1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta menghapuskan kemiskinan, atau paling tidak mengurangi tingkat kemiskinan di negara atau wilayah tersebut. Tidak hanya negara yang relatif sudah maju (negara berkembang) saja yang melakukan kegiatan pembangunan, negara yang belum maju pun melakukan kegiatan pembangunan. Dalam suatu negara atau wilayah, pembangunan ekonomi menjadi sesuatu yang sangat penting karena ketika berbicara mengenai pembangunan ekonomi berarti di dalamnya terdapat sebuah proses pembangunan yang melibatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan beberapa perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain mencakup perubahan struktur ekonomi (dari pertanian ke industri atau jasa) dan perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri (Kuncoro, 1997). Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah pendapatan nasional. Meskipun bukan merupakan satu-satunya ukuran untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, itu cukup representatif dan sangat lazim digunakan. Pendapatan nasional bukan hanya berguna untuk menilai perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu ke waktu, tapi juga membandingkannya dengan negara lain. Rinciannya secara sektoral dapat menerangkan stuktur perekonomian negara yang bersangkutan. Di samping itu,
2
dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunannya,
sepeti
pertumbuhan
ekonomi
dan
pendapatan
per
kapita
(Dumairy,1996). Berhasil atau tidaknya proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau wilayah dapat dilihat dari perkembangan indikator-indikator perekonomian tersebut, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk daerah tertentu disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain PDRB, pendapatan per kapita juga salah satu konsep penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu Negara. Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah pada tahun 2001 dimana pemerintah
daerah
diberi
kewenangan
untuk
mengatur
sendiri
urusan
pemerintahannya termasuk urusan pembangunan ekonomi, namun pada kenyataannya sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi pusat pembangunan ekonomi bagi Indonesia. Bahkan dilihat dari Pulau Jawa sendiri, ketidakmerataan distribusi juga terjadi PDRB di Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah merupakan yang terendah diantara provinsi lain di Pulau Jawa. Provinsi DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi, disusul Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan yang terakhir adalah Provinsi Jawa Tengah. Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB sekitar delapan kali lebih tinggi dari pada PDRB Provinsi Jawa Tengah. Perkembangan PDRB Per
3
Kapita Tanpa Minyak & Gas Enam Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan PDRB per kapita tanpa minyak dan gas enam provinsi di Pulau Jawa tahun 2005-2009 (ribu rupiah) Tahun Provinsi DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Barat Banten DI Yogyakarta Jawa Tengah
2005 48.570 11.033 9.468 9.329 7.529 6.372
2006 55.610 12.796 11.28 10.585 8.652 7.565
2007 62.199 14.456 12.434 11.408 9.584 8.419
2008 73.713 16.635 13.987 12.756 10.985 9.543
2009 81.746 18.285 15.121 13.598 11.830 10.416
Sumber: BPS
Selain pendapatan per kapita, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Peringkat pertama ditempati oleh Provinsi Banten dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 8,95 persen. Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat kedua dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,03 persen. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat menempati peringkat ketiga dan keempat dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,95 persen dan 5,8. Persen. Dua posisi terakhir diduduki oleh Provinsi Jawa Tengah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen dan Provinsi DI. Yogyakarta dengan 4,47 persen.
4
Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa tahun 2006-2010 (persen) Tahun Provinsi Banten DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah DI, Yogyakarta Jawa
2006 5,57 5,95 5,8 6,02 5,33 3,7 5,78
2007 6,04 6,44 6,11 6,48 5,59 4,31 6,19
2008 22,53 6,23 6,16 6,21 5,61 5,03 7,03
2009 4,69 5,02 5,01 4,19 5,14 4,43 4,81
2010 5,94 6,51 6,68 6,09 5,84 4,87 6,3
Ratarata 20062010 8,95 6,03 5,95 5,8 5,5 4,47 6,02
Sumber: BPS
Jika dilihat dari PDRB per kapita kabupaten dan kota di Jawa Tengah, perekonomian Provinsi Jawa Tengah ternyata hanya terpusat di beberapa daerah. Hal ini ditunjukkan dari PDRB per kapita di Jawa Tengah masih belum merata. Data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan hanya sekitar sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten dan kota lainnya memiliki PDRB per kapita kurang dari rata-rata di Jawa Tengah. Lima kabupaten dan kota yang memiliki PDRB per kapita tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita terendah berturut adalah Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen serta Kabupaten Demak. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. Dari data Tabel 3, dapat diduga bahwa masih ada pemerintah daerah kabupaten dan kota di
Provinsi Jawa Tengah yang belum optimal dalam
5
membangun perekonomian dengan memberdayakan potensi ekonomi di wilayahnya. Padahal di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah diberi wewenang untuk mengelola potensi di daerah masing-masing. Wewenang ini yang seharusnya dapat dioptimalkan pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah. Tabel 3 PDRB per kapita tanpa minyak dan gas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kabupaten/Kota PDRB per Kapita Kudus 40.471.198 Kota Semarang 27.891.154 Cilacap 24.030.196 Kota Surakarta 19.908.672 Kota Magelang 17.806.644 Kota Pekalongan 13.516.524 Sukoharjo 12.025.057 Kendal 11.969.893 Semarang 11.895.657 Karanganyar 11.343.175 Kota Tegal 10.998.560 Kota Salatiga 10.856.888 Klaten 9.975.148 Purwerejo 9.299.166 Boyolali 8.706.517 Pekalongan 8.622.288 Brebes 8.437.736 Rembang 8.402.062
No 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota PDRB per Kapita Jepara 8.310.082 Pati 7.880.407 Sragen 7.860.941 Banjarnegara 7.712.477 Batang 7.454.500 Temanggung 7.154.116 Wonogiri 6.937.837 Pubalingga 6.796.774 Magelang 6.788.665 Banyumas 6.648.928 Pemalang 6.391.781 Tegal 5.689.566 Demak 5.620.418 Kebumen 5.590.039 Wonosobo 5.202.502 Blora 5.165.508 Grobogan 4.966.466 Jawa Tengah 10.809.358
Sumber: BPS Provinsi Jateng
Dengan berlakunya otonomi daerah, maka untuk melaksanakan pembangunan diperlukan kemandirian dan kemampuan dari pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dana pembangunan. Dengan demikian, pemerintah daerah tentu harus mampu menggali sumber-sumber ekonomi dan mengolah potensi yang ada di daerahnya sehingga pembangunan di daerah tersebut dapat terus terlaksana. Selain dengan cara menggali sumber-sumber ekonomi daerah sebagai sumber pendanaan pembangunan, tentunya diperlukan penanaman modal
6
baik yang berasal dari dalam negeri (PMDN) maupun dari luar negeri (PMA) untuk mengembangkan perekonomian di suatu wilayah. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (Perda), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya (KPPOD 2007). Melihat pentingnya peran pemerintah daerah melalui tata kelola pemerintahan daerah dalam meningkatkan perekonomian, maka penelitian ini ingin menjelaskan keterkaitan antara tata kelola ekonomi daerah dengan Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian mengenai tata kelola
7
ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2007. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi di Indonesia. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Namun, hasilnya sangat mengejutkan yakni hanya ada sedikit atau tidak ada hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal yang mendorong hasil ini dimungkinkan karena dalam penelitian tersebut menganalisis dampak tata kelola perekonomian daerah terhadap pertumbuhan secara agregat. Untuk menganalisis hal tersebut menggunakan skor indeks akhir serta sub-indeks tata kelola ekonomi daerah. Sementara ada 90 pertanyaan dari kuisioner yang ditanyakan kepada para responden memiliki skala pengukuran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan analisis secara parsial yaitu menganalisis variabel-variabel yang ditanyakan kepada responden untuk mengetahui keterkaitan setiap indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. 1.2. Permasalahan Perekonomian di provinsi Jawa Tengah pun hanya terfokus di beberapa kabupaten dan kota. Data BPS Provinsi Jawa tengah pada tahun 2007, PDRB per kapita tertinggi di Jawa Tengah berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana
8
PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Peringkat daerah dengan PDRB per kapita tertinggi tahun 2007 tersebut sama dengan peringkan PDRB per kapita tahun 2010. Artinya, kelima daerah tersebut secara konsisten memiliki perekonomian yang lebih besar dari daerah lainnya. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita tahun 2007 terendah berturut adalah Kabupaten Tegal, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Blora serta Kabupaten Grobogan. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. Tabel 4 Pering kat 1 2 3 4 5 31 32 33 34 35
PDRB per kapita dan indeks tata kelola ekonomi daerah lima kabupaten/kota tertinggi dan terendah di Jawa Tengah tahun 2007
Kabupaten/Kota Kudus Kota Semarang Cilacap Kota Surakarta Kota Magelang Tegal Kebumen Wonosobo Blora Grobogan
PDRB per kapita (Rp) 35.615.217 23.067.839 18.526.334 15.831.794 14.173.787 4.586.950 4.556.330 4.422.065 4.204.875 3.973.827
Pering kat 1 2 3 4 5 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota Purbalingga Kota Magelang Kudus Kota Salatiga Wonosobo Karanganyar Kota Surakarta Pemalang Kota Semarang Kebumen
Indeks TKED 71,1 70,5 69 68,6 68,2 59 58,7 57,5 57,2 55,2
Sumber: BPS dan KPPOD
Namun, dilihat dari indeks tata kelola ekonomi daerah, kabupaten/kota dengan tata kelola ekonomi daerah terbaik adalah Kabupaten Purbalingga, Kota Magelang, Kabupaten Kudus, Kota Salatiga dan Kabupaten Wonosono. Sedangkan kabupaten/kota dengan tata kelola ekonomi daerah terburuk adalah Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta, Kabupaten Pemalang, Kota Semarang dan Kabupaten Kebumen. Menariknya, Kota Semarang yang merupakan
9
kabupaten tertinggi kedua di Jawa Tegah ternyata menempati peringkat tata kelola ekonomi daerah terburuk kedua, setelah Kabupaten Kebumen. Tidak hanya itu, Kabupaten Wonosobo yang merupakan salah satu kabupaten dengan pendapatan per kapita terendah pun ternyata memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di peringkat kelima. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pembangunan. Baik buruknya tata kelola ekonomi daerah tergantung peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan di kabupaten/kota masing-masing. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah seharusnya berlomba dalam meningkatkan perekonomian masing-masing. Salah satu peran yang utama dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah adalah melalui tata kelola ekonomi daerah. Penelitian mengenai tata kelola ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei oleh KPPOD di tahun 2007. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi (KPPOD 2007). Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah?
10
2. Bagaimana keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagimana implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten
dan kota di Jawa Tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa
Tengah. 3. Menganalisis implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak
sebagai berikut : 1. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi jawaban atas permasalahan yang ingin diketahui dan menjadi tambahan pengetahuan.
11
2. Bagi para penentu kebijakan di pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta Pemerintah Daerah di Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah pemahaman tentang aspek atau indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh terhadap PDRB per kapita. Pemahaman tersebut membantu penentu kebijakan untuk fokus dalam membuat kebijakan dalam meningkatkan meningkatkan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Bagi para pemangku peran masyarakat serta LSM, penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai alat advokasi kepada para pemimpin daerah untuk melakukan perbaikan tata kelola ekonomi daerah. 4. Bagi masyarakat umum, mahasiswa dan peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, tambahan pengetahuan, dan sumber rujukan bagi penelitian terkait selanjutnya bagi peneliti yang berminat di bidang tata kelola ekonomi daerah. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini berdasar pada survei tata kelola ekonomi daerah yang
dilakukan oleh KPPOD. Kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei di tahun 2007. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data cross section dengan unit analisis kabupaten dan kota di Jawa Tengah pada tahun 2007. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pendekatan analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi tata kelola ekonomi daerah dan PDRB per kapita di kabupaten dan kota
12
Provinsi Jawa Tengah. Pendekatan analisis kuantitatif digunakan untuk mencari keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan unit
analisis variabel-variabel tata kelola ekonomi daerah. Indikator tata kelola ekonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : (1) akses lahan usaha dan kepastian berusaha, (2) perizinan usaha, (3) interaksi pemda dan pelaku usaha, (4) program pengembangan usaha swasta, (5) kapasitas dan integritas Kepala Daerah, (6) biaya transaksi, (7) kebijakan infrastruktur daerah, (8) keamanan dan penyelesaian sengketa, dan (9) kualitas peraturan daerah. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yakni belanja pemerintah
daerah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).