IDENTIFIKASI DAN PENANGANAN MASALAH PILKADA
ANDI APRASING,SH.MH
i
Sanksi Pelanggaran Hak Cipta Undang-Undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dnda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
IDENTIFIKASI DAN PENANGANAN MASALAH PILKADA Penulis
Andi Aprasing, SH.MH Desain Sampul & Tata Letak
Muh. Ihsan S.Kom ISBN 978-602-95016-8-1 Diterbitkan Lembaga Penelitian Universitas “45” Makassar Terbitan Pertama
iii
Kata Pengantar
S
yukur alhamdulillah, penulis ucapkan karena atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah Allah Subhanahuwataala buku ini dapat dirampungkan setelah sekian lama dipersiapkan. Buku ini merupakn hasil penelitian Hibah Bersaing yang dibiayai oleh Dikti yang berjudul “Identifikasi dan Penanganan Masalah Pilkada” dimaksudkan untuk memadeskripsikan arrti penting penanganan masalah pilkada, melalui berbagai wacana yang dapat diakses oleh mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu, pratisi hukum dan komponen masyarakat lainnya. Dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, di mana daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut atas otonomi dan tugas pembantuan, sebagai upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
iv
serta peningkatan daya saing daerah, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan daerah. Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) secara langsung, pada hakikatnya, merupakan salah satu wujud pemberian otonomi kepada daerah di bidang pemerintahan, di mana kepala daerah tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh pusat, tetapi langsung oleh rakyat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah dan daerah, serta antara daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka diperlukan figur yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Penulis sangat menyadari bahwa buku ini dapat tersaji di depan para pembaca, karena bantuan berbagai pihak khususnya saudara Prof.Dr.Abd. v
Rahman,SH,MH Dr. Baso Madiong, SH. MH, Fadli Andi Natsif, SH. MH. dan Jamaluddin, SH.MH. yang telah banyak memberikan bantuan mulai saat penyusunan naskah, pengetikan dan pencetakannya. Penulis mengucapkan pula terima kasih kepada Ketua Umum Yayayasan Andi Sose, Pimpinan Universitas 45, Pimpinan Fakultas Hukum Universitas 45, dan Ketua Lembaga Penelitian Universitas 45 atas segala bantuan dan motivasi untuk selalu berkarya demi kemajuan dan kejayaan Universitas 45. Penulis menyadari bahwa buku ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga pada tempatnyalah penulis mengharapkan saran dan masukan demi perbaikan dan penyempurnaannya di masa yang akan datang. Semoga buku ini bermanfaat bagi yang kita semua,membacanya sehingga pelaksanaan pilkada dapat berjalan secar jujur, adil, damai, dan semua masalah dapat diselesaikan baik dan bijaksana sesuai dengan keinginan kita semua, Amin. [] Makassar, Pebruari 2012
vi
Daftar Isi Kata Pengantar
Daftar Isi
iv vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Substansi Penelitian
8
C. Tujuan Penelitian
10
D. Urgensi Penelitian
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
12
A. Norma Hukum dan Konflik Kepentingan
12
B. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap aturan Pilkada
15
C. Sentimen Lokal Dalam Pemilihan Lansung
42
BAB III
vii
TUJUAN AN MANFAAT
32
A. Tujuan
32
B. Manfaat
32
C. Rancangan Kebijakan
33
BAB IV METODE PENELITIAN
35
A. Sifat dan Jenis Penelitian
35
B. Lokasi dan Sampel
36
C. Teknik Pengumpulan Data
37
D. Analisis Data
38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
41
A. Tahan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
41
1. Pendaftaran Pemilihan
36
2. Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
37
3. Kampanye
43
4. Pemungutan dan Perhitungan Suara
43
5. Penetapan Calon Kepawal Daerah dan Wakil
44
viii
B. Temuan KPU Terhadap Pelanggaran Administratif dan Proses Upaya Penyelesaiannya
45
C. Proses Pelaksanaan Penetapan Jumlah Suara dan Penetapan Calon Terpilih
46
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Upaya Penyelesaian Pelanggaran pada Pemilihan Pilkada
47
1. Faktor Pendukung
48
2. Faktor Penghambat
54
E. Faktor yang Berpengaruh dalam Pemilihan Kepala Daerah
59
1. Faktor Internal
60
2. Faktor Eksternal
63
F. Sentimen Lokal dalam Pelaksanaan Pilkada
66
BAB VI PENUTUP
74
A. Kesimpulan
74
B. Saran
76
Daftar Pustaka
78
Riwayat Hidup
81
ix
Bab I
Pendahuluan A. Latar Belakang
P
oint terpenting era Reformasi adalah berakhirnya era orde baru yang cenderung tidak memberi tempat bagi suara dan aspirasi rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya secara langsung. Pada masa orde baru, memang dianut asas pemilihan umum LUBER (Langsung, umum, bebas, dan rahasia), namun dalam kenyataan tidak pernah berlaku. Negara dan pemerintahan dijalankan secara sangat sentralistik, bahkan semua potensi sumberdaya alam pun diatur (dikuasai) oleh pemerintah pusat, dan daerah hanya memperoleh bagian sesuai keinginan dan belas kasihan pemerintah pusat Jakarta, menjadi pusat dari semua aktivitas pemerintahan dan perekonomian. Akibatnya, terjadilah ketimpangan pusat dan daerah pada semua aspek kehidupan yang belakangan
1
menimbulkan berbagai bentuk ketidakpuasan daerah, bahkan berkembang menjadi wacana untuk memisahkan diri (misalnya Papua, Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan beberapa daerah lain). Atas dasar itu, dikeluarkan UU No. 22 tahun 1999, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, di mana daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut atas otonomi dan tugas pembantuan, sebagai upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan daerah. Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) secara langsung, pada hakikatnya, merupakan salah satu wujud pemberian otonomi kepada daerah di bidang pemerintahan, di mana kepala daerah tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh pusat, tetapi langsung oleh rakyat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
2
rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara (penjelasan PP No. 6/2005 tentang Pilkada). Meskipun demikian, oleh karena Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah dan daerah, serta antara daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka diperlukan figur yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Di tengah keadaan demikian, pemerintah menerbitkan Perpu No. 3/2005 tentang perubahan atas UU No. 32/2004 dan PP No. 17/2005 tentang Perubahan atas PP No. 6/2005, yang selain dipandang menutupi berbagai kelemahan dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005, juga dipandang berpotensi memperkuat intervensi lembaga-lembaga di luar KPUD dalam proses pemilihan Kepala Daerah. Pemberian kemungkinan penundaan pelaksanaan Pilkada dalam hal terjadinya keadaan genting (bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lain di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan), cenderung berbelitbelit dan sangat riskan intervensi.
3
Di dalam hal pemilihan Gubernur misalnya, penundaan seluruh tahapan pemilihan diajukan oleh Gubernur kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri dalam negeri, atas usul KPUD Propinsi, melalui pimpinan DPRD Propinsi. Untuk penundaan sebagian tahapan pemilihan, penundaan diajukan oleh Gubernur kepada menteri dalam negeri, atas usul KPUD propinsi melalui pimpinan DPRD propinsi, itu pun harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 236-A). Keharusan untuk menyampaikan usulan penundaan melalui pimpinan DPRD misalnya, sangat riskan ditunggangi kepentingan politik di kalangan DPRD. Bahkan hal ini kembali membuka ruang bagi DPRD. Untuk mengintervensi KPUD. Padahal putusan mahkamah kontitusi No. 072-073/PUU/II/2004 telah memangkas segala bentuk hubungan dengan DPRD yang dapat mempengaruhi indepensi KPUD. Perpu tersebut pun tidak menentukan batas waktu penundaan dapat dilakukan., sehingga cenderung menimbulkan ketidakpastian (Isra, Kompas, 30 April 2005). Selain kemungkinan intervensi DPRD tersebut, ketentuan yang mengharapkan adanya dukungan pemerintah dan pemerintah daerah untuk kelancaran pelaksanaan Pilkada pun, telah menjustifikasi kehadiran institusi di luar KPUD, seperti Desk Pilkada untuk mengintervensi KPUD, sebagaimana dilihat pada tugastugasnya untuk melakukan pengawasan, supervisi, dan
4
pembinaan teknis terhadap pelaksanaan Pilkada. Hal ini pun mengambil alih tugas-tugas KPUD Provinsi dan KPU Pusat (supervisi dan pembinaan teknis), dan tugas Panwaslu (pengawasan). Keanggotaan Desk-Pilkada pun menjadi permasalahan oleh karena semuanya terdiri atas unsur Pemda, yang sangat mungkin sarat kepentingan dan tidak bisa terlepas dari penafsiran atas dasar kepentingan ketentu. Ketentuan yang memungkinkan pasangan calon yang hanya memperoleh dukungan 25% atau terbesar (dan kurang dari 50%, sebagaimana dalam Pasal 95 ke-1 PP No. 6/2005) dapat menimbulkan implikasi pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan setelah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, karena jika demikian, ada sejumlah besar rakyat/kelompok masyarakat (mungkin + 74%) yang tidak mendukung pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Berkaitan dengan itu, fenomena yang berkembang mengindikasikan peran partai politik untuk memunculkan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah masih sangat menentukan, meskipun pada sisi masyarakat, pertimbangan tentangkapabilitas calon dan faktor-faktor di luar kapabilitas calon lebih menjadi dasar untuk memilih pemimpinnya. Di antara berbagai yang terkait dengan kapabilitas calon, meliputi kemampuan memimpin, pengalaman berorganisasi, dan
5
tingkat pendidikan. Ada pun faktor-faktor di luar kapabilitas calon, meliputi sentimen kedaerahan dan latar belakang agama, meskipun sebagian responden masih tetap menolak calon yang bukan putera daerah. Begitu pun dengan latar belakang agama, yang secara umum tidak dipersoalkan terlalu jauh, namun di daerah yang berlatar belakang agama berbeda dengan mereka (jajak pendapat Kompas pada sepuluh kota besar di Indonesia,29-30 Maret 2005). Implikasi negatif lain yang bisa diramalkan, bahkan telah menjadi fenomena di beberapa daerah, adalah kecenderungan pengerahan massa, penggunaan kekerasan, dan praktik money poliltics. Kewenangan DPRD untuk mengajukan pasangan calon, adalah pintu masuk bagi praktik money poliltics yang sangat transparan, begitu pun dalam praktik pengerahan massa. Fenomena penggunaan kekerasan pun sudah mulai tampak, diindikasikan oleh penjagaan aparat kepolisian pada kantor-kantor KPUD, bahkan ada anggota KPUD yang terpaksa berkantor di rumah karena alasan keamanan dan pasangan calon yang diprotes sebagian kalangan partai pengusungnya sendiri (kasus KPUD Gowa, RCTI, 6 Mei 2005). Pada sisi penegakan hukum, pengalaman pada Pilpres yang lalu, ternyata belum berjalan baik diindikasikan oleh banyaknya pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti.
6
Ditinjau dari sudut pandang pelaksanaan ‘kedaulatan rakyat’, ketentuan yang mensyaratkan bahwa calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 36-1 PP6/2005) masih juga menjadi permasalahan penting oleh karena rakyat ternyata sekadar menjadi ‘pemilih’ saja, tidak berhak mengajukan calon. Ketentuan ini akan ‘mereduksi’ kedaulatan rakyat’(Chidmad, 2004) yang belum tentu menjadi anggota/pendukung salah satu partai politik, sehingga kesempatan masyarakat memberikan dorongan dan tanggapan terhadap calon yang tidak melewati partai. Menjadi sirna. Hal ini dapat berakibat pada tingkat partisipasi masyarakat mengikuti Pilkada. Pada sisi implementasi, fenomena pengerahan massa, politik uang, bahkan kecenderungan penggunaan kekerasan, masih juga menjadi permasalahan yang sulit diatasi, padahal bagaimana pun, kualitas Pilkada akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh kecenderungankecenderungan negatif tersebut dapat dieliminasi. Di Propinsi Sulawesi Selatan, sebanyak 10 daerah akan melaksanakan Pilkada langsung secara serentak pada tanggal 27 Juni 2005, yaitu Kabupaten Maros, Pangkep Barru, Soppeng, Tana Toraja, Luwu Timur, Luwu Utara, Gowa Bulukumba, dan Selayar (Kompas, 8 April 2004). Tantangan yang dihadapi dan perlu segera dapat dijawab adalah bagaimana supaya kualitas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melalui Pilkada langsung tersebut tetap dapat dijamin,
7
sehingga tidak melemahkan posisi daerah dalam era persaingan antar daerah yang sehat dan sinergis. Otonomi dalam konteks ini tidak boleh dipahami sekadar sebagai kesempatan untuk memilih sendiri,tanpa mempertimbangkan filosofi pemberian kewenangan itu untuk dapat mengoptimalkan segenap potensi daerah bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. B.Substansi Penelitian Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebagai tindak lanjut adanya ketentuan otonomi daerah seperti yang tercantum dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada merupakan konsekuensi daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut atas otonomi dan tugas pembantuan, sebagai upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat di daerahnya. Namun demikian Pilkada tidak secara otomatis dapat menyelesaikan masalah. Implikasi negatif pelaksanaan Pilkada telah menjadi fenomena di beberapa daerah khususnya Sulawesi Selatan, adalah kecenderungan pengerahan massa, penggunaan kekerasan, dan praktik money poliltics. Fenomena ini masih menjadi permasalahan yang sulit diatasi, padahal bagaimana pun, kualitas Pilkada akan sangat ditentukan
8
oleh seberapa jauh kecenderungan negatif tersebut dapat dieliminasi. Untuk melakukan eliminasi dampak dari Pilkada perlu melakukan inventarisasi masalah-masalah yang timbul dari proses pelaksanaan Pilkada. Ini dilakukan dalam rangka untuk memudahkan penyelesaian masalah tersebut. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan melakukan observasi dalam bentuk pengamatan sederhana khususnya non-participart observation, dan pencatatan dilakukan tanpa interpretasi, agar keaslian data terpelihara. Wawancara, dilakukan dalam bentuk kontak langsung dengan informan, agar dapat diketahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, maupun cita-cita informan berkaitan dengan fokus penelitian. Hasil wawancara digunakan sebagai pembanding terhadap data hasil observasi dan angket. Juga melakukan penyebaran angket yang disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup (closed ended question), dan alternatif jawaban terdiri atas force choice maupun multiple choice dalam skala empat. Model ini dipilih, mengingat bahwa variabel yang digunakan adalah variabel-variabel kategorik murni, nominal, atau pun ordinal, sehingga alternatif jawaban telah ditentukan.
9
C. Tujuan Penelitian Untuk itu penelitian ini secara khusus bertujuan: 1). Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang berbedabeda terhadap aturan dan pelaksanaan Pilkada. 2). Menganalisis persepsi dan sikap masyarakat terhadap sistemdan pelaksanaan Pilkada. 3). Menganalisis kemungkinan mengeliminasi sentimen lokal/kelompok yang sempit dalam pelaksanaan Pilkada agar kualitas Pilkada dapat dijaga. D. Urgensi (Keutamaan) Penelitian Adanya fenomena seperti tindakan kekerasan, pengerahan massa, money politic yang terjadi di setiap daerah yang melangsungkan Pilkada mengindakasikan terdapat persoalan baik dalam tataran instrumen dan atau pelaksanaan instrumen yang berkaitan dengan Pilkada. Berdasarkan itu perlu diadakan sebuah penelitian dalam rangka melakukan inventarisasi masalah yang terkait dengan pelaksanaan Pilkada khususnya di Sulawesi Selatan. Dari inventarisai ini nantinya akan mudah untuk melakukan proses penyelesaian masalah tersebut. Ada pun secara rinci pentingnya penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut: 10
1). Hasil identifikasi tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penafsiran berbeda terhadap aturan dan pelaksanaan Pilkada, dapat digunakan untuk menyusun sebuah rancangan kebijakan yang dapat mengatasi hal tersebut. 2). Hasil analisis tentang persepsi dan sikap masyarakat, dapat digunakan untuk merancang model sosialisasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Pilkada lebih lanjut. 3). Diharapkan dapat menjadi masukan untuk mengurangi kecenderungan berkembangnya sentimen lokal/kelompok yang sempit di daerah, sehingga pemilihan kepala daerah secara langsung tetap dapat memacu pembangunan dan sinergitas dengan daerah lain dalam konteks negara kesatuan.
11
Bab II
Kajian Pustaka A. Norma Hukum dan Kanflik Kepentingan
D
i dalam sebuah masyarakat hukum yang telah berkembang menjadi sebuah masyarakat yang majemuk yang kompleks, maka di dalamnya terjalin dan bergeraknya hukum di tengah pergaulan, baik yang merupakan subjek hukum objeknya, peristiwanya, peranannya, dan sebagainya (Sudjono Dirdjosisworo, dalam Baro, 2001 : 14). Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law; setiap manusia berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang, di mana pun ia berada (Pasal 6 declaration of human right). Berkaitan dengan itu, maka di dalam teori hukum, dikenal dua ajaran : (1) Belangen theorie (Teori Kepentingan), yang pada prinsipnya berpendapat bahwa hak adalah kepentingan
12
yang terlindung; dan (2) Wilsmacht Theorie (Teori kehendak), bahwa hak merupakan kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan. Dengan demikian, maka aturan hukum, sebagai sesuatu yang mengandung unsur-unsur kepentingan dan kehendak tadi akan menjadi sebuah sistem ramburambu dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga sangat mungkin terjadi bahwa sesuatu norma undang-undang akan diinterprestasikan menurut kepentingan dan/atau pun kehendak dari seseorang atau suatu kelompok. Berkaitan dengan pola interaksi antara hukum dan masyarakat, Algra (Baro, 2001:62063) mengemukakan dua konsepsi pemikiran : pemikiran pertama, melihat seolah-olah norma hukumlah yang membentuk suatu kerangka masyarakat dan ketertiban sosial, tergantung pada pemeliharaan dan pengaturan oleh hukum ; dan pemikiran kedua, secara ekstrim beranggapan bahwa hukum tidak lain adalah ‘kumpulan itu ada (terutama dianut para penulis marksis dalam tulisan mereka tentang kedudukan hukum pada masyarakat kapitalis). Peraturan sesungguhnya tidaklah berpretensi untuk ‘mencetak’ perbuatan-perbuatan manusia, antara lain, karena hal itu memang tidak mungkin dilakukan. Di dalam pelaksanaan hukum, seolah-olah, sudah ada kesepahaman sosial bahwa hukum memberikan kesempatan kepada warganegara untuk menentukan 13
pola kelakuannya sendiri, di dalam batas-batas kerangka hukum yang ada. Di dalam konteks keorganisasian, dapat dikaji hubungan antara bekerjanya hukum melalui organorgan pelaksananya atas dasar yang lebih umum. Tujuan hukum harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya, adalah sangat kabur sifatnya. Nilai-nilai keadilan, keserasian (doelmatigheid) dan kepastian hukum merupakan tujuan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Schuyt, dalam Baro, 2002:63). Kekaburan tujuan ini menyebabkan organisasiorganisasi yang dibentuk untuk mewujudkan tujuan hukum, mengembangkan penafsirannya sendiri tentang tujuan hukum yang akan diprioritaskannya. Organisasiorganisasi pengadilan, kepolisian, legislatif, dan sebagainya pun menjalani kehidupannya sendiri, serta mengejar tujuan-tujuannya sendiri. Di dalam kenyataan, bahkan, hukum kadangkala diupayakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Permasalahannya menjadi makin melebar, oleh karena dalam pola hubungan antara subsistem politik dengan subsistem hukum, akan tampak perbedaan yang mencolok berkaitan dengan konsentrasi energi atau informasi antara keduanya. Subsistem politik, ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dibandingkan dengan subsistem hukum, sehingga jika keduanya ‘berhadapan’ maka subsistem hukum akan berada pada posisi yang lemah. Di dalam konteks 14
‘hubungan sibernetika’ Parsons, keadaan seperti ini disebut sebagai ‘hubungan yang mengkondisikan’, disebabkan oleh terjadinya perlapisan sosial dalam struktur masyarakat. Akibatnya, hukum akan terbawa pada kondisi yang memihak pada lapisan masyarakat yang lebih dominan, oleh karena, semakin tinggi kedudukan sesuatu kelompok secara ekonomi maupun politik, maka semakin besar pula kemungkinannya bahwa pandangan serta kepentingannya akan tercermin di dalam hukum. Kemudian di dalam pelaksanaan hukum, jika ditujukan kepada orang-orang yang kekuasaan politik dan ekonominya kecil atau bahkan tidak ada, maka pelaksanaan hukum cenderung lebih aman. Berbeda dengan pelaksanaan kepada pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang kuat, justeru akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana hukum (Chambliss and Seidman, dalam Rahardjo, 1980 : 41).
B. Persepsi dan Sikap Masyarakat terhadap aturan (Pilkada) Pandangan empirik berpendapat bahwa hukum dibuat untuk dilaksanakan, dan jika tidak dapat dilaksanakan, maka pada hakikatnya aturan tersebut sudah berhenti menjadi hukum. Sebagai sebuah instrumen hukum, PP No.6/2005 tentang Pilkada,
15
dimaksudkan untuk melaksanakan beberapa ketentuan dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai perangkat undang-undang yang baru, maka PP No.6/2005 tersebut masih harus diuji di masyarakat tentang seberapa jauh ia dapat berjalan dan mencapai tujuannya. Biasanya, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (Soekanto, 1983), yaitu (a) undang-undangnya sendiri ; (b) penegak hukum ; (c) sarana atau fasilitas ; (d) masyarakat ; dan (e) kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektivitas penegakan hukum. Masyarakat, sebagai bagian esensil penegakan hukum, tidak mungkin dapat dipisahkan dari aturan hukum karena justeru untuk masyarakatlah hukum dibuat, dan seberapa besar dukungan masyarakat, akan menentukan seberapa efektif hukum dalam pelaksanaannya. Namun demikian, dukungan masyarakat bukanlah sesuatu yang ‘serta merta’, karena masyarakat memiliki karakteristik, persepsi, sikap, maupun kecenderungan perilaku tertentu terhadap sebuah aturan hukum. Masyarakat Indonesia, memiliki pendapatpendapat tertentu mengenai arti hukum (Soekanto, 1983 : 33-34), sebagai berikut : (a) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan; 16
(b) Hukum sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan ; (c) Hukum sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan; (d) Hukum sebagai tata hukum, yakni hukum positif tertulis; (e) Hukum dalam artian petugas atau pejabat; (f) Hukum sebagai keputusan pejabat atau penguasa; (g) Hukum sebagai proses pemerintahan; (h) Hukum esbagai perilaku teratur dan unik; (i) Hukum sebagai jalinan nilai; (j) Hukum sebagai seni. Berkaitan dengan itu, aturan hukum tidak terlepas dari gagasan-gagasan pendapat-pendapat, serta kemauan-kemauan yang hidup di kalangan anggota masyarakat. Sarvigny (Rahardjo, 1980:41) mengemukakan bahwa antara hukum dan keaslian serta watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis, berupa kepercayaan dan sentimen yang sama tentang apa yang merupakan keharusan, yang kesemuanya menolak gagasan yang aksidental dan arbitrer. Konsepsi Savigny tentang “kesadaran rakyat”, sentimen-sentimen, serta kepercayaan yang terdapat pada suatu bangsa (volkgeist), akan membawa konsekuensi bahwa setiap kali rakyat mempunyai semacam hak untuk menguji kesahihan ketentuan
17
hukum dan lembaganya di dalam masyarakat. Salah satu hasil penelitian Adam Podgorecki (Rahardjo, 1980 : 4748) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara penghormatan kepada hukum dengan penyesuaian sosial anggota masyarakat. Seseorang yang mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik cenderung lebih menghormati hukum, dan hal ini terkait dengan konteks sosial tertentu yang dialami individu yang bersangkutan. Ada pun orang-orang yang cenderung bersikap lebih toleran, adalah mereka yang (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi; tidak melakukan pekerjaan kasar; terlebat dalam usaha-usaha pelayanan masyarakat secara sukarela. tidak mengalami gangguan ketidakpastian; melakukan banyak hubungan sosial; mengalami masa kanak-kanak yang lembut; menghadapi persoalan secara rasional; tidak mengalami frustasi.
Sebaliknya, seseorang yang ungkapan-ungkapan perasaannya menunjukkan sikap permusuhan terhadap hukum, adalah mereka yang dihinggapi perasaan kurang pasti (insecure) dan cenderung menjadi korban dari
18
keinginan untuk berbuat agresip, yang biasanya berkaitan dengan ; 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Tingkat pendidikan rendah; Pekerjaan kasar; Perasaan kurang aman; Isolasi sosial; mengalami pendidikan keras sewaktu kecil; sikap-sikap dogmatis; penyesuaian sosial yang menyedihkan serta perasaan frustasi.
Dengan demikian, persoalan tentang persepsi dan/atau sikap masyarakat terhadap aturan hukum (termasuk PP Pilkada), akan sangat tergantung pada kualitas kesadaran hukum masyarakat. Meskipun demikian, jika seseorang taat (mengikuti ketentuan undang-undang) tidaklah secara otomatis dapat dikatakan adanya kesadaran hukum, karena terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi ketaatan hukum seseorang. Menurut kategorisasikelmann (Achmad Ali, 1998 : 193), ketaatan warga masyarakat terhadap hukum terbagi ke dalam tiga katedori ; 1) Compliance, jika seseorang mentaati hukum semata-mata untuk menghindari sanksi hukum;
19
2) Identification, jika seseorang mentaati hukum agar hubungan baiknya dengan kalangan masyarakat tertentu tetap terjada; dan 3) Internalization, jika seseorang mentaati hukum oleh karena didorong oleh kesadaran intrinsik bahwa norma hukum itu memang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Berkaitan dengan itu, terdapat empat indikator yang mengkonkretkan kesadaran hukum warga masyarakat (Kutschincky, dalam Ali, 1988 : 29), yaitu : 1) Law awareness atau pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum; 2) Law acquaintance atau pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum; 3) Law attitude atau sikap terhadap peraturanperaturan hukum; dan 4) Law behaviour atau pola-pola perilaku hukum. Kemudian, persepsi dan sikap masyarakat, bagaimana pun terkait dengan budaya yang berkembang dalam masyarakat, sehingga fungsi dan legitimasi hukum tidak mungkin dipersoalkan terlepas dari tataran sosial budaya. Hukum tidak menjadi sah karena dia adalah hukum, melainkan karena ia menjalankan fungsifungsi tertentu dalam konteks budaya. Konsekuensinya, untuk menjadi sah, hukum harus selalu membuktikan bahwa ia menjalankan tugas-tugas budaya (Rahardjo,
20
dalam Hukum dan Pembangunan No. 6 Tahun ke-XVI, Desember 1986 : 550). Budaya hukum, adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum, sebagai suatu kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Dengan demikian, budaya hukum memperlihatkan pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan orientasi yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati dalam masyarakat yang bersangkutan (Hadikusuma, 1986 : 51). Di dalam masyarakat, budaya hukum biasanya muncul dalam tiga tipe (Hadikusuma, 1986 : 54-57), yaitu : budaya parochial (parochial culture), budaya subjek (subject culture), dan budaya partisipan (participant culture). Pada masyarakat yang bertipe parochial (picik), yang cara berpikir masyarakatnya masih terbatas, maka tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Mereka cenderung bertahan secara kuat pada tradisi hukumnya sendiri, yang telah digariskan dari zaman leluhurnya layakanya azimat yang pantang diubah. Ketergantungan warga masyarakat lebih banyak berada di tangan pemimpin, dan cenderung bersifat etnosentris ; nilai hukumnya lebih baik dari yang lainnya. Oleh karena semua aturan
21
merupakan luaran dari pemimpin (yang jarang/takut dibatanh karena takut tulah, sanksi gaib, dsb), maka masyarakat demikian tidak berkembang, dan tidak mudah menerima nilai-nilai hukum baru. Pada masyarakat subjek(takluk), cara berpikirnya sudah agak lebih maju dan sudah mulai dapat menerima kesadaran yang bersifat umum, namun maukan dari masyarakat masih sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali karena pengetahuan, pengalaman, dan pergaulan yang masih sangat terbatas dalam lingkup yang kecil. Orientasi pada nilai-nilai hukum baru sudah ada sikap menolak dan menerima, walaupun pengungkapannya masih pasif, tidak terang-terangan, dikarenakan sifat perilaku takluk (jawa : manut), ikut saja pada apa yang diatur oleh penguasa, baik langsung maupun tidak langsung. Pada masyarakat dengan budaya partisipan, cara berpikir dan berperilaku masyarakatnya berbeda-beda, ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban untuk berperan serta, karena merasa menjadi bagian dari kehidupan hukum secara umum. Mereka ikut menilai setiap peristiwa hukum maupun peradilan, karena merasa terlibat baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan diri dan keluarganya.
22
C. Sentimen Langsung
Lokal
dalam
Pemilihan
Suatu kesatuan sosial di mana terjadi interaksi intensif dan teratur, melahirkan semacam pembagian tugas-tugas individu, struktur, dan norma-norma yang mengatur hubungan antar individu dalam kelompok. Pada kelompok yang bertipe Paguyuban (Gemeinschaft menurut kategorisasi F. Tonnies), di mana pergaulan hidup terjadi oleh karena faktor kodrat, pergaulan antarindividu umumnya bersikap akrab/intim, kekeluargaan, clan, suku, atau bangsa. Pada sisi lain, tipe kelompok yang bersifat Geselschaft, dimana pergaulan hidup terbentuk atas dasar kehendak atau keinginan para anggota kelompok sendiri ikatan kelompok umumnya relatif tidak seintim pada tipe Geselschaft. Contoh tipe ini adalah : perkumpulan, perusahaan, partai politik, yayasan, dan sebagainya. Di dalam kajian Sosiologi Hukum Differensial, dikenal klasifikasi tipe-tipe kelompok atau satuan-satuan kolektif yang nyata, sebagaimana kenyataan hukum dipelajari berdasarkan fungsinya dan setiap kelompok sebagai fungsi-fungsi setiap satuan kolektif yang nyata, merupakan suatu sintesa, suatu keseimbangan bentukbentuk kemasyarakatan yang diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang lebih luas dari masyarakat menyeluruh (Johnson, 1994 : 222-232).
23
Secara menyeluruh, kelompok masyarakat dewasa ini tidak terhitung jumlahnya, yaitu : keluarga, jamaah, suku, desa, kota, negara, biara, sekte, jemaat Gereja, orde keagamaan, serikat buruh, organisasi pekerja (dengan federasi-federasinya), balai dagang, koperasi produsen dan konsumen, perusahaan asuransi, partai politik, organisasi profesi, perhimpunan sarjana, ikatan alumni, klubmotor,tim olahraga, kelompok umur, jenis kelamin, dan sebagainya. Di dalam setiap masyarakat kelompok merupakan unsur-unsur pembentuk yang memberi corak kesejarahan masyarakat yang bersangkutan. Beberapa tipe kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Kelompok khusus dan kelompok menyeluruh. Kelompok khusus, misalnya negara, kota, gereja, keluarga, serikat buruh, kelas-kelas,dan sebagainya, di mana hanya diwujudkan sebuah bentuk kemasyarakatan yang fungsional kelompok menyeluruh, misalnya : bangsa, masyarakat internasional, umat manusia; suku, kota, imperium. 2) Kelompok temporer dan kelompok yang bertahan lama. Kelompok temporer, misalnya orang banyak (crowds), pertemuan-pertemuan, demonstrasi-demonstrasi, komplotan, gerombolan (bands), regu olahraga, dan
24
sebagainya. Kelompok yang bertahan lama, biasanya hanyalah kelompok yang bersifat menyeluruh. 3) Kelompok menurut fungsi-fungsi, misalnya : kelompok kekeluargaan (clan, perkawinan, kelompok orang tua, anak-anak) ; kelompok berdasarkan daerah (dusun, kota, kabupaten, negara, masyarakat politik) ; kelompok berdasarkan kegiatan ekonomi (jabatan, serikat buruh, koperasi, pabrik, dan sebagainya, yang keseluruhannya merupakan ‘masyarakat ekonomi’); kelompok kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan finansial (partai politik, organisasi profesi, lembaga filantropi, klub olahraga) ; kelompok persahabatan, teman semeja, pengikut setia seorang pemimpin/tokoh, dan sebagainya). 4) Kelompok terpecah dan yang bersatu. Pertalian darah, kegiatan ekonomi mistis ekstatis, ada yang sikapnya terpecah dan ada yang bersatu. Kelompok bersatu memiliki sikap ingin berdamai, misalnya kelamin dan umur merupakan kelompok yang terpecah, misalnya ;: suku, marga keluarga kerabat. Kelompok berdasarkan jenis kelompok orang tua dan anak-anak, laki-laki dan perempuan. 5) Kelompok terorganisasi dan tidak terorganisasi. Biasanya semua kelompok terorganisasi, kecuali 25
kelompok-kelompok persahabatan dan pemujaan (aduration), karena bentuk kemasyarakatan pasif biasanya merupakan sifat utamanya, dan lazimnya pun menghindari pengorganisasian. Kebanyakan kelompok dapat berorganisasi sama sekali tidak berarti bahwa organisasi tersebut tersusun dengan sangat baik. 6) Kelompok dengan paksaan yang bersyarat dan tidak bersyarat. Kebanyakan kelompok, yang terorganisasi maupun yang tidak, hanya menyediakan paksaan bersyarat untuk memelihara persatuan anggota-anggotanya, di mana dengan bebas mereka bisa meninggalkan kelompoknya, sehingga dengan demikian, mereka menghindarkan diri dari tindakantindakan paksaan, misalnya kelompokkelompok aktivitas ekonomi untuk memperoleh keuntungan kelompok mistisekstatis. Namun demikian, ada kelompok yang melarang anggotanya meninggalkan kelompok sesuka hatinya, misalnya kelompok kedaerahan (locally groups), keluarga (domestik maupun yang berdasarkan perkawinan, memiliki paksaan-paksaan tidak bersyarat, jika mengenai anak-anak kecil). 7) Kelompok unitaristis, federalisti, dan konfederalistis. Kelompok terorganisasi adalah unitaristis. Kelompok bersifat federalistis, jika
26
organisasinya merupakan sintesa dari subsuborganisasi, yaitu sintesa yang sedemikian rupa sehingga kelompok pusat dan subsubkelompok sama nilainya dalam membentuk persatuan. Kelompok bersifat konfederalistis, jika organisasinya merupakan satu sintesa subsuborganisasi yang tersusun demikian baiknya sehingga sub-suborganisasi berkuasa atas kelompok pusat. Berkaitan dengan tipe-tipe tersebut, maka dalam sebuah kelompok akan tercipta sebuah mata rantai solidaritas sosial yang dapat disamakan dengan hukum represif, yaitu mata rantai yang jika diputus, maka pemutusan itu akan dipandang sebagai ‘kejahatan’, di mana setiap tindakan, betapa pun derajatnya, akan menimbulkan reaksi khas bagi pelakunya yang disebut hukuman. Di dalam pandangan Emile Durkheim (Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1988 : 40) misalnya, dapat dikemukakan bahwa di masa damai perasaan tidak senang kepada orang yang menghianati negaranya, sama dengan terhadap seorang perampok atau pembunuh. Di negara yang sistem monarkhinya masih kuat, kejahatan (ketidaksetiaan) terhadap lese-majeste (sri paduka) akan menimbulkan kegusaran umum. Totalitas keyakinan dan perasaan-perasaan umum di antara warga masyarakat yang sama, merupakan suatu sistem tetap yang
27
mempunyai hidupnya sendiri, yang dikenal sebagai hati nurani kolektif atau umum. Suatu tindakan adalah jahat, apabila tindakan itu bertentangan dengan keadaan hati nurani kolektif yang kuat dan pasti. Di dalam hubungan antara hukum dengan solidaritas yang bersifat mekanis, jika hukuman dijatuhkan kepada seseorang, maka hukuman itu seringkali meluas dan mencapai orang-orang yang tidak bersalah (isterinya, anaknya, tetangganya, sukunya, dan sebagainya). Di dalam konteks ini, lex talionis (hukum pembalasan) menjadi sebuah kepuasan yang diberikan kepada nafsu untuk membalas, meskipun dewasa ini telah berubah sifatnya menjadi upaya untuk mempertahankan diri jika amarah telah menghancurkan orang yang serta merta membangkitkannya, tetapi masih juga tersisa di dalamnya, maka amarah itu akan meluas secara mekanis. Oleh karena perasaan-perasaan tadi bersifat kolektif, maka yang mereka wakili adalah masyarakat, dan perasaan-perasaan itu memperoleh kekuatannya dari kenyataan bahwa perasaan-perasaan tersebut umum pada setiap orang. Dengan demikian, jika kejahatan dilakukan, dan perasaan-perasaan hati nurani yang diserangnya tidak mempersatukan diri untuk saling memberi bukti tentang kesatuannya dan mengakui bahwa kasus itu menyimpang, maka perasaan-perasaan itu nakan goyah secara tetap. Perasaan-perasaan itu
28
harus memperkuat diri dengan saling memberi jaminan bahwa mereka selalu sepakat, dan cara satu-satunya untuk itu adalah tindakan bersama. Oleh karena yang diserang adalah hati nurani umum, maka hati nurani umum ini harus memberi perlawanan, dan karena itu, perlawanan itu harus kolektif. Pada sisi yang berlainan, sanksi hukum tidaklah bersifat penebusan, melainkan hanya terdiri atas kembali kepada keadaan semula. Hukum semakin menunjukkan betapa besarnya pembagian kerja, dan karena solidaritas sosial semakin lemah, maka kehidupan yang benar-benar ‘sosial’ dengan sendirinya semakin surut pula, ataukah model solidaritas lain lambat laun mengganti yang lama. Akan semakin sia-sia untuk membela pendapat bahwa hati nurani umum akan meluas dan bertambah kuat pada waktu yang bersamaan dengan perasaan-perasaan individu. Di dalam hal solidaritas sosial itu paling kuat, hal itu tidak mengikat dengan kekuatan yang sama dengan yang terjadi pada pembagian kerja. Selain itu, solidaritas sosial tidak memasukkan dalam jangkauannya sebagian besar gejala-gejala yang sesungguhnya bersifat sosial, sehingga solidaritas sosial cenderung menjadi organis semata-mata. Pembagian kerja semakin mengisi peranan yang dahulunya dimainkan oleh hati nurani umum.
29
Dengan demikian, fakta sejarah menunjukkan bahw solidaritas mekanis yang tadinya sendirian, semakin kehilangan pengaruhnya, dan solidaritas organis sedikit demi sedikit menjadi dominan, tetapi bagaimana caranya solidaritas mengalami perubahan, tidak terlepas dari perubahan struktur masyarakatnya. Solidaritas kelompok akan menjadi kuat, jika anggota kelompok menyadari bahwa tugas kewajiban yang diserahkan kepada masing-masing individu, dalam berbagai situasi, memang dikerjakan secara baik sebagaimana yang diharapkan, dengan kata lain, sangat tergantung pada kepercayaan para anggota terhadap kemampuan anggota kelompok yang lain untuk melaksanakan tugas dengan baik (Soedjono, 1981 : 52). Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada langsung, menjadi demikian pentinglah pembicaraan tentang menigte, yang terbentuk karena suatu tujuan tertentu berkumpul dalam waktu yang singkat, pada suatu tempat, dan karenanya bersifat ‘emosional’ merasa sekepentingan, misalnya : penonton sepak bola, peserta kampanye, dan sebagainya. Di dalam konteks inilah, dikenal apa yang disebut sebagai massa abstrak dan massa konkret (Soedjono, 1981 : 61-62). Massa abstrak, adalah semua orang yang telah terlepas dari tradisi-tradisi atau dapat istiadat mereka yang lama, tetapi belum berhasil menemukan tradisi
30
yang baru. Massa konkret, adalah yang telah dapat dilihat dalam bentuk wajar, yang konkret massa konkret tidaklah terbentuk karena pertimbangan-pertimbangan rasional (seperti pada Geselschaft), atau pun perasaanperasaan tradisional-irrasional (seperti pada Gemeinschaft), tetapi karena pengaruh firasat berdasarkan emosi atau perasaan-perasaan yang timbul secara tiba-tiba, karena pengaruh peniruan atau sugesti. Rasa kesatuan yang konkret tidaklah mempertimbangkan argumen-argumen yang dikemukakan orang-orang, tetapi karena pengaruh simbol atau lambang yang menginsyafkannya akan perlunya persatuan itu berupa tujuan-tujuan yang dicitacitakan, yaitu : 1) Kepastian ekonomi (economischezeke rheid) 2) Pelaksanaan pengaruh di dalam masyarakat (maatschappelijke gelding); dan 3) Pembentukan suatu masyarakat baru.
31
Bab III
Tujuan dan Manfaat A. Tujuan 1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang berbeda-beda terhadap aturan dan pelaksanaan Pilkada. 2) Menganalisis persepsi dan sikap masyarakat terhadap sistemdan pelaksanaan Pilkada. 3) Menganalisis kemungkinan mengeliminasi sentimen lokal/kelompok yang sempit dalam pelaksanaan Pilkada agar kualitas Pilkada dapat dijaga.
B. Manfaat 1). Hasil identifikasi tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penafsiran berbeda terhadap aturan dan pelaksanaan Pilkada, dapat
32
digunakan untuk menyusun sebuah rancangan kebijakan yang dapat mengatasi hal tersebut. 2). Hasil analisis tentang persepsi dan sikap masyarakat, dapat digunakan untuk merancang model sosialisasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Pilkada lebih lanjut. 3). Diharapkan dapat menjadi masukan untuk mengurangi kecenderungan berkembangnya sentimen lokal/kelompok yang sempit di daerah, sehingga pemilihan kepala daerah secara langsung tetap dapat memacu pembangunan dan sinergitas dengan daerah lain dalam konteks negara kesatuan.
C. Rancangan Kebijakan Untuk menjaga agar pelaksanaan Pilkada dapat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka perlu menyusun kebijakan berupa: 1) Pelatihan singkat kepada aparat/bagian hukum pemerintah daerah dan DPRD tentang metode penafsiran perundang-undangan, agar tidak melakukan penafsiran berdasarkan kepentingan subjektif yang sempit.
33
2) Sosialisasi aturan Pilkada dengan pendekatan yangberbasis pada tipe dan kultur masyarakat lokal.
34
Bab IV
Metode Penelitian A. Sifat dan Jenis Penelitian
M
etode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adlaah metode survai (survey studies), mengingat jumlah populasi yang demikian besar sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan penelaahan secara intensif, mendalam mendetil, dan komprehensif. Pemecahan masalah akan difokuskan pada upaya penggambaran karakteristik populasi yang berkaitan dengan sikap, tingkah laku, dan aspek-aspek kemasyarakatan lain yang dipandang berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada. Mengingat permasalahan yang akan dipecahkan, maka penelitian ini dimaksudkan untuk merekomendasikan metode/strategi pelaksanaan Pilkada yang berkualitas, sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah jo PP No. 6/2005 tentang Pilkada. Dengan demikian, maka 35
metode survai yang digunakan diarahkan pula untuk tujuan-tujuan deskripsi, dan eksplanasi sehingga akan dilakukan pengujian antar variabel di mana perlu.
B. Lokasi dan Sampel Penelitian dilakukan di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya pada lokasi kabupaten/kota yang akan melaksanakan Pilkada pada bulan Juni 2005. atas dasar itu, maka penelitian akan dilakukan di Kabupaten/Kota : Gowa, Bulukumba, Selayar, Pangkep, Tana Toraja, Soppeng, dan Luwu Utara. Lokasi penelitian (kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) ditetapkan secara purposif sampling, namun mengingat bahwa setelah lokasi penelitian ditetapkan, maka secara relatif responden di setiap kabupaten kota sudah relatif homogen dan besar jumlahnya, maka penentuan sampel akan dilakukan secara acak. Jumlah sampel direncanakan sebesar 75 orang pada setiap lokasi, sehingga jumlah keseluruhannya 450 orang. Lokasi penelitian (kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) ditetapkan secara purposif sampling, namun mengingat bahwa setelah lokasi penelitian ditetapkan, maka secara relatif responden di setiap kabupaten kota sudah relatif homogen dan besar jumlahnya, maka
36
penentuan sampel akan dilakukan secara acak. Jumlah sampel direncanakan sebesar 75 orang pada setiap lokasi, sehingga jumlah keseluruhannya 450 orang.
C. Teknik Pengumpulan Data Data sekunder dikumpulkan dari berbagai jurnal, laporan penelitian, tesis/disertasi, buku teks, laporan berkala, analisis kegiatan, informasi atau laporan kelembagaan, yang relevan dengan permasalahan. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan Panduan Observasi, pedoman wawancara, dan angket, termasuk alat perekam (tape recorder). Observasi dilakukan dengan menggunakan catatan berkala (incidental record), dan dilaksanakan dalam bentuk pengamatan sederhana khususnya nonparticipart observation, dan pencatatan dilakukan tanpa interpretasi, agar keaslian data terpelihara. Bilamana perlu, dilakukan interpretasi untuk melakukan kategorisasi gelaja yang diamati ke dalam bentuk yang telah ditetapkan. Wawancara, dilakukan dalam bentuk kontak langsung dengan informan, agar dapat diketahui
37
tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, maupun cita-cita informan berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara dilakukan secara tidak berpatokan (tidak disusun sebuah daftar wawancara secara detil), namun tetap berstruktur dalam satu daftar pokok pertanyaan, sehingga lebih dinamis mengikuti perkembangan informasi yang diperoleh. Hasil wawancara akan digunakan sebagai pembanding (kriterium) terhadap data hasil observasi dan angket. Angket disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup (closed ended question), dan alternatif jawaban terdiri atas force choice maupun multiple choice dalam skala empat. Model ini dipilih, mengingat bahwa variabel yang digunakan adalah variabel-variabel kategorik murni, nominal, atau pun ordinal, sehingga alternatif jawaban telah ditentukan (terlampir).
D. Analisis Data Data sekunder dan data primer hasil observasi dan wawancara, dianalisis secara kualitatif, sedangkan hasil angket dianalisis secara kuantitatif melalui rumusrumus statistik. Angka mutlak hasil penjumlahan frekuensi dipersentasekan dengan rumus.
P
38
f x100% n
P : Persentase F : Frekuensi pada klasifikasi/kategori variasi N:Jumlah frekuensi dari seluruh klasifikasi/ kategori variasi Hubungan antarvariabel, diuji dengan rumus chi-square (X2)
b
X2 i 1
Oij Eij b k i-j
: : : : : :
k
j 1
oij Eij Eij
pengamatan baris i-j nilai harapan banyaknya baris banyaknya kolom jumlah pengamatan sigma/jumlah
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai jurnal, laporan penelitian, tesis/disertasi, buku teks, laporan berkala, analisis kegiatan, informasi atau laporan kelembagaan, yang relevan dengan permasalahan. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan Panduan Observasi, pedoman wawancara, dan angket, termasuk alat perekam (tape recorder).
39
Observasi dilakukan dengan menggunakan catatan berkala (incidental record), dan dilaksanakan dalam bentuk pengamatan sederhana khususnya nonparticipart observation, dan pencatatan dilakukan tanpa interpretasi, agar keaslian data terpelihara. Bilamana perlu, dilakukan interpretasi untuk melakukan kategorisasi gelaja yang diamati ke dalam bentuk yang telah ditetapkan. Wawancara, dilakukan dalam bentuk kontak langsung dengan informan, agar dapat diketahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, maupun cita-cita informan berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara dilakukan secara tidak berpatokan (tidak disusun sebuah daftar wawancara secara detil), namun tetap berstruktur dalam satu daftar pokok pertanyaan, sehingga lebih dinamis mengikuti perkembangan informasi yang diperoleh. Hasil wawancara akan digunakan sebagai pembanding (kriterium) terhadap data hasil observasi dan angket. Angket disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup (closed ended question), dan alternatif jawaban terdiri atas force choice maupun multiple choice dalam skala empat. Model ini dipilih, mengingat bahwa variabel yang digunakan adalah variabel-variabel kategorik murni, nominal, atau pun ordinal, sehingga alternatif jawaban telah ditentukan (terlampir). .
40
Bab V
Hasil dan Pembahasan A. Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
D
alam pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah dilakukan beberapa tahapan dalam pelaksanaannya yakni: 1. Tahap pendaftaran pemilih 2. Tahap Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil kepala daerah 3. Tahap kampanya 4. Pemungutan dan perhitungan suara 5. Penetapan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
1. Pendaftaran Pemilih Pada pemilu kepala daerah, banyak warga negara yang mempunyai hak pilih, namun tidak di daftar 41
sebagai pemilih oleh Panitia Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Tidak terdaftarnya warga negara yang mempunyai hak pilih tersebut, tidak mempunyai implikasi hukum kepada pihak P4B. Karena UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun aturan pelaksanaannya tidak memberikan sanksi hukum bagi pihak P4B yang lalai melakukan pendaftaran bagi warga negara yang mempunyai hak pilih tersebut. Pendaftran calon kepala daerah pada KPUD dilakukan untuk menyeleksi calon yang layak untuk dipilih oleh rakyat.
2. Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam proses penyeleksian calon Kepala Daerah Bulukumba, sinjai dan Selayar oleh KPUD masing-masing KPUD menemukan adanya Pelanggaran Administratif yang dilakukan oleh para calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Adapun Pelanggaran Administratif tersebut, berupa: 1. Pencalonan Kepala Daeran dan Wakil Kepala daerah yang tidak memenuhi kuota suara dari partai yang mengajukan. 2. Penggunaan ijazah palsu yang dilakukan oleh calon Wakil kepala Bulukumba.
42
Terhadap temuan Pelanggaran Administratif yang dilakukan oleh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah KPUD minyelesaikan secara administratif.
3. Kampanye Dalam masa kampanye calon kepala daerah dan wakil kepala daerah KPUD Bulukumba menemukan sebanyak 14 Pelanggaran Administratif, 9 kasus ditemunakan oleh KPUD Sinjai dan 11 kasus ditemukan oleh KPUD selayar. Penanganan yang dilakukan oleh KPUD Bulukumba, KPUD Sinjai, dan KPUD Selayar terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kontestan pada masa kampanye, dilakukan dengan cara menegur/memberikan peringatan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran untuk diselesaikan secara administratif.
4. Pemungutan dan Penghitungan Suara KPUD Bulukumba, KPUD Sinjai dan KPUD Selayar menerima laporan dan menemukan banyaknya terjadi pelanggaran administrasi dan pelanggaran Pidana pada saat pemungutan dan penghitungan suara Pemilu. Pelanggaran administratif tersebut, berupa:
43
1. Adanya saksi calon bupati dan wakil bupati yang disuruh oleh KPPS untuk mengantar pemilih ke bilik suara; 2. Ditemukannya adanya atribut dari salah satu konstestan di lokasi tempat pemungutan suara; 3. Adanya kertas suara yang sudah tercoblos; 4. Tertukarnya kertas suara antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lainnya; 5. Saksi tidak diperkenankan menandatangani berita acara; 6. Adanya pemilih yang mencoblos tanpa memiliki kartu pemilih; 7. Adanya penghitungan suara yang dilakukan lebih awal dari jadwal yang ditentukan; 8. Letak bilik suara satu sama lain berdempetan. Penanganan yang dilakukan oleh KPUD terhadap berbagai Pelanggaran Administratif tersebut adalah melakukan peneguran langsung di lokasi tempat pemungutan suara terhadap adanya pelanggaran tersebut, menurunkan/membersihkan atribut yang terpasang di lokasi tempat pemungutan suara pada saat hari pemungutan suara, menyuruh mengganti surat suara yang sudah tercoblos dan tertukar. 5. Penetapan Calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
44
KPUD Selayar menerima laporan dari salah satu calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tentang adanya Pelanggaran Administratif yang dilakukan oleh calon kepala daerah yang terpilih. Pelanggaran Administratif ini berupa adanya Rekap hasil Perhitungan suara dari beberapa panitia perhitungan suara. Terhadap adanya Pelanggaran Administratif yang dilaporakan tersebut, telah ditindak lanjuti dan diteruskan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Selayar untuk diselesaikan secara administratif Dari hasil penelitian KPUD Bulukumba, Sinjai dan Selayar dapat diklasifikasikan beberapa jenis pelanggaran selama proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
B. Temuan KPU Terhadap Pelanggaran Administratif dan Proses Upaya Penyelesaiannya Merujuk pada UU No. 12 Tahun 2003 yang kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Panwaslu Nomor 11 Tahun 2003 tentang klasifikasi pelanggarang Pemilu legislatif. Dapat dicermati bahwa dalam proses Pemilu legislatif ada beberapa tahapan yang tak dapat dipantau langsung oleh Panwaslu sebagai pengawas Pemilu, namun tahapan tersebut merupakan wewenang dan dilaksanakan langsung oleh TCPU, hal
45
tersebut sangat potensial terjadinya praktik-praktik pelanggaran administratif Pemilu. Diantara tahapan dalam proses Pemilu legislatif tersebut adalah Pendaftaran Pemilih, proses pendaftaran pemilih dilaksankan oleh KPU bekerjasama dengan Pemerintah, dalam hal ini Panitia sensus dan statistik atau Biro Pusat Statistik (BPS) yang kemudian disebut Petugas Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Banyak wajib pilih yang terpaksa kehilangan hak suaranya karena tidak didaftar sebagai pemilih, hal ini tidak dapat dipantau oleh Panwaslu sebab P4B dilaksanakan jauh sebelum Panwaslu dibentuk. Tahapan lain yang rawan terjadinya pelanggaran administratif adalah proses Pendaftaran peserta Pemilu (Parpol dan Calegnya). Verifikasi persyaratan peserta Pemilu, selanjutnya akan dibahas secara berturut-turut berikut ini.
C Proses Pelaksanaan Penetapan Jumlah Suara dan Penetapan Calon Terpilih Proses penetapan jumlah suara calon kepala daerah dan wakil kepala daeraqh tetap merujuk pada mekanisme yang telah berlaku sesuai dengan standar. Dalam konteks ini, KPUD Bulukumba, KPUD Sinjai, dan KPUD Selayar tetap konsisten menerapkan
46
kewenangan sesuai dengan tingkatannya dari KPPS ke PPS, PPK dan selanjutnya sampai ke KPUD. Ketika proses rekapitulasi jumlah perolehan suara dimulai terlebih dahulu diadakan pemeriksaan saksi tiap calon kontestan berupa penerimaan mandat secara tertulis selanjutnya diperkenankan hadir satu orang saksi dari tiap kontestan masuk ke ruang utama. Akan tetapi, proses perhitungan suara tetap dapat dipantau oleh Publik dari luar, baik melihat langsung maupun mendengar melalui pengeras suara. Dan pada akhirnya proses rekapitulasi dan penetapan jumlah perolehan suara dianggap tidak melakukan pelanggaran karena telah memenuhi syarat-syarat administratif yang telah ditentukan.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Upaya Penyelesaian Pelanggaran pada Pemilihan Kepala Daerah. Di dalam menjalankan tugasnya KPUD Bulukumba, KPUD Sinjai, KPUDSelayar sebagai pelaksana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah melakukan tugas dan kewajibannya dalam menindak berbagai pelanggaran pemilihan KPUD tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi masih terdapat berbagai faktor-faktor yang dapat menjadi pendukurig dan penghambat di dalam melaksanakan tugas atau perannya 47
1.
Faktor Pendukung
Faktor inilah yang menjadi kata kunci bagi KPU dan Panwaslu di dalam melaksanakan tugasnya dalam menyukseskan Pemilu, ada beberapa pelanggaran yang sering terjadi, yang mana KPU dan Panwaslu membutuhkan dukungan yang positif dari berbagai unsur dan regulasi dalam melakukan pengawasan dan menindak berbagai pelanggaran Pemilu. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Darwis, Msi. Selaku ketua KPU Propinsi Sulawesi Selatan mengatakan bahwa; Yang menjadi faktor pendukung pelanggaran pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah terdapat 4 point antara lain : 1. 2. 3. 4.
Komitmen Moral Anggota Panwaslu Dalam hal pendanaan Masyarakat yang mau transparan Kerjasama yang baik dengan aparat penegak hukum
Berdasarkan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa KPUD masih harus bertumpu pada para anggota KPUD dan harus betul-betul mengedepankan moralnya di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya serta harus didukung oleh elemen masyarakat yang mau
48
transparan dalam melaporkan pelanggaran yang terjadi.
berbagai
benruk
KPUD tetap mengharapkan adanya kerjasama yang baik dengan aparat penegak hukum yang lain, sehingga KPUD dapat leluasa bekerja di dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu menangani berbagai pelanggaran untuk diselesaikan bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi. Adapun hasil penelitian berdasarkan angket Penulis tentang faktor pendukung KPUD dalam upaya penyelesaian pelanggaran dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 1 Bulukumba Faktor No Pendukung 1 Komitmen KPU Dalam hal 2 pendanaan 3 Transparansi masyarakat 4 Kerjasama yang baik dengan aparat penegak hukum
Frekuen Presentase si (%) 2 25 (%) 5 10 (%) 1 25 (%) 0 2 40 (%) 5 4 0
49
Jumlah 100
100 %
Sumber data : Angket, diolah tahun 2008 Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 100 (seratus) responden yang terdiri dari LSM, Mahasiswa, Akademisi, dan Pegawai Negeri/ swasta, serta Masyarakat umum lainnya. Untuk Kabupaten Bulukumba Sebanyak 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan Komitmen moral anggota Panwaslu dan KPU, 15 (limabelas) responden atau 10 % (limabelas persen) menyatakan Dalam hal pendanaan, 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan transparansi masyarakat, dan 40 (empat puluh) responden atau 40 % (empat puluh persen) menyatakan Kerjasama yang baik dengan aparat 50
penegak hukum sebagai faktor pendukung KPU dalam melakukan pengawasan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam proses Tabel 2 Sinjai Faktor No Pendukung 1
Komitmen KPU Dalam hal pendanaan
2 3 4
Transparansi masyarakat Kerjasama yang baik dengan aparat penegakhukum Jumlah
Frekuensi
Presentase (%)
25
25 (%)
15
15 (%)
20
20 (%)
40
40 (%)
100
100 (%
51
Sumber data : Angket, diolah tahun 2008 Untuk Kabupaten Sinjai Sebanyak 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan Komitmen moral anggota Panwaslu dan KPU, 15 (limabelas) responden atau 15 % (limabelas persen) menyatakan Dalam hal pendanaan, 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan transparansi masyarakat, dan 40 (empat puluh) responden atau 40 % (empat puluh persen) menyatakan Kerjasama yang baik dengan aparat penegak hukum sebagai faktor pendukung KPU dalam melakukan pengawasan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam proses Tabel 3 Selayar No Faktor Pendukung 1 2 3 4
Komitmen KPU Dalam hal pendanaan Transparansi masyarakat Kerjasama yang baik dengan aparat penegak Hukum Jumlah
52
Frekue Presentas nsi e (%) 25 25 (%) 25 20
25 (%) 20 (%)
30
40 (%)
100
100 (%
Sumber data : Angket, diolah tahun 2008 Untuk Kabupaten Selayar Sebanyak 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan Komitmen moral anggota Panwaslu dan KPU, 25 ( dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima) menyatakan Dalam hal pendanaan, 20 (dua puluh) responden atau 20 % (dua puluh persen) menyatakan transparansi masyarakat, dan 30 (tiga puluh) responden atau 30 % (tiga puluh persen) menyatakan Kerjasama yang baik dengan aparat penegak hukum sebagai faktor pendukung KPU dalam melakukan pengawasan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam proses Dengan demikian dapat diketahui bahwa aparat penegak hukum lah yang harus berperan maksimkal dalam mendukung tugas dan kewajiban KPUD
53
sehingga para pelanggar dapat dijerat hukum yang setimpal dengan perbuatannya.
2.
Faktor Penghambat
Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, KPU dan Panwaslu mengalami beberapa hambatan, yang menjadi faktor penghambat sehingga kinerja KPU dan Panwaslu tidak maksimal adalah, seperti yang dikemukakan oleh H. Ma'ruf Hafidz, S.H., M.H, Ketua Panwaslu Sulawesi selatan mengatakan bahwa: Yang menjadi faktor penghambat menangani pelanggaran pemilihan kepala daerah, terdapat 4 point sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Perundang-undangan Disharmonisasi KPU Masyarakat tidak transparan Aparat penegak hukum lemah
Dari berbagai faktor penghambat yang dapat menghalangi kinerja Panwaslu dan KPU, maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapatnya interpretasi aturan perundang-undangan yang berbeda antara para anggota KPUD Dari beberapa pernyataan tentang faktor penghambat KPUD menangani pelanggaran Pemilihan
54
kepala daerah, dapat dilihat pendapat responden pada tabel dibawah ini: Tabel 4 Bulukumba No Faktor Penghambat 1 2 3 4
Perundang-undangan yang lemah Disharmonis antara Panwaslu dan KPU Masyarakat tidak transparanAparat penegak hukum lemah Jumlah
Frekuensi Presentase (%) 25 25 (%) 25
35 (%)
15
15 (%)
35
35 (%)
100
100 (%)
Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa dari 100 (seratus) responden, sebayak 25 (dua
55
puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan Faktor Perundang-undangan, 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (tiga puluh lima persen) menyatakan disharmonis KPU, 15 (lima belas) responden atau 15 % (lima belas persen) menyatakan Masyarakat tidak transparan, dan 35 (tiga puluh lima) responden atau 35 % (tiga puluh lima persen) yang menyatakan Aparat penegak hukum lemah sebagai penghambat melaksanakan pengawasan pelanggaran Pemilu di Daerah Bulukumba.
Sumber data: Angket, diolah tahun 2008 Tabel 5 Sinjai No Faktor Penghambat 1 2 3 4
Perundang-undangan yang lemah Disharmonis antara 30 Panwaslu dan KPU Masyarakat tidak 15 transparan Aparat penegak hukum 35 Lemah Jumlah
56
Frekuensi Presentase (%) 20 20 (%)
100
30 (%) 15 (%) 35 (%) 100 (%)
Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa dari 100 (seratus) responden, sebayak 20 (dua puluh) responden atau 20 % (dua puluh persen) menyatakan Faktor Perundang-undangan, 30 (tiga puluh) responden atau 30 % (tiga puluh persen) menyatakan disharmonis KPU, 15 (lima belas) responden atau 15 % (lima belas persen) menyatakan Masyarakat tidak transparan, dan 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) yang menyatakan Aparat penegak hukum lemah sebagai penghambat melaksanakan pengawasan pelanggaran Pemilu di Daerah Sinjai.
57
Tabel 6 Selayar No Faktor Penghambat 1 2 3 4
Frekuensi Presentase (%) Perundang-undangan 20 20 (%) yang lemah Disharmonis antara 25 25 (%) Panwaslu dan KPU Masyarakat tidak 15 15 (%) transparan Aparat penegak 40 25 (%) hukum lemah Jumlah
100
100 (%)
Sumber data: Angket, diolah tahun 2008
58
Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa dari 100 (seratus) responden, sebayak 20 (dua puluh) responden atau 20 % (dua puluh persen) menyatakan Faktor Perundang-undangan, 25 (dua puluh lima) responden atau 25 % (dua puluh lima persen) menyatakan disharmonis KPU, 15 (lima belas) responden atau 15 % (lima belas persen) menyatakan Masyarakat tidak transparan, dan 40 (empat puluh) responden atau 40 % (empat puluh persen) yang menyatakan Aparat penegak hukum lemah sebagai penghambat melaksanakan pengawasan pelanggaran Pemilu di Daerah Selayar. Dari beberapa faktor penghambat tersebut di atas, yang paling dominan dipilih masyarakat dapat menghambat upaya penyelesaian hukum terhadap pelanggaran pemilihan kepala daerah adalah faktor disharmonisasi KPU, karena KPU seolah-olah dapat mendikte atau menginterfensi dalam melakukan tugas dan kewajibannya.
E. Faktor yang Berpengaruh dalam Pemilihan kepala daerah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Selayar, , pelaksanaannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga pemilihan tersebut dapat terwujud yang
59
merupakan aplikasi dan pencerminan dari negara demokratis. Berdasarkan data dan masukan yang penulis peroleh di lokasi penelitian, pada garis besarnya ada 2 (dua) faktor yang berpengaruh, yaitu:
1. Faktor Internal Dalam faktor ini berpengaruh adalah latar belakang pendidikan dan kultur masyarakat Kabupaten Selayar. Oleh karena dengan tingkat pendidikan dan kultur tersebut menurut Achmad Dahlan salah seorang tim sukses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Selayar (wawancara, 20-03-2006), mengatakan: Dengan latar belakang tingkat pendidikan masyarakat serta kultur setempat, sangat bermanfaat bagi KPUD untuk menentukan sasaran sosialisasi kelompok masyarakat yang didahulukan, sehingga alokasi waktu benar-benar efektif dan efisien. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa penentuan sasaran sosialisasi pelaksanaan pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Selayar adalah dengan membidik terlebih dahulu kelompok masyarakat yang
60
mempunyai pendidikan dengan kultur yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Tujuan yang ingin dicapai agar para wajib pilih berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan Bupati dan wakil Bupati juga bermanfaat bagi pasangan calon beserta tim suksesnya yakni dapat mengetahui seperti apa dialog dibangun, khususnya dalam kampanye karena tingkat pemahaman pemilih rasional dan irasional sangat berbeda mengartikan demokrasi khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan Bupati dan wakil Bupati. Selanjutnya, Amir Daud dan Dahlan Kasim keduanya adalah Pemimpin Partai di Kabupaten Selayar (wawancara pada tempat dan waktu yang sama yaitu pada tanggal 21-03-2006), mengatakan : Kelompok masyarakat yang mayoritas berpendidikan, tentunya kulturnya pun berbeda dengan kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah. Sehingga dalam pelaksanaan pesta demokrasi tidak dijumpai hambatan yang berarti karena mereka yang berpendidikan telah mengetahui mekanisme ketatanegaraan. Penjelasan ini dapat ditarik suatu masukan bahwa latar belakang tingkat pendidikan kelompok masyarakat akan memberikan suatu kultur dan pola pemikiran yang lebih demokratis dibanding kelompok
61
masyarakat yang hidup pada tatanan pendidikan yang minim. Tingkat pendidikan yang rendah dan kultur masyarakat yang masih tradisional dapat berpengaruh terhadap pemilihan Bupati dan wakil Bupati. Menurut Andi Jufri Amir, SH seorang Tim Sukses Pemilihan Bupati dan wakil Bupati (wawancara, 20-03-2006), yaitu : a. Pengaruh positif Yaitu perkembangan demokrasi jangka pendek, dimana para wajib pilih dapat melaksanakan hak pilihnya mengurangi angka Golput. Juga berpengaruh terhadap pasangan calon yang mampu memanfaatkan situasi, yakni dengan melakukan strategis kepada tokoh masyarakat/agama dengan pendekatan agama, suku, kekerabatan b. Pengaruh negatif Berpengaruh negatif terhadap perkembangan demokrasi jangka panjang yaitu wajib pilih menggunakan hak pilihnya hanya tergantung kepada petunjuk/petuah dari orang yang lain dihormati tanpa berusaha memahami visi dan misi calon yang bersangkutan dan karena itu
62
tidak berdasarkan hati nuraninya atau sering disebut kelompok masyarakat bersifat partenalistik. Pengaruh positif dan negatif seperti yang dikemukakan ini, juga terkait dengan hal-hal yang juga ikut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengaruh tersebut dalam pemilihan calon Bupati dan wakil Bupati di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Selayar seperti : 1. Ikatan keagamaan; 2. Ikatan geonologis; 3. Ikatan kesukuan; 4. Ikatan kekerabatan/keakraban 5. Peranan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda 6. Kemampuan tim sukses dalam mensosialisasikan visi dan misi calon yang bersangkutan.
2. Faktor Eksternal Pada faktor ini yang berpengaruh adalah sosialisasi para calon dan peran partai politik. Yang pertama adalah sosialisasi para calon, kampanye para pasangan calon beserta Tim Suksesnya dimulai sejak jadwal yang ditetapkan oleh KPUD dan dihari pertama dimulai dengan penyampaian visi dan misi pasangan calon melalui Rapat Terbuka DPRD Kabupaten Selayar
63
yang dihadiri para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa aspirasi masyarakat dalam menyelenggarakan pemilihan Bupati dan wakil Bupati cukup tinggi, sehingga diharapkan masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dan memilih calon sesuai hati nuraninya. Faktor eksternal tersebut yang mengirim para calon pasangan untuk dipilih menurut Yakob Aras seorang Tokoh Masyarakat (wawancara, 22-03-2006), yaitu : 1. Karisma yang dimiliki para calon pasangan; 2. Visi dan misi yang dipaparkan para calon; 3. Program pembangunan yang akan dilaksanakan kelak jika calon terpilih; 4. Karya nyata para calon yang kini sudah kelihatan dan dirasakan oleh masyarakat 5. Tim suksesnya yang mampu memanfaatkan situasi. Dengan demikian faktor tersebut di atas, bersasaran agar calon dapat dikenal lebih dekat, masyarakat telah memahami visi dan misi kelak yang akan dilaksanakan jika yang bersangkutan terpilih menjadi Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Selayar dan dapat meraih dukungan simpati rakyat secara luas.
64
Faktor eksternal tersebut di atas, tentunya tidak terlepas dari dukungan para tim suksesnya masingmasing, wawasan dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh para pasangan calon. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat saat ini jauh lebih kritis dan selektif dalam memilih calonnya jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, karena masyarakat hanya menginginkan seorang pemimpin yang selain bijaksana juga benar-benar dapat membawa perubahan disegala bidang pembangunan di Kabupaten Selayar. Atas dasar itulah maka pilih sudah tepat kepada pasangan nomor urut 2 yaitu Drs. H. Syahrir Wahab, MM sebagai Bupati dan Hj. Nur Syamsina Wahab, MM sebagai Bupati dan Hj. Nur Syamsina Aroeppala wakil Bupati Kabupaten Selayar.
Terpilihnya pasangan calon tersebut, tentunya dilatarbelakangi oleh faktor internal dan faktor eksternal seperti yang telah diuraikan tersebut. Dan pasangan tersebut mampu memanfaatkan faktor-faktor tersebut sehingga masyarakat Kabupaten Selayar memilih yang bersangkutan sebagai pemimpin di Kabupaten Selayar dengan harapan masyarakat Kabupaten Selayar ke depan jauh lebih baik dari tatanan pembangunan sebelumnya.
65
F. Sentimen Lokal dalam Pelaksanaan Pilkada Penyelenggaraan pemilihan Bupati dan wakil Bupati dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen, yang susunan keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur dalam masyarakat, disebut Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), ditetapkannya KPUD selaku penyelenggara, seiring dengan perubahan format politik ketatanegaraan Republik Indonesia khususnya sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ke arah yang lebih demokratis. Hal tersebut, sangat berbeda pada pemilihan Bupati sebelumnya, yang pelaksanaannya diselenggarakan melalui Lembaga Legislatif di Daerah (DPRD) Kabupaten, sebagai perwujudan demokratis perwakilan atau demokratis yang tidak langsung (indirect democratic). Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar kali ini merupakan hal yang baru dan pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dimana rakyat dilibatkan secara langsung untuk menentukan pilihannya atau demokrasi langsung (direct democratic), dengan cara demokrasi berdasarkan azas langsung, umum, bebas dan rahasia melalui pemungutan suara.
66
Oleh karena itu, diperlukan figur Bupati dan wakil Bupati yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Walaupun proses pemilihan Bupati dan wakil Bupati di Kabupaten Bulukumba, Babupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar yang diselenggarakan oleh KPUD terdapat sebahagian kecil kurang sempurna pelaksanaannya, khususnya pada tahap pelaksanaan tetapi secara umum dianggap memadai dalam rangka penguatan demokrasi di tingkat lokal. Untuk memahami lebih jauh tentang pemilihan langsung Bupati dan wakil Bupati di Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar, berikut ini akan dibahas beberapa indikator yang dihubungkan dengan beberapa data lapangan, yaitu : Penyelenggaraan pemilihan Bupati dan wakil Bupati secara langsung oleh KPUD, diselenggarakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan, maka untuk maksud tersebut Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Selayar telah mengeluarkan beberapa Surat Keputusan seperti dibawah ini: a. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar
67
b. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Selayar Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai c. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar tentang Pembentukan Panitia Pemungutan Suara (PPS) pada Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar d. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar tentang Tahapan, program dan jadwal dan waktu penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar e. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar program dan jadwal waktu penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Selayar Terlaksananya pemilihan Bupati dan wakil Bupati di Kabupaten Bulukumba, Sinjai dan Selayar tersebut, tentunya juga tidak terlepas dari peranan dan fungsi lembaga yang ada di daerah ini.
68
Hal tersebut karena pelaksanaan sosialisasi juga dilakukan oleh dan diatas kerjasama dengan lembaga yang ada di Selayar seperti LSM. Untuk kerjasama ini Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bulukumba, Sinjai dan Selayar bekerjasama dengan lembaga Pengkaji dan Pengembangan Masyarakat Tana Doang (LP2MT), Yayasan Jangkar, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Mandiri dan Konsor Masyarakat Maritim Selayar (KMMT) Selayar. Adapun maksud dan tujuan kegiatan ini adalah: 1. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Pilkada dan peningkatan penyadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan hak politik yang mereka miliki, sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Perpu Nomor 3 tahun 2005, PP Nomor 6 tahun 2005 dan PP Nomor 17 tahun 2005. 2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tata cara pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 3. Memberi informasi secara rinci dari berbagai klasifikasi kelompok masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, tentang pemungutan dan penghitungan suara Bupati dan wakil Bupati
69
serta pemahaman tentang pengawasan dan pemantauan Pilkada. Selanjutnya peserta dalam pelaksanaan sosialisasi tersebut dibagi dalam 4 (empat) kelompok masyarakat, yang masih-masih kelompok berjumlah 100 orang, yaitu : 1. Kelompok umum (Pemerintah Daerah, Organisasi Kepemudaan, Penyelenggaraan Pilkada, Panwas serta Partai Politik). 2. Kelompok perempuan (organisasi Wanita dan Perkumpulan Kelompok Wanita) 3. Kelompok pemilih pemula (Siswa SMU, SMK dan MAN Bantaeng) 4. Kelompok profesi (Tukang becak, Tukang Batu dan Ojek)
Wajib pilih yang berhak menggunakan suaranya adalah warga negara Indonesia yang pada bagi pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belah) tahun, atau sudah/pernah kawin, setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya setiap wajib pilih dijamin untuk pelaksanaan pencoblosan memberikan suaranya secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
70
Tabel dibawah ini menunjukkan keberpikan responden dalam menentukan hak pilihnya: Tabel 7 Konsentrasi Pemilihan berdasarkan Kategori B DAERA H PEMIL IHAN
BERDAS ARKAN HUB.AG AMA
BERDAS ARKAN HUB.PE RTEMA NAN
BERDAS ARKAN HUB. KELUA RGA
RDAS ARKA N HUB. KERJ A
40%
10 %
45 %
5%
KABUP ATEN SINJAI
47%
8%
45%
5%
KABUP ATEN BULUK UMBA
40%
10%
40%
10%
KABUP ATEN SELAY AR
Sumber data : Angket, diolah tahun 2008
71
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 100 (seratus) responden yang terdiri dari LSM, Mahasiswa, Akademisi, dan Pegawai Negeri/ swasta, serta Masyarakat umum lainnya. Untuk Kabupaten Selayar Sebanyak responden 40 % (empat puluh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan agama, 10 % (sepuluh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan pertemanan, 45% (empat puluh lima persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan Keluarga, dan 5% (lima persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan kerja Untuk Kabupaten Sinjai Sebanyak responden 47 % (empat tujuh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan agama, 8% (delapan persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan pertemanan, 45% (empat puluh lima persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan Keluarga, dan 5% (lima persen) responden menyatakan
72
memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan kerja Untuk Kabupaten Bulukumba Sebanyak responden 40 % (empat puluh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan agama, 10 % (sepuluh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan pertemanan, 40% (empat puluh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan Keluarga, dan 10% (sepuluh persen) responden menyatakan memilih Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan hubungan kerja. Berdasrkan data diatas dapat diuraikan bahwa hubungan agama dan hubungan keluarga sangat menetukan dalam menjatuhkan pilihan terahdap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
73
Bab VI
Penutup A. Kesimpulan
B
erdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini bahwa:
1. faktor-faktor penyebab terjadinya penafsiran yang berbeda-beda terhadap aturan dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dipengaruhi oleh : 1) Tingkat pendidikan rendah 2) Pekerjaan yang tidak pasti 3) Perasaan kurang aman 4) Isolasi social 5) Bermasa bodoh 6) sikap-sikap dogmatis 7) penyesuaian sosial yang menyedihkan
74
2. persepsi dan sikap masyarakat terhadap sistem dan pelaksanaan pilkada dipengaruhi oleh faktor positif dan negatif seperti yang dikemukakan ini, juga terkait dengan hal-hal yang juga ikut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengaruh tersebut dalam pemilihan calon Bupati dan wakil Bupati di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Selayar seperti : 1) 2) 3) 4) 5)
Ikatan keagamaan; Ikatan geonologis; Ikatan kesukuan; Ikatan kekerabatan/keakraban Peranan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda 6) Kemampuan tim sukses dalam mensosialisasikan visi dan misi calon yang bersangkutan. 3. untuk mengeliminasi sentimen lokal/kelompok yang sempit dalam pelaksanaan Pilkada agar kualitas Pilkada dapat dijaga maka masyarakat perlu untuk: 1) Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Pilkada dan peningkatan penyadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan hak politik yang mereka miliki, sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Perpu Nomor 3 tahun 2005, PP Nomor 6 tahun 2005 dan PP Nomor 17 tahun 2005.
75
2) Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tata cara pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 3) Memberi informasi secara rinci dari berbagai klasifikasi kelompok masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, tentang pemungutan dan penghitungan suara Bupati dan wakil Bupati serta pemahaman tentang pengawasan dan pemantauan Pilkada
B. Saran 1. untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda terhadap aturan dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah maka diharapkan KPUD dan Partai Politik serta instansi yang terkait mengembangkan pendidikan politik dan tinkat kesadaran politik dari masrakat 2. .Seyogyanya Pemerintah meningkat pendidikan masyarakat, memberikan pekerjaan yang layak, memberikan rasa aman untuk mennjamin meningkatnya kualitas pemilu. 3. Pemberikan sosialisasi pemahaman kepada masyarakat tentang Pilkada dan peningkatan penyadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan hak politik yang mereka miliki,
76
sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Perpu Nomor 3 tahun 2005, PP Nomor 6 tahun 2005 dan PP Nomor 17 tahun 2005, UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 10 Tahun 2008.
77
Daftar Pustaka Abidin, Andi Zainal, dan Rachmad Baro, 1997. Perbandingan Asas-asas hukum adat pidana Indonesia dengan asas-asas hukum pidana eropa barat dan texas. Umitoha ukhuwah grafika, Makassar Ali, Achmd, 1988. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum Oleh Hakim. Lephas, Makassar --------------- , 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Yusif Watampone, Jakarta. Anonim, 2005. “Jika Gagal jangan salahkan KPUD”, Kompas, 8 April 2005. Jakarta. --------------- , 2005. “Kualitas calon pemimpin Daerah Diragukan”. Kompas 9 April 2005. Jakarta. ---------------, 2005. “Ryass Rasyid : Pilkada Bulan Juni tak Realistis”. Kompas 12 April 2005. Jakarta. -------------, 2005. “Pilkada Bisa jadi Pintu bagi TNI berpolitik Praktis”. Kompas 16 April 2005. Jakarta. Adisubrata, Winarna Surya, 2003. Perkembangan Otonomi Daerah dan Indonesia Aneka Ilmu, Semarang.
78
Alie, Andi Amriady, 1999. Sekitar Nilai-nilai Demokrasi pada empat Etnis di Sulawesi Selatan. FIK-LSM dan YAPPIKA Sulsel, Makassar. Baro, Rachmad, 2001. Teori Ilmu hukum. Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar Chidmad, Tataq, 2004. Kritik terhadap Pemilihan Langsung. Pustaka Widyatama. Yogyakarta. D., Sudjono, 1982. Pokok-pokok Sosiologi sebagai penunjang studi hukum Alumni, Bandung Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka pelajar, Yogyakarta. Hadikusuma, Hilman, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Alumni, Bandung Isra, Saldi, 2005. “Quo Vadis Aturan Baru Pilkada”, Kompas, 30 April 2005. Johnson, Alvin S., 1994. Sosiologi Hukum. Rineka Cipta, Jakarta. Marzuki, H.M. Laica, 2005. Berjalan-jalan di Ranah Hukum. Konstitusi Press, Jakarta. Nasution, Adnan Buyung, 1995. Aspirasi pemerintahan konstitusional di Indonesia. Intermasa, Jakarta. Nas, Jayadi, 2005. “Implikasi Pilkada Langsung”, Fajar, 25 April 2005, Makassar Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto, 1988. Hukum dan Perkembangan Sosial Buku I. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Piliang, Indra J., 2005. “Rakyat Bukan keledai”, Kompas, April 2005.
79
Rahardjo, Satjipto, 1986. “Etika Budaya dan Hukum”, Hukum dan Pembangunan No. 6 Tahun keXVI, Desember 1986. Fakultas Hukum UI, Jakarta. Respationo, Soeryo, 2005. “Peralihan Status Otorita ke Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap penyelenggaraan otonomi daerah di Kota Batami, Disertasi, unhas, Makassar Soejito, Irawan, 1990. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Rineka Cipta, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1994. Hukum dan kebijaksanaan publik. Sinar Grafika, Jakarta. Syafruddin, Ateng, 1990. Titik Berat Otonomi Daerah pada daerah tingkat II. Mandar Maju, Bandung. Widjoyanto, Bambang, et al (ed), 2002. Konstitusi Baru. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Yunus, Amiruddin, et al, 2003. Sikap dan Perilaku masyarakat dalam partisipasi politik pada pelaksanaan pemilu tahun 2004 di Sulawesi Selatan Balitbangda Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar
80
Daftar Pustaka Andi Aprasing
81