1
I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang dan Masalah
Ekosistem atau sistem ekologi merupakan satu kesatuan tatanan yang terbentuk oleh interaksi timbal balik antara mahluk hidup (biotik) dan unsur-unsur non hayati (abiotik). Hubungan timbal balik unsur biotik dan abiotik tersebut terjadi secara dinamis dan seimbang sehingga tercipta keadaan lingkungan yang mendukung kehidupan mahluk hidup di wilayah bersangkutan (Manik, 2009).
Selanjutnya Manik (2009), menyebutkan bahwa manusia sebagai pengelola lingkungan terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti: sandang, pangan, papan (perumahan) melalui upaya eksploitasi sumberdaya alam. Ekploitasi sumberdaya alam yang tidak terkendali merupakan penyebab utama degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu ciri degradasi sumberdaya alam adalah menurunnya daya dukung lahan. Paimin, dkk. (2009) menyatakan bahwa daya dukung lahan merupakan tingkat kemampuan lahan untuk mendukung segala aktivitas manusia yang ada di wilayahnya. Penurunan daya dukung lahan ditunjukkan oleh sering terjadinya bencana alam seperti erosi, banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, dan tanah longsor. Bencana tersebut menyebabkan kerugian harta/materi dan korban jiwa (Sukresno, 2006).
2 Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Nugroho (2014, dalam Merdeka.com, 2014), pada tahun 2014, sebanyak 248 orang tewas akibat bencana longsor. Jumlah ini hampir dua per tiga dari korban tewas akibat berbagai bencana di Indonesia selama 2014. Sekitar 40,9 juta jiwa penduduk Indonesia yang terpapar bahaya longsor dengan tingkat ancaman sedang hingga tinggi. Ancaman bencana yang berpotensi menimbulkan kerugian juga terhadap perumahan, sistem atau elemen lain. Bertambahnya penduduk, meningkatnya degradasi lingkungan, dan cuaca yang makin ekstrem menyebabkan risiko longsor makin tinggi.
Tanggal 13 Oktober 2013 terjadi peristiwa longsor di Kelurahan Bumi Raya, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, meski tidak ada korban jiwa, sebanyak 16 rumah mengalami kerusakan (6 rumah rusak berat tertimbun longsoran, 10 rumah rusak ringan). Peristiwa longsor ini juga dipicu oleh hujan deras (Merdeka.com, 2013). Selanjutnya, tanggal 12 Desember 2014 peristiwa tanah longsor terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karang Kobar, Kabupaten Banjar Negara, Provinsi Jawa Tengah, selain korban meninggal dunia, sebanyak 105 rumah dan ratusan korban tidak ditemukan akibat tertimbun tanah longsor. Hujan deras yang terjadi sebelumnya merupakan salah satu pemicu longsor tersebut (Kompas.com, 2014).
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung (2010), wilayah Kota Bandar Lampung merupakan wilayah yang rawan longsor dengan tingkat resiko yang tinggi, sedangkan menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandar Lampung (2013), kawasan rawan
3 tanah longsor di Kota Bandar Lampung yaitu di daerah yang kondisi tanahnya sangat miring sampai curam, yaitu bagian barat yaitu kawasan Gunung Betung, Gunung Balau serta perbukitan Serampok di bagian Timur. Selanjutnya berdasarkan laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (2010, dalam Bappeda Kota Bandar Lampung, 2013), beberapa wilayah di Bandar Lampung juga memiliki potensi gerakan tanah kategori menengah, antara lain di Kecamatan Sukarame, Tanjung Karang Timur, Panjang, Teluk Betung Utara, Teluk Betung Barat, Tanjung Karang Pusat, dan Tanjung Karang Barat.
Menurut BPBD Kota Bandar Lampung (2015, tidak dipublikasikan), sejak tahun 2010 sampai 2015 terjadi 27 kali peristiwa tanah longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung, kecenderungannya semakin lama semakin sering terjadi tanah longsor (Tabel 1).
Menurut Abidin, dkk. (2004), longsor merupakan salah satu bencana alam yang menonjol di Indonesia, terutama di musim hujan. Sebagian wilayah Indonesia dengan kondisi alam berupa pegunungan dengan lereng curam, sehingga peristiwa longsor sering terjadi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tanah longsor, adalah: (1) topografi, (2) tanah dan batuan penyusun, (3) tingkat curah hujan, 4) vegetasi/-hutan, dan (5) gempa bumi (Harjadi, dkk, 2007). Tanah longsor akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan, yaitu: 1) lereng cukup curam, 2) terdapat bidang peluncur (batuan) di bawah permukaan tanah yang kedap air, dan 3) terdapat cukup air (hujan) yang masuk ke dalam pori-pori tanah di atas lapisan kedap air (bidang luncur) sehingga tekanan tanah terhadap lereng meningkat (Brook dkk., 1991 dalam Harjadi 2013).
4 Tabel 1. Peristiwa longsor di Kota Bandar Lampung 2010 – 2015
No. Tahun 1. 2.
2010 2011
Jumlah Kejadian Longsor 1 4
3.
2012
6
4.
2013
8
5.
2014
5
6.
2015
3
Jumlah
27
Kelurahan 1. Kupang Raya 1. Lebak Budi, Gedong Air 2. Penengahan 3. Sukajawa 4. Sukajawa 1. Gedong Air 2. Kupang Kota 3. Tanjung Agung 4. Karang Maritim 5. Jalan Sukarno Hatta 6. Pidada 1. Keteguhan 2. Sidodadi 3. Kelapa Tiga 4. Beringin Raya 5. Beringin Raya 6. Bumi Raya 7. Bumi Raya 8. Bumi Raya/Pecoh 1. Sukadanaham 2. Sumber Rejo 3. Pasir Gintung 4. Garuntang 5. Sumber Rejo 1. Gedong Air 2. Panjang 3. Kemiling
Kecamatan Teluk Betung Utara Tanjungkarang Barat Tanjungkarang Pusat Kedaton Kedaton Tanjungkarang Barat Teluk Betung Utara Tanjungkarang Timur Panjang Panjang Panjang Teluk Betung Timur Kedaton Tanjungkarang Pusat Kemiling Kemiling Bumi Waras Bumi Waras Bumi Waras Tanjungkarang Barat Kemiling Tanjungkarang Pusat Bumi Waras Kemiling Tanjungakarang Barat Srengsem Kemiling
Sumber: BPBD Kota Bandar Lampung, 2015 (Tidak Dipublikasikan).
Paimin, dkk., 2009). Air (hujan) yang memasuki pori-pori tanah yang terletak diatas lapisan batuan kedap air akan membentuk lapisan bidang luncur dan didorong oleh lereng yang cukup curam serta beban yang ada diatas tanah seperti bangunan dan vegetasi (Donie, 2014). Menurut Banuwa (2013), longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya pada suatu saat dalam volume yang
5 besar, di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan tersebut mengandung kadar liat tinggi yang setelah jenuh air berperan sebagai bidang luncur.
Selanjutnya menurut Harjadi, dkk. (2007), longsor akan terjadi pada daerah yang memiliki sesar yang masih aktif, dan dapat dipantau dengan seismograf. Longsor sering terjadi pada daerah dengan lansekap pegunungan yang terjal dan banyak tanaman hutan yang ditebang (Paimin, dkk., 2009). Pemanenan tanaman hutan yang sudah tua, jika dilakukan dengan tidak hati-hati dapat meningkatkan potensi terjadinya longsor (Sitorus, 2006).
Menurut Bappeda Kota Bandar Lampung (2013), wilayah-wilayah yang memiliki kemiringan lereng>40% (perbukitan terjal) yaitu: (1) Kecamatan Bumi Waras 25 ha; Kecamatan Kemiling 757,50 ha; (3) Kecamatan Panjang 98,44 ha; (4) Kecamatan Sukabumi 168,57 ha; (5) Kecamatan Tanjungkarang Barat 107,07 ha; (6) Kecamatan Teluk Betung Barat 220,40 ha; dan (7) Kecamatan TelukBetung Timur 317,79 ha.
Di wilayah berbukit sampai terjal tersebut, banyak warga masyarakat yang bermukim di wilayah yang rawan longsor tersebut. Keadaan ini memang memprihatinkan, masyarakat tersebut terpaksa menempati wilayah yang rawan longsor, salah satunya disebabkan faktor kemiskinan, meskipun mereka sadari ancaman tanah longsor setiap saat menanti (Donie, 2013).
Penelitian dan publikasi upaya pencegahan untuk mengurangi risiko (mitigasi) terhadap bencana longsor serta faktor-faktor penyebabnya di Wilayah Kota Bandar Lampung masih sangat sedikit. Untuk itu penelitian tentang analisis longsor yang terjadi di Kota Bandar Lampung perlu dilakukan.
6 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung; (2) Menentukan tingkat kerawanan longsor (TKL) di Wilayah Kota Bandar Lampung; (3) Menentukan upaya mitigasi dan peran pemangku kepentingan (stakeholder) dalam upaya mengurangi dampak bencana longsor dan melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana longsor.
C. Kerangka Pemikiran
Sebagian wilayah Kota Bandar Lampung merupakan perbukitan terjal (dengan kemiringan>40%) yang merupakan wilayah yang rawan longsor. Menurut Bappeda Kota Bandar Lampung (2013), luas wilayah Bandar Lampung yang datar sampai landai mencapai 60% (11.833,2 ha), wilayah landai sampai miring mencapai 35% (6.902,7 ha), sedangkan sangat miring sampai curam hanya 4% (788.88 ha). Sejak tahun 2010 sampai 2015, kejadian longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat (Tabel 1). Beberapa faktor alami (yaitu curah hujan, curamnya lereng, kondisi geologi, regolit [tanah], adanya sesar/patahan) dan faktor manajemen (penduduk, penutupan lahan, dan infrastruktur jalan) merupakan pemicu terjadinya longsor (Paimin, dkk, 2009). Peristiwa tanah longsor di suatu wilayah dengan kelerengan terjal (kemiringan >45%), pada umumnya didahului oleh kejadian hujan dengan intensitas hujan
7 tinggi (Muntohar, 2009).
Faktor yang penting selain intensitas hujan adalah
lamanya hujan yang berpengaruh nyata terhadap longsor.
Sedangkan hasil penelitian Sarya dkk. (2014), bahwa curah hujan di atas 50 mm per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon, Kabupaten Pacitan. Kejadian tanah longsor dangkal ini telah menyebabkan gangguan dan kerusakan di sepanjang jaringan transportasi. Selanjutnya Sarya dkk. (2014), menetapkan kurva ambang batas intensitas (I)-durasi (D) curah hujan untuk tanah longsor dangkal di Desa Wonodadi Kulon tersebut dengan persamaan yaitu I = 52D-0,79. Curah hujan antara 101 sampai 298 mm terjadi hanya dalam 2 hari dengan intensitas curah hujan maksimum berkisar antara 41 mm/jam hingga 79 mm/jam menyebabkan longsor. Hasnawir (2012) menyatakan bahwa curah hujan di atas 50 mm per jam menyebabkan tanah longsor dangkal di Sulawesi Selatan. Menurut Harjadi (2013), kondisi bentuk lahan perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng > 45% dengan tekstur tanah liat ringan sampai berat dan dilewati sesar geologi, kedalaman regolit >2 m, kepadatan penduduk > 5.000 jiwa/km2, dan curah hujan >300 mm berturut-turut selama 3 hari, berpotensi terjadinya longsor.
Hasil penelitian Harjadi (2013) di Kabupaten Banjarnegara, Karanganyar, dan Purworejo, antara lain: dengan bentuk lahan dari Hilly (H) hingga Mountain (Pegunungan, M), kemiringan lereng 38% hingga >85%; relief perbukitan hingga pegunungan, batuan induk batuan beku lunak (Iw) pelapukan lanjut warna coklat; erosi alur dan jurang tingkat berat, kedalaman solum sangat dalam (>90 cm) dan
8 regolit dalam (100-200 cm), jenis tanah masing-masing Inceptisols, Ultisols; permeabilitas sedang sampai cepat (20 – 125 mm/jam), drainase agak baik; pori mikro banyak; konsistensi basah plastis, kondisi lembab gembur dan kering agak keras; tekstur lempung liat berpasir (SCL), liat berdebu (SiCl); struktur granular kasar lemah, blocky sedang lemah; warna tanah coklat kemerahan hingga cokat kehitaman; kandungan bahan organik rendah (<1%); nilai toleransi erosi (T) tinggi (>25 ton/ha/th) dan nilai erodibilitas tanah (K) sangat peka (>0,56); dari kondisi biofisik di tiga lokasi tersebut juga ditunjang oleh adanya curah hujan, yaitu dengan semakin tinggi intensitas curah hujan maka semakin berpotensi terjadinya longsor. Ketiga wilayah tersbut memiliki tingkat kerawanan longsor yang tertinggi di Banjarnegara (skor 3,8), Purworejo (skor 3,6) dan Karanganyar (skor 3,1). Ketiga lokasi termasuk daerah dengan formasi geologi sama dan samasama dilewati garis sesar, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap tingkat longsor antara lain: curah hujan dan kemiringan lereng serta penggunaan lahan. Penggunaan lahan sebagian besar tegalan dan hanya satu lokasi di pemukiman.
Hasil penelitian Nugroho dkk. (2014), menunjukkan bahwa faktor yang paling tinggi dalam mempengaruhi ancaman longsor di Kecamatan Pejawaran Kabupaten Banjarnegara adalah kemiringan lereng dan litologi atau jenis batuan penyusun lapisan tanah. Hasil penelitian Ahmad, dkk. (2014) di DAS Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan bahwa terjadinya longsor banyak dipengaruhi oleh proses geologi dan sebagian oleh proses denudasi akibat aktivitas iklim. Longsor yang terjadi umumnya terjadi dan dipicu oleh pergerakan
9 tanah/batuan pada lereng >40%. Tipe pergerakan longsor yang dominan adalah tipe longsoran (sliding), dengan tipe material adalah rock slide dan debris slide pada percampuran material tanah dan tufa. Pergerakan massa dapat dihambat dengan penerapan metode vegetatif.
Secara sistematis faktor-faktor yang menentukan terjadinya longsor, analisis, dan upaya mitigasinya tertera pada pada Gambar 1.
Curah Hujan Tinggi, 3 hari berturut- turut
-
- Lahan berlereng >25% - Regolit dalam
-
Tanah Jenuh Air Adanya Bidang Luncuran Kondisi geologi, litologi, sesar/patahan/gawir Daya ikat/Kohesimelemah Daya dorong menguat
-
Tekanan Populasi penduduk Getaran jalan Penutupan lahan
Analisis Hirarki Proses (AHP)
Formula Tingkat Kerentanan Longsor (TKL)
Tanah Longsor
Mitigasi Longsor
Upaya dan Peran Pelaku Mitigasi
Peta Tingkat Kerawanan Longsor
Gambar 1. Sistematika analisis dan mitigasi longsor di Bandar Lampung
Mitigasi longsor dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab longsor dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) antara lain: lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarkat (LSM), pakar/praktisi, lembaga swasta, dan masyarakat.
10 D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka memberikan informasi dalam upaya pencegahan bahaya longsor kepada: (1) masyarakat, khususnya yang bermukim di kawasan yang berpotensi rawan longsor; (2) para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga swadaya masyarakat, praktisi, dan lain-lain yang berkecimpung di bidang mitigasi dan penangangan longsor.
E. Hipotesis
(1) Longsor dipengaruhi oleh curah hujan kumulatif tiga harian, lereng terjal, kondisi geologi dan adanya sesar/patahan/gawir, kedalaman regolit, kepadatan penduduk, kondisi penutupan lahan, dan adanya infrastruktur jalan yang memotong lereng merupakan pemicu longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung. (2) Faktor yang paling berpengaruh terhadap longsor di Wilayah Kota Bandar Lampung adalah curah hujan.