I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Puyuh merupakan salah satu jenis ternak unggas yang dikembangkan
sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur maupun daging. Sejak 1980 ternak puyuh mulai dikenalkan di Indonesia tetapi dalam hal budidaya belum banyak yang melakukannya, berbeda dengan ternak ayam. Puyuh yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia diantaranya adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica), Turnix sylvatica, dan puyuh Malon. Puyuh Malon yang berasal dari singkatan “manuk londo” adalah puyuh hasil persilangan antara puyuh lokal Coturnix coturnix japonica dengan French Quail. Persilangan ini ditujukan untuk tujuan menghindari terjadinya inbreeding dan meningkatkan performa produksi. Puyuh Malon merupakan salah satu jenis puyuh yang cukup banyak dipelihara oleh masyarakat, terutama ditujukkan sebagai puyuh pedaging karena ukuran tubuhnya yang relatif lebih besar dari puyuh lokal lainnya. Meskipun sudah banyak yang membudidayakannya informasi tentang karakteristik puyuh malon masih relatif terbatas, khususnya yang berkaitan dengan sifat kualitatif dan kuantitatif. Sifat kualitatif ternak sering dijadikan penentuan dalam karakter ternak dimana individu-individu dapat diklasifikasikan ke dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokkan ini berbeda jelas satu dengan lainnya. Sifat kualitatif ini dapat didasarkan pada penampilan yang tidak dapat diukur dan sedikit
2
bahkan tidak ada hubungannya dengan kemampuan produksi. Sifat kualitatif yang dimiliki oleh individu puyuh diantaranya adalah warna bulu, warna paruh, dan warna shank. Sifat kuantitatif sering dijadikan parameter program seleksi biasanya dilihat dari bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh, hal ini dilakukan untuk mendapatkan bibit yang memiliki produktivitas tinggi. Ukuran tubuh puyuh yang penting untuk diamati dan dapat dijadikan penentu karakteristik antara lain adalah bobot badan, panjang kepala, lebar kepala, lebar paruh, panjang tulang pubis, lingkar leher, lebar dada, dan panjang kaki. Mengingat terbatasnya informasi sifat kualitatif dan kuantitatif pada puyuh Malon dan mempertimbangkan pentingnya kedua sifat tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sifat kualitatif dan kuantitatif puyuh Malon khususnya pada betina dewasa. 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dapat diiidentifikasi permasalahan
yaitu bagaimana sifat kualitatif dan sifat kuantitatif puyuh Malon betina dewasa. 1.3
Maksud dan Tujuan Guna mengetahui secara komprehensif sifat kualitatif dan sifat
kuantitatif puyuh Malon betina dewasa.
3
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan menjadi informasi ilmiah tentang sifat kualitatif
dan sifat kuantitatif puyuh Malon betina dewasa. Selain itu, hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadisumber informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya mengembangkan sumberdaya genetik ternak unggas lokal Indonesia dan menjadi pengetahuan praktis bagi peternak dalam mengenal karakteristik puyuh Malon. 1.5
Kerangka Pemikiran Puyuh Malon merupakan puyuh jenis baru yang dikembangkan di Indonesia.
Nama Malon berasal dari singkatan “manuk londo”. Puyuh Malon sudah tersebar di Indonesia, pertama kali dikembangkan di Yogyakarta. Puyuh Malon semakin populer dan digemari terlihat dari perkembangannya di Indonesia yang cukup banyak karena konsumsi daging dan telurnya menjadi makanan yang bergizi dan lezat. Persilangan yang dilakukan oleh pembibit tersebut dilakukan untuk mendapatkan jenis puyuh baru yang memiliki performa lebih baik dari rata-rata kedua induknya. Kegiatan persilangan dilakukan untuk mendapatkan bibit puyuh yang
unggul,
karena
secara
genetik
persilangan
dapat
meningkatkan
keheterozigotan (keragaman genetik) dalam populasi keturunannya (Warwick et.al.1995). Selain itu, persilangan dilakukan untuk menghindari permasalahan inbreeding yang sering dilakukan oleh peternak, karena belum ada sistem pembibitan puyuh yang baik di Yogyakarta dan daerah lainnya. Dampak dariinbreeding adalah terjadinya penurunan pertumbuhan puyuh, produksi, maupun reproduksi (Kususiyah, 2006).
4
Sifat kualitatif adalah
suatu sifat yang tidak dapat diukur dan
merupakan sifat dimana individu-individu dapat diklasifikasikan kedalam satu kelompok atau lebih, dimana pengelompokan ini berbeda satu dengan lainnya. Sifat kualitatif juga di artikan sebagai penampakan luar dengan sedikit bahkan tak ada hubungannya dengan kemampuan produksi. Sifat kualitatif seperti warna bulu, shank, maupun warna paruh dikontrol oleh gengen yang tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungan (Warwick, et al., 1995). Cara yang dapat membedakan puyuh betina dengan jantan adalah melalui warna bulu sayap, paruh, dan kaki (shank) (Tumbilung, et al.2014). Warna shank dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya struktur shank, pigmen utama yang terkandung dalam shank dan faktor genetik (Lanam, 2013). Warna bulu bagian perut puyuh Coturnix chinensis berwarna garis kecoklatan dan puyuh. Arborophila orientalis (Grey Bellied Partridge) memiliki perut berwarna keputih-putihan (Listiyowati dan Roospitasari, 1992). Pada puyuh Coturnix-coturnix japonica Jantan dewasa diidentifikasikan dengan bulubulu berwarna coklat muda pada bagian atas kerongkongan dan dada yang merata. Betina dewasa warnanya mirip dengan jantan, kecuali bulu pada kerongkongan dan pada dada bagian atas warna coklat muda lebih terang, dihiasi totol-totol coklat tua (Listiyowati dan Roospitasari, 2009). Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan erat kaitannya dengan performa dan produktivitas ternak. Ukuran-ukuran tubuh mempunyai kegunaan untuk menaksir bobot badan dan persentase karkas, sehingga dapat menunjukkan nilai pada seekor ternak (Cole, 1970). Sifat kuantitatif yang penting adalah sifat yang dapat diukur dalam satuan (cm,m gr, kg). Beberapa sifat kuantitatif diantaranya adalah bobot badan, panjang paruh, lebar punggung, lingkar dada, panjang shank, dan lingkar
5
shank. Sifat-sifat tersebut dapat dijadikan parameter untuk pertumbuhan. Lebar peregangan pubis merupakan salah satu kriteria yang dapat dijadikan penduga produktivitas unggas betina (Hardjosworo, 1994). Burung puyuh mencapai masak kelamin (dewasa kelamin) pada umur 41-42 hari atau enam minggu, dimana pada Coturnix coturnix japonica bobot tubuh betina dewasa mencapai 143 gram per ekor lebih besar dibandingkan bobot tubuh puyuh jantan yang hanya mencapai 117 gram per ekor (Evitadewi, 2001). Lingkar dada merupakan lingkar tubuh yang diukur dari belakang pangkal sayap, dan biasanya dapat menentukan besar kecilnya tubuh unggas atau bobot badan (Kusuma, 2002). Sifat morfologi yang terbesar korelasinya dengan bobot badan adalah lingkar dada, baik jantan maupun betina (Tanudimadja, dkk., 1983). Burung puyuh memiliki paruh yang berbeda, dimana ukuran, bentuk, dan warna paruh burung disesuaikan dengan jenis makanannya (Lambey, dkk.,2013). Panjang shank dapat dijadikan penduga untuk mengukur pertumbuhan, sebab bentuk tulang yang besar menunjukkan pertumbuhan yang besar, demikian juga lingkar shank dapat dijadikan patokan untuk mengetahui bentuk kerampingan dari shank(Mansjoer, 1981). 1.6
Waktu dan Lokasi Percobaan Penelitian dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh, Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016.