82
SITI ZULAIKHA
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS Siti Zulaikha ♦ Abstract `Iddah in Islamic law to determine cleanliness of the womb of a wife and an opportunity for couples who divorce to consider in determining positive and negative sides effect of divorce. But in reality not a few Muslims who ignore the `iddah law with a variety of reasons, such as avoiding fornication, need someone who can help the economy, even for reasons not aware of `iddah. Violations during the `iddah, certainly raises new problems in society. In this modern age have uterine conditions can be detected without having to wait up to three months, the question is still relevant og rule of law was `iddah today, then why the husband tends to abandon its obligations? This article shows that the `iddah has many virtues in various aspects, which each have a relationship that can not be separated. Developments in science and modern technology can not change the rule in cases that have been clearly expressed and defined by the Qur'an and Sunnah. But wat doubtful and adultery developments in science and just in case technology can be utilized, because the law between men and women in this case related only to the problem using the sanctity of the womb dukhūl. Although there is the belief that the womb of the woman (wife) clean and in between them (husband and wife) can not reconcile. But women can not be justified for the (former wife) violated the provisions of `iddah. Keywords: `iddah, technology, Islamic law.
Dosen tetap Jurusan Syari’ah STAIN Jurai Siwo Metro. Pendidikan terakhir S2 Fakultas Hukum Program Studi Hukum Bisnis Universitas Lampung. Telp. (0725) 41507. ♦
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
Jurnal Hukum Vol. 7
83
Nomor 1
84
SITI ZULAIKHA
Pendahuluan Islam adalah agama rah mah li al-`ālamīn, karenanya kehidupan manusia menjadi nyaman, tentram, dan damai. Salah satu cara mencapai kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian itu adalah dengan melakukan pernikahan. Dengan pernikahan, manusia dapat melahirkan generasi baru, menjaga kehormatan, mempererat persaudaraan dan masih banyak lagi manfaat yang akan diperoleh. Oleh karena itu, Islam tidak menganjurkan hidup menyendiri sebab hidup menyendiri adalah bertentangan dengan fitrah yang telah Allah Swt memberikan kepada manusia. Tujuan pernikahan dalam Islam sangatlah mulia, namun ketika prahara datang dan tidak dapat dihindarkan Islam pun memberikan solusi yang dapat memberikan ketentraman pada pasangan yang telah menikah melalui perceraian. Akan tetapi perceraian di sini tidak serta merta tanpa sebab yang jelas, dalam hal ini pun ada aturan-aturan mengikat yang harus dipatuhi. Setelah terjadinya perceraian, putuslah hubungan antara suami dan istri. Putusnya hubungan antara suami dan istri tidak lepas begitu saja tetapi masih berlaku satu tahapan berikutnya yaitu adanya masa tenggang yang disebut dengan `iddah, artinya masih ada harapan kembali sebagai pasangan suami-istri yang telah bercerai. `Iddah ini pun mempunyai pemberlakuan hukum yang berbeda-beda sesuai dengan jenis perceraiannya. Seperti dalam talak raj`ī, talak bā’in, dan talak yang disebabkan kematian suami. Seorang istri yang sedang dalam masa `iddah ketika hendak melakukan pernikahan yang baru haruslah menunggu sampai habis masa `iddah-nya. Sebagai contoh, istri yang tertalak raj`ī masa `iddah-nya adalah selama tiga kali haid, maka selama masa `iddah ia tidak boleh menikah dengan laki-laki lain karena suaminya masih mempunyai hak untuk merujuknya. Hal yang sangat mendasar dalam hukum `iddah ini sebenarnya untuk mengetahui kebersihan rahim seorang istri dan adanya peluang bagi pasangan yang bercerai untuk memikirkan secara jernih dalam menentukan sikap serta menimbang-nimbang
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
85
sisi positif dan sisi negatif akibat perceraian apalagi kalau pasangan tersebut telah memiliki anak. Namun kenyataannya umat Islam tidak sedikit yang mengabaikan hukum ber-`iddah ini dengan berbagai alasan, seperti menghindarkan zina, membutuhkan seseorang yang dapat membantu perekonomian, bahkan dengan alasan tidak mengetahui adanya hukum `iddah. Kita sering mendengar bahkan mengetahui seseorang yang baru saja bercerai keesokan harinya sudah menikah lagi, ditambah dengan perceraian di bawah tangan maka tidak diperlukan buktibukti otentik, selain itu yang sering terjadi penelantaran terhadap istri yang sedang dalam masa `iddah padahal suami masih memiliki kewajiban selama perceraian tidak disebabkan pelanggaran syar’i oleh istri. Pelanggaran-pelanggaran dalam masa `iddah tersebut di atas, tentu menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Di zaman serba canggih ini kondisi rahim sudah dapat diketahui tanpa harus menunggu sampai tiga bulan, pertanyaannya adalah masih relevankah aturan hukum ber-`iddah saat ini, kemudian mengapa suami cenderung meninggalkan kewajibannya? Oleh karena itu, tulisan ini akan memberikan informasi tentang `iddah dan permasalahannya dalam tatanan hukum perkawinan Islam. Pengertian dan Dasar Hukum `Iddah `Iddah berasal dari kata `adad, artinya menghitung.1 Maksudnya adalah perempuan (istri)menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Dalam istilah agama, `iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematiaan suaminya atau setelah bercerai dari suaminya. Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa `iddah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa Muh ammad Idrīs `Abdurra’ūf, al-Marbawī Juz I, Kamus Idris Melayu (ttp.: Darul Ulum Al-Islamiyah, tt), hlm. 8-9 bagian 2. 1
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
86
SITI ZULAIKHA
tersebut. Sebagai akibat perceraian atau ditinggal mati suaminya. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu.2 Bertolak dari beberapa definisi tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa `iddah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan akad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai ta`abbudī kepada Allah SWT. Jadi, `iddah artinya satu masa di mana perempuan yang telah diceraikan, baik di cerai hidup ataupun cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak maka dalam waktu ber-`iddah itu akan kelihatan tandanya. Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. `Iddah sudah dikenal juga pada masa jahiliyah. Mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan `iddah. Kemudiaan ketika Islam datang, kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan padanya. Para ulama sepakat bahwa `iddah itu wajib hukumnya berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2): 228. meskipun ayat ini sebenarnya telah di-naskh oleh ayat yang kemudian, akan tetapi kandungan dari hukum ayat tersebut tetaplah dipakai dan dipergunakan sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum Islam berkenaan dengan masalah `iddah istri. Macam–Macam `Iddah Menurut sebabnya, `iddah itu terbagi atas beberapa macam, antara lain`iddah talak, `iddah hamil, `iddah wafat, `iddah karena suami hilang, dan `iddah karena īlā’. 1. `Iddah Talak
Chuzaimah T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 149. 2
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
87
`Iddah talak artinya `iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan-perempuan yang berada dalam `iddah talak antara lain sebagai berikut: a. Perempuan yang telah dicampuri dan belum putus dalam haid `Iddah-nya ialah tiga kali suci atau tiga kali haid dan dinamakan juga tiga kali qurū’. Mengenai arti qurū’dalam ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqh.3 b. Perempuan-perempuan dicampuri dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum balig dan perempuan tua yang tidak haid. Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati oleh suaminya maka mereka (istri) ber-`iddah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut : Dan orang-orang yang putus diantara istri-istri kamu, jika kamu ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan orang-orang yang tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah sesudah mereka melahirkan (QS. Ath Thalaq : 4) Sedangkan berdasarkan hukum perdata Indonesia maka istri tersebut harus menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ayat (1) sub (b): “Apabila perkawinan putus karena
Jika dalam al-Qur’an terdapat satu kata yang mempunyai beberapa arti, maka semua tersebut wajib digunakan, selama tidak ada keterangan yang menentukan untuk menggunakan salah satu arti saja. Jika sudah jelas kata qurū’ dipakai dengan arti haid, maka jelas bahwa itulah memang arti sesungguhnya. Dengan demikian, maka arti kata qurū’ adalah haid. Hal ini juga ditunjukkan oleh susunan kalimat ayat tersebut. 3
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
88
SITI ZULAIKHA
perceraian, waktu tunggu bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.4 Tentang perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka selama masa `iddah, ia wajib berkabung. Hal ini telah disepakati para ahli fiqh, tetapi mereka berselisih pendapat tentang perempuan yang ditalak bā’in. Golongan lain berpendapat bahwa, ia tidak wajib berkabung. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa hak suami selama istri yang ditalak dalam masa `iddah, maka ia boleh merujuknya kembali, kecuali pada mantan istri yang ditalak bā’in sebab apabila suami hendak kembali kepada mereka harus dengan akad nikah baru. Khusus dalam talak tiga, apabila mantan suami hendak merujuk kembali, maka mantan istri harus tetap sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai serta sudah bercampur dengan suami kedua. Sedang dalam talak li`ān, suami sama sekali tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali. 2. `Iddah Hamil `Iddah hamil yaitu `iddah yang terjadi apabila perempuanperempuan yang diceraikan itu sedang hamil. `Iddah mereka sampai melahirkan anak. Percerain itu terjadi baik cerai hidup ataupun cerai mati. Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil `iddah-nya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah QS. At -T alāq (65): 4. Ayat di atas menunjukkan bahwa sekiranya bahwa ia hamil dengan anak kembar, maka `iddah-nya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua. Juga menunjukkan bahwa para perempuan yang keguguran, maka `iddah-nya ialah sesudah melahirkan pula. Ayat itu juga menunjukkan bahwa `iddah perempuan hamil berakhir sesudah ia melahirkan, baik bayinya hidup atau mati, sempurna badannya atau cacat, ruhnya telah ditiupkan maupun belum.
Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Yogyakarta Press, 1993), hlm. 210. 4
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
89
Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c): “Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan.” 3. `Iddah Wafat `Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil maka lama `iddah-nya ialah 4 bulan 10 hari, ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari… (QS. Al Baqarah : 234) Dan jika si istri sedang hamil maka ia harus menjalani `iddah atau masa tunggu sampai ia melahirkan bayinya (anaknya). Ini sejalan dengan pasal 153 ayat (2), sub (c), seperti yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang antara janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.”5 Apabila perempuan ditalak raj`ī oleh suaminya, kemudian suaminya meninggal selama ia masih dalam masa `iddah, maka perempuan itu `iddah-nya seperti perempuan yang ditinggal mati suaminya. Karena ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih sebagai istrinya. Kecuali kalau ditinggal mati sedang dalam keadaan mengandung, maka `iddah-nya memilih yang terpanjang dari kematian suaminya, atau melahirkan. Demikian pendapat yang masyhur. 4. `Iddah Wanita yang Kehilangan Suami Bila ada seorang perempuan yang kehilangan suami dan tidak diketahui di mana suaminya itu berada, apakah ia telah mati atau masih hidup, maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya. Sesudah itu hendaklah ia ber-`iddah pula empat bulan sepuluh hari. Dalam Subul as-Salām dikisahkan tentang seorang 5
Ibid.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
90
SITI ZULAIKHA
istri yang kehilangan suami. Pada kisah tersebut dinyatakan bahwa suami hilang disembunyikan jin selama empat tahun. Setelah si istri mengetahui suaminya hilang, ia pergi menghadap `Umar ibn al-Khat t āb dan `Umar menyuruh ia menunggu selama empat tahun. Sesudah berlalu masa menunggu, `Umar memanggil si suami dan memerintahkannya untuk menceraikan wanita itu, sebagai ganti (wali) dari suaminya. Kepada perempuan itu `Umar memerintahkan agar menunggu (ber-`iddah) empat bulan sepuluh hari lamanya. Berdasarkan kisah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, menurut fatwa `Umar ibn al-Khat t āb perempuanperempuan yang kehilangan suami harus menunggu selama empat tahun, dan ber-`iddah empat bulan sepuluh hari terhitung dari mengajukan pengaduan kepada hakim. Menurut pendapat Imām Yah yā, persoalan menunggu itu sebenarnya tidak ada alasan, kecuali jika suami yang hilang itu meningalkan apa yang menjadi kewajiban bagi istrinya. Hal ini berarti bahwa suami itu dianggap ada di samping istrinya. Karena tidak ada hak istri yang tak dibayarkan selain dari bersetubuh. Dan bersetubuh itu menurut Imām Yah yā adalah hak suami, bukan hak istri. Jika ini adalah hak istri tentu hakim dapat memfasakh-kan. Kalau suami itu hilang dalam pertempuran dan belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka wajiblah bagi istri menunggu setahun. Kalau suami hilang dalam tawanan dan tidak diketahui tempatnya, maka ia dihukumi sebagai suami yang hilang tidak menentu tempatnya. Sebelum `iddah sampai, hukumnya haram bagi perempuan itu menikah. 5. `Iddah Perempuan yang Di-Īlā’ Bagi perempuan yang di-īlā’,timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani `iddah atau tidak ? Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani `iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib `iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
91
diriwayatkan pula oleh Ibnu `Abbās r.a. dengan alasan bahwa diadakannya `iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim, sedang kekosongan ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut. Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang di-īlā’ adalah istri yang dicerai juga. Oleh karena itu, ia harus ber-`iddah seperti perempuan-perempuan lain yang dicerai. Perbedaan pendapat ini disebabkan `iddah menggabungkan antara `iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya `iddah baginya. Sedang fuqaha yang lebih memperhatikan segi ibadah, maka mereka mewajibkan `iddah atasnya. Kedudukan Hukum dan Hikmah `Iddah Seperti telah dijelaskan di atas bahwa perempuan yang berada dalam masa `iddah, apabila `iddah-nya adalah `iddah talak raj`ī maka suami berhak merujuknya kembali. Akan tetapi, apabila ia hendak menikah dengan laki-laki lain, maka ia harus menunggu sampai masa `iddah-nya habis. Sedang dalam talak bā’in, suami tidak berhak merujuknya kembali kecuali dengan akad nikah baru apabila telah habis masa `iddah-nya. Ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk kelompok atau kaum di dalam masyarakat tertentu serta tidak pula terbatas pada masa tertentu pula. Akan tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah ditetapkan sebagai pegangan dari semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai tempat dan waktu sampai akhir masa (zaman).6 Demikian pula halnya dengan masalah `iddah yang merupakan suatu syari’at yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini dan
6
Chuzaimah T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam., hlm. 148.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
92
SITI ZULAIKHA
tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya.7 Para ulama telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya `iddah secara global dapat disebutkan sebagai berikut:8 1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain, atau dengan kata lain agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab. 2. Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berpikir kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya ataukah akan meneruskan cerai tersebut jika hal tersebut dianggap lebih baik. 3. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. Ketegasan penasaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat penting. Oleh karena itu segala ketentuan untuk menghindari terjadinya kekacauan nasab keturunan manusia ditetapkan di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan tegas. Di antara ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk menikah dengan beberapa orang pria dalam waktu yang bersamaan.9 Di samping itu untuk menghilangkan keragu-raguan tentang kesucian rahim perempuan tersebut, sehingga pada nantinya tidak ada lagi keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh perempuan itu apabila ia telah kawin lagi dengan laki-laki yang lain.10 `Iddah khususnya dalam talak raj`ī merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan tentang hubungan mereka. Sayyid Sābiq, Fiqih Sunnah, terj. Muh. Thalib (Bandung: PT Al Ma’ruf, 1987), VIII: 140. 8 Ibid. 9 Chuzaimah T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam., hlm. 166. 10 Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan, cet. ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 230. 7
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
93
Dalam masa ini kedua belah pihak dapat mengintrospeksi diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang tuanya.11 Di samping itu memberikan kesempatan berpikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran mereka telah jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk istri kembali dan begitu pula si istri tidak menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.12 `Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau bela sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena mati ini merupakan musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk membendungnya. Justru itu mereka telah berpisah secara lahiriah akan tetapi dalam hubungan batin mereka begitu akrab. Jadi apabila perceraian tersebut karena salah seorang suami istri meninggal dunia, maka masa `iddah itu adalah untuk menjaga agar nantinya jangan timbul rasa tidak senang dari pihak keluarga suami yang ditinggal, bila pada waktu ini si istri menerima lamaran ataupun ia melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.13 Apabila seorang istri dicerai karena talak yang mana bekas suami tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya. Maka masa `iddah itu adalah untuk berpikir kembali bagi suami untuk apakah ia akan kembali sebagai suami istri. Apabila bekas suami berpendapat bahwa ia sanggup mendayung kehidupan rumah tangganya kembali, maka ia boleh untuk merujuk kembali istrinya dalam masa `iddah. Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas istrinya secara baik-baik dan Chuzaimah T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam., hlm. 167. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet. ke-1 (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 120. 13 Kamal Muhtar, Asas., hlm. 231. 11 12
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
94
SITI ZULAIKHA
jangan menghalang-halangi bekas istrinya itu untuk kawin dengan laki-laki lain. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa `Iddah 1. Hak istri pada masa `iddah a. Mendapatkan nafkah selama masa `iddah. b. Mendapatkan perumahan selama masa `iddah. c. Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya. 2. Kewajiban suami pada masa `iddah istri a. Suami wajib memberikan nafkah pada istri. b. Suami wajib memberikan perumahan pada istri. c. Suami berhak untuk merujuk kembali atau tidak. Hak istri merupakan kewajiban suami untuk melaksanakan atau memenuhi hak-hak istri. Sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami yang harus dijalankan oleh istri pada masa `iddah. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang berbunyi: “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1 dan 2) yang berbunyi: 1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istrinya yang masih dalam `iddah. 2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal. Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari bunyi pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tempat kediaman bagi istri selama masa `iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat dialih artikan suami
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
95
memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik selama pada masa `iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan yang dipertanggung jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyūz. Adapun kewajiban lainnya bagi suami adalah memberikan biaya nafkah selama masa `iddah, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 149 (sub a dan b) yang berbunyi antara lain: Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib : a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla audukhul b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam `iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.14 Suami dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan si istri melalaikan kewajibannya, atau sebab yang lainnya yaitu istri mengikhlaskan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Ini sesuai dengan pasal 80 ayat (4 dan 7) Kompilasi Hukum Islam. Pasal ini menjelaskan bahwa suami dapat tidak melaksanakan kewajiban yaitu : 1. Apabila si istri benar-benar telah mengikhlaskannya. 2. Apabila si istri dalam keadaan nusyūz, maka akibat hukumnya hak istri pada masa `iddah gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam proses pengadilan ataupun tidak. Urgensi Perintah `Iddah dalam Hukum Perkawinan Islam Suatu keyakinan yang mesti menjadi pegangan umat Islam ialah ajaran Islam yang termuat di dalam al-Qur’an dan sunnah merupakan petunjuk Allah yang harus menjadi pedoman bagi manusia khususnya kaum muslimin dan muslimat demi 14
Ibid., hlm. 210.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
96
SITI ZULAIKHA
keselamatan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Berbeda hal dengan ajaran-ajaran yang pernah diturunkan Allah sebelumnya di mana ajaran tersebut hanya diperuntukkan untuk kaum tertentu. Ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk kelompok atau kaum di dalam masyarakat tertentu serta tidak pula terbatas pada masa tertentu pula. Akan tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah ditetapkan sebagai pegangan dari semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai tempat dan waktu sampai akhir masa (zaman). Demikian pula halnya dengan masalah `iddah yang merupakan suatu syari’at yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka tidak pernah meninggalkan kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hikmah `iddah mendatangkan kemaslahatan bagi semua pihak, maka ketika diketahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak akan tercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain, atau dengan kata lain agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab, adanya masa sebagai kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berpikir kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya ataukah akan meneruskan cerai jika hal tersebut dianggap lebih baik. Sehingga dihasilkan keputusan terbaik jangan sampai istri tergantung, tidak bisa menikah dengan laki-laki lain dan kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa `iddah itu memiliki berbagai keutamaan di berbagai aspek, yang mana masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Terkait dengan masalah dalam pendahuluan, maka meskipun teknologi serba canggih tidaklah dapat dijadikan alasan untuk melanggar atau merubah hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Swt. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan dan ditetapkan oleh
ISTINBATH MEI 2010
`IDDAH DAN TANTANGAN MODERNITAS…
97
al-Qur'an dan sunnah. Namun hanya dalam kasus wat ’ syubhat dan zina perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan, sebab hukum antara pria dan wanita dalam kasus ini hanya terkait pada masalah dukhūl yang menggunakan kesucian rahim. Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim perempuan (istri) bersih dan di antara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali. Namun tidak dapat dibenarkan bagi perempuan tersebut (bekas istri) melanggar ketentuan `iddah. Begitu pula sebaliknya, tidak dapat dibenarkan memperpanjang `iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi bekas suami ataupun bagi bekas istri. Demikian pula terkait masalah nafkah, sebagai penghargaan dalam masa `iddah seorang suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada istri selama si istri tidak melakukan pelanggaran syar’i. Setelah terjadi perceraian, mantan suami masih mempunyai kewajiban sebagai berikut : 1. Memberi mut`ah kepada mantan istrinya, yaitu berupa pemberian yang berharga bagi istrinya sesuai dengan kemampuan suami seperti uang, pakaian, dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah al-Baqarah (2): 241. 2. Memberi nafkah yaitu belanja pakaian dan tempat tinggal selama masa `iddah, atau kalau wanita itu sedang dalam keadaan hamil maka ia wajib memberi nafkah sampai anaknya lahir sebagaimana firman Allah dalam surah at T alāq (65): 6 yang berbunyi: Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anakanakmu) untuknu maka berikanlah kepada mereka upahnya dan bermusyawarahlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
98
SITI ZULAIKHA
maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Tatkala anak sudah lahir, sedangkan ibunya sendiri menyusui, maka mantan suami juga wajib memberikan nafkah selama wanita mantan istrinya tersebut menyusui anaknya. Dengan demikian kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya yang hamil terhadap nafkahnya lebih lama yaitu 2 tahun waktu menyusui dan masa `iddah hamil yang ditentukan oleh masa kehamilannya. Kewajiban memberikan nafkah itu pun tidak dipaksakan seberapa besar tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami. Dalam kasus-kasus tertentu, ada kecenderungan seorang istri rela tidak diberi nafkah dalam masa `iddah karena hal itu dirasakan akan mempersulit proses perceraian dan akan menambah panjang kesengsaraan serta penderitaan mantan istri (suami tempramental) dengan demikian lepaslah kewajiban suami tersebut.
Daftar Pustaka `Abdurra’ūf, Muh ammad Idrīs, al-Marbawī Juz I, Kamus Idris Melayu, ttp.: Darul Ulum Al-Islamiyah, tt. Chuzaimah T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. ke-1, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Yogyakarta Press, 1993. Sābiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, terj. Muh. Thalib, Bandung: PT Al Ma’ruf, 1987. Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan, cet. ke-2, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet. ke-1, Yogyakarta: Liberty, 1982.
ISTINBATH MEI 2010