1
I. PENDAHULUAN Cabai adalah tanaman perdu dari famili terong-terongan (Solanaceae) yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. dan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting serta memiliki peluang bisnis prospektif. Cabai terdiri atas beberapa jenis salah satunya cabai rawit (Capsicum frutescens L.), cabai ini memiliki tiga varietas diantaranya yaitu cabai kecil (cabai jemprit), cabai putih (cabai cengkek) dan cabai hijau (cabai ceplik) (Rachmawati et al., 2009). Menurut Apriadji (2001), cabai rawit dapat digunakan untuk keperluan industri diantaranya, industri bumbu masakan, industri makanan dan industri obatobatan. Rachmawati et al., (2009) menambahkan, cabai rawit mengandung vitamin C (asam askorbat) dan betakaroten (provitamin A), berperan sebagai antioksidan kuat yang dapat melindungi sel dari agen-agen penyebab kanker dan secara khusus mampu meningkatkan daya serap tubuh terhadap kalsium (mineral untuk pertumbuhan gigi dan tulang) serta zat besi dari bahan makanan lain. Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Menurut data terakhir luas pertanaman cabai di Indonesia sekitar 165.000 hektar dan merupakan suatu usaha budidaya yang terluas dibandingkan komoditas sayuran lainnya. Namun, produksi rata-rata nasional tanaman cabai baru mencapai 5,5 ton/hektar, masih jauh di bawah potensi hasilnya yang berkisar antara 12-20 ton/hektar (Duriat et al., 2007). Tahun 2008 sampai 2010 produksi cabai di Indonesia diperkirakan mencapai 1,311 juta ton (meningkat 26,14% dibandingkan tahun 2007), terdiri dari jenis cabai rawit 512,67 ribu ton (39,10%) dan cabai merah besar 798,32 ribu ton (60,90%) (Subagyono, 2010).
2 Budidaya cabai rawit dapat memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Satu hektar tanaman cabai rawit mampu menghasilkan 8 ton buah cabai rawit karena budidaya tanaman cabai rawit dapat dilakukan selama dua sampai dua setengah tahun selama satu musim. Cabai rawit dapat tumbuh baik didataran tinggi maupun di dataran rendah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah kering dan dijumpai pada ketinggian 0,5 - 1.250 m dpl. Syarat tumbuh cabai rawit yaitu tanah gembur, subur atau banyak mengandung unsur hara, irigasi baik (tidak tergenang) dan banyak mengandung humus, sedangkan untuk iklimnya tanaman cabai rawit dapat tumbuh baik pada daerah yang kurang hujan maupun yang sering hujan, suhu udara yang diperlukan tanaman ini adalah 25 ºC - 31 ºC dan pH tanah optimal antara 5,5 sampai 7 (Hanafi, 2010). Pertanaman cabai rawit tersebar luas di Indonesia, salah satunya adalah daerah Indramayu yang terletak pada 107”51’-108”36’ BT dan 6”15’-6”40’ LS, dan berada pada ketinggian 0-100 meter diatas permukaan laut. Kabupaten Indramayu termasuk beriklim tropis tipe D (Iklim sedang) dengan karakter: suhu udara harian berkisar antara 22,9-30 ºC dengan suhu udara rata-rata tertinggi mencapai 32 ºC dan terendah 22,9 ºC. Kelembaban udara 70-80 %, curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.587 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan sebanyak 91 hari. Curah hujan tertinggi kurang lebih 2.008 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 84 hari, sedangkan curah hujan terendah kurang lebih 1.063 mm dengan jumlah hari hujan 68 hari (BAPEDA-BPS, 2013). Kabupaten Indramayu sangat cocok dan berpotensi untuk pengembangkan berbagai jenis cabai (BAPPEDA-BPS, 2013). Usaha tani budidaya cabai rawit cukup diminati oleh petani di Indramayu, selain itu permintaan cabai rawit di Indramayu cukup tinggi dan untuk menjual hasil panen sangat mudah, karena di Indramayu
3 sendiri terdapat banyak pasar salah satunya adalah pasar Jatibarang yang merupakan pusat perekonomian dan pintu gerbang utama dari arah Cirebon, Bandung dan wilayah-wilayah lain di bagian timur Pulau Jawa. Produksi cabai rawit di Indramayu tidak optimal, beberapa penyebab utama masih rendahnya produksi adalah selain adanya gangguan hama juga penyakit yang diakibatkan oleh patogen seperti bakteri, virus dan cendawan. Upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas cabai rawit di Indramayu mengalami beberapa permasalahan. Permasalahan tidak hanya pada masalah budidaya saja, tetapi juga bagaimana mengatasi hama dan patogen, terutama cendawan yang mampu menurunkan hasil sehingga produksi tidak optimal (Setiadi, 1992). Tanaman cabai rawit dapat terserang patogen di setiap fase pertumbuhannya, mulai dari bibit, persemaian, sampai fase pertumbuhan vegetatif dan generatif (Duriat et al., 2007). Penyakit pada tanaman cabai rawit yang disebabkan oleh cendawan antara lain adalah antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici, bercak daun disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici, busuk daun disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici, layu disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum, busuk daun disebabkan oleh cendawan Choanephora cucurbitarum, bercak kelabu disebabkan oleh cendawan Stemphylium solani dan embun tepung disebabkan oleh cendawan Leveillula taurica. Penyakit-penyakit lain pada cabai menurut Semangun (1989), yaitu penyakit busuk leher akar yang disebabkan oleh cendawan Sclerotium rolfsii dan rebah semai (damping-off) yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani Kuhn dan Pythium spp. Informasi tentang jenis-jenis penyakit dan cendawan penyebab penyakit pada tanaman cabai rawit di daerah Indramayu belum banyak diketahui, sehingga upaya pengendalian
dan
pencegahan
timbulnya
penyakit
tersebut
belum
dapat
4 ditanggulangi dengan tepat. Hingga saat ini penelitian mengenai persentase penyakit dan jenis penyakit pada tanaman cabai rawit yang disebabkab oleh cendawan di daerah Indramayu terutama di Desa Majasih, belum banyak dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik meneliti “Persentase Penyakit pada Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) akibat Patogen Cendawan di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Banyaknya jenis penyakit pada tanaman cabai rawit serta sulitnya proses deteksi karena adanya kemiripan gejala membuat para petani cabai tidak dapat menentukan metode pencegahan dan pengendalian yang tepat untuk mengatasi penyakit tersebut. Tiap jenis penyakit memiliki metode pencegahan dan pengendalian yang berbeda (Duriat et al., 2007). Jika salah dalam menerapkan metode pencegahan dan pengendalian untuk menangani suatu penyakit maka penyakit tidak dapat diatasi secara tepat sehingga tanaman akan tetap terjangkit penyakit tersebut, kemungkinan terburuk adalah tanaman akan mengalami kematian dan petani mengalami gagal panen. Selama ini pengendalian penyakit cabai rawit oleh petani di Indramayu masih bertumpu pada penggunaan fungisida. Namun disadari selain hasilnya tidak memuaskan, penggunaan fungisida secara terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya resistensi patogen, merusak lingkungan dan berbahaya bagi konsumen (Nurhayati, 2007). Informasi tentang jenis-jenis penyakit dan cendawan penyebab penyakit pada tanaman cabai rawit di daerah Indramayu belum banyak diketahui, sehingga upaya pengendalian dan pencegahan penyebab penyakit tersebut belum dapat dilakukan dengan tepat, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai persentase penyakit dan jenis penyakit pada tanaman cabai rawit yang disebabkab oleh cendawan di daerah Indramayu terutama di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg.
5 Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Penyakit apa saja yang menyerang tanaman cabai rawit terutama yang disebabkan oleh cendawan di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. 2. Penyakit apakah yang paling dominan ditemukan pada tanaman cabai rawit yang disebabkan oleh cendawan di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. 3. Berapa besar persentase penyakit tanaman cabai rawit yang disebabkan oleh cendawan di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan : 1. Mengetahui jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh cendawan pada tanaman cabai rawit di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. 2. Mengetahui jenis penyakit yang paling dominan ditemukan pada tanaman cabai rawit di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. 3. Mengetahui besarnya persentase penyakit tanaman cabai rawit yang disebabkan oleh cendawan di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis-jenis penyakit pada tanaman cabai rawit di daerah Indramayu, yang dipusatkan di Desa Majasih, Kecamatan Sliyeg. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pengendalian penyakit, sehingga dapat membantu para petani cabai rawit untuk lebih memaksimalkan produksi yang dihasilkan dan menjadikan salah satu sumber bisnis prospektif yang dapat mengangkat perekonomian rakyat. Kedudukan tanaman cabai rawit dalam taksonomi tumbuhan menurut Cronquist (1981)diklasifikasikan sebagai berikut :
6 Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Classis
: Dicotyledonae
Ordo
: Sympetaleae
Familia
: Tubiflorae
Genus
: Capsicum
Species
: Capsicum frutescens L.
Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Cabai rawit merupakan perdu setahun, percabangan banyak, tinggi tanaman cabai 50-120 cm. Batang tanaman cabai rawit memiliki struktur yang keras dan berkayu, berwarna hijau gelap, berbentuk bulat, halus dan bercabang banyak. Batang utama tumbuh tegak dan kuat. Percabangan terbentuk setelah batang tanaman mencapai ketinggian berkisar antara 30-45 cm. Cabang tanaman beruas-ruas, setiap ruas ditumbuhi daun dan tunas (cabang). Daun berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan tepi daun rata (tidak bergerigi/berlekuk) ukuran daun lebih kecil dibandingkan dengan daun tanaman cabai besar. Tanaman cabai memiliki tulang daun menyirip dan tangkai tunggal yang melekat pada batang/cabang. Jumlah daun cukup banyak sehingga tanaman tampak rimbun. Bunga tanaman cabai rawit merupakan bunga tunggal yang berbentuk bintang. Bunga tumbuh menunduk pada ketiak daun dengan mahkota bunga berwarna putih. Buah cabai rawit akan terbentuk setelah terjadi penyerbukan. Buah memiliki keanekaragaman dalam hal ukuran, bentuk, warna dan rasa. Buah cabai rawit dapat berbentuk bulat pendek dengan ujung runcing/berbentuk kerucut. Ukuran buah bervariasi, cabai rawit yang kecil memiliki ukuran panjang antara 2-2,5
7 cm dan lebar 5 mm, sedangkan cabai rawit yang agak besar memiliki ukuran yang mencapai 3,5 cm dan lebar mencapai 12 mm (Setiadi, 2006). Buah cabai rawit bervariasi buah muda berwarna hijau/putih sedangkan buah yang telah masak berwarna merah menyala/merah jingga (merah agak kuning) pada waktu masih muda, rasa buah cabai rawit kurang pedas, tetapi setelah masak menjadi pedas. Biji cabai rawit berwarna putih kekuningan-kuningan, berbentuk bulat pipih, tersusun berkelompok (bergerombol) dan saling melekat pada empulur. Ukuran biji cabai rawit lebih kecil dibandingkan dengan biji cabai merah. Biji-biji ini dapat digunakan dalam perbanyakan tanaman (perkembangbiakan). Perakaran cabai rawit terdiri atas akar tunggang yang tumbuh lurus ke pusat bumi dan akar serabut yang tumbuh menyebar ke samping. Perakaran tanaman tidak dalam sehingga tanaman hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang gembur, porous (mudah menyerap air) dan subur (Setiadi, 2006). Produksi cabai rawit merupakan hasil panen yang diperoleh dalam satu kali musim tanam. Menurut Maulidah et al., (2012), di Indonesia pada panen musim tanam tahun 2009 ke tahun 2010, menunjukkan adanya penurunan produksi cabai rawit. Curah hujan yang tinggi menyebabkan produksi yang semula mencapai 1.237 kg pada tahun 2009 turun menjadi 615 kg di tahun 2010, atau terjadi penurunan produksi sebesar 49,72%. Penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan mendukung. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya)
maupun biotik (musuh alami,
organisme kompetitor). Konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu
8 komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul (Wiyono, 2007). Faktor lingkungan fisik sangat berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa
terhadap siklus hidup
patogen, virulensi (daya infeksi), penularan dan reproduksi
patogen. Pengaruh
perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing-masing penyakit. Garret et al., (2006) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses fisiologi tanaman dan patogen. Benih bermutu dari varietas unggul merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi, sehingga perakitan varietas unggul diperlukan untuk meningkatkan produktivitas cabai (Syukur et al., 2010). Tanaman cabai banyak mendapat gangguan dari hama dan penyakit sehingga menurunkan produktivitas cabai, oleh karena itu diperlukan varietas unggul yang memiliki produktivitas dan ketahanan terhadap hama dan penyakit yang tinggi.