1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja memiliki hasrat dan keinginan untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Manusia tidak akan pernah dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang lain. Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, namun di dalam proses kehidupan selanjutnya, manusia membutuhkan manusia lainnya. Seperti pendapat Susanto (1979:63) dengan mengutip ucapan dari Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup berkelompok atau setidaknya lebih suka mencari teman untuk hidup bersama daripada hidup sendiri.
Kehidupan manusia akan dapat berkembang apabila seseorang manusia dapat berhubungan dengan manusia lainnya, dengan kata lain manusia itu disamping hidup di tengah-tengah lingkungan alam, juga hidup di dalam lingkungan sosial, tidak hanya secara pasif, akan tetapi secara aktif juga.
Menurut pendapat Soekanto (1990:27), bahwa di dalam diri manusia pada dasarnya telah terdapat suatu keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitar lainnya berdasarkan atas keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungannya.
2
Untuk mencapai keinginan tersebut, manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya atas dasar keinginan untuk hidup bersama. Akan tetapi, interaksi yang terjalin tidak hanya semata-mata didasari untuk mencari teman hidup saja, melainkan ada juga yang berdasarkan atas kepentingan-kepentingan yang hasilnya saling menguntungkan.
Pada umumnya interaksi sosial yang dibangun oleh seseorang lebih didasari atas berbagai kepentingan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apabila interaksi yang dibangun tidak menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seseorang bisa memutuskan untuk tidak melanjutkan interaksi lagi. Hal itu tergantung dari kedalaman seseorang dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan pada saat berinteraksi. Derajat interaksi atau kedalaman interaksi sosial umumnya diukur melalui simbol-simbol makna atau penafsiran maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dan juga intensitas seseorang dalam melakukan interaksi. Intensitas interaksi sosial juga merupakan faktor yang menunjang terjadinya percampuran kebudayaan atau yang dikenal dengan istilah asimilasi. Adapun bentuk dari interaksi sosial meliputi kerjasama, persaingan, pertikaian, dan akomodasi.
Seperti diketahui, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dalam arti memiliki keanekaragaman SARA. Keanekaragaman ini semakin bertambah manakala terjadi perpindahan penduduk antar provinsi/transmigrasi dan juga imigrasi asing masuk ke wilayah Indonesia dan kemudian menetap di Indonesia. Keanekaragaman SARA yang berbeda-beda, hendaknya tidak dijadikan jurang
3
pemisah, yakni dengan pengkotak-kotakan etnis yang satu dengan etnis yang lainnya, karena hal itu akan menyebabkan disintegrasi.
Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh berbagai ragam suku bangsa. Keanekaragaman itu tidak lain karena Provinsi Lampung sebagai daerah perlintasan antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa sehingga memungkinkan Lampung sebagai daerah tujuan transmigrasi. Adapun etnis yang bermukim di Lampung di antaranya Bali, Jawa, Sunda, Tionghoa, Ogan, dan Semendo yang semuanya dengan karakteristik kesukuan dan latar budaya berbeda.
Masyarakat Bali di Lampung pada umumnya menganut agama Hindu. Agama Hindu banyak mengandung unsur lokal yang telah terjalin di dalamnya sejak dulu kala. Di berbagai daerah di Lampung, terdapat variasi lokal dari para penganut agama Hindu. Namun variasi tersebut mulai berkurang dengan adanya proses modernisasi dan pengaturan oleh Jawatan Agama Bagian Hindu serta Majelis agama yang disebut Parisada Hindu Dharma. Dalam kehidupan keagamaannya, orang Bali yang beragama Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dengan konsep Trimurti (simbolisasi TYE dalam tiga wujud), yaitu: a. Wujud Brahmana, yakni yang menciptakan. b. Wujud Wisnu, yakni yang melindungi serta memelihara. c. Wujud Siwa, yakni mengembalikan segala yang ada ke asalnya.
Disamping itu, masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu juga memiliki konsep yang mereka anggap penting yaitu:
4
1. Atman, yakni mengenai roh abadi. 2. Karmapala, yakni adanya buah dari setiap perbuatan. 3. Punarbawa, yakni kelahiran kembali dari jiwa. 4. Moksa, yakni kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali.
Tempat melakukan ibadat bagi masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu disebut Pura. Tempat ibadat ini berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda, seperti: 1. Pura Besakih, sifatnya umum untuk semua golongan. 2. Pura desa, khusus untuk kelompok masyarakat setempat, organisasiorganisasi, dan kumpulan-kumpulan.
Selain itu, juga terdapat bangunan suci yang terdapat di masing-masing halaman rumah (dikenal dengan sanggah atau merajan). Di Bali ada beribu-ribu pura dan sanggah. Masing-masing pura dan sanggah ini memiliki hari-hari perayaan dengan tanggal sendiri-sendiri. Perhitungan tanggalan menurut Hindu didasarkan pada kedua bagian bulan, yaitu purnama dan panglong. Misalnya tahun baru Saka atau Nyepi yang jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh (sehari sebelum tahun saka lama berakhir), sedangkan perayaan dengan menggunakan perhitungan tanggalan Bali seperti Galungan dan Kuningan, jatuh pada hari Rabu dan Sabtu dari wuku Dungulan dan wuku Kuningan.
Masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu memiliki lima macam upacara (Panca Yadnya), yakni: a. Manusia Yadnya, yang terutama meliputi upacara siklus hidup manusia dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
5
b. Pitra Yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur dan yang meliputi upacara-upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur. c. Dewa Yadnya, yang terutama berkenaan dengan upacara-upacara pada pura umum dan keluarga. d. Resi Yadnya, yang merupakan upacara-upacara berkenaan dengan pentahbisan pendeta (mediksa). e. Buta Yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang ditujukan kepada kala dan buta yaitu roh-roh yang dapat mengganggu.
Berdasarkan pengamatan sementara yang penulis lakukan di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu, penduduk yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu terdiri dari beberapa suku bangsa. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penduduk RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu berdasarkan Asal Daerah, Tahun 2009 No 1 2 3 4 5
Asal Daerah Bali Cina Jawa Lampung Palembang
Total Sumber: Ketua RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu
Jumlah/KK 5 1 28 63 14 111
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa penduduk yang tinggal di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu lebih didominasi oleh etnis Lampung yang berjumlah 63 KK, kemudian diikuti oleh etnis Jawa berjumlah 28 KK, lalu etnis Palembang 14 KK, etnis Bali 5 KK, dan etnis Cina 1 KK.
6
Adapun nama-nama Penduduk etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Daftar Nama Penduduk Etnis Bali Di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu, Tahun 2009 No Nama
Status
Usia (tahun) 52 52 28 25 18 24 54 25 21 47 46
Pekerjaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
I Ketut Lindih Nengah Sukardiani I Wayan Lastikayasa I Made Yoga Setiawan Ni Nyoman Tirto Arysanty Mahda Sari I Nyoman Merdana Putu Oka Lestari Made Dwity M Nyoman Sumantra Nyoman Senati
KK Istri Anak Anak Anak Menantu KK Anak Anak KK Istri
12 13
Wayan Oka Putra Rd Sayu Dwi Yani
Anak Anak
21 Mahasiswa 12 Pelajar
14 15
I Putu Ardika Sulasmi
KK Istri
42 Wiraswasta 39 Ibu RumahTangga
16 17
I Putu Indra SG Ni Made Hapsari
Anak Anak
19 Pelajar 9 Pelajar
18
Ni Nyoman Sekar
Anak
7 Pelajar
19 20
Nengah Priana Made Ariani
KK Istri
44 Wiraswasta 44 Ibu RumahTangga
21
Putu Eka Aditya
Anak
20 Mahasiswa
Brimob Guru Wiraswasta Wiraswasta Pelajar Ibu RumahTangga Wiraswasta Mahasiswa Mahasiswa Wiraswasta Wiraswasta
Sumber: Ketua RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu adalah sebanyak 21 orang dengan jenis pekerjaan yang beranekaragam mulai dari PNS, wiraswasta, pelajar, mahasiswa, hingga ibu rumahtangga.
7
Masyarakat etnis Bali yang tinggal RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu tetap menjalankan peribadatannya sesuai dengan ajaran yang ada dalam kitab Weda. Hal itu terlihat pada saat perayaan-perayaan keagamaan, seperti Tahun Baru Saka atau Nyepi, Galungan, dan Kuningan yang mana masyarakat etnis Bali yang tinggal di RT 04 Lingkungan III menyambut perayaan tersebut dengan penuh sukacita.
Perayaan Tahun Baru Saka atau Nyepi, Galungan, dan Kuningan merupakan upaya untuk melakukan refleksi diri dan mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta. Dalam Tri Hita Karana yang merupakan falsafah hidup masyarakat Bali dijelaskan bahwa manusia terikat pada tiga hubungan, yakni hubungan dengan sesama manusia (pawongan), hubungan dengan alam sekelilingnya (palemahan), dan hubungan dengan ketuhanan (parahyangan). Perayaan tersebut di atas adalah wujud dari Tri Hita Karana dalam hubungan antara manusia dengan tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhan hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa ”Tuhan adalah kebenaran pengetahuan yang tak terbatas (Sat Citta Ananda Brahman) dan Ia adalah darimana semua ini berasal (Janmadhyasya Yatah)” (http://www.parisada.org.id).
Sedangkan hubungan manusia dengan sesama, disebutkan antara lain adanya karma pala (setiap tindakan ada pahalanya). Hubungan manusia dengan sesama manusia tidak lain merupakan bentuk interaksi manusia yang dituangkan dalam pola tingkahlaku, misalnya ikut acara gotong-royong, siskamling, dan lain sebagainya. Terkait dengan hubungan antara manusia dengan alam semesta, Tri Hita Karana mengajarkan seluruh isi alam semesta, termasuk manusia dan
8
lingkungan hidup, sama-sama tunduk pada hukum yang ditentukan Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Praktik Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari dikontekstualkan dalam beberapa tindakan, diantaranya adalah Desa Kala Patra, yaitu melaksanakan hubungan sosial dan kultural sesuai dengan tempat, keadaan, dan waktu. Desa Kala Patra ini, tidak lain dimaksudkan agar masyarakat Bali dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar tempatnya bermukim. Dalam masyarakat Bali dikenal pula adanya ajaran Tat Twam Asi, yakni “kamu adalah aku dan aku adalah kamu”. Inti dari ajaran ini yakni menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan, termasuk di dunia ini. Hal ini berarti apabila kamu menyakiti orang lain, berarti kamu menyakiti diri sendiri karena pada dasarnya setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Tat Twam Asi juga dijadikan landasan etik dan moral bagi masyarakat Bali di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis (http://ekakj.blog.friendster.com/2008/02/).
Setiap masyarakat dan daerah sudah tentu memiliki budaya masing-masing yang tentu berbeda satu sama lain. Antara etnis Bali dan etnis Lampung misalnya, tentu mempunyai perbedaan budaya. Masyarakat Lampung pada umumnya menganut agama Islam dan hanya beberapa saja yang menganut agama lainnya. Selain itu masyarakat etnis Lampung juga memiliki falsafah hidup yang mengatur masyarakat etnis Lampung dalam bertingkahlaku dengan masyarakat etnis lainnya yang tertuang dalam Piil pesenggiri. Piil pesenggiri terdiri atas enam unsur yaitu:
9
a. Negah nyampur, yaitu tata pergaulan masyarakat etnis Lampung dengan cara membuka diri dalam pergaulan masyarakat. b. Nemui nyimah, yaitu keharusan bermasyarakat. c. Bejuluk buadek, yaitu keharusan berakhlak terpuji, berjiwa besar, dan berkepribadian mantap. d. Mufakat, yakni keharusan bermusyawarah dalam menetapkan keputusan yang berlaku dalam masyarakat. e. Sakai sambayan, yaitu kegiatan gotongroyong saling membantu satu sama lainnya. f. Carem ceragem, yaitu keharusan menegakkan dan menjaga persatuan dan kesatuan.
Berbicara mengenai budaya Lampung, Lampung memiliki dua golongan adat, yaitu: 1. Adat Lampung Pepadun, yakni adat yang digunakan oleh penduduk Abung, Menggala/Tulang Bawang, Way Kanan, Sungkai, dan Pubiyan. Sistem adat pepadun ini meliputi: a. Sistem Pepadun Mego, terdiri dari kebuaian Anak Tuho, Nunyai, Beliyuk, Selagai, dan Kunang. b. Sistem Pepadun Bandar, terdiri dari Buai Subing Terbanggi, Subing Labuhan, Unyi Buyut/Gunung Sugih, Unyi Sukadana, Nuban Bumi Ratu, Nuban Bumi Tinggi, dan Nyerupa Komering. c. Sistem Pepadun Sukeu, terdiri dari Buai Pubiyan Padang Ratu, Pubiyan Putih Doh, Pubiyan Bukeu Jadi, Pubiyan Ketibung, Pubiyan Balau, Nuban Bumi Tinggi, dan Nyerupa Komering.
10
d. Sistem Sumba, terdiri dari Buai Pemuka Way Kanan, Babuya, Nyerupa Komering, dan Aji Tulang Bawang.
2. Adat Lampung Saibatin (Lampung Pesisir Saibatin)
Masyarakat Lampung Saibatin adalah kelompok yang berusaha menjaga kemurnian darah dalam mendudukkan seseorang pada jabatan adat, yang oleh masyarakat Lampung lazim disebut kepenyimbangan. Seseorang tidak boleh menduduki jabatan kepenyimbangan walaupun ia sebenarnya memiliki potensi untuk itu, umpama memiliki kharisma, pandai, kreatif, dan sebagainya, kalau ia bukan memiliki darah aliran berdarah biru. Kedudukan yang dikenal dalam adat Saibatin adalah Dalem Raja, Batin, dan seterusnya. Seseorang tidak boleh menduduki jabatan sebagai Dalem selain anak keturunan seseorang yang berkedudukan sebagai Dalem juga, begitupun untuk jabatan Raja, Batin, dan seterusnya.
Antara adat Saibatin dan adat Pepadun, terdapat sedikit perbedaan, yakni adat Saibatin tetap mempertahankan kemurnian darah biru, sedangkan dalam adat Pepadun, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan status adat yang dimiliki yakni melalui cakak pepadun dengan syarat membayar uang yang disebut dau dan menyembelih kerbau. Makin tinggi tingkat adat yang akan dicapai, maka semakin banyak juga uang yang harus dibayar. Kalau seseorang menaikkan statusnya sebagai penyimbang atau pemimpin adat, maka harus terlebih dahulu disahkan dan diakui oleh penyimbang-penyimbang yang setingkat di lingkungan kekerabatannya.
11
Masyarakat etnis Lampung dilihat dari segi bahasanya dapat dibedakan menjadi dua bahasa atau dialek, yaitu: a. Dialek “Api”: bahasa dialek api digunakan oleh masyarakat etnis Lampung Saibatin atau Peminggir. Adapun wilayah yang menggunakan bahasa Lampung Dialek Api yakni: Belalau, Peminggir, Teluk Semangka, Teluk Lampung Tulang Bawang Ulu (Way Kanan), Komering, Krui Melinting, dan Pubiyan. b. Dialek “Nyow”: bahasa Dialek Nyow digunakan oleh masyarakat etnis Lampung Pepadun. Adapun wilayah yang menggunakan bahasa Lampung Dialek Nyow ini yakni Abung dan Tulang Bawang. Masyarakat Lampung juga memiliki slogan “Sang Bumi Ruwa Jurai” yang kini berganti nama menjadi “Sai Bumi Ruwa Jurai”. Namun pada hakikatnya makna dari slogan tersebut di atas tetap sama walaupun kini telah berganti nama yakni mengenai kerukunan hidup penduduk asli dan pendatang dalam satu rumahtangga. Hal itu menandakan bahwa masyarakat Lampung menerima atau membuka diri terhadap masyarakat pendatang.
Kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat etnis Bali sudah tentu berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat etnis Lampung. Dilihat dari cara berbicaranya saja, masyarakat etnis Lampung dalam berbicara biasanya sedikit lantang. Sedangkan masyarakat etnis Bali dalam bertutur kata lebih sedikit lembut. Hal itu menunjukkan bahwa masing-masing etnis memiliki karakteristik atau pembawaan diri yang berbeda-beda.
12
Keinginan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa menjadi penting di Indonesia mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kenyataan tersebut di atas merupakan kekayaan bagi bangsa Indonesia dan sekaligus menciptakan tantangan. Tantangan-tantangan tersebut dimungkinkan hadir dalam pergaulan masyarakat karena kecenderungan dari setiap individu dan suku bangsa apapun juga, biasanya melihat kebudayaannya sebagai yang terbaik. Hal ini, dikenal sebagai etnosentrisme (Kartodirdjo, 1987:88).
Selain etnosentrisme, tantangan lainnya yang dapat menghambat kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah sikap prasangka dan diskriminasi yang sering muncul dalam diri anggota masyarakat. Prasangka dan diskriminasi biasanya ditandai dengan sikap negatif kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam berkelompok. Prasangka dan diskriminasi tidak akan menimbulkan konflik sosial apabila didukung oleh pengendalian sosial yang tinggi dan upaya-upaya yang dapat mendorong terciptanya pembauran bangsa di segala bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun sosial budaya, dalam rangka memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa serta memantapkan ketahanan sosial.
Masyarakat Indonesia yang multikultur secara demografis maupun sosiologis, memiliki keragaman kultural dan sangat rentan sebagai pemicu konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Pelbagai peristiwa konflik berbau SARA telah terjadi hampir di semua wilayah Indonesia dan beberapa diantaranya terjadi antarsuku. Seperti tragedi Sampit yang terjadi di Kalimantan Tengah. Pihak yang berkonflik yakni antara masyarakat suku Madura dan Dayak. Latar belakang
13
terjadinya konflik di antara dua suku ini yakni terbunuhnya perempuan Dayak oleh pria Madura hingga akhirnya konflik itu meluas ke berbagai daerah di Kalimantan. Ini merupakan bukti bahwa persoalan interaksi sosial sangatlah berpengaruh terhadap proses pembangunan suatu bangsa. Interaksi sosial juga merupakan awal bagi masyarakat untuk melebur dengan masyarakat lain tanpa membeda-bedakan SARA sehingga terciptalah keadaan harmonis dan seimbang yang merupakan salah satu ciri terwujudnya masyarakat ideal tanpa perselisihan dan konflik yang menjurus kepada kehidupan rimba, dimana yang kuat bisa melecehkan yang lemah.
Permasalahan bentuk dan intensitas interaksi sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis adalah masalah yang menarik untuk dilakukan penelitian. Ini persoalan latar budaya yang berbeda dapat menimbulkan prasangka dan kecemburuan sosial, kendatipun pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan dalam kodrat yang sama, namun perbedaan latar belakang budaya mampu melatarbelakangi terjadinya konflik.
Terkait dengan pemaparan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bentuk dan intensitas interkasi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan diteliti adalah “Bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis”.
14
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dengan memberikan informasi bagi masyarakat mengenai bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam mengkaji lebih lanjut tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Interaksi Sosial
Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Gejala yang demikian menjadikan manusia cenderung hidup berkelompok, saling menyesuaikan diri satu sama lain dengan keadaan di sekitarnya.
Proses penyesuaian diri untuk mempertahankan kehidupan berkelompok ini dinyatakan sebagai suatu proses yang menjurus menjadi proses sosialisasi (Susanto, 1997:10). Sosialisasi menurut Buhler (dalam Susanto, 1997:23) adalah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana cara hidup, dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya.
Proses ini dapat berjalan dengan serasi dan dapat pula terjadi melalui pertentangan, akan tetapi selama individu merasa memerlukan kelompoknya, maka ia bersedia untuk mengadakan beberapa kompromi terhadap tuntutan kelompok. Proses sosialisasi yang dimaksud di atas, terjadi melalui interaksi sosial yaitu hubungan-hubungan dinamis menyangkut hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan
16
kelompok dalam bentuk kerjasama, persaingan, ataupun pertikaian (Soekanto, 1990:67).
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi tidak mungkin ada kehidupan sosial. Interaksi sosial juga menyangkut pemenuhan berbagai kebutuhan, baik kebutuhan dasar (seperti sandang, pangan, dan papan), kebutuhan akan keselamatan jiwa dan harta benda (seperti ketertiban dan keamanan), kebutuhan akan harga diri (seperti martabat dan kehormatan), kebutuhan akan pengembangan potensi diri (seperti pendidikan dan kesehatan), dan kebutuhan akan kasih sayang. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut, maka manusia melakukan aktivitas-aktivitas sebagai bentuk interaksi.
Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1990:77), terdapat empat bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat yaitu: 1. Kerjasama (cooperation) Kerjasama
timbul
karena
orientasi
orang
perorangan
terhadap
kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-groupnya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisonal atau institusional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau segolongan orang. Ada lima bentuk kerjasama, yaitu: a. Kerukunan yang mencakup gotongroyong dan tolong-menolong. b. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barangbarang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
17
c. Ko-optasi (co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi (sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. d. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. e. Join-venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya pemboran minyak, pertambangan, eksploitasi batubara, perfilman, perhotelan, dan seterusnya.
2. Persaingan (Competititon) Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasaan.
3. Akomodasi (Accomodation) Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial
18
yang berlaku di dalam masyarakat, sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
4. Pertentangan atau pertikaian (Conflict) Adapun yang menjadi sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan yakni: a. Perbedaan antara individu-individu, dalam hal ini yakni perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan di antara mereka. b. Perbedaan kebudayaan, dalam hal ini perbedaan kepribadian dan orang-perorangan tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyak juga akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok manusia. c. Perbedaan kepentingan, dalam hal ini perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan sumber lain dari pertentangan. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya. d. Perubahan sosial, dalam hal ini perubahan yang berlangsung dengan cepat dapat mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendirian hingga akhirnya mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada struktur.
19
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Adanya kontak sosial Kata kontak berasal dari bahasa latin yaitu con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Jadi secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial yang terjadi secara langsung adalah kontak sosial melalui suatu pertemuan dengan tatap muka dan dialog di antara kedua belah pihak. Kontak sosial secara tidak langsung adalah kontak sosial yang menggunakan alat atau perantara, misalnya melalui telepon, radio, dan surat.
2. Adanya komunikasi sosial Kata komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communis yang berarti “sama”, commmunico, communication atau communicare yang berarti “membuat sama”. Jadi secara harfiah adalah membuat kesamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi sosial menurut Roger dan D Lawrence Kincaisd (dalam Hafied Cangara, 2007), bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
20
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain yaitu: a. Imitasi, yakni suatu proses belajar dengan cara meniru atau mengikuti perilaku orang lain. b. Sugesti, merupakan cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu. c. Identifikasi,
adalah
kecenderungan-kecenderungan
atau
keinginan-
keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. d. Simpati, merupakan perasaan “tertarik” yang timbul dalam diri seseorang dan membuatnya merasa seolah-olah berada dalam keadaan orang lain. e. Empati, yakni sesuatu yang bisa dirasakan oleh hati atau hal yang dimasuki dalam jiwa.
Menurut Santoso (2004:12), ada beberapa faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang dalam berinteraksi, yakni: a. The nature of social situation Yakni situasi sosial yang memberi bentuk tingkahlaku terhadap individu yang berada dalam situasi tertentu. b. The norms prevailing in any given social group Yakni norma-norma kelompok yang berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu. c. Their own personality trends Yakni masing-masing individu memiliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap tingkahlaku. d. A person transitory tendencies Yakni setiap individu berinteraksi dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara. e. The process of perceiving and interpreting a situation Yakni setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut.
21
Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah kontak antara individu yang menghasilkan adanya hubungan saling pengaruh mempengaruhi dan nampak dalam hubungan aksi reaksi. Interaksi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung
B. Pengertian Etnis
Berbicara mengenai konsep etnis, maka akan berbeda dengan konsep etnik maupun suku bangsa. Menurut Barth (dalam Suparlan, 2002:4), sukubangsa merupakan sebuah kategori atau golongan sosial, maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang deskriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari suatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kebangsaan dapat disimpan atau digunakan dalam interaksi tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Lebih lanjut, Barth mendefinisikan etnik yang pada dasarnya adalah sama dengan suku bangsa, dipergunakan untuk menunjuk pada suatu kelompok tertentu karena kesamaan SARA ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang: a. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.
22
b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Sementara definisi etnik menurut Koentjaraningrat, etnik tentu berbeda dengan sukubangsa. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah sukubangsa atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Konsep yang tercakup dalam istilah sukubangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi, serta seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Pada kenyataannya, sukubangsa lebih kompleks daripada apa yang diuraikan di atas, ini disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri serikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit tergantung pada kesatuan teritorial.
Apabila mereka menetap di suatu kawasan dalam jangka waktu cukup lama, maka karena alasan tertentu, misalnya konflik, sebagian komunitas akan mengadakan kontak dengan suku lain. Seiring dengan berjalannya waktu, proses komunikasi ini menyebabkan persebaran yang cukup luas ke segala penjuru dunia. Pada kondisi modern ini, batas-batas teritorial kenegaraan kemudian terbentuk. Komunitas yang berhijrah tidak akan dibatasi oleh sekat-sekat kenegaraan. Dari latarbelakang tersebutlah, suku kemudian beralih menjadi etnik.
23
Menurut Koentjaraningrat (dalam Made Saputra, 2001:1), identitas etnis yang dituangkan dalam kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh pihak luar, melainkan oleh etnis bersangkutan sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, konsep yang tercakup dalam istilah etnis atau sukubangsa berarti kesatuan manusia atau kolektiva-kolektiva yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, kesadaran-kesadaran itu sering dikuatkan (tetapi tidak selalu) oleh kesatuan bahasa (http://smartpsikologi.com). Etnis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antara etnis Bali dengan etnis Lampung.
C. Pengertian Asimilasi atau Pembauran
Istilah pembauran adalah istilah yang sama dengan apa yang disebut dengan asimilasi. Kata asimilasi berasal dari similas (Inggris: similar) atau sama, jadi asimilasi itu berarti sama, menjadi serupa dan dalam sosiologi dimaksudkan sebagai proses atau perkembangan ke arah menjadi sama (Desiree, 1974:149).
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau masyarakat, maka kelompok manusia atau masyarakat tersebut tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai orang asing.
24
Menurut Yahya (1983:18), asimilasi mempunyai dua pengertian yaitu: a. Umum, yakni dengan asimilasi dimaksudkan sebagai proses penyatuan, atau gabungan golongan yang mempunyai sikap mental, adat istiadat, dan kebudayaan yang berbeda-beda menjadi satu kebulatan sosiologis yang harmonis, dalam hal ini berarti Bangsa Indonesia. b. Khusus, yakni untuk masyarakat etnis Bali, asimilasi dalam hal ini berarti masuk dan diterimanya masyarakat etnis Bali ke dalam masyarakat etnis Lampung sehingga menjadi satu dalam rangka Building Indonesia.
Dalam
proses
asimilasi,
seseorang
mengidentifikasikan
dirinya
dengan
kepentingan-kepentingan serta tujuan kelompok. Apabila dua kelompok manusia mengadakan asimilasi, batas-batas antara kelompok-kelompok tadi akan hilang dan keduanya lebur menjadi satu kelompok. Proses asimilasi tersebut timbul bila ada: 1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan. 2. Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama. 3. Kebudayaan-kebudayan dari tiap kelompok manusia tersebut masingmasing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Pada dasarnya asimilasi merupakan bentuk dari interaksi sosial, dalam hal ini interaksi yang bersifat asimilatif. Menurut Soekanto (1990:89), ada beberapa bentuk interaksi sosial yang memberikan arah ke suatu proses asimilasi, yakni: 1. Interaksi tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain juga berlaku sama. Misalnya seorang mahasiswa yang jujur dan baik tata lakunya tidak akan mungkin hidup bersama-sama dengan rekannya yang licik dalam satu kamar di asrama mahasiswa. Mahasiswa yang jujur dan baik tersebut walaupun berusaha untuk bersikap toleran terhadap rekannya, akan tetapi tidak akan terjadi suatu persahabatan karena pihak yang lain bersikap sebagai musuh. 2. Interaksi tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasanpembatasan. Proses interaksi sosial yang asimilatif akan berhenti apabila mengalami halangan-halangan yang mematikan atau apabila ada
25
pembatasan-pembatasan, seperti halangan untuk melakukan perkawinan campuran, pembatasan-pembatasan untuk memasuki lembaga pendidikan tertentu, dan sebagainya. 3. Interaksi tersebut bersifat langsung dan primer. Misalnya upaya untuk membentuk sebuah organisasi multilateral atau bilateral, akan terhalang oleh adanya kesukaran melakukan interaksi langsung dan primer antar negara bersangkutan. Bisa saja masalahnya menyangkut keamanan, kepentingan ekonomi atau kedaulatan. Sebagai langkah pertama, biasanya sering diusahakan pertukaran wisatawan, mahasiswa, sarjana, dan ahli-ahli lain. 4. Frekuensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola asimilasi tersebut. Artinya stimulans dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangkan. Interaksi sosial asimilatif sangat sulit diadakan pada masyarakat-masyarakat tradisional Indonesia yang masih terasing, karena masyarakatnya kurang mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain seperti masyarakat di daerah perkotaan.
Di Indonesia, asimilasi sering dihubungkan dengan soal perkawinan antara golongan etnis. Hal sedemikian hanyalah salah satu aspek dari konsep asimilasi, yakni adanya perkawinan campuran dan dikenal dengan amalgamasi. Amalgamasi atau perkawinan campuran merupakan salah satu faktor yang mempermudah terjadinya suatu asimilasi. Adapun faktor lain yang mempermudah terjadinya asimilasi adalah: 1. Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu akomodasi. Apabila toleransi tersebut mendorong terjadinya komunikasi, maka faktor tersebut mempercepat asimilasi. 2. Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi bagi pelbagai golongan masyarakat dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda dapat mempercepat proses asimilasi.
26
3. Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang lain dimana masing-masing mengakui kelemahankelemahan, atau kelebihan-kelebihannya akan mendekatkan masyarakatmasyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut, apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi penghambat bagi berlangsungnya proses asimilasi. 4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di dalam masyarakat juga mempercepat proses asimilasi. Hal ini misalnya dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi golongan minoritas untuk memperoleh pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penggunaan tempattempat rekreasi, dan seterusnya. 5. Pengetahuan akan persamaan-persamaan unsur pada kebudayaankebudayaan yang berlainan juga akan lebih mendekatkan masyarakat untuk mendukung kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. 6. Adanya musuh bersama dari luar cenderung memperkuat kesatuan atau golongan masyarakat yang mengalami ancaman musuh tersebut. Bersamasama dalam hal ini antara golongan minoritas dengan golongan mayoritas menghadapi
ancaman-ancaman
luar
yang
membahayakan
seluruh
masyarakat.
Untuk memperkuat konsep ini menurut Soekanto (1981:113) terdapat tujuh macam asimilasi, yaitu sebagai berikut: 1. Asimilasi kebudayaan atau perilaku yang bertalian dengan perubahan dalam pola-pola kebudayaan guna penyesuaian diri dengan kelompok mayoritas. 2. Asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan-golongan minoritas secara besar-besaran dalam perkumpulan-perkumpulan pada kelompok primer dari mayoritas.
27
3. Asimilasi perkawinan yang bertalian dengan perkawinan antargolongan secara besar-besaran. 4. Asimilasi identifikasi yang bertalian dengan perasaan nasional berdasarkan mayoritas. 5. Asimilasi sikap yang bertalian dengan tidak adanya prasangka. 6. Asimilasi perilaku yang bertalian dengan tidak adanya diskriminasi. 7. Asimilasi civic yang bertalian dengan adanya bentrokan mengenai nilai dengan pengertian kekuasaan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, asimilasi bisa saja terjadi oleh faktorfaktor tersebut, namun asimilasi juga akan sulit terjadi apabila terdapat penghalang, seperti terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat (biasanya golongan minoritas). Contohnya adalah orang Indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu (reservation). Mereka seolah-olah disimpan dalam kotak tertutup, sehingga hampir tidak mungkin melakukan hubungan bebas yang intensif dengan orangorang kulit putih, sebaliknya orang kulit putihpun kurang mengetahui tentang seluk beluk masyarakat Indian, sehingga antara kedua belah pihak timbul prasangka-prasangka.
Prasangka tersebut timbul dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu juga ada perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan yang lain. Selain itu, perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi juga ikut andil dan menghalangi terjadinya asimilasi.
Dikaitkan dengan penelitian yang dibahas, asimilasi yang dimaksudkan adalah proses penyatuan masyarakat etnis Bali yang mempunyai sikap, mental, adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda, menjadi satu dan harmonis dengan
28
masyarakat etnis Lampung tanpa menghilangkan ciri khas budaya daerah masingmasing. Asimilasi dalam penelitian ini merujuk pada interaksi sosial yang bersifat asimilatif yaitu dilihat dari frekuensi interaksi sosial.
29
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (2003:3), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata, tulisan dari orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif juga dapat menggali informasi sebanyak mungkin dan sedalam mungkin sehingga akan didapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang apa yang diteliti.
Penelitian kualitatif merupakan cara mengkaji dan melihat gejala sosial dan kemanusian dengan memahaminya, yaitu dengan cara membangun suatu gambaran yang utuh dan holistik yang kompleks, dimana gejala-gejala yang tercakup dalam kajian itu dilihat sebagai sesuatu yang terkait satu dengan yang lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional sebagai suatu sistem (Suparlan, 2001:1).
B. Fokus Penelitian
Pada penelitian kualitatif hal yang perlu diperhatikan adalah fokus penelitian. Menurut Moleong (2003:63), tujuan membuat fokus penelitian adalah: 1. Untuk membatasi studi sehingga tidak melebar. 2. Secara efektif berguna untuk menyaring informasi yang mengalir masuk.
30
Adapun yang menjadi fokus penelitian ini yakni mengenai intensitas interaksi sosial dan bentuk-bentuk interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. 1. Aspek-aspek interaksi sosial yang akan diamati dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: c. Cara berinteraksi, yang meliputi
Media berinteraksi Yakni sarana atau alat yang dipergunakan sebagai perantara dalam melakukan interaksi sosial.
Tatacara berinteraksi Yakni aturan yang mengandung nilai dan norma dalam melakukan interaksi sosial.
b. Tempat berinteraksi Tempat berinteraksi yang dimaksud adalah forum atau wadah tempat biasanya masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung melakukan interaksi. c. Frekuensi Interaksi a) Kualitas pertemuan Yakni rata-rata lamanya pertemuan yang dilakukan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. b) Kualitas pesan Yakni materi atau wacana apa yang sering dibahas pada saat bertemu.
31
2. Bentuk-bentuk interaksi sosial
Kerjasama
a. Segi ekonomi Bentuk interaksi dari segi ekonomi antara lain dilihat dari transaksi jual beli dalam hal pembelian barang untuk kebutuhan rumahtangga antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. Selain itu ada juga dalam bentuk penggunaan tenaga kerja, seperti tenaga pengelola kebersihan, membangun rumah, mengolah, merawat dan mengelola usaha, baik di sektor pertanian atau non pertanian. b. Segi sosial Bentuk interaksi dari segi sosial antara lain dilihat dari keikutsertaan atau partisipasi masyarakat etnis Bali dan Lampung pada saat acara gotongroyong, siskamling (kerjasama), mengundang atau diundang dalam hajatan, dan lain sebagainya.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa jalinan sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung berlangsung harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, serta atas pertimbangan efisiensi waktu dan biaya.
D. Penentuan Informan
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive, yaitu teknik penentuan sampel (informan) yang disesuaikan dengan
32
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Adapun kriteria-kriteria pemilihan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat asli etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III. 2. Masyarakat asli etnis Lampung yang bermukim di RT 04 Lingkungan III. 3. Lamanya bermukim atau menetap di RT 04 Lingkungan III. 4. Kepala rumahtangga.
Mengacu pada kriteria di atas, maka jumlah informan yang diambil adalah 10 orang, yakni 5 kepala keluarga masyarakat etnis Bali dan 5 kepala keluarga masyarakat etnis Lampung.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Data Primer 1. Wawancara mendalam (indepth interview) Yaitu melakukan wawancara langsung dengan informan mengenai pokok bahasan penelitian. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menggunakan
pedoman
wawancara
dengan
tujuan
mendapatkan
keterangan secara mendalam dari permasalahan yang diteliti. Hal ini dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan dapat terarah tanpa mengurangi kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan, serta suasana tetap terjaga agar terkesan dialogis dan tampak informal. Peneliti juga mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan untuk melakukan
33
wawancara, diantaranya pena, buku, perekam gambar, perekam suara, dan lain-lain. Wawancara dalam penelitian ini bersifat terbuka sehingga informan tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan juga tahu pula maksud wawancara. Sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan wawancara, peneliti terlebih dahulu memulai wawancara dengan obrolan ringan agar tercipta suasana akrab dengan informan.
2. Observasi Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung, seksama, dan sistematis melalui pengamatan terhadap obyek penelitian. Teknik observasi ini berguna untuk menjelaskan gejala yang terjadi dan berhubungan dengan masalah yang dikaji. Observasi dalam hal ini yakni mengamati bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dalam membaur dengan masyarakat etnis Lampung, yakni melalui aktivitas yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Observasi ini dilakukan pada saat kegiatan gotongroyong, rapat-rapat, aktivitas ekonomi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, acara keagamaan seperti perayaan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Galungan, Kuningan, Nyepi, dan lain-lain. Observasi ini juga dimaksudkan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya apakah telah sesuai dengan hasil wawancara, sehingga dapat teruji kebenarannya.
34
b) Data sekunder
1. Studi Kepustakaan Yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menghimpun dan menelaah sumber-sumber atau bahan-bahan pustaka, seperti dokumen, buku, jurnal, modul, makalah, dan hal yang sifatnya tertulis yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
2. Dokumentasi Yaitu cara mengumpulkan data dengan melakukan pencatatan terhadap dokumen-dokumen, seperti arsip-arsip, peraturan-peraturan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
F. Teknik Pengolahan data
Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah berupa pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: a. Tahap pemeriksaan data atau editing, yakni proses pemeriksaan kembali terhadap data yang diperoleh dan yang sesuai dengan penelitian. Data tersebut berhubungan dengan bentuk dan intensitas interaksi sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyyarakat etnis Lampung. Tahap pemeriksaan data dilakukan dari data hasil wawancara, observasi, maupun yang diperoleh melalui studi pustaka. b. Klasifikasi data atau koding yakni pengelompokan data menurut kerangka bahasan yang telah ditentukan dalam penelitian ini.
35
c. Interpretasi data, yakni melakukan penafsiran atau pandangan teoritis terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian setelah diklasifikasikan secara sistematis untuk mempermudah pemahaman.
G. Teknik Analisis Data
M. Nasir (1983:405) mengartikan analisa data sebagai kegiatan mengelompokkan, membuat suatu ukuran, dan memanipulasi data sehingga mudah dibaca. Proses analisa data kualitatif menurut Matthew B. Millies dan A. Michael Huberman (1992:17) akan melaui proses sebagai berikut: 1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian, dan penyederhanaan data yang diperoleh dari catatan-catatan di lapangan kemudian direduksi untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisir data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya bisa ditarik.
2. Display/Penyajian Data
Dsplay merupakan kumpulan informasi yang tersusun rapih dan biasanya disajikan dalam bentuk matrik, tabel, atau bagan. Pada penelitian ini, penyajian data dilakukan melalui cara penampilan tabel dan juga narasi berdasarkan hasil wawancara yang kemudian disajikan atas dasar penggolongan jawaban atas pertanyaan sejenis sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan secara menyeluruh untuk setiap topik yang menjadi tema pertanyaan dari penelitian ini.
36
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Kelurahan Labuhan Ratu
Pada tahun 1876 yang lalu, beberapa keluarga penduduk asli Lampung Abung datang ke suatu tempat yang belum ramai dihuni oleh penduduk campuran, dan hanya terdapat penduduk keturunan Buay Tegak yang berasal dari sebuah kampung yang bernama Pulau Jwo yang terletak di pinggir Way Sekampung di sebelah hilir (lebih kurang 12 km) dari kampung Rulung Hellok Tegineneng Negeri Buku. Tujuan kedatangan penduduk asli Lampung Abung ini tidak lain adalah ingin mendirikan suatu perkampungan baru dan menetap untuk selamanya hingga ke anak cucu. Kini perkampungan baru tersebut diberi nama Kelurahan Labuhan Ratu.
Pemberian nama Kelurahan Labuhan Ratu menurut cerita para tetua adat adalah untuk mengenang sejarah di masa lampau sewaktu Sultan Banten berkunjung ke Lampung menuju Buyut melalui Way Sekampung dan singgah di Pulau Jwo di sekitar abad ke 17. Peristiwa kunjungan Sultan Banten itu, menurut cerita sangat meriah karena mengundang para tetua adat Kampung Pulau Jwo untuk menyambut tamu dari kesultanan Banten tersebut. Atas kesepakatan penduduk setempat, maka tetua adat dan penyimbang sepakat memberi nama daerah tersebut dengan Labuhan Ratu. Kelurahan Labuhan Ratu merupakan wilayah yang
37
termasuk ke dalam Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. Kelurahan Labuhan Ratu terbagi menjadi dua yaitu Kelurahan Labuhan Ratu dan Kelurahan Labuhan Dalam.
B. Letak dan Kondisi Geografis
Secara geografis, Kelurahan Labuhan Ratu terletak di bagian Barat dari Kecamatan Kedaton, memiliki luas wilayah 317 Ha dengan ketinggian 122 M dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2000-3000 mm. Kondisi geografis di Kelurahan Labuhan Ratu akan dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut:
1. Tata Guna Lahan
Kelurahan Labuhan Ratu yang memiliki permukaan tanah sedikit tinggi dengan warna tanah yang kehitam-hitaman menunjukkan bahwa tanah di daerah tersebut subur. Adapun penggunaan lahan di Kelurahan Labuhan Ratu dapat terlihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel. 3 Penggunaan Lahan di Kelurahan Labuhan Ratu, Tahun 2008 No Penggunaan 1. Tanah untuk jalan 2. Pemukiman/perumahan 3. Sekolah 4. Rumah ibadah 5. Kuburan 6 Pertokoan 7 Sawah/ladang Jumlah Jumlah Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008
Luas 8 Km 213,8 Ha 1 Ha 1 Ha 4 Ha 2,2 Ha 87 Ha 317 Ha
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan di Kelurahan Labuhan Ratu dipergunakan untuk perumahan penduduk, di samping
38
itu, ada pula yang dipergunakan untuk sawah tadah hujan, tegalan, kebun, peruntukan rumah ibadah, dan sebagain kecil untuk kuburan dan perguruan tinggi/sekolah.
2. Batas Wilayah
Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Labuhan Ratu Kecamatan Kedaton Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan jalan By Pass (Soekarno Hatta). b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Gunung Terang dan Segala Mider. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gedung Meneng (Raja Basa). d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kedaton dan Sepang Jaya.
3. Jenis Tanaman dan Hewan
Jenis tanaman pertanian di Kelurahan Labuhan Ratu ini masih banyak karena masih terdapat lahan kosongnya, baik buah-buahan maupun jenis sayuran atau palawija. Hewan yang dipelihara di wilayah Kelurahan Labuhan Ratu, antara lain kambing, ayam, dan sapi.
4. Jarak Orbitrasi
a. Jarak dari Pemerintahan Kecamatan
: 1, 25 km.
b. Jarak dari Ibukota Bandar Lampung
: 5 km.
c. Jarak dari Ibukota Provinsi Lampung
: 8, 25 km.
39
5. Jumlah Penduduk
a. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Adapun jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7
Umur (tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah % 0-4 453 504 957 6,34 5-6 518 697 1.215 8,05 7-13 787 840 1.627 10,79 14-16 821 907 1.728 11,45 17-24 1.893 1.905 3.798 25,20 25-54 2087 2.103 4.190 27,77 > 55 762 807 1.569 10,40 Total 7.321 7.763 15084 100 Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu adalah 15.084 Jiwa, dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 7.321 dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 7.763. Berdasarkan data di atas dapat diketahui juga bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu memiliki angkatan kerja yang produktif yaitu pada usia (25-54) tahun dengan persentase 27,77% lebih tinggi dibandingkan dengan angkatan kerja belum produktif yaitu pada usia (0-13) tahun dan angkatan kerja tidak produktif (>55 tahun).
40
b. Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan matapencahariannya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Mata Pencaharian, Tahun 2008 No
Jenis Mata Pencaharian
Laki-Laki
Perempuan
1 2 3 4 5 6 7 8
PNS 1.067 745 TNI/Polri 97 9 Pedagang 867 971 Petani 543 219 Pertukangan 314 Buruh 1.642 978 Pensiunan 129 98 Lain-lain 2.510 4.895 Total 7.169 7.915 Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008
Jumlah
%
1.812 12,01 106 0,70 1.838 12,2 762 5,05 314 2,08 2.620 17,36 227 1,50 7.405 49,1 15.084 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu yang bekerja sebagai PNS sebesar 12,01%, TNI/Polri sebesar 0,70%, pedagang sebesar 12,2%, petani sebesar 5,05%, pertukangan sebesar 2,08%, buruh sebesar 17,36%, pensiunan sebesar 1,5%, serta lain-lain sebesar 49,1%. Berdasarkan tabel di atas juga dapat diketahui bahwa perempuan di Kelurahan Labuhan Ratu memiliki andil yang besar dalam membantu perekonomian rumahtangga, hal itu terlihat dari banyaknya jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan yang bekerja, baik di sektor formal maupun informal.
c. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan
Adapun jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 6.
41
Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2008 No
Tingkat Pendidikan
LakiPerempuan Laki 1 Sarjana 971 932 2 Sarjana Muda 866 915 3 SMA 2.022 2.151 4 SMP 1.806 2.047 5 SD 772 783 6 TK 430 439 7 Belum Sekolah 464 504 Total 7.313 7.771 Sumber: Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008
Jumlah
%
1.903 12,61 1.781 11.80 4.173 27,66 3.853 25,54 1.555 10,30 869 5,76 968 6,41 15.084 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu yang bergelar pendidikan sarjana adalah sebesar 12,61 %, sarjana muda sebesar 11,8%, berpendidikan SMA sebesar 27,66%, berpendidikan SMP 25,54%, dan berpendidikan SD sebesar 10,30%. Berdasarkan tabel di atas juga dapat diketahui bahwa kesadaran penduduk akan arti pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi, hal ini terlihat dari besarnya persentase penduduk yang mengenyam pendidikan hingga SMA ke atas lebih dari 50% dan juga tidak ada penduduk Kelurahan Labuhan Ratu yang buta huruf.
d. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama
Adapun jumlah penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan agama yang dianut disajikan pada Tabel 7.
42
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu berdasarkan Agama, Tahun 2008 No 1 2 3 4 5
Agama yang dianut Jumlah % Islam 14.839 98,37 Kristen 182 1,20 Katolik 25 0,17 Hindu 29 0,19 Budha 9 0,07 Total 15.084 100 Sumber:Monografi Kelurahan Labuhan Ratu Tahun 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Labuhan Ratu mayoritas memeluk agama Islam dengan persentase sebesar 98,37%, kemudian diikuti oleh penganut agama Kristen (1,20%), Katolik (0,17%), Hindu (0,19%), dan Budha (0.07%).
C. Stuktur Pamong
Kelurahan Labuhan Ratu pada saat ini dipimpin oleh seorang Lurah yang bernama Afiansyah Noor, SH. Kelurahan Labuhan Ratu terdiri dari 3 (tiga) Lingkungan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Lingkungan. Lingkungan I dipimpin oleh Muhindar A. Roni, SH, Lingkungan II dipimpin oleh Khermansyah, dan Lingkungan III dipimpin oleh Irwansyah Thohir. Masingmasing Lingkungan tersebut terdiri dari beberapa RT. Lingkungan I terdiri dari 8 (delapan) RT, Lingkungan II terdiri dari 8 (delapan) RT, dan Lingkungan III terdiri dari 16 (enam belas) RT.
Adapun struktur pamong yang terdapat di Kelurahan Labuhan Ratu adalah sebagai berikut:
43
Struktur Pamong Kelurahan Labuhan Ratu
Lurah Afiansyah Noor, SH
Lingkungan I Muhidar A. Roni, SH
RT
Lingkungan II Khermansyah
RT
Lingkungan III Irwansyah Thohir
RT
D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Labuhan Ratu
Lurah dalam kepemimipinannya memiliki tanggungjawab langsung terhadap Camat atas semua Lingkungan yang ada dalam naungannya. Lurah dalam beraktifitas dibantu oleh seorang Sekretaris dan empat orang Kasi, yaitu Kasi Pemerintahan dan Pelayanan Umum, Pemberdayaan Masyarakat, Trantib, dan Pembangunan.
Adapun struktur organisasi Pemerintahan Kelurahan Labuhan Ratu adalah sebagai berikut:
44
Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Labuhan Ratu
Camat Kedaton
Lurah
Sekretaris
Kasi Pemerintahan dan Pelayanan Umum
Kasi Pemberdayaan Masyarakat
Kasi Trantib
Kasi Pem bangunan
E. Gambaran Umum Etnis Pendatang
1. Sejarah Awal Kehadiran Etnis Pendatang di Bandar Lampung
Etnis Banten merupakan etnis luar pertama yang masuk Lampung sejak zaman Sultan Agung Tirtayasa pada abad ke 17 dengan menempatkan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut Jenang atau Gubernur (sebutan sekarang). Keberadaan wakil Sultan Banten di Lampung adalah untuk menguasai dan memonopoli hasil-hasil bumi terutama lada.
45
Selain etnis Banten, adapula etnis Bugis yang masuk ke Lampung pada abad ke 19. Salah satu buktinya adalah berdirinya Mesjid Jami Al-Anwar di Teluk Betung yang dibangun oleh keturunan etnis Bugis pada tahun 1883. Pada mulanya, mesjid ini berupa surau, namun hancur karena Gunung Krakatau meletus dan kemudian dibangun kembali pada tahun 1888.
Pada abad ke 19, diperkirakan etnis Bengkulu juga telah masuk ke wilayah Bandar Lampung. Hal itu terlihat dari adanya Mesjid Jami Al-Yaqin di Jalan Raden Intan yang dibangun etnis Bengkulu. Semula mesjid tersebut terletak di dekat pos polisi pasar bawah, namun kemudian dipindahkan di depan BRI Jalan Raden Intan (www.kongesbud.budsar.go.id).
Sementara itu, kedatangan etnis Jawa di Lampung pertamakali terjadi pada tahun 1905 melalui program kolonisasi dan dilanjutkan dengan program transmigrasi, sedangkan etnis Bali berada di Lampung dilatarbelakangi oleh meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963.
2. Sejarah Awal Kehadiran Etnis Pendatang di Kelurahan Labuhan Ratu
Penduduk Kelurahan Labuhan Ratu, khususnya di RT 04 Lingkungan III, didomonasi oleh etnis Lampung yang merupakan masyarakat asli di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Adapun etnis lainnya yang menetap di RT 04 Kelurahan Labuhan Ratu adalah etnis Jawa, Palembang, Bali, dan Cina.
Kedatangan masyarakat etnis Bali di Kelurahan Labuhan Ratu pertamakali di pelopori oleh I Ketut Lindih, kemudian diikuti oleh I Nyoman Merdana. Masyarakat etnis Bali di RT 04 Lingkungan III terdiri dari lima keluarga.
46
Walaupun hanya lima keluarga, akan tetapi keberadaan masyarakat etnis Bali di RT 04 memberikan nuansa yang cukup berbeda bagi masyarakat etnis Lampung di daerah tersebut.
3. Gambaran Kehidupan Masyarakat Etnis Lampung dengan Masyarakat Etnis Bali dalam Kehidupan Sehari-Hari
Hidup rukun antar sesama manusia merupakan salah satu gambaran bahwa manusia tersebut dapat hidup berdampingan dengan manusia lainnya yang memiliki latarbelakang suku, agama, dan ras yang berbeda. Gambaran tersebut nampak juga pada masyarakat etnis Lampung yang hidup rukun berdampingan dengan masyarakat etnis Bali.
Kehidupan bermasyarakat antara masyarakat etnis Lampung dan masyarakat etnis Bali terlihat dari keterlibatan seluruh masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti acara gotong-royong, kegiatan ronda malam, kegiatan memperingati perayaan HUT kemerdekaan RI, maupun kegiatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran masyarakat terhadap kehidupan bersama dan keperdulian terhadap lingkungan sekitar. Kerjasama antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali di Kelurahan Labuhan Ratu merupakan hasil dari relasi pertemanan yang dibangun atas dasar sikap saling menghormati dan menghargai antara satu sama lainnya, serta tidak mencampuradukan antara kepentingan kemasyarakatan dengan kepentingan keagamaan. Dengan demikian kerjasama yang terbangun antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak.
47
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat etnis Lampung dalam berkomunikasi dengan masyarakat etnis Bali umumnya menggunakan bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami, akan tetapi ada juga masyarakat etnis Bali yang dapat berbicara menggunakan bahasa Lampung pada saat berinteraksi dengan masyarakat etnis Lampung.
Dasar utama bagi seseorang agar tidak terasing bahkan terasingkan di dalam suatu masyarakat adalah kepekaan serta keperdulian mereka terhadap lingkungan sekitar, terlebih bagi mereka yang merupakan masyarakat pendatang, sudah tentu memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Begitupula dengan masyarakat etnis Bali yang mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat etnis Lampung yang merupakan masyarakat asli di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Hubungan masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung serta dengan masyarakat lainnya, terjalin atas dasar bahwa hidup membutuhkan orang lain. Hingga sampai saat ini, apabila masyarakat Bali sedang mengadakan kegiatan atau acara, masyarakat etnis Lampung juga ikut membantu, begitupun sebaliknya.
48
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Informan
Setelah dilakukan penelitian (wawancara) terhadap sepuluh orang informan, berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian yang menunjukkan profil informan serta pembahasan tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu.
Informan I
Informan pertama bernama I Ketut Lindih, berusia 52 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai Polisi (Brimob).
Informan II
Informan kedua bernama I Nyoman Merdana, berusia 54 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta di perusahaan Farmasi serta membuka usaha dagang di rumah.
49
Informan III
Informan ketiga bernama I Putu Ardike, berusia 42 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta.
Informan IV
Informan keempat bernama Nengah Priana, berusia 44 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta.
Informan V
Informan kelima bernama Nyoman Sumantra, berusia 47 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Bali dan beragama Hindu. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai wiraswasta serta membuka usaha dagang di rumahnya.
Informan VI
Informan keenam bernama Usman, berusia 40 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali juga sebagai buruh (membersihkan rumput).
50
Informan VII
Informan ketujuh bernama Soni, berusia 45 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai tukang ojek dan sesekali juga bekerja sebagai buruh bangunan.
Informan VIII
Informan kedelapan bernama Deni Saputra, berusia 50 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai buruh bangunan.
Informan IX
Informan kesembilan bernama Busroni, berusia 52 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan saat ini bekerja sebagai buruh bangunan.
Informan X
Informan kesepuluh bernama Rustam Efendi berusia 52 tahun. Informan merupakan masyarakat asli etnis Lampung dan beragama Islam. Informan menyelesaikan pendidikan terakhir hingga Sekolah Menegah Atas, dan saat ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
51
B. Deskripsi Hasil Penelitian
Informan I
Pak I Ketut Lindih melakukan perpindahan tempat tinggal dari Bali ke Lampung (di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu) tidak lain dikarenakan ingin mengadu nasib. Ia pertamakali menginjakkan kaki di RT 04 Lingkungan III pada tahun 1974.
Pak I Ketut mengatakan: “Pada awal kepindahan kami ke sini, suasananya masih sangat sepi. Terlebih karena masih banyak alang-alang yang tumbuh tinggi hingga selutut kaki orang dewasa, pohon tangkil yang lebat dan banyak pohon kelapa, selain itu masyarakat yang bermukim di sini masih sedikit, jadi belum banyak orang, tapi justru itu mereka senang dengan kedatangan kami karena jadi nambah tetangga baru”.
Pada umumnya, seorang individu yang menempati wilayah baru tentu akan mengalami proses adaptasi dan melakukan interaksi dengan masyarakat dilingkungannya. Hal itu tidak lain karena individu merupakan unit terkecil dari masyarakat sehingga mau tidak mau berhubungan dengan lingkungan sosial. Adapun yang diharapkan dari adanya hubungan tersebut yakni menumbuhkan keserasian diantara satu sama lainnya sehingga menciptakan kenyamanan dan ketentraman.
Menurut Pak Ketut, pada awal kedatangannya di RT 04 Lingkungan III ini, ada sedikit perasaan takut di dalam dirinya. Hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa masyarakat etnis Lampung memiliki kepribadian yang keras. Namun tidak lantas Pak Ketut tidak mau melakukan interaksi dengan masyarakat etnis
52
Lampung. Pak Ketut menyadari, sebagai masyarakat pendatang sudah seharusnya dia melakukan sosialisasi dengan masyarakat setempat yang merupakan masyarakat asli etnis Lampung.
Ditanyakan mengenai interaksi sosialnya, Pak Ketut mengatakan bahwa interaksi merupakan hubungan yang terjalin antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, ataupun kelompok dengan kelompok. Pak Ketut menuturkan bahwa wujud interaksi yang ia lakukan dengan masyarakat etnis Lampung adalah dengan ikut membantu, serta melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang diadakan di RT 04 Lingkungan III, baik kegiatan sosial, yakni kegiatan gotongroyong, menjaga
keamanan
lingkungan
(siskamling),
kegiatan
perayaan
HUT
kemerdekaan RI, maupun kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti menghadiri undangan khitanan, aqiqahan, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut Pak Ketut menuturkan bahwa dalam kegiatan sosial, seperti kegiatan menjaga keamanan lingkungan (siskamling), maka masyarakat mendapatkan giliran untuk jaga malam, berkeliling di seputaran lingkungan RT 04 secara bersama-sama guna menghindari adanya tindakan kriminal, seperti pencurian, dan lain sebagainya. Diakui oleh Pak Ketut, kegiatan seperti ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap keamanan lingkungan tempat mereka tinggal, begitupun halnya dengan kegiatan gotongroyong yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan RT 04 Labuhan Ratu, merupakan bentuk lain dari keperdulian masyarakat akan keindahan lingkungan.
Sedangkan interaksi yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya, Pak Ketut menuturkan bahwa istrinya mencoba menjalin relasi pertemanan yang baik
53
dengan ibu-ibu yang berada di RT 04 Lingkungan III ini. Lebih lanjut Pak Ketut menuturkan bahwa di sela rutinitasnya sebagai seorang Guru, istrinya tetap mengikuti kegiatan yang diadakan oleh ibu-ibu yang berada di sini seperti mengikuti kegiaan PKK, ikut serta dalam berbagai kegiatan perlombaan acara tujuh belasan (meliputi perlombaan balap karung ibu-ibu, pembuatan nasi tumpeng dan lain sebagainya). Sedangkan putra mereka bermain dengan anakanak yang berada di sekitar rumahnya.
Kegiatan-kegiatan tersebut di atas merupakan bentuk-bentuk dari hubungan antar manusia yang dibangun di atas landasan kebersamaan sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Sedangkan hubungan yang dibangun secara batiniah, yaitu mau berkorban untuk kepentingan orang lain akan menjadi lebih sulit terlebih bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah perkotaan yang syarat dengan sikap individualisme. Menurut Pak Ketut, membantu meringankan beban orang lain merupakan wujud keperdulian terhadap sesama. Lebih lanjut Pak Ketut mengatakan bahwa ia sering dimintai bantuan oleh masyarakat etnis Lampung untuk mengantarkan salah satu dari anggota keluarganya yang sedang sakit untuk dibawa ke rumahsakit.
Setiap masyarakat akan hidup tenteram apabila hubungan-hubungan sosial di antara anggotanya berlangsung secara teratur menurut nilai dan norma yang berlaku. Artinya, setiap hubungan sosial di dalam masyarakat tidak terganggu melainkan semuanya berjalan secara harmonis dan tertib. Sebaliknya, bila interaksi atau hubungan itu menyimpang dari nilai, norma, dan tata kelakuaan yang berlaku, maka hubungan sosial akan terganggu dan akibatnya kehidupan
54
sosial pun akan kacau. Hubungan sosial yang tidak teratur akan mengakibatkan konflik.
Mengenai konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, Pak Ketut menuturkan bahwa selama ia berada di RT 04, belum pernah terjadi konflik dan berharap jangan sampai berkonflik. Lebih jauh Pak Ketut menjelaskan ia memang pernah melihat terjadi keributan namun antar sesama masyarakat etnis Lampung, seperti perkelahian antar pemuda yang terjadi pada saat malam puncak HUT RI.
Rutinitas pekerjaanya sebagai seorang Brimob, dirasakan oleh Pak Ketut sedikit membuatnya sulit untuk dapat berkumpul dan bertatapmuka, melainkan pada saat acara-acara seperti pernikahan, khitanan, belasungkawa, selain dari pada kegiatan gotongroyong, siskamling yang dilakukan pada saat sedang tidak bekerja ataupun pada hari-hari libur. Pak ketut mengatakan bahwa: “Biasanya di sini kalau ada acara gotongroyong diadain pada hari-hari libur (seperti hari minggu) karena hampir rata-rata masyarakat di sini pada kerja dek. Makanya juga kami jarang sekali bertemu, hanya sesekali saja, seperti saat bertemu selepas pulang kerja, lagi meraton, sedang berbelanja di warung, itu juga tidak lama, sekitar 10-15 menit, tapi kalau pas hari libur atau lagi gak kerja, bisa lama kami ngumpul-ngumpul, ya sekitar 2-3 jam. Pada saat bertemu, biasanya kami suka membahas tentang berita yang sedang hangat di Nusantara (nama jalan) ini.
Lebih jelasnya, Pak Ketut mengungkapkan bahwa kegiatan seperti gotongroyong, siskamling, dan perayaan HUT Kemerdekaan RI sangatlah bermanfaat karena dapat menguatkan tali silahturahmi diantara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung sehingga melebur menjadi satu keluarga tanpa membeda-bedakan SARA. Menurut Pak Ketut, kegiatan tersebut juga merupakan
55
bagian dari falsafah hidup masyarakat Bali (Tri Hita Karana) yakni menjaga hubungan antar sesama manusia (pawongan) yang ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hidup rukun berdampingan merupakan dambaan setiap lapisan masyarakat. Begitupun yang dirasakan oleh Pak Ketut sekeluarga. Pak Ketut menuturkan bahwa ia dan keluarga mencoba untuk menyelami karakter atau pembawaan dari masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Lebih lanjut Pak Ketut menuturkan, setidaknya ia dapat menempatkan diri dalam lingkungan dan kultur masyarakat di sini.
Hubungan yang terjalin antara Pak Ketut (dan keluarganya) terhadap tetangga yang berada di sekitarnya, baik terhadap masyarakat etnis Lampung maupun etnis lainnya, dapat dikatakan cukup baik. Menurut Pak Ketut, hubungan tersebut dibangun atas dasar sikap saling menghormati dan menghargai antara satu sama lainnya. Lebih lanjut Pak Ketut menjelaskan bahwa sikap saling menghormati dan menghargai itu nampak jelas manakala masyarakat etnis Lampung sedang merayakan hari besar keagamaan, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dimana masyarakat etnis Bali tidak segan-segan mengulurkan tangan terlebih dahulu seraya mengucapakan Minal Aidil Walfaidzin sebagai tanda permohonan maaf mereka apabila ada perbuatan yang kurang menyenangkan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Demikian halnya pada saat perayaan hari keagamaan umat Hindu, seperti pada Hari Nyepi, masyarakat etnis Lampung yang tinggal di sekitar masyarakat etnis Bali juga menghormatinya dengan tidak menguatkan volume televisi dan radio
56
karena dikhawatirkan dapat menggangu jalannya peribadatan masyarakat etnis Bali, begitu juga bagi masyarakat etnis Lampung yang rumahnya tidak berdekatan, mereka memilih untuk berdiam diri di rumah saja.
Rasa persaudaran antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung juga dapat terlihat dari kepedulian mereka terhadap orang-orang yang berada di sekililing tempat mereka tinggal. Pak Ketut mengatakan: “Apabila ada tetangga yang sedang sakit, atau mendengar ada yang sedang mendapatkan musibah, kami datang ke rumah orang yang bersangkutan tadi sebagai bentuk kepedulian serta perhatian terhadap apa yang sedang mereka rasakan”.
Menurut Pak Ketut, mendatangi tetangga yang sedang terkena musibah selain sebagai bentuk kepedulian, hal itu juga dapat menumbuhkan rasa empati terhadap apa yang sedang mereka rasakan. Lebih lanjut Pak Ketut mengungkapkan bahwa hal itu juga dapat menyadarkan bahwa manusia hendaknya lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekitar tempatnya bermukim
Informan ke II
Pak I Nyoman Merdana pada dasarnya melakukan perpindahan tempat tinggal dari Bali ke Lampung tidak lain dikarenakan ingin merubah nasib. Ia berkeinginan menjadi Polisi di Lampung. Pak Nyoman berada di Bandar Lampung, khususnya di RT 04 Lingkungan III, pada tahun 1986 yang mana pada saat itu Beliau baru memiliki seorang putri yang berusia 2 tahun bernama Putu Oka Lestari.
Pak Nyoman mengatakan: “Pada saat itu, keadaan dan suasana di sini sungguh sangat menyeramkan karena masih banyak pohon yang besar sehingga masih banyak binatang buas
57
seperti ular yang berkeliaran di sekitar rumah Bapak. Hal itu membuat kami cemas karena putri bapak masih kecil, takutnya ular itu disangka mainan lagi”.
Semenjak dilahirkan, manusia sudah memiliki naluri untuk hidup berkawan sehingga dia disebut social animal. Naluri untuk berkawan tersebut yang mendasari seseorang untuk melakukan interaksi sosial. Hal itu juga diungkapkan oleh Pak Nyoman yang mengatakan bahwa interaksi sosial sangat diperlukan untuk mengenal antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, dengan interaksi kita juga akan mudah memahami sifat dan karakter masyarakat di sini.
Sebagai masyarakat pendatang, sudah tentu seseorang akan melakukan proses penyesuaian diri dengan masyarakat setempat, yakni dengan cara melakukan interaksi sosial. Mengenai interaksi sosial, Pak Nyoman menuturkan bahwa interaksi merupakan langkah awal yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun hubungan baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok. Lebih lanjut Pak Nyoman mengatakan bahwa interaksi yang ia lakukan beserta keluarga, merupakan wujud dari pelaksanaan Desa Kala Patra, yaitu menjunjung tinggi hubungan sosial dan kultural sesuai dengan tempat, keadaan, dan waktu (dimana kaki berpijak di situ langit di junjung) ujar Pak Ketut.
Ketika pertamakali berada di RT 04 Lingkungan III, bentuk penyesuaian yang di lakukan Pak Nyoman adalah ikut melibatkan diri dalam setiap acara yang diadakan oleh masyarakat setempat, baik dalam bentuk kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Pak Nyoman menuturkan bahwa: “Setiap ada acara yang diadakan oleh masyarakat di sini, mulai dari kegiatan gotongroyong membersihkan rumput, acara tujuh belasan, atau kegiatan
58
siskamling, bapak usahakan datang, apalagi kalau ada tetangga yang sedang sakit atau meninggal dunia”.
Menurut Pak Nyoman, kegiatan seperti gotongroyong yang ia lakukan beserta masyarakat lainnya merupakan bentuk kepedulian masyarakat akan kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka dan juga merupakan wujud rasa kesatuan dan pengabdian diri sebagai anggota masyarakat RT 04 Lingkungan III. Lebih lanjut Pak Nyoman mengatakan bahwa kegiatan tersebut di atas dilakukan dalam rangka kepentingan umum, yaitu kewajiban manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kepentingan yang didasarkan atas dasar rasa empati terhadap keadaan seseorang, Pak Nyoman mengatakan bahwa ia pernah memberikan pinjaman berupa barang seperti beras, telor, terhadap masyarakat etnis Lampung yang belum mampu membeli secara lunas karena tidak memiliki uang.
Pak Nyoman menuturkan bahwa tidak hanya dirinya saja, istrinyapun juga selalu ikut ambil bagian dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh masyarakat setempat, seperti menjadi anggota PKK, ikut andil dalam berbagai lomba pada kegiatan HUT Kemerdekaan RI, dan lain sebaginya. Menurut Pak Nyoman, keikutsertaan istrinya dalam berbagai kegiatan di atas, bertujuan untuk memeriahkan acara serta mempererat rasa kebersamaan antar sesama.
Keharmonisan hidup bertetangga antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, dapat selaras dan seimbang di lokasi ini dikarenakan adanya sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada antara satu sama lainnya, serta tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagi awal penyebab konflik. Pak Nyoman menyatakan:
59
“Selama bapak tinggal di sini, bapak tidak pernah merasa dibeda-bedakan. Kedatangan bapak di RT 04 ini diterima oleh masyarakat di sini. Buktinya, bapak selalu diundang dalam berbagai kegiatan yang ada di sini, seperti dalam acara pernikahan, khitanan, aqiqahan, dan lain sebagainya. Begitupun sebaliknya apabila bapak ada acara, bapak juga mengundang mereka. Selain itu juga mereka sangat menghormati apabila kami sedang merayakan hari-hari besar keagamaan, seperti Hari Nyepi, Galungan, dan lain-lain. Begitupula kami menghormati acara-acara keagamaan mereka, misalnya pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, terkadang bapak mengucapkan maaf terlebih dahulu kepada mereka”.
Pak Nyoman mengatakan bahwa ia dan keluarganya menginginkan dan mengupayakan terciptanya suasana bersahabat dengan masyarakat etnis Lampung. Hal itu dilakukan dengan cara menjaga sikap dan perilaku mereka, yaitu tidak menyakiti hati orang lain. Menurut Pak Nyoman, menyakiti perasaan orang lain sama halnya dengan menyakiti diri sendiri, karena pada dasarnya manusia adalah saudara dari manusia lainnya, dan dalam masyarakat Bali, itu merupakan makna dari ajaran Tat Twam Asi yang merupakan falsafah hidup masyarakat etnis Bali. Selain itu Pak Nyoman menjelaskan bahwa Tat Twam Asi merupakan landasan etik dan moral bagi masyarakat etnis Bali di dalam menjalani hidupnya.
Mengenai konflik terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam melakukan interaksi secara tatapmuka, Pak Nyoman menuturkan bahwa selama keberadaannya di RT 04 Lingkungan III ini tidak pernah terjadi. Lebih lanjut Pak Nyoman mengatakan bahwa sangatlah mudah seseorang dalam mencari musuh, akan tetapi menjalin persaudaraan tidaklah mudah. Oleh karena itu Pak Nyoman menanamkan pada diri pribadi dan keluarganya agar dalam bertuturkata hendaknya jangan sampai melukai hati orang lain.
60
Diakui oleh Pak Nyoman, selama ia tinggal di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu, ia juga dapat mengetahui kebudayaan serta adat istiadat masyarakat etnis Lampung. Bahkan tidak segan-segan Pak Nyoman sering bertanya kepada masyarakat etnis Lampung seperti tentang bahasa Lampung itu sendiri, kebudayaan (seperti kawin lari), dan hal-hal lainnya..
Pak Nyoman menuturkan bahwa, ia terkadang menggunakan bahasa Lampung bila
bertemu
dengan
masyarakat
etnis
Lampung,
walaupun
terkadang
dipertengahan pembicaraannya, Pak Nyoman berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Lebih lanjut Pak Nyoman mengatakan bahwa ia juga terkadang mengetahui informasi mengenai tetangga yang sedang sakit, meninggal dunia, dan yang sedang terkena musibah pada saat ia melayani masyarakat yang sedang berbelanja.
Setelah mengetahui kabar tersebut, biasanya Pak Nyoman bergegas pergi dan mengajak masyarakat lainnya untuk melayat atau menjenguk tetangganya yang terkena musibah sebagai bentuk solidaritas. Oleh Pak Nyoman, warung selain sebagai tempat untuk jual beli, juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk berbincang-bincang. Pak Nyoman mengatakan bahwa: “Bapak hampir setiap hari berbincang-bincang dengan masyarakat etnis Lampung yang ada di sini. Kami biasanya menghabiskan waktu berbincangbincang bisa 1 sampai 1,5 jam sembari nyore dek, wajarlah karna pagi kami pada kerja dan biasanya kami suka membicarakan masalah dunia olahraga, kayak sepakbola, bulutangkis, dan lain-lain”.
61
Informan Ke III
Pak I Putu Ardike melakukan perpindahan dari Bali ke Lampung tidak lain dikarenakan ingin mengadu nasib. Pak Putu berada di RT 04 Lingkungan III yakni sejak tahun 1987.
Pak Putu mengatakan bahwa: “Keadaan di sini dulu masih penuh oleh pohon-pohon yang lebat sehingga jadi seram apabila mau keluar malam. Lampu penerangan jalan juga belum ada waktu itu, hanya lampu berukuran kecil sebagai penerangan ala kadarnya saja.
Merupakan suatu kenyataan bahwa setiap individu atau manusia tidak dapat hidup tanpa individu lainnya. Hal ini diungkapkan oleh I Putu Ardike yang mengatakan bahwa manusia memerlukan individu lainnya, oleh karena itu manusia melakukan interaksi, yakni dengan cara menjalin relasi pertemanan. Lebih lanjut Pak Putu mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri dalam melakukan interaksi, baik untuk kepentingan pribadi atau individu maupun kepentingan umum.
Pak Putu menuturkan bahwa sebagai masyarakat pendatang sudah seharusnya ia membaurkan diri ke dalam masyarakat yang berada di RT 04 Lingkungan III yang tidak lain sebagian besar dihuni oleh masyarakat asli etnis Lampung. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial yang memiliki kepentingan terhadap anggota masyarakat di tempatnya bermukim, Pak Putu ikut berperan dalam segala bentuk kegiatan, seperti gotongroyong membersihkan rumput, siskamling, perayaan HUT Kemerdekaan RI, dan lain sebagainya. Diakui oleh Pak Putu, kegiatan-kegiatan tersebut dirasakan sangat bermanfaat bagi seluruh masyarakat yang ada di RT 04
62
Lingkungan III Labuhan Ratu. Lebih lanjut Pak Putu mengatakan, kegiatan seperti ikut acara siskamling dapat berguna untuk menjaga keamanan di lingkungan RT, sementara kegiatan gotongroyong dapat memotivasi diri agar dapat hidup bersih. Pak Putu menjelaskan bahwa inti dari semua kegiatan tersebut adalah menumbuhkan rasa kebersamaan antara satu sama lainnya.
Rasa kebersamaan belum tentu memastikan bahwa seseorang tersebut dekat secara emosional dalam arti ikut merasakan dan membantu meringankan beban orang lain. Pak Putu mengatakan bahwa selama tinggal di Rt 04 Lingkungan III ini, ia pernah merasakan betapa pentingnya arti sebuah tetangga. Lebih lanjut Pak Putu mengatakan bahwa ia pernah dipinjami sejumlah uang oleh masyarakat etnis Lampung ketika anaknya sedang sakit dan memerlukan biaya perawatan yang cukup mahal.
Menurut Pak Putu tidak hanya dirinya saja yang berbaur dengan masyarakat etnis Lampung, istrinyapun ikut andil dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh ibuibu RT 04 Lingkungan III ini. Lebih lanjut Pak Ketut menjelaskan bahwa istrinya ikut dalam kegiatan ibu-ibu PKK serta arisan bulanan. Menurut Pak Ketut, istrinya mengikuti kegiatan PKK serta arisan bulanan dengan maksud untuk menghilangkan rasa jenuh atau sekedar refresing dari segala rutinitas pekerjaan rumahtangga.
Kedatangan Pak Putu di RT 04 Lingkungan III disambut hangat oleh masyarakat etnis Lampung yang tinggal di RT 04 Lingkungan III. Kedatangan Pak Putu membuat suasana di RT 04 sedikit lebih ramai walaupun sebelumnya ada perasaan takut dalam diri Pak Putu melihat cara berbicara masyarakat etnis
63
Lampung yang sedikit bernada tinggi, namun seiring berjalannya waktu, Pak Putu menyadari hal itu merupakan karakter dari masyarakat etnis Lampung.
Menurut Pak Putu, hal yang sama juga dilakukan oleh istri dan anaknya. Pak Putu menjelaskan, pada awal keberadannya di sini, istrinya mencoba membangun hubungan komunikasi dengan cara ikut dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh masyarakat di sini, seperti kegiatan PKK. Diakui oleh Pak Putu, dengan mengikuti kegiatan PKK ini, diharapkan akan mempermudah istrinya dalam bergaul dengan ibu-ibu lainnya, mengingat istri Pak Putu merupakan sosok yang pendiam. Sedangkan anak Pak Putu yang pada saat itu masih kecil, mencari teman yang sebaya dengannya untuk diajak bermain.
Pak Putu menuturkan bahwa sebagai pendatang umumnya seseorang di tuntut untuk mampu menempatkan diri di dalam keadaan suatu masyarakat seperti adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat setempat, apabila tidak maka akan memungkinkan sekali terjadinya suatu konflik. Lebih lanjut Pak Putu mengatakan bahwa selama ia berada di RT 04 Lingkungan III ini, tidak pernah terjadi suatu pertikaian atau pertengkaran dengan antara ia dengan masyarakat etnis Lampung, kalaupun ada hanya perselisihan antara anak mereka saja ketika sedang bermain dan hal itu tidak melebar hingga ke perselisihan antara orangtuanya juga.
Dalam kehidupan sehari-hari, Pak Putu berkomunikasi dengan masyarakat etnis Lampung menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu lebih didasari karena bahasa Indonesia lebih memudahkan bagi Pak Putu dalam berkomunikasi dengan masyarakat etnis Lampung serta masyarakat etnis lainnya yang berada di RT 04 Lingkungan III.
64
Pada saat sedang tidak bekerja ataupun hari libur, waktunya biasanya digunakan untuk berkumpul dan berbincang-berbincang dengan masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Menurut Pak Putu, rutinitas pekerjaan yang padat mengakibatkan dirinya jarang bisa berkumpul dan berbincang-bincang dengan masyarakat etnis Lampung yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Lebih lanjut Pak Putu mengatakan, tempat biasanya ia dan masyarakat etnis Lampung berkumpul dan berbincang-bincang adalah di warung Pak Oka ataupun Pak Nyoman sembari membeli rokok. Adapun materi yang sering mereka bincangkan tidak lain adalah seputar dunia olahraga dan biasanya menghabiskan waktu 1 sampai 1,5 jam.
Keharmonisan hidup berdampingan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat terjalin atas dasar sikap saling menghormati serta menghargai terhadap segala perbedaan yang ada. Pak Putu menjelaskan bahwa salah satu sikap sederhana dalam menghormati dan menghargai atas segala perbedaan yang ada yakni dengan cara tidak makan ataupun minum di hadapan masyarakat etnis Lampung yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Selain itu, pada saat masyarakat etnis Lampung sedang merayakan perayaan Idul Fitri maupun Idul Adha, Pak Putu tidak segan-segan mengulurkan tangan terlebih dahulu dan meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja maupun tidak disengaja. Masyarakat etnis Lampung menyambut uluran tangan dari Pak Putu dengan antusias dan mengajak Pak Putu untuk berkunjung ke rumahnya untuk mencicipi hidangan kue khas lebaran. Begitupun sebaliknya,
65
pada saat masyarakat etnis Bali sedang menjalankan peribadatan pada hari raya Nyepi, masyarakat etnis Lampung menghormatinya dengan cara tidak mengeraskan volume suara televisi, radio, ataupun hal lainnya yang dapat mengganggu jalannya peribadatan
Ikatan persaudaraan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dibangun atas dasar rasa senasib sepenanggungan. Lebih lanjut Pak Putu mengatakan, rasa senasib sepenanggungan itu terlihat manakala ada diantara salah satu tetangga yang sedang menderita sakit. Pada situasi seperti ini, umumnya masyarakat pada berempati dengan cara mendatangi rumah mereka yang sedang sakit dan memberikan sedikit sumbangan sukarela sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Informan IV
Pak Nengah pada dasarnya melakukan perpindahan dari Bali ke Lampung (di RT 04 Lingkungan III) tidak lain dikarenakan ingin merubah nasib. Beliau pertamakali menginjakkan kaki di RT 04 Lingkungan III pada tahun 1980.
Pak Nengah mengatakan bahwa: “Keadaan di sini masih gelap sekali karena banyak pohon-pohon gede, ditambah lagi lampu penerangan jalannya belum ada, kalaupun ada itu juga lampu yang dipasang di depan rumah agar keliatan enggak gelap”.
Salah satu sifat manusia ialah adanya keinginan untuk dapat hidup bersama dengan manusia lainnya. Di dalam hidup bersama antara individu dan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok, terjalin suatu hubungan atau relasi pertemanan, yang mana hubungan tersebut digunakan oleh
66
manusia
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
dengan
cara
menyampaikan maksud, tujuan, dan keinginan masing-masing sehingga terjadilah hubungan timbal balik antara satu sama lainnya. Hubungan timbal balik inilah yang dinamakan interaksi sosial.
Mengenai interaksi sosial, Pak Nengah menuturkan bahwa interaksi merupakan suatu hal yang sangat penting karena apabila seseorang tidak dapat meleburkan diri ke dalam suatu masyarakat, maka orang tersebut akan merasa asing, bahkan terasingkan di lingkungan tempat mereka tinggal, terlebih lagi bagi mereka yang merupakan masyarakat pendatang. Dalam melakukan proses interaksi, seseorang juga mengalami hambatan yang akhirnya memicu terjadi suatu pertikaian. Menurut Pak Nengah selama melalukan proses interaksi dengan masyarakat etnis Lampung belum pernah terjadi konflik atau pertikaian hingga menjurus pada kekerasaan fisik. Kalaupun ada, hanya sekedar berbeda pendapat pada saat musyawarah dan tidak sampai menyebabkan adu fisik.
Langkah awal yang Pak Nengah lakukan ketika berada di RT 04 Lingkungan III ini adalah dengan cara ikut ambil bagian dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh masyarakat RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu, mulai dari kegiatan gotongroyong, siskamling, perayaan HUT Kemerdekaan RI, dan lain sebagainya. Menurut Pak Nengah, dalam masyarakat etnis Bali dikenal ajaran Tri Hita Karana yang tidak lain merupakan falsafah hidup masyarakat etnis Bali, dan kegiatan tersebut di atas merupakan wujud dari adanya hubungan antar sesama manusia (pawongan).
67
Pak Nengah menuturkan bahwa anggota keluarga lainnyapun berupaya untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh masyarakat yang berada di sini. Pak Nengah menuturkan bahwa istrinya selalu ikut andil dalam berbagai kegiatan, seperti kegiatan PKK, arisan, dan lain sebagainya, sedangkan anak mereka bersosialisasi dengan anak-anak lainnya yang sebaya dengan umurnya.
Hubungan antar sesama manusia pada umumnya dibangun atas dasar kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Menurut Pak Nengah, interaksi yang ia lakukan beserta anggota keluarga lainnya merupakan implikasi dari nilai falsafah yang terkandung dalam masyarakat etnis Bali (Tri hita karana) dan juga sebagai makhluk sosial yang memiliki peran didalam bagian anggota kelompok masyarakat. Lebih lanjut Pak Nengah mengatakan bahwa sebagai bagian dari anggota masyarakat RT 04 Lingkungan III ini, sudah seharusnya ia ikut berperan dalam berbagai rangkaian kegiatan yang diadakan oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu Pak Nengah selalu ikut dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh masyarakat setempat.
Masyarakat di RT 04 Lingkungan III sangat menjunjung tinggi nilai toleransi beragama. Menurut Pak Nengah, toleransi beragama merupakan hal yang mendasar baginya, karena dengan toleransi, seseorang akan menghargai dan menghormati perbedaan yang ada sehingga akan terciptalah masyarakat yang rukun. Lebih lanjut Pak Nengah mengatakan, bentuk toleransi yang dipelihara diantara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung di RT 04 Lingkungan III sangat nampak pada saat puasa, dimana Pak Nengah mencoba untuk tidak makan dan minum di hadapan mereka yang sedang berpuasa. Selain
68
itu Pak Nengah juga mengatakan bahwa iapun tidak sungkan untuk mengucapkan maaf terlebih dahulu kepada masyarakat etnis Lampung yang sedang merayakan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
Menurut Pak Nengah, selama ia berada di RT 04 Lingkungan III, ia merasakan rasa kekeluargaan yang dalam di antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. Hal itu tercermin dari sikap dan perilaku masyarakat etnis Lampung yang selalu peduli terhadap masyarakat etnis Bali, baik pada saat ada kegiatan seperti acara pernikahan, otonan (syukuran 7 bulan kelahiran bayi bagi masyarakat Bali), maupun pada saat ada yang terkena musibah, dan lain sebagainya.
Pak Nengah mengatakan: “Kalau Bapak diundang, bapak usahakan selalu datang karena suatu saat nanti pasti bapak juga akan mengundang mereka, baik undangan pawiwahan (pernikahan anak) ataupun lainnya, apalagi kalau ada tetangga yang terkena musibah, bapak akan mendahulukan untuk datang dan melihat langsung tetangga bapak yang terkena musibah serta memberikan uluran bantuan sebisa yang Bapak bantu, baik berupa tenaga maupun materi”.
Lebih lanjut Pak Nengah mengatakan bahwa menghadiri acara seperti undangan pernikahan, aqiqahan, ataupun acara-acara belasungkawa dapat mempertemukan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung yang jarang bertemu dikarenakan kesibukan rutinitas pekerjaan. Pak Nengah mengakui, rutinitas pekerjaan yang padat menyebabkan ia jarang sekali bisa berbincangbincang dengan masyarakat etnis Lampung. Hanya sesekali saja, itu juga dalam kesempatan yang sangat singkat, seperti bertemu di tengah jalan saat sedang berjalan kaki, sedang berbelanja rokok di warung, dan lain sebagainya. Pak
69
Nengah menuturkan bahwa pada hari-hari libur atau tidak sedang bekerja, seperti pada hari minggu, waktunya lebih banyak ia pergunakan untuk berbincangbincang dengan masyarakat etnis Lampung yang biasanya menghabiskan waktu 12 Jam. Materi yang sering dibahas pada saat bertemu tidak lain seputar dunia olahraga.
Informan V
Pak Nyoman Sumantra pada dasarnya melakukan perpindahan tempat tinggal dari Bali ke Lampung (di RT 04 Lingkungan III) tidak lain dikarenakan ingin mengadu nasib. Beliau pertamakali menginjakkan kaki di RT 04 Lingkungan III pada tahun 1978.
Pak Nyoman oleh masyarakat etnis Lampung dan masyarakat lainnya dipanggil dengan nama Pak Oka, yang tidak lain merupakan nama panggilan dari salah satu putranya dan juga untuk membedakan dalam memanggil Pak I Nyoman Merdana yang sama-sama dipanggil Pak Nyoman.
Pak Oka mengatakan bahwa: “Keadaan dulu waktu bapak pindah ke sini sangat seram sekali, pohonpohonnya besar ditambah lagi belum banyak orang yang ada di sini. Itu buat bapak rada ngeri kalau mau pergi ataupun pulang malam. Tapi sekarang gak serem lagi, ya walaupun masih banyak pohon-pohon besarnya, setidaknya sudah banyak tetangga”.
Lingkungan baru merupakan sebuah stimulus bagi seseorang untuk melakukan penyesuaian diri terhadap kultur yang ada di tempat mereka bermukim. Hal sedemikian dirasakan pula oleh Pak Oka selaku masyarakat baru di RT 04 Lingkungan III. Menurut Pak Oka, sebagai masyarakat baru sudah seharusnya
70
seseorang tersebut turut berpartisipasi dalam setiap kegiataan yang dilaksanakan di tempat seseorang tersebut bermukim. Hal itu merupakan langkah awal bagi seseorang dalam melakukan interaksi sosial dengan masyarakat setempat dan juga merupakan proses penilaian terhadap seseorang tadi, apakah ia mampu membaur ataukah tidak.
Pak Oka menuturkan bahwa pada awal keberadaannya di RT 04 Lingkungan III ini, ia mencoba untuk aktif dalam berbagai kegiatan yang diadakan, mulai dari kegiatan gotongroyong, siskamling, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Pak Oka menuturkan, tidak hanya dirinya saja yang ikut aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di sini, istrinyapun selalu mencoba menjalin hubungan dengan masyarakat di sini dengan cara ikut andil dalam kegiatan PKK serta kegiatan arisan kredit barang.
Lebih lanjut Pak Oka menjelaskan bahwa arisan kredit barang-barang keperluan rumahtangga itu meliputi kredit panci, kuali, dan lain sebagainya yang diperuntukkan bagi ibu-ibu yang ingin membeli barang-barang keperluan rumahtangga dengan cara mencicil. Hal ini tentu saja dirasakan ibu-ibu lainnya sangat membantu. Kegiatan seperti ini bagi istri Pak Oka, selain untuk membantu perekonomian keluarga, digunakan juga oleh Bu Oka untuk menyibukan diri dan bercengkrama dengan ibu-ibu lainnya tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai ibu rumahtangga.
Hubungan yang dijalin oleh Pak Oka beserta anggota keluarga lainnya terhadap masyarakat etnis Lampung menunjukkan bahwa terdapat maksud atau tujuan dari aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan, baik kepentingan secara pribadi maupun
71
kepentingan umum. Menurut Pak Oka kegiatan seperti kredit barang-barang yang dilakukan oleh istrinya, mengasumsikan bahwa pertemuan yang berlangsung semata-mata dilatarbelakangi atas keinginan untuk membeli dan membayar barang kreditan. Sedangkan kegiatan yang dilakukan berdasarkan kepentingan umum, Pak Oka menuturkan, sama halnya dengan mendatangi tetangga yang sedang sakit, terkena musibah, serta kegiatan gotongroyong, siskamling, dan juga PKK.
Adanya perbedaan rentan sekali memicu terjadinya konflik. Saat disinggung mengenai pernahkah terjadi konflik antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, Pak Oka menuturkan bahwa hingga sampai saat in ia tidak pernah bertikai ataupun berkonflik dengan masyarakat etnis Lampung. Lebih lanjut Pak Oka menuturkan bahwa ia pernah melihat pertikaian akan tetapi bukan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat Lampung melainkan antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis lainnya.
Keluwesan Pak Oka dalam bergaul dengan masyarakat setempat membuat dirinya mudah akrab dengan masyarakat lainnya. Hal itu juga yang membuat masyarakat etnis Lampung menyenangi Pak Oka karena kepiawaiannnya berkomunikasi menggunakan bahasa Lampung bila sedang berbicara dengan masyarakat etnis Lampung. Diakui oleh Pak Oka, kebiasaan masyarakat etnis Lampung berbicara dengan menggunakan bahasa Lampung apabila sedang berkomunikasi dengan sesama orang Lampung, membuat Pak Oka sedikit demi sedikit mengerti maksud dari pembicaraan mereka. Seperti yang terlihat pada saat Pak Oka sedang
72
melayani salah seorang masyarakat etnis Lampung yang sedang berbelanja di tempatnya. Pak Oka mengatakan: “Niku hagow belei nyow, perow nayah, cukup kedei lamon segehenow gawoh, yang artinya kamu mau beli apa dan berapa banyak, apa cukup kalau belinya hanya segitu saja”.
Aktivitas pekerjaan yang padat dirasakan oleh Pak Oka sangat menyita seluruh waktunya untuk dapat bergaul dengan masyarakat etnis Lampung. Namun hal itu tidak lantas menjadi hambatan bagi Pak Oka. Pak Oka menuturkan bahwa ia dapat bergaul dengan masyarakat etnis Lampung pada kesempatan lain, yakni pada saat tidak bekerja atau hari libur dan pada saat ada kegiatan seperti pawiwahan (pernikahan), aqiqahan, belasungkawa, ngotonin (sukuran 7 bulan kelahiran anak), dan lain sebagainya. Pada saat hari-hari libur tersebutlah waktu yang paling banyak digunakan oleh Pak Oka untuk berbincang-bincang hingga menghabiskan waktu 1-2 jam pada saat bertemu, biasanya Pak Oka suka berbicara mengenai seputar dunia olahraga.
Masyarakat di RT 04 Lingkungan III dirasakan oleh Pak Oka memiliki rasa solidaritas serta tenggangrasa yang tinggi. Lebih lanjut Pak Oka mengatakan bahwa solidaritas tersebut terlihat manakala para warga datang berkunjung ke rumah salah seorang dari tetangganya yang terkena musibah. Selain itu, mereka juga sangat menghormati hari-hari besar keagamaan masyarakat lainnya. Bentuk kecil dari sikap saling menghormati tersebut Pak Oka wujudkan yakni dengan tidak mengeraskan volume suara televisi maupun radio pada saat masyarakat etnis Lampung yang mayoritas beragama Islam sedang melaksanakan shalat lima
73
waktu. Hal ini Pak Oka lakukan agar masyarakat etnis Lampung dapat khusuk dalam menjalankan peribadatannya.
Selain itu juga pada saat masyarakat etnis Lampung sedang merayakan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, Pak Oka mau terlebih dahulu mengulurkan tangan seraya mengucapkan kata maaf apabila ada salah, sebaliknya oleh masyarakat etnis Lampung Pak Oka diajak berkunjung kerumah untuk mencicipi kue khas lebaran.
Informan VI
Pak Usman merupakan masyarakat asli etnis Lampung. Beliau menetap di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu sejak tahun 1970. Pak Usman mengatakan bahwa: “Suasana dan keadaan di RT 04 dulu masih sepi dan menakutkan karena belum banyak masyarakat yang tinggal di sini, ditambah lagi pohon-pohonnya masih lebat, ada pohon tangkil, pohon kelapa, dan masih banyak lainnya. Sekarang ini, sudah tidak terlalu banyak pohonnya karena sudah dibangun perumahan”.
Semua kelompok masyarakat tidak pernah hidup berdiri sendiri. Kelompok masyarakat senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat lain. Ini menunjukkan bahwa setiap masyarakat mangadakan kontak serta berkomunikasi dengan masyarakat lain. Apabila seseorang telah melakukan kontak dan berkomunikasi, itu berarti seseorang tersebut telah melakukan interaksi sosial. Pada mulanya Pak Usman beranggapan bahwa ia akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan masyarakat etnis Bali. Hal itu dikarenakan penglafan yang diucapkan oleh masyarakat etnis Bali masih begitu kental, akan tetapi pada
74
kenyataannya tidak demikian. Sebagai penduduk asli, Pak Usman membuka tangan atas kedatangan masyarakat etnis Bali di RT 04 Lingkungan III. Lebih lanjut Pak Usman menuturkan bahwa keterbukaannya terhadap masyarakat etnis Bali merupakan pencerminan dirinya terhadap konsep hidup masyarakat etnis Lampung dalam Piil Pesenggiri, yang mana di dalamnya terdapat anjuran agar masyarakat etnis Lampung membuka diri terhadap masyarakat lain (Nengah Nyampur).
Interaksi sosial tidak hanya dilakukan oleh Pak Usman seorang, akan tetapi dilakukan pula oleh anggota keluarga, yaitu istri dan anaknya. Pak Usman menuturkan bahwa istrinya mencoba untuk mengajak ibu-ibu masyarakat etnis Bali agar dapat turut dalam kegiatan-kegiatan PKK serta kegiatan lainnya. Menurut Pak Usman, hubungan antara keluarganya dengan masyarakat etnis Bali serta masyarakat lainnya, baik yang letak rumahnya berjauhan ataupun yang berdekatan dengan rumahnya, berjalan dengan harmonis layaknya seperti saudara, bahkan tidak jarang anak merekapun bermain di rumah tetangganya.
Saat disinggung mengenai adanya pertikaian yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam melakukan interaksi, Pak Usman menuturkan bahwa selama ia berada di RT 04 Lingkungan III ini, belum pernah melihat masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung bertikai. Lebih lanjut Pak Usman mengatakan bahwa memang terdapat pertikaian kecil seperti perkelahian antar remaja namun hal itu terjadi antara sesama etnis Lampung dan lebih ditenggarai karena persoalan sederhana.
75
Pak Usman menuturkan bahwa ia mengajak serta mengikutsertakan masyarakat etnis Bali dalam setiap kegiatan, mulai dari kegiatan bersih-bersih, ronda malam, perayaan HUT Kemerdekaan RI, bahkan menjadi panitia di setiap acara pernikahan dan Pemilu. Hal itu juga menurut Pak Usman merupakan upaya untuk mendekatkan dan mengakrabkan diri antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali.
Kegiatan-kegiatan seperti ronda malam, bersih-bersih, ikut berpartisipasi dalam perayaan HUT Kemerdekaan RI diungkapkan oleh Pak Usman sangatlah bermanfaat karena dapat menumbuhkan rasa kebersamaan serta memperdalam rasa persaudaraan di antara masyarakat etnis Lampung dan masyarakat etnis Bali. Rasa persaudaraan itu dapat terlihat pula dari kepedulian antara satu sama lainnya, baik pada saat acara-acara seperti pernikahan, yakni pada saat membuat janur kuning atau membantu dekorasi, maupun pada saat mengunjungi tetangga yang terkena musibah, seperti tetangga yang sedang sakit, dimana warga selalu saling mengunjungi mereka yang sedang sakit baik di rumah ataupun di rumah sakit sebagai bentuk peduli terhadap sesama.
Berlangsungnya interaksi, seperti dalam kegiatan gotongroyong dan siskamling, dibangun atas dasar kepentingan umum (lembaga kemasyarakatan) yang mewajibkan anggota masyarakatnya untuk ikut andil dalam kegiatan yang diadakan oleh masyarakat RT 04 Lingkungan III. Pak Usman menuturkan bahwa interaksi yang ia jalin dengan masyarakat etnis Bali juga didasarkan atas kepentingan pribadi, yaitu apabila ada keperluan saja. Seperti halnya pada saat
76
masyarakat etnis Bali memintan bantuan jasa dalam pemotongan rumput, dan lain sebagainya.
Pak Usman mengatakan bahwa ia dan masyarakat etnis Bali yang ada di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu ini sering terlibat kerjasama di bidang ekonomi, seperti penggunaan jasa ojek maupun jasa pemotongan rumput dengan menggunakan mesin pemotong. Lebih lanjut Pak Usman mengungkapkan bahwa ia sering diminta untuk mengantarkan warga etnis Bali yang akan berpergian apabila mereka sedang tidak ingin jalan kaki dan memotong rumput di halaman rumahnya.
Pekerjaannya sebagi tukang ojek dan pemotong rumput membuat Pak Usman sedikit memiliki waktu untuk berkumpul dan berbincang-bincang dengan masyarakat etnis Bali yang ada di RT 04 ini. Menurut Pak Usman, ia dapat berbincang-bincang dengan masyarakat etnis Bali pada saat sedang mengojek ataupun pada saat memotong rumput dan juga pada saat bertemu di acara pernikahan, melayat tetangga yang meninggal, syukuran, dan acara lainnya.
Toleransi beragama merupakan dasar utama bagi setiap orang untuk hidup rukun berdampingan dengan masyarakat lainnya yang memiliki perbedaan, baik berbeda suku, agama, maupun ras. Menurut Pak Usman, toleransi beragama antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali dapat terlihat manakala masyarakat etnis Lampung sedang menjalankan ibadah puasa, masyarakat etnis Bali berupaya untuk tidak makan dan minum dengan sengaja di hadapan masyarakat etnis Lampung karena akan dapat mengganggu khusuknya ibadah puasa. Begitupun sebaliknya pada saat masyarakat etnis Bali
sedang
77
melaksanakan perayaan Nyepi, masyarakat etnis Lampung menghormatinya dengan tidak mengeraskan volume suara telivisi, radio, ataupun suara lainnya yang dapat mengganggu jalannya peribadatan masyarakat etnis Bali.
Pada saat masyarakat etnis Lampung sedang mengadakan acara seperti acara pernikahan, aqiqahan, sunatan, ataupun acara syukuran lainnya, masyarakat etnis Bali turut diundang oleh masyarakat etnis Lampung. Menurut Pak Usman, pada saat ia sedang mengadakan acara aqiqahan putra pertamanya, ia pun mengundang masyarakat etnis Bali untuk turut serta hadir. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat etnis Bali ikut andil dalam menghadiri kegiatan ritual keagamaan masyarakat etnis Lampung. Begitupun sebaliknya, ketika Pak Usman diundang dalam acara syukuran kelahiran anak (ngotonin), Pak Usman turut hadir dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat etnis Bali.
Informan VII
Pak Soni merupakan masyarakat asli etnis Lampung. Beliau menetap di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu sejak tahun 1972.
Pak Soni mengatakan bahwa: “Keadaan sekarang mah jauh lebih baik daripada keadaan dulu karena pada saat itu masih terdapat pohon-pohon yang sangat lebat dan tak jarang juga bapak suka menemukan ular. Selain itu juga belum banyak lampu penerangan sehingga menambah suasana di sini menjadi seram”.
Manusia sejak dilahirkan di dunia ini sudah mempunyai kecenderungan atas dasar dorongan nalurinya secara biologis untuk hidup berkelompok. Namun dalam perkembangan selanjutnya, manusia hidup tidak hanya sekedar membutuhkan
78
hidup secara biologi belaka, akan tetapi mempunyai kehendak dan kepentingan yang lain. Atas dasar kehendak dan kepentingan itu maka dalam usaha untuk memenuhinya, senantiasa tidak cukup dapat dilakukan sendiri, melainkan harus dilakukan bersama, oleh karena itu manusia melakukan interaksi sosial
Mengenai interaksi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, Pak Soni menuturkan bahwa ia dan masyarakat etnis Bali yang ada di RT 04 Lingkungan III ini melakukan berbagai kerjasama, baik dalam rangka kegiatan sosial, seperti kegiatan gotongroyong, kegiatan ronda malam, maupun dalam bentuk pemberian jasa seperti jasa ojek yang tidak lain merupakan pekerjaan dari Pak Soni. Lebih lanjut Pak Soni mengatakan bahwa manfaat yang dirasakan dengan adanya kerjasama dalam kegiatan sosial maupun bidang jasa sangatlah menguntungkan kedua belah pihak. Kegiatan sosial misalnya, selain dapat memperkuat tali silahturahmi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, juga dapat berguna dalam menjaga keamanan lingkungan tempat mereka tinggal, serta keadaan lingkungan menjadi bersih.
Tidak jauh berbeda, para ibu-ibupun melakukan kegiatan secara bersama-sama, seperti halnya yang terlihat manakala ibu-ibu RT 04 Lingkungan III ini sedang berbincang-bincang mengenai program kegiatan PKK, dan lain sebagainya. Menurut Pak Soni, istrinya ikut dalam kegiatan PKK yang diadakan oleh ibu-ibu yang berada di sini. Lebih lanjut Pak Soni menuturkan, kegiatan PKK ini merupakan wadah bagi ibu-ibu untuk menambah wawasan, selain untuk memperat tali silahturahmi. Anak-anakpun melakukan hal yang sama layaknya
79
orangtua mereka, hanya saja yang dilakukan anak-anak adalah bermain, ujar Pak Soni.
Kegiatan seperti menjenguk tetangga yang sedang sakit, mengikuti kegiatan gotongroyong, dan juga siskamling merupakan interaksi yang dilandasi atas dasar kepentingan umum. Sedangkan interaksi yang dilakukan atas dasar kepentingan individu, antara lain penggunaan jasa ojek, yang mana masyarakat etnis Bali terkadang datang ke rumah Pak Soni untuk meminta diantarkan ke suatu tempat tertentu.
Saat ditanya mengenai pernahkah terjadi pertikaian antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, Pak Soni menuturkan bahwa ia tidak pernah melihat masyarakat etnis Bali dengan masyarakat Lampung berkelahi atau bertikai, yang terjadi hanya perbedaan pendapat dalam menyampaikan aspirasi. Namun, menurut Pak Soni perbedaan aspirasi itu tidak lantas menjadikan hubungan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung menjadi renggang.
Pekerjaan (jasa) mengantarkan seseorang hingga sampai ketujuan merupakan salah satu rutinitas yang dilakukan oleh Pak Soni dengan masyarakat etnis Bali. Masyarakat etnis Bali terkadang suka menggunakan jasa ojek Pak Soni untuk mengantarkan mereka hingga sampai ke tempat tujuan. Hal ini tentu menguntungkan kedua belah pihak, di satu sisi Pak Soni mendapatkan uang dari hasil jasa ojeknya, di sisi lain pengguna jasa bisa sampai tepat waktu di tempat yang mereka tuju.
80
Pada saat mengangkut penumpang (ngojek), Pak Soni selain mendapatkan uang dari pelanggannya, ia juga memanfaatkannya untuk berbincang-bincang seputar masalah keluarga. Lebih lanjut Pak Soni menuturkan bahwa pekerjaannya sebagai tukang ojek membuat dirinya sedikit mengalami kesulitan untuk membagi waktu dalam berkumpul atau berbincang-berbincang dengan masyarakat etnis Bali, terlebih bila ia sudah terikat untuk mengantar jemput (abudemen).
Namun hal itu tidak lantas membuat Pak Soni kehilangan waktu untuk bergaul dengan masyarakat etnis Bali. Pak Soni setidaknya memiliki waktu yang senggang yakni pada malam hari untuk berbincang-bincang. Pak Soni dalam kesehariannya bergaul dengan masyarakat etnis Bali menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tidak lain karena bahasa Indonesia merupakan bahasa seharihari dan juga lebih mudah dimengerti.
Pak Soni dan masyarakat etnis Bali biasanya lebih suka berkumpul di warung Pak Nyoman atau Pak Oka. Pada saat berkumpul itulah, biasanya Pak Soni mendapatkan informasi mengenai keadaan di seputar lingkungan RT tempat mereka tinggal, baik mengenai tetangga yang sedang sakit maupun informasi lainnya. Diakui oleh Pak Soni, pekerjaannya sebagai tukang ojek membuat dirinya kurang mengetahui keadaan masyarakat di sekitar RT 04 ini. Pada saat berkumpul biasanya Pak Soni menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang sekitar 1-1,5 jam dan materi yang sering dibicarakan tidak lain adalah seputar pekerjaan mereka. Pak Soni mengatakan bahwa: “Bapak, terkadang malu sekali, karena kurang tau ada tetangga yang sedang sakit. Kalaupun tau, terkadang juga sudah terlambat. Tapi bapak usahakan
81
untuk menjenguk, setidaknya menanyakan keadaan orang yang bersangkutan. Tapi kalau berita duka bapak cepet tau, karena diumumin di mesjid, selain itu juga keliatan dari lambang bendera kuning pertanda sedang ada orang yang meninggal”.
Kerukunan hidup yang terjalin antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat dirasakan oleh Pak Soni. Menurut Pak Soni hal itu dapat terlihat dari sikap saling menghargai antara satu sama lainnya terhadap segala perbedaan yang ada, seperti pada saat kegiatan hari besar keagamaan yakni pada saat Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Hari Nyepi, Kuningan, dan lain sebagainya. Pak Soni menuturkan bahwa: “Pada saat mereka sedang merayakan Hari Nyepi, bapak menghormatinya dengan tidak menguatkan volume TV, radio ataupun bunyi-bunyian lainnya yang akan membuat berisik dan nantinya akan menggangu jalannya peribadatan mereka. Karena setau bapak, kan pada Hari Nyepi, mereka dianjurkan untuk tidak beraktifitas, menghidupkan listrik, termasuk nonton TV, radio, dan lain sebagainya. Begitupun sebaliknya, pada saat kami sedang melakukan shalat lima waktu, mereka juga tidak melakukan kegiatan yang akan mengganggu kekhusukan shalat kami”.
Informan VIII
Pak Deni Saputra merupakan masyarakat asli etnis Lampung. Beliau menetap di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu sejak tahun 1970.
Pak Deni mengatakan bahwa: “Keadaan di lingkungan RT 04 pada saat dahulu bila dibandingin dengan sekarang sangat beda jauh dek, sekarang mah sudah gak seberapa seram lagi karena sudah dibangun perumahan. Kalau dulu mah seram sekali seperti hutan, banyak pohon dimana-mana”.
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dalam suatu bentuk pergaulan hidup yang disebut masyarakat.
82
Dalam hidup bermasyarakat, manusia senantiasa dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya melalui suatu proses yang dikenal dengan interaksi sosial. Menurut Pak Deni interaksi sosial sangatlah berguna bagi manusia karena melalui interaksi sosial seseorang dapat mengenal dan memahami sikap dan prilaku dari orang tersebut. Selain itu interaksi sosial juga akan memperluas jaringan pertemanan.
Seseorang dalam bersikap dan berprilaku terkadang tanpa disadari telah menyinggung perasaan orang lain hingga menyebabkan pertikaian atau pertengkaran, baik secara fisik maupun beradu mulut. Saat ditanyakan mengenai pernahkah terjadi perselisihan atau pertikaian antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung, Pak Deni menuturkan bahwa selama ia berada di RT 04 Lingkungan III ini, belum pernah melihat masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung bertikai. Lebih lanjut Pak Deni mengatakan bahwa pernah terjadi pertikaian sesama remaja dan itupun antar masyarakat etnis Lampung.
Dalam kehidupan sehari-hari, Pak Deni lebih suka melakukan interaksi atau komunikasi dengan tetangganya melalui tatapmuka secara langsung dan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu tidak lain karena lebih memudahkan bagi Pak Deni untuk mengerti atau memahami maksud dan tujuan dari orang yang diajak berkomunikasi, namun tidak dipungkiri, terkadang Pak Deni sesekali juga melakukan komunikasi melalui media telepon terhadap masyarakat etnis Bali, terutama kepada Pak Nyoman dan Pak Oka untuk memesan barang belanjaan.
83
Sama halnya dengan Pak Deni, istrinyapun lebih suka melakukan interaksi secara langsung dengan ibu-ibu lainnya yang berada di RT 04 Lingkungan III ini. Menurut Pak Deni, istrinya beserta ibu-ibu lainnya bertemu pada saat acara arisan, pengajian, serta kegiatan lainnya. Lebih lanjut Pak Deni mengatakan, kegiatan tersebut dilakukan oleh istrinya di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumahtangga.
Ditanyakan mengenai intensitas pertemuan yang ia lakukan dengan masyarakat etnis Bali, Pak Deni mengatakan intensitas pertemuannnya dengan masyarakat etnis Bali dirasakan kurang, hal itu tidak lain dikarenakan kesibukan masingmasing sehingga menyebabkan tidak adanya hubungan atau kedekatan secara emosional menjadi kurang. Hubungan yang terjadi pada dasarnya terbentuk atas dasar kelembagaan masyarakat yang mengharuskan seseorang yang termasuk ke dalam anggota masyarakat untuk turut serta dalam segala bentuk kegiatan, seperti kegiatan membersihkan rumput yang mulai meninggi di lapangan, membersihkan selokan air, berupaya bersama-sama menjaga keamanan RT, dan lain sebagainya. Sedangkan hubungan yang terjadi atas kepentingan pribadi antara lain seperti memesan barang belanjaan melalui telepon. Walapun demikian adanya, hubungan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung tetap berjalan harmonis seperti yang terlihat pada saat mereka bertemu, baik pada kesempatan acara pernikahan, syukuran, dan otonan (syukuran 7 bulan kelahiran anak), maupun ketika mereka sedang berbincang-bincang di warung. Pak Deni menuturkan bahwa pada saat berkumpul untuk berbincang-bincang dengan masyarakat etnis Bali, ia dapat menghabiskan waktu 1-2 jam. Lebih lanjut Pak Deni menuturkan bahwa pada saat sedang berkumpul, ia biasanya lebih suka
84
membicarakan mengenai seputar dunia olahraga sembari merokok yang ia beli di warung Pak Nyoman ataupun Pak Oka.
Menurut Pak Deni kegiatan seperti membersihkan selokan merupakan bentuk kepedulian masyarakat guna menghindarkan diri dari segala jenis penyakit, seperti penyakit DBD yang disebabkan oleh saluran air yang tersumbat yang merupakan tempat berkembangbiaknya nyamuk ataupun penyakit lainnya. Kegiatan tersebut di atas dimanfaatkan pula oleh masyarakat setempat untuk dapat berkumpul dan berbincang-bincang sembari meminum secangkir air teh ataupun kopi serta sedikit makanan ringan yang diberikan oleh ibu-ibu secara sukarela setelah usai bekerja.
Kerukunan hidup bermasyarakat di RT 04 Lingkungan III lebih didasari atas sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya tanpa membedakan SARA. Menurut Pak Deni, contoh kecil sikap saling menghormati dan menghargai antara satu sama lainnya adalah pada saat masyarakat etnis Lampung membangunkan masyarakat lainnya yang ingin bersantap sahur dengan tidak menggunakan suara atau bunyi-bunyian yang terlalu keras karena dapat mengganggu masyarakat lainnya yang sedang tidur, yakni mereka yang tidak menjalankan ibadah shaum. Lebih lanjut Pak Deni menjelaskan sikap saling menghargai dan menghormati terlihat jelas yakni saat perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, terkadang masyarakat etnis Bali terlebih dahulu mengulurkan tangan.
Sebaliknya pada saat masyarakat etnis Bali sedang merayakan hari besar keagamaan mereka, seperti Hari Nyepi, Galungan, dan lain sebagainya, Pak Deni menghormatinya dengan tidak membuat suasana gaduh supaya masyarakat etnis
85
Bali dapat khusuk menjalankan peribatannya. Pak Deni menjelaskan, bahwa pada saat masyarakat etnis Bali sedang merayakan Hari Nyepi, ia memilih untuk berdiam diri tanpa mengucapkan kata selamat Hari Nyepi ataupun hari besar keagamaan lainnya layaknya masyarakat etnis Bali yang mengucapkan selamat pada saat kami merayakan Hari raya Idul Fitri dan Adha, ujar Pak Deni. Pak Deni menjelaskan, ia tidak mengucapakan selamat lebih didasari pada kebingungannya yang tidak mengerti bagaimana cara menunjukkannya. Diakui oleh Pak Deni, sepengetahuannya ia hanya mengenal ucapan selamat hari raya bagi masyarakat umat Nasrani yaitu ucapan selamat Natal. Namun hal itu tidak lantas mengakibatkan hubungan antara Pak Deni dengan masyarakat etnis Bali merenggang.
Informan IX
Pak Busroni merupakan masyarakat asli etnis Lampung. Beliau menetap di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu sejak tahun 1975.
Pak Busroni mengatakan bahwa: “RT 04 ini dulu seperti gak berpenghuni karena belum banyak orang, selain itu juga banyak pohon-pohon yang lebat dan tinggi dan itulah yang menyebabkan orang dulu belum mau membeli tanah disini”.
Hidup bersama sangatlah penting bagi seorang manusia karena manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri secara berkelanjutan. Manusia baru dapat disebut manusia sempurna apabila ia ternyata dapat hidup bersama dengan manusia lain dalam masyarakat, oleh karena itu manusia melakukan interaksi sosial untuk menunjang hidupnya.
86
Berkaitan dengan interaksi sosial, Pak Busroni menjelaskan bahwa interaksi adalah keadaan dimana seseorang berupaya untuk melakukan pendekatan diri terhadap orang lain. Bagi Pak Busroni interaksi sama halnya dengan keadaan dimana seseorang mampu hidup bermasyarakat, membuka diri terhadap keadaan di sekitar, serta mampu menempatkan diri. Lebih lanjut Pak Busroni menjelaskan bahwa masyarakat etnis Lampung membuka tangan atas kedatangan masyarakat etnis Bali di RT 04 Lingkungan III ini. Pak Busroni menuturkan bahwa keterbukaan masyarakat etnis Lampung terhadap masyarakat etnis Bali serta terhadap masyarakat etnis lainnya merupakan wujud pencerminan diri masyarakat etnis Lampung akan falsafah Piil Pesenggiri yang merupakan pedoman hidup bagi masyarakat etnis Lampung.
Interaksi sosial yang terjalin antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat terlihat dari kegiatan yang mereka lakukan secara bersama-sama seperti gotongroyong, ikut kegiatan siskamling, dan lain sebagainya. Menurut Pak Busroni, kegiatan seperti gotongroyong atau acara siskamling merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap RT 04 Lingkungan III. Lebih lanjut Pak Busroni menjelaskan bahwa kegiatan gotongroyong membersihkan rumput atau saluran air, adalah wujud keperdulian masyarakat akan lingkungan yang ramah dan bersih dari kotoran. Selain dari pada itu, kegiatan tersebut di atas merupakan keharusan bagi setiap anggota masyarakat di bawah lembaga yang bernama rukun tetangga (RT).
Pak Busroni menuturkan bahwa tidak hanya para laki-laki saja yang perduli terhadap lingkungan di tempat mereka tinggal, para ibu-ibupun melakukan hal
87
yang sama, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Pak Busroni menjelaskan bahwa bentuk keperdulian tersebut terlihat manakala ibu-ibu di sini menggalang dana untuk keperluan perayaan HUT Kemerdekaan RI pada seluruh masyarakat yang berada di RT 04 Lingkungan III ini. Menurut Pak Busroni, kegiatan yang dilakukan oleh ibu-ibu di sini secara bersama-sama adalah kegiatan pengajian rutin mingguan, PKK, serta membantu tetangga yang hajatan. Pak Busroni menuturkan, kegiatan tersebut dilakukan ibu-ibu di sini di sela kesibukan. Adapun kegiatan ini tersebut di atas dilakukan lebih didasari atas kebersamaan dan kepentingan umum. Sedangkan kegiatan seperti membantu tetangga yang sedang hajatan merupakan adanya upaya untuk membantu meringankan beban orang lain, dan hal itu menunjukkan keintiman seseorang terhadap keadaan orang-orang yang berada di sekitar tempatnya.
Setiap agama menganjurkan umatnya agar dapat hidup rukun berdampingan dengan masyarakat lainnya serta menciptakan toleransi antar sesama umat beragama. Menurut Pak Busroni perwujudan rasa toleransi beragama antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat terlihat manakala masyarakat etnis Lampung membangunkan masyarakat yang akan melaksanakan ibadah shaum (puasa), dengan cara tidak mengeluarkan vokal suara atau bunyibunyian karena hal itu akan mengganggu masyarakat lainnya yang tidak menjalankan ibadah shaum (puasa). Begitupun halnya manakala masyarakat etnis Bali sedang merayakan hari raya keagamaan mereka seperti Hari Nyepi, Pak Busroni mengupayakan untuk menciptakan suasana yang damai dengan tidak membunyikan suara atau bunyi-bunyian lainnya yang dapat mengganggu jalannya
88
peribadatan, hal ini mengingat rumah Pak Busroni berada tidak jauh dari rumahrumah masyarakat etnis Bali.
Dalam melakukan interaksi, terlebih secara bertatapmuka, tidak jarang akan menimbulkan perselisihan yang mengakibatkan terjadinya pertikaian ataupun pertengkaran. Pak Busroni menuturkan bahwa selama ia berada di RT 04 Lingkungan III ini tidak pernah melihat masyarakat etnis Bali terlibat konflik dengan masyarakat etnis Lampung. Lebih lanjut Pak Busroni mengatakan bahwa hubungan antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung terjalin begitu harmonis tanpa adanya bumbu-bumbu perselisihan.
Tolong-menolong merupakan budaya Bangsa Indonesia. Tolong-menolong dapat melatih seseorang untuk dapat berempati terhadap apa yang orang lain rasakan. Menurut Pak Busroni, tolong-menolong merupakan bentuk solidaritas terhadap orang lain. Dengan tolong-menolong berarti seseorang ikut membantu meringankan beban orang lain, baik menolong secara pikiran, materi, ataupun tenaga. Lebih lanjut Pak Busroni mengungkapkan, bentuk tolong-menolong antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat terlihat manakala masyarakat etnis Bali akan mengadakan acara, baik acara syukuran atapun acara lainnya, masyarakat etnis Lampung turut serta membantu masyarakat etnis Bali, begitupun sebaliknya. Selain itu, kepedulian masyarakat etnis Bali dan juga masyarakat etnis Lampung terhadap keadaan sekitar nampak jelas manakala ada salah keluarga yang sedang sakit atapun sedang tertimpa musibah, satu sama lainnya saling membuka tangan untuk membantu.
89
Jalinan rasa persaudaraan sangat terasa diantara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. Menurut Pak Busroni, pada saat masyarakat etnis Lampung sedang mengadakan acara, baik acara pernikahan, syukuran, aqiqahan, ataupun acara lainnya, masyarakat etnis Bali turut diundang, begitupun sebaliknya, pada saat masyarakat etnis Bali sedang mengadakan acara, masyarakat etnis Lampung turut diundang juga.
Pada saat acara pernikahan, syukuran, ataupun yang lainnya, biasanya digunakan oleh masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali untuk berbincangbincang ataupun sekedar menyapa. Terlebih lagi bagi mereka yang memiliki rutinitas padat, acara-acara tersebut merupakan sarana untuk berkumpul selain pada hari libur atapun sedang tidak bekerja. Pak Busroni menuturkan, biasanya masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali dapat berkumpul yaitu pada saat waktu senggang, sedang gotongroyong, pada saat ronda malam, dan lain sebagainya.
Adapun tempat yang sering digunakan oleh masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali untuk berkumpul berbincang-bincang adalah di warung sembari merokok ataupun membeli makanan ringan. Menurut Pak Busroni, ia biasanya menghabiskan waktu untuk berkumpul sekitar 1-2 jam untuk membicarakan berbagai hal, namun biasanya seputar dunia olahraga.
90
Informan X
Pak Rustam Efendi merupakan masyarakat asli etnis Lampung yang paling lama berada di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Beliau menetap di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu sejak tahun 1960. Pak Rustam mengatakan bahwa: “Kedaan dulu bila dibandingkan dengan sekarang sangat berbeda. Lingkungan di RT 04 bagai hutan belantara, banyak pohon besar dan juga masih banyak binatang buas kayak uler gitu, ditambah lagi belum banyak masyarakat yang tinggal di sini. Tapi sekarang udah gak seberapa serem, karena pohon-pohon besarnya udah banyak yang ditebang, terlebih udah banyak masyarakat yang tingal di sini”.
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berhubungan antara satu sama lainnya secara terus-menerus di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Pak Rustam manusia tanpa manusia lainnya seperti katak di dalam tempurung, tak ada artinya.
Menurut Pak Rustam, kedatangan masyarakat etnis Bali di RT 04 Lingkungan III memberikan nuansa yang berbeda selain dari menambah tetangga baru. Lebih lanjut Pak Efendi mengemukakan, pada awalnya ia berpikiran bahwa masyarakat etnis Bali akan sulit berinteraksi dengan masyarakat etnis Lampung serta masyarakat etnis lainnya di RT 04 Lingkungan III, hal itu ditenggarai dari latarbelakang budaya yang berbeda.
Akan tetapi pada kenyataannya perbedaan budaya tersebut tidak menghalangi masyarakat etnis Bali untuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berada di RT 04 Lingkungan III. Masyarakat etnis Lampung menyambut hangat dan membuka tangan atas kedatangan masyarakat etnis Bali di RT 04 Lingkungan III
91
ini, seperti halnya yang terdapat dalam konsep hidup masyarakat etnis Lampung Piil Pesenggiri (Nengah Nyampur) yang merupakan tata pergaulan masyarakat etnis Lampung untuk membuka diri terhadap masyarakat lainnya. Pak Efendi menuturkan bahwa masyarakat etnis Bali mencoba membaur dengan masyarakat etnis Lampung yaitu dengan cara ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh masyarakat di sini, seperti kegiatan gotongroyong, kegiatan ronda malam, dan kegiatan lainnya.
Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama tidak hanya dilakukan oleh para laki-laki saja, melainkan juga para ibu yang turut andil dalam berbagai kegiatan, sebagaimana yang dilakukan para laki-laki. Diakui oleh Pak Rustam, pekerjaan istrinya sebagai seorang Bidan, mengakibatkan istrinyanya memiliki waktu yang sedikit untuk dapat berbincang serta berkumpul dengan ibu-ibu lainnya. Lebih lanjut Pak Rustam menuturkan, istrinya biasanya ikut kegiatan secara bersamasama terutama pada acara pengajian rutin mingguan dan arisan bulanan, selebihnya waktunya lebih banyak dihabiskan di rumahsakit.
Kerukunan hidup bertetangga antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung di RT 04 Lingkungan III ini dibangun atas dasar sikap saling menghargai dan menghormati. Menurut Pak Rustam, selama keberadaannya di RT 04 Lingkungan III ini, ia tidak pernah melihat masyarakat etnis Bali bertengkar dengan masyarkat etnis Lampung.
Pak Rustam menuturkan bahwa sikap saling menghargai dan menghormati ditunjukkan oleh masyarakat etnis Bali terhadap masyarakat etnis Lampung yaitu ketika masyarakat etnis Lampung sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Idul
92
Adha, dimana masyarakat etnis Bali memberikan ucapan minal aidil wal faidzin yang mengandung makna saling memaafkan. Selain itu, pada saat masyarakat etnis Lampung sedang menjalankan ibadah shaum (puasa), masyarakat etnis Bali menghormatinya dengan tidak makan atau minum dengan sengaja di hadapan masyarakat etnis Lampung yang sedang menjalankan ibadah shaum (puasa). Lebih lanjut Pak Rustam juga menjelaskan, pada saat masyarakat etnis Bali sedang merayakan Hari Raya Nyepi, maka masyarakat etnis Lampung menghormatinya dengan cara menjaga suasana dari segala bunyi ataupun suara yang dapat mengganggu jalannya peribadatan.
Menurut Pak Rustam, masyarakat RT 04 Lingkungan III memiliki rasa solidaritas serta tenggangrasa yang tinggi. Hal itu terlihat manakala ada salah satu dari tetangga yang sedang sakit ataupun terkena musibah, maka mereka datang ke rumah orang yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa ada kepedulian di antara sesamanya dan merupakan solidaritas dari para warga sebagai bagian dari anggota masyarakat RT 04 Lingkungan III. Masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali juga saling mengundang apabila mereka sedang melaksanakan acara, seperti acara pernikahan, aqiqahan, sunatan, ataupun acara syukuran lainnya, begitu juga pada saat ada berita duka.
Pak Rustam menuturkan bahwa rutinitas pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mengakibatkannya hanya dapat berkumpul dan bergaul dengan masyarakat etnis Bali pada saat sore hari ataupun hari libur. Lebih lanjut Pak Rustam menuturkan bahwa ia hampir setiap hari menghabiskan waktu di kala sore hari berbincang-bincang di warung Pak Nyoman dan Pak Oka. Pak Rustam
93
menghabiskan waktu sekitar 0,5-1 jam pada saat bertemu, biasanya materi yang dibahas Pak Rustam tidak lain seputar permasalahan Negara Indonesia yang sedang ramai ditayangkan di televisi.
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
D. Pembahasan
Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Seperti pendapat Susanto (1979:63), yang mengutip ucapan dari Aristoteles, bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup berkelompok atau setidaknya lebih suka mencari teman untuk hidup bersama daripada hidup sendiri, karena itu manusia melakukan interaksi sosial.
Menurut pendapat Soekanto (1990:27), pada dasarnya di dalam diri manusia terdapat suatu keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya dan lingkungan alam sekelilingnya. Atas dasar keinginan tersebut, manusia terdorong untuk melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial dapat terjadi apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Adanya kontak sosial Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial yang terjadi secara langsung adalah kontak sosial melalui pertemuan dan tatapmuka serta dialog diantara kedua belah pihak, sedangkan kontak sosial secara tidak langsung adalah kontak sosial yang menggunakan alat atau perantara, misalnya melalui telepon, radio, dan surat.
104
2. Adanya komunikasi sosial Arti penting dari adanya komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap, serta perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut
Dalam pembahasan ini yang akan dikaji adalah mengenai aspek-aspek interaksi sosial yang meliputi cara berinteraksi, tempat berinteraksi, frekuensi berinteraksi, serta bentuk-bentuk interaksi sosial antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung yang bertempat tinggal di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu.
1. Aspek-aspek Interaksi Sosial
Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan, seluruh informan mengatakan bahwa interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung adalah realita bahwa seseorang yang hidup bermasyarakat tentu melakukan interaksi sosial, begitu juga halnya yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. Sebagai masyarakat pendatang di RT 04 Lingkungan III, masyarakat etnis Bali berupaya melakukan pendekatan dan membaur dengan masyarakat etnis Lampung.
Pada umumnya masyarakat etnis Bali dan masyarakat etnis Lampung dalam melakukan interaksi sosial lebih sering bertatapmuka secara langsung, namun ada juga yang menggunakan media (telepon) sebagai sarana untuk berkomunuikasi, seperti yang diungkapkan oleh informan yang bernama Deni Saputra. Menurut
105
Pak Deni, ia biasanya menggunakan sarana telepon untuk memesan barang belanjaan kepada Pak Oka ataupun Pak Nyoman.
Masyarakat etnis Lampung dan masyarakat etnis Bali dalam berinteraksi tetap memperhatikan nilai, norma, dan aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Nilai, norma, dan aturan itu berisi mengenai perintah maupun larangan yang bertujuan untuk mengatur setiap perilaku manusia guna mencapai ketertiban dan kedamaian. Adapun macam-macam norma kemasyarakatan yang memberikan petunjuk bagi seseorang dalam berperilaku, yaitu sebagai berikut: 1. Cara (usage), yaitu menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. 2. Kebiasaan (folkways), contohnya adalah kebiasaan menghormati orangorang yang lebih tua. Hal ini merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat Indonesia. 3. Tata kelakuan (mores), yaitu mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggotanya. 4. Adat-istiadat (custom), yaitu lebih mengarah kepada tata aturan dalam kebudayaan masing-masing (Sitorus, 1999).
Berdasarkan uraian di atas bila dikaitkan dengan penelitian, maka wujud norma yang berlaku di masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung yaitu norma tata cara. Contohnya pada saat masyarakat etnis Lampung sedang menjalankan ibadah puasa, masyarakat etnis Bali mencoba untuk tidak makan atau minum dihadapan masyarakat etnis Lampung. Selain norma tata cara, ada pula norma tata kelakuaan yang mengatur masyarakat etnis Bali dengan
106
masyarakat etnis Lampung dalam berinteraksi, misalnya dengan tidak mengeraskan volume televisi, radio, ataupun suara lainnya ketika masyarakat etnis Bali sedang menjalankan ibadah agama karena dikhawatirkan akan mengganggu jalannya peribadatan
Keseluruhan informan mengatakan bahwa tempat biasanya mereka berkumpul dan berbincang-bincang adalah di warung, di jalan, pada saat pelaksanaan pesta ataupun syukuran, dan pada saat melayat. Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa keseluruhan informan rata-rata memiliki waktu untuk berkumpul dan berbincang-bincang pada saat libur ataupun waktu senggang (sekitar setengah hingga dua jam) dengan kedalaman atau keintiman hubungan yang berbeda-beda. Selain itu, ada pula yang mengatakan pernah membantu secara sukarela baik materi maupun tenaga guna meringankan beban orang lain, namun ada juga hubungan yang dibangun berdasarkan kepentingan pribadi. Adapun materi ataupun isi pembicaraan yang sering di bahas masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali pada saat bertemu adalah mengenai keadaan atau kabar mereka masing-masing, seputar dunia olahraga, serta keadaan sekitar lingkungan tempat mereka tinggal.
2. Bentuk Interaksi Antara Masyarakat Etnis Bali dengan Masyarakat Etnis Lampung
Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1990:77), terdapat empat bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu:
107
1. Kerjasama (cooperation), merupakan orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-groupnya). 2. Persaingan (competititon), merupakan suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasaan. 3. Akomodasi (accomodation), istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. 4. Pertentangan atau pertikaian (conflict), merupakan sesuatu yang menjadi sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, diperoleh informasi bahwa dari bentuk interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung lebih mengarah kepada bentuk kerjasama dan tidak terdapat konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis
108
Lampung. Kalupun ada konflik pihak yang terlibat adalah antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis lainnya.
Kerjasama yang terjalin antara masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali, antara lain dalam yaitu bentuk kerjasama ekonomi dan juga berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana diungkapkan oleh informan yang bernama Pak Usman dan Pak Soni yang mengatakan bahwa mereka sering terlibat kerjasama di bidang ekonomi dengan masyarakat etnis Bali, seperti penggunaan jasa ojek maupun jasa pemotongan rumput dengan menggunakan mesin pemotong. Lebih lanjut Pak Usman dan Pak Soni mengungkapkan bahwa mereka sering dimintai bantuan oleh masyarakat etnis Bali untuk mengantarkan mereka berpergian apabila sedang tidak ingin berjalan kaki dan juga memotong rumput di halaman rumah mereka.
Adapun kerjasama lainnya di bidang sosial yang terjalin antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dapat terlihat dari keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh warga RT 04 Lingkungan III, seperti kegiatan gotongroyong, kegiatan ronda malam, kegiatan perayaan HUT Kemerdekaan RI, menjenguk tetangga yang sedang sakit, melayat tetangga yang meninggal dunia, dan lain sebagainya. Keseluruhan informan mengatakan pernah ikut dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Selain daripada itu, seluruh informan juga mengatakan bahwa mereka saling mengundang manakala sedang mengadakan acara, baik acara pernikahan (pawiwahan), syukuran, aqiqahan, ngotonin, ataupun acara-acara lainnya.
109
Pada dasarnya kegiatan kerjasama tersebut di atas tidak lain merupakan implikasi dari kepatuhan masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali terhadap nilai-nilai dasar (nilai budaya) yang merupakan pandangan hidup atau pedoman hidup bagi setiap manusia dalam bersikap dan bertingkahlaku dengan sesamanya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam budaya Lampung terdapat nilainilai budaya yang mengatur masyarakat etnis Lampung dalam bertingkahlaku dengan masyarakat etnis lainnya, yakni nengah nyampur, yaitu tata pergaulan masyarakat etnis Lampung dengan cara membuka diri dalam pergaulan masyarakat, nemui nyimah, yaitu keharusan untuk bermasyarakat, sakai sambayan yang berarti ikut aktif dalam kegiatan gotongroyong, saling membantu satu sama lain, dan sebagainya.
Begitupun sebaliknya, dalam masyarakat etnis Bali juga terdapat nilai-nilai budaya seperti Tri hita karana yang merupakan pedoman bagaimana cara seseorang dalam melakukan hubungan dengan sesama manusia (pawongan), dengan alam sekelilingnya (palemahan), dan dengan Tuhan (parahyangan). Lebih lanjut dalam ajaran Tri hita karana juga falsafah hidup yang dinamakan Desa kala patra dalam melaksanakan hubungan sosial dan kultural sesuai dengan tempat, keadaan, dan waktu. Desa kala patra ini, tidak lain dimaksudkan agar masyarakat etnis Bali dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar tempatnya bermukim. Selain itu ada juga yang dinamakan dengan Tat twam asi yang merupakan landasan etik dan moral bagi masyarakat etnis Bali di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis. Dengan demikian nilai-nilai budaya tersebut tercipta dalam rangka
110
untuk mengatur hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Penjelasan tersebut di atas diperkaya dengan pendapat Kluchohn (dalam Sitorus, 1999:30), yang menyatakan bahwa nilai dalam setiap kebudayaan mencakup lima masalah pokok yaitu sebagai berikut: 1. Nilai mengenai hakikat hidup manusia. Misalnya, ada yang memahami bahwa hidup itu buruk, hidup itu baik, dan hidup itu buruk tapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu baik. 2. Nilai mengenai hakikat karya manusia. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa manusia berkarya untuk mendapatkan nafkah, kedudukan, dan kehormatan. 3. Nilai mengenai hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu. Misalnya, ada yang berorientasi ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. 4. Nilai mengenai hakikat hubungan manusia dengan alam. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa manusia tunduk kepada alam, menjaga keselarasan dengan alam, atau berhasrat menguasai alam. 5. Nilai mengenai hakikat manusia dengan sesamanya. Misalnya, ada yang berorientasi kepada sesama (gotongroyong), ada yang berorientasi kepada atasan, dan ada yang menekankan individualisme (mementingkan diri sendiri).
Berdasarkan pendapat di atas bila dikaitkan dengan penelitian ini, maka nilai yang terkandung dalam kebudayaan masyarakat etnis Bali dan masyarakat etnis Lampung lebih mengarah kepada hakikat hubungan manusia dengan alam dan
111
manusia dengan sesamanya dalam ruang dan waktu, dimana dalam kebudayaan masyarakat etnis Bali dan juga masyarakat etnis Lampung nilai memegang peranan penting dalam setiap kehidupan manusia karena nilai menjadi suatu orientasi bagi manusia dalam bertindak (berinteraksi). Hal sedemikian juga yang mendasari masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali dapat melebur menjadi satu di atas segala perbedaan yang ada, selain juga didukung oleh rasa toleransi, solidaritas antara satu sama lainnya serta adanya perasaan bahwa individu merupakan bagian dari suatu masyarakat. Oleh karena itu individu dituntut untuk selalu berhubungan dengan lingkungan disekitarnya dan apabila individu tersebut tidak mau berhubungan dengan lingkungan disekitarnya, maka akan mendapatkan sanksi sosial seperti dikucilkan dan lain sebagainya..
Hal sedemikian menjadi rujukan masyarakat etnis Bali bahwa sebagai masyarakat pendatang dan juga etnis minoritas agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya sehingga dapat membaur dengan masyarakat lainnya tanpa terkecuali terhadap masyarakat etnis Lampung yang merupakan masyarakat mayoritas di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Pembauran yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu ini secara subyektif bahwa masyarakat etnis Lampung sedari dulu menyegani masyarakat etnis Bali sehingga masyarakat etnis Lampung sangat apresiasi terhadap masyarakat etnis Bali. Hal itu dapat terlihat dari keterlibatan masyarakat etnis Bali dalam berbagai kegiatan seperti gotong-royong, siskamling, ikut andil di perayaan HUT RI maupun kegiatan keagamaan seperti acara khitanan, syukuran, aqiqahan maupun acara otonan.
112
Toleransi beragama antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung terlihat manakala masyarakat etnis Lampung sedang merayakan hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha, dimana masyarakat etnis Bali terkadang terlebih dahulu mengulurkan tangan seraya mengatakan maaf. Seperti halnya yang diungkapkan oleh informan bernama Pak Ketut yang mengatakan bahwa ia tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan terlebih dahulu seraya mengucapakan Minal Aidil Walfaidzin, sebagai tanda permohonan maafnya apabila ada perbuatan yang kurang menyenangkan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan bernama I Putu Ardike yang mengatakan ia tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan terlebih dahulu dan meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja maupun tidak disengaja, sebaliknya masyarakat etnis Lampung menyambut uluran tangan dari Pak Putu dengan antusias dan mengajak Pak Putu untuk berkunjung ke rumahnya.
Begitu juga pada saat masyarakat etnis Bali sedang merayakan hari besar keagamaan seperti hari raya Nyepi, yang terlihat adalah suasana menjadi lebih sunyi, hal itu dikarenakan masyarakat etnis Bali tidak melakukan aktivitas, menyalakan listrik, berpuasa, dan lain sebagainya. Adapun bentuk toleransi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Lampung ketika masyarakat etnis Bali sedang merayakan hari besar keagamaan adalah yaitu tidak melakukan kegiatan-kegiatan berlebihan yang dapat mengganggu proses peribadatan mereka.
113
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:
Pada umumnya masyarakat etnis Lampung dan juga masyarakat etnis Bali melakukan interaksi secara langsung atau bertatap muka. Adapun tempat yang sering digunakan oleh masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung pada saat bertemu adalah di warung dan juga di jalan. Selebihnya yakni pada saat ada acara seperti pernikahan, aqiqahan, syukuran, otonan, dan acara belasungkawa. Pada saat bertemu, materi yang sering diperbincangkan adalah mengenai keadaan orang yang bersangkutan, seputar dunia olahraga, dan juga mengenai keadaan lingkungan sekitar tempat mereka tinggal. Dalam melakukan interaksi, baik masyarakat etnis Lampung maupun masyarakat etnis Bali mengedepankan rasa toleransi beragama dengan tetap mengindahkan nilai-nilai dasar (budaya) yang merupakan pandangan hidup atau pedoman hidup bagi manusia dalam bersikap dan bertingkahlaku. Pada umumnya interaksi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dilakukan pada saat harihari libur atau di saat waktu senggang, yakni pada saat mereka sedang tidak
114
bekerja serta dengan keperdulian, kedekatan, atau keeratan hubungan yang berbeda-beda
Pembauran yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu ini secara subyektif bahwa masyarakat etnis Lampung sedari dulu menyegani masyarakat etnis Bali sehingga masyarakat etnis Lampung sangat apresiasi terhadap masyarakat etnis Bali. Hal itu dapat terlihat dari keterlibatan masyarakat etnis Bali dalam berbagai kegiatan seperti gotong-royong, siskamling, ikut andil di perayaan HUT RI maupun kegiatan keagamaan seperti acara khitanan, syukuran, aqiqahan maupun acara otonan. Bentuk interaksi sosial lainnya yang dilakukan oleh masyarakat etnis Lampung dengan masyarakat etnis Bali dari segi ekonomi adalah berupa penggunaan tenaga kerja, seperti jasa ojek, pemotongan rumput, maupun pembelian barang-barang untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
B. Saran
1. Indonesia merupakan Negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, adat istiadat, latar budaya yang berbeda dan sudah tentu juga dengan karakter atau pembawaan yang berbeda. Oleh karena itu demi terciptanya hubungan yang baik, diperlukan adanya komunikasi yang intensif dan sikap terbuka antara satu sama lainnya serta tidak menilai suatu kelompok tertentu secara sepihak tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya.
115
2. Diharapkan kepada masyarakat etnis Bali dan juga masyarakat etnis Lampung agar lebih peka dan lebih tanggap terhadap keadaan di sekitar tempat tinggal mereka.
116
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara. Jakarta. Cangara, Hafied. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT Raja Grafindo. Jakarta. Desiree, Zuraida. 1974. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan. Citra Aditya Sakti. Bandung. Harahap, Yahya. 1983. Menuju Masyarakat Modern. Tata Nusa. Jakarta. Kontjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. -------------------. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Milles, Mattew dan A Michael Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung. Moleong J, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Gramedia. Jakarta. -----------------------. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sitorus, M. 1999. Berkenalan dengan Sosiologi. Erlangga. Jakarta. Susanto, Astrid S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta. Bandung. Susanto, Winarno. 1997. Interaksi Sosial Cina dan Pribumi. Gramedia. Jakarta. ---------------------. 1997. Interaksi Sosial Etnis Tionghoa. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
117
Suparlan,. Parsudi. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. UI Press. Jakarta. Wiranata, I Gede. 2002. Antropologi Budaya. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sumber Lain
Kusuma, Putu. Jadikan Bali Sebagai Culture. Http://ekakj.blog.friendster.com. Diakses pada 21-02-2008. Adhyaksa, Dharma. Falsafah Bali. Http://www.parisada.org.id Diakses pada 19-08-2007.
Mendatu, Achmanto. Etnik dan Etnisitas. Http://smartpsikologi.com. Diakses pada 12 Agustus 2008.
118
Panduan Wawancara (Bentuk dan Intensitas Interaksi Sosial Masyarakat Etnis Bali Dengan Masyarakat Etnis Lampung dalam Pembauran Etnis)
A. Identitas Informan Nama
:
Usia
:
Agama
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Alamat
:
Lama Menetap
:
B. Daftar Pertanyaan Wawancara 1. Aspek-aspek interaksi sosial A. Cara berinteraksi a. Bagaimanakah cara Saudara melakukan interaksi sosial (melalui bertatap muka secara langsung atau melaui media perantara)? b. Apakah Saudara pernah melakukan interaksi melalui media perantara? c. Apasajakah media perantara yang biasanya Saudara pergunakan untuk berinteraksi?
119
d. Apakah Saudara pada saat melakukan interaksi pernah terjadi konflik atau bertikai? e. Adakah nilai atau norma yang membatasi sikap Saudara dalam melakukan interaksi? f. Kalau ada, apa saja? g. Adakah hambatan yang Saudara temukan pada saat melakukan interaksi? h. Kalau ada, apa saja? i. Bagaimanakah kesan Saudara tentang masyarakat etnis Bali begitupun sebaliknya? B. Tempat a. Dimanakah tempat atau forum biasanya Saudara melakukan interaksi? b. Pada
saat
kapan
biasanya
tempat
atau
forum
tersebut
dipergunakan? C. Frekuensi a. Sudah berapa lama Saudara tinggal di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu? b. Berapa kali dalam seminggu biasanya Saudara bertemu? c. Berapa lama waktu yang dihabiskan dalam sekali/setiap bertemu? d. Materi apa yang biasanya Saudara bahas ketika bertemu? e. Sejauh mana kedekatan atau kedalaman Saudara terhadap keadaan sosial masyarakat setempat?
120
f. Adakah materi lainnya yang Saudara bahas selain daripada hal tersebut? g. Bahasa apakah yang Saudara pergunakan pada saat bertemu (Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah)?
2. Bentuk-bentuk interaksi sosial A. Segi ekonomi a. Apakah Saudara pernah melakukan transaksi jual beli? b. Dimanakah tempat Saudara melakukan transaksi jual beli? c. Apasajakah biasanya barang-barang yang Saudara beli? d. Apakah Saudara pernah mengupah orang lain untuk melakukan suatu aktivitas? e. Kalau pernah, apa saja? f. Apakah Saudara pernah mengelola usaha secara bersama-sama? g. Kalau pernah, apa saja? B. Segi sosial a. Apakah Saudara ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong-royong? b. Apakah Saudara ikut berpartisipasi dalam kegiatan keamanan lingkungan (siskamling)? c. Apakah Saudara ikut berpartisipasi dalam kegiatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia? d. Apakah Saudara ikut berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan? e. Apakah Saudara ikut menjenguk tetangga yang sedang sakit? f. Apakah Saudara ikut melayat tetangga yang meninggal dunia?
121
g. Apakah Saudara turut diundang pada saat ada hajatan? h. Apakah Saudara turut mengundang apabila Saudara ada hajatan?
122
BENTUK DAN INTENSITAS INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ETNIS BALI DENGAN MASYARAKAT ETNIS LAMPUNG DALAM PEMBAURAN ETNIS (Studi Pada RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu)
(Skripsi)
Oleh: YANTI OKTRIANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2010