BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin untuk dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari manusia lain. Hanya saja dalam kehidupan bersamalah manusia dimungkinkan untuk untuk memenuhi panggilan hidupnya, memenuhi kepentingannya, dan juga tentu kebutuhannya. Agar kebutuhan serta kepentingan tersebut dapat terlindungi dan terpenuhi, maka manusia hidup secara berkelompok dalam masyarakat. 1 Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai kepentingan, dan hukum mengatur hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan antara individu-individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. ikatan-ikatan itu tercermin pada hak dan kewajiban dalam satu hubungan hukum atas peristiwaperistiwa tertentu. Hak dan kewajiban yang dirumuskan dalam berbagai kaidah hukum tergantung isi kaedah hukum.2 Perekonomian pada dasarnya merupakan tiang penyangga keberhasilan suatu negara. Jika tiang penyangga ini kuat, maka akan memberikan konsekuensi yang kuat juga terhadap keberhasilan suatu negara. Keseriusan pemerintah dalam pembangunan dalam bidang ekonomi terlihat dari pasal 33 ayat (4) Bab XIV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “sistem perekonomian nasional harus diselenggarakan dengan mengutamakan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, 1
Sudikno Mertokusumo, 2001, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.3 Purnadi Purbacaraka dan M.Chaidir Ali, 1990, Displin Ilmu Hukum Cetakan IV, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm.60 2
efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Hal ini berarti bahwa perekonomian bukan menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah saja, namun membutuhkan peran serta dari masyarakat agar tercapainya pembangunan ekonomi nasional seperti apa yang di harapkan. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk memenuhi kebutuhan yang sedemikian mendesak dan juga untuk menggerakkan roda perekonomian yang dirasa semakin meningkat. Ada masyarakat yang kelebihan dana mereka, tetapi ada juga masyarakat yang membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga untuk mempertemukan kedua pihak ini, maka perlu intermediary yang kedudukannya sebagai kreditur sehingga dapat menyediakan dana bagi kebutuhan debitur. Dalam hal inilah, maka timbul perjanjian kredit. Kredit berasal dari Bahasa Romawi “credere” yang artinya percaya.3 Sementara dalam Bahasa Belanda, istilah lain dari kredit adalah “vertrouwen”, dan dalam Bahasa Inggris disebut “believe”/ “trust” yang berarti percaya. Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan baik terhadap prestasi maupun kontra prestasinya. Pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kredit adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. 3
Mariam Darus Badrulzaman, 1983,Perjanjian Kredit, Alumni, Bandung, hlm.21
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata pada dasarnya adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa syarat sahnya perjanjian terdiri dari 4 syarat yakni adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan demikian maka sebenarnya masayarakat dapat dengan mudah mengadakan perjanjian dalam bentu apapun asalkan memenuhi persayaratan sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Bank pada dasarnya merupakan suatu badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Hal ini bertujuan untuk ikut menjalankan dan melaksanakan proses pembangunan nasional ke arah yang lebih baik, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat. Dilihat dari bidang usahanya bank terdiri dari : 1. Bank umum Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum dari bank umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perusahaan Daerah. 2. Bank Perkreditan Rakyat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum dari Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa Perusahaan Daerah, Koperasi, Perseroan Terbatas dan Bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kegiatan usaha bank dapat dikelompokkan menjadi kegiatan penghimpun dana dari masyarakat dan kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat. Kegiatan
penghimpun dana dilakukan dalam bentuk tabungan, simpanan, dan kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan hal tersebut. sedangkan kegiatan penyaluran dana dapat dilakukan dengan cara pemberian kredit kepada masyarakat. Bank Perkreditan Rakyat pada dasarnya adalah sebuah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dalam usahanya yang tidak terlepas dari profit oriented. Bank dalam memberikan kredit disertai dengan jaminan tertentu. Keberadaan jaminan kredit merupakan salah satu cara untuk memperkecil Risiko bank dalam menyalurkan kredit. Menurut Pasal 1131 KUH Perdata semua benda atau kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk semua hutang- hutangnya. Tetapi sering orang merasa tidak puas dengan jaminan secara umum ini. Lalu meminta supaya suatu benda tertentu dijadikan tanggungan. Apabila 2 orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya, orang yang menghutangkan dapat dengan pasti dan mudah melaksanakan haknya terhadap si berhutang dengan mendapat kedudukan yang lebih tinggi dari pada penagih- penagih hutang lainnya.4 Penyaluran dana dalam bentuk kredit yang dilakukan oleh bank inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat terutama pelaku usaha untuk pemenuhan dana yang digunakan untuk memperlancar kegiatan usahanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyaluran kredit oleh bank dapat memberikan sumbangan yang penting terhadap perputaran roda ekonomi bangsa.5 Proses pemberian kredit pada dasarnya mensyaratkan adanya jaminan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang menyatakan bahwa ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan 4
Hartono Hadisuprapto, 1984, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hlm.51. 5 Hasanudin Rahman, Kebijakan Kredit Perbankan yang Berwawasan Lingkungan, PT.Citra Aditya, Bandung, hlm.20
berdasarkan prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Jaminan dalam sistem perbankan nasional dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan meliputi borghtocht dan perjanjian garansi. Sedangkan untuk jaminan kebendaan terdiri atas jaminan gadai, fidusia, hipotek, dan hak tanggungan. Sesuai dengan prinsip kehatian-hatian yang harus dilakukan oleh bank, dalam prakteknya harus dilakukan analisis secara mendalam terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), jaminan (collateral), serta prospek usaha dari debitur (condition of economy). Agunan atau jaminan (collateral) pada dasarnya merupakan suatu hal penting yang digunakan oleh kreditur untuk menjamin pelunasan piutangnya karena jika terjadi kredit macet, kreditur bisa menjual agunan milik debitur yang ada di tangannya untuk melunasi utang debitur. lebih lanjut, dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/69/Kep/Dir tertanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit juga dikemukakan bahwa jaminan pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.6 Salah satu jenis jaminan kebendaan yang sering dipakai oleh pihak bank adalah jaminan fidusia. Hal ini karena jaminan fidusia mempunyai manfaat bagi kedua belah pihak yakni pihak selaku kreditur dan nasabah selaku debitur. Bagi nasabah/debitur, barang yang dijaminan masih dapat dikuasai dan dapat dipergunakan untuk membantu usahanya dikarenakan yang diserahkan hanyalah hak milik saja. Hal 6
Santosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, hlm.70
ini dipertegas dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Sedangkan bagi pihak bank, prosedur pengikatan jaminan fidusia lebih praktis karena bank tidak perlu menyediakan tempat khusus untuk penyimpanan barang jaminan fidusia. Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia juga menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.7 Sebagai perjanjian yang bersifat accesoir, hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa jaminan fidusia memiliki sifat diantaranya sebagai berikut: 1. Mempunyai sifat ketergantungan pada perjanjian pokok. 2. Keabsahannya ditentukan pada sah atau tidaknya perjanjian pokok. 3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah ada atau telah dipenuhi. Dalam praktek perjanjian kredit, seringkali terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang diinginkan antara para pihak, yakni pihak bank sebagai kreditur dengan pihak nasabah sebagai debitur. Hal ini bisa saja menimbulkan berbagai masalah yang tidak diharapkan sebelumnya. Benda jaminan yang dijaminkan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani jaminan fidusia ternyata rusak, musnah, dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain. 7
J.Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Fidusia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm.157.
Rusak dan / atau musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit mungkin saja terjadi mengingat resiko apa saja bisa muncul di kemudian hari. Hal ini harus diantisipasi oleh pihak bank jika kekhawatiran ini terjadi mengingat posisi pihak sebagai kreditur sangat dirugikan jika hal ini terjadi. Sementara dalam UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak memberi gambaran yang jelas mengenai perlindungan bagi para pihak terkait dengan rusak dan/ atau musnahnya benda jaminan fidusia. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perlindungan hukum bagi kreditur atas rusak dan/atau musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Purworejo (PD BPR Bank Purworejo).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat di rumuskan berbagai masalah diantaranya sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur atas rusak dan/ atau musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit pada PD. BPR Bank Purworejo? 2. Upaya apa saja yang dilakukan oleh pihak kreditur jika benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit mengalami kerusakan dan / atau musnah pada PD. BPR Bank Purworejo? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan oleh penulis dalam penulisan hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Rusak dan/ atau Musnahnya Benda
Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Pada PD. BPR Bank Purworejo” adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur atas rusak dan/ atau musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit pada PD. BPR Bank Purworejo.
b.
Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan oleh pihak kreditur atas rusak dan / atau musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit pada PD.BPR Bank Purworejo
2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan keterangan dalam rangka penulisan hukum sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan studi pustaka yang dilakukan dalam berbagai referensi dan hasil penelitian di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, belum ada penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Rusak dan/ atau Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Pada PD. BPR Bank Purworejo”. Akan tetapi, sebelumnya sudah dilakukan berbagai penelitian yang mengangkat topik berkaitan jaminan fidusia, yakni diantaranya sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Modal Kerja (KMK) pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Yogyakarta dengan Jaminan Fidusia yang Tidak Didaftarkan. ( Ira Adelina 04/ 181043/HK/ 16815), dengan rumusan amasalah sebagai berikut:
a. Apa alasan-alasan yang mendorong PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Yogyakarta untuk tidak mendaftarkan akta jaminan fidusia pada perjanjian kredit modal kerja ke kantor pendaftaran fidusia (Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta) ? b. Bagaimana penerapan beberapa klausul/ketentuan yang mengatur tentang objek jaminan fidusia di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Yogyakarta terkait denagn tidak didaftarkannya jaminan fidusia tersebut? c. Bagaimana upaya perlindungann kepentingan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Yogyakarta dalam perjanjian kredit modal kerja yang dijamin dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan? d. Bagaimana upaya penyeleseaian pengembalian kredit yang dilakukan oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Yogyakarta pada saat debitur wanprestasi pada perjanjian kredit modal kerja yang dijamin dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan? 2. Pelaksanaan Hak Jaminan Dalam Perjanjian Kredit di Lembaga Keuangan Mikro Binangun Sukoreno Sentolo Kabupaten Kulon Progo (Dian Eka Rahmawati 06/194127/HK/17254), dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Apa yang menyebabkan kredit bermasalah di Lembaga Keuangan Mikro Binangun Sukoreno? b. Bagaimana penyelesaian yang dilakukan di Lembaga Keuangan Mikro Binangun Sukoreno terhadap debitur yang mengalami kredit macet? 3. Tinjauan Tentang Pemberian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Pada BPR Restu Mandiri Makmur di Sleman (Henrikus Andi Wibowo 02/158521/EHK/00343), dengan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Upaya apakah yang dilakuakn Bank atas kerugian nasabah akibat kesalahan dari marketingnya? Penulis beranggapan bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh sebelumnya. Perbedaan tersebut meliputi obyek penelitian dan lokasi penelitian. Dalam penenlitian kali ini, penulis lebih menitikberatkan bentuk perlindungan bagi kreditur atas rusak dan / atau musnahnya jaminan fidusia yang dijaminkan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penelitian ini dianggap asli dan layak untuk diteliti. Penulis juga berharap bahwa penelitian ini dapat melengkapi penelitianpenelitain yang telah ada sebelumnya. Namun demikian, diakui penulis bahwa tidak tertutup kemungkinan telah diadakan penelitian yang secara substansial memiliki kesamaan dengan objek penulis.
E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik dalam rangka pengembangan lebih lanjut dalam hal hukum perjanjian khususnya perjanjian kredit. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu bagi penulis maupun pihak-pihak lain mengenai bentuk perlindungan hukum bagi kreditur atas rusaknya dan/ atau musnhanya benda jaminan dalam perjanjian kredit.