I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati dan didominasi pepohonan dengan tiga fungsi utama, yaitu : a) konservasi, b) lindung, dan c) produksi. Sedangkan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik (Undang-Undang No 41/1999). Sejak puluhan tahun silam, hutan rakyat telah menunjukkan peran (sosial-ekonomi dan lingkungan) yang sangat bermanfaat bagi petani maupun masyarakat luas.
Peran sosial
diwujudkan dalam bentuk tersedianya berbagai lapangan pekerjaan, sedangkan peran ekonomi diwujudkan dalam bentuk kontribusi pendapatan dan penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu (Attar, 2000; Kusumedi, 2005; Sinaga 2010). Sementara itu, peran lingkungan diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap sistem pertanian di pedesaan, penyangga ekosistem, penjaga stabilitas ekologi dan pengatur tata air wilayah.
Akan tetapi, peluang hutan rakyat untuk
digunakan sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan petani belum sepenuhnya terwujud karena pengelolaannya masih dilakukan secara tradisional dengan input yang serba terbatas (Wollenberg et al. 2004). Peran hutan rakyat di Indonesia dimasa yang akan datang semakin strategis (Purnama, 2007). Hal ini disebabkan laju kerusakan hutan cenderung mengalami peningkatan dan saat ini telah mencapai 0,45 juta ha per tahun, meliputi kerusakan kawasan hutan negara 0,32 juta ha per tahun dan diluar kawasan hutan negara 0,13 juta ha per tahun (Hasan, 2012; Kementerian Kehutanan, 2012). Akibat dari kerusakan tersebut juga telah meningkatkan luas lahan kritis hingga mencapai 77,8 juta hektar dan mengancam keberlangsungan pasokan bahan baku pada industri pengolahan kayu. 1
Pengelolaan hutan rakyat adalah kegiatan pemanfaatan lahan secara optimal dalam bentuk usaha tani berbasis hutan dengan hasil berupa komoditas tanaman kehutanan dan tanaman pertanian (Andayani, 2003). Sedangkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan menurut Brundtland Commission (UNCED 1987) adalah pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang .
Di pedesaan, pembangunan
berkelanjutan pada hakekatnya berkaitan erat dengan kelestarian pertanian (Grenz et al. 2009). Oleh karena itu, meningkatkan kelestarian produksi pertanian menjadi penentu bagi tercapainya tujuan pembangunan. Tujuan dari pengelolaan tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperbaiki tata air serta lingkungan dengan cara meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari (Awang et al. 2007). Watasari (2009) melaporkan bahwa total volume pohon per hektar pada hutan rakyat di Kabupaten Ciamis adalah 79,15 m3/ha dan untuk daur 8 tahun, potensi kayu per tahun sebesar 9,89 m3/ha/tahun. Dishutbun (2010) mencatat bahwa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis luasnya 31.707,44 ha dengan total volume pohon sebesar 2.159.543,39 m3 atau total rata-rata volume pohon per hektar sebesar 68,1 m3/ha dan untuk daur 8 tahun, potensi kayu per tahun sebesar 8,5 m3/ha/tahun. Potensi tersebut menjadikan Kabupaten Ciamis sebagai salah satu sentra kayu rakyat di Jawa Barat dengan rata-rata produksi menyumbang 15,46% dari total produksi kayu rakyat di Jawa Barat. Dishutbun (2009) mencatat bahwa produksi kayu rakyat di Kabupaten Ciamis per tahun sekitar 15,5 m3/ha/th. Sementara itu hasil penelitian Siahaan et al. (2014) menyebutkan bahwa produktivitas hutan rakyat pola agroforestri di Bengkulu berbasis Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) berkisar antara12,83 m3/ha/th s/d 14,66 m3/ha/th tergantung dari jenis 2
tanaman pencampurnya. Sedangkan pada pola tanam monokultur produktivitasnya mencapai 22,03 m3/ha/th s/d 24,42 m3/ha/th (Apriyanto, 2003). Gunawan dalam Setiadi et al. (2014) melaporkan bahwa riap rata-rata sengon mencapai 20 m3/ha/th, sedangkan di hutan rakyat dengan pola agroforestri riapnya sedkit lebih rendah yaitu 16,78 m3/ha/th. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, produktivitas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis meskipun belum optimal, masih tergolong wajar. Walaupun produktivitas kayu pada pola tanam agroforestri lebih rendah dibandingkan pola monokultur, pola agroforestri memberi keuntungan tersendiri pada petani terutama dalam hal kontinyuitas pendapatan. Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis tersebar di tiga wilayah yaitu wilayah pengembangan Utara, Tengah dan Selatan. Setiap wilayah mempunyai kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi yang berbeda sehingga daya dukung lingkungan dan modal sosialnya juga berbeda. Sehubungan dengan hal itu untuk memperoleh hasil yang optimal, pengelolaan hutan rakyat dan kebijakan terkait harus disesuaikan dengan kondisi tersebut. Salah satu masalah yang dihadapi pada pengelolaan hutan rakyat saat ini adalah belum tersedianya jaminan kelestarian, sehingga kelestarian usaha dibidang hutan rakyat juga tidak terjamin. Kelestarian menjadi isu penting karena mempengaruhi keberlangsungan manfaat yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mempengaruhi nasib banyak tenaga kerja yang bekerja dibidang pengolahan kayu rakyat.
Banyaknya industri pengolahan kayu yang berhenti operasi dan
semakin pendeknya rotasi tebang hutan rakyat (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, 2015) menjadi pertanda bahwa ada masalah dengan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Penurunan daur juga dikemukakan oleh Suhartati et al. (2013) yakni untuk kesinambungan suplai kayu, maka perusahaan kehutanan menurunkan daur tanaman dari umur 6 tahun menjadi umur 4–5 tahun agar bahan baku kayu tetap tersedia sesuai kebutuhan Industri. 3
Kelestarian hutan perlu dievaluasi untuk memberi jaminan keberlanjutan bagi pelaku usaha dibidang hutan rakyat.
Evaluasi tersebut membutuhkan pendukung yang melibatkan
beberapa sistem yaitu : sosial, ekonomi
dan ekologi.
Menurut Li et al. (2015), untuk
menganalisis permasalahan yang kompleks, salah satu metode yang saat ini banyak digunakan adalah metode sistem dinamis (system dynamic) yang berbasis linear thinking dalam bentuk sebab-akibat (causal loops). Keunggulan dari metode ini adalah bisa mengakomodir banyak variabel dan membangun hubungan antar variabel (Ozesmi et al. 2003; Kyriakarakos et al. 2014 ). Namun demikian, metode tersebut juga memiliki kelemahan yakni penyebab pertama dari rangkaian causal loops tersebut sering kali bukan menjadi sumber masalahnya karena causal diasumsikan terjadi secara serial.
System dynamic adalah metodologi berfikir untuk
mengabstraksikan suatu fenomena di dunia sebenarnya ke model yang lebih explisit.
Model
system dynamics seperti DYNAMO (Forrester et al. 1976), Fuzzy Cognitive Mapping/FCM (Kosko, 1978) dan STELLA (Richmond, 1985) diusulkan oleh banyak peneliti untuk tujuan memahami suatu sistem yang kompleks. Response-Inducing Sustainability Evaluation (RISE) adalah metode evaluasi kelestarian berbasis indikator yang bisa dipergunakan untuk tujuan monitoring dan bisa untuk memfisualisasikan kecenderungan kelestarian pada tingkat tapak maupun regional (Grenz, 2012). Penggunaan RISE memungkinkan kelestarian menjadi nyata, terukur dan bisa dikomunikasikan serta memotivasi petani untuk melakukan umpan balik secara praktis. Saat ini RISE telah diterapkan pada berbagai bidang antara lain pada bidang pengelolaan lahan (Herweg et al. 1998), perkebunan teh dan kopi (Grenz, 2011), perencanaan perkotaan (Mitraka et al. 2014) dan urbanisasi (Xu et al. 2015).
4
Evaluasi menggunakan RISE dilakukan dengan cara wawancara mendalam disertai observasi lapangan.
Indikator yang dipergunakan meliputi aspek lingkungan, ekonomi dan
sosial. Data difisualisasikan dalam bentuk poligon kelestarian yang disajikan sebagai dasar untuk diskusi umpan balik, dimana petani dan pengambil keputusan bekerjasama mengidentifikasi kriteria utama untuk meningkatkan kinerja pertanian dan kelestarian pengembangan aspek. Metode RISE memang belum pernah diterapkan pada bidang kehutanan. Meskipun demikian, alat polygon kelestarian telah diperkenalkan oleh Ritchie et al. (2001) untuk mengevaluasi kelestarian hutan yang dikelola oleh masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut, metode RISE berpotensi untuk menilai tingkat kelestarian hutan rakyat. Penelitian tentang hutan rakyat di Kabupaten Ciamis telah banyak dilakukan, tetapi terhadap aspek kelestarian yang melibatkan multi sistem belum pernah dilakukan. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan tingkat kelestarian dan menilai kinerja pengelolaan hutan rakyat secara menyeluruh. B. Perumusan Masalah Hutan rakyat berpotensi digunakan untuk mendukung ekonomi masyarakat dan menjaga mutu lingkungan. Pendapatan dari hutan rakyat mempunyai kontribusi yang tidak kecil terhadap total pendapatan rumah tangga petani. Hutan rakyat dengan pola agroforestri bahkan mampu menyumbang pendapan diatas 50 % (Diniyati et al. 2015; Olivi et al. 2015; Rajagukguk et al. 2015). Tingginya kontribusi tersebut karena hasil antara dari tanaman semusim menyumbang pendapatan rutin yang cukup besar. Peran tersebut berpotensi digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui hasil penjualan kayu, penjualan hasil hutan bukan kayu dan jasa hutan rakyat (Mayrowani et al. 2011).
5
Saat ini, kontribusi pendapatan tersebut dihasilkan dari hutan rakyat yang dalam pengelolaannya masih menerapkan teknologi sederhana dan kurang mempertimbangkan kaitannya dengan faktor lingkungan.
Salah satu tujuan penelitian ini adalah menemukan
komposisi jenis tanaman yang bisa menyumbang pendapatan terbesar sehingga kontribusi pendapatan dari hutan rakyat bisa ditingkatkan. Pertimbangan terhadap aspek lingkungan pada penelitian ini juga memungkinkan peningkatan kontribusi pendapatan tidak terjadi sesaat saja, tetapi berkelanjutan. Hutan rakyat adalah sistem penggunaan lahan di dalam suatu lansekap, sehingga keberadaannya mempengaruhi sistem penggunaan lahan lainnya seperti pertanian, perikanan dan lainnya. Meskipun hutan rakyat telah menunjukkan peran yang besar bagi aktivitas ekonomi masyarakat di daerah hulu sampai hilir, tetapi hutan rakyat masih menghadapi banyak kendala dan permasalahan. Luas unit usaha hutan rakyat pada umumnya sempit, pengelolaannya relatif belum intensif dan kelembagaannya belum tertata (Maryudi, 2005). Resultante dari berbagai kendala tersebut antara lain menyebabkan hasil hutan tidak bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Meskipun Kabupaten Ciamis menjadi sentra kayu rakyat di Jawa Barat, akan tetapi produksi kayunya belum dijamin lestari. Untuk lebih meningkatkan peran hutan rakyat dalam kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, peningkatan faktor produktivitas saja belum cukup tetapi faktor derajat kelestarian hutan rakyat juga perlu ditingkatkan. Pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor kunci yakni perlindungan lingkungan, efisiensi ekonomi dan solidaritas sosial. Dengan demikian, aspek teknis, aspek sosial-ekonomi dan aspek kebijakan secara bersama-sama mempengaruhi derajat kelestarian hutan rakyat.
6
Produktivitas hutan bisa ditingkatkan melalui beberapa cara, salah satunya dengan mengoptimalkan pola tanam yaitu pengaturan ruang tumbuh secara horizontal (seperti jarak tanam) dan vertikal (seperti stratifikasi tajuk) dari berbagai jenis tanaman.
Produktivitas
bersama-sama dengan faktor lain seperti daur dan etat volume menentukan besarnya tingkat kelestarian hutan rakyat. Banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat kelestarian hutan rakyat menyebabkan parameter yang dibutuhkan untuk mengukur menjadi sangat kompleks. Padahal bobot pengaruh parameter tersebut tidak sama, sehingga perlu diidentifikasi parameter yang pengaruhnya dominan. Sehubungan dengan hal itu, maka penggunaan kriteria dan indikator (K&I) pada metode RISE dinilai menjadi instrumen yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini telah menjawab pertanyaan sbb : 1. Berapa besar tingkat pendapatan petani dari hutan rakyat, dan bagaimana kelayakan usaha jangka panjangnya, 2. Faktor-faktor apa saja yang menentukan pendapatan petani dari hutan rakyat, dan bagaimana hubungan faktor-faktor tersebut dengan pendapatan 3. Berapa daur dan etat volume hutan rakyat 4. Bagaimana tingkat kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Ciamis Hasil penilaian terhadap kriteria dan indikator tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menyusun strategi pengelolaan hutan rakyat yang bisa menjamin pendapatan petani dan pelaku usaha dibidang hutan rakyat secara berkelanjutan. C. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menentukan kinerja pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani hutan
7
rakyat dan masyarakat pedesaan.
Untuk mencapai tujuan utama tersebut, telah dilakukan
beberapa penelitian dengan tujuan khusus berikut, antara lain : 1.
Menetapkan kontribusi pendapatan dan kelayakan usaha beberapa komposisi jenis tanaman pada hutan rakyat di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis dan tiga strata luas pemilikan hutan,
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dari hutan rakyat dan bentuk hubungannya
3.
Mengetahui daur dan etat volume hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
4.
Mengevaluasi tingkat kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Ciamis
D.
Manfaat Penelitian Keluaran dari penelitian ini diharapkan berguna untuk :
1. Bahan masukan dan informasi penting bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan pelaku usaha dari sektor hutan rakyat 2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi bahan pembanding bagi akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan tentang kelestarian hutan rakyat dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. 3. Menyediakan acuan pada lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha dan pihak lain dalam mengembangkan hutan rakyat dan melaksanakan pendampingan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. 4. Menyediakan informasi tentang tingkat kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Ciamis sebagai bahan pada penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat oleh instansi terkait dimasa yang akan datang
8
5. Menyediakan kepastian informasi tingkat kelestarian pada pelaku usaha hutan rakyat dalam menjalankan industri. 6. Menyediakan pilihan alternatif solusi pada Pemerintah Daerah (PEMDA) maupun stakeholders terkait untuk meningkatkan kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Ciamis E. Keaslian dan Kebaruan Kinerja pengelolaan hutan rakyat bisa dievaluasi dengan cara mengidentifikasi besarnya hasil dan tingkat kelestarian hutan rakyat. Pada umumnya, penelitian tentang kelestarian hutan dilakukan terhadap hutan negara, sedangkan terhadap hutan rakyat masih langka. Dibidang kehutanan, hubungan kelestarian hutan dengan produksi kayu (energi) diteliti oleh Martire et al. (2015) menggunakan daya dukung hutan alam dan rencana kelola oleh masyarakat lokal sebagai kriteria penilaian sehingga indikator yang dirancang juga bersumber dari kondisi lokal. Penelitian menghasilkan rekomendasi bahwa pemanenan kayu energi diperkenankan sepanjang volumenya tidak melebihi daya dukung hutan. Penelitian terdahulu tentang kelestarian hutan kebanyakan masih mengandalkan aspek tunggal, misalnya pertumbuhan tegakan, dan belum melibatkan aspek sosial dan aspek ekonomi sebagai salah satu parameternya. Alasan pelibatan aspek sosial ekonomi pada penentuan tingkat kelestarian hutan rakyat adalah karena ada korelasi kuat antara parameter fisik dilapangan dengan parameter sosial-ekonomi.
Olsson dan Victor, (2012) mengingatkan bahwa untuk
memperoleh pendapatan dari hutan secara keberlanjutan dibutuhkan penguatan dimensi ekologi, karena ada keterkaitan kuat antara sistem sosial-ekonomi dengan sistem ekologi. Penelitianpenelitian yang ada kebanyakan masih terbatas pada membandingkan tingkat kelestarian beberapa model pengelolaan hutan, misalnya model pengelolaan hutan kemasyarakatan dan model pemanenan kayu energi. 9
Saat ini sudah banyak lembaga seperti LEI, ITTO, CIFOR, DSE dan lainnya yang mengembangkan Kriteria dan indikator (K&I) untuk menilai kelestarian hutan.
Perangkat-
perangkat tersebut pada umumnya dibangun untuk diterapkan pada hutan alam dan hutan tanaman, sedangkan pada hutan rakyat masih sangat langka. Menurut (Ritchie, 2001; Martire et al. 2015) indikator untuk penilaian kelestarian hutan tidak harus kaku, tetapi dirancang sesuai dengan kondisi setempat. Sehubungan dengan belum tersedianya kriteria dan indikator yang berlaku khusus untuk hutan rakyat, maka kajian tingkat kelestarian ini mengadopsi K&I dari dua kondisi yaitu yang dikembangkan oleh Ritchie et al. (2001) dan oleh DSE, (2007) yang dinilai bisa mewadahi kondisi hutan rakyat. Response-Inducing Sustainability Evaluation (RISE) adalah metode evaluasi tingkat kelestarian berbasis indikator yang awalnya diciptakan untuk pertanian. Saat ini metode tersebut telah dikembangkan pada beberapa bidang antara lain perkebunan, peternakan, transportasi, dan pengembangan wilayah perkotaan. Untuk menilai tingkat kelestarian dibutuhkan data tentang kondisi faktual dan kondisi ideal dari berbagai aspek antara lain aspek teknis (data pertumbuhan), aspek ekonomi (data pendapatan rumah tangga petani), aspek sosial (data tenaga kerja) dan aspek ekologi (data keragaman jenis). Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat kelestarian hutan rakyat dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan di Kabupaten Ciamis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat indikator yang pengaruhnya dominan terhadap tingkat kelestarian hutan rakyat di Ciamis. Kajian tingkat kelestarian hutan rakyat menggunakan metode RISE belum pernah dilakukan, termasuk di Indonesia.
10
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penentuan derajat kelestarian hutan rakyat pada penelitian ini merupakan pendekatan baru pada pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Kelebihan metode ini adalah dimungkinkannya dilakukan perbaikan peringkat kelestarian hutan rakyat melalui perbaikan langsung terhadap variabel sumber penyebabnya, sehingga bisa sangat bermanfaat untuk mendukung sistem pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan. Selain itu fisualisasi hasil kajian yang berbentuk poligon kelestarian memungkinkan penentu kebijakan bekomunikasi dan berdialog langsung dengan petani dan pelaku usaha tentang masalah yang sedang terjadi dan mendiskusikan solusinya. Proses pencerdasan petani juga menjadi bagian pada penelitian ini dengan cara membekali dengan pita volume pohon berdiri.
Dengan demikian, penelitian ini selain
menghasilkan bahan kebijakan operasional, sekaligus juga meningkatkan kapasitas petani yang semula hanya sebagai obyek saja menjadi pelaku (agent) perubahan yang aktif berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Faktor pemberdayaan petani ini juga yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian serupa sebelumnya.
11