IDENTIFIKASI IMPLEMENTASI PENGUATAN FUNGSI KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER DI TAMAN KANAK-KANAK KOTA YOGYAKARTA Sri Rejeki, Murdjanti , Rosalia Indriyati Saptatiningsih Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected] ABSTRACT The purpose of this study is to identify the implementation of character education in the school kindergarten in the city of Yogyakarta , identify implementation functions of the family is taught to students in kindergarten Yogyakarta ; and Identify the character values needed to support the realization of Yogyakarta as the education city . This research is a descriptive study subjects kindergarten parents in the city of Yogyakarta , with a sample of teachers and principals from 24 kindergartens are from 9 Kalurahan and 5 districts in the city of Yogyakarta . Based on the analysis of data obtained from the 7 outcomes that families function in character education implemented in five schools already follow best practices by looking at the analysis of the function of education ( 0.839 ) , protection ( 0.677 ) , socialization ( 0.650 ) religious ( 0.479 ) and recreational ( 0.369 ) . Economic functions (0.196) and affective functions ( 0.230 ) is thus low . Keywords : family functioning , character education in kindergarten
PENDAHULUAN Arus globalisasi telah melanda dibagian bumi manapun, tak terkecualai di Indonesia. Globalisasi membawa dampak luas dalam kehidupan, mencakup dampak positif dan negatif. Dampak negatif diantaranya meningkatknya kriminalitas, kekrasan, perilaku menimpang, seta sem,kin rendahnya rasa tanggungjawab indifidu maupun kelompok. Kemunduran moral yang terjadi di masyarakat kita dewasa ini semakin memprihatinkan. Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis multi dimensi dan berada dalam kondisi terpuruk. Berbagai kejadian di negeri ini menunjukkan adanya fenomena yang mengindikasikan watak mulia bangsa Indonesia sudah krisis dan mulai menghilang dilanda oleh budaya destruktif. Keluhuran budi pekerti dan akhlak mulia yang pernah di contohkan oleh para pendahulu bangsa seakan sudah lenyap karena dianggap kuno dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan di jaman modern ini. Bangsa Indonesia yang konon di kenal sebagai bangsa yang masayrakatnya ramah, sopan, dan cinta damai, sekarang apakah masih bisa menyandang predikat demikian ? nilai-nilai karakter bangsa Indonesia yang luhur tersebut telah terkikis oleh arus globalisasi . Bangsa Indonesia memerlukan sumber daya manisia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan. Sumber daya manusia yang berkualitas tersebut dapat diukur minimal dari dimilikinya pengetahuan dan ketrampilan, serta dimilikinya karakter yang kuat . Menurut indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index atau HDI) dilaporkan bahwa peringkat HDI Indonesia berada dibawah Vietnam pada tahun 2003, 2004 dan 2005. Hal ini merupakan sauatu indikator buruknya kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, kesehatan dan gizi serta pelayanan sosial pada bangsa Indonesia, bila dibandingkan dengan Negara lain. Data tentang angka korupsi, kolusi dan nepotisme juga memperlihatkan bahwa angka korupsi di Indonesia adalah terburuknya ke dua setelah India diantara Negara di Asia. Perilaku merusak diri seperti keterlibatan pada narkoba, ketergantungan pada narkoba, minuman keras,
90
judi dan tawuran adalah salah satu indikator lain kegagalan pembentukan karakter. ( Kemendiknas Dijtjen Paudni, 2011 :3) Keterpurukan dan jatuh bangunnya suatu bangsa tergantung pada kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki. Francis Fukuyama dalam bukunya “trust” menytakan bahwa kekayaan alam bukanlah segalanya dealam menentukan segalanya dalam nenentukan kemajuan bangsa tetrapi kualitas hubungan antar manusia yang baik, kepercayaan, tanggung jawab, bekerja keras adalah kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang penting. Para manajer di Amerika Seikat seperti dituliskan George Bogs juga menyebutkan bahwa kulaitas karakter seperti kejujuran, tanggung jawab, ketekunan, kerja keras adalah hal penting yang menentukan keberhasilan seseorang saat masuk di dunia kerja, sementara keualitas intelektual seseorang hanya menyumbangkan 20 persen keberhasilan seseorang di dunia kerja (Daniel Goleman,dalam Kemendiknas, DitjenPaudni, 2011:3). Banyak ahli meyakini bahwa kondisi keterpurukan yang di alami bangsa Indonesia dewasa ini dapat diatasi dengan membangun kembali karakter bangsa. Jika seluruh komponen bangsa dan warga masyarakat memiliki karakter terpuji dan pribadi yang unggul, maka bangsa Indonesia akan segera bangkit dari kondisi terpuruk. Pendidikan karaktersaat ini mendesak untuk segera dilaksanakan karena telah ada petunjuk-petunjuk melemahnya karakter bangsa Indonesia. Tanta-tanda melemahnya karakter tersebut mengacu pada pendapat Thomas Lickona
(dalam Barnawi & M.Arifin, 2012:12-14) tentang sepuluh tanda zaman yang kini terjadi
adalah : 1) Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja/ masyarakat. Kekerasan dikalangan remaja dan masyarakat akhir-akhir ini memang meningkat dengan adanya tawuran antar pelajar dan mahasiswa.
2)
Meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas. Hal ini pun terjadi dimasyarakat kita. 3) Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk . Saat ini pedoma moral di masyarakat kita bergantung pada siapa dan apa sudut pandangnya. 4) Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. 5) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk (tidak baku). Saat ini di masyarakat menjamur penggunaan bahasa prokem. 6) Etos kerja menurun. Dimasyarakat kita dalam kerja satu-satunya nukuran hanyalah uang bukan lagi etos kerja yang dipicu oleh semangat.
7) Rendahnya rasa tanggungjawab individu
dan kelompok . Prilaku tidak tenggungjawab terjadi dimana-mana antara lain membuang sampah sembarangan, merokok di sembarang tempat. 8) Budaya kebohongan/ketidak jujuran. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang berawal dari ketidak jujuran merebak di masyarakat kita. 9) Adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama yang berawal dari ketidakpedulian. Saat ini banyak terjadi konflik antar golongan di masyarakat. 10) Pengaruh peer-group (geng) dalam tidak kerasan menguat. Kemunculan geng pelajar saat ini banyak terjadi utamanya di kota-kota besar. Pendidikan Karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik seseorang agar dapat mengambil keputusan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Ratna Megawangi, 2004). Pendidikan karaker adalah pendidikan budi pekerti yang bernilai plus, karena melibatkan aspek pengetahuan, perasaan dan tindakan (Thomas Lickona, 1992). Kota Yogyakarta , sebagai bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY) menyandang predikat sebagai Kota Pendidikan yang selama ini tidak di rancang, namun lebih karena pengakuan dari masyarakat . Untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan nampaknya tidak bisa hanya dilakukan pemerintah serta instansi saja, namun juga perlu partisipasi aktif masyarakatnya. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuono X menegaskan bahwa “ Yogyakarta sebagai kota pendidikan punya makna yang
91
inklusif, yakni Yogyakarta untuk Indonesia dan Dunia” (Kedaulatan Rakyat, SKH edisi Rabu, 21 Maret 2012) Ciri khas paling kuat yang terdapat di Yogyakarta adalah pendidikan karakter, sehingga tidak mengherankan jika kemnudian membuat banyak orang tua di luar DIY yang mempercayakan anaknya untuk melanajutakan pendidikan di Yogyakarta. Di Yogyakarta, mereka akan berinteraksi dengan masyarakat Pendidikan Karakter di Yogyakarta terjadi baik melalui pengembangan pembelajaran di lembaga pendidikan pembelajaran di masyarakat dan pengembangan pembelajaran di keluarga Visi pembangunan DIY adalah : “ Terwujudnya pembangunan regional sebagai wahana menuju pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan daeraah tujuan wisata terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangaan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan sosial budaya dan sumberdaya berkelanjutan” Visi ini menyiratkan pentingnya pendidikan karakter bagi warga masyarakat Yogyakarta utamanya bagaimana menemukan dan mengaktualisasikan nilai-nilai kejuangan. Masa depan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan sangat tergantung pada integrasi semua konsep dan pola pendidikan yang selama ini hidup berlangsung di masyarakat dan keluarga. Bagaimana model Pendidikan karakter yang perlu di kembangkan merupakan permasalahan besar dan penting yang perlu di tindak lanjuti. Hal ini selaras dengan permasalahan dan yang saat ini di hadapi terkait dengan pengembangan poendidikan karakter seiring dengan derasnya gempuran kultur asing serta kapitalisme modernisasi sehingga cirri khas karakter utama warga Yogyakarta mulai terjadi penurunan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk berkarakter sesuai dengan fitrah penciptaan manusia saat dilahirkan, akan tetapi dalam kehidupannya kemudian memerlukan proses panjang pembentukan karakter melalui pengasuhan dan pendidikan sejak usia dini. Oleh karena itu pendidikan karakter sebagai usaha aktif untuk membentuk kebiasaanbaik, perlu ditanamkan terus sebagai sifat kebaikan anak sejak kecil. Thomas Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas 3 bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing) perasaan tentang moral (moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya manusia yang berkarakter adalah individu yang mengetahui tentangkebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (acting the good) ( Kemendinas Ditjen Paudni, 2011:3) Sudah saatnya pemerintah berpikir dalam hal menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas. Anak usia dini adalah calon kader-kader bangsa. Mengingat bahwa mereka adalah yang akan menerima tongklat estafet kepemimpinan negeri ini maka membangun karakter bangsa sejak usia dini merupakan keharusan. Kehidupan kreluarga hubungannya dengan pendidikan merupakan fenomena tersendiri yang perlu dicermati. Kesibukan dalam keluarga untuk kesejahteraan materi sering mengalahkan kewajiban orang tua untuk membimbing anakanaknya khususnya dalam hal budi pekerti. Kualitas SDM sangat ditentukan oleh pendidikan sejak mereka masih dalam usia dini, sehingga pencermatan pada fenomena pada pendidikan karakter sejak anak usia dini sangat penting untuk dilakukan baik yang terjadi dalam keluarganya maupun di sekolah TK. Taman kanak-kanak atau di singkat TK adalah jenjang pendidikan anak usai dini ( yakni usia 6 tahun atau di bawahnya ) dalam bentuk pendidikan formal. Tujuan TK adalah meningkatkan daya cipta anak anak dan memacunya untuk belajar mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan melalui pendekatan nilai budi bahas, agama, sosial, emosional, fisik, motorik, kognitif, bahasa, seni, dan kemandirian .semua dirancang sebagai upaya mengembangkan daya pikir dan dan peranan anak dalam hidupnya, yang kegiatannya dikemas dalam
92
model
belajar
sambil
bermain
(
Wikipedia
Bahasa
Indonesia
,
ensiklopedia
bebas,
pendidikan
melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_kanak-kanak) Pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara baik secara formal di lembaga
pembelajaran dan kegiatan-kegiatan lain yang terencana, maupun secara non formal di institusi atau kelompokkelompok sosial di masyarakat . Keluarga merupakan kelompok sosial yang sangat besar dan yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosial anak. Dasar pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter ranak (Suyanto, http://mandikdasmen.kemdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html) Pendidikan karakter saat ini belum menunjukan hasil seperti yang diharapkan , salah satu penyebabnya adalah tingkat pemahaman orang tua tentang pendidikan karakter di keluarga yang masih kurang, sehingga implementasinya belum optimal. Sejauh mana pendidikan karakter terhadap anak usia dini telah dilaksanakan oleh keluarga dan bagaimana fungsi keluarga yang telah dijalankan perlu diberi penguatan untuk dapat membentuk unsur-unsur karakter pada anak usia dini secara optimal perlu untuk dijawab secara akurat melalui penelitian. Pendidikan karakter memerlukan proses panjang tidak serta merta akan menampakan hasil oleh karena itu pendidikan karakter harus sudah dimulai sejak anak masih usia dini.
Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang bernilai plus, karena melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (felling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona (Buchory, dkk, 2011: 47) tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaanyapun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Melalui pendidikan karakter, seseorang akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan akan di masa mendatang, termasuk untuk berhasil secara akademis (Masnur Muslich. 2011: 30). Menurut Kevin Ryan-Karen E. Bohl (1999), istilah karakter dipahami sebagai hal yang terkait dengan mengerti tentang kebaikan, mencintai kebaikan dan melakukan kebaikan. Mengerti kebaikan tidak melulu dalam arti pengertian kognitif. Tetapi di dalamnya juga terkait dengan pengertian praktis, pengertian yang terkait dengan tindakan. Oleh karena itu karakter akan muncul pada situasi kritis. Ada kemungkinan untuk memilih, atas berbagai pilihan yang mungkin ada, dan apa yang dilakukannya. Hal ini dapat terjadi di dalam situasisituasi kritis.
Salah satu tolok ukur menguji karakter, adalah tindakan yang diambil seseorang dalam situasi
kritis. Itulah sebabnya di dalam mengerti kebaikan juga terkait dengan pengertian praktis. Hal kedua yang terkait dalam karakter (baik) adalah mencintai kebaikan. Terdorong untuk memilih melakukan hal yang baik. Menurut Ary Ginanjar (2002 : 198), pembentukan karakter memerlukan suatu latihan yang dilakukan secara terus-menerus, sehingga menjadi suatu kebiasaan dan kemudian berubah menjadi suatu karakter yang diharapkan. Apabila karakter positip baru itu telah tercipta, maka otomatis kebiasaan lama akan hilang dengan sendirinya.
93
Stephen R. Covey (1990) memberikan pandangan tentang penciptaan karakter dengan pernyataan sebagai berikut : “taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter petiklah nasib.” Pernyataan ini mengandung makna bahwa dalam upaya pembentukan karakter itu hendaknya dimulai dari pembentukan pola berpikirnya, kemudian diikuti dengan pengambilan keputusan, tahap selanjutnya dengan tindakan atau perilaku yang dibiasakan sampai terbentuk karakter. Oleh karena itu dalam membentuk karakter seseorang itu sudah barang tentu tidak cukup dengan hanya membaca buku saja atau bahkan pelatihan dalam jangka pendek, namun dibutuhkan waktu yang berjangka panjang dengan upaya pelatihan yang terrencana dan terarah, serta terus-menerus. Produk dari character building tidak bersifat permanen. Ia akan terus tumbuh danberkembang. Sangat mungkin seseorang awalnya memiliki karakter yang baik, tetapi pada akhirnya kehilangan karakternya. Pengaruh lingkungan atau karena berbagai pengaruh lainnya menjadikan karakter tersebut sedikit demi sedikit berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali.Oleh karena itu, karakter yang telah terbentuk seyogyanya dijaga dan dikembangkan ke arah yang selalu berada dalam bingkai positif. Godaan sangat mungkin membelokkan arah karakter yang tertanam lama. Jika ini yang terjadi, seseorang akan cepat mengubah jalan dan orientasi hidupnya menuju ke arah kebaikan.( Ngaimun Naim , 2012:58) Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktorbawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggungjawab; kejujuran/amanah, diplomatis; hormat dan santun; dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; percaya diri dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati, dan; karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung
tombak
di
kelas,
yang
berhadapan
langsung
dengan
peserta
didik.
(Suyanto
http://mandikdasmen.kemdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html)
Pendidikan Nilai Nilai adalah standar-standar perubahan dan sikap yang menentukan sikap kita, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain (Linda Eyre,1985). Nilai-nilai yang baik dapat menjadikan orang lebih baik, hidup lebih baik dan memperlakukan orang lain secara lebih baik.Nilai dapat didefinisikan sebagai: (1). Arti penting atau harga yang dikaitkan dengan aktivitas dan objek tertentu; (2). Tujuan hidup dan cara hidup yang baik atau sesuai; (3). Keyakinan atas tindakan seseorang yang dikehendaki; dan (4) konsepsi yang dikehendaki atau belum tentu dikehendaki oleh seseorang dalam seleksi perilaku (Gable,1986: 4-9).
94
Mengajarkan nilai memiliki target, arah dan intensitas. Target dan nilai cenderung pada gagasan, sikap dan perilaku. Arah dari nilai dapat positif, netral dan negatif, sedangkan intensitas dari nilai dapat tinggi dan rendah tergantung pada situasi dan nilai yang dianut. Definisi konseptual dari karakteristik afektif yang dipilih berdasarkan relevansinya terhadap pengalaman-pengalaman yang diperoleh di sekolah adalah sikap, konsep diri, minat dan nilai. Berdasarkan karakteristik afektif tersebut dapat dijelaskan bahwa sikap sebagai perasaan terhadap beberapa objek, penghargaan dan mencerminkan persepsi tentang diri sendiri, minat mencerminkan ketertarikan terhadap aktivitas tertentu, dan nilai mencerminkan keyakinan pada tujuan atau cara hidup seseorang. Manifestasi nilai seseorang dapat dilihat dari minat dan sikap seseorang. Penghargaan diri seseorang juga berinteraksi secara jelas dengan sistem nilai secara keseluruhan dan dapat dianggap sebagai sikap terhadap diri sendiri. Mengajar nilai-nilai kepada anak sejak dini bukan hanya retorika tetapi merupakan keharusan yang hendaknya dilaksanakan sejak dini dalam rangka merekonstruksi wawasan kebangsaan bangsa Indonesia, agar generasi mendatang menjadi lebih baik dari generasi sekarang,. Menurut Linda (1985) pendidikan nilai dimulai dengan proses penanaman nilai-nilai pada anak yang pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh pada sikap dan perilakunya nilai-nilai yang dimaksud adalah pertama, nilai-nilai nurani (values of being) yang meliputi kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri dan potensi, disiplin diri dan tahu batas, kemurnian dan kesucian. Kedua, nilai-nilai memberi ( values of giving) meliputi setia dan dapat dipercaya, hormat, cinta dan kasih sayang, pekadan tidak egois, baik hati dan ramah, adil dan murah hati. Macam-macam nilai tersebut mempunyai fungsi dalam mempengaruhi seseorang untuk “mendekati” atau “menghindari” terhadap objek yang dihadapi. Pendidikan nilai di awali di keluarga, karenanya orang tua merupakan contoh yang pertama bagi anak untuk mengenal nilai. Nilai-nilai nurani dan nilai-nilai member berangkat dari proses penguatan orang tua kepada anak. Nilai nilai pendidikan karakter yang dapat ditanamkan pada usia dini (0-6 tahun), mencakup empat aspek yaitu (1) aspek Spiritual, (2) Aspek Personal/ Kepribadian, (3) Aspek Sosial dan (4) Aspek Lingkungan.
Karakteristik Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) a. Tujuan dan fungsi Pendidikan TK Menurut pandangan Froebel ( dalam Solehudin, dkk: 2007) TK diibaratkan sebagai taman dan anak sebagai bunga yang sedang tumbuh. Seperti taman bagi bunga TK hendaknya menjadi suatu tempat yang subur bagi perkembangan anak. TK perlu memperlakukan anak sesuai pembawaannya, perlu menyelenggarakan caracara pendidikan yang diperlukan untuk mengembangankan daya-daya anak, melatih indra-indranya, mengembangkan kekuatan fisiknya, dan menjadi tempat bernmain bagi anak bersama anak-anak lainnya. Sejalan dengan pandangan diatas Hill ( dalam Solehudin : 2007) mengemukakan bahwa TK hendaknya mewujudkan fungsi : 1) Memperhatikan pembawaan dan kebutuhan anak usia 4-6 tahun 2) Mengembangkan pembawaan dan memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang pada usia-usia selanjutnya 3) Mempelajari pengalaman dan tipe-tipe belajar anak yang pernah terjadi sebelumnya, baik dirumah dan di lembaga pendidikan pra sekolah sebelumnya. Selanjutnya Solehudin dkk ( 2007) menyatakan bahwa pendidikan TK pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong dan memeperlancar belajar dan perkembangan anak secara optimal dan menyeluruh sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai
95
kehidupan yang dianut. Pendidikan TK tidak semata-mata diarahkan untuk mengembangkan aspek intekelektual atau akademik, namun mencakup seluruh aspek perkembangan yaitu: fisik, intektual, sosial, emosi dan spiritual. b. Cara Anak TK Berkembang dan Belajar Solehudin, dkk ( 2007 ) mengutip pendapat bredekamp dan Rosegrant yang mengemukakan prinsip-prinsip perkembangan anak TK sebagai berikut : 1) Perkembangan berlangsung sebagai suatu keseluruhan yang saling terjalin dan perkembangan dalam ranah-ranah yang lain 2) Perkembangn terjadi dalam suatu urutan yang relative dapat diprediksi. Kemapuan, keterampian dan pengetahuan selanjutnya dibangun berdasarkan apa yang sudah diperoleh terdahulu. 3) Perkembangan berlangsung dengan dengan rentang yang bervriasi antar anak dan juga antar bidang perekembangan dari masing-masing fungsi 4) Pengalaman awal memiliki pengaruh kumulatif dan tertunda terhadap perkembangan anak. Periodeperiode optimal terjadi untuk tipe perkembangan dan belajar tertentu. 5) Perkembangan berlangsung dalam arah yang dapat diprediksi. 6) Perkembangan dan belajar terjadi dalam dan dipengaruhi oleh konteks social dan budaya yang majemuk. 7) Anak adalah pebelajar aktif 8) Perkembangan dan belajar merupakan hasil dari interaksi kematangan biologis dan lingkungan. 9) Bermain merupakan suatu sarana penting bagi perkembangan anak dan dapat benggambarkan perkembangannya. 10) Anak berkembang dan belajar terbaik dalam suatu konteks komunitas yang menghargai, memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya , dan aman baik secara fisik maupun psikologis.
Karakteristik Perkembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak ( TK) Usia (4-6 tahun) TK sering kali disebut fase fundamental yang akan menentukan kehidupannya di masa datang. Pada masa itu perkembangan anak mencakup perkembangan fisik dan motorik, kognitif, sosial emosional , dan bahasa. Karakteristik dari masing-masing aspek perkembangan adalah sebagai berikut : a. Perkembangan fisik dan motorik: Pada tahap usia TK terdapat ciri yang sangat berbeda dengan usia bayi, perbedaanya terletak pada penampilan, proporsi tubuh, berat dan panjang badan serta keterampilan yang dimiliki. Pada umumnya anak usia TK sangat aktif, masa TK ini sering di sebut masa ideal untuk mempelajari keterampilan motorik. b.
Perkembangna Kognitif Berdasar teori perkembangan kognitif dari J.Peaget , anak usia TK berada pada tahapan pra-operasional, yaitu tahapan dimana anak belum menguasai operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan menggunakan sesuatu untuk mewakili sesuatu yang lain dengan menggunakan simbul-simbul. Melalui kemampuan tersebut anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang berbagai hal.
c. Perkembangan Emosi
96
Perkembangan emosi berhubungan dengan seluruh aspek perkembangan anak. Pada tahap ini emosi anak usia TK lebih rinci atau terdeferensiasi. Anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada anak usia TK meliputi : 1) Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu obyek yang dianggap membahayakan 2) Cemas , yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan tanpa ada obyeknya 3) Marah, yaitu perasaan tidak senang atau benci baik terhadap orang lain, diri sendiri, maupun obyek tertentu . 4) Cemburu , yaitu persaaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih sayang dari seseorang yang disayanginya. 5) Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, yaitu perasaan yang poisitif , nyaman karena terpenuhi keinginannya. 6) Kasih sayang, yaitu persaan senang memberikan perhatian atau perlindungan pada orang lain 7) Phobi, yaitu rasa takut terhadap obyek yang tidak perlu ditakutinya ( irasional ) 8) Ingin tahu, yaitu persaan ingin mengenal atau mengetahui tentang obyek-obyek yang ada di sekitarnya. d. Perkembangan sosial Perkembangan sosial adalah perekembangan perilaku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dimana anak itu berada. Perkembangan sosial anak merupakan hasil belajar bukan sekedar dari hasil kematangan. Bagi anak TK kegiatan beramin menjadikan fungsi sosial anak semakin berkembang. Ciri sosial anak pada masa ini adalah mudah bersosialisasi dengan lingkungannya. Pada masa ini telah berkembang perbedaan jenis kelamin, dimana anak mulai memahami sebagai laki-laki dan sebagai anak perempuan. e. Perkembangan Bahasa Anak usia TK pada umumnya telah mampu mengembangkan keterampilan bicara melalui percakapan yang dapat memikat orang lain menggunakan bahas dengan berbagai cara seperti bertanya, berdialog, dan bernyanyi. Anak juga dapat menggunakan bahasa dengan ungkapan yang lain, misalnya bermain peran, isyarat yang ekspresi dan melalui bentuk seni.
METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga siswa di semua sekolah taman kanak-kanak yang ada di Kota Yogyakarta. Jumlah sekolah TK di Kota Yogyakarta sebanyak 208 TK tersebar di 14 kecamatan dengan rincian 2 TK berstatus negeri dan 206 TK dikelola oleh yayasan/swasta. Dari 206 TK dapat dirinci TK yang berbasis agama 120, di kelola PKK/RK/ Kelurahan 35 TK, di kelola oleh organisasi yayasan non PKK/RK/kelurahan dan non agama sebanyak 51 TK (Website Pemerintah Kota Yogyakarta, diunduh tanggal 27 Maret 2012).Pengambilan sampel menggunakan multy stage random sampling dengan langkah sebagai berikut. Penetapan sampel kecamatan dengan menggunakan cluster, dari 14 kecamatan (Website Pemerintah Kota Yogyakarta, diunduh tanggal 27 Maret 2012) dipilih secara random 4 kecamatan di Kota Yogyakarta yaitu wilayah Yogyakarta Utara, Yogyakarta Timur, Yogyakarta Barat, Yogyakarta Selatan. Berdasarkan jumlah sampel kecamatan ditetapkan masing-masing kecamatan 2 kelurahan dengan cara quota sampling. Berdasarkan jumlah kelurahan yang telah di pilih ditetapkan jumlah kelurahan (9 kelurahan) ditentukan jumlah TK yang akan
97
dujadikan sampel dengan metode proposional . Berdasarkan jumlah sekolah taman kanak-kanak di Kota Yogyakarta, sampel ditetapkan dengan menggunakan proposional random sampling dengan proposi 50% untuk amsing-masing kelompok. Jadi dapat di interpretasikan jumlah sampel TK di setiap kelurahan, apabila di kelurahan ada sekolah negeri, swasta berbasis agama dan berbasis non agama dalam pengelolaannnya maka diambil secara proposional, dan seluruh orang tua siswa di sekolah TK tersebut menjadi sampel dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dengan purposive random sampling yaitu sampel yang diambil berdasarkan tujuan dari penelitian ini, yaitu menentukan tokoh-tokoh pendidikan karakter (Ketua Dewan pendidikan Kota Yogyakarta dan anggota Dewan pendidikan Propinsi DIY) sebagai sampel untuk diwawancarai. Berdasarkan data hasil survey di identifikasi dan kategorisasi diangkakan dalam prosentase dan dideskripsikan secara kualitataif berupa deskripsi pendidikan karakter melalui penguatan fungsi keluarga. Berdasarkan hasil analisis data untuk mencari validitas dan reliabilitas instrumen digunakan analisis dengan menggunakan program spss dengan KR21 dan reliabilitas menggunakan rumus Koefisien Alpha dari Cronbach. Angket pendidikan karakter di sekolah sebanyak 43 item, 40 dapat digunakan dan 3 tidak dapat digunakan dengan reliabilitas Koefisien Alpha 0,952, 3 item yang dinyatakan tidak dapat digunakan diperbaiki dan digunakan kembali . Analisis data menggunakan program Amos.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil survey diperoleh data implementasi pendidikan karakter pada siswa Kota Yogyakarta, data tentang implementasi fungsi keluarga orang tua siswa TK di Kota Yogyakarta, data tentang karakter yang mendukung perwujudan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Adapun hasil wawancara di 18 TK sampel dapat diidentifikasi : 1) Persamaan dan perbedaan pemahaman konsep pendidikan karakter menurut guru dan orang tua 2) Cara melakukan pendidikan karakter di sekolah dan di keluarga 3) Nilai apa saja yang dikembangkan di sekolah dan keluarga 4) Nilai mana yang perlu diakuatkan dari keluarga dan sekolah Langkah berikutnya adalah menyususn perangkat instrumen untuk survey, kedua, berdasarkan hasil survey dilakukan identifikasi materi untuk penyusunan draft model pendidikan karakter melalui penguatan fungsi keluarga; Ketiga melalui wawancara dengan kepala sekolah, guru dan tokoh pendidikan untuk menggali pendapat tentang nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan; keempat melakukan analisis nilai-nilai yang akan dikembangkan dalam model pendidikan karakter; Hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru dijadikan sebagai bahan untuk menyusun kisi-kisi instrumen dan penyusunan item instrmen. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh pendidikan diperoleh data awal sebagai berikut : 1) fungsi kuluarga selama ini sudah mulai luntur fungsi keluarga banyak yang digantikan oleh pihak lain seperti tanyangan televisi, Ipad, dan game, serta pembantu. 2) Anak mulai cenderung individualis karena keluarga sudah ada kecenderungan lebih banyak waktunya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga waktu efektif untuk anak berkurang, dan pendidikan mulai beralih kepada sekolah, padahal Konsep Tri Pusat Pendidikan adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya mempunya fungsi untuk mengembangkan karakter anak. 3) Adanya mindset yang keliru selama ini tentang tri pusat pendidikan yaitu sekolah, keluarga dan
98
masyarakat harus dirubah menjadi keluarga, sekolah dan masyarakat. 4) Selama ini orang tua menganggap sekolah sebagai “bengkel” untuk anak karena tuntutan ekonomi. 5) Faktor-faktor penyebab fungsi keluarga dalam membangunkarakter anak adalah adanya pergeseran nilai ekonomi, budaya dan sosial, misalnya anak di asuh di depan televisi. 6) Kurikulum TK secara keseluruhan sudah sempurna, tetapi maksud dan tujuan kurikulum belum dipahami oleh orang tua, sehingga kebiasaan dan pembiasaan di sekolah dan di rumah tidak sama. 7) Fungsi keluarga dengan sekolah sekolah ahrus “klop” dalam penguatan karakter anak. 8) Dengan adanya pengkotak-kotakan fungsi di lingkungan kementrian pendidikan dan kebudayaan menjadikan program masing-masing unit yang menangani pendidikan menjadi tidak sinkron dalam program dan kebijakannya. 9) Afeksi harus dilaksanakan secara kontiuitas. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, orang tua dan kepala sekolah dapat diidentifikasi permasalahan dalam pendidikan di Taman Kanak-Kanak : a)
Tidak ada kesinambungan antara program sekolah dengan orang tua/wali
b) Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah belum dilaksanakan di rumah c)
Pembiasaan yang diterapkan di rumah terkadang berbeda dengan di sekolah
d) Kurangnya dukungan orang tua karena beberapa orang tua bekerja e)
Hambatan dalam pendidikan di rumah anak lebih mudah mencontoh apa yang ada dalam tayangan televisi
f)
Lingkungan di rumah sering dibawa ke sekolah
g) Latar belakang anak berbeda h) Wali murid kurang mempunyai wawasan pentingnya pendidikan i)
Anak lebih mudah terpengaruh berbuat negatif
j)
Pendidikan karakter diberikan di sekolah tapi di rumah anak diajari berbohong
k) Terbatasnya Alat Permainan Edukatif. Berdasarkan hasil analisis angket yang diberikan kepada orang tua dan guru /kepala sekolah di 24 TK diperoleh hasil bahwa dari 7 fungsi keluarga dalam pendidikan karakter yang diimplementasikan di sekolah 5 sudah dapat dilaksanakan dengan baik yaitu dengan melihat analisis fungsi pendidikan (0,839), perlindungan (0,677), sosialisasi (0,650) keagamaan (0,479) dan rekreatif (0,369). Fungsi ekonomi (0,196) dan fungsi afektif (0,230) dengan demikian rendah. Fungsi afektif secara umum dapat diketahui anak dihadapkan pada konsep nilai yang berbeda, misalnya penerapan nilai kemandirian, di sekolah diajarkan untuk mandiri, memakai baju sendiri, memakai sepatu sendiri, di rumah kadang oleh orang tuanya memakaikan atau membantu memakaikan baju atau sepatu dengan alasan biar cepat atau karena tergesa-gesa. Afeksi lain yang berlebihan adalah anak sekolah ditunggui oleh orang tua dari mulai masuk sampai pulang sekolah dengan alasan tidak tega. Aspek ekonomi di sekolah misalnya segala sarana bermain sudah disiapkan oleh sekolah sebagai sarana pendidikan tapi jarang anak diminta membuat sendiri mainannnya. Tingkat ekonomi keluarga anak yang tidak merata, biaya perlengkapan sekolah (seragam) yang jumlahnya banyak jenisnya, padahal itu butuh biaya tinggi, hanya mengejar prestise sekolah, membawa dampak pada sikap pamer.
99
KESIMPULAN 1.
Konsep pendidikan karakter adalah proses internalisasi nilai-nilai dalam keluarga melalui pembiasaan kepada anak baik dari keluarga ke sekolah.
2.
Aspek yang belum optimal dalam pendidikan karakter di sekolah adalah aspek afeksi dan aspek ekonomi.
Saran 1. Penguatan funsi keluarga dapat dijadikan rujukan bagi sekolah dalam menyususn kurikulum. 2. Perlu adanya kolaborasi dan sinkronisasi dalam menyususn kurikulum pendidikan.
Ucapan Terima Kasih 1. 2. 3. 4.
Direktur Ditlitabmas, Dirjen DIKTI-Kemendikbud RI Rektor Univeresitas PGRI Yogyakarta Kepala taman Kanak-Kanak se-Kota Yogyakarta Guru dan orang tua siswa TK di Kota Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA Ary Ginanjar Agustian. (2002). Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ES. Jakarta: Arga. Barnawi & M.Arifin. (2012). Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Jakarta: AR- RUZZ Media Jakarta. Bimo Walgito. (1983). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Buchory . MS, dkk. (2011). Penyiapan Sarjana Kompetitif dan Berkarakter Indonesia Model Pendidikan Karakter Di Universitas PGRI Yogyakarta, Dirjen Dikti, Kemendikbud RI. Eyre, Richard & Linda Eyre.(1985). Mengajarkan Nilai-Nilai Kepada Anak (terjemahan K. Widodo). Jakarta: Gramedia. Gable, Robert K. (1986). Instrument Development in the Afective Domain. Boston: Kluwernijhoff Publishing. Hendi Suhendi & Ramdani Wahyu. (2001). Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: CV.pustaka Setia. Kamanto Sunarto (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kementerian Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini( PAUDNI), Ditjen Pembinaan Anak Usia Dini, Pedoman Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini. Kevin Ryan-Karen E Bohl. (1999). Building Character in Schools Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Fransisco: Jose Bass. Lickona,Thomas. (1992). Eduting for Character: How Our Schools Can Teach Respect ad responsibility. Bantam : New York Moh Haitami Salim. (2013). Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Moh.Shochib. (2010). Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta. Ngainun Naim, Character Building, Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu &Pembentukan Karakter Bangsa. Ratna Megawangi. (2004) .Pendidikan Karakter: Sebuah Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation. Stephen R. Covey. (1990). The seven habbit of Effective People. New York: Simon & Schustev Inc. Solahuddin.M, dkk. (2007). Pembaharuan Pendidikan TK. Buku materi Pokok PGTK, Penerbit UT, Jakarta Sri Rejeki,dkk. (2013). Pengembangan Model Karakter melalui Penguatan Fungsi Keluarga pada Siswa TK di Yogyakarta. Laporan Penelitian.Yogyakarta :Universitas PGRI Yogyakarta. Suyanto http://mandikdasmen.kemdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html. diunduh tanggal 26 Maret 2012 Website Pemerintah Kota Yogyakarta, diunduh tanggal 27 Maret 2012 Wikipedia,BahasaIndonesia,ensiklopediabebas,http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_kanak-kanak, di unduh tanggal 26 Maret 2012.
*) Artikel ini akan dikirim ke Jurnal Pendidikan, Universitas Negeri Malang
100