IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA ANAK USIA SEKOLAH PRAPUBERTAS DI KOTA SERANG TAHUN 2014 Asih Nur Rahmaniah Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas di Kota Serang pada tahun 2014. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kulitatif kepada 3 kelompok informan, yaitu siswa kelas 1-4, orang tua dan guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan informasi tentang kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas berbeda-beda untuk tiap tingkatan kelasnya. Sumber informasi utama tentang kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas adalah orang tua dan guru. Sementara itu, media yang paling disukai oleh anak dalam pendidikan kesehatan reproduksi adalah media video atau film, sedangkan metode yang dapat digunakan adalah metode permainan untuk kelas 1 dan 2 serta metode diskusi untuk kelas 3 dan 4. Kata kunci : kebutuhan, pendidikan, reproduksi, prapubertas
Identification of Reproductive Health Education Needs on Prapuberty School-Age Children in Serang City on 2014 Abstract This study is aimed to identify the needs of reproductive health education on prapuberty school-age children in Serang City on 2014. This study used qualitative method to 3 groups of informants; the 1st-4th grade students, the parents and the teachers. The result shows that the needs of reproductive health informations for prapuberty school-age children were different for every grade. The main source of information about reproductive health for prapuberty school-age children were parents and teachers. Meanwhile, the most favorite media in reproductive health education was the video or film, and the methods which can be used in delivering the information about reproductive health were games for 1st and 2nd grade, discussion for 3rd and 4th grade. Keywords : needs, education, reproductive, prapuberty
Pendahuluan Salah satu dari 12 Hak Reproduksi yang teruang dalam ICPD 1994 adalah hak atas pendidikan dan informasi. Tiap orang, laki-laki atau perempuan dan khususnya semua anakanak, mempunyai hak untuk pendidikan dan mempunyai akses yang sama untuk mendapatkan informasi terkini dan informasi yang sesuai tentang layanan dan metode keluarga berencana, penyakit menular seksual dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan seksual dan reproduksi (FKM UI, 2011). Hak anak atas pendidikan dan informasi ini juga dijamin oleh
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
negara sebagaimana tercantum dalam pasal 9 dan 10 Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Mengacu kepada dua pasal tersebut, anak berhak memperoleh pendidikan dan informasi yang dibutuhkan, termasuk pendidikan dan informasi tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan tentang kehidupan seksual dan reproduksi merupakan pengetahuan yang sangat penting untuk diberikan kepada setiap orang, termasuk anak-anak. Pengetahuan ini dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan reproduksi. Tujuan diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini adalah untuk memberikan informasi yang tepat dan benar terkait kesehatan reproduksi manusia. Pengetahuan yang tepat dan benar tentang kesehatan reproduksi ini diharapkan dapat menjadi bekal saat anak memasuki masa remaja (SIECUS, 2008). Di Indonesia, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas masih dianggap tabu di kalangan masyarakat. Pendidikan kesehatan reproduksi juga masih dianggap sebagai suatu bentuk pengajaran tentang bagaimana melakukan hubungan seksual. Alasan ini yang membuat banyak orang tua tidak memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini (Verawati, 2013). Selama ini, program yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya pemberian pendidikan kesehatan reproduksi hanya fokus kepada kelompok remaja. Padahal, pendidikan kesehatan reproduksi juga penting diberikan kepada kelompok anak usia sekolah prapubertas. Pentingnya pemberian pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sedini mungkin didasarkan atas beberapa alasan. Usia pubertas pada anak diketahui semakin cepat dari tahun ke tahun. Selain itu, kejahatan dan pelecehan seksual pada anak semakin marak. Menurut Widyowati (2013) maraknya kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan salah satu akibat kurangnya pembekalan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi pada anak maupun remaja. Derasnya arus informasi yang semakin terbuka juga memberikan akses kepada anak terhadap berbagai informasi terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas yang belum pasti kebenarannya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tindakan orang tua yang sama sekali menutup akses informasi anak terhadap kesehatan reproduksi karena menganggap informasi tersebut adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Ditambah lagi, ketika rasa ingin tahu anak tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas meningkat, orang tua merasa kebingungan untuk menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh anak. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas di Kota Serang tahun 2014.
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Tinjauan Teoritis Tinjauan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggabungan antara teori tumbuh kembang anak, konsep pendidikan dan proses komunikasi. Proses komunikasi merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Adapun unsurunsur komunikasi dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas adalah sebagai berikut: a. Komunikator Komunikator dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas adalah semua orang atau sumber yang menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi kepada anak usia sekolah prapubertas. Orang-orang yang dapat berperan sebagai komunikator dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas antara lain guru, orang tua dan tenaga kesehatan. b. Komunikan Komunikan dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas adalah kelompok yang menjadi sasaran pendidikan. Dalam hal ini, yang menjadi komunikan adalah anak usia sekolah prapubertas. c. Pesan (message) Pesan merupakan segala bentuk informasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas, pesan merupakan informasi-informasi tentang kesehatan reproduksi yang dibutuhkan oleh anak usia sekolah prapubertas sesuai dengan tingkatan umur. d. Saluran (channel) Saluran merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan informasi dari komunikator kepada komunikan. Dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas, saluran meliputi media dan metode yang dapat digunakan dalam menyampaikan informasi-informasi tentang kesehatan reproduksi kepada anak usia sekolah prapubertas. Dari tinjauan teori di atas, dibuatlah kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini, sebagaimana tergambar dalam bagan berikut:
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Komunikator : a. Sumber Informasi b. Sikap Orang tua dan Guru
Pesan : Materi Saluran a. Media b. Metode
Komunikan : a. Pengetahuan b. Rasa Ingin Tahu
Umpan balik (feedback)
Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah Rapid Assessment Procedures (RAP). Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2014 di Sekolah Dasar Negeri Bhayangkari Kota Serang. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 metode, yaitu Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan kepada 3 kelompok informan, yaitu siswa kelas 1-4 SD, guru dan orang tua. Validasi data dilakukan dengan menggunakan triangulasi sumber dan metode. Adapun proses analisis data dilakukan dengan teknik content analysis. Hasil dan Pembahasan 1. Pengetahuan Anak Usia Sekolah Prapubertas tentang Kesehatan Reproduksi Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa pengetahuan anak usia sekolah prapubertas adalah sebagai berikut: a. Kelas 1 SD Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa kelas 1 SD telah memiliki pengetahuan tentang anggota tubuh, perbedaan laki-laki dan perempuan, peran ayah dan ibu di dalam keluarga serta bayi berasal dari perut ibu. Pengetahuan ini sesuai dengan pendapat Schulz dan Sally (1969) yang menyatakan bahwa siswa kelas 1 SD seharusnya sudah memiliki pengetahuan tentang asal-usul bayi serta perbedaan lakilaki dan perempuan. Siswa kelas 1 SD juga seharusnya memiliki pengetahuan tentang peran seks. Pada penelitian ini, pengetahuan anak tentang peran seks dinyatakan melalui peran ayah dan ibu dalam keluarga.
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Pengetahuan lain yang dimiliki oleh siswa kelas 1 SD adalah tentang anggotaanggota tubuh yang harus ditutupi. Siswa juga sudah memahami alasan mengapa anggota-anggota tubuh tersebut harus ditutup. Pengetahuan ini sesuai dengan pendapat Pertiwi (2007) yang menyatakan bahwa siswa kelas rendah seharusnya memiliki pengetahuan tentang nilai etika, salah satunya adalah berpakaian sopan. Selain pengetahuan di atas, siswa kelas 1 juga sudah mengetahui bagaimana seharusnya berperilaku terhadap orang yang tidak dikenal. Pengetahuan ini penting sebagai bekal bagi anak agar terhindar dari berbagai bentuk kejahatan terutama kekerasan dan pelecehan seksual. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikutip dari ICRP (2014) yang menyebutkan bahwa anak harus memiliki keberanian untuk menolak jika ada orang lain yang memperlakukannya dengan tidak baik. Menurut Pertiwi (2007) pengetahuan tentang bagaimana menjaga diri dari tindak kejahatan seksual dapat diberikan kepada anak saat anak duduk di bangku kelas 3. Akan tetapi, semakin maraknya kejadian kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi pada anak membuat informasi tentang bagaimana menjaga diri dari kejahatan seksual, termasuk di dalamnya bagaimana anak seharusnya berhadapan dengan orang yang tidak dikenal, harus diberikan kepada anak pada usia yang lebih dini (Kristiani, 2010). b. Kelas 2 SD Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa siswa kelas 2 SD sudah memahami apa yang dimaksud dengan pertumbuhan. Siswa juga sudah mampu mengidentifikasi perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan pertumbuhannya. Pengetahuan siswa kelas 2 tentang pertumbuhan ini sesuai dengan pendapat Schulz dan Sally (1969) yang menyatakan bahwa siswa kelas 2 SD seharusnya sudah memiliki pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan pertumbuhan serta mampu mengidentifikasi tanggung jawab yang timbul akibat terjadinya pertumbuhan. c. Kelas 3 SD Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa kelas 3 SD sudah memiliki pengetahuan tentang perbedaan spesifik laki-laki dan perempuan. Mereka tidak hanya membedakan laki-laki dan perempuan dari tampilan fisiknya saja, tetapi juga dari sudut pandang gender. Siswa kelas 3 SD juga sudah memiliki pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain, terutama dengan teman lawan jenis. Selain itu, siswa kelas 3 juga mampu menjelaskan proses reproduksi makhluk hidup, terutama manusia dan hewan. Pengetahuan yang dimiliki oleh siswa kelas 3 SD ini sesuai dengan pendapat Schulz dan Sally (1969) yang menyatakan bahwa siswa kelas
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
3 seharusnya sudah memiliki pengetahuan tentang identitas seksual, perbedaan spesifik laki-laki dan perempuan, menjalin hubungan dengan orang lain serta mengidentifikasi proses reproduksi makhluk hidup. Pengetahuan lain yang dimiliki oleh siswa kelas 3 adalah tentang sunat. Pada siswa perempuan, sebagian besar masih menganggap bahwa sunat tidak hanya wajib bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan. Padahal, sunat hanya wajib bagi laki-laki saja. Kesalahan pemahaman anak tentang sunat ini salah satunya dipengaruhi oleh budaya sunat pada perempuan yang masih banyak dilakukan di Indonesia. Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap sunat perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi sunat perempuan di Indonesia masih cukup tinggi (Putranti, 2008). Ketika ditanyakan tentang alasan sunat, siswa kelas 3 SD sudah mampu menyebutkan alasan mengapa laki-laki harus disunat meskipun belum sepenuhnya tepat. Siswa hanya mengetahui alasan sunat untuk menjaga kesucian diri dan membersihkan dari kotoran. Padahal, sunat dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang tersumbat dalam lapisan kulit yang membungkus penis (Basuki, 2010). d. Kelas 4 SD Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa siswa kelas 4 SD sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan pubertas. Istilah pubertas lebih dikenal oleh siswa dengan aqil baligh. Siswa juga sudah mengetahui ciri-ciri pubertas, yakni menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Selain tentang pubertas, siswa juga sudah mengetahui proses terjadinya bayi dari janin hingga dilahirkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Schulz dan Sally (1969) yang menyatakan bahwa siswa kelas 4 SD seharusnya sudah memiliki pengetahuan tentang proses reproduksi dan pubertas. Menurut Schulz dan Sally (1969), siswa kelas 4 SD seharusnya sudah memiliki pengetahuan tentang proses fertilisasi. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa kelas 4 SD hanya mengetahui proses reproduksi setelah janin terbentuk hingga dilahirkan. Siswa belum memiliki pengetahuan tentang proses fertilisasi. Pengetahuan lain yang dimiliki oleh siswa kelas 4 SD adalah tentang pacaran. Mereka sudah mampu mengidentifikasi perilaku orang-orang yang berpacaran. Sayangnya, pengetahuan yang dimiliki oleh siswa kelas 4 SD tentang pacaran ini tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang perilaku mana saja yang berisiko terhadap kehidupan seksual dan reproduksi anak. Menurut Henny dalam Mulatsih (2010), pengetahuan anak tentang perilaku pacaran dapat diperoleh anak melalui beberapa
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
cara. Anak mungkin pernah melihat langsung perilaku orang dewasa yang berpacaran atau anak melihat perilaku pacaran dari media seperti dari tontonan-tontonan yang ada di televisi. Dengan tingkat perkembangan anak yang masih berada pada tahap latent learning, anak kemudian seringkali meniru apa yang mereka lihat. Jika hal ini dibiarkan tanpa pengawasan, maka dapat membuat anak terjerumus ke dalam perilaku yang berisiko. 2. Rasa Ingin Tahu Anak Usia Sekolah Prapubertas Terhadap Kesehatan Reproduksi Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa anak usia sekolah prapubertas mulai memiliki banyak pertanyaan seputar kesehatan reproduksi. Hal ini ditunjukkan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa kepada fasilitator selama kegiatan FGD berlangsung. Selain itu, keingintahuan siswa terhadap kesehatan reproduksi juga tergambar melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada orang tua dan guru mereka di sekolah. Rasa ingin tahu anak terhadap kesehatan reproduksi ini sejalan dengan pendapat Creswell, et al (1985) yang menyatakan bahwa anak usia sekolah sangat tertarik dan ingin tahu tentang tubuhnya. Menurut Risman dalam Chaerani (2003), rasa ingin tahu anak terhadap kesehatan reproduksi dan seksualitas merupakan suatu hal yang wajar. Rasa ingin tahu tersebut merupakan konsekuensi dari perkembangan anak. Hapsari (2008) menyatakan bahwa rasa ingin tahu anak yang memuncak terhadap seksualitas biasanya diawali oleh kesadaran akan perbedaan bentuk fisik dan bentuk alat kelamin antara lakilaki dan perempuan. Hal ini kemudian semakin mendasari mereka untuk melakukan eksplorasi lebih jauh terhadap dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Kobong (2007) menyatakan bahwa ketika anak mulai bertanya, hanya ada 2 hal yang sedang mereka hadapi, yaitu anak sungguh-sungguh bertanya karena mereka memang tidak tahu atau anak sebenarnya hanya memerlukan informasi tambahan. Banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh anak usia sekolah prapubertas seputar kesehatan reproduksi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka belum mendapatkan informasi-informasi tentang kesehatan reproduksi yang mereka butuhkan untuk menjawab rasa ingin tahunya. 3. Materi Pendidikan Kesehatan Reproduksi yang Dibutuhkan Oleh Anak Usia Sekolah Prapubertas Seluruh informan orang tua dan guru sepakat bahwa pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak harus diberikan sesuai dengan kemampuan berpikir anak. Artinya, pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas diberikan secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Gunarsa (1991) yang menyatakan bahwa pendidikan seks pada anak harus diberikan secara berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Dalam penelitian ini, pengukuran kebutuhan materi pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah dengan bertanya kepada anak usia sekolah prapubertas tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang ingin mereka ketahui seputar kesehatan reproduksi. Cara kedua yang digunakan untuk mengukur kebutuhan materi pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas adalah dengan bertanya kepada orang tua dan guru. Informasi tentang pengetahuan dan rasa ingin tahu anak terhadap kesehatan reproduksi menjadi acuan dalam merumuskan materi yang diperlukan dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas. Selain itu, masukan dari orang tua dan guru juga digunakan untuk menyusun materi pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas. Berikut adalah materi pendidikan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan oleh anak usia sekolah prapubertas berdasarkan tingkatannya yang telah dirumuskan dari pengetahuan dan rasa ingin tahu anak terhadap kesehatan reproduksi serta masukan dari orang tua dan guru: a. Kelas 1 SD 1. Anggota tubuh manusia beserta fungsinya 2. Anggota-anggota tubuh yang harus ditutupi beserta alasannya 3. Perbedaan laki-laki dan perempuan secara fisik 4. Perbedaan bayi manusia dan bayi binatang 5. Cara berhadapan dengan orang yang tidak dikenal 6. Menjaga kebersihan alat kelamin 7. Perbedaan peran ayah dan ibu di dalam keluarga b. Kelas 2 SD 1. Konsep pertumbuhan 2. Proses pertumbuhan 3. Perbedaan peran di dalam keluarga 4. Proses terjadinya anak kembar 5. Proses keluarnya bayi dari dalam perut
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
c. Kelas 3 SD 1. Perbedaan spesifik laki-laki dan perempuan (termasuk perbedaan yang disebabkan oleh pengaruh hormonal) 2. Menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain, termasuk teman lawan jenis 3. Praktek kebersihan seperti mandi dan bersuci 4. Alasan sunat bagi anak laki-laki d. Kelas 4 SD 1. Proses terjadinya bayi dari janin hingga dilahirkan 2. Konsep pubertas atau aqil baligh 3. Ciri-ciri pubertas pada laki-laki dan perempuan (mimpi basah dan menstruasi) 4. Sumber Informasi tentang Kesehatan Reproduksi bagi Anak Usia Sekolah Prapubertas Ketika siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan seputar kesehatan reproduksi, mereka selalu memberikan jawaban sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Untuk setiap pertanyaan, siswa diberikan pertanyaan lanjutan tentang asal-usul informasi yang mereka ketahui. Dari pertanyaan ini, diketahui bahwa siswa memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi dari berbagai sumber seperti orang tua, guru, teman dan dari berbagai media seperti televisi, internet, radio. Hanya sebagian kecil siswa yang menyatakan bahwa ia memperoleh informasi dari buku. Hal ini menunjukkan bahwa masih belum ada satu sumber terpercaya yang secara khusus memberikan informasi kepada anak usia sekolah prapubertas mengenai kesehatan reproduksi. Ketika ditanyakan tentang siapa orang yang paling disukai dalam menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi, sebagian besar siswa menjawab lebih senang jika dijelaskan oleh guru dan orang tua terutama ibu. Hal ini sejalan dengan penelitian Wahyuni (2002) yang menunjukkan bahwa sumber informasi utama tentang kesehatan reproduksi pada anak prapubertas adalah guru dan orang tua. Hal ini disebabkan karakteristik anak prapubertas yang masih memiliki keinginan yang kuat untuk tetap bergantung kepada orang dewasa atau orang tua. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh guru maupun orang tua tentang kesehatan reproduksi ternyata masih rendah. Hal ini tercermin dari jawaban yang diberikan ketika diberi pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi. Sebagian besar dari mereka hanya menjawab kesehatan reproduksi menyangkut kesehatan sistem reproduksi saja. Selain itu, mereka juga masih belum membuka diri untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi kepada anak. Ketika anak mengajukan pertanyaan tentang kesehatan
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
reproduksi kepada orang tua maupun guru, jawaban yang diberikan kepada anak membuat anak akhirnya enggan untuk bertanya lebih jauh. Padahal, anak mungkin ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang mereka tanyakan. Hal ini terbukti dari jawaban yang diberikan oleh anak ketika diberi pertanyaan-pertanyaan seputar kesehatan reproduksi. Banyak dari mereka yang menjawab dengan pernyataan bukan muhrim, tidak pantas untuk dibicarakan, dan jawaban lain yang diadaptasi oleh anak dari jawaban-jawaban yang mereka peroleh ketika mereka menanyakan hal yang sama kepada orang tua maupun guru di sekolah. Menurut Wahyuni (2002), ketika anak bertanya dan mendapat jawaban seperti bukan muhrim, tidak pantas untuk dibicarakan, maka ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pada anak yang rasa ingin tahunya cukup besar, ia akan mencari informasi dari sumber yang lain, sedangkan pada sebagian anak lainnya mereka merasa cukup dengan informasi yang diberikan. Untuk memuaskan rasa ingin tahunya anak mencari tahu dari berbagai sumber seperti internet, televisi, radio, buku atau bertanya kepada temannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Risman dalam
Listiyana (2010) yang
menyatakan bahwa akses informasi tentang seksualitas pada anak diperoleh dari berbagai media yang sangat dekat dengan keseharian anak-anak seperti internet, handphone, buku komik, televisi dan play station. Ini menunjukkan bahwa belum ada satu sumber terpercaya yang secara khusus dibuat untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas. 5. Media Penyampaian Informasi tentang Kesehatan Reproduksi bagi Anak Usia Sekolah Prapubertas Sesuai dengan teori Piaget tentang perkembangan kognitif, anak usia 7-11 tahun berada pada tahap konkrit-operasional (Santrock, 2003). Pada tahap ini, penalaran logika menggantikan penalaran intuitif pada anak, meski hanya dalam situasi yang konkrit. Perkembangan ini membuat anak lebih suka dengan sesuatu yang bisa dilihat. Perkembangan kognitif anak usia sekolah prapubertas yang berada pada tahap konkrit-operasional membuat keberadaan alat peraga dalam pendidikan kesehatan reproduksi menjadi sangat penting. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar siswa kelas 1 sampai kelas 4 memilih media film sebagai media yang paling disukai dalam proses penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi. Film yang dimaksud di sini adalah video yang diputar yang memiliki gambar dan suara sehingga dapat dilihat dan didengar. Media seperti ini dalam pendidikan kesehatan merupakan contoh alat bantu lihat-dengar (audio-visual).
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Menurut Johann Heinrich Pestalozzi dalam teorinya yang dikenal dengan Teori Audio Visual Memory (AVM), disebutkan bahwa melalui pengembangan AVM, dapat dikembangkan potensi lain seorang anak seperti daya imajinasi, kreativitas bakat dan minat. Menurut Pestalozzi, melalui media audio-visual anak dapat mengoptimalkan pendengarannya, menggunakan penglihatan dengan baik serta menggunakan dan melatih ingatan secara baik. Hal ini yang membuat penyampaian informasi melalui media audiovisual lebih mudah dipahami dibandingkan media lainnya (Benardi, 2011). 6. Metode Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada Anak Usia Sekolah Prapubertas Metode yang bisa digunakan dalam penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi perlu dibedakan untuk tingkatan kelasnya. Bagi siswa kelas rendah (kelas 1 dan 2), metode yang bisa digunakan adalah metode permainan. yang bisa digunakan dalam penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi perlu dibedakan untuk tingkatan kelasnya. Bagi siswa kelas rendah (kelas 1 dan 2), metode yang bisa digunakan adalah metode permainan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wachowiak dan Clements (1993), karakteristik siswa kelas 1 dan 2 adalah aktif dan mudah bergembira. Selain itu, siswa kelas 1 dan 2 cenderung memiliki waktu yang terbatas pada minat dan mudah bosan. Oleh karena itu, untuk mengatasi rasa bosan ini, metode permainan merupakan metode yang tepat untuk siswa kelas 1 dan 2. Sedangkan untuk siswa kelas 3 dan 4, metode diskusi dapat digunakan untuk menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik siswa kelas 3 dan 4 sudah mampu memulai bekerja dengan kelompok. Selain itu, kemampuan kritik dan evaluasi diri juga sudah mulai berkembang, sehingga dalam diskusi, setiap siswa sudah mampu untuk berpartisipasi secara aktif. 7. Sikap Orang Tua dan Guru Terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi Pada Anak Usia Sekolah Prapubertas Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa seluruh informan orang tua dan guru memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas. Hal ini tergambar dalam pernyataan mereka yang menyebutkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi adalah sesuatu yang penting diberikan kepada anak. Namun, meskipun semua informan guru dan orang tua memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan kesehatan reproduksi, sebagian besar dari mereka masih enggan untuk memberikan pendidikan tersebut kepada anak karena berbagai alasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Meskipun memiliki sikap positif
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
terhadap pendidikan kesehatan reproduksi, kenyataannya orang tua dan guru tidak memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak usia sekolah prapubertas. Kelompok informan orang tua menyatakan bahwa mereka enggan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak karena merasa anak-anak mereka masih terlalu kecil untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mardiyanti, dkk (2003) yang menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua menganggap pendidikan seksualitas belum tepat diberikan kepada anak usia sekolah prapubertas. Salah satu informan yang merupakan ibu dari salah satu siswa juga menyatakan bahwa dirinya merasa kesulitan dalam memberikan penjelasan kepada anak laki-lakinya terkait kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikannya yang hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) sehingga ia merasa tidak mampu memberikan penjelasan yang tepat kepada anak. Selain itu, perbedaan jenis kelamin antara dirinya dan anaknya juga membuat pemberian pendidikan kesehatan reproduksi menjadi sulit untuk dilakukan. Sementara itu, suaminya juga tidak turun tangan untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak laki-lakinya. Ini merupakan salah satu fakta yang menunjukkan bahwa di dalam masyarakat, tanggung jawab untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak masih dibebankan kepada ibu sehingga ayah tidak ikut berkontribusi dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak karena merasa bahwa itu bukanlah tanggung jawabnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyudin (2007) yang menyatakan bahwa pada masyarakat, pendidikan anak-anak dianggap sebagai tanggung jawab ibu, sedangkan ayah hanya bertanggung jawab untuk mencari nafkah. Sementara itu, kelompok informan guru juga menyatakan bahwa mereka tidak secara khusus memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada siswa di sekolah. Alasannya adalah karena tidak ada pelajaran di sekolah bagi siswa kelas 1 sampai kelas 4 yang berisi muatan tentang kesehatan reproduksi. Kalaupun ada, penjelasan yang diberikan kepada siswa tidak komprehensif karena siswa dianggap masih terlalu kecil untuk mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi. Selain alasan di atas, keengganan orang tua dan guru dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas adalah karena adanya beberapa kendala. Mereka tidak mengetahui bahasa seperti apa dan bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan kepada anak tentang kesehatan reproduksi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mardiyanti, dkk (2003) yang menunjukkan bahwa orang tua tidak memberikan
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak karena bingung bagaimana cara menyampaikan kepada anak mereka. Kendala lain dalam memberikan penjelasan kepada anak tentang kesehatan reproduksi adalah tidak tersedianya media atau alat peraga yang dapat membantu dalam memberikan penjelasan kepada anak. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perkembangan kognitif anak usia sekolah berada pada tahap concrete operasional, di mana segala informasi akan lebih mudah dimengerti jika diaplikasikan pada contoh yang konkrit. Tidak hanya sampai di situ, baik orang tua maupun guru seolah-olah saling melemparkan tanggung jawab dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah prapubertas. Hal ini terbukti dari pernyataan orang tua dan guru dalam proses wawancara mendalam. Salah satu informan guru menyatakan bahwa orang tua masih banyak yang tidak peka dengan perubahan yang terjadi pada anak-anak mereka terkait kesehatan reproduksinya. Hal ini membuat banyak orang tua yang akhirnya menyerahkan tanggung jawab dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak kepada guru di sekolah. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Noshirma (2010) yang menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua mengharapkan guru sebagai pemberi pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak Sekolah Dasar. Hal ini bertentangan dengan pendapat guru di sekolah. Menurut guru di sekolah, orang tua seharusnya menjadi orang yang pertama kali memberikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak. Selain itu, antara orang tua dan guru juga masih belum memiliki keseragaman pengetahuan dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak usia sekolah prapubertas. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kesenjangan tingkat pendidikan antara orang tua dan guru. Kondisi ini berpotensi menimbulkan adanya ketimpangan informasi yang dapat memicu kebingungan pada anak. Kesimpulan 1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas berbedabeda pada masing-masing tingkatan kelas. 2. Rasa ingin tahu anak usia sekolah prapubertas terhadap kesehatan reproduksi cukup bervariasi. Hal ini tergambar melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa selama proses FGD dan pertanyaan yang diajukan kepada orang tua dan guru. 3. Materi pendidikan kesehatan reproduksi yang harus diberikan kepada siswa kelas 1 sampai kelas 4 SD berbeda-beda pada masing-masing tingkatannya. Selain pengetahuan,
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
siswa juga diberikan materi tentang perilaku seperti perilaku menjaga kebersihan organ reproduksi serta perilaku terhadap orang yang tidak dikenal. 4. Sumber informasi tentang kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas yang utama adalah orang tua dan guru. Khusus pada siswa kelas 4, sumber informasi tentang kesehatan reproduksi juga berasal dari teman. 5. Media informasi tentang kesehatan reproduksi yang paling disukai oleh anak usia sekolah prapubertas adalah media video atau film. 6. Metode pendidikan kesehatan reproduksi yang dapat digunakan di kelas 1 dan 2 adalah metode permainan, sedangkan di kelas 3 dan 4 adalah metode diskusi. 7. Seluruh orang tua dan guru memiliki sikap positif terhadap pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas. Namun, meskipun demikian, mereka masih enggan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak karena berbagai kendala seperti tidak adanya media dan alat peraga serta kendala dalam penggunaan bahasa yang tepat untuk memberikan penjelasan tentang kesehatan reproduksi pada anak. Saran 1. Bagi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Terkait Pengambil kebijakan dalam hal ini Kementerian Kesehatan dapat bekerja sama dengan Kementerian terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi dalam penyusunan modul pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas. Dalam proses penyusunan modul ini, pihak orang tua, guru maupun tenaga kesehatan dapat dilibatkan mengingat ketiga kelompok ini adalah orang-orang yang bersentuhan langsung dengan anak di lapangan. Modul yang dibuat berisi materi-materi atau informasi-informasi tentang kesehatan reproduksi yang harus disampaikan kepada anak usia sekolah prapubertas disertai dengan media atau alat bantu dan metode atau cara penyampaiannya. Modul ini akan sangat membantu orang tua, guru maupun tenaga kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak usia sekolah prapubertas. 2. Bagi LSM Pemerhati Anak Dari hasil penelitan yang telah dilakukan, diketahui bahwa salah satu kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas adalah kebutuhan pelatihan bagi orang tua dan guru. Instansi lain seperti LSM yang peduli terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dapat melakukan seminar atau pelatihan bagi orang tua dan guru agar kedua kelompok ini mampu membuka diri terhadap isu-isu kesehatan
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
reproduksi dan memiliki keterampilan yang sama dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas. 3. Bagi Peneliti Lain Hasil dari penelitian ini masih perlu dikembangkan kembali. Penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti dengan pengaplikasian materi, media dan metode yang disarankan dalam penelitian ini. Penelitian lanjutan tersebut dilakukan untuk mengukur seberapa efektif pendidikan kesehatan reproduksi pada anak usia sekolah prapubertas. Daftar Pustaka Basuki. (2010). Teknik Sirkumsisi. Malang: RSSA Malang Benardi, I.C. (2011). Perancangan Komunikasi Visual Media Interaktif Pembelajaran Untuk Anak Tuna Rungu. http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2011-2-00201-ds%20bab%204.pdf Diakses tanggal 30 April 2014. Chaerani, N. & Nurachmi W. (2003). Biarkan Anak Bicara. Jakarta : Republika Comprehensive Health Education Curriculum. (2014). http://schools.nyc.gov/Academics/FitnessandHealth/StandardsCurriculum/Comprehensi veHealthEd.htm Diakses tanggal 13 Februari 2014. Creswell, W.H, Ian M. Newman & C.L. Anderson. (1985). School Health Practice, Eight Edition. Missouri: Times Mirror/ Mosby College Publishing. Gunarsa, S.D & Gunarsa, S.Y. (1991). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BDK Gunung Mulia. Hapsari, M.I. (2008). Penerapan Pendidikan Seks di PAUD (Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak) Sebagai Upaya Pencegahan dan Penanganan Perilaku Seksual yang Bermasalah Pada Anak. http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/22/jhptump-ump-gdlmelatiismi-1061-1-melati1-4.pdf Diakses tanggal 27 Juni 2014. Hurlock, E.B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 2, Cetakan kelima. Jakarta: Erlangga. ICRP. (2014). 5 Upaya Mencegah Pelecehan Seksual Pada Anak. http://icrponline.org/en/2014/05/06/5-upaya-mencegah-pelecehan-seksual-pada-anak/ Diakses tanggal 27 Juni 2014 Kobong, B.K. (2007). Bagaimana Harus Memulainya? Tanya Jawab Antara Anak Remaja dan Orang Tua Seputar Seksualitas. Jakarta: Yayasan Sahabat Peduli. Kristiani, R. (2010). Haruskah Anak Kita Menjadi Korban?. Newsletter PULIH. Vol.15, Juni, 2010. http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf Diakses tanggal 28 Juni 2014
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Listiyana, A. (2010). Peranan Ibu Dalam Mengenalkan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini. http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/viewFile/1998/pdf Diakses tanggal 27 Juni 2014. Mardiyanti, Martha E. & Rizkiana H. (2003). Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Pada Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun). Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia. [Laporan Penelitian]. Mulatsih, I. (2010). Pacaran? Beri Pendidikan http://m.tabloidnova.com/layout/set/print/Nova/Keluarga/Anak/Pacaran-BeriPendidikan-Seks Diakses tanggal 28 Juni 2014
Seks.
Noshirma, M. (2010). Analisis Persepsi Orang Tua Terhadap Kebutuhan Pendidikan Seks Pada Anak Sekolah Dasar. http://eprints.undip.ac.id/17178/1/3814.pdf Diakses tanggal 28 Juni 2014 Notoatmodjo, S. (1993). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jogjakarta: Penerbit Andi Offset. ---------------------. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Pertiwi, K.R. (2007). Urgensi Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sebagai Bagian Integratif Pembelajaran IPA. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132319831/makalah%20semnas%20mipa%2020 07.pdf Diakses tanggal 25 Juni 2014 Pontoh, V.E. (2013). Pentingnya Pendidikan Seksualitas Sejak Dini Di Tengah Merebaknya Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual. http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/ipkh1363215396.pdf Diakses tanggal 14 Februari 2014. Putranti, B.D. (2008). To Islamize, Becoming a Real Woman or Commercialized Practices? Questioning Female Genital Cutting in Indonesia. Finnish Journal of Ethnicity and Migration. Vol.3, No.2. http://ihmisoikeusliitto.fi/wpcontent/uploads/2014/05/Female_Genital_Cutting_in_the_ Past_and_Today_FJEM_2008.pdf Diakses tanggal 28 Juni 2014 Santrock, J.W. (2003). Children. Boston : McGraw Hill. School-Age Children Development. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002017.htm Diakses Februari 2014.
(2012). tanggal 15
Scrimshaw, S. & Elena Hurtado. (1983). RAP: Rapid Anthropological Assessment Procedures. http://www.clocc.net/images/pdf/Scrimshaw91404.pdf Diakses tanggal 24 Juni 2014 Sex
Education-Primary School Children. (2011). http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Sex_education_primary _school_children?open Diakses tanggal 10 Februari 2014.
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014
Sexuality Education. (2014). http://www.moe.gov.sg/education/programmes/socialemotional-learning/sexuality-education/ Diakses tanggal 10 Februari 2014. Shtarkshall, R.A. (2007). Sex Education and Sexual Socialization: Roles for Educators and Parents. http://www.guttmacher.org/pubs/journals/3911607.html Diakses tanggal 11 Februari 2014. Undang-Undang No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. (2003). http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.p df Diakses tanggal 25 Juni 2014. Verawati. (2013). Pendidikan Seks Pada Anak, Pentingkah?. http://sulbar.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=130 Diakses tanggal 12 Februari 2014. Viora, E. (2012). Bagaimana Bicara Seks Pada Anak. http://www.umy.ac.id/pentingnyapendidikan-seks-untuk-anak-usia-dini.html Diakses tanggal 14 Februari 2014. Wachowiak, F and Clements R. (1993). Emphasis Art, A Qualitative Art Program for Elementary and Middle Schools. Fifth Edition. New York: Harper Collins College Publishers. Wahyudin. (2007). A to Z Anak Kreatif. Jakarta : Gema Insani Press Wahyuni, D. (2002). Tingkat Pengetahuan Anak Sekolah Usia 11-12 Tahun Tentang Pubertas. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia. [Laporan Penelitian]. Wardah, F. (2013). KPAI: 2013, Tahun Darurat Kekerasan Seksual Anak. http://www.voaindonesia.com/content/kpai-tahun-2013-tahun-darurat-kekerasanseksual-anak/1808764.html Diakses tanggal 14 Februari 2014. What do Kids Really Know About Sex?. (2009). http://www.mirror.co.uk/news/uk-news/whatdo-kids-really-know-about-sex-421893 Diakses tanggal 11 Februari 2014. WHO. (2003). Family Life, Reproductive Health and Population Education: Key Elements of a Health-Promoting School. http://www.who.int/school_youth_health/media/en/family_life.pdf Diakses tanggal 15 Februari 2014. Widyantoro, N. (2011). Seksualitas, Gender dan Aborsi. Bahan Ajar Mata Kuliah Aspek Psikososial Kesehatan Reproduksi. Power-Point Presentation. FKM UI. Widyowati, T. (2013). Pentingnya Pendidikan Kespro dan Seksualitas yang Komprehensif. http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/1066-pentingnya-pendidikan-kesprodan-seksualitas-yang-komprehensip-.html Diakses tanggal 11 Februari 2014.
Identifikasi kebutuhan…, Asih Nur Rahmaniah, FKM UI, 2014