1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hutan memegang peranan penting dalam setiap lini kehidupan manusia. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka akan meningkat pula kebutuhan hidup manusia, utamanya kebutuhan akan hasil hutan. Hal tersebut menghasilkan perkembangan beberapa sektor industri kehutanan yang mengalami peningkatan cukup pesat. Disebutkan dalam Undang – undang Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat dipisahkan (Anonim, 1999). Di balik dominasi kayu tersebut, terdapat potensi hasil hutan bukan kayu yang kini mendapat perhatian besar. Hasil hutan bukan kayu dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibanding hasil kayu. Disamping itu juga memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Menurut Sumadiwangsa dan Setyawan dalam Moko (2001), hutan bukan kayu dapat diartikan sebagai benda – benda hayati, non hayati, dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan dan lahan sejenis, selain hasil berupa kayu. Kasmudjo (2007) mengklasifikasikan hasil hutan bukan kayu terdiri atas kelompok produk tumbuhan berkekuatan (monokotil dan rumput-rumputan); kelompok
produk
ekstraktif
seperti
kelompok
minyak
(minyak atsiri dan minyak lemak), kelompok produk getah (resin, karet, dan perekat alami), dan kelompok ekstrak lainnya (penyamak nabati, pewarna alami, dan alkaloid); kelompok produk hasil budidaya; serta kelompok produk minor hasil hutan bukan kayu lainnya. Minyak atsiri merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang potensial di Indonesia. Minyak atsiri bagi Indonesia mempunyai arti yang cukup penting dalam aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yaitu sebagai penghasil devisa dan tempat tersedianya lapangan kerja (Kriestinna dan Gardjito, 1987). Minyak atsiri yang juga disebut minyak eteris, minyak terbang atau essential oil, dipergunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri. Minyak atsiri erat kaitannya dengan komponennya yang menghasilkan bau atau aroma sehingga fungsi minyak atsiri yang paling banyak dimanfaatkan yaitu sebagai pengharum atau zat pengikat bau (fixative). Minyak nilam merupakan salah satu minyak atsiri yang kebutuhannya terus meningkat. Permintaan minyak nilam di berbagai pasar utamanya pasar luar negeri cukup tinggi. Setiap tahunnya terjadi kenaikan permintaan minyak nilam dengan peningkatan yang cukup tajam (Wikardi, 1990 dalam Amelia, 2013). Rukmana (2004) menyampaikan bahwa Indonesia merupakan produsen utama minyak nilam yang mampu memenuhi 90% kebutuhan minyak nilam dunia per tahun. Meski dari segi kuantitas Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dunia namun dari segi kualitas, minyak nilam Indonesia termasuk kelas terendah (Daud, 1987). Oleh sebab itu, pengembangan minyak nilam ke depan sebaiknya tidak hanya terfokus pada peningkatan kuantitas tetapi juga kualitas. Kualitas dan rendemen minyak nilam dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain proses pengeringan, lama penyimpanan 2
bahan, asal lokasi tanaman, tempat tumbuh, bahan pelarut untuk proses ekstraksi (pengekstraksi), dan perlakuan perajangan. Nilai ekspor minyak nilam selain dipengaruhi oleh sifat fisiko-kimia juga dipengaruhi oleh komponen utamanya yaitu patchouli alcohol. Standar mutu minyak nilam kadar patchouli alcohol menurut SNI 06-2385-2006 yaitu minimal 30%, tetapi menurut Essential Oil Association of USA untuk standar mutu minyak nilam dalam pasar internasional yaitu minimal 38%. Semakin tinggi kadar patchouli alcohol-nya maka semakin tinggi pula nilainya (Anonim, 1975). Selama ini penelitian yang dilakukan terhadap minyak nilam masih terbatas pada pemanfaatan minyak nilam dalam bidang farmasi antara lain sebagai antimikrobial dan antibakterial. Penelitian tentang faktor – faktor yang berpengaruh terhadap sifat fisiko-kimia dan komposisi kimia minyak nilam sangat minim dilakukan. Di Indonesia, penelitian tentang minyak nilam masih hanya terbatas pada pengaruh faktor perlakuan bahan terhadap sifat fisiko-kimia minyak nilam. Lokasi tumbuh tanaman berpengaruh terhadap produksi dan kualitas minyak nilam. Menurut Lutony dan Rahmawati (2000) ketinggian lahan untuk tanaman nilam yang paling ideal adalah 100 – 400 m dpl serta dapat dikatakan nilam dengan ketinggian tersebut memiliki kualitas dan rendemen yang paling baik. Selain memiliki perbedaan pada prosentase rendemen, minyak nilam yang berasal dari lokasi berbeda memiliki perbedaan dalam hal komposisi kimia utamanya patchouli alcohol. Nilam yang berasal dari dataran rendah kadar patchouli alcohol lebih rendah dari dataran tinggi (Kardinan, 2004).
3
Tanaman nilam dapat tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi yang mempunyai ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Akan tetapi nilam akan tumbuh dengan baik dan produksi tinggi pada ketinggian tempat 100-400 meter di atas permukaan laut. Penggunaan lahan dan iklim sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan. Nilam yang tumbuh di dataran rendah-sedang (0-700 m dpl) memiliki kadar minyak yang lebih tinggi (>2%) dibanding dengan yang tumbuh di dataran tinggi (>700 m dpl) (Rosman et al., 2011). Industri minyak nilam di Indonesia pada umumnya masih menggunakan metode destilasi kukus. Metode tersebut menghasilkan minyak dengan kadar patchouli alcohol antara 19 – 25% (Syarifuddin, 2005 dalam Noviana, 2014). Selanjutnya menurut hasil penelitian
Kuncorowati (2004) menyebutkan minyak
nilam hasil metode destilasi kukus menghasilkan rata – rata rendemen sebesar 1,13%. Penelitian Irawan (2010) dengan perlakuan ekstraksi n-heksana dan benzena menghasilkan minyak nilam dengan kadar patchoulli alcohol 32% dan rata – rata rendemen 4,3%. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan minyak nilam hasil metode destilasi. Hingga saat ini informasi mengenai perbedaan sifat fisikokimia dan komposisi kimia minyak nilam hasil metode ekstraksi dengan pelarut dan destilasi masih sangat minim. Atas dasar dukungan informasi tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan lokasi asal tanaman dan bahan pengekstrak terhadap sifat fisiko-kimia dan komposisi kimia minyak nilam (Pogostemon cablin Benth.).
4
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui pengaruh lokasi asal tanaman terhadap rendemen, fisiko-kimia, dan komposisi kimia minyak nilam yang dihasilkan. 2) Mengetahui pengaruh bahan pengekstrak terhadap rendemen, fisiko-kimia, dan komposisi kimia minyak nilam yang dihasilkan. 3) Mengetahui pengaruh interaksi antara lokasi asal tanaman dan bahan pengekstrak rendemen, fisiko-kimia, dan komposisi kimia minyak nilam yang dihasilkan.
1.3. Manfaat Penelitian Dari informasi penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi tentang kombinasi faktor yang paling menguntungkan untuk memperoleh rendemen dan kualitas minyak nilam yang optimal sehingga diharapkan informasi ini juga dapat bermanfaat bagi kemajuan industri minyak nilam di Indonesia.
5