RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 129/PUU-VII/2009 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, MA & MK “Pengujian UU dan peraturan di bawahnya dalam satu atap”
I.
PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.
Kuasa Hukum: Ahmad Rosadi Harahap, S.H., beralamat di Jl. Bangka II No. 43, Jakarta Selatan.
II.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa
ketentuan yang
mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah : ⌧ Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
⌧ Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah; a. menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan
1
warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian Atas dasar ketentuan tersebut maka dengan ini Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kualifikasinya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya secara sebagai berikut : Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
IV.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI. A. NORMA MATERIIL - Sebanyak 3 (tiga) norma. UU No. 4 Tahun 2004 1. Pasal 11 ayat (2) huruf b “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: a. ---------------------------; b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan c. ----------------------------.” 2. Pasal 12 ayat (1) huruf a “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. -----------------------; c. -----------------------; d. -----------------------;”
UU No. 5 Tahun 2004 1. Pasal 31 ayat (1) “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”
2
UU No. 24 Tahun 2003 1. Pasal 10 ayat (1) huruf a “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. -----------------------------; c. ----------------------------; d. ---------------------------;
2. Pasal 55 “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undangundangyang menjadi dasar pengujina peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI -
Sebanyak 3 (tiga) norma, yaitu : 1.
Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
2.
Pasal 28H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
3.
Pasal 28I ayat (5) “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
V.
Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD 1945, karena : 1. bahwa berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
3
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Ketentuan konstitusional yang diatur dalam UUD tesebut di atas telah dilaksanakan oleh undang-undang organik, yaitu berdasarkan Pasal 11 ayat (2) huruf b UU Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU MA2 jo. Pasal 31A ayat (10) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA (selanjutnya disebut "UUMA3") jo. Pasal 79 UUMA jo. Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil, yang pada pokoknya mengatur bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di MA merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan karenanya tidak dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusannya. 2. bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD. Ketentuan konstitusional yang diatur dalam UUD tesebut di atas telah dilaksanakan oleh undang-undang organik, yaitu berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a UUK jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 1 angka 3 huruf a, jo. Pasal 51 ayat (3) huruf a jo. Pasal 47 UU MK jo. Pasal 1 angka 1 PMK PUU yang memberikan kepada MK kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. 3. bahwa berdasarkan Pasal 55 UU MK, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila undangundang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK PUU sampai ada putusan MK. 4. bahwa ternyata telah terjadi kondisi yang berbeda dengan preskripsi legislasi Pasal 55 UU MK dimana ternyata setelah MA mengadili dan memutuskan suatu perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A ayat (1) UUD jo. Pasal 11 ayat (2) huruf b UU K jo. Pasal 31 ayat (1) UU MA2 jo. Pasal 31A ayat (1) UU MA3 jo. Pasal 6 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 dan Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 2004, baru kemudian kewenangan MK digunakan sebagai jalur upaya hukum untuk mengadili dan memutus perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD jo. Pasal 12 ayat (1) huruf a UUK jo. Pasal 1 angka 3 huruf a, Pasal 10 ayat (1) huruf a jo. Pasal 51 ayat (3) huruf a jo. Pasal 47 UU MK jo. Pasal 1 angka 1 dan Pasal PMK PUU. 5. bahwa kondisi demikian dapat dilihat dari Permohonan Hak Uji Materil terhadap Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tanggal 16 Maret 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, sebagaimana telah diperiksa dan diputuskan oleh MA lewat Putusan MA No. 12P/HUM/2009, Putusan MA No. 16P/HUM/2009, dan Putusan MA No. 18P/HUM/2009, dan khususnya dalam hal permohonan ini Putusan MA No. 15P/HUM/2009.
4
6. bahwa kemudian, dasar hukum penerbitan Peraturan KPU No. 15/2009 a quo, yakni UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, diajukan permohonan hak uji materil terhadap UUD 1945 kepada MK yang kemudian telah memutusnya lewat Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tanggal 6 Agustus 2009. 7. bahwa akibat hukum dari Putusan MK No. 110-111-112-113/PUUVII/2009 berdampak terhadap maksud dan tujuan serta akibat hukum yang terkandung dalam Putusan MA No. 12P/HUM/2009, Putusan MA No. 16P/HUM/2009, dan Putusan MA No. 18P/HUM/2009, dan khususnya dalam hal permohonan ini Putusan MA No. 15P/HUM/2009. 8. bahwa dengan demikian maka dapat dipastikan kewenangan yudisial MA sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi lewat Pasal 24A ayat (1) UUD jo. Pasal 11 ayat (2) huruf b UUK 2004 jo. Pasal 31 ayat (1) UUMA2 jo. Pasal 31A ayat (1) UUMA3 jo. Pasal 6 ayat (1) dan (2) serta 8 dan Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 2004, tidak akan pernah efektif berlaku jika MK menjalankan kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD jo. Pasal 12 ayat (1) huruf a UUK jo. Pasal 1 angka 3 huruf a, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 51 ayat (3) huruf a, Pasal 55 dan Pasal 47 UUMK jo. Pasal 1 angka 1 dan Pasal PMK PUU sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 110-111-112113/PUU-VII/2009 a quo. 9. bahwa karena kewenangan MA tersebut hanya efektif berlaku dalam kondisi sebagaimana dimaksud Pasal 55 UU MK saja, dan mengingat kekuatan hukum atas Putusan MA No. 12P/HUM/2009, Putusan MA No. 15P/HUM/2009, Putusan MA No. 16P/HUM/2009, dan Putusan MA No. 18P/HUM/2009 bergantung sepenuhnya pada kekuatan hukum Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di abwah undang-undang di MA menjadi hanya akan efektif lewat pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang MK belaka, dan oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sejak 60 (enam puluh) hari kerja setelah MK terbentuk, segala permohonan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undangundang (HUM) maupun setara undang-undang (PUU) sepenuhnya menjadi kewenangan MK (vide Pasal Ill Aturan Peralihan UUD 1945 jo. Pasal 87 UUMK jo. Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009). 10. bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, pelaksanaan pemeriksaan dan pengadilan atas suatu permohonan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA akan selalu dapat dianulir lewat pelaksanaan pemeriksaan dan pengadilan atas suatu permohonan pengujian undang-undang terhadap suatu undangundang yang menjadi dasar penerbitan peraturan perundang-undangan di bawah undangundang yang telah diuji oleh MA tadi oleh MK sebagaimana telah pernah terjadi terhadap Putusan MA No. 12P/HUM/2009, Putusan MA No. 15P/HUM/2009, Putusan MA No. 16P/HUM/2009, dan Putusan MA No. 18P/HUM/2009 lewat Putusan MK No. 110-111112-113/PUU-VII/2009, maka dengan demikian "asas dapat dilaksanakan" sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf d UUUU dan "asas ketertiban dan kepastian hukum" sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf i UUUU jis. Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2),
5
dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 selamanya menjadi tidak terpenuhi oleh ketentuanketentuan konstitusi maupun undang-undang organik sebagaimana disampaikan di atas, yakni bahwa pelaksanaan MA atas amanat Pasal 24A ayat (1) UUD jo. Pasal 11 ayat (2) huruf b UUK jo. Pasal 31 ayat (1) UUMA2 akan selalu dapat dianulir lewat kewenangan MK sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UUK jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a jo. Pasal 55 UUMK. 11. bahwa kondisi yudisial demikian secara nyata telah melanggar konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD yang memberikan jaminan kepada setiap orang untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum (rechtszekerheid) yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, melanggar Pasal 28H ayat (2) UUD yang memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (fair access to justice), melanggar Pasal 281 ayat (1) UUD yang menjamin hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (nonretroactive), dan juga Pasal 28I ayat (5) UUD yang menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (rule of law) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004.
12. Bahwa kenyataan sebagaimana diuraikan di atas dialami oleh Para Pemohon secara Iangsung dalam kapasitasnya sebagai Calon Anggota DPR RI dalam Pemilihan Umum Tahun 2009, dimana jika berdasarkan Putusan MA No. 15 P/HUM/2009 yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut seharusnya mendapat hak yang dijamin konstitusi untuk terpilih menjadi Anggota DPR RI Periode 2009-2014, kemudian hak tersebut dianulir oleh Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 a quo. Terlepas daripada itu, kedua putusan yang dibacakan di muka persidangan yang terbuka untuk umum dalam Iingkungan kekuasaan peradilan tersebut telah merugikan tidak hanya Para Pemohon pada khususnya namun semua Calon Anggota Legislatif Peserta Pemilu 2009, kerugian mana berupa adanya ketidakpastian hukum tentang nasib perolehan hak suara yang telah mereka dapatkan untuk dikonversi menjadi kursi di DPR RI apakah akan dihitung menurut hukum berdasarkan Pasal 205 ayat (4) UU Pileg versi Putusan MA ataukah berdasarkan versi Putusan MK a quo. 13. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas nyatalah adanya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) jo. Pasal 281 ayat (5) UUD yang diakibatkan oleh pemberlakuan pasal-pasal sebagaimana disebut pada butir 1.3. di atas, serta nyata pulalah tiadanya kemudahan dan manfaat keadilan (fair access to justice) sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (2) jo. Pasal 281 ayat (4) UUD yang diakibatkan oleh pemberlakuan pasal-pasal sebagaimana disebut pada butir 1.3. di atas, karena sesungguhnya access to justice lewat hak uji materil (HUM) melalui kewenangan yang diamanatkan kepada MA niscaya selalu dapat dimentahkan Iewat hak uji materil (PUU) melalui kewenangan yang diamanatkan kepada MK.
6
14. Bahwa dengan demikian nyatalah adanya hubungan kausalitas (causal verband) antara kerugian yang diderita Para Pemohon sebagaimana diuraikan pada butir 3.2. di atas dengan diundangkannya pasal-pasal undang-undang sebagaimana disebut pada butir 1.3. di atas. 15. Bahwa oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (6) UUD jis. Pasal 51 ayat (1) UUMK dan Penjelasannya jo. Pasal 3 huruf a PMK PUU jis. Putusan MK No. 010/PUU-111/2005 tanggal 31 Mei 2005, Putusan MK No. 004/PUU-I/2003 tanggal 30 Desember 2003, dan Putusan MK No. 21-22/PUUV/2007 tanggal 25 Maret 2008, guna menghindari kerugian demikian di kemudian hari, maka adalah beralasan dan berdasar menurut hukum agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili Permohonan ini menyatakan serta menetapkan bahwa Pasal 11 ayat (2) huruf b dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UUK, Pasal 31 ayat (1) UU No. UUMA2, Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 55 UUMK dinyatakan tidak berlaku dan batal demi hukum karena bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 281 ayat (5) UUD. VI.
PETITUM 1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya ; 2. Menyatakan salah satu kewenangan yudisial berikut: a. hak uji materil MA sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) huruf b UUK jo. Pasal 31 ayat (1) UU No. UUMA2; atau b. hak uji materil MK sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (1) huruf a UUK, Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 55 UUMK; adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3. Memerintahkan kepada pembuat undang-undang untuk segera mengundangkan ketentuan mengenai hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan balk yang setara (PUU) maupun di bawah undang-undang (HUM) sepenuhnya dialihkan kepada MK atau sepenuhnya dialihkan kepada MA demi terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum (rechtszekerheid) sebagai wujud jaminan hukum bagi setiap orang untuk mendapatkan akses peradilan yang murah, cepat dan sederhana (fair access to justice) berdasarkan hukum (rule of law) sebagaimana diamanatkan UUD 1945; 4. Menyatakan semua isi keputusan, peraturan dan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan atas Permohonan ini menjadi tidak berlaku dengan sendirinya karena kehilangan dasar pijakannya serta menyatakan bahwa putusan atas Permohonan ini berlaku surut demi terwujudnya kepastian dan tertib hukum.
7