1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Pemadaman listrik yang sering terjadi setiap hari
di kebanyakan daerah di
provinsi Lampung sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, di beberapa daerah, kondisi kelistrikan kian buruk. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan masyarakat melebihi dari pada beban puncak yang dapat ditoleran oleh PLN. Beban puncak di Lampung tahun 2008 mencapai 385 MW. Kebutuhan listrik saat ini dipasok dari PLTU Tarahan sebesar 200 MW, Pembangkit Way Besai sebesar 90 MW, Pembangkit Batu Tegi sebesar 28 MW dan pasokan dari Sistem Interkoneksi Sumatera Bagian Selatan sebanyak 100 MW.
Menipisnya bahan bakar pembangkit yang tersedia membuat PLN harus mengurangi daya listrik yang disalurkan sehingga dilakukan pemadaman bergilir. Bahan bakar listrik yang digunakan saat ini berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat pasti akan mengalami kehabisan stock bahan bakar. Selain itu, bahan bakar ini menghasilkan gas buang yang menyebabkan polusi udara.
Pada tahun 2006 di Provinsi Lampung, ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian yang utama dengan jumlah produksi 5.084.195 ton/tahun dan luas areal
2 tanam sekitar 266.645 Ha. Produksi ubi kayu yang tinggi mendorong industri untuk lebih banyak memanfaatkan ubi kayu sebagai bahan baku dalam pembuatan suatu produk, salah satunya adalah industri tapioka.
Gambar 1. Singkong (Manihot utilisima Crantz)
Banyaknya industri tapioka yang ada juga akan menghasilkan limbah yang besar pula sehinggat menyebabkan tingkat pencemaran lingkungan yang tinggi antara lain menyebabkan bau tidak sedap yang mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar, endemik bibit penyakit, dan air resapan tanah dan sungai menjadi beracun dan bau. Dalam limbah tapioka terkandung gas metana (CH4) apabila dibuang secara bebas ke atmosfir akan menyebabkan efek rumah kaca, proses ini berakibat suhu bumi menjadi tinggi, ini adalah yang disebut dengan pemanasan global (global warning), yang secara langsung meningkatkan intensitas frekuensi angin topan,
merubah
komposisi
hutan
,
mengurangi
produksi
pertanian,
menghancurkan biota laut sehingga ikan mengalami kekurangan makanan dan ekosistem laut menjadi hancur.
3 Limbah cair akan diproses dengan bantuan bakteri dalam kondisi anaerob dan akan menghasilkan biogas berupa gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Biogas memiliki kandungan gas metana yang cukup besar yaitu sekitar 60 % sehingga dapat dijadikan sebagai bahan bakar pembangkit listrik PLTU.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan pemanfaatan gas metana CH4 hasil limbah cair tapioka sebagai bahan bakar pembangkit listrik di provinsi Lampung.
C. Rumusan Masalah
Pembangkit energi listrik saat ini menggunakan energi yang bersifat tidak dapat diperbaharui. Hal ini tentunya menyebabkan semakin menipisnya bahan baku pembangkit itu sendiri, dan suatu saat pasti akan mengalami kekosongan stock. Dengan penggunaan biogas sebagai bahan bakar ini maka diharapkan dapat menghemat pemakaian sumber energi tak terbarui seperti minyak bumi dan batubara. Oleh karena itu studi pemanfaatan biomassa hasil dari limbah cair tapioka perlu dilakukan sebagai energi pembangkit listrik. Sehingga tercapainya keandalan sistem tenaga listrik di Lampung.
4 D. Batasan Masalah
Dalam studi ini akan dilakukan perhitungan dan analisis energi listrik yang dihasilkan dari CH4 untuk mengetahui kelayakan pembangkit listrik energi biomassa di provinsi Lampung. Aspek kelayakan diukur dengan : 1. Ketersediaan sumber bahan bakar 2. Teknis 3. Ekonomi 4. Keandalan Energi Listrik
E. Hipotesis
Banyaknya industri tapioka di Lampung akan menghasilkan limbah cair yang besar. Pemanfaatan biogas hasil limbah cair sebagai bahan bakar pembangkit listrik sangatlah perlu diupayakan, karena dari sisi ketersediaan bahan bakar yang cukup. Bahan bakar biogas yang berasal dari limbah tapioka dapat diperoleh secara gratis. Selain itu dari sisi teknis pengolahan limbah untuk menghasilkan biogas tidaklah terlalu rumit. Oleh karena itu perlu dibangun suatu pembangkit listrik berbahan bakar biogas ini di provinsi Lampung.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Produksi Singkong di Provinsi Lampung
Di Provinsi Lampung, ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian yang utama. Produksi ubi kayu yang tinggi mendorong industri untuk lebih banyak memanfaatkan ubi kayu salah satunya adalah industri tapioka.
Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Tanaman Ubi Kayu menurut Kabupaten/Kota, 2007 Daerah Penghasil Lampung Barat
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
567
10.465
1785
34.484
Lampung Selatan
10.223
200.188
Lampung Timur
37.430
753.002
Lampung Tengah
95.614
1.942.968
Lampung Utara
37.504
751.559
Way Kanan
15.775
315.643
117.556
2.379.795
Bandar Lampung
187
3.721
Metro
165
2.838
316.806
6.394.906
Tanggamus
Tulang Bawang
Lampung
Sumber : BPS Provinsi Lampung. 2007.
6 B. Limbah Cair Industri Tapioka
Limbah cair yang dihasilkan pada proses pengolahan tepung tapioka berasal dari proses pencucian, pembersihan alat produksi dan lantai pabrik serta dari proses pengolahan tepung tapioka. (Prayati, 2005).
Gambar 2. Kolam limbah cair pabrik tapioka menghasilkan gas metan
Untuk pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka akan menghasilkan limbah cair sebesar 4000-6000 liter. Limbah cair dari hasil pengolahan tepung tapioka terdiri dari air dan sisa tepung tapioka yang tersuspensi dan larut dalam air. Limbah cair industri tapioka dapat dijadikan substrat sebagai alternatif untuk pertumbuhan mikroba karena mengandung karbohidrat yang tinggi sekitar 1,52,5% (Yuliawati, 2002).
7 C. BOD (Biochemical Oxigen Demand) dan COD (Chemical Oxigen Demand)
Padatan yang terdapat pada air limbah terdiri dari zat organik dan anorganik. Zat organik misalnya protein, karbohitrat, lemak dan minyak. Protein dan karbohitrat lebih mudah terpecah melalui proses hayati menghasilkan amonia, sulfida, dan asam-asam lainnya.
Lemak lebih stabil terhadap pengrusakan hayati, namun
apabila ada asam mineral dapat menguraikan asam lemak menjadi gliserol. Limbah cair tapioka mengandung pati, sedikit lemak, protein dan zat organik lain yang ditandai dengan banyaknya zat-zat terapung dan menggumpal. Jumlah zat terlarut dalam limbah cair dapat diketahui dengan melihat nilai BOD. BOD (Biochemical Oxygen Demand) artinya kebutuhan oksigen biokima yang menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh bakteri. Sehingga makin banyak bahan organik dalam air, makin besar B.O.D nya sedangkan D.O akan makin rendah. Air yang bersih adalah yang B.O.D nya kurang dari 1 mg/l atau 1ppm, jika B.O.D nya di atas 4ppm, air dikatakan tercemar. Angka BOD dinyatakan dalam satuan mg/l atau ppm (part per million) dan biasanya dinyatakan juga dalam beban yaitu gram atau kilogram per satuan waktu.
COD merupakan parameter limbah cair yang menunjukkan jumlah zat organik biodegenarasi dan non biodegenarasi dalam air limbah. COD (Chemical Oxygen Demand) sama dengan BOD, yang menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi kimia oleh bakteri. Pengujian COD pada air limbah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengujian BOD.
8 Keunggulan itu antara lain :
Sanggup menguji air limbah industri yang beracun yang tidak dapat diuji dengan BOD karena bakteri akan mati.
Waktu pengujian yang lebih singkat, kurang lebih hanya 3 jam
(Pustekkom, 2005)
Zat tersebut dapat dioksidasi oleh bahan kimia K2Cr2O7 dalam asaam, misalnya sulfat, nitrit kadar tinggi, dan zat reduktor lainnya. Limbah cair tapioka memiliki nilai COD sebesar 30.000 mg COD/L (Ahmad dkk, 2003 dalam Widyantoro, Arie dan Nugrahini F, Panca. 2008). Dari 1 kg COD dapat menghasilkan biogas sebanyak 0,35 m3 biogas.
Tabel 2. Karakteristik umum limbah cair industri tapioka Parameter COD BOD
Jumlah* 33.600-38.223 mg/L 13.000-14.300 mg/L
Sumber : Manilal et al., 1991
D. Biogas
Menurut Tarumingkeng (2003) dalam Sari (2006), gas bio merupakan campuran beberapa gas yang tergolong bahan bakar yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob dalam suatu kolam yang disebut “lagoon”. Proses fermentasi ini dilakukan oleh bakteri anaerob, dengan waktu fermentasi 10-20 hari.
9
Metana (metil hidrida, CH4) merupakan hidrokarbon jenuh yang paling sederhana. Metana disebut juga gas rawa yang bersifat terbakar diudara dan meledak bila dicampur dengan udara, tidak berwarna, tidak berbau, lebih ringan dari udara mendidih pada 111,8 K terbentuk pada pelapukan zat organik dalam rawa dan paya, merupakan komponen utama gas alam dan gas tambang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar, penerang, dan pengolahan baja (Sari, 2006).
E. Nilai Kalor Pembakaran Biogas
Panas pembakaran dari suatu bahan bakar adalah panas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna bahan bakar pada volume konstan dalam kalorimeter dan dinyatakan dalam kal/kg bb atau Btu/lb bb. Panas pembakaran dari bahan bakar bisa dinyatakan dalam High Heating Valve (HHV) dan Lower Heating Valve (LHV). High Heating Valve adalah gross heating valve, yang mana merupakan panas pembakaran dari bahan bakar yang di dalamnya masih termasuk latent heat dari uap air hasil pembakaran. Low Heating Valve adalah net heating valve, yang mana merupakan panas pembakaran dari bahan bakar setelah dikurangi latent heat dari uap air hasil pembakaran.
10 Tabel 3. Tabel Heating Value FUEL
High Heating Value (Btu/ft3)
Low Heating Value
(Btu/lbm)
(Btu/ft3)
(Btu/lbm)
Hydrogen (H2)
314,9
61030
270,0
51593
Carbon Monoxide(CO)
316,0
4346
316,0
4346
Methane(CH4)
994,7
23880
896,0
21518
Ethane (C2H6)
1743
22329
1594
20431
Propane (C3H8)
2480
21670
2283
19944
Butane(C4H10)
3216
21316
2969
19679
Ethylene(C2H4)
1576
21646
1477
20276
Acetylene(C2H2)
1451
21477
1402
20734
Natural gas (typical)
1030
23300
935
21150
170
2500
155
2280
Producer gas (typical) Sumber : Kiki, 2003 F. Energi Biogas
Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil kandungan metana semakin kecil nilai kalor. (N. Agung Pambudi, 2008)
Komposisi gas bio berkisar antara 60–70 % metana dan 30–40 % karbondioksida. Gas bio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metana murni mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Sebagai gambaran 1 m3 biogas dapat digunakan untuk menyalakan lampu 60 Watt selama
11 7 jam. Hal ini berarti bahwa 1m3 biogas menghasilkan energi = 60 W x 7 jam = 420 Wh = 0,42 kWh. (W.Nanok-Nukulchai, 1985).
G. Proses Produksi Gas Metana dari Air Limbah
1. Lagoon (Kolam Fermentasi) Prinsip kerja pembentukan biogas adalah pengumpulan limbah ke dalam suatu kolam tertutup yang disebut lagon. Di dalam lagon tersebut limbah dicerna dan difermentasi oleh bakteri yang menghasilkan gas methan dan gas lain. Gas yang timbul ini akan terkumpul dibagian atas dari lagoon. Penumpukan produksi gas akan menimbulkan tekanan sehingga menggelembungkan penutup dan kemudian disalurkan dengan pipa.
Gambar 3. Lagoon
12 Pembentukan metana pada proses anaerobik meliputi tiga tahapan proses yaitu hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis. 1.
Tahap hidrolisis, molekul-molekul organik kompleks terhidrolisa menjadi
molekul-molekul yang lebih sederhana seperti gula, alkohol, hidrogen dan karbondioksida. Tahap pelarutan berlangsung selama 1 hari. 2.
Tahap asidogenesis, produk-produk hasil reaksi hidrolisa berupa senyawa-
senyawa organik yang lebih sederhana oleh bakteri pembentuk asam terkonversi menjadi asam-asam lemak volatil seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat.
Laju pembentukkan asam ini lebih cepat jika
dibandingkan dengan laju pembentukkan metana.
Tahap ini berlangsung
selama 1 hari. 3.
Tahap metanogenesis, asam-asam asetat, hidrogen dan karbondioksida
oleh aktifitas bakteri pembentuk metana dikonversi menjadi metana. Proses ini berlangsung selama 14 hari. Proses ini menghasilkan 70 % CH4, 30 % CO2, sedikit H2 dan H2S (Aprianto, 2004).
13
Gambar 4. Tahap dalam fermentasi pembentukan metana.
Proses pembentukan gas metana sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi suhu, derajat keasaman, konsentrasi asam-asam lemak volatil, nutrisi, zat racun, waktu retensi hidrolik, kecepatan pengisian bahan organik, dan konsentrasi amonia. Parameter-parameter ini harus dikontrol dengan cermat supaya proses degradasi yang berlangsung dapat optimal. Untuk mendapatkan hasil proses pengolahan air limbah secara anaerobik pada tingkat tertentu, beberapa faktor lingkungan proses harus dapat dikendalikan. Faktor-faktor lingkungan utama yang mempengaruhi proses metanogenesis adalah komposisi air limbah, temperatur, pH dan asam-asam volatil (Aprianto, 2004).
14 2. Reservoir
Reservoir diperlukan sebagai tempat penampungan biogas yang telah terbentuk dalam digester. Jadi gas yang terbentuk tidak langsung digunakan sebagai bahan bakar, hal ini disebabkan karena tekanannya kurang. Terlebih dulu gas akan ditampung dalam reservoir, untuk kemudian ditingkatkan tekanannya dengan menggunakan kompresor. Sehingga gas dapat dipakai sebagai bahan bakar, karena tekanannya cukup.
Reservoir memiliki tutup yang cukup berat dan dikelilingi air, apabila gas dalam reservoir sudah penuh maka tutup tersebut akan terdorong ke atas. Dalam keadaan ini gas dapat disalurkan ke kompresor untuk ditingkatkan tekanannya.
3. Burner
Burner merupakan alat yang dapat mengatur berapa banyak gas fuel yang dikeluarkan ke dalam boiler, dimana gas tersebut merupakan keluaran dari kompresor. Burner memiliki alat pengukur tekanan gas untuk menunjukkan berapa tekanan gas yang akan dikeluarkan. Dengan mengatur berapa banyak gas yang dikeluarkan ke dalam boiler, maka besar kecilnya api dalam boiler dapat dikendalikan.
15 4. Kompresor
Kompresor digunakan untuk memampatkan udara dan bahan bakar pada boiler, sehingga dapat diperoleh proses pembakaran bahan bakar yang sempurna.
Untuk memampatkan udara dan bahan bakar, digunakan kompresor. Hal ini karena kompresor dapat menghasilkan tekanan yang lebih tinggi daripada blower dan ventilator. Selain itu kompresor hanya memerlukan ruangan yang kecil, bekerja dengan putaran tinggi, hanya membutuhkan pondasi sederhana, bias dihubungkan langsung dengan mesin penggerak dan menghasilkan gas yang bebas dari minyak.
16 H. Instalasi PLTU
1. Prinsip Kerja PLTU
Gambar 5 . Prinsip Kerja PLTU
PLTU dalam proses kerjanya menghasilkan listrik mempunyai siklus kerja sebagai berikut, air hasil dari proses kondensate ditambah dengan air tambahan yang berupa make up water ( air yang telah dimurnikan) dipompa oleh condensate pump ke LP Heater ( Low Pressure Heater), disini air dipanasi, air lalu menuju ke deaerator untuk menghilangkan gas oksigen (O2). Kemudian air dipompa oleh Boiler Feed Pump (BFP) ke economizer, disini air dipanaskan sehingga suhunya 170oC. Dari economizer air masuk ke dalam steam drum, kemudian dialirkan ke
17 pipa down corner untuk kemudian diteruskan ke wall tubes dalam boiler, di boiler air dipanaskan sehingga suhunya ±280oC dan tekanannya64 kg/cm2.
Pada wall tubes boiler air dipanasi hingga menjadi uap, uap kemudian masuk ke steam drum, setelah keluar dari steam drum uap dipanasi lebih lanjut dalam super heater, sehingga menjadi uap kering yang bertemperatur ± 500oC dan bertekanan 160 kg/cm2. Uap ini digunakan untuk menggerakkan HP (High Pressure) turbin. Untuk efisiensi, uap dipanaskan lagi di reheater, sehingga temperatur uap menjadi lebih tinggi, uap lalu ke IP (Intermediate Pressure) turbin dan LP (Low Pressure) turbin untuk gerakkan sudu- sudu.
Sudu-sudu turbin akan gerakkan poros turbin. Hasil putaran poros turbin memutar poros generator yang dihubungkan dengan coupling sehingga dari putaran ini dihasilkan energi listrik. Tenaga listrik dari generator dinaikkan sampai tegangannya mencapai 150 KV dan didistribusikan ke pelanggan.
Uap bekas dari turbin (exhaust pressure) dengan tekanan ± 0,07 kg/cm2 dan suhu ± 50oC dikondensasikan di kondenser, karena jumlah air telah berkurang maka ditambah dengan make up water. Air ini dipompa oleh condensate pump ke LP Heater, dimana air dipanasi. Kemudian air ke deaerator untuk menghilangkan udara dalam air, air kemudian dipompa oleh Boiler Feed Pump ke economizer, dari economizer air ke steam drum pada boiler. Demikian siklus ini akan terus berulang pada PLTU untuk menghasilkan listrik.
18 2. Siklus PLTU
Sebuah pembangkit listrik jika dilihat dari bahan baku untuk memproduksinya, maka Pembangkit Listrik Tenaga Uap bisa dikatakan pembangkit yang berbahan baku Air. Kenapa tidak UAP? Uap disini hanya sebagai tenaga pemutar turbin, sementara untuk menghasilkan uap dalam jumlah tertentu diperlukan air. Menariknya didalam PLTU terdapat proses yang terus menerus berlangsung dan berulang-ulang. Prosesnya antara air menjadi uap kemudian uap kembali menjadi air dan seterusnya. Proses inilah yang dimaksud dengan Siklus PLTU.
Air yang digunakan dalam siklus PLTU ini disebut Air Demin (Demineralized), yakni air yang mempunyai kadar conductivity (kemampuan untuk menghantarkan listrik) sebesar 0.2 us (mikro siemen). Sebagai perbandingan air mineral yang kita minum sehari-hari mempunyai kadar conductivity sekitar 100 – 200 us. Untuk mendapatkan air demin ini, setiap unit PLTU biasanya dilengkapi dengan Desalination
Plant
dan
Demineralization
Plant
yang
berfungsi
untuk
memproduksi air demin ini.
Secara sederhana bagaimana siklus PLTU itu bisa dilihat ketika proses memasak air. Mula-mula air ditampung dalam tempat memasak dan kemudian diberi panas dari sumbu api yang menyala dibawahnya. Akibat pembakaran menimbulkan air terus mengalami kenaikan suhu sampai pada batas titik didihnya. Karena pembakaran terus berlanjut maka air yang dimasak melampaui titik didihnya sampai timbul uap panas. Uap ini lah yang digunakan untuk memutar turbin dan generator yang nantinya akan menghasilkan energi listrik.
19 Secara sederhana, siklus PLTU digambarkan sebagai berikut :
Gambar 6. Siklus air PLTU
1. Pertama-tama air demin ini berada disebuah tempat bernama Hotwell. 2. Dari Hotwell, air mengalir menuju Condensate Pump untuk kemudian dipompakan menuju LP Heater (Low Pressure Heater) yang pungsinya untuk menghangatkan tahap pertama. Lokasi hotwell dan condensate pump terletak di lantai paling dasar dari pembangkit atau biasa disebut Ground Floor. Selanjutnya air mengalir masuk ke Deaerator. 3. Di dearator air akan mengalami proses pelepasan ion-ion mineral yang masih tersisa di air dan tidak diperlukan seperti Oksigen dan lainnya. Bisa pula dikatakan
deaerator memiliki
pungsi
untuk
menghilangkan
buble/balon yang biasa terdapat pada permukaan air. Agar proses pelepasan ini berlangsung sempurna, suhu air harus memenuhi suhu yang disyaratkan. Oleh karena itulah selama perjalanan menuju Dearator, air mengalamai beberapa proses pemanasan oleh peralatan yang disebut LP
20 Heater. Letak dearator berada di lantai atas (tetapi bukan yang paling atas). Sebagai ilustrasi di PLTU Muara Karang unit 4, dearator terletak di lantai 5 dari 7 lantai yang ada. 4. Dari dearator, air turun kembali ke Ground Floor. Sesampainya di Ground Floor, air langsung dipompakan oleh Boiler Feed Pump/BFP (Pompa air pengisi) menuju Boiler atau tempat “memasak” air. Bisa dibayangkan Boiler ini seperti drum, tetapi drum berukuran raksasa. Air yang dipompakan ini adalah air yang bertekanan tinggi, karena itu syarat agar uap yang dihasilkan juga bertekanan tinggi. Karena itulah konstruksi PLTU membuat dearator berada di lantai atas dan BFP berada di lantai dasar. Karena dengan meluncurnya air dari ketinggian membuat air menjadi bertekanan tinggi. 5. Sebelum masuk ke Boiler untuk “direbus”, lagi-lagi air mengalami beberapa proses pemanasan di HP Heater (High Pressure Heater). Setelah itu barulah air masuk boiler yang letaknya berada dilantai atas. 6. Didalam Boiler inilah terjadi proses memasak air untuk menghasilkan uap. Proses ini memerlukan api yang pada umumnya menggunakan batubara sebagai bahan dasar pembakaran dengan dibantu oleh udara dari FD Fan (Force Draft Fan) dan pelumas yang berasal dari Fuel Oil tank. 7. Bahan bakar dipompakan kedalam boiler melalui Fuel oil Pump. Bahan bakar PLTU bermacam-macam. Ada yang menggunakan minyak, minyak dan gas atau istilahnya dual firing dan batubara. 8. Sedangkan udara diproduksi oleh Force Draft Fan (FD Fan). FD Fan mengambil udara luar untuk membantu proses pembakaran di boiler.
21 Dalam perjalananya menuju boiler, udara tersebut dinaikkan suhunya oleh air heater (pemanas udara) agar proses pembakaran bisa terjadi di boiler. 9. Kembali ke siklus air. Setelah terjadi pembakaran, air mulai berubah wujud menjadi uap. Namun uap hasil pembakaran ini belum layak untuk memutar turbin, karena masih berupa uap jenuh atau uap yang masih mengandung kadar air. Kadar air ini berbahaya bagi turbin, karena dengan putaran hingga 3000 rpm, setitik air sanggup untuk membuat sudu-sudu turbin menjadi terkikis. 10. Untuk menghilangkan kadar air itu, uap jenuh tersebut di keringkan di super heater sehingga uap yang dihasilkan menjadi uap kering. Uap kering ini yang digunakan untuk memutar turbin. 11. Ketika Turbin berhasil berputar berputar maka secara otomastis generator akan berputar, karena antara turbin dan generator berada pada satu poros. Generator inilah yang menghasilkan energi listrik. 12. Pada generator terdapat medan magnet raksasa. Perputaran generator menghasilkan beda potensial pada magnet tersebut. Beda potensial inilah cikal bakal energi listrik. 13. Energi listrik itu dikirimkan ke trafo untuk dirubah tegangannya dan kemudian disalurkan melalui saluran transmisi PLN. 14. Uap kering yang digunakan untuk memutar turbin akan turun kembali ke lantai dasar. Uap tersebut mengalami proses kondensasi didalam kondensor sehingga pada akhirnya berubah wujud kembali menjadi air dan masuk kedalam hotwell.
22 Siklus PLTU ini adalah siklus tertutup (close cycle) yang idealnya tidak memerlukan lagi air jika memang kondisinya sudah mencukupi. Tetapi kenyataannya masih diperlukan banyak air penambah setiap hari. Hal ini mengindikasikan banyak sekali kebocoran di pipa-pipa saluran air maupun uap di dalam sebuah PLTU.
Untuk menjaga siklus tetap berjalan, maka untuk menutupi kekurangan air dalam siklus akibat kebocoran, hotwell selalu ditambah air sesuai kebutuhannya dari air yang berasal dari demineralized tank.
Berikut adalah gambaran siklus PLTU secara lengkap.
Gambar 7. Siklus PLTU Batubara Lengkap
23 I. Keandalan Listrik di Lampung
Keandalan adalah probabilitas dari sebuah alat atau sistem menunjukkan fungsinya dengan baik, dalam periode waktu yang diharapkan, dibawah kondisi kerja yang diharapkan (Prada, Jose Fernando, 1999. The Value of Relliability in Power Systems – Pricing Operating Reserves dalam I Dewa Nyoman Astawa, 2007).
Metode yang mengunakan konsep probabilitas dapat menghasilkan analisis yang sama dan dapat memperhitungkan berbnaga faktor yang menyangkut keandalan pembangkit selain hanya melihat besarnya kapasitas terpasang dan cadagan, seperti masalah interkoneksi sistem, pemeliharaan, peramalan beban, ukuran dan desain unit pembangkit.. Inilah yang menjadi dasar alasan mengapa analisis keandalan sistem tenaga mengunakan konsep-konsep probabilitas, terutama distribusi binomial.
Dalam sebuah sistem tenaga, keandalan berhubungan dengan kemampuan sistem untuk memenuhi permintaan daya listrik setiap waktu. Sebagian besar kriteria keandalan dihitung dalam bentuk probabilitas kegagalan memenuhi kebutuhan beban., yang diakibatkan oleh kekurangan daya (Pillai, N Vijayamohanan. 2002. Reliability and Rationing Cost in Power System dalam I Dewa Nyoman Astawa, 2007).
Proyeksi permintaan energi dan beban puncak merupakan sesuatu yang sangat vital dalam merencanakan sitem ketenaga listrikan jangka panjang. Proyeksi harus dilakukan secara hati-hati karena jika perbedaan dengan kondisi riilnya terlalu jauh akan menyebabkan sistem ketenaga listrikan menjadi buruk. Apabila proyeksi yang dilakukan terlalu rendah dengan kondisi riilnya, maka sistem akan mengalami defisit
24 daya, sedangkan jika proyeksi terlalu besar akan menyebabkan sistem menjadi tidak efisien karena kelebihan pasokan daya berarti pemborosan investasi.
Tabel 4. Poyeksi Permintaan Energi dan Beban Puncak Tahun
Total Konsumsi Energi
Beban Puncak
Listrik (GWh)
(MW)
2007
1.724,1
404
2008
1.854,5
419
2009
2.027,5
434
2010
2.240,2
477
2011
2.240,2
525
2012
2.704,9
571
2013
2.955.3
621
2014
3.229,7
676
2015
3.530,3
735
2016
3.859,8
800
2017
4.220,9
871
2018
4.616,8
949
2019
5.051,0
1.033
2020
5.527,2
1.126
Sumber : PT PLN (Persero) Wilayah Lampung
25 Dari hasil penelitian perhitungan nilai PHB sistem tenaga listrik di Lampung dari tahun 2007 sampai dengan 2020, menunjukan adanya perubahan disetiap tahunnya. Perubahan ini dikarenakan adanya pertambahan jumlah beban dan kapasitas pembangkit.
Tabel 5. Keandalan Sistem Kelistrikan Lampung Tahun
Kap. Terpasang
B. Puncak +
Indeks PHB
PHB
R
(MW)
Maintenance
(%)
(hari/tahun)
(tahun/hari)
2007
477,936
416,1468
5,97765
21,81842
0,04583
2008
496,06286
463,1063
4,37425
15,96601
0,06263
2009
733,21783
487,3218
3,74593
13,67264
0,07314
2010
1041,40046
581,14005
0
0
0
2011
1039,61033
628,96103
0,00406
0,014819
67,48094
2012
1037,84708
674,78471
0,00676
0,024674
40,52849
2013
1036,11027
724,61103
0,02504
0,091396
10,9414
2014
1034,39952
779,43995
0,12639
0,4613235
2,16768
2015
1032,71443
838,2714
0,20894
0,762631
1,31125
2016
1031,05461
903,10546
1,1931
4,354816
0,22963
2017
1027,91969
973,792
3,42515
12,501798
0,07999
2018
1158,33180
1051,3332
4,39403
16,03821
0,06235
2019
1234,40272
1134,4403
5,03609
18,381729
0,05440
2020
1300,95758
1226,0958
8,80643
32,14347
0,03111
Sumber : Astawa, I Dewa Nyoman. 2007. Analisa Keandalan Sistem Tenaga Listrik di Lampung Hingga Tahun 2020 dengan Metoda Probabilitas Beban Hilang
26 Dari tabel keandalan sistem kelistrikan di Lampung dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 masih mengalammi krisis
energi meskipun kapasitas pembangkit telah
bertambah sebesar 100 MW, di mana nilai PHB nya adalah sebesar 5,97765% atau 21,81842 hari/tahun. Hal ini berarti sepanjang tahun 2007 diperkirakan sistem tidak mampu melayani beban selama 21,81842 hari atau 523,64208 jam.
Pada tahun 2008, sistem kelistrikan Lampung belum terbebas dari krisis energi. Pada tahun ini direncanakan penambahan sebuah unit pembangkit berkapasitas 100 MW, namun, disaat yang bersamaan, PT PLN (persero) sistem Lampung juga mencoba mengurangi ketergantungan terhadap suplai daya listrik dari Sumatera Selatan. Pada tahun 2008 yang akan dating, PT PLN (Persero) sistem Lampung berencana hanya akan meminta suplai daya listrik sebesar 55 MW. Akibatnya, sistem kelistrikan Lampung belum dapat dikatakan andal karena berdasarkan perhitungan, nilai PHB pada tahun 2008 adalah sebesar 4,37425% atau sebesar 15,96601 hari/tahun. Nilai ini masih jauh dari nilai PHB andal, yaitu 1 hari/tahun atau kurang.
Pada tahun 2009, PT PLN (Persero) sistem Lampung berencana untuk independen. Hal ini terlihat dari rencana PLN untuk tidak meminta transfer daya listrik dari Sumatera Selatan. Di tahun 2009, kapasitas pembangkit sistem kelistrikan Lampung bertambah sebesar 294 MW, sehingga sistem Lampung memiliki cadangan daya sebesar 299,21783 MW. Namun nilai PHB masih jauh dari andal.
Sistem Lampung benar-benar andal mulai tahun 2010 sampai dengan 2015, dimana nilai PHB-nya berkisar antara 0 hari/tahun hingga 0,76263 hari/tahun. Hal ini dikarenakan adanya rencana penambahan kapasitas pembangkitan sebesar 310 MW. Penambahan kapasitas pembangkitan ini menyebabkan sistem kelistrikan di Lampung
27 memiliki cadangan daya yang besar, yaitu antara 40% sampai 118%. Besarnya cadangan daya ini mengakibatkan sistem kelistrikan Lampung menjadi benar-benar independen dalam arti tidak lagi bergantung pada suplai energi listrik dari sistem Sumbagsel.
Mulai tahun 2016, sistem kelistrikan Lampung akan kembali mengalami krisis daya listrik. Bahkan, mulai tahun 2018 sistem kelistrikan Lampung kembali harus bergantung pada suplai daya listrik dari Sumatera Selatan.
Resiko kehilangan beban terbesar terjadi pada tahun 2020, dimana sistem memiliki kapasitas pembangkitan ditambah dengan transfer dari Sumatera Selatan sebesar 1300,95758 MW sedangkan beban yang harus ditanggung sebesar 1226,09576 MW yang berarti cadangan kotor yang dimiliki hanya sebesar 74,86182 MW atau hanya 5,75% dari kapasitas total. Pada tahun 2020 yang akan datang, sitem kelistrikan di Lampung memiliki resiko kehilangan beban dalam 0,03111 tahun atau dalam 11,35515 hari.
J. Aplikasi Model Analisis Kelayakan Ekonomi
Analisis ekonomi pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuranukuran terhadap kinerjanya.
28 Kelayakan ekonomi mengacu pada konsepsi nilai waktu dari uang( time value of money). Pengembalian pada analisis ekonomi banyak melibatkan dan menentukan apa yang ekonomis dalam jangka panjang. Keputusan kelayakan ekonomi suatu usaha sangat bergantung pada nilai manfaat ekonomi dalam jangka panjang yang dapat dihasilkan.
Nilai satuan uang pada saat ini akan lebih besar dibandingkan dengan nilai satuan uang pada masa satu atau dua tahun mendatang.
Indikator kelayakan ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Titik Impas (Break Event Point)
BEP (Break Event Point) merupakan kondisi di mana kondisi besaran manfaat sama dengan besaran biaya yang dikeluarkan oleh suatu usaha.
Break Even point atau BEP adalah suatu analisis untuk menentukan dan mencari jumlah barang atau jasa yang harus dijual kepada konsumen pada harga tertentu untuk menutupi biaya-biaya yang timbul serta mendapatkan keuntungan / profit. Break event point adalah suatu keadaan dimana dalam suatu operasi perusahaan tidak mendapat untung maupun rugi/ impas (penghasilan = total biaya)
BEP amatlah penting kalau kita membuat usaha agar kita tidak mengalami kerugian, apa itu usaha jasa atau manufaktur, diantara manfaat BEP adalah
29 1.
Alat perencanaan untuk hasilkan laba
2.
Memberikan informasi mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan.
3.
Mengevaluasi laba dari perusahaan secara keseluruhan
4.
Mengganti system laporan yang tebal dengan grafik yang mudah dibaca dan dimengerti
Setelah kita mengetahui betapa manfaatnya BEP dalam usaha yang kita rintis, kompenen yang berperan disini yaitu biaya, dimana biaya yang dimaksud adalah biaya variabel dan biaya tetap, dimana pada prakteknya untuk memisahkannya atau menentukan suatu biaya itu biaya variabel atau tetap bukanlah pekerjaan yang mudah.
Salah satu kelemahan dari BEP yang lain adalah Bahwa hanya ada satu macam barang yang diproduksi atau dijual. Jika lebih dari satu macam maka kombinasi atau komposisi penjualannya (sales mix) akan tetap konstan. Jika dilihat di jaman sekarang ini bahwa perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya mereka menciptakan banyak produk jadi sangat sulit dan ada satu asumsi lagi yaitu Harga jual persatuan barang tidak akan berubah berapa pun jumlah satuan barang yang dijual atau tidak ada perubahan harga secara umum. Hal ini demikian pun sulit ditemukan dalam kenyataan dan prakteknya.
30 Tujuan menghitung BEP adalah mencari seberapa banyak jumlah produk yang harus diproduksi dalam rangka menutup sejumlah biaya yang telah dikeluarkan. BEP juga digunakan untuk mencari seberapa besar harga yang harus ditetapkan untuk menutup sejumlah biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka memproduksi sejumlah produk yang telah ditentukan. Analisis titik impas (BEP) merupakan suatu indikator di dalam perencanaan usaha. Hal ini penting untuk dapat menilai apakah biaya investasi yang akan dilakukan memang dapat diandalkan atau layak diusahakan.
Dengan perencanaan yang berdasarkan hasil dari biaya investasi dapat menutupi biaya tetap dan biaya tidak tetapnya. Jika hanya memiliki biaya tidak tetap saja maka analisis titik impas ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Selanjutnya perlu di tekankan disini dalam menganalisis titik impas haruslah secara jelas dibedakan antara biaya tetap dan biaya tidak tetap.
Untuk menentukan titik impas suatu kegiatan dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :
a. Pendekatan persamaan Pendekatan pertama untuk menghitung titik impas adalah metode persamaan. Setiap pendapatan dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : (
)
31 Dengan Btt = biaya tidak tetap Bt= biaya tetap b. Pendekatan Marginal (Metode Contribution Margin) CM = Contribution Margin CM = Penjualan – Btt CM per unit = Harga jual per unit – Btt per unit
c. Pendekatan grafis Dengan asumsi bahwa fungsi dari penjualan dan fungsi dari biaya-biaya adalah linier, maka fungsi-fungsi tersebut dapat digambarkan seperti pada terlihat pada gambar di bawah ini. Rumus titik impas (BEP) adalah : Dalam unit kuantitas
Dalam nilai (Rupiah)
32
Gambar 8. Analisis grafis titik impas (BEP) Keterangan: H = harga Q = jumlah barang Rumus Perhitungan BEP Atas dasar unit
Atas dasar sales dalam rupiah
33 Keterangan: FC
: Biaya Tetap
P
: Harga jual per unit
VC
: Biaya Variabel per unit
Biaya tetap adalah total biaya yang tidak akan mengalami perubahan apabila terjadi perubahan volume produksi. Biaya tetap secara total akan selalu konstan sampai tingkat kapasitas penuh. Biaya tetap merupakan biaya yang akan selalu terjadi walaupun perusahaan tidak berproduksi.
Biaya variable adalah total biaya yang berubah-ubah tergantung dengan perubahan volume penjualan/produksi. Biaya variable akan berubah secara proposional dengan perubahan volume produksi Contoh Perhitungan BEP
Dihasilkan barang sebanyak 20,000 unit dengan total biaya sebesar Rp 44.000.000 Keuntungan yang diharapkan perusahaan sebesar Rp 9,000,000
34 Maka didapatkan: Harga satuan : Rp 44,000,000 : 20,000 = Rp 2,200/unit VC per unit
: Rp 26,000,000 : 20,000 = Rp 1,300/unit
BEPunit laba
Rp18.000.000 Rp 9.000.000 30.000 Rp 2.200 Rp1.300
Kita akan buktikan apakah dengan memproduksi sebanyak 30.000 unit perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 9.000.000
Bukti : Untuk mendapat keuntungan sebesar Rp 9,000,000 maka perusahaan harus menjual sebanyak 30,000 unit @ 4,000
Jadi terbukti ternyata perusahaan mendapatkan untung sebesar Rp 9.000.000 dengan menjual barang sebanyak 30.000 unit.
Sekarang kita akan mencari kapankah perusahaan tidak mendapat laba maupun rugi?
Perusahaan akan mengalami titik impas yaitu ketika: BEPunit
Rp18.000.000 20.000unit Rp 2.200 Rp1.300
BEPrupiah
Rp18.000.000 Rp 44.000.000 Rp1.300 1 Rp 2.200
35 Kita akan buktikan apakah dengan menjual sebanyak 20.000 unit maka perusahaan akan mengalami titik impas? Bukti : Sales
: 20,000 unit x Rp 2,200
FC
: Rp 18,000,000
VC
: 20,000 unit x Rp 1,300 = Rp 26,000,000
TC
:
LABA
= Rp 44,000,000
Rp 44,000,000 Rp
0
Dengan penjelasan diatas kita dapat mengetahui berapa unitkah barang yang harus kita jual untuk mendapatkan keuntungan yang kita harapkan dan berapa unit yang harus diproduksi agar perusahaan tidak mengalami kerugian.
2. Pay back periode (PBP)
PBP (Pay Back Periode) merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menutup biaya investasi yang dikeluarkan. Analisis PBP menghitung waktu yang diperlukan arus kas masuk (cash inflow) sama dengan arus kas keluar (cash outflow). Analisis ini biasanya biasanya digunakan untuk mengukur tingkat resiko usaha, berkaitan dengan seberapa cepat nilai investasi yang ditanamkan dapat dikembalikan.
PBP (Pay Back Periode) merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menutup biaya investasi yang dikeluarkan.
36
Payback Period (t) = SC / ( P×x - V×x )
t = Payback Period dalam Tahun
SC = Total Biaya Investasi
P = Harga Listrik per kWh
V = Biaya per kWh
x = Jumlah Produksi Daya dalam Tahun
(Jon Wittwer, Vertex42.com)
37
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Pelaksanaan studi ini dilakukan di Laboratorium Sistem Tenaga Elektrik Jurusan Teknik Elektro UNILA. Dan rencana waktu studi adalah selama masa 5 bulan dari 10 Maret – 10 Agustus 2009.
B. Alat dan Bahan
-
Software Untuk perhitungan PHB menggunakan Pemrograman Visual Basic
-
Data lapangan berupa data jumlah limbah tapioka yang dihasilkan pertahun di provinsi Lampung.
-
Bahan penelitian berupa literatur yang berasal dari buku teks serta buku elektronik dari internet.
C. Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Studi Literatur Dalam membuat Tugas Akhir ini perlu diketahui teori yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengolah data yang ada. Studi literatur akan meliputi hal – hal sebagai berikut :
38
Studi Pengolahan limbah untuk menghasilkan biogas. Studi penggunaan biogas sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Studi cara kerja pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam menghasilkan listrik. Proses perhitungan energi yang dapat dihasilkan dari biogas.
2. Pengumpulan Data Data-data yang diperlukan antara lain : Data lapangan pada dinas instansi terkait yaitu data produksi singkong provinsi Lampung di Badan Pusat Statistik. Data kebutuhan beban listrik dan perkiraan peningkatan konsumsi listrik provinsi Lampung di PT PLN Persero.
3. Analisa Data Menganalisa data – data yang telah dikumpulkan dalam menerapkan atau menggunakan biogas sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Dengan memperhatikan aspek ekonomis, teknik, serta ketersediaan sumber biomassa.
39 D. Analisis Regresi Linier untuk Perhitungan Perkiraan Ketersedian Produksi Singkong.
Regresi linear merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada kenyataan sehari-hari sering dijumpai sebuah kejadian dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel, oleh karenanya dikembangkanlah analisis regresi linier berganda dengan model (Suhermin, 2008) :
Analisis regresi adalah studi mengenai ketergantungan suatu variabel (variabel tak bebas) pada satu atau lebih variabel lain (variabel bebas) yang digunakan untuk memprediksi dan atau meramalkan nilai rata-rata hitung (mean) atau rata-rata populasi variabel tak bebas (Gujarati,1995).
Metode kuadrat terkecil, yang lebih dikenal dengan nama Least-Squares Method, adalah salah satu metode „pendekatan‟ yang paling penting dalam dunia keteknikan untuk: (a). regresi ataupun pembentukan persamaan dari titik-titik data diskretnya (dalam pemodelan), dan (b). analisis sesatan pengukuran (dalam validasi model).
Metode kuadrat terkecil termasuk dalam keluarga metode-metode pendekatan sesatan terdistribusi (“distributed error” approximation methods), berdasarkan karakterisik kerjanya yang melakukan pengurangan sesatan menyeluruh (global error) yang terukur berdasarkan interval pendekatan keseluruhan (whole approximation interval) sesuai dengan order pendekatan yang meningkat. Metode
40 ini berbeda dengan metode-metode asimptotis, khususnya yang dikembangkan melalui pendekatan melalui deret „Taylor‟, karena metode asimptotis memiliki karakteristik kerja yang memperkecil sesatan pada beberapa titik tertentu, sesuai dengan order pendekatan yang meningkat.
Seperti telah dijelaskan di atas, dalam dunia keteknikan metode kuadrat terkecil ini digunakan untuk melakukan regresi dan atau pencocokan kurva yang diharapkan dapat membentuk persamaan matematis tertentu. Secara empiris, persamaan-persamaan matematis tertentu yang sering digunakan di antaranya adalah: (a). Persamaan „garis lurus‟ (linier):
y = ax + b
(b). Persamaan parabolis (kuadratis
y = px2 + qx + r
(c). Persamaan polinomial (secara umum):
(d). Persamaan eksponensial:
(e). Persamaan asimptotis:
41 Regresi Sederhana untuk Persamaan Linier
Bentuk umum dari persamaan linier, dapat dituliskan sebagai berikut: y = ax + b dengan: a = kelandaian (slope) kurva garis lurus b = perpotongan (intercept) kurva dengan „ordinat‟ atau sumbu tegak
Regresi yang dimaksudkan disini adalah: pencarian harga-harga tetapan a dan b berdasarkan deretan data yang ada (jumlah atau pasangan data x-y sebanyak N buah).
Sebagai contoh, di bawah ini diberikan 1 set data (x-y) sebanyak 7 buah:
Tabel 6. Set data regresi linier.
Hasil pengaluran kurva (plotting) titik-titik tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
42
Gambar 9. Kurva regresi linier, dengan N = 7.
Persamaan sebaran (S atau distribusi) yang menyatakan sesatan terdistribusi dari persamaan linier tersebut dinyatakan sebagai:
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menghitung
a dan b adalah
minimisasi turunan persamaan di atas terhadap tetapan a dan b (dalam hal ini, a dan
b dianggap sebagai variabel-variabel semu), sehingga membentuk
persamaan-persamaan berikut:
Untuk lebih jelasnya, kronologis penurunan kedua persamaan di atas adalah sebagai berikut:
43
Kedua persamaan (A) dan (B) seperti di atas adalah suatu sistem persamaan aljabar linier (SPAL), bila disusun-ulang sebagai berikut:
yang identik dengan persamaan matriks [A ] [x ] =[ b]. Solusi SPAL tersebut relatif sangat mudah dilakukan dengan metode analitis.
Dengan menggunakan aturan Cramer, solusi konstanta-konstanta a dan b adalah:
44 Karena hanya membentuk persamaan matriks berorder 2, maka determinandeterminan matriks di atas dapat langsung dihitung, dengan rincian sebagai berikut:
sehingga, diperoleh solusi harga-harga a dan b:
E. Metoda Analisa Keandalan dengan Probabilitas Hilang Beban
Probabilitas Hilang Beban didefinisakan sebagai probabilitas dimana beban (L) yang harus dipenuhi oleh sistem melebihi kapasitas pembangkitan (C) yang tersedia yang dapat ditulis sebagai berikut :
PHB = P(L>C)
Pemodelan keandalan sistem pembangkit akan dibentuk dari model probabilitas outage sistem pembangkit. Sebelum melakukan pemodelan, terlebih dulu harus diketahui probabilitas outage sistem pembangkit yang merupakan probabilitas
45 unit-unit pembangkit. Dari data ini akan diperoleh tebel probabilitas kapasitas outage.
Tabel probabilitas kapasitas outage adalah sebuah kelompok sederhan dari tingkatan-tingkatan
kapasitas
dan
berhubungan
dengan
probabilitas
ketersediaannya. Penyusunan tabel prioritas kapasitas outage sangat berkaitan dengan kehandalan pembangkit yang dipresentasikan oleh FOR (Force Outage Rate), yang waktu disaat suatu unit pembangkit tidak dapat melayani kebutuhan beban. Forced Outage sendiri dapat di definisikan sebagai sebuah outage yang disebabkan oleh kondisi darurat yang secara langsung berhubungan dengan suatu komponen/unit, sehingga komponen/unit tersebut memerlukan pelayanan seketika, jika operasi switching tidak dapat segera atau secara otomatis dilakukan, atau sebuah outage yang disebabkan oleh sebuah kesalahan operasi peralatan atau manusia [Gonem, Turan.1988. Electric Power Transmission System Engineering]. FOR merupakan ukuran ketidaktersediaan yang acak untuk suatu unit pembangkit, yang menilai ukuran perbandingan jam unit tak tersedia dalam kaitan dengan suatu keluaran paksa dibagi oleh waktu ketika unit diharapkan dapat beroperasi.
Untuk menyusun tabel kapasitas outage pada sistem pembangkit yang relatif kecil digunakan distribusi binomial. Unit-unit pembangkit yang dapat dihitung probabilitasnya adalah unit-unit yang identik (memiliki nila FOR sama). Pada pembangkit yang unit-unitnya tidak identik, terlebih dahulu dilakukan kombinasi unit keluar yang mungkin, kemudian dihitung probabilitas individu masingmasing unit dengan menggunakan distribusi binomial.
46
Untuk lebih memperjelas, diberikan contoh sebagai berikut :
3 buah unit pembangkit dengan kapasitas masing-masing 10 MW FOR 0,2 harus melayani beban sebesar 20 MW.
Probabilitas Individu =
Tabel 7. Probabilitas Kapasitas Outage Unit Keluar
Keluar
Kapasitas (MW) Tersedia
Probabilitas Individu
0
0
30
(0.98)3
1
10
20
(3)(0.98)2(0.2) = 0.057624
2
20
10
(3)(0.98)(0.2)2 = 0.001176
3
30
0
(0.02)3
= 0.941192
= 0.000008 = 1.000000
Karena sistem menanggung beban sebesar 20 MW, maka sistem tidak dapat memenuhi permintaan beban jika kapasitas pembangkit yang hilang adalah lebih dari 10 MW. Sehingga probabilitas dimana sistem tidak dapat memenuhi permintaan beban adalah :
0.001176 + 0.000008 = 0.001184
47 Contoh berikutnya diberikan untuk memperjelas sistem dengan unit-unit pembangkit yang tidak identik : Tiga buah unit pembangkit, yaitu unit I = 5 MW, FOR 0,01; unit II = 10 MW, FOR 0,02; dan unit III = 15 MW, FOR 0.03 harus melayani beban sebesar 19 MW.
Pada kondisi seperti ini, tabel probabilitas keluarannya disusun berdasarkan kombinasi probabilitas dan keluaran (outage) setiap unit pembangkit. Persamaan matematis untuk menghitung probabilitas gangguan yang terjadi pada n unit pembangkit dengan probabilitas ketersediaan p dan probabilitas keluaran q adalah ∏(
)
Dengan pi adalah probabilitas ketersediaan unit ke-I dan qi adalah probabilitas keluaran unit ke-i. Dari persamaan tersebut, dapat dibuat tabel probabilitas keluaran sistem pembangkit sebagai berikut :
Tabel 8. Probabilitas Keluaran Sistem No.
Kapasitas Keluar
Probabilitas Kumulatif
0
Probabilitas Individu p1p2…..pn-1pn
1 2
C1
q1p2….pn-1pn
1- (p1p2…..pn-1pn)
3
C1 + C2
q1q2… pn-1pn
1- (p1p2…..pn-1pn)- (q1p2….pn-1pn)
…
…
…
…
5
C1 + C2 + … + Cn-1
q1q2… qn-1pn
…
6
C1 + C2 + … + Cn
q1q2… qn-1qn
q1q2… qn-1qn
1
Sumber: Rochyana , Soffa. Analisis Keandalan Sistem Tenaga Listrik Di Lampung Ditinjau Dari Tingkat Kecukupan Daya Sampai Tahun 2007.
48 Sistem dengan tiga unit pembangkit ini memiliki delapan buah kombinasi keluaran unit pembangkit. Jika nilai-nilai karakteristik dari masing-masing unit pembangkit dimasukkan, maka diperoleh :
Tabel 9. Probabilitas Kapasitas Outage
Keluar
Unit Tersedia
Kapasitas (MW) Keluar Tersedia
Probabilitas
-
I, II, III
-
30
(0.99)(0.98)(0.97) = 0.941094
I
II, III
5
25
(0.01)(0.98)(0.97) = 0.009506
II
I, III
10
20
(0.99)(0.02)(0.97) = 0.019206
III
I, II
15
15
(0.99)(0.98)(0.03) = 0.029106
I, II
III
15
15
(0.01)(0.02)(0.97) = 0.000194
I, III
II
20
10
(0.01)(0.98)(0.03) = 0.000294
II, III
I
25
5
(0.99)(0.02)(0.03) = 0.000594
I, II, III
-
30
0
(0.01)(0.02)(0.03) = 0.000006
Jumlah
=1
Karena beban yang harus ditanggung adalah sebesar 19 MW, maka sistem tidak akan mampu memenuhi permintaan beban jika kapasitas
unit keluarnya adalah sama
dengan atau lebih dari 11 MW. Jadi probabilitas sistem tidak mampu memenuhi permintaan beban adalah : 0.029106 + 0.000194 + 0.000294 + 0.000594 + 0.000006 = 0.030194
49
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Bahan Bakar
Bahan bakar yang digunakan adalah berupa biogas yang berasal dari fermentasi limbah tapioka di dalam lagoon. Dimana biogas itu sendiri mengandung bermacam-macam bahan kimia dengan persentase yang berbeda-beda dan jumlah terbanyak yaitu metana (CH4).
B. Plant Flow Sheet
Gambar 10. Plant Flow Sheet
50 1. Lagon
9. Superheater
17. LP Heater
2. Lagon
10. Steam Turbine
18. Deaerator
3. Lagon
11. Generator
19. Feed Water Pump
4. Lagon
12. Kondensor
20. HP Heater
5. Reservoir
13. Make Up Cooling Water 21. MakeUp Water Treatment
6. Kompresor
14. Pump
22. Make Up Water Tank
7. Burner
15. Condensate Pump
23. Feed Water
8. Boiler
16. Steam Ejector
Limbah cair singkong dari produksi tapioka akan di masukkan ke dalam lagoon (kolam penampungan tertutup), dimana nantinya di dalam lagoon ini limbah cair akan mengalami proses fermentasi oleh bakteri yang akan menghasilkan gas berupa methana dan gas lain. Gas methan nantinya akan terkumpul dibagian atas lagon. Naiknya gas ke permukaan atas lagoon akan menimbulkan tekanan sehingga menggelembungkan penutup.
Gambar 11. Limbah dalam Lagoon dan Cover Lagoon
51 Gas methan dari lagoon kemudian akan disalurkan melalui pipa menuju ke reservoir. Reservoir digunakan sebagai tempat pengumpul semua gas hasil dari lagoon. Atau reservoir adalah seperti bak penampung dari gas methan. Yang kemudian nantinya gas ini akan disalurkan menuju kompressor untuk meningkatkan tekanan gas.
Untuk daerah industri tapioka yang letaknya tidak berdekatan dengan lokasi pembangkit Tulang Bawang maka biogas yang terkumpul di reservoir akan diangkut menggunakan kendaraan / truk tangki gas yang nantinya akan dikumpulkan kembali ke reservoir yang terdekat dengan lokasi pembangkit.
Gas yang terkumpul didalam reservoir kemudian akan gunakan sebagai bahan bakar boiler, namun besarnya bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan boiler terlebih dahulu melewati burner di mana alat ini berfungsi sebagai pengatur berapa banyaknya gas yang dibutuhkan untuk pembakaran boiler sehingga besar kecilnya api dalam boiler dapat dikendalikan.
52 C. Ketersediaan Bahan Bakar
Tabel 10. Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Tanaman Ubi Kayu menurut Kabupaten/Kota, 2007 Daerah Penghasil
Lampung Barat
Luas Panen
Produksi
(Hektar)
(Ton/Ha/tahun) 567
10.465
1785
34.484
Lampung Selatan
10.223
200.188
Lampung Timur
37.430
753.002
Lampung Tengah
95.614
1.942.968
Lampung Utara
37.504
751.559
Way Kanan
15.775
315.643
117.556
2.379.795
Bandar Lampung
187
3.721
Metro
165
2.838
316.806
6.394.906
Tanggamus
Tulang Bawang
Lampung
Sumber : Badan Pusat Statistik Lampung
53 Tabel 11. Produksi Ubi Kayu di Provinsi Lampung Tahun 1993 – 2007 (dalam Ton)
Tahun / Year
Ubi Kayu (Cassava)
1997
1.609.661
1998
1.951.590
1999
3.028.605
2000
2.924.418
2001
3.584.225
2002
3.471.136
2003
4.984.616
2004
4.673.091
2005
4.806.254
2006
5.499.403
2007
6.394.906
7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000
Gambar 12. Grafik Produksi Ubi Kayu di Lampung 10 Tahun Terakhir
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0
54 Data produksi singkong di Provinsi Lampung yang didapat dari Badan Pusat Statistik hanya sampai tahun 2007, untuk menentukan perkiraan jumlah produksi singkong di tahun kedepannya dapat dicari menggunakan metode analisa grafik dengan regresi linier. Regresi linear merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara dua atau lebih variabel.
Grafik Produksi Singkong di Lampung 8000000 y = 439529x -876013761 7000000
Jumlah Produksi
6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Produksi
Gambar 13. Grafik Regresi Linear Produksi Singkong
Dari grafik linier diatas, dapat ditentukan perkiraan hasil produksi singkong untuk tahun 2008 dan 2009.
Dari hasil perhitungan perkiraan menggunakan analisa regresi linier, dari data peningkatan produksi singkong 10 tahun terakhir di Lampung dari tahun 1997 sampai 2007. Didapatkan sebuah persamaan garis lurus yaitu
55
y = 439529x - 876013761
keterangan :
y:
jumlah produksi singkong dalam satuan ton
x:
adalah tahun produksi
Dengan mengacu pada persamaan di atas, maka perhitungan perkiraan peningkatan produksi singkong untuk tahun selanjutnya yaitu 2008 dan 2009 adalah sebagai berikut :
Tahun 2008 :
y = 439529x - 876013761 y = 439529 (2008) - 876013761 y = 6560471 ton
Tahun 2009 :
y = 439529x - 876013761 y = 439529 (2009) - 876013761 y = 7000000 ton
D. Jumlah Biogas yang dihasilkan per Hari
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Lampung mempunyai lahan pertanian seluas 316.806 yang tersebar di masing-masing kabupaten dengan jumlah produksi singkong pertahun mencapai 6.394.906 ton. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sebanyak 80% ubi diserap industri tepung tapioka, dan 20% untuk industri bioetanol dan konsumsi.
56
1. Tahun 2007 Jumlah ubi kayu untuk industri tapioka dalam satu tahun = 80% x 6.394.906 ton = 5.115.924,8 ton/thn Untuk pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka menghasikan sekitar 6.000 liter limbah cair.
Banyaknya limbah
= 6000 liter/ton x banyaknya ubi kayu = 6000 liter/ton x 5.115.924,8 ton = 30.695.548.800 liter limbah.
Industri tepung tapioka menghasilkan limbah cair dalam jumlah besar dengan konsentrasi karbon sebesar ± 30.000 mg COD/L. Kandungan COD = 30.000 mg COD/L x jumlah limbah = 30.000 mg COD/L x 30.695.548.800 L = 920.866.464.000.000 mg COD = 920.866.464 kg COD 1 kg COD dapat menghasilkan 0,35 m3 biogas.
Jumlah Biogas
= 0,35 x Jumlah COD = 0,35 x 920.866.464 kg = 322.303.262,4 m3
Jumlah Biogas /hari
= 322.303.262,4 m3 / 365 = 883.022,6367 m3
57 2. Tahun 2008 Jumlah ubi kayu untuk industri tapioka dalam satu tahun = 80% x 6560471 ton = 5.248.376,8 ton/thn
Untuk pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka menghasikan sekitar 6.000 liter limbah cair.
Banyaknya limbah
= 6000 liter/ton x banyaknya ubi kayu = 6000 liter/ton x 5.248.376,8 ton = 31490260800 liter limbah.
Industri tepung tapioka menghasilkan limbah cair dalam jumlah besar dengan konsentrasi karbon sebesar ± 30.000 mg COD/L. Kandungan COD = 30.000 mg COD/L x jumlah limbah = 30.000 mg COD/L x 31490260800 L = 944.708.000.000.000 mg COD = 944.708.000 kg COD 1 kg COD dapat menghasilkan 0,35 m3 biogas.
Jumlah Biogas
= 0,35 x Jumlah COD = 0,35 x 920.866.464 kg = 330.647.738,4 m3
Jumlah Biogas /hari
= 330.647.738,4 m3 / 365 = 905.884,2148 m3
58 3. Tahun 2009 Jumlah ubi kayu untuk industri tapioka dalam satu tahun = 80% x 6560471 ton = 5.600.000 ton/thn
Untuk pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka menghasikan sekitar 6.000 liter limbah cair.
Banyaknya limbah
= 6000 liter/ton x banyaknya ubi kayu = 6000 liter/ton x 5.248.376,8 ton = 33600000000 liter limbah.
Industri tepung tapioka menghasilkan limbah cair dalam jumlah besar dengan konsentrasi karbon sebesar ± 30.000 mg COD/L. Kandungan COD = 30.000 mg COD/L x jumlah limbah = 30.000 mg COD/L x 33600000000 L = 1.008.000.000.000.000 mg COD = 1.008.000.000 kg COD 1 kg COD dapat menghasilkan 0,35 m3 biogas.
Jumlah Biogas
= 0,35 x Jumlah COD = 0,35 x 920.866.464 kg = 352800000 m3
Jumlah Biogas /hari
= 352800000 m3 / 365 = 966575,3425 m3
59 E. Perhitungan Daya Pembangkit dan Fuel Supply Bahan Bakar
Diketahui bahwa 1m3 biogas dapat menghasilkan energi = 60 W x 7 jam = 420 Wh = 0,42 kWh = 361,2 Kcal
1. Tahun 2007 Jumlah Biogas yang dihasilkan adalah 883.022,6367 m3 Besar energi = banyak biogas x energy yang dibangkitkan per m3 = 883.022,6367 m3 x 0,42 kWh = 370.869,5074 kWh /24 jam = 15.452,89614 kW continues
2. Tahun 2008 Jumlah Biogas yang dihasilkan adalah 905.884,2148 m3 Besar energi = banyak biogas x energy yang dibangkitkan per m3 = 905.884,2148 m3 x 0,42 kWh = 380.471,3702 kWh /24 jam = 15.852,97376 kW continues
3. Tahun 2009 Jumlah Biogas yang dihasilkan adalah 966575,3425 m3 Besar energi = banyak biogas x energy yang dibangkitkan per m3 = 966575,3425 m3 x 0,42 kWh = 405961,6439 kWh /24 jam = 16.915,06849 kW continues
60 Tabel 12. Perbandingan Daya Pembangkit Tiap Tahun No
Tahun Produksi
Jumlah Tapioka
Daya Pembangkit
(Ton)
(kW)
1.
2007
6.394.906
15.452,89614
2.
2008
6.560.471
15.852,97376
3.
2009
7.000.000
16.915,06849
Dari tabel perbandingan untuk produksi tapioka dari data yang ada yaitu 2007 dan data perkiraan tahun 2008 dan 2009 dapat dilihat terjadi peningkatan jumlah produksi singkong. Untuk tahun 2008 yaitu 6.560.471 ton atau meningkat sebesar 165.565 ton dari tahun sebelumnya dan tahun 2009 adalah 7.000.000 ton dan mengalami peningkatan sebesar 439.529 ton dari tahun sebelumnya 2008.
Dengan meningkatnya jumlah produksi tapioka ini juga meningkatkan besar daya yang dihasilkan oleh pembangkit di setiap tahunnya. Dapat dilihat bahwa dari data tahun 2007, pemanfaatan bigas hasil fermentasi limbah cair tapioka akan menghasilkan daya sebesar 15,452 MW dan mengalami peningkatan daya sebesar 0.5 MW untuk tahun 2008. Dan daya pembangkit untuk tahun 2009 adalah sebesar 16,915 MW.
Diperkirakan adanya peningkatan daya pembangkit sebesar ± 1 MW setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ketersediaan bahan bakar, biogas hasil limbah cair tapioka layak untuk di terapkan di Provinsi Lampung.
61 Perhitungan Fuel Supply Pembangkit tahun 2007
Sebuah pembangkit memerlukan pasokan bahan bakar (fuel supply) untuk memanaskan boiler dalam menghasilkan uap untuk memutar turbin. Perhitungan ini dilakukan hanya pada tahun 2007 dikarenakan data terakhir mengenai jumlah produksi singkong di Lampung adalah tahun 2007, sementara untuk data tahun 2008 dan selanjutnya berupa data perkiraan.
Jadi diketahui bahwa output generator adalah 15.452,89614 kW, dari sini bisa dihitung berapa besar fuel supply. Perhitungannya adalah sebagai berikut : 1 kW = 859,8 Kcal/jam
Output generator
= 859,8 Kcal/jam x 15.452,89614 kW = 13.286.400,1 Kcal/jam
Asumsi efisiensi generator = 90 % Output generator
= input generator x efisiensi generator
13.286.400,1 Kcal/jam
= input generator x 90%
13.286.400,1 Kcal/jam
= input generator x 0,9
Input generator
= 14.762.666,78 Kcal/jam
Input generator = output turbin = 14.762.666,78 Kcal/jam
Asumsi efisiensi turbin = 85% Output Turbin
= input turbin x efisiensi turbin
14.762.666,78 Kcal/jam
= input turbin x 85%
Input turbin
= 17.367.843,27 Kcal/jam
62 Asumsi efisiensi thermodinamika = 55% Input turbin
= Kalori keluar Bolier x 55%
17.367.843,27 Kcal/jam
= Kalori keluar boiler x 55%
Kalori keluar boiler
= 31.577.896,86 Kcal/jam
Asumsi efisiensi boiler = 88% Kalori keluar boiler
= kalori masuk boiler x efisiensi boiler
31.577.896,86 Kcal/jam
= kalori masuk boiler x 88%
Kalori masuk boiler
= 35.883.973,7 Kcal/jam
1 Btu = 0,252 Kcal 1 lbm = 0,4536 kg Heating Value = 23880 btu/lbm = 13.266,6 Kcal/kg Kalori masuk boiler
= fuel supply x heating value
35.883.973,7 Kcal/jam
= fuel supply x 13.266,6 Kcal/kg
Fuel supply
= 2.704,835731 kg/jam
F. Pemilihan Lokasi Pembangkit
Rencana pemilihan lokasi pembangkit listrik berbahan bakar biogas hasil dari fermentasi limbah cair tapioka ini di bangun di daerah Tulang Bawang, di karenakan beberapa alasan, diantaranya : 1. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa daerah tulang bawang mempunyai lahan pertanian singkong terbesar di Provinsi Lampung.
63 2. Daerah Tulang Bawang merupakan pusat industri tapioka, di mana di sana terdapat banyak berdiri pabrik Industri Tapioka.
Gambar 14. Peta Kota-kota di Lampung (Google Earth)
G. Aspek Ekonomis dan Biaya
1. Biaya Bahan Bakar
Bahan bakar pembangkit yang digunakan adalah Biogas yang berasal dari hasil fermentasi dari limbah tapioka yang merupakan bahan buangan dari industri tapioka. Untuk saat ini, limbah cair masih bisa di dapatkan secara cuma-cuma, sehingga dapat diperoleh tanpa mengeluarkan biaya. Namun dibutuhkan biaya untuk pengolahan limbah cair tapioka menjadi biogas.
64 2. Biaya Pengolahan Limbah Cair Menjadi Biogas
a. Pembuatan Lagoon (Kolam Fermentasi)
Biaya pembuatan lagoon di tentukan berapa banyak penutup (plastic/terpal) untuk penangkap biogas yang dihasilkan dari kolam. Dari hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa untuk setiap tahun dengan jumlah singkong 4.399.522,4 ton/thn dihasilkan limbah cair sebanyak 30.695.548.800 liter limbah/tahun.
Jumlah Limbah perhari
= 30.695.548.800 liter/365 hari = 84.097.393,97 liter/hari
1 liter limbah = 10-3 m3 Jumlah limbah perhari
= 84.097,39397 m3/hari
Jumlah limbah selama 16 hari
= 1.345.558,304 m3
Jadi, volume lagoon yang dibutuhkan adalah 1.345.558,304 m3. Tapi tidak mungkin membuat dengan ukuran sebesar itu. Jadi dibuat lagoon dengan volume 20 x 10 x 6 = 1200 m3.
6m 10 m 20 m Gambar 15. Desain Ukuran Lagoon
65 Banyaknya lagoon yang perlu dibangun adalah : Banyaknya lagoon
= 1.345.558,304 m3 : 1200 m3 = 1.121,298 ≈ 1.122 buah
b. Biaya Covered Lagoon yang dibutuhkan
Jumlah lagoon ini nantinya akan tersebar di masing-masing kabupaten propinsi lampung sesuai dengan kapasitas dari pabrik tapioka itu sendiri. Plastik Penutup lagoon
= 21 x 11 x 1.122 = 259.182 m2
Penutup Lagon berupa HDPE (High Density Poly Ethane) Ketebalan 2.00 mm ukuran 7 x 40 mil 1 m2 = Rp 60.000 Jadi untuk semua lagoon
= 259.182 m2 x Rp. 60.000/m2 = Rp. 15.550.920.000
c. Biaya Pipa penyalur Biogas
Biogas yang dihasilkan di kolam fermentasi (Lagoon) kemudian dikumpulkan di reservoir melalui pipa-pipa penyalur. Di asumsikan jarak antara lagoon dengan reservoir adalah 100 m. Dan untuk setiap lagoon dibagi menjadi 8 bagian yang nantinya disetiap bagian akan di pasang pipa penyalur. Dan jarak antara lagoon dengan reservoir adalah 50 m.
66 Panjang pipa per lagoon
: 150 m
Total pipa yang dibutuhkan : Jumlah Lagoon x Panjang pipa tiap lagoon = 1.122 buah x 150 m = 168300 m Harga pipa PVC Maspion Harga perbatang (4 meter)
= Rp. 120.000
Harga pipa per meter
= Rp. 30.000
Total Biaya Pipa
= 168300 x Rp. 30.000 = Rp. 5.049.000.000
Biaya Investasi Lagoon
= Biaya Covered Lagoon + Biaya Pipa = Rp. 15.550.920.000 + Rp. 5.049.000.000 = Rp. 20.599.920.000
d. Biaya Transportasi Biogas
Biogas yang letaknya tidak berdekatan dengan lokasi pembangkit di Tulang Bawang akan di angkut menggunakan Tangki Gas. Biaya pengangkutan berdasarkan pada jarak dan jumlah biogas yang di angkut perhari. (detail pada lampiran)
Biaya sewa tanki/bulan
= Rp.
946.982.367
Sopir/bulan
= Rp.
54.293.655
Bahan Bakar Tanki (Solar)
= Rp.
9.459.000
Total biaya transportasi gas perbulan = Rp. 1.010.735.024 Total biaya transportasi gas pertahun = Rp. 12.128.820.288
+
67
3. Investasi Awal Pembangkit
Modal pembangunan pembangkit listrik (PLTU) berbahan bakar biogas 15 MW di Lampung adalah sebagai berikut (Arief Budiman, 2008): 1. Mekanikal Equipment -
Boiler dan Turbin
= Rp. 64.500.000.000
-
Cooling tower
= Rp.
2.752.000.000
-
Water treatment
= Rp.
5.031.000.000
-
Clarifier
= Rp.
3.268.000.000
-
Pipa Demineralized
= Rp.
1.500.000.000
-
Biaya erection Turbine
= Rp.
2.500.000.000
-
Biaya lain-lain
= Rp. 25.800.000.000 + = Rp. 105.351.000.000
2. Bangunan sipil -
Home Office
= Rp
6.822.684.000
-
Gedung & Fondasi (boiler & turbin) = Rp. 18.500.000.000
-
Pembuatan tangki
-
Pembuatan fondasi ( demineralized,
= Rp. 1.500.000.000
Clarifier, cooling tower)
= Rp. 4.000.000.000
-
Pembuatan pipa Cooling tower
= Rp. 1.500.000.000
-
Biaya Pancang
= Rp. 3.000.000.000 + = Rp. 35.322.684.000
68
3. Alat elektromekanik = Piping+ Instruments and controls+ Electrical Equipment = Rp 3.411.342.000,00+Rp 2.170.854.000,00 + Rp 16.126.344.000,00 = Rp 21.708.540.000,00
Total Biaya Investasi (Lagoon + Pembangkit ) = Mekanikal Equipment + Bangunan sipil + Alat elektromekanik + Pembutan Lagon = Rp. 105.351.000.000 + Rp. 35.322.684.000 + Rp 21.708.540.000,00 + Rp. 20.599.920.000 = Rp. 182.982.144.000
a. Biaya Penyusutan pertahun
Bangunan sipil
= 1/50 x Rp. 35.322.684.000
= Rp.
706.453.680
Mechanical
= 1/25 x Rp. 105.351.000.000
= Rp. 42.14.040.000
Elektromekanik
= 1/10 x Rp. 21.708.540.000
= Rp. 2.170.854.000
Lagoon
= 1/15 x Rp. 20.599.920.000
= Rp. 1.373.328.000
b. Bunga Modal perbulan = 18 % x Rp. 182.982.144.000
c. Asuransi dan Pajak = 0,5 % x Rp. 182.982.144.000
= Rp. 32.936.785.920
= Rp. 9.149.107.200
69 d. Biaya pegawai 1. Biaya pada pembangkitan pertahun (asumsi Rp 25/kWh) = 25 x 135.367.370,2 kWh
= Rp. 3.384.184.255
2. Biaya limbah pertahun (asumsi perlagon Rp. 100.000/bln)= Rp. 100.000 x 1.122 x 12 = Rp. 1.346.400.000 Total Biaya Pegawai pertahun :
= Rp. 4.730.584.255
Biaya Tetap / tahun -
Bangunan Sipil
= Rp.
706.453.680
-
Mechanical
= Rp
4.214.654.000
-
Elektromekanik
= Rp.
2.170.854.000
-
Lagoon
= Rp.
1.373.328.000
-
Bunga Modal
= Rp. 32.936.785.920 Rp. 41.401.461.600
Biaya Tidak tetap pertahun : -
Biaya Transportasi
= Rp. 12.128.820.288
-
Water Treatment
= Rp.
2.160.000.000
-
Gaji Pegawai
= Rp.
4.730.584.255
-
Maintenance
= Rp.
600.000.000 +
= Rp. 19.619.404.543
Produksi energi listrik pembangkit pertahun = 24 x 365 x 15,45289614 MW = 135.367,3702 MWh
70 Biaya pembangkitan per kWh
= Rp. 450.779,7267/ MWh = Rp. 450,779/ kWh
H. Kelayakan Ekonomi
1. Pendapatan dan Keuntungan
Pendapatan pembangkitan adalah : Jumlah energi pertahun
= 365 x 24 h x 15,45289614 MW = 135.367,3702 MWh
Sehingga, untuk harga listrik (PLN) saat ini adalah Rp. 630,00 /kWh, maka Pendapatan pertahun
= 135.367.370,2 kWh x 630,00/kWh = Rp. 85.281.443.217
Keuntungan
= Rp. (630,00 - 450,779)/ kWh = Rp 179,22 / kWh
71 2. BEP (Break Event Point)
Pengertian analisa
break even adalah suatu cara atau suatu teknik yang
digunakan oleh seorang petugas atau manajer perusahaan untuk mengetahui pada volume (jumlah) penjualan dan volume produksi berapakah perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak pula memperoleh laba.
Perhitungan BEP adalah sebagai berikut.
Total Biaya/ tahun
= Biaya tetap/ tahun + Biaya tidak tetap/ tahun = Rp. 41.401.461.600 + Rp 19.619.404.543 = Rp. 61.020.866.143
Biaya tidak tetap / kWh
= Biaya tidak tetap / tahun : Jumlah Daya produksi = Rp. 5.658.315.900 : 135.367,3702 MWh = Rp. 19.619.404.543 : 135.367.370,2 kWh = Rp. 144,934/ kWh
Biaya produksi per kWh
= Total Biaya / Jumlah Daya yang diproduksi = Rp. 61.020.866.143: 135.367,3702 MWh = Rp. 61.020.866.143: 135.367.370,2 kWh = Rp. 450,779/ kWh
P (Harga Jual Per kWh)
= Harga Listrik PLN pada tahun 2008 = Rp. 630,00
72 BEP Unit / tahun
= = = 85.352.314,55 kWh
BEP Rupiah
= =
⁄
(
)
= Rp. 53.771.958.164
73 Tabel 13. Perhitungan BEP Daya (kWh)
Fixed Cost
Total Cost
Total Revenue
Profit (Loss)
0
41.401.461.600,00
41.401.461.600,00
-
(41.401.461.600,00)
8535152
41.401.461.600,00
42.638.461.179,36
5.377.145.760,00
(37.261.315.419,36)
17070304
41.401.461.600,00
43.875.460.758,72
10.754.291.520,00
(33.121.169.238,72)
25605456
41.401.461.600,00
45.112.460.338,08
16.131.437.280,00
(28.981.023.058,08)
34140608
41.401.461.600,00
46.349.459.917,44
21.508.583.040,00
(24.840.876.877,44)
42675760
41.401.461.600,00
47.586.459.496,80
26.885.728.800,00
(20.700.730.696,80)
51210912
41.401.461.600,00
48.823.459.076,16
32.262.874.560,00
(16.560.584.516,16)
59746064
41.401.461.600,00
50.060.458.655,52
37.640.020.320,00
(12.420.438.335,52)
68281216
41.401.461.600,00
51.297.458.234,88
43.017.166.080,00
(8.280.292.154,88)
76816368
41.401.461.600,00
52.534.457.814,24
48.394.311.840,00
(4.140.145.974,24)
85351520
41.401.461.600,00
53.771.457.393,60
53.771.457.600,00
206,40
93886672
41.401.461.600,00
55.008.456.972,96
59.148.603.360,00
4.140.146.387,04
102421824
41.401.461.600,00
56.245.456.552,32
64.525.749.120,00
8.280.292.567,68
110956976
41.401.461.600,00
57.482.456.131,68
69.902.894.880,00
12.420.438.748,32
119492128
41.401.461.600,00
58.719.455.711,04
75.280.040.640,00
16.560.584.928,96
128027280
41.401.461.600,00
59.956.455.290,40
80.657.186.400,00
20.700.731.109,60
136562432
41.401.461.600,00
61.193.454.869,76
86.034.332.160,00
24.840.877.290,24
145097584
41.401.461.600,00
62.430.454.449,12
91.411.477.920,00
28.981.023.470,88
153632736
41.401.461.600,00
63.667.454.028,48
96.788.623.680,00
33.121.169.651,52
162167888
41.401.461.600,00
64.904.453.607,84
102.165.769.440,00
37.261.315.832,16
170703040
41.401.461.600,00
66.141.453.187,20
107.542.915.200,00
41.401.462.012,80
74 Break-Even Point
Biaya (Rp) 120,000,000,000.00 100,000,000,000.00 80,000,000,000.00 60,000,000,000.00 40,000,000,000.00 20,000,000,000.00 0.00 -20,000,000,000.00 -40,000,000,000.00 -60,000,000,000.00
Total Revenue BEP
Total Cost Profit / Loss)
Daya (kWh)
Gambar 16. Grafik BEP
3. Payback Period (PBP)
PBP (Pay Back Periode) merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menutup biaya investasi yang dikeluarkan.
Payback Period (t) = SC / ( P .x - C . x )
t = Payback Period dalam Tahun
SC = Total Biaya Investasi
P = Harga Jual Listrik per kWh
C = biaya per kWh
x = Jumlah Produksi Daya dalam Tahun
75 Biaya Investasi
= Rp. 182.982.144.000
Harga Listrik/kWh
= Rp. 630,00
Biaya /kWh
= Rp. 450,779
Jumlah produksi daya / tahun = 135.367.370,2 kWh
PBP
= 182.982.144.000 / ((630 – 450,779) 135.367.370,2 ) = 7,54 tahun
Jadi diperkirakan untuk bisa menutup biaya investasi / modal awal dari pembangunan pembangkit yaitu Rp. 182.982.144.000 dibutuhkan waktu selama 7,54 tahun dari pertama kali pembangkit beroperasi.
Dilihat dari parameter kelayakan ekonomi berdasarkan 4 aspek di atas yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal rate return), BEP (Break even Point) dan PBP (Payback Period) menunjukkan bahwa usaha pembangunan pembangkit listrik biogas ini layak untuk di terapkan.
I. Analisa Perbandingan Kelayakan Ekonomi Pembangkit listrik Biogas dengan Pembangkit Listrik Tenaga UAP
Sebagai bahan perbandingan perhitungan kelayakan ekonomi pembangkit biogas maka dapat dilihat pembanding yaitu Analisa Usaha Pembangunan Tenaga Listrik PLTU yaitu dengan K modal untuk pembangunan tenaga listrik dengan kapasitas 58 M Watt dapat dilihat pada tabel berikut :
76 Tabel 14. Kebutuhan Investasi Pembangkit tenaga listrik (PLTU) Kebutuhan Investasi Unit Pembangkit Tenaga Listrik Kapasitas Biaya Pembangkit Listrik/Unit Turbine Kapasitas Voltase Steam Generator Steam Flow Steam Pressure Steam Temperatur Fuels
Kriteria 70 MW Rp. 500.000.000.000,65.000 KW 13.800 620.000 Pound per hour 125 psi 950 0F Pulverized Coal (primary) Refuse Derrived Fuel (Supplemental - 15% by BTU )
Elektrostatik Precipitator Efisiensi Cooling Tower Kapasitas
99.7% 57.000 gallons per minutes
Tabel Analisis Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Biaya Modal 70.000 Kwh x Rp 9.000.000,Biaya Tahunan Bunga 18% x 9.000.000,Depresiasi (30 tahun) 1.4% x Rp.9.000.000 Operasional & Pemeliharaan Asuransi & Pajak Harga BB Batubara/hari : 250 ton x 365 x Rp. 200.000 Total biaya tahunan
630,000,000,000 113,400,000,000 8,820,000,000 12,600,000,000 6,300,000,000 18,250,000,000 159,370,000,000
Tabel Analisis Kelayakan Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Break Even Point (BEP) Payback Period Sumber : http://www.bappedabalikpapan.net/
318,740,000 18 tahun 6 bulan
77 Kapasitas daya yang dapat dibangkitkan oleh pembangkit berbahan bakar biogas lebih kecil jika dibandingkian dengan pembangkit PLTU yang berbahan bakan batubara yaitu ini hanyalah 15 : 58 MW. Hal ini karena adanya keterbatasan pada jumlah limbah yang dihasilkan dari industri tapioka di Provinsi Lampung.
Namun dari sisi ekonomi, pembangkit listrik bigas ini mempunyai keuntungan ekonomi yang cukup besar yaitu dikarenakan pada saat ini sumber bahan bakar pembangkit yang digunakan masih bersifat gratis. Hal ini yang membuat pembangkit biogas ini mempunyai nilai PBP (Pay Back Periode) yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pembangkit PLTU berbahan bakar batubara. Yang berarti usaha pembangkit ini akan mendapatkan kembali modal awal usaha (balik modal) dalam waktu yang relatif cepat yaitu sekitar 7,54 tahun.
J. Analisa Hasil Perhitungan Keandalan Listrik
Analisa tingkat keandalan ini merupakan analisa keandalan sistem tenaga listrik di Lampung hingga tahun 2020 dengan metode loss of load probability (LOLP) yang menyatakan probabilitas system tidak dapat menyuplai beban.
78 Unit-unit pembangkit yang beroperasi di Lampung adalah sebagai berikut: Tabel 15. Unit Pembangkit Lampung tahun 2007 Jumlah No Jenis Pembangkit Unit Kapasitas Daya ( MW ) FOR 1 PLTD/G Tarahan 2 6,368 0,07 3 8,800 0,07 1 9,400 0,07 1 21,350 0,24 2 PLTD Teluk Betung 1 1,232 0,07 2 1,280 0,07 2 4,040 0,07 1 6,368 0,07 3 PLTD Tegineneng 3 9,400 0,07 4 PLTD Talang Padang 4 0,270 0,07 3 1,240 0,07 5 PLTD Metro 1 0,250 0,07 1 0,500 0,07 1 3,000 0,07 6 PLTA Besai 2 44,800 0 7 PLTA Batutegi 2 14,230 0 8 PLTU Tarahan 2 100,000 0,07 [sumber: PT PLN (Persero) sektor pembangkitan kota Bandar lampung]
79 Sedangkan proyeksi beban puncaknya adalah sebagai berikut: Tabel 16. Proyeksi beban puncak Tahun Beban Puncak (MW) 2009 434 2010 477 2011 525 2012 571 2013 621 2014 676 2015 735 2016 800 2017 871 2018 949 2019 1033 2020 1126 (sumber: PT PLN (Persero) Wilayah Lampung dalam Astawa, I Dewa Nyoman. 2007)
80
Tabel 17. Probabilitas kapasitas outage untuk tiap kelompok Kelompok 1
2
3
4
Kapasitas 3 x 6.368 MW
3 x 8.8 MW
4 x 9.4 MW
2 x 4.04 MW
FOR 0.07
0.07
0.07
0.07
5
1 x 3 MW
0.07
6
2 x 1.28 MW
0.07
7
8 9 10
11 12 13
3 x 1.24 MW
1 x 1.232 MW 1 x 0.5 MW 4 x 0.27 MW
1 x 0.25 MW 1 x 21.35 MW 2 x 100 MW
0.07
0.07 0.07 0.07
0.07 0.24 0.07
Outage 0 1 2 3
Kap. Outage (MW) 0 6.368 12.736 19.104
Probabilitas 0.80436 0.18163 0.01367 0.00034
0
0
0.80436
1
8.8
0.18163
2
17.6
0.01367
3
26.4
0.00034
0
0
0.74805
1
9.4
0.22522
2
18.8
0.02543
3
28.2
0.00128
4
37.6
0.00002
0
0
0.8649
1
4.04
0.1302
2
8.08
0.0049
0
0
0.93
1
3
0.07
0
0
0.8649
1
1.28
0.1302
2
2.56
0.0049
0
0
0.80436
1
1.24
0.18163
2
2.48
0.01367
3
3.72
0.00034
0
0
0.93
1
1.232
0.07
0
0
0.93
1
0.5
0.07
0
0
0.74805
1
0.27
0.22522
2
0.54
0.02543
3
0.81
0.00128
4
1.08
0.00002
0
0
0.93
1
0.25
0.07
0
0
0.76
1
21.35
0.24
0
0
0.8649
1
100
0.1302
2
200
0.0049
81 a. Analisa keandalan sistem tenaga listrik di Lampung tanpa unit pembangkit biomassa 1. Tahun 2010 Pada tahun ini direncanakan ada penambahan unit baru yaitu PLTU Tarahan unit 1 dan 2 sebesar 2 x 100 MW dan PLTP Ulubelu sebesar 1 x 110 MW. Sehingga total kapasitas terpasang menjadi 752.936 MW. Beban puncaknya adalah 477 MW. LOLP sistem pada tahun ini adalah 0.003334669. 3. Tahun 2011 Pada tahun ini beban puncak bernilai 525 MW. LOLP sistem bernilai 0.011901862. 4. Tahun 2012 Pada tahun ini beban puncak bernilai 571 MW. LOLP sistem bernilai 0.044745828. 5. Tahun 2013 Pada tahun ini beban puncak bernilai 621 MW. LOLP sistem bernilai 0.118161415. 6. Tahun 2014 Pada tahun ini beban puncak bernilai 676 MW. LOLP sistem bernilai 0.311792514. 7. Tahun 2015 Pada tahun ini beban puncak bernilai 735 MW. LOLP sistem bernilai 0.527558937. 8. Tahun 2016 Pada tahun ini beban puncaknya 800 MW. LOLP sistem bernilai 1.
82 9. Tahun 2017 Pada tahun ini beban puncaknya 871 MW. LOLP sistem bernilai 1. 10. Tahun 2018 Pada tahun ini beban puncaknya 949 MW. LOLP sistem bernilai 1. 11. Tahun 2019 Pada tahun ini beban puncaknya 1033 MW. LOLP sistem bernilai 1. 12. Tahun 2020 Pada tahun ini beban puncaknya 1126 MW. LOLP sistem bernilai 1.
b. Analisa keandalan sistem kelistrikan Lampung dengan penambahan unit pembangkit biomassa 1 x 25 MW dengan FOR = 0,8 pada tahun 2015. 1. Tahun 2015 Pada tahun ini beban puncak bernilai 735 MW. LOLP sistem bernilai 0.519151804. 2. Tahun 2016 Pada tahun ini beban puncaknya 800 MW. LOLP sistem bernilai 1. 3. Tahun 2017 Pada tahun ini beban puncaknya 871 MW. LOLP sistem bernilai 1. 4. Tahun 2018 Pada tahun ini beban puncaknya 949 MW. LOLP sistem bernilai 1. 5. Tahun 2019 Pada tahun ini beban puncaknya 1033 MW. LOLP sistem bernilai 1. 8. Tahun 2020 Pada tahun ini beban puncaknya 1126 MW. LOLP sistem bernilai 1.
83 Tabel 18. Perbandingan Keandalan Sistem sebelum dan sesudah penambahan unit pembangkit listrik tenaga biomassa Tahun
Beban Puncak (MW)
Kap. Tersedia (tanpa penambahan)
Kap. Tersedia (dengan penambahan)
LOLP tanpa penambahan
LOLP dengan penamban
2010
477
752.936
752.936
0.003334669 -
2011
525
752.936
752.936
0.011901862 -
2012
571
752.936
752.936
0.044745828 -
2013
621
752.936
752.936
0.118161415 -
2014
676
752.936
752.936
0.311792514 -
2015
735
752.936
767.936
0.527558937 0.519151804
2016
800
752.936
767.936
1
1
2017
871
752.936
767.936
1
1
2018
949
752.936
767.936
1
1
2019
1033
752.936
767.936
1
1
2020
1126
752.936
767.936
1
1
Dengan adanya penambahan pembangkit biomassa dengan kapasitas sebesar 15 MW, ini tidak memberikan dampak yang begitu besar terhadap keandalan system tenaga listrik di Provinsi Lampung, di karenakan kenaikan kebutuhan beban masyarakat per tahun tidak sebanding dengan penambahan unit-unit pembangkit yang ada.
Setidaknya dengan adanya penambahan pembangkit ini, walaupun tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap keandalan sistem tenaga listrik di provinsi Lampung, pembangkit ini dapat memberikan pasokan ke
84 sebagian penduduk. dengan analogi rata-rata satu rumah memiliki daya 1.300 Va, dapat meminimalkan pemadaman dan membantu memasok listrik untuk sekitar 1.000 rumah
Untuk meningkatkan keandalan pada tahun 2016 dan seterusnya, hendaknya dilakukan pemanfaatan energi terbarukan lainnya, seperti biodiesel dari jarak pagar, jarak kepyar dan kelapa, energi gelombang laut, energi angin, energi surya, dan energi terbarukan lainnya sehingga kebutuhan daya listrik dapat dipenuhi.
85
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisa, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Sumber bahan bakar yang berasal dari limbah tapioka sangatlah berlimpah, sehingga ketersediaan bahan bakar juga tinggi dan pembangkit bahan bakar biogas layak untuk dibangun di provinsi Lampung.
2. Secara ekonomis bahan bakar biogas berasal dari limbah cair tapioka dapat diperoleh secara gratis. Untuk biaya pembangkitan 1 kWh energi listrik membutuhkan biaya Rp. 450,779 /kWh. Pembangkit akan mencapai Pay Back Period (PBP) yang lebih cepat dengan pembangkit lainnya yaitu setelah beroperasi 7,54 tahun.
3. Besar energi yang dapat diproduksi oleh pembangkit bahan bakar biogas adalah 15 MW. Dengan besar daya yang dibangkitkan, keandalan listrik di Provinsi Lampung bertambah dengan berkurangnya nilai LOLP dari 0.527558937 menjadi 0.519151804.
86 B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk pengembangan pembangkit bahan bakar biogas :
1. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar biogas (metan) untuk Provinsi Lampung sangat berpotensial sehingga perlu segera di realisasikan. 2. Pengembangan pemanfaatan energi biomassa lainnya perlu dikembangkan untuk keperluan pemenuhan energi listrik.