1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Udang merupakan komoditas penting yang harus dikembangkan, karena permintaan konsumsi dalam maupun luar negeri cukup tinggi. Pemerintah telah mencanangkan budidaya udang sebagai salah satu komoditas unggulan revitalisasi perikanan sejak tahun 2005. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perikanan Budidaya tahun 2009, produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) adalah sebesar 3.63%*. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri telah menargetkan pada periode tahun 2009–2014, produksi udang dapat meningkat sebesar 74.75%, yaitu dari 400 ribu ton menjadi 699 ribu ton, yang terdiri atas udang vaname (L.vannamei) dan udang windu (Pennaeus monodon) (KKP 2010). Keberhasilan produksi tersebut sangat didukung oleh keberhasilan dari budidaya. Namun banyak kendala yang harus dihadapi dalam budidaya udang, salah satunya adalah adanya serangan penyakit. Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kerugian besar dalam kegiatan budidaya udang adalah penyakit Infectious Myonecrosis (IMN). Penyakit IMN di Indonesia pada tahun 2009
telah mengakibatkan kerugian sebesar
300 milyar rupiah (KKP 2010). Tingkat kematian yang ditimbulkan oleh penyakit IMN pada udang
vaname
budidaya berkisar antara 40-70%. Nilai FCR
(feeding convertion rate) pada udang yang terinfeksi IMN juga mengalami kenaikan dari FCR normal, yaitu berkisar 1.5 – 4.0 atau bahkan lebih (OIE 2009). Prevalensi IMN dapat mencapai 100% pada daerah dimana virus tersebut merupakan enzootic dalam tambak udang vaname. Dampak lain dari penyakit ini adalah lambatnya pertumbuhan udang, penyebaran penyakit yang cepat dan penampakan udang yang buruk, sehingga dapat menurunkan harga jualnya. Penyakit IMN pertama kali menyerang udang vaname di Piaui (Timur Laut, Brazil) pada tahun 2002 (Pinheiro et al. 2007). Sebagian besar tambak udang di negara bagian Timur Laut Amerika telah terinfeksi IMNV pada tahun 2004 (Pinheiro et al. 2007), setelah itu menyebar disepanjang garis pantai Timur Laut Brazil dan sampai di Indonesia, Thailand dan propinsi Hainan di Cina. Penyakit Infectious Myonecrosis (IMN) di Indonesia, pertama kali ditemukan
*Tanda titik dibaca sebagai desimal
2
keberadaannya pada tahun 2006 (Taukhid and Nur’aini 2008) pada usaha budidaya udang vaname di Situbondo, Jawa Timur (Senapin et al. 2007). Udang vaname sendiri merupakan udang introduksi dari Brazil, yang masuk secara resmi ke Indonesia pada tahun 2001. Saat ini penyakit IMN telah terdeteksi keberadaannya di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara (Taukhid and Nur’aini 2008) dan Lampung. Penyakit IMN disebabkan oleh virus yang berasal dari family totiviridae (totivirus), genus Giardiavirus (Walker and Winton 2010), memiliki genom tidak bersegmen ds-RNA (double stranded-RNA), 7560 bp dan kapsid berbentuk isometrik (Tang et al. 2008). Penggunaan vaksin dan kemoterapi telah dilaporkan tidak efektif untuk penyakit ini (OIE 2009). Sejumlah tindakan pencegahan dan pengobatan masih terus dikembangkan. Salah satu alternatif pengendalian penyakit udang yang disebabkan oleh IMNV adalah menerapkan sistem biosekuriti, menggunakan benih SPF (specific pathogen free) atau SPR (Spesific pathogen resistant) dan pemberian imunostimulan atau probiotik. Penggunaan antibiotik dan vaksin pada pengendalian penyakit udang yang disebabkan
oleh
virus
tidaklah
efektif.
Penggunaan
antibiotik
hanya
direkomendasikan untuk pengobatan sejumlah penyakit yang disebabkan oleh bakteri, selain itu penggunaan antibiotik yang tidak tepat, dilaporkan mempunyai dampak negatif pada lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Reed et al. 2004). Pencegahan penyakit dengan vaksinasi merupakan metode yang efektif untuk mengendalikan penyakit pada ikan, namun tidak demikian bagi udang karena udang tidak memiliki antibodi (Jory 1997). Mekanisme pertahanan udang sangat bergantung pada kekebalan bawaan (innate immunity) yang luar biasa efektif dalam mengenali dan menangkal serangan pathogen (Rusaini and Owens 2010). Saat ini mulai dikembangkan alternatif pengendalian penyakit pada udang terutama yang diakibatkan oleh infeksi virus, dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang bersifat imunostimulan dan antiviral. Dewasa ini, pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi dengan menggunakan produk dari organisma laut menjadi alternatif yang memungkinkan (Bansemir et al. 2006). Rumput laut merupakan salah satu sumber senyawa
3
bioaktif, yang memproduksi berbagai karakteristik metabolit sekunder dengan spektrum aktifitas yang luas, sebagai senyawa sitostatik, antiviral, antelmintik, antifungal dan aktifitas antibakteri yang telah terdeteksi terdapat dalam alga hijau, alga coklat dan alga merah (Newman et al. 2004). Dikatakan oleh Wijesekara et al. (2011), dinding sel dari alga laut kaya akan polisakarida sulfat (SPs) seperti fukoidan dalam alga coklat, karagenan dalam alga merah dan ulvan dalam alga hijau.
Polisakarida
sulfat
ini
mengeluarkan
senyawa
bioaktif
yang
menguntungkan yang bersifat sebagai anti koagulan, antiviral, anti oksidatif, anti kanker dan aktivasi modulasi imun. Alga laut adalah sumber penting polisakarida sulfat non-hewani dengan struktur kimia yang polimer-polimernya bervariasi sesuai spesies alga (Costa 2010). Neushul (1990) menyatakan polisakarida sulfat dari alga merah memiliki spektrum antivirus yang luas, dan bertindak menghambat aksi virus tidak hanya pada permukaan sel virus herpes (virus DNA) dan HIV (virus RNA) tetapi juga bertindak sama baiknya di dalam sel maupun eksternal sel. Ekstrak ganggang merah basah, diketahui aktif terhadap retrovirus. Dikatakan pula bahwa karagenan, yang merupakan polisakarida dinding sel dari alga merah, masuk ke dalam sel yang terinfeksi HSV (herpes simplex virus) dan menghambat virus tersebut. Selain itu, karagenan juga mengganggu fusi (pembentukkan syncyticum) antar sel yang terinfeksi HIV dan menghambat reverse transcriptase retroviral enzim spesifik. Karagenan dalam kamus istilah pangan dan nutrisi (FTP UGM 2002) adalah merupakan polisakarida yang tersusun dari unit-unit galaktosa sulfat yang bersifat polianion, yang dihasilkan dari ekstraksi alga merah (Rhodophyceae), digunakan sebagai bahan tambahan makanan untuk memperbaiki tekstur makanan. Salah satu spesies penghasil karagenan dari alga merah, yang merupakan komoditas sektor kelautan dan perikanan budidaya yang menonjol adalah rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii. Indonesia sendiri berhasil menempatkan diri sebagai negara produsen rumput laut terbesar di dunia, meninggalkan dominasi Filipina. Rumput laut K. alvarezii merupakan penghasil karagenan jenis kappa yang telah banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, kimia dan obat-obatan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, dalam
*Tanda titik dibaca sebagai desimal
4
hubungannya
sebagai
imunostimulan, di antaranya
adalah, Epinephelus
fuscoguttatus yang diberi pakan mengandung sodium alginate atau k-karagenan, imunitasnya meningkat setelah dua minggu, bersamaan dengan meningkatnya resistensi melawan V. alginoliticus (Cheng et al. 2008). Penelitian lainnya yaitu pemberian berbagai jenis karagenan melalui injeksi terhadap L. vannamei yang diinfeksi dengan V. alginoliticus, dapat meningkatkan total hemosit, aktivitas phenoloxidase, respiratory burst dan aktivitas fagositik setelah 24 jam secara signifikan (Yeh and Chen 2008). Suryati (2010) dalam thesisnya menyatakan pemberian k-karagenan melalui injeksi dapat meningkatkan respons imun spesifik pada ikan lele dumbo (Clarias sp), yang terukur dari kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih, diferensial leukosit dan indeks fagositik.
1.2 Perumusan Masalah Dampak serangan penyakit IMN pada udang vaname sangatlah besar. Hingga saat ini belum ditemukan pengendalian yang tepat terhadap penyakit ini. Udang merupakan hewan invertebrate yang memiliki sistem imun yang primitif dibandingkan hewan vertebrate, karena udang tidak memproduksi antibodi (pertahanan spesifik). Mekanisme pertahanan udang sangat bergantung pada kekebalan bawaan (innate immunity), yaitu sistem pertahanan non-spesifik, yang terdiri dari komponen seluler dan komponen humoral yang sangat efektif dalam menangkal serangan pathogen (Rusaini and Owens 2010). Salah satu alternatif pengendalian penyakit viral yang dapat dikembangkan adalah penggunaan k-karagenan dari rumput laut K. alvarezii, yang merupakan salah satu spesies dari alga merah. Karagenan sendiri adalah
family dari
polisakarida sulfat, yang diisolasi dari alga merah dan diketahui bersifat sebagai imunostimulan dan juga bersifat antiviral (Wijesekara et al. 2011). Pemberian imunostimulan yang baik harus memperhatikan dosis dan frekuensi pemberian yang optimal. Menurut Couso et al. (2003) dosis pemberian imunostimulan yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan, sedangkan dosis pemberian yang rendah tidak cukup atau kurang efektif untuk memberikan respons imun. Frekuensi pemberian imunostimulan merupakan hal yang penting
5
dalam pemberian imunostimulan untuk mencapai proteksi yang optimal. Pemberian imunostimulan yang berkelanjutan diperlukan untuk lebih memberikan kemampuan imun (Cheng et al. 2004). Pemberian k-karagenan dari K. alvarezii, melalui pakan diharapkan mampu meningkatkan respons imun udang vaname dan dengan pemberian dosis dan frekuensi yang tepat diharapkan dapat meningkatan pertumbuhan dan resistensi udang terhadap serangan IMNV. Respons imun pada udang tergambar dari meningkatnya parameter imun dan resistensi udang tergambar dari kelangsungan
hidup
udang
yang
terinfeksi.
Parameter
imun
yang
mengekspresikan respons imun pada udang, berupa total hemosit, aktifitas fagositik, aktifitas phenoloxidase, diferensiasi hemosit yang terdiri dari sel hialin, sel granular dan semi granular (Yeh and Chen 2009).
1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menguji pengaruh pemberian k-karagenan melalui pakan dalam meningkatkan respons imun udang vaname (2) Mengevaluasi resistensi udang vaname dari serangan IMNV yang telah diberi k-karagenan dengan dosis yang berbeda, dan (3) mengevaluasi frekuensi pemberian k-karagenan yang efektif pada udang vaname terhadap serangan IMNV. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi bahan aplikasi bagi pengendalian penyakit IMN dalam budidaya udang vaname di Indonesia.
1.4 Hipotesis Pemberian k-karagenan melalui pakan dengan dosis dan frekuensi pemberian yang tepat dapat meningkatkan respons imun dan resistensi udang vaname terhadap penyakit IMN.
*Tanda titik dibaca sebagai desimal