I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gigi tiruan lengkap adalah protesa gigi lepasan yang menggantikan seluruh gigi geligi dan struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah (Glossary of prosthodontics terms, 2005). Kehilangan gigi biasa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain trauma, karies, dan penyakit periodontal. Kehilangan gigi akan menyebabkan gangguan fungsi fonetik, mastikasi, dan estetik. Tujuan menggunakan gigi tiruan penuh adalah mengembalikan fungsi-fungsi yang telah hilang, baik itu fungsi mastikasi, fonetik, dan estetis (Nallasmawy, 2003). Hubungan posisi mandibula terhadap maksila dapat dilihat dalam dua arah yaitu secara vertikal dan secara horizontal. Hubungan secara vertikal adalah dimensi vertikal pengukurannya dilakukan pada wajah dengan dua titik acuan, sedangkan hubungan secara horizontal adalah relasi sentrik (Nallasmawy, 2003). Pada pasien yang sudah kehilangan seluruh giginya berarti sudah kehilangan bidang oklusal, dimensi vertikal, dan oklusi sentrik (Nurung dkk., 2014). Dimensi vertikal adalah tinggi vertikal dari wajah. Dimensi vertikal ditentukan oleh hubungan otot, menggunakan posisi istirahat fisiologis rahang bawah sebagai faktor petunjuk (Nurung dkk., 2014). Menurut Basnet dkk. (2015) penetapan dimensi vertikal diperoleh berdasarkan dimensi vertikal pada saat posisi istirahat rahang pasien yaitu dimensi vertikal resposisi (DVR) dan saat beroklusi yaitu dimensi vertikal oklusi (DVO). Dimensi vertikal resposisi adalah
1
2
jarak antara dua titik ketika mandibula dalam keadaan istirahat, sedangkan dimensi vertikal oklusi adalah jarak antara dua titik ketika gigi geligi rahang atas dan bawah berkontak. Penentuan dimensi vertikal maksilomandibula merupakan suatu tahap dalam perawatan prostodonsi bagi pasien yang tidak bergigi yang dari segi praktis sulit ditentukan dengan tepat. Tidak ada ukuran yang dapat menyatakan jarak antar rahang dengan tepat, jadi tidak ada bukti untuk menyatakan dimensi vertikal yang adekuat yang harus digunakan untuk menciptakan oklusi (Nurung dkk., 2014; Rahn dkk., 2009). Pada orang yang telah kehilangan gigi geliginya, dimensi vertikal akan berkurang dan otot pipi akan turun karena tidak adanya penyangga. Selama berfungsi, rahang bawah berusaha berkontak dengan rahang atas, sehingga dengan tidak adanya gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah akan menyebabkan hilangnya posisi sentrik dan mandibula menjadi protrusif, yang dapat menyebabkan malposisi sendi temporomandibular (Swenson, 1959). Penentuan dimensi vertikal pada pasien edentulus merupakan hal yang terpenting dalam perawatan pembuatan gigi tiruan (Basnet dkk., 2015). Menurut Dipoyono (2004), masalah yang sering dijumpai oleh dokter gigi ataupun prostodontis khususnya di dalam perawatan gigi tiruan lengkap adalah ketidak telitian di dalam penentuan atau pengukuran dimensi vertikal. Kesalahan dalam penentuan dimensi vertikal oklusi bisa berupa relasi vertikal yang terlalu tinggi atau relasi vertikal yang terlalu rendah. Relasi vertikal yang terlalu tinggi menyebabkan yaitu gigi tiruan tidak stabil, gigi tiruan tidak nyaman digunakan, profil pasien menjadi jelek karena otot ekspresi tegang dan
3
apabila terlalu tinggi, bibir tidak dapat menutup, terjadi kliking dari gigi, terjadi luka pada jaringan pendukung, resorpsi tulang, dan gangguan temporomandibula. Sedangkan jika dimensi vertikal terlalu rendah dapat mengakibatkan efisiensi pengunyahan berkurang, ekspresi wajah terlihat lebih tua karena bibir kehilangan kepadatan dan terlihat terlalu tipis, sudut mulut menjadi turun dan melipat, serta dapat terjadi Costen syndrome dengan gejala tuli ringan, sering pusing, tinitus, nyeri saat menggerakkan sendi, nyeri pada lidah dan pada regio termporalis dan gangguan kelenjar ludah sehingga sekresi saliva berkurang dan mulut terasa kering (Nurung dkk., 2014) Pembuatan gigi tiruan lengkap terdiri dari beberapa tahap, baik tahap laboratorium maupun klinis. Salah satu tahap klinis yang paling penting dalam pembuatan gigi tiruan lengkap adalah penentuan hubungan rahang yaitu salah satunya adalah hubungan rahang vertikal yang meliputi penentuan dimensi vertikal (Nallasmawy, 2003). Menurut Nurung dkk. (2014), terdapat beberapa cara untuk menentukan dimensi vertikal oklusi (DVO) secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran dengan cara langsung berarti pengukuran dilakukan langsung pada wajah atau mulut pasien. Pengukuran secara langsung terdiri dari pengukuran wajah, penelanan, metode fonetik, bitting forceps, dan metode taktil. Sedangkan untuk pengukuran tidak langsung terdiri dari pengukuran secara sefalometri, foto digital, rumus Hayakawa, dan pre extraction record. Menurut Nallasmawy (2003), salah satu cara yang mudah dalam menentukan dimensi vertikal adalah metode Willis yaitu jarak subnasion ke gnation adalah sama dengan jarak pupil ke sudut mulut. Metode Willis sering
4
digunakan di klinik, pasien dengan posisi kepala tegak yang nyaman di kursi dental lalu ditetapkan dua titik pengukuran yaitu satu di hidung dan satu di dagu. Keduanya dipilih pada daerah yang tidak mudah bergerak akibat otot ekspresi (Nurung dkk., 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Basnet dkk. (2014) yang dilakukan pada dua etnis di Negara Nepal terdapat hubungan positif antara pengukuran dimensi vertikal oklusi dengan menggunakan metode pengukuran wajah yaitu jarak tepi mata ke sudut mulut, jarak sudut mata bagian dalam mata kanan ke sudut mata bagian luar mata kiri, jarak sudut mata ke meastus acusticus externa (eye-ear), dan panjang telinga. Berdasarkan latar belakang, penulis tertarik untuk meneliti tentang perbedaan hasil perhitungan dimensi vertikal oklusi antara pria dan wanita dengan metode Willis, panjang telinga, dan jarak mata ke telinga yang ditentukan secara langsung pada wajah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan hasil perhitungan dimensi vertikal oklusi antara pria dan wanita dengan metode Willis, panjang telinga, dan jarak mata ke telinga ? C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya berkaitan dengan berbagai metode pengukuran dimensi vertikal oklusi. Geerts dkk. (2004) telah meneliti dimensi vertikal oklusi dengan metode Willis dan metode vernier caliper. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa metode vernier caliper lebih signifikan
5
akurat dibandingkan dengan metode Willis dalam menghitung dimensi vertikal oklusi. Penelitian di Nepal yang dilakukan oleh Basnet dkk. (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pengkuran dimensi vertikal oklusi dengan menggunakan metode pengukuran wajah yaitu jarak tepi mata ke sudut mulut, jarak sudut mata bagian dalam mata kanan ke sudut mata bagian luar mata kiri, jarak mata ke telinga dan panjang telinga. Di Indonesia penelitian dimensi vertikal pernah dilakukan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Dipoyono (2004) mengenai penggunaan ukuran sepertiga wajah dalam menentukan dimensi vertikal dan hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil metode pengukuran sepertiga tinggi wajah adalah sama dengan penentuan metode Willis dan lebar empat jari tangan metode Bruno. Nurung dkk. (2014) melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan antara teknik two dot dengan analisis sefalometri pada pengukuran dimensi vertikal oklusi”, berdasarkan penelitian tersebut yang dilakukan di RSGM Universitas Hasanudin, disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai ratarata analisis sefalometri pada pengukuran dimensi vertikal oklusi antara pasien pria dan wanita. Dari penelititan yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa terdapat perbedaan dari penelitian ini, yaitu pada penelitian ini menggunakan metode Willis, panjang telinga, dan jarak mata ke telinga dalam mengukur dimensi vertikal oklusi yang dimana subjek penelitian adalah pria dan wanita yang berumur 20-25 tahun.
6
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil perhitungan dimensi vertikal oklusi antara pria dan wanita dengan metode Willis, panjang telinga, dan jarak mata ke telinga.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian adalah : 1. Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada dunia kedokteran gigi pada umumnya dan bidang prostodonsia pada khususnya. 2. Untuk dapat digunakan oleh dokter gigi dalam pelaksanaan pembuatan protesa gigi tiruan lengkap terutama untuk mencari dan menentukan dimensi vertikal. 3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.