IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM HARMONISASI KEHIDUPAN KAMPUS DI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR THE IDENTIFICATION OF THE SOCIAL CAPITAL IN THE HARMONIZATION OF CAMPUS LIFE IN MAKASSAR STATE UNIVERSITY
Muhammad Aksha Wahda, Dwia A.Tina Pulubuhu, Syaifullah Cangara Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi Muhammad Aksha Wahda Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP.081342455197 Email:
[email protected]
ABSTRAK Pentingnya harmonsiasi kehidupan kampus menjadi latar belakang utama dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan modal sosial di dalam menjaga dan memelihara harmonisasi kehidupan kampus di Unversitas Negeri Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di kampus Universitas Negeri Makassar Kota Makassar. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Informan dalam penelitian kesemuanya adalah mahasiswa aktif dari beberapa fakultas. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan. Hasil peneltian ini menemukan bahwa nilai siri dan pesse merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan yang berkembang di kalangan mahasiswa Universitas Negeri Makassar. Penginternalisasian nilai siri’ dan pesse dibarengi dengan penginternalisasian nilai superioritas dan dilakukan pada momen-momen tertentu.Hal tersebut berdampak pada pola reaktif nilai siri’ yang lebih dipahami sebagai siri’ ripaksiri (eksternal) dibandingkan dengan siri’ masiri (internal). Nilai pesse dipahami sebagai rasa pedih, iba yang membangkitkan solidaritas. Dominasi pola reaktif siri’ ripakasiri terhadap nilai pesse semakin menguatkan solidaritas kelompok dalam dan melemahkan solidaritas terhadap kelompok luar.
Kata kunci: Modal sosial, harmonisasi, siri na pesse
ABSTRACT Importance of harmonization of campus life into the main background in this study. This research aimed to find and identify the values of the local wisdoms which could be made as the social capital in save-guarding and maintaining the harmonization of the campus life in Makassar State University. The research was conducted in the campus of Makassar State University, Makassar city. The research method used was the qualitative method with a case study approach. The data were collected using the depth interviews, observation, and the document study. The informants comprised the active students of some faculties. The research took about five months. The research findings revealed that the siri’ and pesse values were a few of the local wisdom of South Sulawesi community, which had been developed among the students of Makassar State University. The internalization of the values of siri’ and pesse was accompanied by the internalization of the superiority and reactive values at certain moments. This had an impact on the reactive pattern of the values of siri’, which was understood as the painful feeling, pity or compassion which incited solidarity. The domination of reactive pattern of siri’ ripakasiri over the values of pesse had strengthened the intern-group solidarity and weakened the solidarity toward the extern group.
Keywords: Social Capital, harmonization, siri na pesse
PENDAHULUAN Sejarah tentang perkembangan peradaban masyarakat dunia tidaklah pernah lepas dari dinamika konflik kekerasan (violence). Semenjak jatuhnya
resim orde baru dan lahirnya
Reformasi, berbagai konflik hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Potensi konflik yang terpendam pada masa orde baru adalah akibat dari tekanan pengusa pada saat itu sehinggga tidak memberikan ruang pada masyarakat di daerah konflik untuk membicarakan berbagai problem identitas di ruang publik yang sehat. Dalam kurun waktu tahun 1998-2013 konflik telah mewarnai perjalanan bangsa ini Konflik tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat saja, dalam skala yang kecil konflik, tapi juga terjadi di lingkungan kampus dan sekolah. Data yang dirilis oleh Institut Titian Perdamaian sepanjang tahun 2008-2010, telah terjadi insiden konflik dan kekerasan sebanyak 4.021 kali (Miqdad, 2013). Jika dibagi pertahun, terjadi sekitar 1.340 insiden setiap tahunnya. Pada tahun 2011 kembali dirilis data hasil pengamatan oleh Institut Titian Perdamaian menujukkan bahwa telah terjadi 501 kali tawuran pelajar-mahasiswa. Sungguh hal yang tidak dapat disepelekan. Beberapa perguruan tinggi ternama di Sulawesi Selatan pernah mengalami konflik mahasiswa yang berujung pada tawuran. Konflik yang terjadi memiliki pola yang hampir sama diberbagai tempat, yakni melibatkan dua kelompok mahasiswa (jurusan/fakultas dan antar etnis). Dalam penelitian ini Universitas Negeri Makassar menjadi objek dalam penelitian ini. Dari tahun 2005 hingga tahun 2012 telah terjadi lebih dari 15 kali tawuran mahasiswa di UNM dan telah menelan tiga korban jiwa dan kerusakan berbagai fasilitas kampus. Tawuran mahasiswa yang sebagai bentuk konflik yang berbuntut pada perilaku kekerasan sudah menjadi fenomena sosial yang sulit mencari pemecahannya masalahnya. Selama ini cara yang ditempuh untuk meredam konflik lebih pada pendekatan represif. Dibutuhkan suatu pendekatan yang bisa menempatkan kedua pihak yang bertikai pada posisi yang sama (menangmenang). Secara tradisional, tugas penyelesaian konflik adalah membantu pihak-pihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi zero zum (keuntungan pihak sendiri adalah kerugian bagi pihak lain) agar melihat konflik sebagai kondisi non zero zum (di mana kedua belah pihak memperoleh hasil atau keduanya sama-sama tidak mendapatkan apa-apa) dan membantu pihak-pihak yang bertikai berpindah kearah hasil positif (Miall, 2002). Menurut
beberapa ahli nilai kearifan lokal sebagai modal sosial dipercaya dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam meredam konflik dan memelihara harmonisasi kehidupan sosial. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimilki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002). Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah trust (kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial. Modal sosial dapat dipahami sebagai kondisi dimana suatu masyarakat saling menaruh kepercayaan baik itu diindividu maupun pada kelompok. Kelompok secara bersama-sama membuat aturan yang dipahami sebagai nilai dalam berinterkasi. Universitas Negeri Makassar merupakan miniatur Sulawesi selatan dimana terdapat mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Setiap individu akan tetap mempertahankan nilai-nilai ideal yang mereka bawa dari kampung halaman meskipun ia berada di tempat orang lain. Proses pertemuan nilai-nilai sosial yang berbeda tersebut akan mencipatakan dinamika tersendiri dalam interaksi sosial. Dari beberapa nilai sosial yang berkembang, maka dirasa perlu untuk dilakukan pengidentifikasian guna melihat nilai-nilai apa saja yang bisa digunakan sebagai modal sosial dalam proses penciptaan harmonisasi kehidupan kelompok. Penelitian ini bertrujuan untuk menemukan dan mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan modal sosial dalam memelihara harmonisasi kehidupan.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pada peneltian ini metode kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika tawuran mahasiswa dan bagaimana modal sosial menjadi salah satu solusi untuk menciptakan harmonisasi dikalangan mahasiswa Universitas Negeri Makassar.
HASIL PENELITIAN Pola Pemahaman Siri’ dan Pesse Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian ini menemukan bahwa siri’ dan pesse merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan yang dapat dikebangkan sebagai salah satu modal sosial yang dapat memelihara harmonisasi kehidupan kampus. Siri’ dapat diartikan sebagai harga diri atau rasa malu. Untuk melihat bagaimana aktor dalam menginternalisasikan nilai siri’na pesse maka perlu untuk mengetahui bagaimana pola pemahaman aktor terhadap nilai siri’na pesse. Dari hasil wawncara informan, dapat disimpulkan beberapa pola pemahaman siri’: Pertama, siri’ sebagai rasa malu dan harga diri adalah sesuatu yang sakral dan patut untuk dijaga. Kedua, menjaga siri’ adalah sebuah keharusan. Apabila siri’ itu terlecehkan adalah suatu kewajiban untuk mengembalikan siri’ itu untuk menjadi terhormat kembali meskipun dengan cara kekerasan. Ketiga, siri’ adalah cara untuk meneggakkan harga diri dengan menjaga perlilaku dengan baik agar tetap terhormat. Maka dari itu siri’ dapat menjadi control sosial bagi seseorang untuk tetap berprilaku dengan baik sesuai dengan norma sosial yang berlaku dan juga dapat menjadi sanksi sosial bagi yang melanggarnya. Pola pemahaman informan tentang siri’ memang terdiri dari dua bagian yang tidak dapat dipisahkan yaitu mempertahankan siri’ dan mengembalikan siri’ apabila terlecehkan. Apabila harga diri/rasa malu itu terlecehkan oleh orang lain maka sudah menjadi kewajiban untuk memulihkan harga diri dengan pembalasan ataupun dengan cara kekerasan. Contoh kejadian pada mahasiswa UNM, merasa malu apabila ada seorang anggota kelompoknya yang dianiyaya oleh kelompok lain, merasa malu apabila atribut kelompoknya dirusak oleh kelompok lain. Maka dari itu dilakukanlah aksi pembalasan sebagai cara untuk memulihkan harga diri. Beberapa informan dalam penelitian ini memahami siri’ adalah sesuatu yang sakral dan menuntu menempatkan siri’ hampir sama dengan dirinya sendiri. Pesse/pacce dalam bahasa Bugis-Makassr berarti perih/pedih, dan dalam bahasa Bugis disebut esse bebua. Dalam hasil wawancara dengan informan maka dapat dipahami bagaimana pola pemahaman informan tentang nilai pesse. Pemahaman informan tentang pesse cukup
beragam. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh dari kultur dari daerahnya dan juga kebiasaan yang terbangun pada kelompoknya.
Berikut akan dipaparkan tentang pola pemahaman informan
tentang nilai pesse. Pesse dimakanai sebagai rasa iba terhadap sesama yang mengalami kemalangan. Rasa iba ini berupa kasihan melihat teman yang kekurangan dari segi ekonomi sehingga menggerakkan hati untuk membantu. Pesse dimaknai sebagai pesse dipahami sebagai sikap saling menghargai sesama. Sikap ini biasanya berupa sikap sipakatu (humanitas). Pesse dimakani sebagai panggilan untuk mempertahankan harkat siri’ baik siri’
diri
sendiri, orang lain, dan harkat siri’ dari kelompok. Dari beberapa kasus yang ditemukan melalui proses wawancara mendalam, pola pemahaman siri’ pada mahasiswa UNM cenderung lebih banyak memakanai pesse sebagai panggilan untuk mempertahankan harkat siri’. Pelecehan terhadap siri’ telah membangkitkan solidaritas untuk bertindak dalam upaya pemuliaan atau penegakan siri’ tersebut. Seseorang rela mempertaruhkan nyawanya untuk membela siri’ temannya maupun siri kelompoknya. Pesse telah membangkitkan ikatan satu rasa dalam kelompok, apabila ada satu orang dalam kelompok yang dipermalukan maka anggota lain juga ikut merasakan. Eksternalisasi Nilai Siri’ dan Pesse Pola ekternalisasi siri’ dan pesse informan sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka. Pola pemahaman sangat menentukan prilaku dan bagaimana interaksi aktor dalam pembentukan harmonisasi kelompok. Pola pemahaman tentang siri’ dan pesse yang cukup variatif pada mahasiswa UNM sehingga dalam proses eksternalisasinya cukup beragam pula, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi dimana interaksi itu berlangsung (in group dan out group). Eksternalisasi nilai siri’ oleh aktor lebih banyak penghargaan atas harga diri dan apabila bila terlecehkan akan menuntut pemulihan. Cara yang dilakukan oleh aktor dalam pemulihan siri’ lebih banyak ditempuh dengan jalan kekerasan. Kasus pada tahun 2005 misalnya, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga (FIK) yang mendapat serangan oleh mahasiswa Teknik. Hal tersebut ditanggapi oleh kelompok mahasiswa FIK dengan melakukan penyerangan ke kampus fakultas Teknik, karena pemukulan tersebut ditanggapi sebagai penghinaan (ripakasiri’) dan membangkitkan solidaritas sesama mahasiswa FIK.
Salah bentuk dari eksternsasi dari siri adalah menempatkan siri’ itu sebagai suatu hal yang sakral atau dihargai sama dengan nyawa aktor sendiri. Menurut AGN sesuai yang dipelajarinya bahwa siri itu lebih berharga dari nyawa. Ia pernah mendapat petuah dari orang tuanya tentang “siri “siri’e mi tu ituwongeng, ajja muelo ipakasiri’ na mappakasiri-siri”.” Maka dari itu menjaga sirri’ adalah sebuah kemutlakan dan bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar lagi. Ketika harga diri ditelah dirusak maka menjadi suatu kewajiban untuk memulihkan harga diri tersebut. Aplikasi
pemahaman sirri’ sebagai harga diri, informan
membaginya menjadi dua yakni sirri’ secara individu dan sirri’ secara kolektif. Pola eksternalisasi dari siri’ tidak hanya berupa pola reaktif siri’ripasiri saja tapi juga pada pola reatif siri’masiri. Informan CP mengatakan bahwa ia merasa malu dengan kejadian-kejadian tawuran yang terjadi selama ini. Bagi CP konflik ini harus segera diselesaikan, tapi yang menjadi masalah kemudian adalah adanya komunikasi yang kurang efektif antar kelompok mahasiswa sehingga masalah-masalah yang dihadapi diselesaikan dengan cara kekerasan. Eksternalisasi nilai pesse sebagai rasa iba dan solidaritas hanya nampak pada in group saja. Rasa iba terhadap orang dibatasi oleh sekat kelompok sehingga dalam eksternalisasinya biasa ditemui dalam kasus kekerasan, misalnya rasa iba terhadap kawan yang dipukul oleh kelompok sehingga membangkitkan solidaritas untuk melakukan perlawanan. Wawancara dengan CP menujukkan bahwa solidaritas terbangun dari doktrin senior bahwa semua mahasiwa di fakultasny adalah satu satu sakit semua juga harus sakit. Dalam kaitannya dengan penegakan harga diri pesse memiliki daya untuk memotivasi solidaritas kelompok dalam penegakan atau pemuliaan harga diri. Individu akan larut dalam pesse (berempati) terhadap kejiadian yang menimpa orang lain. Pelecehan siri’ (ripakasiri’) terhadap orang lain akan ditanggapi sebagai pelecehan siri’nya sendiri.
PEMBAHASAN Pola ekternalisasi siri’ dan pesse informan sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka. Pola pemahaman sangat menentukan prilaku dan bagaimana interaksi aktor dalam pembentukan harmonisasi kelompok (Syaifullah, 2011). Pola pemahaman tentang siri’ dan pesse yang cukup variatif pada mahasiswa UNM sehingga dalam proses eksternalisasinya cukup beragam pula, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi dimana interaksi itu berlangsung (in group dan out group). Siri’ menurut Mustafa (2003) adalah harga diri/harkat martabat. Pola pemahaman tentang siri’
lebih banyak dimaknai sebagai harga diri yang menuntut pemuliaan (siri’
ripakasiri) apabila mengalami pelecehan baik diri sendiri, kawan, maupun kelompok. Dalam ekternalisasinya nilai siri’ memiliki dua pola rekatif (Idris, 2010) yaitu siri’ masiri (internal) dan siri’ ripakasiri (eksternal). Nilai Siri’ telah menjadi alat legitimasi terhadap beberapa tindakan kekerasan yang terjadi. Pemahan siri’ secara parsial telah membentuk watak/karakter keras pada aktor. Eksternalisasi dari nilai pesse sangat nampak pada perasaan simpati individu kepada individu yang lainnya. Menurut Abidin (dalam Marzuki, 1995) menyebutkan bahwa secara harfiah pesse/pacce bermakna perih sebab melihat orang lain yang mengalami penderitaan. Nilai pesse dalam proses eksternalisasinya adalah perasaan yang sama pada tiap individu. Nilai pesse mendorong lahirnya solidaritas sosial yang bertumpu pada sipakatau dan sipakalebbi. Jarak sosial sebagai akibat dari fanatisme yang berlebihan dari kelompok mampu diredam melalui nilai pesse. Nilai pesse memberikan peluang kepada individu untuk terbuka kepada kelompok lain. Proses ekternalisasi nilai siri’ yang terwujud dalam pola reaktif siri’ripakasiri telah membentuk solidaritas yang kuat dalam kelompok atau dengan kata lain telah membentuk sacred society. Putnam (1993) pada masyarakat sacred society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Pada keadaan ini kekuatan modal sosial hanya akan sampai pada kelompok saja. Pola reaktif siri’ripakasiri yang dominan telah telah membawa pola ekternalisasi nilai pesse larut dalam sacred society sehingga solidaritas hanya terbatas pada in group saja. Mangemba (Marzuki, 1995), siri’ yang seharusnya menjadi pendorong bagi kemajuan dan pelaksanaan nilai-nilai positif telah mengalami degenerasi. Secara kultural kurang dipahami dengan baik sehingga terjadi pengakuburan. Siri’ adalah esensi hidup orang bugis Makassar, karena itu siri’ harus dipahami sebagai diri sendiri.
Untuk menciptakan harmonisasi kehidupan kampus dibutuhkan sebuah kearifan lokal yang memiliki nilai yang universal sehingga dapat diterima secara bersama. Pada hakikatnya nilai kearifan lokal siri’ na pesse adalah suatu nilai yang universal dan dapat diterima bersama oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Nilai siri’ na pesse telah menjadi identitas moral masyarakat Sulawesi Selatan. Abu Hamid mengungkapkan bahwa nilai siri’ mengandung beberapa unsur yakni motivasi, social kontrol, rasa tanggung jawab, dan dinamisator sosial (dalam Mustafa, 2003). Bgitupun halnya dengan nilai pesse adalah sebuah kearifan lokal yang berarati soliaritas terhadap oaring lain tanpa harus memperhatikan latar belakang orang tersebut. Dalam kajian modal sosial, nilai yang dapat diterima secara bersama atau menjembatani disebut dengan bridging capital social (Hasbullah, 2006). Prinsip utama dari modal sosial menjembatani adalah nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan. Hasbullah (2006) menjelaskan bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip dasar dari pengembangan asiosiasi, kelompok, group atau suatu meliu masyarakat tertentu. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, berempati terhadap situasi yang dihadapi orang lain merupakan dasar dari ide humanitarian. Modal sosial diaharapkan dapat berfungsi sebagai katup penyelamat
dalam proses
pembentukan harmonisasi kelompok. Coser (Polloma, 2010) menyatakan katup penyelamat ialah satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Mungkin diatara kita ada bertanya, mengapa nilai siri’ na pesse sebagai kearifan lokal justru paradoks dengan dengan yang terkandung didalamnya. Sebagaimana kondisi kampus pada umunya, terdapat arogansi yang dimunculkan oleh setiap kelompok sesuai kultur dari kelompok tersebut (arogansi berdasarkan etnis/daerah, jurusan/fakultas, dan minat/bakat) mulai dari arogansi yang levelnya rendah sampai pada arogansi yang mengarah pada dominasi. Dalam proses penginternalisasian nilai siri’ dan pesse terkadang disisipkan arogansi kelompok atau nilai superioritas atas kelompok lain dan bahkan disisipkan rasa prasangka/kebencian terhadap kelompok lainnya. Hal ini kemudian mengakibatkan solidaritas dalam kelompok semakin kuat dan membentuk watak aktor dalam kelompok menjadi sensitif dan tertutup pada kelompok lain. Hal tersebut akan berjalan dengan mudah karena dalam proses penginternalisasian nilai siri’ na
pesse’ dilakukan pada momen yang penting dan juga pada peringatan tragedi yang kemudian membangkitkan solidaritas dalam kelompok (jumadi, 2008), peringtan tragedi tersebut seperti perngatan Dendan Tujuh Mei (DENTUM) di Universitas Negeri Makassar. Dalam dinamika konflik kelompok antara in group dan out group, Coser menjelaskan (1986) bahwa solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam itu bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi dari dari suatu kelompok yang terlibat dalam konflik membantu menperkuat batas-batas kelompok dalam dengan kelompok luar. Hal-hal yang seperti itulah yang kemudian membentuk pola eksternalisasi nilai siri’ na pesse lebih condong ke pola siri’ripakasiri. Sesungguhnya nilai siri’ripakasiri bukanlah sesuatu yang menyimpang selama itu dilakukan sesuai dengan kaidahnya. Sebelum Indonesia memberlakukan hukum positif, pemulihan harkat siri’ yang dilecehkan menuntut pemuliaan, contoh kasus, melarikan anak gadis orang adalah siri’ripakasiri. Salah satu cara untuk memulihkan harkat siri’ tersebut melalui membunuh orang tersebut, tapi ketika orang yang bersalah tersebut telah menyerahkan diri kepada pemimpin adat, maka masalah tersebut diselesaikan oleh dewan adat. Dalam konteks kekinian, penyelesaian siri’ripakasiri tidak lagi identik dengan kekerasan tapi melalui musyawarah ataupun penyelesaian dengan hukum posirtif. Artinya siri’ripakasiri tidak berdiri dengan sendirinya, dalam prosesnya tetap terikat oleh nilai budaya luhur yang lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Nilai siri, dan pesse tidak perlu diragukan lagi sebagai nilai kearifan lokal yang dapat memelihara harmonisasi kehidupan sosial. Lemahnya fungsi nilai siri’ dan pesse di kampus Universitas negeri Makassar sebagai modal sosial yang dapat menciptakan harmonisasi disebabkan karena penginternalisasian nilai tersebut juga dibarengi dengan penanaman nilai-nilai kebencian terhadap kelompok lain yang kemudian menjadi penegas batas-batas kelompok. Nilai siri’ dan pesse perlu dipahami sebagai kontrol sosial karena dalam siri’ terdapat kedisiplinan, keteraturan dan penghargaan terhadap orang lain. Selain itu nilai siri hendaknya dijadikan motivator untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Fukuyama, F. (2002). The Great Disruption : Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. Yogyakarta : CV Qalam. Hasbullah, J. (2006). Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta : MR-United Press. Idris, Mustari. (2010). The Secret of Siri’ na Pesse’. Makassar: Pustaka Refleksi Jumadi. (2008). Tawuran Mahasiswa, Studi Dinamika Konflik Sosial di Makassar. Disertasi. PPs Universitas Hasanuddin Jhonson, Doyle Paul. (1986).Teori Sosiologi Klasik dan Modern II. Terjemahan. Jakarta: PT Gramedia. Marzuki, Laica. (1995). Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Makassar. Hasanuddin University Press Miqdad, Mohamad. 2013. Tawuran: Sebuah Varian Konflik dan Kekerasan. Diakses 7 Agustus 2013. Available from: http://www.titiandamai.or.id/ Miall, Hugh, et al., (2002). Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Menyelesaiakan, Mencegah dan Mengubah Konflik bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mutsafa, Yahya et al., (2003). Siri’ dan Pesse’. Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar. Pustaka Refleksi Poloma, M. Margaret. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Syaifullah. 2011. Identifikasi dan Pengembangan Nilai-nilai Modal Sosial Loka; Untuk Pencegahan Serta Resolusi Konflik Sosial Masyarakat Di Provinsi Sulawesi Selatan. LP2M UNHAS.