0,70
5.
0,60 1,88 0,63 1,90 0,67 1,90 0,92 1,94 0,71 1,93 0,93 1,92 1,02 2,03 0,76 1,93
6.
0,22 0,70 0,24 0,71 0,26 0,72 0,35 0,75 0,27 0,74 0,36 0,74 0,37 0,74 0,29 0,73
7.
0,52 1,62 0,54 1,63 0,60 1,71 0,82 1,74 0,64 1,74 0,81 1,68 0,84 1,66 0,68 1,68
8.
0,10 0,32 0,10 0,30 0,10 0,29 0,15 0,32 0,12 0,32 0,18 0,37 0,25 0,49 0,15 0,39
9.
0,56 1,74 0,58 1,75 0,60 1,70 0,80 1,68 0,60 1,62 0,78 1,61 0,82 1,62 0,68 1,67
Sumber : Hasil Olahan T
= Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan
ET = Eliminasi Sub Sektor Pertambangan
57
Keterangan : 1. Sektor Pertanian 2. Sektor Pertambangan dan Penggalian 3. Sektor Industri Pengolahan 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Sektor Bangunan 6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 8. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9. Sektor Jasa-Jasa
5.2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah Hasil pengukuran tingkat ketimpangan wilayah menggunakan Indeks Wiliamson menghasilkan indeks ketimpangan wilayah yang dapat digunakan untuk menggambarkan tendensi pemerataan pembangunan antar wilayah yang berada dalam suatu kawasan regional. Jika nilai indeks Williamson mendekati nol, maka tingkat ketimpangan antar wilayah semakin kecil (semakin merata). Sebaliknya, jika nilai indeks Williamson semakin jauh dari nol maka ketimpangan semakin melebar.
58
Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Antar Wilayah Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan Indeks Williamson
Tahun
Tanpa Eliminasi Tambang
Eliminasi Tambang
2001
2,80
0,50
2002
2,55
0,50
2003
2,31
0,51
2004
2,15
0,60
2005
2,68
0,60
2006
2,56
0,63
2007
2,53
0,63
Sumber : Hasil Olahan
Data di atas menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua pada masa otonomi daerah tahun 2001 – 2007. Sesuai batasan tingkat ketimpangan antar wilayah menurut Nugraha (2004) dapat digambarkan besarnya ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua. Perhitungan indeks ketimpangan dengan mengeliminasi sub sektor tambang menunjukkan ketimpangan antar wilayah yang sangat tinggi yaitu nilai Indeks Williamson diatas 1. Ketimpangan terbesar terjadi pada tahun 2001, yaitu 2,80. Sedangkan yang indeks williamsonnya paling kecil adalah di tahun 2004, yaitu sebesar 2,15. Perhitungan indeks ketimpangan tanpa mengeliminasi sub sektor tambang menunjukkan ketimpangan menengah menuju ke tinggi yaitu nilai Indeks Williamson antara 0,4 – 0,69. Melihat trend yang terjadi, meningkatnya indeks ketimpangan
antar
wilayah
menunjukkan
bahwa
ketimpangan
antar
59
kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Papua dari tahun 2001 – 2007 semakin lebar. Kecenderungan ketimpangan dapat dilihat pada Gambar 3.1. 3 Tambang 2,5
IW
2 1,5 1
Eliminasi Tambang
0,5 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 3.1. : Indeks Williamson Provinsi Papua Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan dan Eliminasi Sub Sektor Pertambangan
Tingginya nilai indeks ketimpangan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua, menunjukkan bahwa rata – rata tingkat produk domestik regional bruto per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua mengalami ketimpangan yang cukup melebar. Keadaan ini juga menunjukkan perbedaan antara suatu daerah dengan daerah lain cukup besar. Salah satu hal yang menjadi pemicu adalah kondisi kabupaten/kota di Provinsi Papua cukup berbeda. Ada yang merupakan daerah pengahasil bahan tambang, namun juga ada daerah pertanian yang tidak mempunyai sektor unggulan untuk dikembangkan. Akibatnya ketimpangan yang terjadi jauh lebih besar. Tingginya tingkat ketimpangan produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita antarkabupaten/kota, tidak berarti secara otomatis menerangkan bahwa
60
tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua ada yang baik dan ada yang sangat buruk dibandingkan daerah lain. Pembahasan diatas telah menghasilkan identifikasi sektor-sektor basis di Provinsi Papua dan menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi dari tahun 2001 – 2007 yaitu pada masa otonomi daerah dilaksanakan. Sesuai tujuan penulisan, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan atau bahan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat otonomi daerah. Hasil identifikasi sektor-sektor basis dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan analisis lebih lanjut. Analisis dalam bentuk time series / trend akan dapat melihat perkembangan nilai LQ pada suatu sektor tertentu pada waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Apabila naik maka bisa dilihat faktor-faktor apa saja yang membuat daerah tersebut tumbuh lebih cepat dari rata-rata nasional. Demikian pula apabila turun, perlu dikaji faktorfaktor yang membuat daerah tersebut tumbuh lebih lambat dari rata-rata nasional. Dengan demikia hal ini bisa membantu pemerintah daerah melihat kekuatan atau kelemahan wilayahnya dibandingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi-potensi yang positif digunakan dalam strategi pengembangan wilayah. Adapun faktor-faktor yang membuat potensi sektor di suatu wilayah lemah perlu dipikirkan apakah perlu ditanggulangi atau dianggap tidak prioritas. Hasil analisis ketimpangan antar wilayah dapat digunakan sebagai bahan masukan pemerintah daerah dan rekomendasi kebijakan serta upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Beberapa upaya yang
61
dapat dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain yaitu dengan memperlancar proses perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah, melalui transmigrasi atau pemindahan tenaga kerja dari daerah maju ke daerah kurang maju, melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan sehingga akan dapat menguragi ketimpangan karena adanya konsentrasi, serta melalui pelaksanaan otonomi daerah yang tegas, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1) Proses identifikasi sektor basis di Provinsi Papua tanpa mengeliminir peranan sub sektor pertambangan menghasilkan sektor pertanian dan sektor pertambangan sebagai sektor basis. Proses identifikasi sektor basis di Provinsi Papua dengan mengeliminir peranan sub sektor pertambangan menghasilkan sektor-sektor basis : sektor pertanian, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. 2) Ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua tergolong ketimpangan sangat tinggi (Indeks Williamson > 1) apabila tidak mengeliminir sub sektor pertambangan dalam analisis. Apabila sub sektor pertambangan dieliminir dari analisis untuk mendapatkan tingkat ketimpangan wilayah, maka akan ditemui tingkat ketimpangan antar wilayah kategori menengah (Indeks Williamson 0,4 – 0,69).
6.2. Saran 1) Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis sektor basis pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Papua dengan menguraikan sampai per sub sektor. Selain itu sebagai tindak lanjut dari analisis LQ, maka Pemerintah Provinsi Papua perlu memperhatikan pengembangan sektor-sektor yang potensial melalui alokasi
63
pembiayaan
pembangunan,
sehingga
diharapkan
dapat meningkatkan
pertumbuhan per sektor tersebut maupun nilai PDRB secara keseluruhan baik PDRB Provinsi Papua maupun PDRB Kabupaten/Kota. 2) Untuk mengatasi ketimpangan sektoral maupun ketimpangan antar wilayah maka
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Papua
dan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota perlu mengembangkan sektor lain sebagai sektor basis untuk menggantikan sektor pertambangan dan penggalian, karena hasil tambang tersebut lama-lama akan habis. Dalam hal ini pemerintah daerah harus berani mengambil terobosan dalam hal peraturan daerah yang mendukung dan mendorong tumbuhnya sektor-sektor basis.
64
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu. Yogyakarta. Aser, F. 2005. “Tujuan Otonomi Daerah Dalam UU No. 32 Tahun 2004”. Jurnal Otonomi Daerah. 1 : 45-48. Azulaidin. 2003. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Wilayah Pembangunan di Sumatera Utara. [Tesis]. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Badan Pusat Statistik. Pendapatan Nasional Indonesia 2000 – 2007. Jakarta: BPS. . Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua 2000 – 2007. Jakarta: BPS. . Papua dalam Angka 2007. Jayapura: BPS Provinsi Papua. Bank Indonesia. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Maluku Utara. 2005. Ternate: Bank Indonesia Direktorat Kewilayahan 1. Meninjau Konsep Kesenjangan Kesejahteraan Pola Kesenjangan Antar Daerah. 2007. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Handewi, P.S.R. 2003. Dasar Penetapan Komoditas Unggulan Nasional di Tingkat Provinsi. Makalah Lokakarya Sinkronisasi Program Penelitian dan Pengkajian Petknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hendayana, R. 2000. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian. Volume 12 : Desember 2003. Kristiyanti, L. 2007. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor. Nugroho, T. 2004. Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat (Studi Kasus di Kabupaten Karawang, Subang, Garut dan Ciamis) [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor.
65
Putra, A. 2004. Analisis Pertumbuhan sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan pada Masa Otonomi Daerah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor. Rahman, A.M. 2003. Analisis Peranan Basis Sektor Pertanian dalam Pembangunan Wilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Kuningan Jawa Barat) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Bogor. Ramadhanny, S. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Kabupaten Lahat pada Masa Otonomi Daerah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor. Sadau, A. 2002. Identifikasi Sektor Ekonomi dan Prospek Pembangunan daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Kapuas Hulu 1995-1999 [Tesis]. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Sjafrizal, Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi, Baduose Media, 2008. Padang. Tarigan, R. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi Edisi Revisi, Bumi Aksara, 2007. Jakarta Wijaya, A. 1996. Pilihan Pembangunan Industri : Kasus DKI Jakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan, No IV (2).
(1)
567.076,29 607.725,29
d. Kehutanan
e. Perikanan
0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya
4. Kertas dan Barang Cetakan
0,00
0,00
0,00
0,00
452.374,53
0,00 407.572,24
0,00
0,00
452.374,53
74.823,05
14.496.418,32
0,00
14.571.241,37
731.061,16
655.431,07
186.660,64
120.631,72
1.603.468,14
(3) 3.297.252,72
2002
0,00
0,00
407.572,24
63.046,69
14.812.498,13
0,00
1. Makanan, Minuman dan Tembakau
b. Industri Tanpa Migas **)
2. Gas Alam Cair
1. Pengilangan Minyak Bumi
a. Industri Migas
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
c. Penggalian
b. Pertambangan tanpa Migas
a. Minyak dan Gas Bumi
14.875.544,82
160.586,81
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
102.167,37
1.364.747,01
(2) 2.802.302,77
2001
0,00
0,00
0,00
0,00
537.853,28
0,00
0,00
0,00
537.853,28
86.506,80
14.605.510,53
0,00
14.692.017,33
863.041,22
717.907,81
206.924,92
137.418,21
1.742.670,77
(4) 3.667.962,93
2003
0,00
0,00
0,00
0,00
623.152,97
0,00
0,00
0,00
623.152,97
98.660,30
14.193.311,19
0,00
14.291.971,49
1.003.695,56
778.073,01
221.039,94
167.956,86
1.743.003,63
(5) 3.913.769,00
2004
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
b. Tanaman Perkebunan
a. Tanaman Bahan Makanan
1. PERTANIAN
LAPANGAN USAHA
Lampiran 1.
0,00
0,00
0,00
0,00
707.230,89
0,00
0,00
0,00
707.230,89
114.744,12
31.133.946,55
0,00
31.248.690,67
1.208.666,15
817.918,50
247.658,37
200.703,30
2.064.729,12
(6) 4.539.675,43
2005
0,00
0,00
0,00
0,00
836.832,41
0,00
0,00
0,00
836.832,41
138.195,86
32.107.527,47
0,00
32.245.723,33
1.415.646,74
899.228,09
284.579,29
227.945,01
2.317.305,77
(7) 5.144.704,90
2006
0,00
0,00
0,00
0,00
896.875,17
0,00
0,00
0,00
896.875,17
172.619,88
37.883.827,31
0,00
38.056.447,19
1.474.918,44
898.662,91
321.688,48
260.856,78
2.573.723,83
(8) 5.529.850,44
2007
66
0,00 0,00 0,00
7. Logam Dasar Besi & Baja
8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya
9. Barang lainnya
816.037,62
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
6. Jasa Penunjang Angkutan
2. Jasa Penunjang Komunikasi
1. Pos dan Telekomunikasi
b. Komunikasi
0,00
145.619,11
145.619,11
29.244,92
117.869,57
17.445,30
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
5. Angkutan Udara
90.147,26
3. Angkutan Laut
164.392,02
0,00
1. Angkutan Rel
2. Angkutan Jalan Raya
419.099,06
a. Pengangkutan
564.718,17
45.489,33
c. Restoran
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
43.155,44
b. Hotel
727.392,85
724.742,27
5. BANGUNAN
a. Perdagangan Besar & Eceran
10.144,73
0,00
19.352,24
c. Air Bersih
b. Gas
a. Listrik
29.496,97
0,00
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
0,00
6. Semen & Brg. Galian bukan logam
(2)
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet
(1)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
179.771,66
179.771,66
34.954,59
142.749,43
19.345,27
110.655,44
192.066,29
0,00
499.771,03
679.542,68
55.596,75
50.504,17
894.107,04
1.000.207,95
842.418,82
11.236,85
0,00
32.137,90
43.374,75
(3)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
348.896,06
348.896,06
40.844,88
177.454,92
21.108,23
124.266,85
213.533,19
0,00
577.208,07
926.104,13
68.263,35
58.495,19
1.097.727,67
1.224.486,21
989.439,28
12.006,18
0,00
45.309,12
57.315,30
(4)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
515.816,58
515.816,58
48.330,35
210.756,68
23.722,76
143.223,90
231.222,66
0,00
657.256,35
1.173.072,93
80.833,03
69.278,36
1.339.434,60
1.489.545,99
1.248.208,04
12.617,23
0,00
52.733,85
65.351,08
(5)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
710.572,37
710.572,37
58.999,18
254.369,85
26.125,01
165.178,25
286.294,30
0,00
790.966,59
1.501.538,96
93.534,95
83.194,70
1.575.204,88
1.751.934,53
1.537.839,01
13.528,13
0,00
58.951,70
72.479,83
(6)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
888.355,70
888.355,70
67.170,54
288.659,02
29.206,08
184.043,54
363.667,42
0,00
932.746,60
1.821.102,30
105.367,51
102.009,39
1.876.201,81
2.083.578,72
1.929.556,28
14.970,15
0,00
65.775,21
80.745,37
(7)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1.153.498,78
1.153.498,78
77.480,56
335.816,63
33.395,40
204.496,83
439.397,33
0,00
1.090.586,76
2.244.085,54
124.107,61
125.978,61
2.209.913,35
2.459.999,57
2.579.329,33
16.345,74
0,00
72.931,35
89.277,09
(8)
67
25.075,16
3. Perorangan & Rumahtangga 21.590.317,72
28.774,83
2. Hiburan & Rekreasi
PDRB PAPUA
50.538,02
104.388,01
0,00
1.074.394,90
1.074.394,90
1. Sosial Kemasyarakatan
b. Swasta
2. Jasa Pemerintah lainnya
1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan
a. Pemerintahan Umum
1.178.782,91
14.387,48
e. Jasa Perusahaan
9. JASA-JASA
80.240,51
0,00
22.548.296,24
28.767,69
32.897,39
58.791,20
120.456,27
0,00
1.325.547,04
1.325.547,04
1.446.003,31
16.241,27
88.121,19
0,00
32.525,64
78.992,00
69.115,01 27.376,94
215.880,10
(3)
191.119,94
(2)
d. Sewa Bangunan
c. Jasa Penunjang Keuangan
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
(1) 8. KEUANGAN, PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank
23.890.084,29
32.445,35
38.126,63
65.780,27
136.352,26
0,00
1.416.933,54
1.416.933,54
1.553.285,79
18.144,18
98.507,00
0,00
37.720,07
87.248,79
241.620,04
(4)
24.842.903,74
36.652,95
45.636,99
73.793,75
156.083,70
0,00
1.570.348,01
1.570.348,01
1.726.431,71
20.718,76
115.156,97
0,00
44.322,54
131.202,24
311.400,52
(5)
43.615.319,21
41.683,34
55.154,47
83.720,00
180.557,81
0,00
1.715.179,72
1.715.179,72
1.895.737,53
22.687,12
136.969,12
0,00
51.912,13
148.624,00
360.192,37
(6)
46.892.056,58
46.935,21
65.786,51
92.340,71
205.062,43
0,00
2.038.700,31
2.038.700,31
2.243.762,74
25.707,24
159.745,71
0,00
61.204,58
259.393,00
506.050,53
(7)
55.365.777,53
54.045,71
79.316,95
104.858,72
238.221,37
0,00
2.451.514,62
2.451.514,62
2.689.735,99
30.001,35
190.718,81
0,00
74.004,06
525.453,00
820.177,22
(8)
68
(1)
567.076,29 607.725,29
d. Kehutanan
e. Perikanan
0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya
4. Kertas dan Barang Cetakan
0,00
0,00
0,00
0,00
452.374,53
0,00 407.572,24
0,00
0,00
452.374,53
74.823,05
0,00
0,00
74.823,05
731.061,16
655.431,07
186.660,64
120.631,72
1.603.468,14
(3) 3.297.252,72
2002
0,00
0,00
407.572,24
1. Makanan, Minuman dan Tembakau
b. Industri Tanpa Migas **)
2. Gas Alam Cair
1. Pengilangan Minyak Bumi
a. Industri Migas
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
63.046,69
0,00
b. Pertambangan tanpa Migas
c. Penggalian
0,00
a. Minyak dan Gas Bumi
63.046,69
160.586,81
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
102.167,37
1.364.747,01
(2) 2.802.302,77
2001
0,00
0,00
0,00
0,00
537.853,28
0,00
0,00
0,00
537.853,28
86.506,80
0,00
0,00
86.506,80
863.041,22
717.907,81
206.924,92
137.418,21
1.742.670,77
(4) 3.667.962,93
2003
0,00
0,00
0,00
0,00
623.152,97
0,00
0,00
0,00
623.152,97
98.660,30
0,00
0,00
98.660,30
1.003.695,56
778.073,01
221.039,94
167.956,86
1.743.003,63
(5) 3.913.769,00
2004
2005
0,00
0,00
0,00
0,00
707.230,89
0,00
0,00
0,00
707.230,89
114.744,12
0,00
0,00
114.744,12
1.208.666,15
817.918,50
247.658,37
200.703,30
2.064.729,12
(6) 4.539.675,43
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
b. Tanaman Perkebunan
a. Tanaman Bahan Makanan
1. PERTANIAN
LAPANGAN USAHA
Lampiran 2.
0,00
0,00
0,00
0,00
836.832,41
0,00
0,00
0,00
836.832,41
138.195,86
0,00
0,00
138.195,86
1.415.646,74
899.228,09
284.579,29
227.945,01
2.317.305,77
(7) 5.144.704,90
2006
0,00
0,00
0,00
0,00
896.875,17
0,00
0,00
0,00
896.875,17
172.619,88
0,00
0,00
172.619,88
1.474.918,44
898.662,91
321.688,48
260.856,78
2.573.723,83
(8) 5.529.850,44
2007
69
0,00 0,00 0,00
7. Logam Dasar Besi & Baja
8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya
9. Barang lainnya
816.037,62
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
6. Jasa Penunjang Angkutan
2. Jasa Penunjang Komunikasi
1. Pos dan Telekomunikasi
b. Komunikasi
0,00
145.619,11
145.619,11
29.244,92
117.869,57
17.445,30
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
5. Angkutan Udara
90.147,26
3. Angkutan Laut
164.392,02
0,00
1. Angkutan Rel
2. Angkutan Jalan Raya
419.099,06
a. Pengangkutan
564.718,17
45.489,33
c. Restoran
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
43.155,44
b. Hotel
727.392,85
724.742,27
5. BANGUNAN
a. Perdagangan Besar & Eceran
10.144,73
0,00
19.352,24
c. Air Bersih
b. Gas
a. Listrik
29.496,97
0,00
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
0,00
6. Semen & Brg. Galian bukan logam
(2)
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet
(1)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
179.771,66
179.771,66
34.954,59
142.749,43
19.345,27
110.655,44
192.066,29
0,00
499.771,03
679.542,68
55.596,75
50.504,17
894.107,04
1.000.207,95
842.418,82
11.236,85
0,00
32.137,90
43.374,75
(3)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
348.896,06
348.896,06
40.844,88
177.454,92
21.108,23
124.266,85
213.533,19
0,00
577.208,07
926.104,13
68.263,35
58.495,19
1.097.727,67
1.224.486,21
989.439,28
12.006,18
0,00
45.309,12
57.315,30
(4)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
515.816,58
515.816,58
48.330,35
210.756,68
23.722,76
143.223,90
231.222,66
0,00
657.256,35
1.173.072,93
80.833,03
69.278,36
1.339.434,60
1.489.545,99
1.248.208,04
12.617,23
0,00
52.733,85
65.351,08
(5)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
710.572,37
710.572,37
58.999,18
254.369,85
26.125,01
165.178,25
286.294,30
0,00
790.966,59
1.501.538,96
93.534,95
83.194,70
1.575.204,88
1.751.934,53
1.537.839,01
13.528,13
0,00
58.951,70
72.479,83
(6)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
888.355,70
888.355,70
67.170,54
288.659,02
29.206,08
184.043,54
363.667,42
0,00
932.746,60
1.821.102,30
105.367,51
102.009,39
1.876.201,81
2.083.578,72
1.929.556,28
14.970,15
0,00
65.775,21
80.745,37
(7)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1.153.498,78
1.153.498,78
77.480,56
335.816,63
33.395,40
204.496,83
439.397,33
0,00
1.090.586,76
2.244.085,54
124.107,61
125.978,61
2.209.913,35
2.459.999,57
2.579.329,33
16.345,74
0,00
72.931,35
89.277,09
(8)
70
25.075,16
3. Perorangan & Rumahtangga 6.777.819,59
28.774,83
2. Hiburan & Rekreasi
PDRB PAPUA
50.538,02
104.388,01
0,00
1.074.394,90
1.074.394,90
1. Sosial Kemasyarakatan
b. Swasta
2. Jasa Pemerintah lainnya
1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan
a. Pemerintahan Umum
1.178.782,91
14.387,48
e. Jasa Perusahaan
9. JASA-JASA
80.240,51
0,00
8.051.877,92
28.767,69
32.897,39
58.791,20
120.456,27
0,00
1.325.547,04
1.325.547,04
1.446.003,31
16.241,27
88.121,19
0,00
32.525,64
78.992,00
69.115,01 27.376,94
215.880,10
(3)
191.119,94
(2)
d. Sewa Bangunan
c. Jasa Penunjang Keuangan
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
(1) 8. KEUANGAN, PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank
9.284.573,75
32.445,35
38.126,63
65.780,27
136.352,26
0,00
1.416.933,54
1.416.933,54
1.553.285,79
18.144,18
98.507,00
0,00
37.720,07
87.248,79
241.620,04
(4)
10.649.592,55
36.652,95
45.636,99
73.793,75
156.083,70
0,00
1.570.348,01
1.570.348,01
1.726.431,71
20.718,76
115.156,97
0,00
44.322,54
131.202,24
311.400,52
(5)
12.481.372,66
41.683,34
55.154,47
83.720,00
180.557,81
0,00
1.715.179,72
1.715.179,72
1.895.737,53
22.687,12
136.969,12
0,00
51.912,13
148.624,00
360.192,37
(6)
14.784.529,11
46.935,21
65.786,51
92.340,71
205.062,43
0,00
2.038.700,31
2.038.700,31
2.243.762,74
25.707,24
159.745,71
0,00
61.204,58
259.393,00
506.050,53
(7)
17.481.950,22
54.045,71
79.316,95
104.858,72
238.221,37
0,00
2.451.514,62
2.451.514,62
2.689.735,99
30.001,35
190.718,81
0,00
74.004,06
525.453,00
820.177,22
(8)
71
(1)
515.430,08
e. Perikanan
0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya
4. Kertas dan Barang Cetakan
0,00
0,00
0,00
0,00
380.136,04
0,00 357.757,16
0,00
0,00
380.136,04
59.209,75
13.831.543,50
0,00
13.890.753,25
570.641,96
521.194,37
150.184,41
90.990,30
1.292.315,36
(3) 2.625.326,41
2002
0,00
0,00
357.757,16
54.202,41
12.495.766,83
0,00
1. Makanan, Minuman dan Tembakau
b. Industri Tanpa Migas **)
2. Gas Alam Cair
1. Pengilangan Minyak Bumi
a. Industri Migas
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
c. Penggalian
b. Pertambangan tanpa Migas
a. Minyak dan Gas Bumi
12.549.969,25
476.835,57
d. Kehutanan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
142.744,27
85.413,98
1.181.295,63
(2) 2.401.719,53
2001
0,00
0,00
0,00
0,00
399.040,76
0,00
0,00
0,00
399.040,76
64.290,25
14.354.273,11
0,00
14.418.563,36
639.270,22
531.891,16
160.431,72
101.004,07
1.372.240,10
(4) 2.804.837,26
2003
0,00
0,00
0,00
0,00
422.466,96
0,00
0,00
0,00
422.466,96
68.459,62
13.849.214,47
0,00
13.917.674,09
704.731,18
521.337,63
167.884,23
106.008,27
1.439.934,07
(5) 2.939.895,38
2004
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
b. Tanaman Perkebunan
a. Tanaman Bahan Makanan
1. PERTANIAN
LAPANGAN USAHA
Lampiran 3.
0,00
0,00
0,00
0,00
436.044,92
0,00
0,00
0,00
436.044,92
73.639,74
8.798.123,77
0,00
8.871.763,51
763.654,25
499.344,91
173.211,66
113.472,53
1.372.107,13
(6) 2.921.790,49
2005
0,00
0,00
0,00
0,00
451.906,85
0,00
0,00
0,00
451.906,85
80.604,80
14.268.497,49
0,00
14.349.102,29
827.541,43
492.668,26
181.945,23
122.105,41
1.438.472,82
(7) 3.062.733,16
2006
0,00
0,00
0,00
0,00
482.571,65
0,00
0,00
0,00
482.571,65
90.477,45
9.756.186,07
0,00
9.846.663,52
886.649,89
502.737,25
193.456,68
127.399,11
1.510.570,99
(8) 3.220.813,92
2007
72
0,00 0,00 0,00
7. Logam Dasar Besi & Baja
8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya
9. Barang lainnya
0,00
90.930,64 25.378,16
5. Angkutan Udara
6. Jasa Penunjang Angkutan
2. Jasa Penunjang Komunikasi
1. Pos dan Telekomunikasi 0,00
125.677,34
125.677,34
15.887,14
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
b. Komunikasi
74.116,50
3. Angkutan Laut
131.823,15
0,00
1. Angkutan Rel
2. Angkutan Jalan Raya
338.135,59
a. Pengangkutan
463.812,93
39.053,30
c. Restoran
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
37.467,28
b. Hotel
604.234,82
680.755,40
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
0,00
138.481,41
138.481,41
27.208,83
102.166,85
16.020,44
81.781,00
141.103,45
0,00
368.280,56
506.761,97
42.310,92
40.756,65
647.500,81
730.568,37
671.741,84
9.231,30
0,00 8.876,73
19.352,24
640.669,59
a. Perdagangan Besar & Eceran
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
28.583,54
(3)
18.438,84
5. BANGUNAN
c. Air Bersih
b. Gas
a. Listrik
27.315,58
0,00
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
0,00
6. Semen & Brg. Galian bukan logam
(2)
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet
(1)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
169.773,39
169.773,39
29.936,40
111.899,85
16.695,09
91.056,06
154.956,84
0,00
404.544,24
574.317,64
46.663,37
44.641,14
710.617,03
801.921,54
741.929,96
10.003,64
0,00
20.275,48
30.279,12
(4)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
242.698,92
242.698,92
32.128,26
130.389,84
17.365,94
97.844,30
166.937,50
0,00
444.665,82
687.364,74
50.898,04
47.997,73
774.172,18
873.067,94
798.646,66
10.622,54
0,00
22.497,37
33.119,91
(5)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
294.558,91
294.558,91
35.582,80
149.386,20
18.159,42
107.434,52
178.281,62
0,00
488.844,57
783.403,48
55.846,17
51.599,42
836.004,44
943.450,02
869.350,13
11.088,39
0,00
24.487,16
35.575,55
(6)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
344.889,97
344.889,97
41.099,26
176.219,49
19.095,03
118.297,82
191.433,03
0,00
546.144,63
891.034,60
60.129,41
56.275,63
904.403,63
1.020.808,67
934.882,96
11.445,48
0,00
26.980,93
38.426,40
(7)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
414.209,77
414.209,77
45.077,16
195.032,48
20.420,95
129.840,00
209.030,38
0,00
599.400,98
1.013.610,76
65.159,95
61.932,93
992.003,71
1.119.096,59
1.036.367,17
12.075,38
0,00
29.709,23
41.784,61
(8)
73
22.313,44
3. Perorangan & Rumahtangga 18.409.760,84
23.695,05
2. Hiburan & Rekreasi
PDRB PAPUA
41.394,79
87.403,28
0,00
849.160,49
849.160,49
1. Sosial Kemasyarakatan
b. Swasta
2. Jasa Pemerintah lainnya
1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan
a. Pemerintahan Umum
936.563,77
13.513,55
e. Jasa Perusahaan
9. JASA-JASA
71.809,10
0,00
20.046.524,06
23.605,25
26.891,57
44.380,40
94.877,22
0,00
940.916,59
940.916,59
1.035.793,82
14.121,04
75.377,91
0,00
25.610,14
61.749,73
242.181,00 23.694,00
176.858,81
(3)
351.197,65
(2)
d. Sewa Bangunan
c. Jasa Penunjang Keuangan
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
(1) 8. KEUANGAN, PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank
21.078.933,76
24.922,60
28.647,05
46.943,18
100.512,84
0,00
1.025.517,20
1.025.517,20
1.126.030,04
15.133,55
78.937,15
0,00
27.106,80
60.836,59
182.014,09
(4)
21.019.419,67
26.290,91
30.880,29
49.837,28
107.008,48
0,00
1.049.047,04
1.049.047,04
1.156.055,51
16.135,78
83.375,91
0,00
28.807,88
62.808,90
191.128,47
(5)
16.282.967,57
27.776,46
33.459,47
52.463,74
113.699,66
0,00
1.084.218,64
1.084.218,64
1.197.918,30
17.410,46
90.019,41
0,00
30.697,37
85.543,94
223.671,17
(6)
22.209.192,69
29.722,84
36.458,20
55.481,77
121.662,81
0,00
1.097.839,00
1.097.839,00
1.219.501,81
18.642,39
97.303,09
0,00
32.906,86
91.943,60
240.795,95
(7)
18.388.879,26
32.053,30
39.600,56
59.205,42
130.859,28
0,00
1.195.517,02
1.195.517,02
1.326.376,30
20.257,43
106.124,35
0,00
35.786,64
139.426,32
301.594,73
(8)
74
(1)
570.641,96
e. Perikanan
0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya
4. Kertas dan Barang Cetakan
0,00
0,00
0,00
0,00
399.040,76
0,00 380.136,04
0,00
0,00
399.040,76
64.290,25
14.354.273,11
0,00
64.290,25
639.270,22
531.891,16
160.431,72
101.004,07
1.372.240,10
(3) 2.804.837,26
2002
0,00
0,00
380.136,04
59.209,75
13.831.543,50
0,00
1. Makanan, Minuman dan Tembakau
b. Industri Tanpa Migas **)
2. Gas Alam Cair
1. Pengilangan Minyak Bumi
a. Industri Migas
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
c. Penggalian
b. Pertambangan tanpa Migas
a. Minyak dan Gas Bumi
59.209,75
521.194,37
d. Kehutanan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
150.184,41
90.990,30
1.292.315,36
(2) 2.625.326,41
2001
0,00
0,00
0,00
0,00
422.466,96
0,00
0,00
0,00
422.466,96
68.459,62
13.849.214,47
0,00
68.459,62
704.731,18
521.337,63
167.884,23
106.008,27
1.439.934,07
(4) 2.939.895,38
2003
0,00
0,00
0,00
0,00
436.044,92
0,00
0,00
0,00
436.044,92
73.639,74
8.798.123,77
0,00
73.639,74
763.654,25
499.344,91
173.211,66
113.472,53
1.372.107,13
(5) 2.921.790,49
2004
2005
0,00
0,00
0,00
0,00
451.906,85
0,00
0,00
0,00
451.906,85
80.604,80
14.268.497,49
0,00
80.604,80
827.541,43
492.668,26
181.945,23
122.105,41
1.438.472,82
(6) 3.062.733,16
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
b. Tanaman Perkebunan
a. Tanaman Bahan Makanan
1. PERTANIAN
LAPANGAN USAHA
Lampiran 4.
0,00
0,00
0,00
0,00
482.571,65
0,00
0,00
0,00
482.571,65
90.477,45
9.756.186,07
0,00
90.477,45
886.649,89
502.737,25
193.456,68
127.399,11
1.510.570,99
(7) 3.220.813,92
2006
0,00
0,00
0,00
0,00
476.966,42
0,00
0,00
0,00
476.966,42
107.238,75
9.795.791,57
0,00
107.238,75
840.864,72
473.587,96
205.397,97
135.101,41
1.584.690,62
(8) 3.239.642,68
2007
75
0,00 0,00 0,00
7. Logam Dasar Besi & Baja
8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya
9. Barang lainnya
6. Jasa Penunjang Angkutan
2. Jasa Penunjang Komunikasi
1. Pos dan Telekomunikasi
b. Komunikasi
0,00
138.481,41
138.481,41
27.208,83
102.166,85
16.020,44
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
5. Angkutan Udara
81.781,00
3. Angkutan Laut
141.103,45
0,00
1. Angkutan Rel
2. Angkutan Jalan Raya
368.280,56
a. Pengangkutan
506.761,97
42.310,92
c. Restoran
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
40.756,65
b. Hotel
647.500,81
730.568,37
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
a. Perdagangan Besar & Eceran
671.741,84
9.231,30
0,00
19.352,24
5. BANGUNAN
c. Air Bersih
b. Gas
a. Listrik
28.583,54
0,00
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
0,00
6. Semen & Brg. Galian bukan logam
(2)
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet
(1)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
169.773,39
169.773,39
29.936,40
111.899,85
16.695,09
91.056,06
154.956,84
0,00
404.544,24
574.317,64
46.663,37
44.641,14
710.617,03
801.921,54
741.929,96
10.003,64
0,00
20.275,48
30.279,12
(3)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
242.698,92
242.698,92
32.128,26
130.389,84
17.365,94
97.844,30
166.937,50
0,00
444.665,82
687.364,74
50.898,04
47.997,73
774.172,18
873.067,94
798.646,66
10.622,54
0,00
22.497,37
33.119,91
(4)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
294.558,91
294.558,91
35.582,80
149.386,20
18.159,42
107.434,52
178.281,62
0,00
488.844,57
783.403,48
55.846,17
51.599,42
836.004,44
943.450,02
869.350,13
11.088,39
0,00
24.487,16
35.575,55
(5)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
344.889,97
344.889,97
41.099,26
176.219,49
19.095,03
118.297,82
191.433,03
0,00
546.144,63
891.034,60
60.129,41
56.275,63
904.403,63
1.020.808,67
934.882,96
11.445,48
0,00
26.980,93
38.426,40
(6)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
414.209,77
414.209,77
45.077,16
195.032,48
20.420,95
129.840,00
209.030,38
0,00
599.400,98
1.013.610,76
65.159,95
61.932,93
992.003,71
1.119.096,59
1.036.367,17
12.075,38
0,00
29.709,23
41.784,61
(7)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
513.410,22
513.410,22
49.525,55
216.420,08
22.224,95
140.965,55
227.981,63
0,00
657.117,75
1.170.527,97
71.513,22
68.675,51
1.087.337,62
1.227.526,36
1.216.806,85
12.622,76
0,00
31.661,32
44.284,08
(8)
76
23.605,25
3. Perorangan & Rumahtangga 20.046.524,06
26.891,57
2. Hiburan & Rekreasi
PDRB PAPUA
44.380,40
94.877,22
0,00
940.916,59
940.916,59
1. Sosial Kemasyarakatan
b. Swasta
2. Jasa Pemerintah lainnya
1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan
a. Pemerintahan Umum
1.035.793,82
14.121,04
e. Jasa Perusahaan
9. JASA-JASA
75.377,91
0,00
21.078.933,76
24.922,60
28.647,05
46.943,18
100.512,84
0,00
1.025.517,20
1.025.517,20
1.126.030,04
15.133,55
78.937,15
0,00
27.106,80
60.836,59
61.749,73 25.610,14
182.014,09
(3)
176.858,81
(2)
d. Sewa Bangunan
c. Jasa Penunjang Keuangan
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
(1) 8. KEUANGAN, PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank
21.019.419,67
26.290,91
30.880,29
49.837,28
107.008,48
0,00
1.049.047,04
1.049.047,04
1.156.055,51
16.135,78
83.375,91
0,00
28.807,88
62.808,90
191.128,47
(4)
16.282.967,57
27.776,46
33.459,47
52.463,74
113.699,66
0,00
1.084.218,64
1.084.218,64
1.197.918,30
17.410,46
90.019,41
0,00
30.697,37
85.543,94
223.671,17
(5)
22.209.192,69
29.722,84
36.458,20
55.481,77
121.662,81
0,00
1.097.839,00
1.097.839,00
1.219.501,81
18.642,39
97.303,09
0,00
32.906,86
91.943,60
240.795,95
(6)
18.388.879,26
32.053,30
39.600,56
59.205,42
130.859,28
0,00
1.195.517,02
1.195.517,02
1.326.376,30
20.257,43
106.124,35
0,00
35.786,64
139.426,32
301.594,73
(7)
19.176.080,16
35.248,41
43.849,60
65.055,15
144.153,16
0,00
1.309.312,21
1.309.312,21
1.453.465,37
22.674,71
117.397,22
0,00
39.616,00
264.142,19
443.830,11
(8)
77
683.688
261.830
491.309
225.462
192.171
Nabire
Yapen Waropen
Biak
Paniai
Puncak Jaya
126.216
105.711
Mappi
Asmat
96.360
161.175
166.571
83.026
57.091
21.613.322
Sarmi
Keerom
Waropen
Supiori
Papua
104.913
Tolikara
Pegunungan Bintang
78.988
251.274
Boven Digoel
Yahukimo
1.330.201
Kota Jayapura
15.346.952
461.979
Jayapura
Mimika
531.268
(2) 857.138
2001
Jayawijaya
Merauke
(1)
Kab/Kota
Lampiran 5.
22.560.448
70.397
95.274
203.500
205.049
107.900
114.172
86.469
120.861
144.995
281.695
1.592.737
15.126.317
230.226
270.846
589.909
307.435
807.729
545.974
620.925
(3) 1.038.039
2002
23.845.617
80.576
110.593
236.150
242.528
121.164
128.913
97.649
133.141
158.459
340.447
1.875.704
15.328.855
273.733
313.147
654.425
320.952
920.862
626.282
685.799
(4) 1.196.237
2003
24.856.611
91.267
126.958
271.122
295.117
140.804
146.609
114.261
144.629
172.969
416.212
2.234.691
15.044.371
328.056
363.953
728.103
350.279
1.026.310
726.975
733.328
(5) 1.400.595
2004
43.566.430
101.430
144.935
312.739
345.564
158.880
164.521
128.374
183.195
214.505
513.291
2.637.997
32.131.048
392.720
424.633
825.582
396.010
1.155.609
845.831
781.337
(6) 1.708.226
2005
48.032.829
118.757
166.569
415.973
411.932
184.822
193.324
144.434
269.336
316.215
713.709
3.249.799
34.221.039
465.199
497.064
940.355
444.337
1.299.035
996.483
852.766
(7) 2.131.681
2006
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
55.440.420
143.639
192.351
497.099
485.947
213.135
234.015
166.338
356.526
397.704
873.058
4.011.304
39.246.032
548.243
587.276
1.078.021
507.162
1.477.045
1.152.988
989.694
(8) 2.282.842
2007
34.273.668
94.737
131.387
300.451
306.759
146.152
155.210
116.645
187.628
218.723
484.241
2.418.919
23.777.802
347.193
383.197
758.243
369.715
1.052.897
765.216
742.160
(9) 1.516.394
Rata-rata
78
78.988
96.360
161.175
166.571
83.026
57.091
6.686.758
Sarmi
Keerom
Waropen
Supiori
Papua
104.913
Tolikara
Pegunungan Bintang
Yahukimo
105.711
534.454
Mimika
126.216
192.171
Puncak Jaya
Asmat
225.462
Paniai
Mappi
491.309
Biak
251.274
261.830
Yapen Waropen
1.330.201
569.622
Nabire
Boven Digoel
461.979
Jayapura
Kota Jayapura
531.268
(2) 857.138
2001
Jayawijaya
Merauke
(1)
Kab/Kota
Lampiran 6.
7.935.693
70.397
95.274
203.500
205.049
107.900
114.172
86.469
120.861
144.995
281.695
1.592.737
629.899
230.226
270.846
589.909
307.435
679.393
545.974
620.925
(3) 1.038.039
2002
9.105.671
80.576
110.593
236.150
242.528
121.164
128.913
97.649
133.141
158.459
340.447
1.875.704
723.344
273.733
313.147
654.425
320.952
786.427
626.282
685.799
(4) 1.196.237
2003
10.525.302
91.267
126.958
271.122
295.117
140.804
146.609
114.261
144.629
172.969
416.212
2.234.691
851.059
328.056
363.953
728.103
350.279
888.313
726.975
733.328
(5) 1.400.595
2004
12.289.149
101.430
144.935
312.739
345.564
158.880
164.521
128.374
183.195
214.505
513.291
2.637.997
997.102
392.720
424.633
825.582
396.010
1.012.275
845.831
781.337
(6) 1.708.226
2005
14.834.798
118.757
166.569
415.973
411.932
184.822
193.324
144.434
269.336
316.215
713.709
3.249.799
1.173.092
465.199
497.064
940.355
444.337
1.148.950
996.483
852.766
(7) 2.131.681
2006
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Papua Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
17.452.446
143.639
192.351
497.099
485.947
213.135
234.015
166.338
356.526
397.704
873.058
4.011.304
1.417.751
548.243
587.276
1.078.021
507.162
1.317.351
1.152.988
989.694
(8) 2.282.842
2007
11.261.402
94.737
131.387
300.451
306.759
146.152
155.210
116.645
187.628
218.723
484.241
2.418.919
903.815
347.193
383.197
758.243
369.715
914.619
765.216
742.160
(9) 1.516.394
Rata-rata
79
623.446
246.359
454.940
201.062
172.605
Nabire
Yapen Waropen
Biak
Paniai
Puncak Jaya
91.008
134.880
141.845
80.177
53.283
20.118.608
Tolikara
Sarmi
Keerom
Waropen
Supiori
Papua
97.517
100.664
Asmat
74.660
120.281
Mappi
Pegunungan Bintang
236.972
Boven Digoel
Yahukimo
1.253.445
Kota Jayapura
14.319.391
416.237
Jayapura
Mimika
485.588
(2) 814.249
2001
Jayawijaya
Merauke
(1)
Kab/Kota
Lampiran 7.
21.124.636
61.516
85.790
150.679
143.616
94.558
101.719
77.330
106.074
126.828
249.619
1.333.877
14.888.106
189.746
220.695
513.606
263.046
673.797
443.327
504.488
(3) 896.218
2002
21.060.462
66.780
91.611
158.821
154.768
100.944
109.994
82.811
108.672
129.017
268.767
1.445.953
14.429.889
204.211
237.839
553.334
250.906
717.182
473.846
522.293
(4) 952.825
2003
16.500.869
74.038
97.573
167.855
169.267
109.579
118.780
90.773
112.001
131.983
287.510
1.578.264
9.431.926
214.831
246.907
588.987
259.956
740.859
510.205
542.844
(5) 1.026.731
2004
22.566.465
80.227
104.018
181.140
182.204
116.498
126.776
96.601
124.011
145.726
315.143
1.713.481
14.956.864
228.298
267.029
630.961
275.787
782.234
552.480
559.727
(6) 1.127.260
2005
18.431.853
90.192
111.933
230.274
199.208
126.377
137.721
102.819
157.730
187.319
371.074
1.932.253
10.019.225
244.003
289.759
681.654
292.808
830.175
600.934
579.261
(7) 1.247.135
2006
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Papua Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
19.734.143
101.938
120.941
257.776
213.243
135.209
148.988
110.797
180.598
214.268
403.770
2.184.029
10.634.251
262.474
321.774
735.790
317.802
880.617
655.181
625.988
(8) 1.228.710
2007
19.933.862
75.425
98.863
184.056
171.026
110.596
120.214
90.827
127.107
150.774
304.693
1.634.472
12.668.522
216.595
255.009
594.182
272.381
749.759
521.744
545.741
(9) 1.041.876
Rata-rata
80
Papua
Supiori
Waropen
Keerom
Sarmi
Tolikara
Pegunungan Bintang
Yahukimo
Asmat
Mappi
Boven Digoel
Kota Jayapura
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Biak
Yapen Waropen
Nabire
Jayapura
Jayawijaya
896.218 504.488 443.327 566.022 263.046 513.606 220.695 189.746 533.833 1.333.877 249.619 126.828 106.074 77.330 101.719 94.558 143.616 150.679 85.790 61.516 6.662.588
6.185.871
(3)
2002
7.101.706
952.825 522.293 473.846 607.641 250.906 553.334 237.839 204.211 580.674 1.445.953 268.767 129.017 108.672 82.811 109.994 100.944 154.768 158.821 91.611 66.780
(4)
2003
7.594.387
1.026.731 542.844 510.205 632.501 259.956 588.987 246.907 214.831 633.802 1.578.264 287.510 131.983 112.001 90.773 118.780 109.579 169.267 167.855 97.573 74.038
(5)
2004
8.188.964
1.127.260 559.727 552.480 673.230 275.787 630.961 267.029 228.298 688.366 1.713.481 315.143 145.726 124.011 96.601 126.776 116.498 182.204 181.140 104.018 80.227
(6)
2005
9.054.718
1.247.135 579.261 600.934 719.831 292.808 681.654 289.759 244.003 752.435 1.932.253 371.074 187.319 157.730 102.819 137.721 126.377 199.208 230.274 111.933 90.192
(7)
2006
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Papua Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001 - 2007 (Jutaan Rupiah)
814.249 485.588 416.237 522.252 246.359 454.940 201.062 172.605 487.848 1.253.445 236.972 120.281 100.664 74.660 97.517 91.008 134.880 141.845 80.177 53.283
(2)
(1)
Merauke
2001
Kab/Kota
Lampiran 8.
9.826.177
1.228.710 625.988 655.181 766.706 317.802 735.790 321.774 262.474 840.197 2.184.029 403.770 214.268 180.598 110.797 148.988 135.209 213.243 257.776 120.941 101.938
(8)
2007
7.802.059
1.041.876 545.741 521.744 641.169 272.381 594.182 255.009 216.595 645.308 1.634.472 304.693 150.774 127.107 90.827 120.214 110.596 171.026 184.056 98.863 75.425
(9)
Rata-rata
81
Papua
Supiori
Waropen
Keerom
Sarmi
Tolikara
Pegunungan Bintang
Yahukimo
Asmat
Mappi
Boven Digoel
Kota Jayapura
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Biak
Yapen Waropen
Nabire
Jayapura
Jayawijaya
(3)
4,60 2,75 2,42 3,58 1,36 2,61 1,20 1,02 67,05 7,06 1,25 0,64 0,54 0,38 0,51 0,48 0,91 0,90 0,42 0,31 100,00
(2)
100,00
2002
100,00
5,02 2,88 2,63 3,86 1,35 2,74 1,31 1,15 64,28 7,87 1,43 0,66 0,56 0,41 0,54 0,51 1,02 0,99 0,46 0,34
(4)
2003
100,00
5,63 2,95 2,92 4,13 1,41 2,93 1,46 1,32 60,52 8,99 1,67 0,70 0,58 0,46 0,59 0,57 1,19 1,09 0,51 0,37
(5)
2004
100,00
3,92 1,79 1,94 2,65 0,91 1,89 0,97 0,90 73,75 6,06 1,18 0,49 0,42 0,29 0,38 0,36 0,79 0,72 0,33 0,23
(6)
2005
100,00
4,44 1,78 2,07 2,70 0,93 1,96 1,03 0,97 71,25 6,77 1,49 0,66 0,56 0,30 0,40 0,38 0,86 0,87 0,35 0,25
(7)
2006
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Papua Tahun 2001 - 2007 (Persentase)
3,97 2,46 2,14 3,16 1,21 2,27 1,04 0,89 71,01 6,15 1,16 0,58 0,49 0,37 0,49 0,45 0,75 0,77 0,38 0,26
(1)
Merauke
2001
Kab/Kota
Lampiran 9.
100,00
4,12 1,79 2,08 2,66 0,91 1,94 1,06 0,99 70,79 7,24 1,57 0,72 0,64 0,30 0,42 0,38 0,88 0,90 0,35 0,26
(8)
2007
4,53 2,34 2,31 3,25 1,15 2,34 1,16 1,03 68,38 7,16 1,39 0,64 0,54 0,36 0,47 0,45 0,91 0,89 0,40 0,29
(9)
Rata-rata
82
13,08 7,82 6,88 8,56 3,87 7,43 3,41 2,90 7,94 20,07 3,55 1,83 1,52 1,09 1,44 1,36 2,58 2,56 1,20 0,89 100,00
12,82 7,95 6,91 8,52 3,92 7,35 3,37 2,87 7,99 19,89 3,76 1,89 1,58 1,18 1,57 1,44 2,41 2,49 1,24 0,85
Papua
Supiori
100,00
Waropen
Keerom
Sarmi
Tolikara
Pegunungan Bintang
Yahukimo
Asmat
Mappi
Boven Digoel
Kota Jayapura
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Biak
Yapen Waropen
Nabire
Jayapura
Jayawijaya
Merauke
(3)
(2)
(1)
2002
2001
100,00
13,14 7,53 6,88 8,64 3,52 7,19 3,44 3,01 7,94 20,60 3,74 1,74 1,46 1,07 1,42 1,33 2,66 2,59 1,21 0,88
(4)
2003
100,00
13,31 6,97 6,91 8,44 3,33 6,92 3,46 3,12 8,09 21,23 3,95 1,64 1,37 1,09 1,39 1,34 2,80 2,58 1,21 0,87
(5)
2004
100,00
13,90 6,36 6,88 8,24 3,22 6,72 3,46 3,20 8,11 21,47 4,18 1,75 1,49 1,04 1,34 1,29 2,81 2,54 1,18 0,83
(6)
2005
100,00
14,37 5,75 6,72 7,74 3,00 6,34 3,35 3,14 7,91 21,91 4,81 2,13 1,82 0,97 1,30 1,25 2,78 2,80 1,12 0,80
(7)
2006
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se-Papua Tanpa Sub Sektor Pertambangan Tahun 2001 - 2007 (Persentase)
Kab/Kota
Lampiran 10.
100,00
13,08 5,67 6,61 7,55 2,91 6,18 3,37 3,14 8,12 22,98 5,00 2,28 2,04 0,95 1,34 1,22 2,78 2,85 1,10 0,82
(8)
2007
13,38 6,86 6,83 8,24 3,40 6,87 3,41 3,05 8,01 21,16 4,14 1,89 1,61 1,06 1,40 1,32 2,69 2,63 1,18 0,85
(9)
Rata-rata
83
Papua
Supiori
Waropen
Keerom
Sarmi
Tolikara
Pegunungan Bintang
Yahukimo
Asmat
Mappi
Boven Digoel
Kota Jayapura
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Biak
Yapen Waropen
Nabire
Jayapura
Jayawijaya
6.231,40 2.969,81 5.413,61 5.450,30 4.537,79 5.942,03 2.528,79 2.320,08 136.862,50 8.345,71 8.564,50 2.207,03 1.946,55 667,48 2.117,11 2.504,00 4.984,42 4.775,20 4.612,19 5.568,23 12.507,60
12.509,48
(3)
2002
13.074,17
6.986,02 3.075,66 5.910,16 6.399,94 5.164,24 6.167,60 3.106,64 3.054,65 125.060,00 10.133,35 8.853,83 2.313,40 1.969,95 899,89 2.391,04 2.281,11 5.611,47 5.274,27 4.750,77 6.648,76
(4)
2003
13.384,93
8.998,19 3.484,16 7.909,47 6.359,43 4.955,57 7.278,11 3.226,93 2.939,13 119.093,53 12.182,20 13.248,00 2.613,93 2.334,61 833,14 1.657,44 3.189,73 9.348,92 7.154,57 5.869,78 7.376,88
(5)
2004
22.518,93
10.629,51 3.595,50 8.913,15 6.935,43 5.426,29 7.978,49 3.646,51 3.407,79 246.354,62 12.762,94 15.824,26 3.139,66 2.864,12 906,61 1.801,45 3.486,05 10.603,06 7.993,13 6.490,33 8.058,34
(6)
2005
PDRB Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Se-Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 - 2007 (Rp. 000)
5.289,11 2.550,51 4.765,62 5.008,12 4.022,76 4.967,26 2.203,76 2.165,57 153.999,28 7.296,77 8.021,53 1.943,60 1.719,55 641,73 1.994,47 2.277,43 4.201,11 4.123,04 4.183,71 4.532,55
(2)
(1)
Merauke
2001
Kab/Kota
Lampiran 11.
24.321,26
12.952,01 3.859,77 10.330,32 7.685,37 5.958,97 8.921,01 4.193,50 3.950,34 254.093,36 15.392,48 21.490,14 4.567,93 4.126,75 997,82 2.077,66 3.950,20 12.314,50 10.189,93 7.345,30 9.419,89
(7)
2006
27.505,45
13.546,98 4.407,03 11.761,82 8.616,43 6.658,47 10.042,02 4.868,73 4.557,04 282.272,45 18.604,53 25.681,95 5.671,52 5.354,86 1.124,40 2.469,03 4.438,38 14.156,82 11.673,93 8.355,08 11.378,22
(8)
2007
84
6.231,40 2.969,81 5.413,61 4.584,33 4.537,79 5.942,03 2.528,79 2.320,08 5.699,31 8.345,71 8.564,50 2.207,03 1.946,55 667,48 2.117,11 2.504,00 4.984,42 4.775,20 4.612,19 5.568,23 4.399,58
5.289,11 2.550,51 4.765,62 4.172,57 4.022,76 4.967,26 2.203,76 2.165,57 5.362,99 7.296,77 8.021,53 1.943,60 1.719,55 641,73 1.994,47 2.277,43 4.201,11 4.123,04 4.183,71 4.532,55
Papua
Supiori
3.870,20
Waropen
Keerom
Sarmi
Tolikara
Pegunungan Bintang
Yahukimo
Asmat
Mappi
Boven Digoel
Kota Jayapura
Mimika
Puncak Jaya
Paniai
Biak
Yapen Waropen
Nabire
Jayapura
Jayawijaya
Merauke
(3)
(2)
(1)
2002
2001
4.992,49
6.986,02 3.075,66 5.910,16 5.465,62 5.164,24 6.167,60 3.106,64 3.054,65 5.901,38 10.133,35 8.853,83 2.313,40 1.969,95 899,89 2.391,04 2.281,11 5.611,47 5.274,27 4.750,77 6.648,76
(4)
2003
5.667,73
8.998,19 3.484,16 7.909,47 5.504,34 4.955,57 7.278,11 3.226,93 2.939,13 6.737,12 12.182,20 13.248,00 2.613,93 2.334,61 833,14 1.657,44 3.189,73 9.348,92 7.154,57 5.869,78 7.376,88
(5)
2004
6.352,10
10.629,51 3.595,50 8.913,15 6.075,20 5.426,29 7.978,49 3.646,51 3.407,79 7.644,96 12.762,94 15.824,26 3.139,66 2.864,12 906,61 1.801,45 3.486,05 10.603,06 7.993,13 6.490,33 8.058,34
(6)
2005
PDRB Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Se-Papua Tanpa Sub Sektor Pertambangan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 - 2007 (Rp. 000)
Kab/Kota
Lampiran 12.
7.511,55
12.952,01 3.859,77 10.330,32 6.797,44 5.958,97 8.921,01 4.193,50 3.950,34 8.710,28 15.392,48 21.490,14 4.567,93 4.126,75 997,82 2.077,66 3.950,20 12.314,50 10.189,93 7.345,30 9.419,89
(7)
2006
8.658,62
13.546,98 4.407,03 11.761,82 7.684,84 6.658,47 10.042,02 4.868,73 4.557,04 10.197,01 18.604,53 25.681,95 5.671,52 5.354,86 1.124,40 2.469,03 4.438,38 14.156,82 11.673,93 8.355,08 11.378,22
(8)
2007
85
61.476
Asmat
52.602
42.311
38.365
40.400
19.845
12.596
1.727.756
Pegunungan Bintang
Tolikara
Sarmi
Keerom
Waropen
Supiori
Papua
123.086
64.939
Mappi
Yahukimo
31.325
Boven Digoel
99.656
182.300
Kota Jayapura
Mimika
102.308
Paniai
88.739
98.909
Biak
Puncak Jaya
65.087
Yapen Waropen
136.516
96.940
Nabire
208.299
(2) 162.057
Jayapura
(1)
2001
1.803.739
12.643
20.657
42.616
41.138
43.091
53.928
129.545
62.090
65.697
32.891
190.845
110.522
99.232
107.105
99.277
67.750
148.199
100.852
209.079
(3) 166.582
2002
1.823.872
12.119
23.279
44.774
43.220
53.116
53.915
108.512
67.586
68.496
38.452
185.102
122.572
89.612
100.799
106.107
62.149
143.886
105.967
222.976
(4) 171.233
2003
1.857.059
12.372
21.629
37.895
31.567
44.143
88.455
137.145
61.950
66.172
31.417
183.439
126.324
111.617
112.786
100.040
70.684
161.384
91.912
210.475
(5) 155.653
2004
1.934.658
12.587
22.331
39.126
32.591
45.576
91.327
141.598
63.962
68.321
32.437
206.692
130.426
115.242
116.449
103.476
72.980
166.624
94.897
217.310
(6) 160.706
2005
Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua Tahun 2001 - 2007 (Orang)
Jayawijaya
Merauke
Kab/Kota
Lampiran 13.
1.974.932
12.607
22.677
40.822
33.451
46.788
93.049
144.750
65.266
69.225
33.211
211.129
134.679
117.762
118.532
105.409
74.566
169.027
96.462
220.937
(7) 164.583
2006
2.015.616
12.624
23.022
42.582
34.326
48.021
94.780
147.935
66.580
70.123
33.995
215.609
139.036
120.307
120.622
107.351
76.168
171.422
98.028
224.572
(8) 168.513
2007
86
T
T
T
T
T
ET
T
ET
T
ET
0,00
22,22 0,00 20,89 0,00 20,37 0,00 19,07 0,00 21,35 0,00 17,74 0,00 17,22 0,00 0,35 0,07 0,00 0,08 0,23 0,22 0,00 0,45 0,60 0,22 0,24 0,30 0,09
a. Minyak & Gas bumi
b. Pertambangan Tanpa Migas
c. Penggalian
INDUSTRI PENGOLAHAN
a. Industri Migas
b. Industri tanpa Migas
LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
a. Listrik
b. Gas
c. Air Bersih
BANGUNAN
PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
a. Perdagangan Besar & Eceran
b. Hotel
c. Restoran
0,30 0,10
0,95 0,32
0,76 0,25
0,70 0,24
1,88 0,63
1,40 0,41
0,00 0,00
0,68 0,21
0,71 0,22
0,25 0,08
0,00 0,00
0,21 0,07
1,10 0,36
0,00 0,00
0,11 6,06
4,02 1,38
0,30
0,96
0,77
0,71
1,90
1,24
0,00
0,65
0,66
0,24
0,00
0,21
1,09
0,00
0,12
4,19
0,11
0,34
0,28
0,26
0,67
0,46
0,00
0,24
0,24
0,08
0,00
0,07
0,38
0,00
6,23
1,53
0,31
0,95
0,78
0,72
1,90
1,29
0,00
0,67
0,68
0,23
0,00
0,20
1,08
0,00
0,12
4,33
0,15
0,45
0,38
0,35
0,92
0,63
0,00
0,33
0,33
0,11
0,00
0,09
0,52
0,00
5,64
2,12
2,91
0,32
0,96
0,81
0,75
1,94
1,33
0,00
0,71
0,70
0,22
0,00
0,20
1,09
0,00
0,14
4,49
6,16
0,12
0,36
0,29
0,27
0,71
0,48
0,00
0,27
0,26
0,08
0,00
0,07
0,41
0,00
6,85
1,68
2,26
0,44
0,24
0,33
0,98
0,80
0,74
1,93
1,31
0,00
0,72
0,71
0,22
0,00
0,20
1,10
0,00
0,15
4,57
6,13
1,20
0,66
0,16
0,48
0,39
0,36
0,93
0,63
0,00
0,35
0,34
0,10
0,00
0,09
0,54
0,00
5,89
2,15
3,03
0,58
0,31
0,32
0,99
0,80
0,74
1,92
1,29
0,00
0,73
0,71
0,21
0,00
0,19
1,11
0,00
0,17
4,44
6,25
1,20
0,64
0,16
0,52
0,40
0,37
1,02
0,65
0,00
0,36
0,34
0,10
0,00
0,09
0,60
0,00
5,92
1,96
2,96
0,61
0,32
0,33
1,02
0,79
0,74
2,03
1,28
0,00
0,70
0,67
0,20
0,00
0,18
1,18
0,00
0,19
3,90
5,87
1,21
0,64
2,40
2,42
(15)
5,93
6,45
1,18
0,63
1,21
1,22
(14)
1,28
2,27
0,56
0,30
2,42
2,55
(13)
PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
6,73
1,17
0,58
1,17
1,23
(12)
e. Perikanan
6,99 2,22
0,41
0,21
2,45
2,58
(11)
2,24
1,18
0,59
0,90
0,95
(10)
d. Kehutanan
1,22 0,39
0,58 0,19
2,41
2,54
(9)
ET
0,39
1,14
1,20
(8)
2007
0,19
2,57
2,60
(7)
ET
2006
c. Peternakan & Hasil-hasilnya
0,91
0,92
(6)
2005
b. Tanaman Perkebunan
2,58
2,62
(5)
ET
2004
2,58 0,85
(4)
2003
0,82
(3)
ET
2002
2,63 0,86
(2)
2001
0,84
(1)
SEKTOR
Location Quotient Provinsi Papua Tahun 2001 – 2007
PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN & PERIKANAN a. Tanaman Bahan Makanan
Lampiran 14.
ET
4,23
1,67
0,12
0,38
0,31
0,29
0,76
0,52
0,00
0,28
0,28
0,09
0,00
0,08
0,31
0,97
0,78
0,73
1,93
1,33
0,00
0,70
0,70
0,23
0,00
0,20
1,10
0,00
20,38 0,44
0,00
0,00
0,14
6,41
2,51 6,02
1,21
0,62
2,48
2,56
(17)
0,48
0,24
0,97
1,01
(16)
T
Rata-Rata
87
T
0,00 0,44 0,81 0,57 1,49 0,17
1. Angkutan Rel
2. Angkutan Jalan Raya
3. Pengangkutan Laut
4. Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan
5. Angkutan Udara
6. Jasa Penunjang Angkutan
0,56 0,96
JASA - JASA
a. Pemerintahan Umum
0,38 0,04
2. Hiburan & Rekreasi
3. Perorangan & Rumahtangga
T = Tanpa Eliminasi Sub Sektor Pertambangan
0,19
0,11
1. Sosial Kemasyarakatan
b. Swasta
0,00
0,05
e. Jasa Perusahaan
2. Jasa Pemerintahan Lainnya
0,16
d. Sewa Bangunan
1,51
0,00
c. Jasa Penunjang Keuangan
1. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan
0,20
b. Lembaga Keuangan Non Bank
0,13 0,04
1,20 0,37
0,59 0,19
0,33 0,10
0,00 0,00
4,71 1,63
3,01 1,04
1,74 0,58
0,16 0,05
0,50 0,15
0,00 0,00
0,63 0,19
0,24 0,07
0,08
-
-
0,32 0,10
-
-
1,51 0,51
0,52 0,17
4,64 1,45
1,79 0,57
2,52 0,88
1,38 0,46
0,00 0,00
1,66 0,55
0,10
-
-
T (4)
1,62 0,54
(3)
ET
T
0,04
0,40
0,19
0,11
0,00
1,73
1,11
0,60
0,05
0,15
0,00
0,20
0,07
0,10
-
-
0,65
0,17
1,36
0,60
0,93
0,49
0,00
0,58
0,60
(6)
0,12
1,13
0,54
0,31
0,00
4,92
3,14
1,70
0,15
0,44
0,00
0,56
0,21
0,29
-
-
1,85
0,49
3,85
1,71
2,65
1,38
0,00
1,65
1,71
(7)
ET
2003 T
0,05
0,54
0,25
0,14
0,00
2,39
1,53
0,80
0,07
0,21
0,00
0,26
0,13
0,15
-
-
0,87
0,24
1,62
0,82
1,34
0,67
0,00
0,80
0,82
(8)
0,11
1,14
0,54
0,30
0,00
5,06
3,22
1,68
0,15
0,44
0,00
0,55
0,27
0,32
-
-
1,84
0,51
3,42
1,73
2,84
1,42
0,00
1,68
1,74
(9)
ET
2004 T
0,04
0,43
0,19
0,11
0,00
1,85
1,17
0,60
0,05
0,16
0,00
0,20
0,10
0,12
-
-
0,63
0,20
1,34
0,64
1,05
0,53
0,00
0,65
0,64
(10)
0,11
1,16
0,52
0,30
0,00
5,01
3,19
1,62
0,14
0,44
0,00
0,54
0,28
0,32
-
-
1,72
0,55
3,64
1,74
2,86
1,44
0,00
1,76
1,74
(11)
ET
2005 T
0,05
0,55
0,25
0,14
0,00
2,47
1,57
0,78
0,07
0,21
0,00
0,26
0,19
0,18
-
-
0,77
0,27
1,71
0,84
1,37
0,71
0,00
0,85
0,81
0,11
1,13
0,51
0,29
0,00
5,10
3,24
1,61
0,14
0,43
0,00
0,53
0,40
0,37
-
-
1,59
0,55
3,53
1,74
2,84
1,46
0,00
1,76
1,68
(13)
ET
2006 (12)
ET = Eliminasi Sub Sektor Pertambangan
0,12
1,13
0,56
0,32
0,00
4,93
3,15
1,75
0,15
0,46
0,00
0,58
0,21
0,30
-
-
1,55
0,52
4,39
1,74
2,66
1,39
0,00
1,67
1,63
(5)
ET
2002
2. Jasa Penunjang Komunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN a. Bank
1. Pos Giro & Telekomunikasi
0,48
0,53
a. Pengangkutan
b. Komunikasi
0,52
(2)
2001
PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
(1)
LAP. USAHA T
0,05
0,58
0,26
0,15
0,00
2,62
1,66
0,82
0,07
0,22
0,00
0,27
0,35
0,25
-
-
0,75
0,30
1,78
0,91
1,56
0,76
0,00
0,92
0,84
(14)
0,11
1,15
0,51
0,29
0,00
5,20
3,29
1,62
0,14
0,43
0,00
0,53
0,69
0,49
-
-
1,49
0,59
3,54
1,80
3,10
1,50
0,00
1,83
1,66
(15)
ET
2007 ET
4,91
1,95
0,05
0,45
0,21
0,12
0,12
1,15
0,55
0,31
0,00
3,13
1,24 0,00
1,67
0,15
0,45
0,00
0,57
0,41
0,39
-
-
1,64
0,66
0,06
0,18
0,00
0,22
0,16
0,15
-
-
0,65
0,53
3,96
1,54 0,21
1,77
2,74
1,09 0,70
1,42
0,00
1,71
1,68
(17)
0,56
0,00
0,68
0,66
(16)
T
Rata-Rata
88
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Bambang Wahyu Ponco Aji dilahirkan di Magelang Jawa Tengah pada tanggal 13 September 1978. Pada Tahun 1991 menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I Magelang. Tahun 1994 menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Negeri 7 Magelang dan pada tahun 1997 menamatkan pendidikan di SMU Negeri 3 Magelang. Tiga tahun kemudian tepatnya Tahun 2000 menyelesaikan pendidikan Diploma III di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dan satu tahun kemudian yaitu Tahun 2001 berhasil menyelesaikan pendidikan Diploma IV dan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan pada perguruan tinggi yang sama. Tahun 2001 - 2008 penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. Pada tahun 2008 mendapat kesempatan tugas belajar pada Program Pasca Sarjana Instistut Pertanian Bogor.