I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Listrik sekarang telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat karena hampir setiap aktivitas masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, sangat tergantung pada ketersediaan energi listrik. Namun di sisi lain belum semua penduduk Indo nesia telah menikmati energi listrik. Rasio elektrifikasi 1 di Indo nesia sampai dengan akhir tahun 2009 baru mencapai 65 persen, yang berarti masih ada 35 persen penduduk yang belum menikmati aliran listrik (PT PLN (Persero), 2010). Pertumbuhan pembangunan jaringa n listrik juga masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Wilayah bagian timur Indonesia merupakan daerah de ngan rasio elektrifikasi paling rendah dibandingkan wilayah lain (lihat Tabe l 1). Tabel 1. Perkembangan Rasio Elektrifikasi di Indonesia,Tahun 2005–2009 (%) Wilayah
2005
2006
2007
2008
2009
Indo nesia
58.3
59.0
60.8
62.3
65.0
Jawa-Bali
63.1
63.9
66.3
68.0
69.8
Sumatera
55.8
57.2
56.8
60.2
63.5
Kalimantan
54.5
54.7
54.5
53.9
55.1
Sulawesi
53.0
53.2
53.6
54.1
54.4
Indo nesia Bagian Timur
30.1
30.6
30.6
30.6
31.8
Sumber: PT PLN (Persero), 2010
Di lain pihak, penyediaan tenaga listrik yang bersifat padat modal dan teknologi menyebabkan harga energi listrik menjadi mahal dan belum dapat 1
Rasio elektrifikasi d idefinisikan sebagai jumlah ru mah tangga berlistrik d ibagi ju mlah ru mah tangga yang ada
2
menjangka u selur uh wilayah Indo nesia. Sebagai contoh, untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dari 66.1 persen pada tahun 2010 menjadi 68.5 persen pada tahun 2011 membutuhka n investasi sebesar US$ 9.74 miliar. Diperkirakan investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan energi listrik dari tahun 2010 sampa i dengan tahun 2019 mencapai US$ 97.1 miliar. Tabel 2. Perkiraa n Jumlah Permintaan Energi Listrik, Rasio Elektrifikasi, dan Investasi yang Dibutuhkan,Tahun 2010–2019
2010
Jumlah Permintaan (GWh) 147.8
Rasio Elektrifikasi (%) 66.1
Kebutuhan Investasi (Juta US$) *) 8122.2
2011
161.1
68.5
9 739.0
2012
176.4
71.1
11 821.1
2013
193.6
73.7
12 153.3
2014
212.7
76.5
10 890.8
2015
233.7
79.5
9 493.2
2016
256.3
82.5
9 265.0
2017
280.7
85.5
9 326.9
2018
306.9
88.5
8 551.5
2019
334.4
90.9
7 740.5
Tahun
Jumlah
97 103.6
Keterangan: *) PT PLN (Persero) dan IPP Sumber: PT PLN (Persero), 2010
Melepaskan harga listrik sesuai mekanisme pasar tidak mungkin dilakukan pemerintah di tengah masih tingginya angka kemiskinan 2 . Berdasarkan data dari Bada n Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin di Indo nesia mencapai 31.02 juta orang atau 13.33 persen dari 237 juta penduduk. Apalagi Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa cabang produksi 2
Angka kemiskinan menunjukkan ju mlah penduduk miskin di seluruh Indonesia. Menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2010 garis kemiskinan mencapai Rp. 232 989 untuk daerah perkotaan dan Rp. 192 354 untuk daerah pedesaan.
3 yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Sehingga usaha penyediaan tenaga listrik harus disediakan oleh negara dan tersebar merata serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong proses produksi dan distribusi tenaga listrik yang lebih merata dengan harga yang terjangka u. Salah satu campur tangan pemerintah dalam sektor kelistrikan adalah keterlibatannya dalam penentuan tarif listrik. Kebijakan penetapan tarif listrik ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemberian subsidi. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1998 tarif listrik yang ditetapkan pemerintah selalu lebih rendah dari biaya pokok penyediaan tenaga listrik (lihat Gambar 1). Hal ini menyebabkan perusahaan penyedia tenaga listrik mengalami kerugian. Sehingga untuk mengganti kerugian akibat penetapan harga jual tenaga listrik tersebut, pemerintah membayar selisih harga tersebut kepada perusahaan penyedia tenaga listrik. 1600
Rp/kWh
1200 800 400
19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10
0
BPP
Rata-rata HJTL
Gambar 1. Biaya Pokok Penye diaa n dan Rata-Rata Harga Jual Tenaga Listrik Per kWh, Tahun 1990–2010
4
Selain itu terus meningkatnya permintaan tenaga listrik juga harus diikuti kemampuan produksi perusahaan penyedia tenaga listrik. Untuk meningkatkan produksi maka perlu membangun pembangkit-pembangkit baru yang berarti membutuhkan investasi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 di atas bahwa untuk memenuhi peningkatan permintaan tenaga listrik diperlukan investasi yang besar. Untuk itu sejak tahun 2009 pemerintah memasukka n unsur margin usaha dalam menghitung besarnya subsidi yang dibayarkan kepada PLN. Pemberian margin ini dimaksudkan agar PLN mendapatkan keuntungan, sehingga dapat melakukan investasi dari keuntungan tersebut. Selain itu, pemberian margin dilakukan untuk menyehatkan kondisi keuangan PLN. Hal ini dilakukan karena besarnya investasi yang diambil dari keuntungan PLN tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan tenaga listrik. Sejak tahun 2005 pemerintah tidak lagi melakukan investasi untuk PLN, sehingga untuk menutupi kekurangan investasi tersebut PLN mencari sumbersumber lain seperti dunia perbankan maupun lembaga-lembaga peminjam lainnya. Untuk dapat meminjam dari perbankan dan lembaga-lembaga lain baik lokal maupun internasional maka ko ndisi ke uangan PLN harus sehat. Dengan demikian kebijakan pemberian subsidi listrik yang dilakukan pemerintah bertujuan selain untuk membantu pelanggan yang kurang mampu dan masyarakat yang belum terjangkau pelayanan PLN dapat ikut menikmati energi listrik, juga untuk menjaga ketersediaan tenaga listrik listrik, serta menjamin kelangsungan hidup p erusahaan penyediaan tenaga listrik (Purwoko, 2003). Pemerintah telah mengeluarkan anggaran triliunan rupiah untuk subsidi listrik setiap tahun. Nilai realisasi subsidi listrik tersebut cenderung naik setiap
5 tahun, kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu dari 78.58 triliun rupiah pada tahun 2008 menjadi 53.72 triliun rupiah. Sejak tahun 2006 besaran subsidi listrik mengalami kenaikan drastis dan juga realisasinya selalu lebih besar dari nilai anggaran yang disediaka n. Tabel 3. Penge luaran Pe merintah Pusat untuk Subsidi, Tahun 2000–2010 Belanja Pem. Pusat Tahun (Triliun Rp)
Persentase Persentase terhadap Total Subsidi Subsidi Non BBM terhadap Belanja BBM Jumlah LainListrik Pem. Pusat nya
Subsidi (Triliun Rp) Non BBM BBM
Listrik
Lainnya
2000
188.39
53.81
3.93
5.01
62.75
33.31 85.76
6.26
7.98
2001
260.51
68.38
4.62
4.44
77.44
29.73 88.30
5.96
5.74
2002
247.80
31.16
4.10
7.37
42.64
17.21 73.09
9.62 17.29
2003
253.71
13.21
4.52
7.74
25.47
10.04 51.87
17.75 30.38
2004
300.04
59.76
3.31
7.37
69.85
23.28 85.55
4.74 10.55
2005
361.16
95.60
8.85 16.32
120.77
33.44 79.16
7.33 13.51
2006
440.03
64.21
30.39 12.83
107.43
24.41 59.77
28.29 11.94
2007
504.62
83.79
33.07 33.35
150.21
29.77 55.78
22.02 22.20
2008
693.36
139.11
83.91 52.28
275.29
39.70 50.53
30.48 18.99
2009
628.81
45.04
49.55 43.50
138.08
21.96 32.62
35.88 31.50
2010*
781.53
88.89
55.11 57.27
201.26
25.75 44.17
27.38 28.45
27.28 58.45
22.13 19.47
Ratarata
Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian Energ i dan Su mber Daya Mineral (dio lah) *) APBN-P 2010
Berdasarkan data dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dalam kurun waktu 2000–2010, secara rata-rata subs idi yang dikeluarkan pemerintah mencapai 27.28 persen dari total belanja pemerintah pusat, dimana 58.45 persen digunakan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi listrik adalah yang terbesar diantara subsidi-subsidi non BBM lainnya yang secara ratarata mencapai 22.19 persen pada periode yang sama. Sejak tahun 2006 subsidi listrik mengalami kenaikan tajam, baik dari nilai maupun persentasenya, di saat
6
subsidi BBM mulai berkurang. Bahkan pada tahun 2009 mencapai 35.88 persen, melebihi subsidi untuk BBM sebesar 32.62 persen. Kenaikan subsidi listrik ini disebabkan karena biaya operasional perusahaan penyedia tenaga listrik (PLN) yang terus meningkat, sementara tarif listrik relatif tetap. Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sejak krisis ekonomi tahun 1997 dan masih tingginya ketergantungan PLN terhadap BBM merupaka n dua sebab utama meningkatnya biaya operasional PLN. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada periode 2000-2010 sebesar 54.19 persen dari seluruh biaya operasional digunakan untuk membeli bahan bakar dan pelumas. Namun di sisi lain, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menurunkan pendapatan riil dan daya beli masyarakat. Sehingga pemerintah merasa perlu
mengeluarkan kebijakan
pemberian subsidi listrik untuk mengurangi beban masyarakat tersebut. Tabel 4. Biaya Operasional Perusahaan Penyedia Tenaga Listrik Menurut Je nis Penge luaran, Tahun 2000–2010 (Miliar Rupiah) Jenis Pengeluaran Bahan Tahun Jumlah Pembelian PemeliKepegaBakar dan Lainnya Listrik haraan waian Pelumas 2000 9 395.4 10 375.8 1 610.3 1 802.4 4 032.0 27 215.8 2001 8 717.1 14 007.3 2 630.4 2 066.3 4 498.3 31 919.4 2002 11 168.8 17 957.3 3 588.8 2 583.3 17 047.4 52 345.6 2003 10 834.0 21 477.9 4 827.6 3 827.7 14 910.0 55 877.2 2004 11 970.8 24 491.1 5 202.1 5 619.4 12 427.4 59 710.8 2005 13 598.2 37 355.5 6 511.0 5 508.1 13 050.9 76 023.6 2006 14 845.4 63 401.1 6 629.1 6 719.7 13 632.8 105 228.2 2007 16 946.7 65 560.0 7 269.1 7 064.3 14 665.8 111 506.0 2008 20 742.9 107 782.8 7 619.9 8 344.2 16 107.9 160 597.8 2009 25 447.8 76 235.1 7 964.5 9 758.3 15 870.3 135 276.0 2010 25 217.8 84 190.7 9 900.6 12 954.4 16 844.5 149 108.1 Rata-rata (%) 17.50 54.19 6.61 6.87 14.83 100.00 Keterangan: *) PT PLN (Persero) dan IPP Sumber: PT PLN (Persero), 2010
7 Ada satu pertanyaan klasik yang sering muncul berkaitan pemberian subs idi, yaitu apakah subs idi tersebut telah mencapai target, baik target “orang” maupun target filosofinya. Target “orang” maksudnya adalah subsidi dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkannya, sedangkan target filosofi adalah subsidi berhasil membantu masyarakat marjinal dan miskin tersebut keluar dari kemarjinalan dan kemiskinannya. Sampai saat ini adalah subsidi listrik tidak hanya diberikan kepada masyarakat miskin, tetapi kepada hampir semua pelanggan PLN. Tahun 2009, sebagai contoh, berdasar data da ri PT PLN (Persero), dari total realisasi subsidi Rp. 53.72 triliun, pelanggan rumah tangga menyerap Rp. 30.01 triliun atau 55.86 persen, dimana Rp. 22.34 triliun diberikan kepada rumah tangga kecil (450VA dan 900VA). Kalangan bisnis da n industri mendapatkan subsidi masing- masing 4.0 triliun rupiah dan Rp. 16.22 triliun. Instans i pemerintah dan kantor pelayanan publik lainnya mendapat jatah Rp. 1.82 triliun. Tabel 5. Besarnya Subsidi Menurut Golongan Pelanggan, Tahun 2005–2010 (Miliar Rp) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
Rumah Tangga s.d. 450VA Lainnya dan 900VA 7 300.6 599.7 15 237.0 4 023.3 16 335.6 4 782.4 28 537.8 10 688.4 22 344.8 7 661.9 26 860.0 9 300.0
Bisnis
Industri
Sos ial
159.6 2 963.7 3 529.3 9 043.3 3 997.2 2 920.0
1 892.4 9 465.8 10 273.5 24 952.8 15 947.1 12 000.0
333.4 977.3 1 131.9 2 216.5 1 674.6 1 900.0
Pelayanan Publik 288.2 1 199.1 1 383.6 2 851.6 1 817.0 1 710.0
Sumber: Kementerian ESDM dan PLN (diolah ) *) Alokasi subsidi listrik tahun 2010
Selain itu, subsidi listrik selama ini lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga kaya. Tabel 6 memperlihatkan bahwa meskipun secara total nilai subsidi
8
terbesar untuk rumah tangga sangat kecil, tetapi dilihat per pelanggan nilai subsidi yang dinikmati rumah tangga kaya jauh lebih besar dari rumah tangga kecil. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian subsidi yaitu untuk membantu seseorang atau rumah tangga kurang mampu untuk dapat menikmati energi listrik. Tabel 6. Nilai Subsidi yang Diterima Pe r Pelanggan Pe r Tahun Menurut Golongan Tarif Rumah Tangga, Tahun 2005–2010 (Ribu Rupiah) Tahun
s.d. 450VA
2005 2006 2007 2008 2009 2010
299.5 526.2 537.6 857.4 674.7 716.2
> 2.200 > 900VA 1.300VA 2.200VA s.d. 6.600VA 6.600VA 182.3 529.9 553.9 1 023.1 753.1 800.6
138.1 732.9 781.1 1 522.1 1 132.2 1 080.5
270.8 1327.6 1421.9 2756.8 2004.5 1 942.8
1 724.3 1 986.1 4 395.2 2 782.3 2 745.6
Ratarata
246.8 1 987.3 584.5 2 439.3 612.0 5 060.2 1 088.9 813.3 849.0
Sumber: PT PLN (d iolah)
Kebijaka n subsidi pe merintah yang be rupa subsidi harga (price goods subsidies) juga mempunyai beberapa kelemahan (Farabi, 2010), antara lain: (i) dari sisi anggaran pemerintah (APBN), subsidi BBM dan listrik yang sangat tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar, dalam pelaksanaannya cenderung berfluktuasi. (ii) subsidi listrik menyebabkan kesenjangan spasial karena pembangunan listrik masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera, dan (iii) subsidi telah menyebabkan ketidakadilan personal karena subs idi hanya diberikan kepada pelanggan PLN sehingga akan menciptakan kecemburuan dan kesenjangan dengan masyarakat pelanggan non PLN dan masyarakat yang belum teraliri listrik.
9 Melebarnya
kesenjangan dapat
menyebabkan
konflik
di tengah
masyaraka t. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan sektor kelistrikan, harus memperhatikan masalah kesenjangan ini sebelum menetapkan suatu kebijakan. Menurut Setianegara (2008), salah satu alasan
mengapa
masalah
kesenjangan
distribusi
pe ndapa tan
harus
dipertimbangkan adalah karena kebijakan pemerataan pendapatan, baik langsung maupun tidak langsung, dijalankan dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan. Masalah ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan telah menjadi perhatian utama pemerintah dalam proses pembangunan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009,
pemerintah telah
menetapkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu pro growth, pro jobs, dan pro poor. Melalui strategi pro growth diharapkan terjadi percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan (growth with equity). Percepatan laju pertumbuhan ini diikuti dengan makin banyaknya kesempatan kerja tercipta sehingga semakin banyak keluarga Indonesia yang dapat dilepaskan dari perangkap kemiskinan, serta memperkuat pereko nomian untuk menghadapi berba gai goncangan. Berpijak dari permasalahan di atas, maka diperlukan adanya metode yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang dapat mempengaruhi besarnya subsidi listrik di Indonesia dan bagaimana dampak pemberian subsidi listrik tersebut terhadap perekonomian dan kemiskinan. Model ekonometrika merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi besaran subsidi listrik
10
dan bagaimana pengaruhnya dengan tingkat kemiskinan. Menurut Koutsoyiannis (1977), ada tiga kegunaan model ekonometrika, yaitu untuk: (i) alat analisis, seperti pengujian suatu teori ekonomi, (ii) penetapan kebijakan, berdasar nilai estimasi parameter, dan (iii) peramalan dampak, yaitu dengan melakukan perlakuan tertentu pada suatu variabe l untuk mempredisi eko nomi menda tang. 1.2. Perumusan Masalah Besarnya nilai subsidi listrik yang harus dike luarka n sangat tergantung pada kemampuan membayar pemerintah dan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya ope rasional perusahaan penyedia tenaga listrik. Selain itu juga memperhatikan kondisi kemampuan masyarakat dan kondisi perekonomian secara menyeluruh. Secara teknis pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada PLN dalam penyaluran subsidi listrik. Berdasarkan alokasi jumlah subsidi yang diberikan pemerintah, PLN memberikan subs idi sesuai golongan tarif dengan besaran yang berbeda-beda. Sebagai contoh, untuk rumah tangga “miskin” dengan kategori rumah tangga yang terpasang daya 450VA dan 900VA. Untuk pelanggan industri dan kalangan bisnis juga tetap diberi subsidi tanpa kecuali. Begitu juga dengan lemba ga- lembaga sosial, kantor pemerintahan, dan penerangan jalan umum tetap diberi subs idi. Kebijakan pemberian subsidi yang hanya menggunakan kriteria tersebut memberi ruang pada pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, tidak semua pelanggan rumah tangga sangat kecil (450VA dan 900VA) adalah rumah tangga miskin. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa persentase rumah tangga miskin pengguna listrik terhadap jumlah pelanggan rumah tangga 450VA dan
11 900VA relatif kecil yaitu hanya sekitar 20 persen, yang berarti ada sekitar 80 persen pelanggan rumah tangga tersebut adalah bukan rumah tangga miskin. Tabel 7. Jumlah Pelangga n PLN Rumah Tangga Sanga t Kecil dan Rumah Tangga Miskin, Tahun 2005 – 2010
Tahun
Jumlah Pelanggan Rumah Tangga Sangat Kecil (450VA dan 900VA) (000)
Jumlah Rumah Tangga Miskin ‘(000) *)
Persentase Rumah Tangga Miskin terhadap Jumlah Pelanggan Rumah Tangga 450VA dan 900VA
2005
28.160,1
5,603.5
19.90
2006
28,886.2
5,983.1
20.71
2007
30,052.4
5,659.2
18.83
2008
31,005.9
6,279.8
20.25
2009
31.676,8
5,842.8
18.45
2010
32.348,3
5,572.2
17.23
Sumber: BPS dan PT PLN (dio lah) *) Jumlah rumah tangga miskin pengguna listrik = Jumlah penduduk miskin dibagi rata-rata ju mlah anggota ru mah tangga miskin d ikalikan persentase rumah tangga miskin dengan sumber penerangan listrik
Kebijakan pemberian subsidi seperti ini jelas tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian subsidi yaitu membantu penduduk berpenghasilan rendah. Pemberian subsidi dengan cara ini dapat menciptaka n kesenjangan yang makin lebar antar pelanggan PLN maupun dengan pelanggan non PLN atau masyarakat yang belum teraliri listrik. Bahkan penduduk miskin yang belum menikmati energi listrik akan mendapat dampak ganda, yaitu selain mereka tidak menikmati energi listrik, tetapi juga tidak mendapat subsidi. Dari uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya biaya pokok penyediaan, subsidi, dan harga jual tenaga listrik di Indonesia, baik yang berasal dari dalam
12
maupun luar negeri. Oleh karena itu salah satu rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik di Indonesia? 2. Seberapa besar dampak kebijakan pemberian subsidi tersebut terhadap jumlah penduduk miskin? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya produksi, konsumsi, subsidi, dan harga jual tenaga listrik, serta pe nerimaan dan pengeluaran pemerintah,kondisi perekonomian, kesempatan kerja, dan tingkat kemiskinan di Indo nesia. 2. Melakukan simulasi dampak peruba han kebijakan subsidi harga listrik, efisiensi perusahaan terhadap kondisi perekonomian dan kemiskinan di Indo nesia. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapka n dapat memberi manfaat: 1. Bagi Pemerintah dan PLN, sebagai bahan evaluasi terhadap kebijakan pemberian subsidi yang dilakukan selama ini serta mendapa t masuka n dalam membuat kebijakan subsidi listrik ke depan yang lebih terarah dan memenuhi azas berkeadilan. 2. Bagi anggota Legilatif dan Partai Politik, sebagai masukan dalam memperjuangka n kepentinga n rakyat, terutama masyarakat miskin, tanpa mengabaikan nasib perusahaan penyedia energi listrik, sehingga subsidi benarbenar dapat dirasakan oleh mereka yang membutuhkan, roda perekonomian
13 dapat berputar, dan perusahaan penyedia energi listrik dapat beroperasi sebagaimana mestinya. 3. Bagi masyarakat, sebagai media pembelajaran dan pendewasaan masyarakat akan hakikat subsidi listrik, sehingga masyarakat bisa mengoptimalkan konsumsi listrik sesuai dengan tingkat kemampuannya. 1.5. Ruang Lingk up dan Keterbatasan Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya biaya pokok penyediaan tenaga listrik, subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah, da n harga jual tenaga listrik yang harus diba yar pelanggan, baik faktor sosial, politik, maupun ekonomi. Penelitian ini lebih difokuskan pada faktor- faktor ekonomi yang dominan mempengaruhi besarnya biaya pokok penyediaan, subsidi, da n harga jua l tenaga listrik serta dampaknya terhadap perekonomian dan kemiskinan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Penelitian ini menggunakan data pada periode tahun 1990 sampai dengan 2010. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang berdampak kepada kinerja perekonomian nasional baik secara makro maupun mikro. Banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan tak terkecuali perusahaan penyedia tenaga listrik (PLN). Namun penelitian ini tidak membedakan masa sebelum dan sesudah krisis, meskipun kebijakan pemerintah setelah krisis sangat berbeda dibandingkan sebelum krisis, terutama yang berkaitan dengan subsidi, termasuk subsidi listrik. Periode penelitian yang lebih banyak pada periode setelah krisis menyebabkan model yang dibangun lebih menggambarkan kondisi perekonomian setelah krisis daripada sebelum krisis.
14
Selain itu, luasnya permasalahan berkaitan dengan biaya penyediaan, subs idi, da n pe nentuan harga jual tenaga listrik di Indonesia serta keterbatasan data yang tersedia, ada beberapa keterbatasan penelitian ini, yaitu: 1. PLN membagi pelanggan menjadi 37 golongan tarif. Namun dalam penelitian ini hanya membagi pelanggan menjadi tiga kelompok, yaitu pelanggan rumah tangga, pelanggan industri dan pelanggan lainnya. 2. Belanja pemerintah dalam penelitian ini hanya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu belanja untuk subsidi listrik dan belanja lainnya. Belanja untuk subsidi dibedakan menjadi subsidi untuk pelanggan rumah tangga, pelanggan industri, dan pelanggan lainnya. Sementara untuk belanja lainnya tidak dipisahkan secara terperinci. 3. Lingkup pembahasan penelitian ini dilakukan pada level nasional, maka hasil analisisnya juga bersifat umum secara nasional. Jadi ada kemungkinan hasilnya kurang sesuai jika diterapkan pada level regional karena setiap daerah tentunya mempunyai kekhususan tersendiri, baik secara karakteristik wilayah, jumlah pelanggan, maupun jumlah konsumsi listriknya. 4. Penelitian ini juga hanya memfokuskan pada kebijakan pemberian subsidi listrik kepada pelanggan PLN, sehingga mengabaikan kebijakan perusahaanperusahaan penyedia listrik selain PLN. Selain itu, pe nelitian ini juga hanya menganalisis subs idi listrik yang dilakukan pe merintah yaitu subs idi harga, sehingga tidak meneliti alternatif lain dari kebijakan subsidi seperti kebijakan pengalihan subsidi langsung tunai kepada pelanggan, subsidi barang input, dan lain- lain.