I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara astronomis terletak di 6`
LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sedangkan secara geografis teletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, serta diantara dua samudera, yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik. Dan secara geologis wilayah Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia, yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah timur, hal inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif dan rawan terjadi gempa bumi2. Pegunungan Sirkum Pasifik atau yang lebih dikenal dengan ring of fire3 merupakan daerah paling aktif sedunia dan acapkali mengalami gempa bumi serta gunung meletus. Sebagai salah satu negara yang terletak di jalur Sirkum Pasifik, Indonesia harus menanggung segala resiko yang ditimbulkan. Mulai dari gempa bumi, gunung meletus hingga tsunami yang meluluh lantakkan dan menghancurkan semua yang dilaluinya. Tidak terhitung lagi berapa kali Indonesia digoyang oleh gempa. Sepanjang tahun 2012, lebih dari 50 kali gempa berkekuatan di atas 5 Skala Richter mengguncang
http://www.edu2000.org/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=315&Itemid=9 ibid 3 Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (bahasa Inggris: Ring of Fire) adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.Cincin Api Pasifik (Ring Of Fire) adalah area dimana terdapat banyak sekali terjadi gempa dan letusan gunung berapi di dalam area Samudera Pasifik. Dalam bentuk seperti tapal kuda dengan panjang 40.000 km, itu dikaitkan dengan palung samudera, vulkanik busur, dan sabuk vulkanik dan pergerakan lempeng yang terjadi terus menerus serta berdekatan. Cincin Api memiliki 452 gunung berapi dan merupakan rumah bagi lebih dari 75% gunung berapi aktif dan tidak aktif di dunia. Kadang-kadang disebut circum-Pacific belt atau circum-Pacific seismic belt. [http://skyzerx.blogspot.com/] 1 2
1
Indonesia4 dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan pasca tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004, telah terjadi beberapa kali tsunami, salah satunya adalah tsunami yang melanda dan menyapu wilayah di kepulauan Mentawai pada tanggal 26 Oktober 2010 setelah diguncang gempa berkekuatan sebesar 7,2 SR. Sedangkan untuk gunung merapi sendiri, dari 129 gunung merapi di Indonesia, 17 diantaranya masih aktif. Salah satunya adalah Gunung Merapi yang berada di Provinsi Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta yang pada bulan Oktober 2010 sempat memuntahkan material-material dari dalam perutnya dan mengusir banyak warga yang selama ini hidup dan bertempat tinggal di lereng Gunung Merapi tersebut. Selain gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus, ada banyak bencana alam lainnya yang melanda Indonesia silih berganti, seperti angin kencang, banjir, dan juga tanah longsor. Tahun 2010 sepertinya menjadi tahun ‘terparah’ bagi Indonesia, pada awal bulan Oktober sebelum kepulauan Mentawai disapu tsunami, dan provinsi DI. Yogyakarta serta provinsi Jawa Tengah bermandi abu gunung Merapi, daerah Wasior, Papua Barat, harus merelakan sebagian wilayah permukiman dan hutannya hanyut terbawa banjir bandang yang menerjang. Banjir bandang ini merusak tiga distrik; Wondiboy, Rasiey, dan Wasior, dan mengharuskan 7.162 orang penduduk untuk relokasi ketempat yang lebih aman yang telah disiapkan oleh pemerintah. Pemerintah pusat sudah membentuk BNPB atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sebuah badan yang bertugas untuk menanggulangi bencana nasional, sedangkan ditingkat provinsi dan daerah kota ada BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah, sebagai perpanjangan tanggan dari BNPB. Namun sayangnya penanggulangan bencana
4
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Geofisika/Gempabumi_Terkini.bmkg
2
yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah acapkali mengabaikan ‘pengetahuan lokal’ atau local knowledge yang telah dimiliki oleh masyarakat secara turun temurun. Apa yang terjadi di Kabupaten Simeulue pada saat gempa bumi yang kemudian diikuti oleh tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan sebuah bukti bahwa sebenarnya masyarakat telah memiliki pengetahuan lokal serta kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Disaat sebagian besar wilayah Aceh daratan dan Sumatera Utara hancur dan menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia, di Pulau Simeuleu yang hampir 95% penduduknya bertempat tinggal di wlayah pesisir yang lagi- lagi sangat dekat dengan pusat gempa, jumlah korban meninggal relatif kecil. Sebuah laporan resmi menyebutkan dari total penduduk Pulau Simeuleu yang berkisar 78.000 jiwa, korban meninggal hanya 22 orang. Jumlah korban meninggal dunia yang sangat sedikit ini dikarenakan sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di wilayah pesisir pantai telah lari menyelamatkan diri menuju wilayah perbukitan sesaat setelah gempa bumi 8,9 Scala Richter dan air laut terlihat mulai surut di wilayah pantai. Penyelamatan diri yang dilakukan oleh masyarakat setempat ini bukanlah tindakan spontan yang dilakukan ketika gempa yang diikuti oleh surutnya air laut. Tindakan ini tekait dengan beberapa peristiwa tsunami yang pernah terjadi pada masa lalu yang kemudian diceritakan secara terus menerus dari satu generasi kegenerasi yang selanjutnya secara lisan.
3
Tabel 1: Jumlah korban Tsunami Aceh 2004 Sumber: Bakornas PBP - Depkes - Depsos -Media Center Lembaga Informasi Nasional (LIN), Updated Senin, 31 Januari 2005, Pukul 17.00 WIB http://acehpedia.org/Data_Korban_Tsunami
Selain di Simeulue, ada beberapa daerah lainnya di Indonesia yang memiliki kearifan lokal yang kurang lebih sama. Sebut saja masyarakat Kepulauan Mentawai dengan Teteu Amusiat Loga5, masyarakat Minangkabau dengan Rumah Gadangnya, hingga Hikayah Seram yang ada di masyarakat Pulau Seram. Namun kearifan lokal yang mereka miliki tidak berkembang dan berfungsi sebagaimana smong yang terdapat di Teteu amusiat loga merupakan nyanyian yang sering didendangkan oleh masyarakat kepulauan Mentawai, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Tidak banyak yang tau kalau lagu ini merupakan sejenis ‘smong’ yang mengisahkan mengenai kejadian gempa bumi. 5
4
Kabupaten Simeulue. Contohnya saja nyanyian Teteu Amusiat Loga yang merupakan nyanyian yang menceritakan tentang gempa bumi yang dari dulu sudah sering melanda Kepulauan Mentawai. Tidak banyak masyarakat setempat yang memahami makna sesungguhnya dari lirik tembang yang sering didendangkan oleh anak-anak setempat ketika bermain bersama atau didendangkan oleh orang tua sebagai lagu pengantar tidur. Berikut adalah petikan nyanyian Teteu Amutsia Loga: Teteu (kakek gempa bumi) Teteu amusiat loga (kakek gempa bumi, sang tupai menjerit) Teteu katinambu leleu (kakek gempa bumi, suara gemuruh datang dari atas bukit-bukit) Teteu girisit nyau’ nyau’ (kakek gempa bumi, ada tanah longsor dan kehancuran) Amagolu’ teteu tai pelebuk (kakek gempa bumi, dari ruh kerang laut sedang marah) Arotadeake baikona (karena pohon baiko telah ditebang) Kuilak pai-pai gou’ gou’ (ekor ayam bergoyang) Lei-lei gou’ gou’ (ayam-ayam berlarian) Barasita teteu (karena di sana gempa bumi telah datang) Lalaklak paguru sailet (orang-orang berlarian) Teteu berarti gempa bumi. Masyarakat kepulauan Mentawai percaya kalau teteu merupakan penguasa lokal yang kalau marah akan mendatangkan gempa bumi dan tsunami. Namun sebelum gempa itu datang, biasanya akan ada beberapa tanda-tanda yang diperlihatkan oleh hewan yang ada, mulai dari tupai hingga ayam peliharaan. Nyanyian ini mengingatkan masyarakat setempat bahwa bahaya gempa dan tsunami sudah ada dari dulu dan mengintai kapan saja. Sayangnya sekarang tidak banyak lagi masyarakat setempat yang paham akan makna sesungguhnya yang terdapat dalam nyanyian Teteu Amusiat Loga tersebut. Masyarakat setempat kemudian percaya bahwa gempa dan tsunami yang melanda kepulauan Mentawai pada tahun 2010 merupakan teguran yang diberikan penguasa dan menjadi pengingat mereka agar kembali memelihara lingkungan supaya nantinya tanda-tanda yang diberikan oleh teteu melalui tingkah laku hewan-hewan tidak akan hilang.
5
Tidak jauh dari Kepulauan Mentawai, masyarakat Minangkabau yang mendiami Pulau Sumatera memiliki kearifan lokal yang bernama Rumah Gadang dan merupakan rumah adat daerah Sumatera Barat. Ruangan dalam Rumah Gadang atau ada yang menyebut dengan Rumah Bagonjong biasanya terbagi menjadi lanjar dan ruang, dengan jumlah ruangan yang berjumlah ganjil dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui garis keturunan Ibu atau Matrilineal. Rumah Gadang juga terkenal akan ukiran kayu yang menjadi hiasan luar bangunan. Motif ukiran umumnya berupa tumbuah merambat, bunga, buah hingga pola-pola geometris segitiga hingga jajar genjang. Ukiran ini memenuhi dinding, jendela, hingga tiang rumah. Lebih jauh sebanarnya, Rumah Gadang ini memiliki struktur yang ramah terhadap bencana alam. Rumah Gadang dibangun tanpa menggunakan bantuan paku, sudut-sudut rumah maupun papan-papan yang ada disatukan dengan pasak. Hal ini menguntungkan ketika terjadi gempa bumi. Bangunan rumah akan mengikuti pergerakan tanah. Pasak-pasak yang ada membantu tiap-tiap bagian rumah untuk tidak saling tarik menarik seperti kebanyakan rumah yang menggunakan paku. Selain itu, rumah gadang yang juga merupakan rumah paggung ini, menjadikan pengguni rumah juga terlindungi dari banjir yang menggenang. Sayangnya tidak banyak lagi rumah gadang yang masih berfungsi sebagaimana mestinya. Banyak Rumah Gadang yang dihancurkan dan kemudian digantikan dengan bangunan rumah yang lebih modern dan mengikuti perkembangan zaman. Jauh dari Sumatera, tepatnya di Pulau Seram, Maluku, ada sebuah cerita atau hikayah yang kemudian di kenal dengan ‘Hikayah Seram’ yang diceritakan turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Hikayah seram menceritakan tentang
6
bencana gempa bumi yang diikuti oleh tsunami pada 29 Februari 1899. Hikayah ini sudah ditulis kembali dalam sebuah buku oleh salah seorang Tokoh adat yang menyaksikan dan menglami langsung kejadian ini. ‘Tanah goyang (gempa) terjadi pada pukul 01.00 tengah malam, 29 Februari 1899. Lalu datang ombak besar bergulung- gulung Ada tiga ombak. Cepat datangnya, orang bangun karena gempa, air su di depan mata mau lari juga tak akan selamat. Banyak orang hanyut dan tersangkut di atas pelepah sagu. Setelah air surut, daratan di Negeri Elpaputih6 menghilang. Air surut telah membawa kampong dan segala isinya7. Tidak banyak yang mengetahui kalau masyarakat Pulau Seram menyimpan sebuah cerita dan catatan mengenai gempa dan tsunami yang menghilangkan Negeri Elpaputih lebih dari seratus tahun yang lalu. Pengetahuan mengenai bahaya gempa dan tsunami ini tidak hanya diketahui oleh masyarakat yang menghuni Pulau Seram, namun juga mencapai Negeri Amahai, Maluku Tengah yang berjarak kurang lebih 60 kilometer dari Negeri Elpaputih. Pada saat terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 1899, negeri ini juga ikut terkena dampaknya. Ketika hendak membangun kembali daerah yang sudah hilang tersapu tsunami, penguasa setempat lalu memundurkan kampungnya hingga berjarak kurang lebih 300 meter dari daerah lama yang sudah habis dan tenggelam karena tsunami. Tidak banyak masyarakat yang tau akan hikayah Pulau Seram dan bahaya yang selalu mengancam. Beberapa sesepuh mungkin masih memiliki cerita ini, namun anak-anak dan orang muda setempat tidak mengetahui lagi cerita tenggelamnya Negeri Elpaputih ini secara utuh. Ingatan dan cerita yang ada tidak diteruskan kegenerasi selanjutnya. Pengetahuan dan kearifan lokal pun terputus.
6 7
Negeri Elpaputih berada di Seram Bagian Barat, Pulau Seram, Maluku. Bahaya Seram di Pulau Seram, Ekspedisi Cincin Api hal 165
7
1.2
Rumusan Masalah Dari penjabaran- penjabaran yang telah dikemukakan sebelumnya, maka untuk
penelitian ini bisa ditarik sebuah rumusan masalah, yaitu: Bagaimana model local wisdom dalam penanggulangan bencana di Simeulue, Nangroe Aceh Darusalam?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan,
maka penelitian mengenai model local wisdom dalam penanggulangan bencana di Simeulue bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kemudian kearifan lokal atau local wisdom berpengaruh terhadap penanggulangan bencana di Indonesia. Kemudian berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Melihat model local wisdom yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat terhadap penanggulangan bencana, baik yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat ataupun individu. 2. Memberikan rekomendasi kebijakan mengenai penanggulangan bencana di Indonesia yang berdasarkan kearifan lokal.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dimaksudkan agar memberikan manfaat kepada: 1. Pembaca
8
Mengetahui local wisdom yang kemudian dapat melindungi masyarakat dari bencana yang terjadi dan mengetahui bagaimana tindakan pemerintah dalam menyikapi bencana. 2. Praktisi Dapat bekerja sama dengan pemerintah yang telah membentuk badan- badan yang telah diberi wewenang untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana secara bersama- sama. 3. Pemerintah Dengan adanya penelitian mengenai penanggulangan bencana dan local wisdom ini, diharapkan pemerintah melalui, Badan Penanggulangan Bencana Nasional atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah dapat mengadaptasi nilai- nilai yang selama ini dimiliki masyarakat dalam menghadapi bencana.
9