IDENTIFIKASI KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTIWAKTU DENGAN RTRW KOTA TANGERANG
NURUL IKHSAN JUSTICIA
DEPARTEMEN MENEJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Citra Landsat Multiwaktu dengan RTRW Kota Tangerang Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Nurul Ikhsan Justicia NIM E14110068
ABSTRAK NURUL IKHSAN JUSTICIA. Identifikasi Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Citra Landsat Multiwaktu dengan RTRW Kota Tangerang Provinsi Banten. Dibimbing oleh Dr Nining Puspaningsih, MSi. Pemerintah Daerah Kota Tangerang menetapkan luasan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30% dari total luas daratan Kota Tangerang. Hal ini dituangkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Tangerang yang disahkan pada tahun 2012 dan berlaku hingga tahun 2032. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra landsat 5 dan 8 di Kota Tangerang dan membandingkan hasilnya dengan tutupan lahan RTH pada RTRW dalam rentan tahun 2005 hingga 2015. Hasil penelitian menunjukan perubahan penggunaan tutupan lahan dengan ketetapan yang sudah dibuat pemerintah. Perubahan terbesar terjadi di tutupan lahan terbangun pada 2005-2015 sebesar 3059.07 ha. tutupan lahan ruang terbuka hijau sebesar 25.56% pada tahun 2005, yang mengalami penurunan sebesar 9.21% dan 10.57% pada tahun 2010, dan 2015. Hasil ini belum sesuai dengan standar ruang terbuka hijau dalam RTRW Kota Tangerang, yang ditargetkan sebesar 30%, yang komposisinya 20% RTH publik dan 10% swasta. Kata kunci: peningkatan, penurunan, rencana tata ruang dan wilayah, ruang terbuka hijau, tutupan lahan.
ABSTRACT NURUL IKHSAN JUSTICIA. Identify Suitability Classification of Green Open Space Using Time Series Landsat Image with Regional Spatial Plan of Tangerang, Banten Province. Supervised by Dr Nining Puspaningsih, MSi. Tangerang city local government determine the proportion of green public space is as much 30% Tangerang city land area. It is stated in the regional spatial plan of Tangerang city applied from 2012 until 2032. The purpose of this research is to analyze land cover change result classification using landat 5 and 8 on Tangerang city and to compare the result with green open space landcover in the regional spatial plan of Tangerang city among 2005 until 2015. The results show congruency beside landcover change with regional spatial plan of Tangerang city. Biggest landcover change occur on solid urban reached 3059.07 ha green open space landcover reached 25.56 % on 2005, and decreasing as much 9.21% and 10.57% on 2010 and 2015. The results isn’t suitable with standard green open space in spatial regional plan Tangerang city, was targeted reached 30%, which composition 20% Public green open space, and 10% private open space. Keywords: increasing, decreasing, regional spatial plan, green open space, land cover.
IDENTIFIKASI KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTIWAKTU DENGAN RTRW KOTA TANGERANG
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2015 hingga Maret 2016 ini ialah Identifikasi Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Citra Landsat Multiwaktu Dengan RTRW Kota Tangerang Banten. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Nining Puspaningsih MSi. selaku pembimbing, serta Bapak Uus Saepul serta rekan-rekan Laboratorium Fisik Remote sensing yang telah memberi saran. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Kesejahteraan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Cibinong, Jawa Barat, dan Tangerang. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Badan Perencanaan Daerah (Baperda) Kota Tangerang. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, abang, adik serta seluruh keluarga, dan teman-teman Manajemen Hutan 48 atas segala doa, dukungan, dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Nurul Ikhsan Justicia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE
3
Lokasi dan Waktu
3
Alat dan Bahan
4
Prosedur Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Klasifikasi Tutupan Lahan
11
Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi
14
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
18
Analisis Kesesuaian RTH hasil kelas tutupan lahan dengan RTRW 2012-2032 SIMPULAN DAN SARAN
23 28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
300
RIWAYAT HIDUP
322
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Matriks kontengensi/matriks kesalahan Karakteristik kelas tutupan lahan Kota Tangerang Perubahan kelas tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2005 hingga 2015 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 2005-2010 di Tangerang Matriks perubahan tutupan lahan tahun 2010-2015 di Tangerang Kesesuaian RTRW dengan tutupan lahan tahun 2005 di Tangerang Kesesuaian RTRW dengan tutupan lahan tahun 2010 di Tangerang Kesesuaian RTRW dengan tutupan lahan tahun 2015 di Tangerang
9 12 19 19 21 25 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Peta lokasi penelitian Diagram alir penelitian Citra landsat 5 band 543 tahun 2005 Kota Tangerang Citra landsat 5 band 543 tahun 2010 Kota Tangerang Citra landsat 8 band 754 tahun 2015 Kota Tangerang Grafik perubahan kelas tutupan lahan tahun 2005, 2010 & 2015 Peta tutupan lahan tahun 2005 Kota Tangerang Peta tutupan lahan tahun 2010 Kota Tangerang Peta tutupan lahan tahun 2015 Kota Tangerang Peta perubahan tutupan lahan ke lahan terbangun tahun 2005-2010 Peta perubahan tutupan lahan ke RTH tahun 2005-2010 Peta perubahan tutupan lahan ke lahan terbangun tahun 2010-2015 Peta perubahan tutupan lahan ke RTH tahun 2010-2015 Peta RTRW Kota Tangerang tahun 2012-2032 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2005 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2010 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2015
4 5 11 11 11 16 16 17 17 20 20 22 23 24 25 26 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Separabilitas citra landsat 5 band 543 tahun 2005 Separabilitas citra landsat 5 band 543 tahun 2010 Separabilitas citra landsat 8 band 754 tahun 2015 Akurasi ketelitian
31 31 32 32
PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 41 Tahun 1999 hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Fungsi hutan secara umum dibagi tiga, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Dalam usaha mendapatkan fungsi lindung, keberadaan hutan juga dipertahankan di perkotaan. Hutan yang berada di kota sendiri disebut hutan kota. Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 tentang hutan kota, hutan kota adalah hamparan lahan yang bertumbuhan pohonpohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Hutan kota tidak kalah penting dengan hutan pada umumnya, karena memiliki banyak manfaat jangka panjang diantaranya: estetika, hidrologis, klimatologis, habitat satwa, menekan polusi perkotaan, penyimpan karbon, edukatif, rekreatif, dan ekonomi. Kota Tangerang memiliki banyak daya tarik sebagai kota besar. Data sensus penduduk menunjukan Kota Tangerang memiliki jumlah penduduk 1 798 000 jiwa (BPS 2010). Kota Tangerang memiliki perkembangan yang cepat, karena didukung beberapa faktor yang menjadi daya tarik untuk: dihuni, dikunjungi, maupun dijadikan tempat mencari kerja. Beberapa faktor daya tarik pendukungnya, yaitu: berbatasan dengan sebelah Barat Kota Jakarta, sebagai akses menuju pelabuhan Tanjung Priuk, sebagai gerbang Internasional maupun Nasional karena Kota Tangerang memiliki Bandara Internasional Soekarno Hatta, dan dilewati jalur kereta Comutter Line Jabodetabek, sehingga memiliki fungsi sebagai penyangga pemukiman dan daerah industri ibu kota. Kebutuhan lahan dari waktu ke waktu semakin meningkat, terutama Kotakota besar seperti Jabodetabek dan sekitarnya. Peningkatan kebutuhan lahan disebabkan bertambahnya jumlah dan kebutuhan penduduk. Menurut Bintarto (1984) kepadatan penduduk, pertambahan penduduk, serta perkembangan ekonomi akibat urbanisasi berupa perluasan penduduk kota ke pinggiran kota, bila tidak diimbangi ketersediaan ruang yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan perumahan, perkantoran, perindustrian, akan menyebabkan perubahan penggunaan lahan bagi daerah-daerah hijau dan terganggunya kualitas lingkungan. Saat ini, konversi lahan di area pinggiran kota lebih cenderung pada konversi hutan dan lahan pertanian karena mempunyai nilai ekonomi rendah dibanding dengan lahan non pertanian. Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang-terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Hakim dan Utomo 2004). Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH
2 dalam kota tersebut, yaitu berupa: keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan (Departemen Pekerjaan Umum 2008). Fungsi RTH yang utama merupakan aspek berlangsungnya fungsi daur ulang antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan (Abdillah 2006). Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Banyak studi menunjukan RTH merupakan salah satu elemen penting dalam lingkungan perkotaan (Shirvani 1985) yang mana memberikan kontribusi positif pada kualitas hidup (Madanipour 1996). Menurunnya kuantitas RTH dari aspek ekologi dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti banjir, tingginya polusi udara, rendahnya kualitas air tanah, dan kebisingan (Briassoulis 1999). Pembangunan lahan terbangun menyebabkan luasan RTH mengalami penurunan. Penurunan RTH terjadi karena dilakukan privatisasi swasta. Privatisasi dapat menyebabkan kurangnya nilai sosial pada RTH. Beberapa studi menunjukan efek negatif dari privatisasi, seperti pembatasan akses, peningkatan konsumerisme, gap sosial, berkurangnya ekspresi demokrasi, dan interaksi sosial berkurang Kohn (2004). RTH harus direncanakan dengan baik dalam pembangunan karena menyangkut kepentingan bersama dan sebagai pencegahan dampak negatif dikemudian hari. Pentingnya RTH akan terasa sebagai pencegah banjir, sumber daya menarik bagi wisata, estetika, tempat menjajakan kuliner daerah, maupun kegiatan bermanfaat lainnya. Penetapan standar luas RTH berdasarkan luas wilayah dapat ditentukan dengan mempedomani Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan standar luas RTH yang sebesar 30% dari luasan suatu kota. Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat membantu manusia dalam berbagai aspek. Dalam perspektif tata ruang di pemerintahan daerah, teknologi membantu merencanakan, mengimplementasi, dan memantau perubahan tutupan lahan. Teknologi penginderaan jauh dapat dengan mudah menjadi solusi dari permasalahan tata ruang. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Pada saat ini, semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Jaya 2010). Mengingat pentingnya peran RTH dalam pembangunan daerah, dan pusat, maka Peraturan Pemerintah mewajibkan setiap kota memiliki RTH dengan luasan tertentu dan memasukannya ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). RTRW dijadikan sebagai amanah pembangunan Kota. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keberadaan RTH yang sudah direncanakan pada RTRW Kota Tangerang, serta sudah sejauh mana RTRW ini di ikut sertakan dalam pembangunan di lapangan.
3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perubahan tutupan lahan pada tahun 2005, 2010, dan 2015 menggunakan citra Landsat 5 dan 8 ETM+. 2. Menganalisis kesesuain antara Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada tutupan lahan yang ada dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah sebagai berikut: 1. Memberi informasi mengenai kesesuaian proporsi ruang terbuka hijau sebelum dan setelah perencanaan RTRW Tangerang 2012-2032. 2. Sebagai masukan untuk perencanaan dalam pembangunan daerah yang berasas lingkungan, selaras dengan lingkungan dan bebas dari bencana akibat salah pengelolaan.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, tahap pertama yaitu pra-pengolahan citra di laboratorium Hidrologi Hutan dan Laboratorium Remote Sensing dan GIS (Geographic Information System) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tahap kedua dilakukan pengambilan data lapangan berupa ground check kelas tutupan lahan yang dilakukan di Kota Tangerang. Secara geografis Kota Tangerang terletak di-106˚ 36ʼ – 105˚ 42ʼ Bujur Timur (BT) dan 56˚ – 6ʼ Lintang Selatan (LS). Luas area penelitian sendiri secara administratif seluas 16 475.3 ha. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Kota Tangerang di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Curug, Kecamatan Serpong, dan sebelah Timur berbatasan dengan DKI Jakarta, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Tahap ketiga dilakukan pengolahan citra di Laboratorium Hidrologi Hutan & Laboratorium Remote Sensing dan GIS Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data lapangan dan pengolahannya sendiri dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan Maret 2016.
4
Gambar 1 Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Pengolahan analisis data spasial dan atribut dikerjakan menggunakan perangkat keras (Hardware) dan perangkat lunak (Software) berupa seperangkat Notebook, dengan aplikasi Arcgis, Microsoft excel, Microsoft office, Erdas imagine, dan Google Earth Pro. Alat yang digunakan untuk survey lapang atau Ground Check meliputi alat tulis, papan jalan, kertas dengan tallysheet, Global Positioning System (GPS) Garmin dengan tipe 76CSX, dan kamera ponsel sebagai alat dokumentasi. Data yang digunakan berupa citra landsat 8 ETM+ tahun 2015 dan Citra Landsat 5 tahun 2010, 2005 semuanya dengan path row 122 dan 64. Peta penunjang yang digunakan adalah Peta Administrasi Kota Tangerang, jaringan jalan Kota Tangerang, peta rencana pola ruang Kota Tangerang, serta hasil observasi lapangan. Landsat 8 adalah sebuah satelit observer bumi milik Amerika yang diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013. Merupakan generasi termutakhir dari citra landsat. Landsat 8 memiliki kelebihan dibanding landsat 7 pada bidang band coastal blue. Landsat 8 dibandingkan landsat 5, membawa instrumen Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) yang telah ditingkatkan resolusinya dari Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat 5 dipilih karena Landsat 7 mengalami stripping pada citra outputnya.
5
Citra landsat 5 dan 8 Path Row 122 dan 64
Peta batasan administrasi wilayah Peta RTRW 2012-2032 Peta RTH tiap kecamatan Kota
Pra pengolahan citra
Koreksi Geometrik
Citra Landsat Terkoreksi Identifikasi Objek
Peta Tutupan
Lahan
Membuat Kelas Tutupan Lahan Ground Check ke lapang Pembuatan Training Area
Tidak Terima ?
Analisis Separabilitas
Ya
Klasifikasi Terbimbing Uji Akurasi
Dilakukan Overlay Reklasifikasi Peta tutupan lahan tahun 2005, 2010, 2015 Peta Kesesuaian
Menyajikan Data yang Didapat
Gambar 2 Diagram alir penelitian
Peta RTRW
6
Prosedur Analisis Data Analisis perubahan tutupan lahan Kota Tangerang pada tahun 2005, 2010 dan 2015. Analisis dikerjakan melalui beberapa tahapan, yaitu pra-pengolahan citra, interpretasi visual citra satelit, pengambilan data lapangan (ground check), pengolahan citra digital, uji ketelitian klasifikasi, dan analisis perubahan tutupan lahan. Memilih peta Landsat dilakukan dengan parameter tutupan awan terkecil, lalu jika ada, dilakukakan penyamaan tutupan awan yang besar dengan tutupan lahan tahun sebelumnya, proses penyamaan dilakukan dengan Software Google Earth Pro. Fungsi timelaps dimanfaatkan sehingga hasil pengukuran tidak terdistorsi oleh tutupan awan. Selain itu wawancara dengan narasumber saat ground check dilakukan, agar didapat sumber informasi yang dapat dijadikan acuan dan pendukung. Alur penelitian dapat dilihat pada diagram alir penelitian di Gambar 2. Pra Pengolahan Citra Pra-pengolahan citra merupakan proses awal yang dilakukan sebelum pengolahan citra lebih lanjut. Proses ini meliputi merestorasi data mentah dan dikoreksi terhadap gangguan-gangguan yang mungkin terjadi saat perekaman. Kegiatan pra-pengolahan citra dilakukan meliputi beberapa tahapan, sebagai berikut: 1. Perubahan Format Citra Landsat yang digunakan dalam penelitian didapat dengan mengunduh melalui situs resmi Landsat dengan alamat di http://usgs.glovis.gov. Tahapannya terlebih dahulu dilakukan perubahan format dari format TIFF menjadi IMG dengan menggunakan Software ERDAS. Tahapan selanjutnya adalah melakukan layersteck, yaitu menggabung beberapa band citra komposit yang sudah diunduh menjadi satu file citra. Kombinasi band yang digunakan disesuaikan dengan standar Departemen Kehutanan, yaitu komposisi band 543 pada Landsat 5 dan komposisi band 754 pada Landsat 8. 2. Pemotongan citra Cropping citra (pemotongan citra) dilakukan pada citra Landsat tahun perekaman 2005, 2010, dan 2015 untuk mendapatkan areal yang menjadi fokus penelitian. Pertama dibuat pemotongan sesuai dengan Areal of Interest (AOI) pemotongan ini penting dilakukan, selain untuk menghemat memori file peta digital yang mempengaruhi terhadap kinerja komputer, juga memfokuskan areal tempat dilakukannya penelitian. AOI membuat pengguna tidak terganggu dengan hal-hal sekeliling tempat penelitian dan saat pemotongan tidak terganggu oleh piksel gambar peta. Kedua File dipotong kembali sehingga sesuai dengan Peta Administrasi Kota Tangerang.
7 3. Koreksi geometrik (Geometric enhancement) Koreksi geometrik/rektifikasi digunakan untuk melakukan penggabungan data dari suatu sistem grid menggunakan suatu sistem transformasi geometrik. Data hasil rekaman sensor satelit merupakan representasi dari bentuk bumi yang tidak beraturan. Meskipun hasil gambar kelihatan datar, tetapi area yang direkam sesungguhnya mengandung kesalahan distorsi yang diakibatkan oleh sensor maupun kelengkungan bumi itu sendiri. Menurut Jaya (2010) karena posisi citra input tidak sama dengan posisi citra outuput, maka perlu dilakukan resampling untuk melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya. Penentuan sistem kordinat yang dipilih untuk koreksi adalah Universal Transverese Mercator (UTM) zona 48. Pemilihan didasari dari lokasi Kota Tangerang di wilayah Banten yang masuk pada zona UTM 48, sedangkan datum yang digunakan World Geodetic System 84 (WGS 84). Citra yang dikoreksi adalah citra Landsat 5, data citra Landsat 8 yang digunakan sudah terkoreksi L-1T artinya data standard correction (koreksi tegak), sehingga tidak harus dikoreksi lagi. Interpretasi visual citra satelit Interpretasi visual citra satelit merupakan kegiatan mengkaji citra dengan maksud melakukan identifikasi tutupan lahan yang tergambar didalam citra. Karakteristik tutupan lahan dapat dikenali dengan cara melihat unsur-unsur interpretasi seperti warna, bentuk, pola ukuran, letak, dan asosiasi kenampakan objek. Citra yang digunakan untuk interpretasi visual adalah citra komposit dengan kombinasi 543 pada guns RGB (Red Green Blue) Landsat 5 dan kombinasi 754 pada Landsat 8, sehingga menghasilkan warna komposit yang dibutuhkan. Hasil dari interpretasi tutupan lahan ini digunakan dalam penentuan titik observasi di lapangan. Pengambilan data lapangan (Ground Check) Pengambilan data lapangan (ground check) merupakan kegiatan pengukuran, pengamatan, serta pencatatan informasi penting dari titik dan polygon yang telah atau akan ditentukan di lapangan. Pemilihan lokasi titik pengamatan dilakukan secara purposive, dengan memilih titik-titik yang mewakili berbagai kelas tutupan lahan. Titik pengamatan lapangan banyak diambil pada lokasi-lokasi jalur hijau kota dan jenis tutupan lahan lainnya yang didapat dari hasil interpretasi visual. Data yang diukur sendiri adalah data rekam titik pengamatan lapangan dari GPS. Informasi yang diamati di lapangan adalah karakteristik fisik tutupan lahan, jenis tutupan lahan, serta jenis tutupan vegetasi pada kelas tutupan lahan RTH. Pengolahan citra digital Pengolahan citra digital pada tahapan ini menggunakan Software Erdas. Analisis merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau pengelompokan suatu piksel citra digital multi-spektral kedalam beberapa kelas berdasarkan kategori objek. Pengolahan citra digital dilakukan melalui berbagai tahapan, sebagai berikut:
8 1. Penentuan area contoh (Training area) Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh dilakukan berdasarkan hasil observasi lapang. Pengambilan informasi statistik (nilai digital number) dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra. Informasi statistik dari setiap tutupan lahan digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. 2. Analisis separabilitas Sebelum melakukan klasifikasi ilmiah terhadap kelas-kelas tutupan lahan dari area contoh yang telah dibuat, terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas. Metode analisis separabilitas yang digunakan adalah metode transformasi divergensi. Menurut Jaya (2010), metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas menggunakan elemen dan matriks. Jensen (2005) menguraikan kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergen memiliki skala 0 hingga 2000. Nilai TD dapat diketahui dengan rumus: Dij
TDij =2000[1-exp [ 8 ]] Keterangan: TDij = separabilitas antara kelas i dengan kelas j exp = -2,718 Menurut Jaya (2010) kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi adalah sebagai berikut: a. Tidak terpisah (unseparable): <1600 b. Kurang keterpisahannya : 1600-<1800 c. Cukup keterpisahannya : 1800-<1900 d. Baik keterpisahannya : 1900-<2000 e. Sangat baik keterpisahannya : 2000 3. Klasifikasi terbimbing (Supervised classification) Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Metode ini terdapat pertimbangan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan kedalam kelas/kategori tertentu. Klasifikasi menggunakan maximum likelihood method menyangkut beberapa dimensi. Menurut Purwadhi (2001) pengelompokan jenis tutupan lahan yang memiliki nilai piksel sama dan identik pada citra yang diklasifikasi. 4. Reklasifikasi Tahapan reklasifikasi dilakukan bila terjadi kesalahan pada klasifikasi terbimbing, seperti adanya lahan pertanian yang terbaca di areal Bandara, atau besarnya lahan pertanian pada daerah pusat perkotaan. Pada tahapan reklasifikasi yang dilakukan adalah klasifikasi ulang peta hasil kelas tutupan lahan. Reklasifikasi dilakukan dengan patokan hasil ground check, google earthpro, serta wawancara pada daerah tersebut pada tahun-tahun terdahulu.
9
Uji ketelitian klasifikasi Uji ketelitian klasifikasi digunakan untuk melihat tingkat kesalahan yang terjadi pada klasifikasi area contoh. Dengan uji ketelitian klasifikasi, dapat ditentukan berapa besarnya presentase ketelitian pemetaan. Evaluasi ini menguji tingkat keaukuratan secara visual dari klasifikasi terbimbing. Akurasi ketelitian pemetaan dilakukan dengan membuat matriks kontingensi atau matriks kesalahan (confusion matriks) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Matriks kontengensi/matriks kesalahan (confusion matrix) Data acuan (training area) A B C D Total kolom Users’s accuracy
Diklasifikasikan kedalam kelas A Xii
B
C
D
Xi+
Total baris
Xii
Produser’s accuracy
Xi+
Xii/ Xi+
N
Xii/ Xi+
Akurasi yang bisa dihitung berdasarkan Tabel 1 antara lain, user’s accuracy, producer’s accuracy dan overall accuracy. Secara matematis, akurasi di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝑋
User’s accuracy = 𝑋 𝑘𝑘 x 100% +𝑘
𝑋
Producer’s accuracy = 𝑋 𝑘𝑘 x 100% 𝑘+
Overall accuracy =
∑𝑖𝑘 𝑋𝑘𝑘 𝑛
x 100%
Keterangan: 𝑋𝑘𝑘 = Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-I dan kolom ke-i 𝑋𝑘+ = Jumlah piksel dalam kolom ke-i 𝑋+𝑖 = Jumlah piksel dalam baris ke-i Jaya (2010) menjelaskan, saat ini akurasi yang dianjurkan adalah akurasi kappa, karena overall accuracy secara umum masih over estimate. Akurasi kappa ini sering juga disebut dengan indeks kappa. Secara matematis akurasi kappa dapat dirumuskan sebagai berikut:
10 Kappa (k) =
𝑁 ∑𝑟𝑘 𝑋𝑘𝑘 −∑𝑟𝑘 𝑋𝑘 +𝑋+𝑘 𝑁2− ∑𝑟𝑘 𝑋𝑘+ 𝑋𝑘+
x 100%
Keterangan: N : Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan 𝑲𝒊+ : ∑ 𝑿𝒊𝒋 (Jumlah semua kolom pada baris ke-i) 𝑲+𝒋 : ∑ 𝑿𝒊𝒋 (Jumlah semua kolom pada jalur ke-j) Analisis Perubahan Lahan Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan cara menumpang tindihkan (overlay) dua citra yang telah selesai dalam tahapan klasifikasi. Peta yang ditumpang tindihkan adalah peta tutupan lahan berformat (Shapefile) SHP tahun 2005 dengan 2010, 2010 dengan 2015. Selanjutnya, melakukan analisis thematic change dengan menggunakan formula berikut [Tuplah_2005] ++”_”[Tuplah_2015] untuk mengetahui perubahan jenis tutupan lahannya. Analisis kesesuaian lahan antara RTH pada RTRW Kota Tangerang dengan hasil klasifikasi tutupan lahan. Peta Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW) Kota Tangerang kemudian ditumpang tindihkan dengan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2005, 2010, dan 2015. Hasil overlay kemudian dianalisis kesesuaiannya menggunakan formula thematic change.
HASIL DAN PEMBAHASAN Citra yang dipilih adalah citra yang mempunyai tutupan awan yang relatif lebih kecil. Memilih citra dengan tutupan awan yang lebih sedikit dilakukan agar klasifikasi citra tutupan lahan tidak terganggu oleh awan beserta bayangannya. Berdasarkan keterangan tersebut Landsat citra yang digunakan adalah tahun 2005 bulan Agustus, pada tahun 2010 citra yang digunakan citra bulan Oktober, sedangkan pada tahun 2015 citra yang digunakan adalah bulan Juni. Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5 merupakan citra tahun 2005, 2010, dan 2015 yang sudah dipotong sesuai Areal of Interest-nya dan merupakan citra satelit yang digunakan untuk melakukan klasifikasi tutupan lahan.
11
Gambar 3 Citra landsat 5 band 543 area Kota Tangerang tahun 2005
Gambar 4 Citra landsat 5 band 543 area Kota Tangerang tahun 2010
Gambar 5 Citra landsat 8 ETM+ band 754 area Kota Tangerang tahun 2015 Klasifikasi Tutupan Lahan Hasil klasifikasi tutupan lahan dilakukan secara visual dan observasi lapang. Klasifikasi menggunakan interpretasi citra mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Planologi Kehutanan (Baplan). Klasifikasi tutupan lahan menggunakan sembilan elemen penafsiran citra berupa: rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. Klasifikasi dibuat dalam enam tutupan lahan yang sederhana dan dapat dengan mudah dibedakan. Enam hasil interpretasi citra tutupan lahan berupa: badan air, rawa, lahan pertanian, Ruang Terbuka Hijau (RTH), semak, dan lahan terbangun. Enam klasifikasi tutupan lahan ini memiliki
12 karakteristik yang mudah dibedakan satu dengan lainnya. Karakteristik kelas tutupan lahan, gambar penampakan pada citra, maupun gambar penampakan di lapangan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik kelas tutupan lahan tahun 2015
Kelas No tutupan lahan 1 Badan air
2
Rawa
3
Lahan Pertanian
Keterangan Kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, terumbu karang dan padang lamun (lumpur pantai). Genangan air terbentuk secara alamiah yang terjadi karena hujan secara terus menerus atau musiman karena drainase alami. Rawa yang ditemukan dilapangan berupa hamparan genangan air yang tidak mengalir dan dapat dibedakan dengan badan air. Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang (di P. Jawa). Perlu diperhatikan adanya fase rotasi tanam, kelas ini memasukan juga sawah musiman, sawah tadah hujan dan sawah irigasi.
Gambar pada citra landsat 8
Gambar pada lapang tahun 2015
13 Tabel 3 Karakteristik kelas tutupan lahan Kota Tangerang pada tahun 2015 (lanjutan) Kelas
No tutupan 4
lahan
Semak
Keterangan
Gambar pada citra landsat 8
Kawasan bekas hutan yang tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami), atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami), serta pada umumnya tidak ada kenampakan bekas alur atau bercak penebangan. Area memanjang 5 Ruang berupa jalur atau Terbuka mengelompok, Hijau yang penggunaan lahannya sebagai tempat tumbuh pohon, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH di lapang berupa: taman kota, hutan kota, jalur hijau. Kenampakan 6 Lahan Terbangun kawasan terbangun baik berupa kawasan industri, komersial, jalan, pemukiman, maupun fasilitas umum lainnya yang banyak campur tangan manusia, daripada hasil kreasi alam. *) Baplan (2008) disertai dengan pengamatan di lapangan.
Gambar pada lapang tahun 2015
14 Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi Evaluasi separabilitas digunakan untuk menunjukan keterpisahan masingmasing kelas (Hermawan 2008). Menurut Jensen (2005) menguraikan kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi memiliki skala 0 sampai 2000. Analisis separabilitas dilakukan sebelum proses klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan hasil area contoh dikerjakan. analisis ini dilakukan setelah memilih beberapa area contoh hasil deliniasi menggunakan AOI tools. Hasil deliniasi inilah yang dimasukan kedalam tabel signature editor yang kemudian dapat dilakukan evaluasi separabilitas dengan transformasi divergensi. Hasil analisis separabilitas seluruhnya memiliki keterpisahan yang mudah dibedakan. Kelas tutupan lahan tahun 2005 memiliki separabilitas dengan tingkatan dari baik hingga sangat baik. Hal ini ditunjukan dari nilai separabilitasnya mencapai nilai tertinggi yakni sebesar 2000 pada tutupan kelas rawa dan badan air. Nilai terendah 1822 pada kelas tutupan RTH dan lahan pertanian. Tahun 2010 memiliki perbedaan pada nilai kelas tutupan lahan yang lebih baik dari tahun sebelumnya, dengan banyaknya nilai separabilitas mencapai 2000, seperti pada RTH dan semak. Nilai dengan separabilitas terkecil naik sebesar 1926 oleh tutupan kelas RTH dan lahan pertanian. Nilai separabilitas terbaik dimiliki oleh kelas tutupan lahan terbangun. Tahun 2015 dengan nilai kelas rata-rata sebesar 2000. Contohnya ada pada pada RTH dan semak, sedangkan yang paling kecil sebesar 1999 yang dimiliki oleh kelas lahan pertanian dengan lahan terbangun. Nilai separabilitas secara lengkap dari setiap kelas tutupan lahan dapat dilihat di Lampiran 1,2, dan 3. Setelah selesai melakukan evaluasi separabilitas, uji akurasi selanjutnya adalah evaluasi kontingensi. Evaluasi kontingensi menunjukan tingkat keakuratan secara visual dari uji klasifikasi terbimbing dengan menggunakan titik-titik control lapangan untuk uji akurasi. Dengan menggunakan uji akurasi dapat ditentukan besarnya presentasi keakuratan klasifikasi. Keakuratan sendiri meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau tidaknya, pemberian nama kelas secara benar, presentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas, serta presentase kesalahan total. Besarnya akurasi hasil klasifikasi dapat diuji dengan menggunakan matriks kesalahan. Menurut Hermawan (2008), akurasi ketelitian pemetaan diuji dengan membuat matriks kontingensi yang lebih sering disebut dengan matriks kesalahan (confusion matrix). Tabel Matriks kontingensi sendiri dapat digunakan untuk menghitung user’s accuracy, producers’s accuracy, dan overall accuracy. Kappa accuracy paling banyak digunakan karena memperhitungkan semua elemen (kolom) dan kolom matriks. Users accuracy dan producer’s accuracy menunjukan tingkat akurasi dari sisi pengamatan yang berbeda, overall accuracy menunjukan perbandingan jumlah total areal atau piksel yang diklasifikasikan dengan benar terhadap total area piksel observasi. User’s accuracy adalah probabilitas atau peluang rata-rata dalam (%) suatu piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas kelas tersebut di lapangan (Hermawan 2008). Menurut IS Baja, M Phil (2012), producer’s accuracy berfokus pada seberapa baik penggunaan lahan daerah tertentu dapat diklasifikasikan.
15 Hasil uji akurasi pada kelas tutupan lahan rawa, badan air, lahan pertanian, semak, RTH, dan lahan terbangun dari klasifikasi citra 2015 berturut-turut menunjukan user’saccuracy sebesar 8.15%, 95.40%, 93.55%, 99.00%, 100%, dan 90.72%. Producers accuracy sebesar 100%, 94.17%, 76.49%, 88.05%, 100%, dan 98.21%. Overall accuracy sebesar 92.52%, dan kappa accuracy sebesar 87,49%. Perhitungan akurasi tahun 2005 dan 2010 tidak dilakukan, karena hasil klasifikasi kedua tahun tersebut dapat menggunakan interpretasi dari citra landsat tahun 2015. Hal ini dirasa sudah cukup mewakili untuk 10 tahun kebelakangnya. Pada klasifikasi terbimbing digunakan enam kelas tutupan lahan yang merupakan hasil dari analisis separabilitas. Perbedaan kenampakan klasifikasi tutupan lahan terbimbing adalah kombinasi dari nilai digital dan piksel pada sifat pantulan dan pancaran spektral masing-masing jenis tutupan lahan. Hasil klasifikasi tutupan lahan memperlihatkan perbedaan perubahan tutupan lahan tahun 20052010-2015. Dampak konversi lahan yang dinamis di daerah perkotaan, menyebabkan perbedaan akan mudah terlihat setiap tahunnya. Perbedaan mudah dilihat dari lahan hutan menjadi lahan terbangun yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Lahan terbangun selalu memiliki pertumbuhan positif karena bertambahnya penduduk setiap tahun membutuhkan sarana dan prasarana yang juga lebih memadai. Badan air dapat bertambah maupun berkurang tergantung kebutuhan pembangunan, begitu juga dengan RTH. Perubahan tutupan rawa relatif tetap. Semak memiliki karakteristik yang unik karena kemandiriannya dalam tumbuh, bisa bertambah dan berkurang tergantung pada pemeliharaannya. Dari hasil tutupan lahan, dapat dilihat lahan terbangun mendominasi penampakan peta dengan tampilan warna merah muda. Pada Gambar 6 terlihat luas lahan terbangun mendominasi pada tahun 2005, 2010, dan 2015. Lahan terbangun berturut-turut dengan luasan sebesar 9878 ha, 10 274 ha, dan 12 937 ha disetiap tahunnya. Dapat dilihat, paling rendah perubahannya ada pada kelas tutupan rawa dengan luasan bertuturut-turut pada tahun 2005, 2010, dan 2015 yaitu 69 ha, 59 ha, dan 52 ha.
16
Luasan tutupan lahan dalam hektar
LUAS KELAS TUTUPAN LAHAN KOTA TANGERANG 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Lahan Lahan pertanian terbangun
Badan air
RTH
289.76
4211.36
4756.3
2010
375.9
1518.79
2015
311.82
1742
2005
Rawa
Semak
9878.19
69.69
146.38
5496.65
10274.4
59.95
614.85
3028
12937.26
52.64
294.07
Gambar 6 Grafik perubahan kelas tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2005, 2010, dan 2015.
Gambar 7 Peta tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2005
17
Gambar 8 Peta tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2010
Gambar 9 Peta tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2015
18 Analisis Perubahan Tutupan Lahan Hasil analisis tutupan lahan tahun 2005 hingga 2010 didapat dari perubahan tutupan kelas yang dipakai. Lahan terbangun berubah dari 9705 ha menjadi 10 274 ha, yang disebabkan oleh banyaknya sarana publik berupa perumahan, apartemen, pusat perbelanjaan, fasilitas pendidikan, serta rumah sakit yang dipicu oleh meningkatnya penduduk Kota Tangerang dengan rata-rata sebesar 2% pertahun. Dalam angka yaitu sebesar 470 000 kepala keluarga, dari sensus yang diadakan 2010. Banyaknya peningkatan penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan akan pemukiman, perkantoran, dan fasilitas penunjang lainnya. Faktanya pada tahun 2009 terjadi penambahan universitas swasta di Kota Tangerang, yakni Universitas Muhamadiyah Tangerang, dan beberapa sekolah swasta lainnya. Sebaran spasial penggunaan lahan di Kota Tangerang sendiri paling banyak didominasi oleh lahan terbangun. Lahan terbangun paling banyak berada di Tangerang Barat. Hal ini disebabkan Tangerang Barat adalah daerah yang di rancang untuk tempat industri, sehingga lahan terbangun berupa pabrik-pabrik dan pemukiman buruh banyak mendominasi tempat ini. Tangerang bagian Selatan juga banyak didominasi oleh pemukiman, tetapi karena banyak perumahan berkonsep lingkungan RTH relatif terjaga. Tutupan lahan berupa RTH relatif menyebar, dari pinggiran situ, sempadan sungai, Taman pemakaman, dan mengelilingi lahan terbangun berupa pekarangan. Persawahan menyebar juga di beberapa tempat, tetapi luasan terluas berada di Utara Kota Tangerang, karena daerah ini yang di canangkan sebagai tempat pertanian. Badan air dan situ menyebar di daerah Tangerang. Dampak tuntutan Kota Tangerang sebagai kota satelite dan industry, berimbas pada berkurangnya lahan pertanian dan hutan. Mudahnya dilakukan konversi lahan pada tutupan lahan pertanian dan hutan, disebabkan oleh rendahnya harga lahan ini. Rendahnya harga diakibatkan oleh rendahnya nilai ekonomi dari tutupan lahan. Penggunaan lahan yang bernilai ekonomi tinggi didapat dari tutupan lahan terbangun. Hal ini mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air alami berupa vegetasi dari tutupan hutan. Untuk menutupi kekurangan resapan air, dapat direkayasa dengan membuat sumur resapan. Daerah resapan air yang dibuat berupa bangunan konservasi tanah dan air. Bangunan ini berfungsi menggantikan daerah resapan air yang harusnya diperankan oleh vegetasi. Kekurangan bangunan konservasi tanah dan air adalah memerlukan biaya yang besar, juga biaya perawatan rutin. Perbandingan perubahan kelas penutupan lahan di Kota Tangerang pada tahun 2005 hingga 2015 dapat dilihat pada Tabel 3 dan matriks perubahan penutupan tutupan lahan Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 4.
19 Tabel 3 Perubahan kelas tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2005 hingga 2015 Tutupan lahan
2005
2010
2010
2015
375 1518 5496
Perubahan 2005-2010 (%) 29.75 -63.95 15.59
375 1518 5496
311 1742 3028
Perubahan 2010-2015 (%) -17.06 14.75 -44.90
Badan air RTH Lahan pertanian Lahan terbangun Rawa Semak
289 4211 4756 9878
10274
4
10274
12937
25.91
69 146
59 614
-14.49 76.22
59 614
52 294
-11.86 -52.11
Tabel 4 Matriks perubahan tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2005-2010 Luas kelas 2005 (Ha) Badan air Lahan pertanian Lahan terbangun Rawa RTH Semak Jumlah Total
Luas kelas tutupan lahan tahun 2010 (Ha) Badan Lahan Lahan Rawa RTH Semak air pertanian terbangun 102.12 96.06 66.50 10.12 10.82 4.93
Jumlah Total 290.55
180.01
2 712.12
1 142.18
7.63
463.79 240.73
4 746.47
50.95
1579.27
7 715.49
0.20
323.14
36.77
9 705.81
8.25 29.41 4.16
13.05 1 026.21 67.97
14.58 1 305.30 26.90
29.28 8.51 4.29
1.88 2.31 701.46 305.28 17.00 26.07
69.36 3 376.16 146.38
5 494.68 10 270.93
60.03
1 518.09 616.10
18 334.73
374.90
Tabel 3 menunjukan perubahan kelas tutupan lahan dari tahun 2005 ke 2015. Tabel 4 terlihat pada lahan pertanian yang berubah menjadi RTH sebesar 463 ha. Lahan terbangun berubah menjadi lahan pertanian sebesar 1579 ha dan lahan terbangun yang menjadi RTH sebesar 323.14 ha. Hal ini disebabkan banyaknya lahan pertanian yang dialih fungsikan sebagai RTH, lahan kosong berupa tanah yang di dekat lahan terbangun difungsikan sebagai lahan pertanian kecil. Contohnya di sekitar Pemerintah Kota, BMKG, dan tempat lainnya yang sedikit tetapi menyebar keberadaannya. Lahan terbangun yang terlihat seperti dijadikan RTH, disebabkan banyaknya lahan terbangun yang dibuat taman disekelilingnya dengan pepohonan, tetapi hal ini tetap tidak seimbang dibanding lahan RTH yang berubah menjadi lahan terbangun. Badan air bertambah disebabkan banyaknya tempat pemancingan, tambak, kolam renang, dan danau buatan juga menyebabkan bertambahnya badan air. Bertambahnya ketinggian Situ dan erosi juga membantu menyumbangkan peningkatan dalam meningkatnya luas tutupan lahan badan air.
20
Gambar 10 Peta perubahan tutupan lahan ke lahan terbangun tahun 2005-2010
Gambar 11 Peta perubahan tutupan lahan ke RTH tahun 2005-2010
21 Gambar 10 merupakan peta perubahan tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2005-2010 dengan acuan lahan terbangun. Dapat dilihat bagian sebelah Barat Tangerang banyak perubahan terjadi pada tutupan lahan kelas RTH berubah menjadi lahan terbangun. Hal ini disebabkan oleh bagian Barat Tangerang diperuntukan untuk daerah kawasan industri. Gambar peta perubahan yang disajikan dan dijadikan acuan adalah perubahan ke lahan terbangun, lahan terbangun dijadikan acuan karena jumlahnya yang besar, sehingga mudah terlihat oleh mata. Gambar 11 merupakan peta perubahan dengan acuan terhadap RTH sebagai pembanding. Tabel 5 Matriks perubahan tutupan lahan Kota Tangerang tahun 2010-2015 Luas kelas 2010 (Ha) Badan air Lahan pertanian Lahan terbangun Rawa RTH Semak Jumlah Total
Luas kelas tutupan lahan tahun 2015 (Ha) Badan air
Lahan Lahan pertanian Terbangun
Rawa
RTH
Semak
Jumlah Total
118.73
100.26
106.77
8.12
32.57
8.44
374.90
119.26
1 737.83
2 904.31
2.26
590.04
140.99
5 494.68
40.55
761.21
9 084.73
0.19
365.99
18.26
10 270.93
10.76 8.42 13.17
3.32 246.72 173.05
1.76 693.87 121.38
37.31 0.00 4.79
6.42 508.85 238.84
0.45 60.22 64.87
60.03 1 518.09 616.10
310.89
3 022.39
12 912.82
52.68
1 742.71
293.24
18 334.73
Tabel 5 menunjukan perubahan tutupan lahan tahun 2010-2015. Tahun 20102015 pembangunan melaju pesat. Perubahan dapat dilihat pada perubahan lahan terbangun dari tahun 2010 yang seluas 10 270.93 ha menjadi 12 912.82 ha. Menariknya pada tutupan lahan terbangun ada yang berubah menjadi lahan pertanian karena adanya pemilik lahan pribadi yang menyewakan/menggunakan lahannya yang berupa tanah terbuka untuk digunakan sebagai tempat pertanian, dengan jumlah luasan yang kecil dan relatif menyebar di Tangerang. Pertanian di pinggir perkotaan ini bisa dilihat di sekitar Batu Ceper dan sekitar Lapas Tangerang. Hasil analisis tutupan lahan tahun 2010 ke 2015 didapat perubahan tutupan lahan dikelas lahan terbangun dari 10 270.93 ha menjadi 12 912.82 ha. Perubahan tutupan dikonversi ke lahan terbangun disebabkan oleh penambahan pemukiman, dan sarana publik lainnya. Pertumbuhan yang cepat dipacu oleh banyaknya pekerja dari Kota Jakarta yang memilih tinggal di Kota Tangerang untuk berdomisili. Banyaknya kaum urban yang memilih Kota Tangerang sebagai tempat tinggal. Tangerang dipilih dikarenakan daya tarik selain banyak tanah yang harganya relatif lebih murah dari Kota Jakarta dan sekitarnya, jalanan yang tidak terlalu macet, sarana public yang cukup lengkap, dan dekatnya Kota Tangerang dengan bandara, serta pelabuhan Tanjung Priuk menjadi faktor memudahkan akses untuk keluarmasuk Kota Tangerang.
22 Peningkatan jumlah urbanisasi ke Tangerang membuat meningkatnya jumlah permintaan akan properti untuk kalangan kelas menengah ke atas dan rusun/koskosan untuk kalangan menengah ke bawah. Rumah susun atau apartemen dapat dijadikan alternatif bila ingin memiliki tempat tinggal yang masih terjangkau disektor harga dan ramah penggunaan lahan. Properti model ini tidak menghabiskan lahan secara horisontal, sehingga lebih menghemat penggunaan lahan seperti pada Apartemen Sudirman One yang dibangun pada tahun 2015. Pada tahun 2010 ada penambahan pusat perbelanjaan di dekat pusat Kota, yaitu Tangerang City 2010, Pembangunan mall Bale Kota 2013, dan pusat furniture dari Swedia (Ikea) pada tahun 2013. Pelebaran Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 ultimate juga menjadi penyebab penambahan lahan terbangun, dari kegiatan sebelumnya lokasi ini adalah RTH milik Bandara. Meski pembangunan berjalan pesat, pemerintah tetap berusaha melakukan pemulihan. Dapat dilihat dari kegiatan lingkungan yang dilakukan pemerintah. Penanaman mangrove dilakukan tahun 2011 di Tanjung Pasir, pada Tangerang bagian Utara. Penataan RTH pada pinggiran jalan juga terus digalakan dan dipelihara seperti pada Taman Skate, Pengayoman, dan di jalan Kisamaun.
Gambar 12 Peta perubahan tutupan lahan ke lahan terbangun tahun 2010-2015
23
Gambar 13 Peta perubahan tutupan lahan ke RTH tahun 2010-2015 Pada Gambar 12 disajikan peta perubahan dengan acuan lahan terbangun. Gambar melihatkan perubahan RTH yang cukup signifikan ada pada daerah kawasan Bandara dan area yang berdekatan dengan jalan sekitar Alam Sutera. Hal ini disebabkan oleh pembangunan toko furniture Ikea dan Mall Alam Sutra. Pemerintah membuat penghijauan di sekitar jalan Kota Tangerang pada jalan Mohammad Yamin sepanjang SMKN 3 hingga SPBU yang berada pada pusat kota. Karena keterbatasan lahan, penanaman vegetasi dilakukan di pinggiran dengan menambah pot berisi tumbuh-tumbuhan di pinggir jalan dan pepohonan yang bertajuk tinggi dan lebar di sekitar jalanan. Gambar 13 menyajikan peta perubahan dengan acuan terhadap RTH. Analisis Kesesuaian RTH hasil kelas tutupan lahan dengan RTRW 20122032 Perubahan tutupan lahan di kawasan perkotaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dibendung, karena tingginya jumlah penduduk dan permintaan akan kebutuhan lahan itu sendiri. Perubahan tutupan lahan dianalisis menggunakan matriks perubahan untuk mengetahui perubahan setiap kelas dari tutupan lahan sebelumnya menjadi tutupan lahan setelahnya disertai dengan luasan perubahan setiap kelas. Data yang digunakan sendiri adalah data kuantitatif dari peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang dibandingkan serta di overlay dengan data olahan citra landsat, sehingga diketahui kesesuaian dan dicocokan dengan data pendukung yang ada di lapangan.
24
Gambar 12 Peta RTRW Kota Tangerang Tahun 2012-2032 Gambar 12 menunjukan peta RTRW yang didapat dari badan perencanaan daerah. Peta yang awalnya perkecamatan digabungkan menjadi satu kota. Peta yang sudah digabungkan kemudian dibandingkan luasannya dengan lahan Ruang Terbuka Hijaunya dari kelas tutupan lahan yang sudah dibuat di citra landsat hasil pengolahan. Hasil pengolahan di overlay sehingga diketahui perubahan secara visual dalam bentuk peta. Kelas tutupan RTRW yang dibuat Pemda Kota Tangerang sebanyak tiga belas kawasan. Kawasan tersebut berupa: kawasan bandara, kawasan fasilitas bandara, kawasan pelayanan umum, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan perumahan, serta kawasan peruntukan industry yang masuk pada lahan terbangun. Kawasan pertahanan dan keamanan merupakan markas dan tempat latihan TNI yang masuk dalam lahan terbangun juga. Kawasan perlindungan setempat terletak di pusat kota disebabkan daerah ini rentan dengan terjadinya banjir. Rendahnya kawasan perlindungan setempat, sehingga dikawatirkan air menumpuk dan lambatnya infiltrasi ke dalam tanah. Kota membutuhkan banyak RTH untuk menjadi sumber resapan air dan sumur resapan buatan yang sedang banyak digalakan pemerintah. Biopori banyak digunakan pemerintah Kota Tangerang sebagai upaya Konservasi Tanah dan Air (KTA). Biopori memiliki keunggulan dalam hal harga yang relatif murah dan efektif. Kawasan semak, Ruang Terbuka Hijau, dan kawasan perlindungan setempat dimasukan dalam kelas RTH. Kawasan wisata dibuat kelas tersendiri, sehingga totalnya menjadi empat tutupan lahan.
25
Gambar 13 Peta kesesuaian RTRW dengan RTH 2005 Dari Gambar 13 dapat diketahui secara visual bahwa lahan terbangun yang banyak merubah Ruang Terbuka Hijau. Perubahan banyak menjadi pemukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Dapat dilihat bagian yang banyak berubah adalah bagian Barat Kota Tangerang dikarenakan oleh pesatnya pembangunan pabrik untuk keperluan industri. Tangerang Selatan juga berubah cepat karena besarnya pengaruh Developer swasta. Bagian Barat Kota Tangerang rentan banjir dan berdekatan dengan Provinsi DKI Jakarta, yaitu Jakarta Barat. Tabel 6 Kesesuaian RTRW dengan tutupan lahan tahun 2005 di Kota Tangerang Jumlah luas (ha) RTRW Kawasan Wisata lahan terbangun RTB RTH Jumlah Total
Tutupan tahun 2005 Lahan terbangun 35.10% 60.54% 12.11% 34.37% 52.93%
RTB 3.17% 1.30% 41.78% 1.39% 1.96%
RTH 61.74% 38.16% 46.11% 64.25% 45.10%
Jumlah Total 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
Pada Tabel 5, kelas tutupan lahan dari peta RTRW disederhanakan menjadi empat kelas tutupan lahan, yaitu: RTH, Ruang Terbuka Biru (RTB), lahan terbangun, dan kawasan wisata. Begitu juga dari citra Landsat olahan yang disederhanakan menjadi tiga tutupan kelas. Tiga kelas tutupan lahan tersebut, yaitu: RTH, RTB, dan lahan terbangun. kawasan wisata tidak bisa dimasukan dalam kawasan RTH, RTB, maupun lahan terbangun. Dalam penjelasan panduan RTRW Kota Tangerang, kawasan wisata bisa gabungan dari ketiganya, asalkan memiliki-
26 fungsi untuk wisata. Oleh karena itu kawasan wisata dimasukan ke dalam kelas yang berbeda. Dapat dilihat pada matriks perbandingan yang paling sesuai RTH dengan RTH sebesar 64.25% dan paling kecil RTB sebesar 41.78%. Kawasan wisata yang masuk RTB sebesar 3.17%, yang mana adalah kawasan sekitar Situ. Kawasan RTH yang masuk kedalam lahan terbangun sebesar 34.37%. Kawasan lahan terbangun yang masuk kedalam RTH ada 38.16% dan kawasan wisata yang masuk RTH adalah 61.76% dikarenakan banyak taman yang masuk kawasan RTH juga masuk ke dalam kawasan wisata.
Gambar 14 Peta kesesuaian RTRW dan RTH Kota Tangerang Tahun 2010 Pada Gambar 14 kesesuaian RTH dengan RTRW dapat dilihat. Perubahan terjadi pada bagian barat untuk peruntukan industri dan juga bagian selatan. Kota Tangerang Selatan mempengaruhi perkembangan pembangunan di daerah perbatasan Kota Tangerang. Perkembangan dari swasta pada Kota Tangerang Selatan yang signifikan, menyebabkan status administrasinya pun berubah dari Kabupaten, menjadi Kota yang mandiri. Tabel 7 Kesesuaian RTRW dengan tutupan lahan tahun 2010 di Kota Tangerang Jumlah luas (ha) RTRW Kawasan Wisata Lahan terbangun RTB RTH Jumlah Total
Tutupan tahun 2010 Lahan terbangun 49.67% 65.08% 9.87% 33.82% 56.10%
RTB 4.52% 1.50% 56.74% 1.41% 2.35%
RTH 45.80% 33.43% 33.39% 64.77% 41.55%
Jumlah Total 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
27 Dari data di Tabel 6 terlihat perubahan yang paling sesuai ada pada lahan terbangun dengan jumlah 65.08% dan paling kecil perubahan dari RTB ke RTB yang memiliki kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 41.78% menjadi 56.74%. Kawasan RTH yang masuk dalam lahan terbangun masih cukup besar sekitar 33.82%. Kawasan wisata yang masuk RTB sebesar 4.52% dan lahan terbangun yang masuk kawasan RTH sekitar 33.43%. Hal ini disebabkan masih adanya daerah pinggiran sungai yang digunakan sebagai pemukiman kumuh oleh orang tidak mampu.
Gambar 15 Peta kesesuaian RTRW dan RTH Kota Tangerang Tahun 2015 Trend pada Gambar 15 menunjukan perubahan yang terjadi tetap seperti tahun-tahun sebelumnya. Daerah alokasi industri di sebelah Barat dan Selatan Tangerang. Bandara juga memiliki pertambahan luasan lahan terbangun karena ditambahnya Terminal 3 Ultimate. Tabel 8 Kesesuaian RTRW dengan tutupan lahan tahun 2015 di Kota Tangerang Jumlah luas (ha) RTRW Kawasan Wisata lahan terbangun RTB RTH Jumlah Total
Tutupan tahun 2015 Lahan Terbangun 72.52% 78.83% 17.13% 50.05% 70.43%
RTB 1.72% 0.66% 58.21% 2.23% 1.96%
RTH Jumlah Total 25.76% 100.00% 20.51% 100.00% 24.65% 100.00% 47.72% 100.00% 27.61% 100.00%
28 Pada Tabel 7 tahun terakhir pengamatan didapat bahwa lahan terbangun sudah memiliki luasan yang mendekati RTRW yaitu 78.52%, RTB menjadi 58.21%, dan RTH mengalami penurunan menjadi 47.72%. Kawasan wisata memiliki kesesuaian perubahan menjadi 72.52% karena tidak adanya batasan yang jelas terhadap kawasan wisata, termasuk wisata terbangun, maupun wisata alam yang berwujud RTH dan RTB. Besarnya kesesuaian letak RTH dengan lahan terbangun sebesar 50.05%, yang dapat dilihat dari sisi ekologi baik, tetapi tidak mengikuti RTRW pada sisi lokasi pembangunan. Kawasan wisata yang masuk RTB sekitar 1.72% saja dikarenakan kondisi sungai dan Situ banyak tercemar. Kawasan wisata jadi RTH sebesar 25.76% dan lahan terbangun yang menjadi RTH sebesar 20.51%. Pada tahun 2005, 2010, dan 2015 luasan RTH sebesar 4357.74 ha, 2133.64 ha, dan 2036.07 ha, walaupun mengalami penurunan luasan, trendnya menunjukan hal positif. Pengurangan RTH yang terjadi dari rentan waktu 2010 ke 2015, lebih sedikit dibandingkan dari tahun 2005 ke tahun 2010, sehingga masih dapat optimis untuk memenuhi target RTH dengan RTRW pada tahun 2032.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perubahan tutupan lahan dari tahun 2005, 2010, dan 2015 menunjukan luasan lahan terbangun selalu meningkat hingga sebesar 3059 ha. Perubahan kecil terjadi dari tahun 2005 ke 2010 sebesar 4%. Perubahan besar terjadi dari tahun 2010 ke tahun 2015 sebesar 26%. Sebaliknya, perubahan tutupan lahan RTH mengalami penurunan besar tahun 2005 ke 2010 sebesar 63% dan mengalami sedikit peningkatan sebesar 15%. Hasil kesesuaian menunjukan RTRW memberi dampak positif pada pembangunan. Dampak dapat dilihat dari jumlah luasan yang meningkat sedikit, pada tahun di jalankannya RTRW. Pertambahan luasan RTH terjadi rentang tahun 2010 ke 2015 sebesar 224 ha. Meskipun secara luasan meningkat, tetapi kesesuaian RTH terhadap RTRW berkurang dari tahun ke tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian tahun 2005, 2010, dan 2015. Kesesuaian naik turun awalnya sebesar 64% di tahun 2005, menjadi 65% di tahun 2010, dan 48% di tahun 2015. Saran Dibutuhkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang Kota Tangerang yang disiplin, dalam rangka menghasilkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Perlu dilakukannya kegiatan penghijauan lebih lanjut pada tempatnya, agar luasan RTH tetap memenuhi kriteria luasan RTH di kawasan perkotaan. Hal ini dilakukan agar sesuai RTRW yang telah dibuat. Menjalankan pembangunan ramah lingkungan bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta dan masyarakat yang ikut dalam mengontrol pembangunan kota. Pembangunan yang berjalan sesuai rencana berdampak pada Kota yang nyaman untuk dihuni.
29
DAFTAR PUSTAKA Abdillah. 2006. Taman dan Hutan Kota. Jakarta (ID): Azka Mulia Media. [BAPLAN] Badan Planologi Kehutanan, Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. 2008. Pemantauan Sumber Daya Hutan. Jakarta (ID): PIPH BAPLAN DEPHUT. Badan Pusat Statistik (BPS), diakses dari www.bps.go.id/ttp://sp2010.bps.go.id, diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pada jam 20.20 WIB. Bintarto. 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta (ID): PT. Ghalia Indonesia. Baja S, Phill. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Briassoulis H. 1999. Analysis of Land Use Change: Theoretical and Modeling Approaches. Australia (AU): Rainforest CRC. [DPP] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Jakarta (ID): PT. Medisa. Hakim R, Utomo H. 2004. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Hermawan I. 2008. Deteksi Perubahan Penutupan Lahan Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menggunakan Citra Landsat Multiwaktu. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Jaya INS. (2010). Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Teori dan Praktik Menggunakan Erdas Imagine. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Jensen J. 2005. Introductory Digital Image Processing a Remote Sensing Perspective. United States (USA): Pearson Prentice Hall. [Kemendagri]. Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Jakarta (ID). [Kemenhut]. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 1999. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Jakarta (ID). Kohn M. 2004. Brave New Neighborhoods: The Privatization of public Space. New York (USA): Routledge. Lillesand TM, Kiefer RW. (1990). Penginderaan Jauh dan Penafsiran Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, Penerjemah; Susanto, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. Madanipour A. 1999. Why are the design and development of public spaces significant for cities, environment and planning, Planning and Design, Vol. 26 (6): 879-891. Republik Indonesia. 2002. Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta (ID). Purwadhi FSH (2001) Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID): Grasindo. Shirvani H. 1985. The Urban Design Process. New York (USA): Van Nostrand Siahaan J. 2010. Ruang Publik: Antara Harapan dan Kenyataan. Buletin Tata Ruang. ISSN: 1978 – 1571.
30
LAMPIRAN Kelas Tutupan Lahan User’s accuracy (%) Producer’s accuracy (%) Rawa 98.15 100 Badan air 95.40 94.16 Lahan pertanian 93.54 76.49 Semak 99.00 88.05 RTH 100 100 Lahan terbaik 90.72 98.21 Lampiran 1 Separabilitas citra landsat 5 tahun 2005
Kelas Tutupan Lahan Rawa Badan air Lahan terbangun Lahan pertanian RTH Semak
Kelas Tutupan Lahan Rawa Badan air Lahan terbangun Lahan pertanian RTH Semak
Rawa
Badan Lahan Lahan RTH Semak air terbangun pertanian 0 2000 2000 2000 1992.64 1850.86 2000 0 1926.35 1864.45 1999.30 2000 2000 1926.36 0 1999.99 2000 2000 2000 1864.45
1999.99
0 1822.71
2000
1992.643 1999.30 2000 1822.71 0 1955.03 1850.862 2000 2000 2000 1955.03 0 Lampiran 2 Separabilitas citra landsat 5 tahun 2010
Rawa
Badan Lahan Lahan RTH Semak air terbangun pertanian 0 1976.56 2000 2000 2000 2000 1976.56 0 2000 1999.77 2000 1986.93 2000 2000 0 1985.44 1928.1 2000 2000 1999.77
1985.44
2000 2000 2000 1986.93
1928.1 2000
0 1926.64 1992.48 1926.64 1992.48
0 2000
Lampiran 3 Separabilitas citra landsat 8 tahun 2015
2000 0
31
Kelas Tutupan Lahan Rawa Badan air Lahan terbangun Lahan pertanian RTH Semak
Rawa Badan air
Lahan Lahan RTH terbangun pertanian
Semak
0 2000 2000
2000 0 2000
2000 2000 0
2000 2000 1999.94
2000 2000 2000
2000 2000 2000
2000
2000
1999.94
0
2000
2000
2000 2000 2000 2000 2000 2000 Lampiran 4 Akurasi ketelitian
0 2000
2000 0
2000 2000
32
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 13 Oktober 1992 sebagai anak kedua dari pasangan Elfiur dan Hidayati. Penulis menjalani pendidikan formal dari TK Dewi Sartika Tangerang (1997-1999), SDN Daan Mogot 3 selama satu tahun (1999-2000) pindah ke SDIT Asy-Syukriyyah selama 5 tahun (2000-2005), kemudian melanjutkan ke jenjang SMP di SMPIT Asy-Syukriyyah (2005-2008), lanjut kejenjang SMA di SMAN 7 Tangerang (2008-2011). Penulis masuk IPB melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) undangan dan terdaftar sebagai mahasiwa Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehuutanan IPB. Sejak Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis sudah aktif diberbagai kepanitian & organisasi dikampus, sebagai anggota Humas (Hubungan Masyarakat) Open House 49, Logstran (Logistic dan Transportasi) Jurnalistic fair,sebagai panitia BCR 2013, sebagai panitia pemira 2013, sebagai panitia I-Share 2013, sebagai anggota IFSA (International Forestry Student Club) dan IGAF (Indonesia Green Action Forum), sebagai wakil ketua BHR (Bina Hutan Rakyat) FMSC 2013, Sebagai delegasi Asia-Pacific Water Forum di Chiang Mai Thailand 2013 sebagai paniitia IBF 2014, sebagai panitia IPB Green Ambasador 2014, sebagai social media team di Forest Asea Summit 2014, sebagai finalis IPB Bussiness competition 2015, dan Sebagai volunter di Preparation Committe Habitat III (2016), Surabaya. Praktik yang pernah diikuti penulis sendiri, yakni: Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) Jalur Papandayan – Sancang Timur pada tahun 2013, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi pada tahun 2014 dan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Inhutani II Unit Malinau Kalimantan Utara pada tahun 2015.