BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang Tubuh adalah bagian yang melekat pada individu sebagai titik pusat diri. Sebagai media yang tepat untuk dipromosikan dan divisualkan, tubuh merupakan
proyek besar yang dapat terus dibongkar, ditata ulang,
dieksplorasi, didandani atau disakiti, semata untuk menciptakan gaya tertentu. Media-media yang digunakan untuk memamerkan tubuh ini sangat beragam, salah satunya dengan melubangi area khusus pada bagian fisik tertentu yang diistilahkan dengan body piercing. Sebagai tanda bagi manusia menghiasi tubuh dan penampilannya (Muliani dan Sasmito, 2003). Kemunculan awal body piercing diperkirakan sudah ada pada zaman prasejarah, dimana pada zaman itu tindik merupakan suatu tanda jabatan dan kecantikan. Bukti prasejarah ini berlanjut dengan adanya penemuan arkeologi di daerah gletser Itali yang menjumpai tubuh mumi “Otzy The Ice Men” dengan menggunakan tindik di telinga berdiameter 7-11 milimeter. Kemudian pada 5000 tahun yang lampau, Pharaoh atau raja oleh bangsa Mesir juga melakukan piercing di daerah pusar (Washington Post, November 2006). Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Mesir melakukan tindakan penindikan pada tubuh, kegiatan seni piercing ini juga diikuti oleh bangsa
8
Universitas Sumatera Utara
Yunani dan Romawi dimana abad ke 14 tentara Romawi menindik bagian puting mereka, sebagai simbol dari kejantanan (youngswomenhealth, Januari 2006). Penemuan-penemuan ini menggambarkan bahwa body piercing telah dipraktekkan pada kumpulan masyarakat leluhur dengan beragam kebudayaan di dunia. Beberapa suku primitif seperti Aztec dan Maya, juga menindik lidah mereka secara permanen sebagai bagian dari blood ritual. Suku Indian menindik kait besi di bagian dada sebagai ritual yang dinamakan okipa, yang diperuntukkan bagi tentara atau panglima perang. Kemudian salah satu suku di India setiap bulan Februari melakukan ritual kavandi yaitu menusuki tubuh mereka dengan jarum sepanjang satu meter sebagai tanda penghormatan kepada dewa, sedangkan perilaku menindik hidung bagi masyarakat mulai populer di sekitar abad ke 16. (Mulden, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Elnekave (2006) tentang hubungan suku bangsa dan pemakaian body piercing, menunjukkan bahwa satu suku di Afrika sejak zaman dahulu telah melakukan kegiatan tindik tubuh untuk menarik perhatian dari lawan jenisnya. Selain itu piercing juga berfungsi sebagai tanda dari status sosial seseorang. Hal ini tidak hanya djumpai pada suku-suku yang terdapat di Afrika, tetapi suku di daerah di Asia juga tidak asing dengan bentuk modifikasi tubuh ini. Secara umum, penggunaan body piercing digunakan sebagai tanda kecantikan, kemakmuran, status, keberanian, penentraman jiwa, dan perjuangan hidup.
9
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, pada awalnya body piercing dikenal di kepulauan Mentawai, daerah Papua, dan Dayak (Suara Karya, Juli 2006). Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga sejak abad ke-17. Tidak sembarangan orang bisa menindik diri karena hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping. Sedangkan perempuan-perempuan suku Dayak sengaja memperbesar lubang tindik di lubang telinga mereka hingga terjuntai agar dibilang cantik. Di daerah Irian Jaya, memakai body piercing adalah tanda pertempuran melawan hewan buruan, dan juga sebagai tanda pemilik tempat tertentu (Elnekave, 2006). Pria pada suku Dani di Papua memasang hiasan tanduk hewan di hidung sebagai lambang keperkasaan. Model primitif inilah yang akhirnya banyak ditiru komunitas piercing di dunia. Kata piercing berkenaan dengan tindik yang dilakukan pada bagian tubuh tertentu. Hewitt dan Armstrong (1999) mendefinisikan body piercing sebagai penciptaan suatu lubang yang dapat dilewati ornamen atau perhiasan yang akan dikenakan. Sedangkan menurut Suyasa dan Djoenaina (2005), body piercing adalah kegiatan melubangi bagian-bagian tubuh dan pemakaian aksesoris pada bagian-bagian tersebut. Dalam melakukan piercing, telinga adalah bagian tubuh yang lazim untuk ditindik. Walaupun kegiatan body piercing dengan melubangi telinga sudah menjadi sangat popular semenjak lebih dari satu dekade yang silam, tetapi pada masa sekarang banyak dari bagian tubuh seperti lidah, bibir,
10
Universitas Sumatera Utara
hidung, alis mata, pusat, bahkan bagian genital dapat dijadikan sebagai tempat tindik tubuh (Meltzer, 2005). Dapat disimpulkan bahwa body piercing adalah bentuk dari seni modifikasi tubuh dengan cara menindik bagian-bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk memakai perhiasan pada lubang yang diciptakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Deschenes dkk (2006) diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir banyak artikel yang dipublikasikan mengenai
peningkatan
popularitas
pemakaian
body
piercing pada
masyarakat barat, khususnya diantara para remaja. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa 27% dari anak SMU di Quebec mengenakan tindik tubuh dengan alasan ekspresi diri sebagai individu yang unik dan spesial, dan merupakan simbol dari estetika. Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Armstrong (2005), yang membuktikan maraknya body piercing di Amerika dengan melihat studio body art yang makin menjamur di beberapa tempat. Fenomena ini akhirnya menyadarkan pemerintah beberapa negara bagian di Amerika untuk membuat regulasi tentang kegiatan body piercing. Salah satu isi dari regulasi tersebut calon body piercer yang akan di-piercing minimal berusia 18 tahun dan mendapat izin dari orang tua, dan juga tidak berada dalam pengaruh alkohol dan obat-obatan. Selain remaja, ternyata banyak dari orang dewasa yang menindik tubuh mereka. Hasil penelitian Armstrong (2005) memperlihatkan
11
Universitas Sumatera Utara
peningkatan pemakaian body piercing sejalan dengan pertambahan umur. Ferguson (1999) juga mengungkapkan hasil survei yang dilakukan Body Art Magazine terhadap 134 responden yang telah memakai piercing, menyatakan 79% body piercer berumur 29 tahun dan 58% nya sudah menikah dengan waktu yang lama. Armstrong (2005) menyatakan bahwa 33% dari individu dewasa muda yang berusia antara 18-25 tahun di Amerika Serikat memakai body piercing, dengan motif umum sebagai “uniqueness and be my self”. Seperti yang dituturkan seorang ibu dari 4 anak, Jane Lansdowne (34) dalam (Martell, 2007) tentang alasannya memakai beberapa tindik tubuh: “This is how express myself. I’m not an artist. I don’t do paint or anything like that. So I express my creativity with my body”
Motif dari perilaku seseorang akan tergantung dari budaya dan kepribadian seseorang serta situasi yang dihadapinya (Boosoon dkk dalam Baron dan Byrne, 2004), dimana motif-motif pada diri individu akan terkait dengan harga dirinya. Di Indonesia sendiri, gambaran mengenai body piercing
tergambar
dalam
salah
satu
artikel
pada
situs
indonesiansubculture.com sebagai berikut: Para remaja Indonesia, khususnya remaja di kota Bandung, mengenal tindik tubuh sekitar tahun 1970, dan kegiatan seni tubuh ini mulai diminati oleh masyarakat luas pada era 90-an. Awalnya, tindik dipakai oleh pemain band beraliran keras, tetapi pada tahun 2000-2004 body piercing merupakan lifestyle.
12
Universitas Sumatera Utara
Prass dan Latief (2003) memaparkan ada berbagai alasan kaum muda melakukan body piercing. Elda seorang remaja putri yang melakukan tindik tubuh sejak lulus SMU, mengaku melakukan hal tersebut dengan alasan mengikuti tren. Ketika Elda pertama kali melakukan piercing, belum banyak anak muda yang melakukannya. Namun kini, telah banyak remaja yang telah melakukannya. “Dulu saya merasa lebih gaya, karena belum banyak melakukannya. Tapi kini, biasa saja. Habis banyak anak muda berpiercing ria. Jadinya tidak istimewa” Seni piercing juga sudah menjadi bagian gaya hidup kaum dewasa muda di kota-kota besar di Indonesia. Bagi kaum dewasa muda zaman sekarang, selain dianggap bisa mendongkrak penampilan, tindik juga menjadi sarana ekspresi diri. Sebuah simbol kebebebasan dari segala komunitas yang ada. Setidaknya, demikian pengakuan salah seorang pemuda metropolitan yang memiliki lebih dari satu tindikan di tubuhnya (komunikasi personal, 1 April 2007): “Memang sih ada yang ditindik buat gaya-gayaan, atau ditindik biar dibilang funky tapi gue ditindik karena begini gue..“. Dari pemaparan di atas tergambar bahwa kegiatan body piercing dikatakan sebagai suatu cara untuk mengekspresikan diri. Hal ini sesuai dengan penelitian Armstrong dkk (2004), yang menyebutkan bahwa kebanyakan piercing bertujuan untuk mengekspresikan diri dan identitas. Demikian juga dengan pengungkapkan alasan seorang pemakai piercing lainnya dalam (komunikasi personal, 16 April 2007) :
13
Universitas Sumatera Utara
“Awalnya aku memakai piercing karena ikut-ikutan tren, soalnya band musik yang aku sukai...pakai piercing pada tubuhnya. Lamalama setelah aku pakai piercing ini...baru aku ngerasa piercing ku ini bagian dari diriku sendiri. Temen-temen ku juga pada bilang kalau aku tanpa piercing itu bukan aku, gitu...selain aku pakai piercing ikut-ikutan tren, aku juga mengekspresikan diri dengan piercingdi kupingku ini... ” Menyimak pernyataan-pernyataan para subjek di atas, terungkap bahwa para pemakai body piercing melakukan modifikasi sebagai manifestasi diri. Featherstone (1999) mendeskripsikan banyak dari pemakaian piercing sebagai identitas diri yang terlihat. Menurut Sweetman (1999) dan Soyland (1997) body piercing berhubungan dengan tanda sejarah tubuh seseorang. Peningkatan tren body piercing yang menjadikan tubuh sebagai proyek merupakan tanda dari peningkatan hubungan antara identitas diri dengan tubuh (Giddens, 1991). Pandangan modern yang diungkapkan oleh Caroll (2002) terhadap modifikasi tubuh, mengidentifikasikan hal tersebut sebagai penanda diri dan untuk mengontrol serta menguasai tubuh. Pernyataan dari Synnott dan Routledge (1993) menggangap tubuh sebagai jiwa, mesin dan merupakan diri itu sendiri. Deaux (1993) juga menyatakan bahwa karakteristik tubuh berpengaruh kepada harga diri seseorang, hal ini sejalan dengan pendapat Goldenberg (Baron dan Byrne, 2004) tubuh dapat menjadi sumber harga diri, dan saat individu diingatkan pada sifat tubuh yang dapat berubah, hal ini akan meningkatkan perjuangan harga diri seseorang.
14
Universitas Sumatera Utara
Harga diri telah menjadi topik yang menghiasi ruang lingkup psikologi sosial sejak disiplin ilmu ini berdiri hingga sekarang. William James (1890) menyatakan harga diri sebagai evaluasi diri sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Hogg (2002) yang mengartikan harga diri sebagai perasaan tentang evaluasi terhadap diri individu tersebut. Weiten dan Llyod (2006) mendefinisikan harga diri sebagai keseluruhan pengukuran harga diri seseorang sebagai individu. Menurut Shavelson dkk (1976) harga diri merupakan sesuatu yang dapat di evaluasi, dengan kata lain individu tidak hanya dapat mendeskripsikan dirinya tetapi juga membuat evaluasi diri pada berbagai situasi, dan pada situasi khusus harga diri dapat terlihat sebagai sesuatu yang stabi. Terdapat empat dimensi yang berbentuk struktur yang dapat menggambarkan harga diri seseorang, Shavelson, Stanton dan Hubner menjabarkan struktur multidimensi dari harga diri tersebut yaitu fisik, akademik, emosi dan sosial (Chu, 2002). Pemakaian piercing pada tubuh merupakan salah satu bentuk penampilan yang berhubungan dengan fisik, Weiten dan Llyod (2006) mengungkapkan bahwa struktur multidimensi fisik berfokus pada penampilan fisik seorang individu.
Salah satu alasan seseorang juga
memakai piercing pada tubuhnya sebagai ekspresi dengan perasaan unik dan spesial, yang menimbulkan bentuk emosi tertentu. Kemudian dari komunikasi personal didapatkan bahwa motif memakai body piercing
15
Universitas Sumatera Utara
bertujuan untuk mengikuti tren dari masyarakat yang berhubungan dengan dimensi sosial. Ditinjau dari hubungan pernyataan yang terbentuk di atas maka peneliti tertarik untuk melihat gambaran multidimensi struktur harga diri yaitu dimensi akademik, emosi dan sosial, yang akhirnya serangkaian ini dapat menjadi dinamika harga diri pada pemakai body piercing.
I. B. Perumusan Masalah Menyimak latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana latar belakang pemakaian body piercing? a. Bagaimana gambaran dimensi akademik dari struktur harga diri para pemakai body piercing? b. Bagaimana gambaran dimensi fisik dari struktur harga diri para pemakai body piercing? c. Bagaimana gambaran dimensi emosi dari struktur harga diri para pemakai body piercing? d. Bagaimana gambaran dimensi sosial dari struktur harga diri para pemakai body piercing? e. Bagaimana dinamika harga diri pada pemakai body piercing?
I. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini untuk melihat dinamika harga diri pada pemakai body piercing.
16
Universitas Sumatera Utara
I. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah untuk memperkaya khazanah ilmu psikologi khususnya di bidang Psikologi Sosial, mengenai gambaran dinamika harga diri pada pemakai body piercing. 2. Manfaat praktisnya digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan memberi pandangan yang tepat mengenai diri dan kehidupan pemakai body piercing.
I. E Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika yang teratur sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya. Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II berisikan landasan teori yaitu yang menjelaskan dan mendukung penelitian. Bab III mengutarakan tentang metodologi penelitian kualitatif, termasuk metode pengambilan data, responden penelitian, alat bantu yang digunakan dan prosedur penelitian dan metode analisis data. Bab IV menganalisa data dan interpretasi yang akan memuat deskripsi data, analisa data dan pembahasan.
17
Universitas Sumatera Utara
BAB V menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini serta diskusi mengenai hasil penelitian yang ada diikuti dengan saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.
]
18
Universitas Sumatera Utara