1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai anggota dari masyarakat merupakan penyandang hak dan kewajiban. Menurut Aristoteles, seorang ahli fikir yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah zoon politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi mahluk yang suka bermasyarakat, maka manusia disebut mahluk sosial1. Sebagai mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dengan orang lain. Dalam hubungannya antara sesama manusia, tidak jarang antara anggota masyarakat mengadakan perbuatan-perbuatan hukum tertentu guna memenuhi kebutuhannya. Selama masih hidup, manusia mempunyai hubungan-hubungan hukum dengan manusia yang lain. Ketika manusia tersebut meninggal, hal ini tidak serta merta bahwa hubungan hukum tersebut lenyap. Setiap orang meninggal tidak hanya meninggalkan kerabatnya saja tetapi juga barang atau kekayaan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu peraturan yang mengatur mengenai kepentingan-kepentingan tersebut.
1
C. S. T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 29.
2
Harta warisan atau disingkat warisan ialah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua utangnya2. Warisan inilah yang diberikan kepada ahli waris yang merupakan orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukannya terhadap warisan baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian tertentu. Setelah pewaris meninggal dunia dan meninggalkan warisan benda bergerak maupun tidak bergerak, maka setelah penghitungan passiva dan aktiva para ahli waris akan membagi sisa dari harta peninggalan pewaris tersebut. Selain warisan, tidak jarang pewaris juga meninggalkan pesan tertentu yang berupa wasiat. Wasiat ini diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi. Perihal warisan ini perlu diatur dikarenakan pada saat wasiat ini berlaku, pembuatnya tidak ada lagi untuk ditanyai dan memberikan penjelasan atau untuk menegaskan isinya. Sebagai syarat guna pembagian harta warisan, para ahli waris berkewajiban untuk membuat Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris atau selanjutnya disebut SKW ini diperlukan guna warisan yang berupa harta benda yang bergerak maupun tidak bergerak. SKW ini juga 2
Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Bandung, hlm. 7.
3
merupakan salah satu syarat dalam pengalihan hak atas tanah karena pewarisan. Hal ini diperkuat dengan adanya ketentuan Pasal 111 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 selanjutnya disebut Permanag No. 3 Tahun 1997 bahwa permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan melampirkan : a. Sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun atas nama pewaris, atau apabila mengenai tanah yang belum terdaftar, bukti pemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997; b. Surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lain yang berwenang; c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa : 1) Wasiat dari pewaris, atau 2) Putusan Pengadilan, atau 3) Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau 4) Surat Keterangan Waris (SKW), dengan ketentuan sebagai berikut : a) Bagi warga negara Indonesia penduduk asli : surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan
4
oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; b) Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa : akta keterangan hak mewaris dari Notaris; c) Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya : surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan. d. Surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang bersangkutan; e. Bukti identitas ahli waris. Sebelum membuat SKW, para ahi waris harus mengetahui adanya wasiat atau tidak. Hal ini guna menentukan apakah ada atau tidaknya ahli waris testamenter. Ahli waris testamenter adalah orang yang pada sesuatu testament diberikan keseluruhan harta warisan atau bagian sebanding (evenredig deel) dari itu3. Pembuatan SKW ini bisa dilakukan oleh ahli waris sendiri dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia dan disaksikan oleh 2 (dua) saksi, notaris atau SKW dari Balai Harta Peninggalan. Apabila Akta Keterangan Hak Mewaris yang dibuat oleh notaris, perihal mengenai ada atau tidaknya
3
hlm. 11.
Hartono Soerjopratikno, 1984, Hukum Waris Testamenter, Sumur Bandung, Bandung,
5
surat wasiat dapat dilakukan oleh notaris dengan mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini berbeda dengan SKW yang dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia, perihal keberadaan wasiat dilakukan oleh Kepala Desa/Kelurahan dengan cara menanyakan kepada para ahli waris atau kerabat pewaris apakah si pewaris meninggalkan wasiat. Bagaimana jika para ahli waris ini tidak mengetahui perihal adanya wasiat yang dibuat oleh pewaris. Di sisi lain, wasiat merupakan kehendak terakhir dari pembuat wasiat yang harus dijalankan seusai pewaris meninggal dunia dimana pembuatannya dapat dilakukan dengan akta otentik maupun dibawah tangan. Wasiat yang dibuat oleh warga negara Indonesia penduduk asli yang beragama muslim yang tunduk pada Hukum Islam maka pembuatan wasiat dapat dilakukan dengan tata cara/prosedur pembuatan wasiat yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam. Hal ini berbeda dengan pembuatan wasiat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia penduduk asli yang beragama non muslim yang tunduk pada perdata barat maka pembuatan wasiat dapat dilakukan dengan akta otentik. Permasalahan yang ditimbulkan oleh warga negara Indonesia penduduk asli yang beragama non muslim yang tunduk pada Hukum Perdata Barat ini adalah ketika pewaris membuat wasiat otentik dimana SKW yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 111 Permanag 3 Tahun 1997, maka apakah dimungkinkan dilakukan pengecekan wasiat oleh ahli waris. Dalam hal ini, ahli waris bisa jadi tidak mengetahui
6
keberadaan mengenai wasiat tersebut atau ahli waris tersebut bisa jadi mempunyai itikad tidak baik dengan adanya unsur sengaja lupa/alpa mengingkari keberadaan wasiat tersebut. Menurut ketentuan peraturan yang berlaku, ahli waris tersebut telah melakukan prosedur pembuatan SKW yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tetapi dengan adanya prosedur tersebut maka bisa jadi menghilangkan hak-hak dari ahli waris testamenter. Sebagai contoh pada Kasus notaris Maria Martha Lomanto yang merupakan salah satu notaris di wilayah Surabaya4. Kasus tersebut mengenai kealpaan notaris melakukan pengecekan wasiat sebelum membuat Surat Keterangan Waris (SKW) sehingga SKW yang dibuat oleh notaris tersebut hanya ahli waris ab intestato saja. Hal ini mengakibatkan notaris tersebut dituntut secara pidana oleh ahli waris testamenter. Seorang notaris yang lupa melakukan pengecekan wasiat sebelum pembuatan SKW dapat dijatuhi pidana, lalu bagaimana dengan adanya unsur lupa/alpa dari ahli waris sendiri. Berdasarkan kasus tersebut, penulis berpendapat bahwa perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai prosedur pendaftaran wasiat yang berlaku secara unifikasi. Dengan adanya pendaftaran wasiat tersebut maka pengecekan wasiat sebelum pembuatan SKW mutlak harus dilakukan sebagai bagian prosedur pembuatan SKW.
4
Lanny Kusumawati, “Tanggung Jawab Jabatan Notaris”, http://adln.lib.unair.ac.id, diakses tanggal 24 Maret 2015.
7
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul urgensi pengecekan wasiat bagi keperluan pembuatan surat keterangan waris warga negara Indonesia penduduk asli di daftar pusat wasiat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana telah diuraikan maka didapatkan beberapa hal yang patut untuk dikaji berkaitan dengan urgensi pengecekan wasiat bagi keperluan pembuatan Surat Keterangan Waris warga negara penduduk asli di Daftar Pusat Wasiat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Mengapa perlu diadakan pengecekan wasiat bagi keperluan pembuatan surat keterangan waris warga negara Indonesia penduduk asli di Daftar Pusat Wasiat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari Surat Keterangan Waris yang berlaku terhadap warga negara Indonesia penduduk asli yang dibuat tanpa melakukan pengecekan wasiat terlebih dahulu apabila terjadi tuntutan dari ahli waris testamenter? C. Keaslian Penelitian Setelah dilakukan penelusuran kepustakaan, ternyata penelitian tentang wasiat pernah dilakukan oleh :
8
1. Tesis ditulis oleh Wulan Dari Ria Utami, pada tahun 2014, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul analisis putusan hakim tentang pembatalan akta wasiat dalam hubungannya dengan harta peninggalan terhadap anak angkat (studi putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009)5. Dengan mengangkat permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah tata cara pembuatan akta wasiat harta peninggalan yang dilakukan oleh para pihak dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam? b. Mengapa majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 memutuskan perkara pembatalan akta wasiat terhadap anak angkat? Adapun hasil penelitiannya yaitu : a. Tata cara pembuatan akta wasiat harta peninggalan yang dilakukan oleh para pihak dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam tidak sesuai dengan tata cara berwasiat menurut KHI karena harta yang diwasiatkan melebihi 1/3 bagian dan wasiat merugikan ahli waris. b. Majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 memutuskan pembatalan akta wasiat terhadap anak 5
Wulan Dari Ria Utami, “Analisis Putusan Hakim Tentang pembatalan Akta Wasiat Dalam Hubungannya Dengan Harta Peninggalan Terhadap Anak Angkat (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009)”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2014.
9
angkat karena para pihak yang meminta pembatalan akta tersebut kepada hakim. Adapun pembatalan akta wasiat karena akta yang dibuat tanpa persetujuan ahli waris yang lain dan isi akta wasiat tidak memenuhi syarat-syarat berwasiat, yaitu : penerima wasiat adalah ahli waris pemberi wasiat dan wasiat yang diberikan melebihi 1/3 bagian. Tesis ini menganalisis mengenai putusan hakim mengenai suatu kasus yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta wasiat yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana pembuatan wasiat tersebut tidak memenuhi syarat-syarat pembuatan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama melakukan penelitian perihal akta wasiat sedangkan perbedaannya adalah terkait dengan objek penelitian yang diteliti. Pada penelitian ini, objek penelitian adalah putusan hakim yang membatalkan akta wasiat terhadap anak angkat sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa penulis meneliti mengenai pengecekan wasiat sebelum pembuatan surat keterangan waris dimana surat keterangan waris ini digunakan bagi keperluan turun waris. 2. Tesis ditulis oleh Lina Dwi Marthani, pada tahun 2014, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul pembatalan wasiat bagi anak angkat dan akibat hukumnya terhadap ahli waris lain (studi kasus Putusan Mahkamah Agung
10
Nomor 677 K/AG/2009)6. Dengan mengangkat permasalahan sebagai berikut : a. Mengapa hakim membatalkan wasiat terhadap anak angkat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009? b. Bagaimana putusan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari asas keadilan berimbang dalam Hukum Waris Islam? Adapun hasil penelitiannya yaitu : a. Hakim membatalkan wasiat terhadap anak angkat dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 677 K/AG/2009 karena wasiat dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 195 ayat (2) KHI yang menyatakan bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta waris kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Pernyataan persetujuan harus dinyatakan di depan dua orang saksi baik tertulis maupun lisan. b. Ditinjau dari asas keadilan berimbang dalam hukum waris islam, Putusan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 677 K/AG/2009 sudah memenuhi asas keadilan berimbang dikarenakan penentuan bagian masing-masing ahli waris sudah sesuai dengan beban tanggungjawabnya.
6
Lina Dwi Marthani, “Pembatalan wasiat bagi anak angkat dan akibat hukumnya terhadap ahli waris lain (studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009)”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2014.
11
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama melakukan penelitian perihal wasiat. Penelitian ini menganalisis mengenai putusan hakim yang berkaitan dengan pembatalan akta wasiat ditinjau dari asas keadilan berimbang dalam Hukum Waris Islam. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa penulis meneliti mengenai pengecekan wasiat sebelum pembuatan surat keterangan waris dimana surat keterangan waris ini digunakan bagi keperluan turun waris. 3. Tesis ditulis oleh Dwi Satrio Rahadi, pada tahun 2014, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara waris yang mengakibatkan akta wasiat notaris menjadi tidak berkekuatan hukum (studi
pada
putusan
677
K/AG/2009)7.
Dengan
mengangkat
permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara waris yang mengakibatkan akta wasiat notaris menjadi tidak berkekuatan hukum pada Putusan Nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari asas kepastian hukum? b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara waris yang mengakibatkan akta wasiat notaris menjadi tidak berkekuatan
7
Dwi Satrio Rahadi, “Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara waris yang mengakibatkan akta wasiat notaris menjadi tidak berkekuatan hukum (studi pada putusan 677 K/AG/2009)”, Tesis, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2014.
12
hukum pada Putusan Nomor 677 K/AG/2009 tersebut sudah sesuai dengan asas kepastian hukum ? Adapun hasil penelitiannya yaitu : a. Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara waris yang mengakibatkan akta wasiat notaris menjadi tidak berkekuatan hukum pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/Ag/2009, yaitu : 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076; 2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958; 3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078;
13
Dalam kasus tersebut, hakim dalam memberikan putusan menerapkan metode interprestasi dan kontruksi hukum. Metode tersebut dipergunakan untuk menggali lebih dalam mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum islam sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk memutus perkara tersebut. b. Pertimbangan hakim yang digunakan dalam Putusan Mahkamah Agung pada dasarnya telah mencerminkan asas kepastian hukum. Terutama dalam hal keadilan bagi para pihak mengingat Putusan Mahkamah Agung tersebut membuat ahli waris lain yang berhak atas warisan R. Achmad Sarbini bin Abdul Rojak juga mendapat haknya, sedangkan tergugat sebagai anak angkat pewaris mendapatkan 1/3 bagian haknya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama melakukan penelitian mengenai akta wasiat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah mengenai objek penelitian. Penelitian ini menganalisis mengenai putusan hakim tentang perkara waris dimana putusan hakim tersebut mengakibatkan akta wasiat menjadi tidak berkekuatan hukum. Hal ini berbeda dengan penelitian penulis karena penulis tidak meneliti mengenai putusan hakim atas suatu perkara tetapi meneliti mengenai perlu adanya pengecekan wasiat sebelum pembuatan surat keterangan waris.
14
D. Tujuan/Manfaat Penelitian Adapun tujuan penulisan tesis ini ialah : 1. Tujuan Objektif Berdasarkan pada rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas maka tujuan objektif yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengkaji dan menganalisis urgensi pengecekan wasiat bagi keperluan pembuatan surat keterangan waris warga negara Indonesia penduduk asli di Daftar Pusat Wasiat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. b. Mengkaji dan menganalisis akibat hukum dari Surat Keterangan Waris yang berlaku terhadap warga negara Indonesia penduduk asli yang dibuat tanpa melakukan pengecekan wasiat terlebih dahulu apabila terjadi tuntutan dari ahli waris testamenter. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis sebagai syarat kelulusan pada Program Magister Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulisan tesis ini seyogyanya diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis : 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengembangan ilmu hukum, peraturan perundang-undangan, maupun
15
peraturan-peraturan khususnya yang berkaitan dengan Notaris maupun PPAT. 2. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dan sebagai tambahan pengetahuan dalam pelaksanaan pembuatan Surat Keterangan Waris dan bermanfaat bagi penelitianpenelitian yang lebih mendalam di masa mendatang bagi pihak yang terkait, seperti mahasiswa hukum, notaris, dan lain-lain.