I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan peternakan mengalami pergeseran paradigma. Titik berat kepada sistem budidaya (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan komprehensif, yaitu agribisnis. Agribisnis perunggasan nasional berupa peternakan ayam ras, secara nasional telah menunjukkan perkembangan yang sangat mengesankan selama Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I). Hampir tidak ada komoditi pertanian lainnya yang mampu menyamai prestasi perunggasan nasional, yang hanya dalam kurun waktu kurang dari 25 tahun, perunggasan nasional telah berhasil melakukan pendalaman struktur baik ke hulu (subsistem agribisnis hulu) maupun ke hilir (subsistem agribisnis hilir) sedemikian rupa sehingga dewasa ini perunggasan nasional telah menjadi suatu agribisnis modern. Serangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah baik berupa regulasi maupun deregulasi pada awalnya telah berhasil mendorong perkembangan agribisnis perunggasan yang antara lain ditunjukkan oleh peningkatan investasi pada industri hulu (breeding farm, feed mill) maupun industri pengolahan, berkembangnya perunggasan rakyat, berkembangnya poultry shop, Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Ayam/Tempat Pemotongan Ayam (RPA/TPA), yang dalam batas-batas tertentu telah berhasil menembus pasar ekspor. Hal ini menunjukkan apabila target yang ingin dicapai adalah masalah pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maka kebijakan pemerintah
1
2
paling tidak sampai dengan pertengahan 1997 dapat dikatakan berhasil. Namun apabila ditinjau dari aspek pemerataan maka kebijakan regulasi dan deregulasi di sub sektor perunggasan sampai dewasa ini dapat dikatakan belum berhasil dalam menjadikan usaha ternak ayam ras sebagai basis peternakan rakyat (Saptana et al, 2002). Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha ternak skala kecil berkembang baik apabila rasio (bandingan) harga produk ayam ras dan harga pakan cukup besar. Hal ini tidak lain karena biaya pakan merupakan bagian terbesar, antara 65 sampai 85 persen dari biaya produksi. Dengan demikian, kunci penyelesaian kemelut yang dialami peternakan rakyat dewasa ini adalah bagaimana memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras. Untuk memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras, tersedia tiga alternatif pemecahan : (1) mempertahankan harga produk ayam ras pada tingkat harga sekarang dan menurunkan harga pakan sampai tercapai rasio yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, (2) mempertahankan harga pakan ayam ras pada harga sekarang dan meningkatkan harga produk ayam ras sampai pada rasio yang diinginkan, dan (3) bila harga produk dan harga pakan sama-sama naik, maka kenaikan harga produk ayam ras harus lebih tinggi dari kenaikan harga pakannya. Perkembangan harga produk ayam ras berada di luar kekuasaan dunia usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis. Sedangkan harga pakan ayam ras berada didalam kekuasaan dunia usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis. Dengan demikian, harga pakan dapat digunakan sebagai alat kendali. Agar alat kendali ini dapat berfungsi baik, industri pakan ayam ras harus berada dalam
3
suatu posisi skala usaha tertentu, yang dapat berproduksi secara efisien (Alim, 1996). Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku untuk penyusunan ransum (pakan) lebih dari 15 jenis. Untuk itu harga dan suplai dari bahan baku tersebut baik yang diproduksi di dalam negeri atau di impor akan mempengaruhi industri pakan. Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan investasi pabrik pakan dan pembibitan, baik PMDN maupun PMA dengan mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijakan ini telah mendorong pertumbuhan usaha rakyat di Jawa Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil tanaman butir-butiran untuk ternak yang utama seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan sebagainya. Namun diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan wilayah konsumsi utama yakni kota Jakarta. Sejarah membuktikan, bahwa peternakan rakyat menghadapi masalah dalam mendapatkan bahan baku pakan. Sebagian besar pabrik pakan tradisional dan skala menengah yang sejak semula melayani usaha rakyat berguguran satu persatu dan akhirnya punah semuanya. Sebagai gantinya muncul pabrik pakan skala besar yang menguasai seluruh persediaan bahan baku pakan dalam negeri, sehingga peternak dipaksa hidup dengan membeli pakan pada harga yang tidak rasional. Kesulitan dan persaingan di dalam mendapatkan bahan baku di Jawa Barat telah mendorong perusahaan-perusahaan membangun lebih banyak armada untuk memperkuat diri sendiri dan akhirnya membentuk kekuatan monopoli. Terkait dengan kebutuhan industri pakan akan hasil-hasil pertanian berupa butir-butiran, maka akan lebih menghemat biaya apabila industri pakan tersebut
4
berlokasi dekat dengan sentra produksi butir-butiran. Hal inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah sekarang ini sehubungan dengan pengembangan wilayah peternakan. Salah satunya di wilayah Lampung. Propinsi ini merupakan wilayah sentra produksi bahan baku pakan (butir-butiran) dan sudah sejak lama menjadi daerah pengekspor bahan baku pakan ternak terutama ke Jepang dan Eropa (Disnakkeswan-Lampung, 2004). Data tahun 1994, di Lampung terdapat 20 buah industri bahan baku pakan ternak dari total 35 industri bahan baku pakan ternak di wilayah Sumatera, dengan kapasitas produksi 1 216 580 per tahun (Ekamasni Consulting,1995). Sejak tahun 1993/1994 propinsi Lampung telah menjadi salah satu pemasok ternak potong ke pasar raksasa DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sekarang ini Lampung merupakan salah satu propinsi terkemuka dalam industri perunggasan di Indonesia, dan mempunyai peluang pengembangan yang besar dengan didukung adanya industri pakan (6 perusahaan), breeder (2 perusahaan), perusahaan
yang
melaksanakan
kemitraan
(4
perusahaan),
perusahaan
pemotongan ayam (1 perusahaan). Populasi ayam ras pedaging di Lampung sampai dengan tahun 2003 mencapai 23 juta ekor, sementara konsumsi lokal hanya mencapai 16-17 juta ekor, ekspor ke Jepang 1 juta ekor dan 5 juta ekor untuk pasar luar propinsi (Disnakkeswan-Lampung, 2004). Fenomena krisis moneter di propinsi Lampung ditandai dengan bangkrut atau tutupnya beberapa usaha ternak. Informasi dari Dinas Peternakan setempat menyatakan bahwa usaha ternak yang paling parah terkena dampak krisis moneter adalah yang berstatus mandiri, yaitu dengan perkiraan sekitar 50-60 persen
5
mengalami kebangkrutan. Sementara itu untuk usaha ternak pola kemitraan cenderung lebih bertahan
dengan perkiraan
persentase kebangkrutan lebih
kurang 30 persen. Kondisi demikian mengisyaratkan bahwa pola kemitraan sedikit banyaknya dapat dianggap sebagai faktor kunci dalam menopang eksistensi usaha ternak ditengah terpaan krisis moneter. Beberapa usaha ternak di luar pola kemitraan yang masih sempat bertahan terhadap dampak krisis moneter, lebih disebabkan karena relatif kuatnya modal dan manajemen, serta adanya substitusi pemberian pakan alternatif yang diistilahkan dengan ”pakan oplosan”. Khusus untuk pakan alternatif, pihak Dinas Peternakan Lampung Selatan
mengemukakan bahwa sebagian peternak telah
mengupayakan oplosan antara jagung, dedak, ikan asin, C2CO3 dengan sebagian pakan pabrik. Bahan-bahan tersebut tersedia secara lokal baik di pasar maupun di toko ternak (poultry shop), namun terkadang langka diperoleh dengan harga yang cenderung mahal. Adanya kelangkaan bahan baku yang dialami peternak Lampung merupakan suatu ironi, mengingat propinsi ini memiliki potensi sumberdaya produksi, misalnya dalam penyediaan jagung, dedak, atau bahkan tepung ikan. Salah satu contoh yang dikemukakan aparat Dinas terkait setempat menyatakan bahwa produksi jagung Lampung mencapai 1.3 juta ton per tahun. Tingkat kebutuhan lokal hanya berkisar antara 600–800 ribu ton per tahun, tapi tetap saja tidak terpenuhi. Bahkan untuk tepung ikan, propinsi ini dikelilingi oleh laut yang cukup luas, namun tidak bisa memenuhi pasokan lokal setempat. Bila ditelusuri, menurut aparat Dinas tersebut, di propinsi Lampung terdapat beberapa perusahaan besar seperti PT Charoen Pokphand Indonesia, PT
6
Comfeed, dan PT Anwar Sierad yang memiliki silo-silo untuk menampung dan menyimpan jagung. Artinya, bahan baku pakan tersebut diindikasikan telah diraup pabrik pakan tersebut untuk diolah menjadi pakan ternak atau didistribusikan ke cabang perusahaan di wilayah lain. Sementara untuk tepung ikan, disinyalir di wilayah setempat terdapat industri produk terkait dengan orientasi ekspor. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kondisi ironi seperti dikemukakan di atas menjadi kenyataan (Yusdja et al, 2000). Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan industri pakan ternak ayam yang ada di Indonesia sekarang ini, yang diwakili oleh daerah/ propinsi Lampung dan Jawa Barat dengan gambaran yang berbeda seperti yang telah diungkapkan di atas.
1.2. Perumusan Masalah Pada tahun 1961 terdapat sekitar 200 pabrik pakan tradisional di Indonesia, namun pada tahun 1994 hanya terdapat 68 pabrik dan tidak ada pabrik berskala tradisional. Selanjutnya dilaporkan bahwa jumlah pabrik pakan di Indonesia tahun 1998 sebanyak 67 buah dan di tahun 2000 jumlah perusahaan pakan ternak sedikit mengalami penurunan menjadi 61 perusahaan (Ditjen Peternakan, 2000). Walau jumlah pabrik pakan lebih banyak pada tahun 1998 dan 1999, namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar berada pada tahun 2000 dan 2001. Fenomena ini menunjukkan bahwa selama tahun tersebut banyak pabrik pakan skala kecil yang tidak mampu bertahan (bangkrut), sebaliknya muncul beberapa pabrik pakan dengan skala yang relatif besar (Kariyasa, 2003).
7
Keragaman perkembangan industri dicerminkan oleh kondisi internalnya, terutama dalam kaitannya dengan berbagai indikator kinerja. Keragaman perkembangan tersebut kemudian mempengaruhi respon industri terhadap masukan dan fasilitas, baik yang datang dari pihak luar industri maupun strategi usaha yang dilakukan industri itu sendiri. Beberapa industri memiliki kemampuan untuk memberi respon yang lebih baik dibandingkan yang lain, dan industri yang berada pada kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai industri yang memiliki kemampuan usaha yang tinggi. Di lain pihak tantangan terbesar yang saat ini masih dihadapi oleh industri di Indonesia adalah untuk dapat mewujudkan industri sebagai badan usaha yang tangguh, yang mampu berusaha secara efisien dan ikut dalam misi memberdayakan ekonomi rakyat. Hal tersebut dapat diartikan sebagai tantangan untuk meningkatkan kinerja industri. Melihat keragaman perkembangan industri dapat diduga bahwa diantara industri ada yang mampu menjawab tantangan tersebut, tetapi juga ada yang tidak mampu. Dalam kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan, perilaku usaha (business conduct / business behavior / business strategy) berinteraksi dengan struktur usaha (business structure) yang kemudian akan mempengaruhi kinerja (business performance). Kinerja itu sendiri pada gilirannya akan membangun struktur usaha pada tahap selanjutnya (Rumelt, 1986 dalam Krisnamurthi, 1998). Dalam pandangan ini, perilaku usaha dapat diartikan sebagai pengambilan keputusan usaha yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi struktur usaha menuju pencapaian tujuan usaha tertentu. Perilaku usaha sendiri merupakan hasil dari pemikiran dasar - bahkan teori - yang memandu pengambil keputusan dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya guna mencapai tujuan yang diinginkan
8
dan tingkat perkembangan usaha yang telah dicapai (Kohls and Uhl, 1990 dalam Krisnamurthi, 1998). Kenyataan sekarang memperlihatkan bahwa struktur industri unggas nasional yang ada selama ini tidak berakar pada kekuatan sendiri, tidak terintegrasi dan tidak jelas apakah untuk elemen budidaya pengembangan usaha rakyat atau usaha skala besar. Disisi lain, profil industri unggas nasional mempunyai masalah pada hampir seluruh simpul-simpul agribisnis, mulai dari pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan, sampai pada simpul pemasaran. Simpul-simpul agribisnis tersebut bekerja tidak saling menunjang dan tidak saling seimbang sehingga strategi dan kebijakan pemerintah menjadi serba salah. Perlu juga diperhatikan bahwa pemerintah mempunyai komitmen bahwa budidaya peternakan merupakan sumber lapangan kerja dan mata pencaharian rakyat terutama di pedesaan. Namun, komitmen ini mendukung adanya intervensi pemerintah dalam industri unggas nasional. Atas dasar itu usaha-usaha dalam merancang strategi dan program pembangunan industri unggas yang efektif menjadi lebih penting (Yusdja, 2000). Adapun kajian yang dilakukan pada industri perunggasan dipandang sangat relevan, karena kegiatan pada bidang ini patut diduga telah terjadi praktek monopoli dalam bentuk kartel, atau paling tidak peternak rakyat menghadapi masalah ganda yaitu struktur pasar yang oligopolistik pada pasar input dan struktur yang oligopsonistik pada pasar output. Disamping itu isu adanya integrasi vertikal yang disertai adanya integrasi horisontal telah menyebabkan peternak rakyat berada pada posisi rebut tawar yang lemah.
9
Peternak rakyat banyak yang mengeluh dengan adanya integrasi vertikal ini. Dalam hal ini peternak akan menghadapi masalah ganda yaitu masalah pada pasar input dan sekaligus masalah pada pasar output. Peternak akan sebagai price taker pada pasar input dan terpaksa harus membayar harga input yang terkadang tidak rasional. Hal ini antara lain disebabkan oleh : (1) integrasi vertikal yang dijalankan adalah integrasi vertikal yang semu, sehingga tujuan utama integrasi vertikal adalah mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai. Hal ini disebabkan perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran, sehingga peternak rakyat menghadapi margin ganda dan (2) struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik, yang bagi perusahaan akan lebih menguntungkan melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dari pada melakukan perang harga. Sementara itu pada sisi pasar output peternak unggas rakyat menghadapi masalah : (1) pangsa produksi yang dikuasai baik secara individu maupun kelompok sangatlah kecil dibandingkan pangsa produksi perusahaan peternakan, (2) tidak ada perbedaan segmentasi dan tujuan pasar, dan (3) peternak unggas rakyat juga menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik terutama dalam berhadapan dengan inti. Selama periode 2001-2005, jumlah produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen per tahun (Statistik Peternakan, 2005). Meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras selanjutnya berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan ayam ras. Permintaan pakan yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya peningkatan produksi pakan. Produksi pakan pada tahun 1996 sebesar 4.3 juta ton
10
dan menurun menjadi 2.7 juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat berturut-turut menjadi 4.5 juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada tahun 2003 (Deptan, 2004). Meningkatnya produksi pakan tentu semakin meningkatkan kebutuhan pabrik pakan akan bahan baku pakan. Di dalam komposisi pakan ayam ras, jagung memiliki proporsi terbesar yaitu berkisar 51.4 persen, disusul bungkil kedelai 18.0 persen, dedak 15.0 persen, pollard 10.0 persen, tepung ikan 5.0 dan feed supplement 0.6 persen (Tangendjaja et al, 2002 dan Deptan, 2002). Terlihat bahwa jagung mempunyai peranan yang sangat besar dalam produksi daging ayam. Jagung sudah lama merupakan bahan baku populer di seluruh dunia. Selain harganya relatif murah, juga mengandung kadar kalori yang relatif tinggi, mempunyai protein dan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi dalam jumlah yang besar dan sangat digemari oleh ternak. Telah banyak usaha dilakukan dalam upaya mencari alternatif substitusi jagung, tapi tampaknya belum ada yang bisa menggantikannya secara sempurna. Sementara untuk bahan baku bungkil kedele, yang merupakan by product dari kedelai, produksinya di dalam negeri sangat sedikit sehingga dibutuhkan impor. Sulitnya memproduksi kedelai terkait dengan kesesuaian lahan di Indonesia. Setiap tahunnya dibutuhkan impor kedelai lebih dari dua juta ton. Pada pasar pakan ternak ayam ras, fenomena yang terjadi selama ini adalah laju kenaikan harga pakan jauh melebihi laju kenaikan harga jagung dan kedelai. Hal ini dapat dilihat semakin melebarnya rasio harga jagung terhadap pakan ternak yaitu dari 0.78 pada tahun 1980 menjadi 0.22 pada tahun 1996 (Purba, 1999). Selain itu, penyediaan pakan yang belum sesuai harapan juga menjadi
11
masalah dalam pasar ini, karena ketergantungan pabrik pakan terhadap bahan baku impor masih tinggi, terutama jagung dan bungkil kedelai. Pada tahun 1990, pangsa penggunaan jagung impor hanya 3.63 persen dari jumlah total kebutuhan jagung yang dibutuhkan dalam pembuatan pakan. Mulai tahun 1994 pangsa jagung impor sudah lebih dari 30 persen, bahkan tahun 2000 pangsa penggunaan jagung impor dan domestik hampir berimbang (47.04 persen berbanding 52.96 persen) (Kariyasa, 2003). Berdasarkan uraian permasalahan di atas, terlihat jelas bahwa pentingnya peranan industri pakan dalam menunjang industri perunggasan. Namun untuk melihat perkembangan ke depan ada beberapa pertanyaan pokok berkaitan dengan peningkatan kinerja industri pakan yaitu pertama, bagaimana perilaku bisnis perusahaan pakan ternak yang ada sekarang dan pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan ? kedua, bagaimana arah perkembangan industri pakan ? serta ketiga, bentuk kebijakan pemerintah seperti apa yang perlu dilakukan agar perkembangan tersebut dapat mengarah kepada peningkatan kinerja industri pakan dalam rangka pengembangan peternakan rakyat.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis keterkaitan hubungan antara Structure - Conduct - Performance (Struktur Perilaku - Kinerja)
12
2.
Menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam
3.
Merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan industri pakan. Dengan mengetahui struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak
ayam ras di Lampung dan Jawa Barat, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan untuk program pengembangan industri pakan ternak ayam ras, khususnya di dalam periode mendatang. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi bagi peneliti lainnya, khususnya peneliti di bidang peternakan.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kegiatan penelitian ini diawali oleh suatu diskusi mengenai perkembangan dan perilaku usaha industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat. Kemudian disusun model analisa empirik mengenai struktur, perilaku dan kinerja usaha industri. Dalam hal ini dianalisa sembilan perusahaan (pabrik) pakan ternak yang ada di wilayah Lampung dan Jawa Barat. Unit analisis yaitu pabrik pakan yang menghasilkan sepenuhnya atau sebagian besar pakan untuk ternak ayam. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada kebijakan yang berkenaan dengan industri pakan dan impor bahan baku pakan. Namun demikian, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Dilihat dari ruang lingkup, studi ini terbatas pada : 1. Data-data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi di industri pakan ternak dan tidak secara langsung membahas berbagai aspek non ekonomi yang juga menjadi komponen dan yang mempengaruhi perilaku dan kinerja industri
13
2. Analisis dibatasi hanya pada aspek produksi pada industri pakan ayam ras, tanpa membahas lebih lanjut secara mendalam tentang aspek pasar atau tataniaga bahan baku dan produk akhir pakan ternak ayam ras tersebut 3. Tidak menganalisis aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan industri pakan ternak ayam ras dan performance agribisnis ayam ras di Indonesia 4. Harga pakan, volume, biaya produksi untuk masing-masing jenis produk tidak dapat di disagregasi sesuai dengan diferensiasi produk yang dihasilkan. Harga pasar pakan merupakan harga rata-rata dari harga pakan perusahaan sampel.