IBADAH SEBAGAI PERWUJUDAN IMAN Oleh : Iwan Israwan, Drs., M.Pd.
Abstrak Ibadah artinya menghambakan diri kepada Allah. Ibadah merupakan tugas hidup manusia di dunia, karena itu insan yang beribadah kepada Allah disebut abdullah atau hamba Allah. Hidup seorang hamba tidak memiliki alternatif lain selain taat, patuh dan berserah diri kepada Allah. Karena itu inti dari ibadah adalah ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Pendahuluan Ibadah merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada Allah yang tercantum dalam kalimat syahadat, yaitu “laa ilaha illallahu” (tiada tuhan yang patut di ibadahi selain Allah). Ini berarti seorang muslim hanya beribadah kepada Allah, tidak kepada yang lain. Tujuan ibadah adalah membersihkan dan menyucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri serta beribadat kepadaNya. Berbicara tentang judul pembahasan kita tentang ibadah sebagai institusi iman, kiranya tidak akan sempurna bila kita tidak menyinggung lebih dulu siapa insan itu, mengapa dicipta, untuk apa, apa yang diharapkan dirinya, bagaimana sifat karyanya dan lain-lain. A.
Ibadah Sebelum Insan Dilahirkan Sebelum insan dilahirkan yang ada hanya benda-benda mati, baik di bumi atau di angkasa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Makhluk-makhluk tersebut jelas bukan makhluk yang sadar atau mengerti. Untuk makhluk-makhluk tersebut oleh Al-Quran, tidak dikatakan mengabdi, sebab mengabdi itu memerlukan adanya kesengajaan atau niat yang juga mengharuskan adanya kesadaran dan pengertian. Al-Quran menyebutkan pengabdiannya dengan kata-kata bertasbih. Bagaimana sifat dan caranya, kita memang tidak tahu. Bagaimanapun juga, baik tasbihnya atau ibadahnya, jelas semua itu bersifat kepatuhan yang mutlak yang tidak dapat dielakkan atau dengan kata lain, suatu keharusan atau paksaan (taat atau terpaksa) atau bersifat otomatik atau otomatisnya kita bernapas dan denyutnya urat nadi, karenanya kurang bernilai jika tidak kita katakan : tidak bernilai. Adapun makhluk lain yang kita tidak dapat melihatnya yaitu malaikat yang dicipta dari Nur atau Sinar. Malaikat dicipta semata-mata untuk menjadi abdi yang kemampuannya juga hanya taat dan patuh.
“Sekali-kali tidak dapat melanggar apapun yang Allah instruksikan pada mereka dan mereka selalu melaksanakan sesuatunya sesuai yang diperintahkan pada mereka” (Al-Tahrim Ayat 6). Malaikat tidak memiliki nafsu sendiri atau keinginan pribadi, tidak bisa menentang perintah atau menyalahi titah. Malaikat adalah makhluk yang serba dibatasi, tidak memiliki kebebasan sendiri atau niat (kehendak sendiri). Kiranya tidak berlebihan jika kita katakan semua gerak-geriknya sudah diprogramkan.
1
Pengetahuannyapun khusus serta terbatas, tidak lebih dari yang dibutuhkan tugasnya.
“Malaikat berkata : Maha suci Engkau, tidak suatu pengetahuan bagi kami, yang Engkau berikan kepada kami” Memperhatikan semua itu kita dapat menarik suatu pengertian bahwa ibadat ataupun tasbih sebelum insan dicipta bersifat otomatik, terpaksa (tiada hak pilih). Selain tiada kesadaran dan pengertian bagi benda-benda atau tumbuh-tumbuhan dan binatang. Lalu siapa gerangan yang akan menyaksikan dan membuktikan keagungan dan kebesaran Allah SWT, serta sifat-sifat kesempurnaanNya itu, sekiranya makhluk-makhluk yang ada hanya sebagai yang tersebut itu saja. Keagungan, kebesaran serta kemanunggalan sifat-sifat kesempurnaan Al-Khalik, tidak mungkin diketahui, disaksikan, diakui, apalagi dinilai dan dipuji kecuali oleh mereka yang memiliki kesadaran, mengerti dan berpikir logis tanpa suatu tekanan dan paksaan apapun. Dengan kondisi beginilah akan tercipta suatu perwujudan ibadat hakiki karena disertai iman dan pengertian serta sukarela tanpa paksaan. Kiranya itulah salah satu motivasi hikmahnya untuk menciptakan makhluk baru yang lain dan berbeda dengan yang sudah ada. Makhluk baru inilah yang disebut “Al-Insan”. B.
Al-Insan Kiranya tidak perlu penjelasan siapa yang dimaksud dengan Al-Insan, sebab semua kita ini adalah Al-Insan. Insan sebagaimana kita ketahui terdiri dari dua unsur pokok jasmani dan rohani. Jasmani atau materi dari bumi, Insan tidak bedanya dengan hewan. Sedangkan rohani dari Ruh Illahi. Ditiupkan olehNya Sendiri dan dari RuhNya Sendiri pula :
“Kemudian Ia (Allah) selesai menciptanya, Ia Tiupkan kedalamnya (fisiknya) sesuatu dari RuhNya sendiri pula dan menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan kalbu” (As-Sajdah. Ayat 9). “Maka apabila Aku (Allah) telah selesai menciptanya dan telah pula Aku meniupkan sesuatu dari RuhKu, hendaklah kalian (para malaikat) bersujud untukNya” (Al-Hijir Ayat 29). C.
Ruh Illahi Ruh adalah kekuatan atau tenaga. Ruh Illahi berarti Kekuatan Illahi yang lahirnya merupakan kemampuan insani memiliki kesadaran, pengertian, pemikiran, perbedaan, penilaian, peringatan serta kekuatan-kekuatan kesadaran lainnya. Dengan adanya anugerah ini, insan memang memulai menepuk dada seraya berkata penuh bangga ; Aku bukan lagi makhluk bumi belaka, bukan pula hewani semata yang hanya merusak di bumi dan mengalirkan darah.
“Berkata para malaikat : Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Aku juga mempunyai unsur sesuatu dari Ruh Illahi. Aku kini bisa mengerti dan memahami nama-nama semua karenanya manusia bisa berkomunikasi dengan makhluk yang lainnya.
2
“Dan Allah mengajarkan kepada seluruhnya” (Al-Baqarah Ayat 31).
Adam
nama-nama
(benda-benda)
Akulah jenis makhluk yang terpilih serta berani memangku jabatan sebagai mandatarisNya yang sekaligus sebagai pemikul amanahNya yang bertanggungjawab. Suatu jawaban yang mulia lagi terhormat disamping beban amanat berat yang oleh langit-langit dan bumi menolaknya, takut dan khawatir beban akibatnya.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Al-Baqarah Ayat 30). “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Al-Ahzab Ayat 72). Karenanyalah para Malaikat diperintah oleh Allah bersujud kepada Adam sebagai penghormatan dan pengakuan atas keagungan jabatannya itu.
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan didalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud sebagai penghormatan” (Al-Hijr Ayat 29). D.
Insan Sebagai Khalifah Insan dengan unsur Ruh Illahi yang telah diberikan kepadanya, telah siap untuk menjadi khalifahnya serta penanggungjawab amanahNya. Khalifah lebih cepat di artikan “Mandataris” mengingat adanya ketentuan sebagai berikut : 1. Adanya mandat yang diberikan kepadanya yaitu : “kebebasan memilih” atas segala perbuatan yang akan ia lakukan. 2. Adanya masa jabatan, yaitu sepanjang hidupnya dengan kondisi penuh kesadarannya. 3. Adanya saat pertanggungjawaban pada hari Akhirat atas segala perbuatan pilihannya kepada pemberi Mandat. 4. Adanya fasilitas-fasilitas, petunjuk-petunjuk serta batas-batas baik yang bersifat aturan ataupun yang lainnya. Memperhatikan semua yang tersebut itu tentunya kita dapat memahami adanya ketentuan-ketentuan dan keterangan-keterangan penting.
E.
Berkarya atau Beribadah Pada hakikatnya berkarya itu adalah beribadah sekiranya karya itu dilakukan sesuai dengan ketentuanNya yaitu dilandasi dengan niat (mengerti dan sengaja) sesuai dengan imannya dan tidak melihat syariatnya (hukumnya). Ibadah dalam pengertian luas ini dengan sendirinya mencakup semua gerak-gerik manusia walaupun menurut anggapan kita kecil dan sepele, sebab manusia tidak hentinya melakukan sesuatu seperti : makan, minum, melihat, mendengar dan lain sebagainya semua itu bila kita melakukannya dengan kesadaran dan pengertian dengan sengaja memilih yang baik dengan sendinya suatu yang tadinya tidak berpahala akan menjadi berpahala.
3
F.
Manusia Tidak Otomatis Menjadi Abdi Allah Mengingat jabatan insan sebagai khalifah yang kepadanya diberikan hak pilih dan kebebasan memilih, dengan sendirinya insan pada dasarnya tidak menjadi AbdiNya secara otomatis, oleh sebab itu ia diperintahkan untuk “mengabdi”.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (mengabdi) Ku” (Adz-Dzaariyaat Ayat 56). Sekiranya insan itu sudah menjadi Abdi Allah, tentunya tidak ada ayatayat yang memerintahkan untuk mengabdi kepadaNya, seperti ayat berikut :
“Wahai manusia, sebahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orangorang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah Ayat 21). Memang begitulah seharusnya, sesuai dengan hikmah Illahi menciptakan insan agar ada diantara hamba-hambaNya yang menyaksikan keagunganNya dengan penuh kesadaran, pengertian tanpa suatu paksaan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pengabdian insan memang tidak dapat disanamakan dengan sifat pengabdian makhluk-makhluk lain yang sifatnya otomatis dan terpaksa. G.
Kebebasan atau Hak Pilih Insan sebagai mandataris dengan kebebasan hak pilihnya dengan sendirinya dalam semua perbuatannya benar-benar harus merupakan pilihanya sendiri, keinginanya atau niatnya sendiri, karenanya kita dapat mengerti mengapa suatu perubahan yang bernilai harus disertai niat :
“Sesungguhnya yang dapat dianggap perbuatan bernilai hany ayang dilakukan dengan niat (sengaja). Dan bagi setiap orang akan diupah sesuai dengan niatnya” (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Niat sebenarnya merupakan manifestasi adanya kebebasan dan hak pilih. H.
Konsekuensi dari Adanya Niat Niat adalah satu perbuatan yang disengaja yang tidak mungkin terlaksana tanpa terpenuhinya : 1. Kesadaran, 2. Kebebasan. Yaitu kesadaran diri seseorang, apakah dia mampu atau tidak untuk membedakan yang baik dan buruk, yang berguna dan yang tidak berguna. Oleh karenanya kondisikondisi ini bebas dari tuntutan : a. Tiga hal pada manusia yang membuat dia bebas dari tuntutan : 1. Anak kecil sampai dia akil baligh 2. Orang yang tidur sampai dia terjaga 3. Orang yang hilang ingatan sampai dia sadar b. Umatku bebas dari tuntutan karena keliru dan lupa, juga karena sesuatu yang terpaksa c. Tidak ada paksaan dalam beragama, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat Ciri dari perbuatan yang memaksa, terpaksa atau darurat karena tidak adanya pilihan lain, yang ada hanya satu jalan saja. Oleh karena itu dalam kehidupan kita ini selalu dihadapkan kepada dua jalan, boleh dan tidak agar kita dapat melaksanakan niat dalam segala perbuatan kita, sebab jika yang ada hanya boleh saja atau tidak saja maka hak pilih kita sudah tercabut dengan sendirinya.
4
Adanya faktor niat tersebut, tentu kita dapat memahami, mengapa dalam kita beribadat harus dengan dilandasi dengan keikhlasan atau kejujuran yang sesuai niat serta dilarang berbuat nifak (munafik), termasuk ria dan bohong (menghianati). I.
Pengertian Iman Iman dapat diartikan percaya, setidak-tidaknya menduga dan lebih tinggi lagi adalah yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin. Termasuk juga dalam pengertian iman adalah optimis. Iman pada hakekatnya adalah suatu pengetahuan yang diperoleh secara dihibahkan kepada manusia melalui sarana Wahyu Illahi, sebab pengetahuan ini diluar jangkauan manusia (secara indrawi), karena Allah yang Maha Mengatahui dan Maha Bijaksana tentang ini, kita hanya dituntut untuyk percaya. Ini diberikan untuk melengkapi pengetahuan insan agar di akherat kelak manusia tidak beralasan “saya tidak tahu”. Disamping juga memiliki pengetahuan yang kasbi, diusahakan sendiri tanpa melalui wahyu, karena dia bersifat materi, dekat dan bukan ghaib. Sedangkan meuslim memiliki dua penglihatan :
“Bukanlah kami telah memberikan kepadanya dua buah mata/penglihatan, satu lidah dan dua buah bibir. Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)” (Al-Balad 8 - 10). Adapun karena yang tidak beriman memiliki satu pengetahuan/mata saja, golongan si mata satu ini nampak jelas pada kita dalam kiprahnya bermal dan berusaha di dunia ini sebagai perwujudan imannya yang mengabaikan wahyu Illahi. Golongan ini adalah yang diisyaratkan oleh Rasullullah SAW. Dengan sebuatan Dajjal atau Simata Satu. Pandai bicara dan pidato, berwacana, berdiskusi dan beragumentasi, tetapi semua itu hanya tipu dan palsu. Banyak juga dari umatku yang lemah imannya terbawa oleh tipu dayanya. Isyarat ini merupakan perhatian penting bagi kita dimasa kini, karena pelakunya adalah mereka yang hanya berpedoman pada penglihatan materi belaka (ilmu kasbi saja) atau kaum materialis, baik barat maupun timur. Semoga kita semua terhindar dari pengaruh palsunya itu. J.
Pengaruh Iman Iman dalam pengertian diatas, merupakan penggerak penting bagi insan untuk berbuat, beramal atau beribadah. Karena iman, orang selalu optimis, berharap, berkarya, tabah dan bersabar, walau keadaan harus menderita, bahkan orang mau mengorbankan segala sesuatunya demi imannya atau moralnya. Karena iman orang menjadi bersemangat tinggi dan berani. Tanpa iman berarti pesimis, orang tidak bisa hidup di dunia ini, bahkan roda kehidupan duniawi ini tidak mungkin berputar sebagaimana kita saksikan sekarang ini. Suksesnya kehidupan seseorang di dunia ini, baik bagi yang mengharapkan dunia saja atau dunia dan akhirat, tergantung pula lebih dulu kepada keimanannya. Begitulah iman akan mempengaruhi kehidupan seseorang dalam perilakunya sehari-hari. Karya atau ibadah orangpun tergantung pula kepada
5
keimanannya. Orang yang beriman adalah kepada mereka yang berani bertawakkal, optimis selalu. K.
Sebaik-baik Bentuk Makhluk-makhluk lain hanya memiliki satu kemungkinan saja atau bagi mereka tidak ada kesempatan untuk naik ke martabat yang lebih tinggi lagi dari keadaan yang sekarang. Lain dengan insan yang mempunyai dua kemungkinan : Naik setinggitingginya, termasuk kepada golongan mereka yang dikekalkan atau jatuh serendah-rendahnya bagaikan “Ternak” bahkan lebih sesat lagi. Semua itu terserah pula pada diri kita sendiri, karya atau ibadah kita sebagai perwujudan iman kita :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan insan dalam bentuk yang sebaikbaiknya” (At-Tiin Ayat 4). L.
Islam adalah Penyerahan Ibadah sebagai perwujudan keimanan kita dan insan sebagai MandatarisnNya, yang mendapat berbagai fasilitas pengetahuan , baik yang barupa materi duniawi ataupun iman, karenanya tidak ragu lagi tentang KeagunganNya sebagai Zat tunggal yang benart dan harus diakui, dipuja dan dipuji, untuk itulah kita dicipta sebagai saksi ahli yang sadar dan mengerti. Kesaksian ini harus berwujud, berunsur dua sesuai unsur insani, jasmani dan rohani sebagai kelengkapan kesatuan insan. Sebagai insan unsur ini tidak dapat dipisah dalam perwujudannya di dunia ini. Iman saja, pengertian saja, niat saja dan sebagainya dan gerak-gerik kalbu saja atau lahiriah saja, materi saja, jasmani belaka. Masing-masing dari semua ini bukan disebut insani, karena berdiri sendiri-sendiri, tidak merupakan satu kesatuan lagi. Mengingat hal ini, insan yang dicipta bukan atau belum jadi abdi, meskipun tujuan diciptakannya untuk mengabdi agar menjadi "Abdi” secara "sukarela" tanpa paksa, yang karenanya mempunyai sifat dan status istimewa. Abdi yang patuh adalah yang mematuhi kehendak yang "diabdi", bukan kehendak selainnya, bukan pula kehendak dirinya sendiri. Yang harus dipatuhi adalah teoriNya atau petunjukNya. Islam artinya penyerahan sepenuhnya kepada aturan-aturan Illahi. Penyerahan secara total sebagai satu kesatuan yang utuh baik Islamnya ataupun sebagai Abdinya yang memenuhi Firman Allah:
"Masuklah kalian dalam Islam secara menyeluruh". M.
Rukun Islam Rukun Islam atau Dasar-dasar Pokok Penyerahan, sebagaimana kita ketahui ada lima, yaitu: 1. Penyerahan kalbu sebagai pusat akidah dan iman serta keikhlasan niat. Berwujud dalam ikrar dua kalimat sahadat. Dasar pertama ini penting sekali, sebab selalu menjadi dasar pokok yang lainnya, bahka setiap perbuatan kita atau mat kita. 2. Penyerahan fisik sebagai bentuk lahir dari kesatuan ihsan. Berwujud dalam pelaksanaan saat dimana fisik kita menyerah dengan ruku, sujud, dan lainlain.
6
3. Penyerahan harta benda yang berbentuk zakat 4. Penyerahan nafsu sebagai penggerak dan pendorong aneka perbuatan dan tindakan 5. Penyerahan akal atau ruh Illahi, yang merupakan kekuatan dan pengaruh yang besar yang dimiliki insan, dan diwujudkan dalam ibadah haji dimana kita dihadapkan kepada hal-hal yang nampaknya agak tidak rasional. Haji juga menyangkut empat pokok lainnya. Begitu pula pokok pertama mendasari semua pokok-pokok tersebut. Insan sebagai khalifah, jika ingin mengabdi kepadaNya, harus menyerahkan dirinya secara total lima unsur pokok kekuatan insannya. Semoga kita dapat melaksanakan fungsi kita dalam hidup ini secara baik, selama masa jabatan kita yang dini serta sekali ini.
7
Penutup Keyakinan kepada Allah Yang Maha Esa (tauhid) merupakan titik pusat keimanan, karena itu setiap aktivitas seorang muslim senantiasa dipertautkan secara vertikal kepada Allah Swt. Pekerjaan seorang muslim yang dilandasi keimanan dan dimulai dengan niat karena Allah akan mempunyai nilai ibadah di sisi Allah. Sebaliknya pekerjaan yang tidak diniatkan karena Allah tidak mempunyai nilai apa-apa.
8
Daftar Pustaka Ahmad, H A Malik. 1980, Tauhid Membina Pribadi Muslim dan Masyarakat, Jakarta, Al-Hidayah Al-Hajjaj, Abu al-Husain, tt, Sahih Muslim (Syarh al Nawawi), Maktabah Dahlan Al-Bukhari, Abu Abd Allah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn alMughirah, 1981, Sahih Bukhari, Beirut Iqbal, MuhammadL 1996, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Jakarta, Tintamas Qardawi, Yusuf, 1986, Haqiqah al-Tauhid, Damaskus, Al-Maktab al-Islami Syaltout, MahmoudL 1966, Al-Islam 'Aqidah wa Syan 'ah, Dar el-Qalam Wibowo, Arif, Drs, dkk, 1997, Studi Islam, Surakarta, Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Riwayat Penulis Iwan Israwan. Drs., M.Pd., lahir di Pekalongan, 4 Januari 1958, SI dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Pidana Perdata Islam. Program Magister Pendidikan Umum Konsentrasi Teori dan Filsafat Pendidikan UPI Bandung. Dosen Kopertis Wilayah IV Dipekerjakan pada STBA Sebelas April Sumedang.
9