ANALISIS KESANTUNAN BERBAHASA SISWA/I DI LINGKUNGAN SEKOLAH SMP NEGERI 5 BINJAI
Oleh Puspa Rinda Silalahi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Medan Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan sekolah, (2) Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan yang terjadi pada percakapan di lingkungan sekolah, (3). Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa siswa yang terjadi di lingkungan sekolah. Sumber data dalam penelitian ini adalah percakapan yang diperoleh dari rekaman percakapan di lingkungan SMP Negeri 5 Binjai baik di kelas maupun di luar kelas. Adapun percakapan yang di teliti adalah percakapan siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Kesantunan berbahasa sangat dipengaruhi oleh jarak atau hubungan status antara penutur dengan mitra tutur. Semakin dekat jarak hubungan sosial kedua peserta tutur maka semakin tidak santun bahasa yang disampaikan. Sebaliknya semakin jauh jarak hubungan sosial maka semakin santunlah tuturan di antara peserta tutur. (2) Dalam percakapan di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 5 Binjai percakapan yang santun di tandai dengan terpenuhinya prinsip kesantunan Leech yaitu skala ketidaklangsungan sedangkan pelanggaran yang ditemukan adalah pelanggaran pada maksim kebijaksanaan dan pelanggaran skala ketidaklangsungan, (3) Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tingkat kesantunan berbahasa di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 5 Binjai dapat dikatakan cukup santun karena dari hasil penelitian tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan berbahasa Leech lebih banyak ditemukan dari pada yang melanggar prinsip kesantunan berbahasa Leech. Kata Kunci : Kesantunan Berbahasa, Pragmatik, Skala Kesantunan.
A. PENDAHULUAN Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi. Berbahasa berkaitan dengan pemilihan jenis kata, lawan bicara, waktu (situasi) dan tempat (kondisi) diperkuat dengan cara pengungkapan yang menggambarkan nilai-nilai budaya masyarakat. Dewasa ini, masyarakat sedang mengalami perubahan menuju era globalisasi. Setiap perubahan masyarakat melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan nilai dan moral, termasuk pergeseran bahasa dari bahasa santun menuju kepada bahasa yang tidak santun. 1
Berdasarkan observasi semula, ketika peneliti ketika melakukan Program Pengalaman Terpadu (PPLT) di SMP Negeri 5 Binjai. Peneliti melihat bahwa siswa masih sering menggunakan kata-kata yang kurang santun ketika melakukan percakapan tidak saja di di luar kelas bahkan ketika berada di dalam kelas siswa juga menggunakan kata-kata yang kurang santun. Tentu saja hal ini bukan merupakan contoh yang baik karena ketika berada di lingkungan sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas seharusnya siswa menggunakan bahasa yang santun dalam percakapannya. Kesantunan berbahasa terkait langsung dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Jika masyarakat menerapkan norma dan nilai secara ketat, maka berbahasa santun pun menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat. Dalam kaitan dengan pendidikan, maka masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesantunan akan menjadikan berbahasa santun sebagai bagian penting dari proses pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan. Penelitian mengenai kesantunan telah banyak dilakukan antara lain: Penerapan Kesantunan Berbahasa dalam Komunikasi Verbal dalam pengajaran bahasa bagi Guru SMA oleh Christinawati, Kesantunan Dalam Kehidupan Manusia Yang Berbudaya oleh Zawawi Imron, Tutur Kata Pada Masyarakat Oleh Sofyan Sauri. Hilangnya Kesantunan Bahasa Kita oleh Rohaidah Mashudi dan Revolusi Paradigmatik dengan Kesantunan oleh M. Yamin Panca Setia. Dari banyaknya penelitian yang dilakukan mengenai kesantunan penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai kesantunan berbahasa di lingkungan sekolah sangat menarik dan perlu untuk dilakukan.
1. Rumusan Masalah Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal berikut: a) Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa dalam percakapan di lingkungan sekolah? b) Bagaimana pelanggaran prinsip kesantunan yang terjadi pada percakapan di lingkungan sekolah? c) Peringkat pelanggaran kesantunan bahasa yang manakah yang lebih dominan ditemukan pada percakapan di lingkungan sekolah SMP Negeri 5 Binjai.
2
B. KAJIAN TEORI 1. Kesantunan Berbahasa Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”. Masinambouw (dalam Chaer, 1995: 172) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa atau disebut juga kesantunan berbahasa merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, etika berbahasa ini antara lain akan “mengatur” (a) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain; (d) kapan kita harus diam; (e) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.
Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia
menguasai tatacara atau etika berbahasa itu.
2. Prinsip Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip, yaitu penerapan prinsip kesantunan, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo), penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus, dan penggunaan pilihan kata honorifik.
3
Leech (dalam Rahardi 2010: 59) menyebutkan dalam suatu interaksi para pelaku memerlukan prinsip lain selain prinsip kerja sama yaitu prinsip kesopanan ‘politeness principle’. Prinsip kesopanan mempunyai sejumlah maksim ‘maxim’, yakni: 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang pada dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila didalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. 2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. 3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. 4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. 5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) Maksim permufakatan sering disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. 6. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim) Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Di dalam model kesantunan Leech (dalam Rahardi 2010: 66) setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech, yaitu Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, 0ptionality scale atau skala pilihan, Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, Authority scale atau skala keotoritasan, Social distance scale atau skala jarak sosial 4
Tabu berasal dari kata taboo yang dipungut dari bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun bahasa Polinesia. Di masyarakat Tonga kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang atau yang harus dihindari. Bila tindakannya saja dilarang, maka bahasa/kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan itu pun dilarang. Dengan demikian kita dapat mendefenisikan “tabu” sebagai kata-kata yang tidak boleh digunakan, setidak-tidaknya, tidak dipakai di tengah-tengah masyarakat beradap. Fenomena tabu atau pemikiran yang berkaitan dengan tabu mendorong timbulnya gejala lain, yaitu eufemisme. Kata itu berasal dari istilah euphemism; (yang berarti:) “kata atau frase yang menggantikan satu kata tabu, atau yang digunakan sebagai upaya menghindari hal-hal yang menakutkan dan kurang menyenangkan” Fromkin & Rodman (dalam Paul 2007: 96). Kridaklaksana (dalam Paul 2007: 96) mendefenisikannya sebagai: “pemakai kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu”. Sedangkan penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. C. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang dipakai oleh penulis, yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif, yaitu metode paparan hasil temuan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan dari lapangan. Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari hasil observasi, kuesioner, dan rekaman di lapangan secara langsung dalam bentuk catatan yang memuat tentang informasi, situasi serta kejadian dari responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, 2012 di SMP Negeri 5 Binjai, dengan sampel penelitian sebanyak 30 responden. Kajian penelitian ini difokuskan pada tuturan yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan dari siswa/I sebagai penutur di lingkungan sekolah. Teknik analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (a): data yang diperoleh, baik melalui observasi, catatan lapangan, maupun kuesioner diklasifikasi sesuai dengan karakteristik 5
masing-masing data. Data percakapan siswa/I yang berupa transkrip rekaman dikelompokkan berdasarkan percakapan di kelas dan di luar kelas; (b) data yang telah ditranskripsikan dan dikelompokkan tersebut dianalisis melalui analisis prinsip kesantunan yang dikembangkan oleh Leech dengan empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) pereduksian data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.
D. PEMBAHASAN Pada bagian pembahasan ini, peneliti akan membahas kesantunan berbahasa siswa/I SMP Negeri 5 Binjai di kelas maupun luar kelas. Dalam hal ini, peneliti akan membahas prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech. 1. Realisasi Kesantunan Berbahasa Siswa a) Maksim Kebijaksanaan Dari hasil penelitian ditemukan satu tuturan yang memenuhi maksim kebijaksanaan. Adapun tuturannya “Eh.. Bia ada pulpen dua?”. Tuturan ini dinilai memenuhi maksim kebijaksanaan karena sipenutur bersikap menghindari kata-kata yang kurang menyenangkan mitra tuturnya ketika meminjam pulpen teman sebangkunya. Sipenutur menggunakan kata – kata yang sopan untuk meminjam pulpen teman sebangkunya. b) Maksim Kedermawanan Dari hasil penelitian ditemukan satu tuturan yang memenuhi maksim kedermawanan, yaitu tuturan “Jadi bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas Ibu kasih waktu 10 menit
mengerjakannya tapi tidak boleh menyontek”. Tuturan ini
dituturkan oleh guru kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas. Guru memiliki sikap kedermawanan kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas sehingga memberi waktu 10 menit kepada siswa untuk mengerjakan tugas mereka. Tuturan ini dinilai santun. c) Maksim Penghargaan
6
Dari hasil penelitian tidak ditemukan tuturan yang memenuhi maksim kedermawanan. Jadi jika dinilai dari maksim kedermawanan maka tuturan yang terjadi dalam percakapan yang diteliti tidak ada yang santun. d) Maksim Kesederhanaan Dari hasil penelitian ditemukan dua tuturan yang memenuhi maksim kedermawanan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kesederhanaan yaitu, tuturan “Kan enak nonton bola” dinilai memenuhi maksim kesederhanaan. Sipenutur berusaha bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Tuturan ini dinilai santun. Tuturan “Biasa-biasa aja, klo kau?” memenuhi maksim kesederhanaan. Tuturan ini memiliki makna sipenutur bersikap rendah hati dengan cara tidak menyombongkan dirinya di depan mitra tuturnya. Tuturan ini dinilai santun. e) Maksim Permufakatan Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang memenuhi maksim permufakatan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim permufakatan yaitu: 1) Tuturan “Kan enak nonton bola” dinilai memenuhi skala permufakatan. Di mana tuturan ini memiliki makna Sipenutur berusaha membina kecocokan dengan mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 2) Tuturan “Eh..Bia ada pulpen dua?” dinilai memenuhi skala permufakatan. Sipenutur meminjam pulpen kepada mitra tuturnya dengan cara berusaha membina kecocokan dengan mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 3) Tuturan “Kawanilah” dinilai memenuhi maksim permufakatan. Sipenutur berusaha bermufakat kepada mitra tuturnya untuk menemani Sipenutur ke kamar mandi. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 4) Tuturan “Bu gak boleh nyontek tapi kerja sama bolehlah Bu” dinilai memenuhi maksim permufakatan. Tuturan ini memiliki makna Sipenutur berusaha menjalin kecocokan dengan mitra tuturnya. Dimana penutur yang merupakan siswa berusaha bermufakat kepada guru untuk diberi ijin menyontek. Tuturan ini dinilai santun karena memenuhi maksim permufakatan.
7
f)
Maksim Kesimpatisan Dari
penelitian yang dilakukan ditemukan beberapa tuturan yang memenuhi
maksim kesimpatisan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kesimpatisan dari percakapan yang diteliti yaitu: 1) Tuturan “Knapa?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga menanyakan kenapa mitra tuturnya tidak menonton bola. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 2) Tuturan “Ngapain rupanya” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga menanyakan apa yang dilakukan mitra tuturnya sehingga tidak menonton bola. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 3) Tuturan “Kenapa rupanya gak bermutu” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga menanyakan alasan mitra tuturnya mengatakan menonton bola bukan hal yang bermutu. Meskipun Simitra tutur terkesan tidak simpati terhadap Sipenutur, Sipenutur tetap berusaha menunjukan rasa simpati kepada mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 4) Tuturan “Kan enak nonton bola” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga berusaha membujuk mitra tuturnya untuk menyukai bola. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 5) Tuturan “Kau pegang apa rupanya?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga menanyakan negara apa yang dibela oleh Simitra tutur. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun 6) Tuturan “Eh..Riza kek mana ujian kau?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga menanyakan hasil ujian dari mitra tuturnya.. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.
8
7) Tuturan “Biasa-biasa aja, klo kau?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga bertanya kembali hasil dari ujian mitra tuturnya, setelah sebelumnya mitra tuturnya menanyakan hasil ujian Sipenutur. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. 8) Tuturan “Gimana kabarnya?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan. Sipenutur yang merupakan seorang guru mememiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya yang adalah siswa sehingga menayakan kabar dari mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun. g) Skala kerugian dan Keuntungan Dari hasil penelitian tidak ditemukan tuturan yang memenuhi skala kerugian dan keuntungan. Jadi jika dinilai dari skala kerugian dan keuntungan maka tuturan yang terjadi dalam percakapan yang diteliti tidak ada yang santun.
h) Skala Pilihan Dari penelitian yang dilakukan ditemukan beberapa tuturan yang memenuhi skala pilihan. Adapun tuturan yang dinilai memenuhi skala pilihan yaitu: 1) Tuturan “Kau pegang apa rupanya?” dinilai memenuhi skala pilihan. Tuturan ini memberi kesempatan kepada mitra tuturnya untuk menentukan pilihan. Tuturan ini tidak membatasi pilihan Simitra tutur. 2) Tuturan “Eh..Bia ada pulpen dua?” dinilai memenuhi skala pilihan. Tuturan ini memberi kesempatan kepada mitra tuturnya untuk menentukan pilihan. Sipenutur tidak membatasi pilihan mitra tuturnya. 3) Tuturan “Halaman 37 atau 40 ?” dinilai memenuhi skala pilihan. Tuturan ini memberi kesempatan kepada mitra tuturnya untuk menentukan pilihan. Sipenutur tidak membatasi pilihan mitra tuturnya.
i) Skala Ketidaklangsungan Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang memenuhi skala ketidaklangsungan. Adapun tuturan yang dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan yaitu:
9
1) Tuturan “Woi.. gak nonton bola kalian?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 2) Tuturan “Knapa rupanya gak bermutu?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 3) Tuturan “Gak enak nonton bola” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 4) Tuturan “Kan enak nonton bola” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 5) Tuturan “Kau pegang apa rupanya?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 6) Tuturan “Gak tau pula aku mau pegang apa” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 7) Tuturan “Kau katro kali, kamseupay” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 8) Tuturan “Spanyol itu gak keren yang keren itu Brasil.” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 9) Tuturan “Brasil itu gak masuk” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 10) Tuturan “Akukan gak nengok makanya gak tahu.” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 11) Tuturan “Sok pintar kau woi” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 12) Tuturan “Eh..kalian anak cencenpun sok ikut campur.” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 13) Tuturan “Cebok dulu kalian baru nonton bola” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 14) Tuturan “Eh..Bia ada pulpen dua?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 15) Tuturan “Pelit kalipun kau” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 16) Tuturan
“Eh..Riza
kek
mana
ujian
kau?”
dinilai
ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung
10
memenuhi
skala
17) Tuturan
“Klo
aku
yang
jelas
bisa
dong”
dinilai
memenuhi
skala
ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 18) Tuturan “Kalo aku itu emang pintar, gak kek kau bego” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 19) Tuturan “Biasa kau bodoh kalo ngisi soal ujian” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 20) Tuturan “Itukan dulu, kalo sekarang gue itu uda belajar” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 21) Tuturan “Aduh.. Nian sesak kencing aku ini” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 22) Tuturan “Kencinglah sana” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 23) Tuturan “Takut aku sama ibu itu, nanti ditamparnya pula aku” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 24) Tuturan “Wei.. dia sesak kencing kek mana ini?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 25) Tuturan “Uda kencing aja di situ” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 26) Tuturan “Gila kau, jangan ketawa kau Nop” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 27) Tuturan “Kencing aja kau di ujung-ujung tangga itu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 28) Tuturan “Mana berani aku” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 29) Tuturan “Kalian kek anjing, pelit kali kalian, permisikan napa wei.. kasian tahu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 30) Tuturan “Kau ketua kelas kek tahi” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 31) Tuturan “Apa ini tahi-tahi” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung.
11
32) Tuturan “Selamat pagi semuanya” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 33) Tuturan “Pagi Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 34) Tuturan “Gimana kabarnya?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 35) Tuturan “Baik Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 36) Tuturan “Sekarang pelajaran apa?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 37) Tuturan “Bahasa Indonesia Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 38) Tuturan “Ada PR?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 39) Tuturan “Ada Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 40) Tuturan “Keluarkanlah Prnya” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 41) Tuturan “Iya Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 42) Tuturan
“Halaman
berapa
Prnya
Nak?”
dinilai
memenuhi
skala
ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 43) Tuturan “Halaman 37” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 44) Tuturan “Halaman 40” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 45) Tuturan “Halaman 37 atau 40 ?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 46) Tuturan “Halaman 37 Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 47) Tuturan “Siapa yang tidak mengerjakan tugas?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung
12
48) Tuturan “Saya Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 49) Tuturan
“Kenapa
tidak
mengerjakan
tugas?”
dinilai
memenuhi
skala
ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 50) Tuturan “Lupa Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 51) Tuturan “Mati lampu Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 52) Tuturan “Jadi kalau mati lampu tidak mengerjakan tugas?” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung 53) Tuturan “Gaklah Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 54) Tuturan “Siapa yang tidak mengerjakan tugas nanti dikasi hukuman” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 55) Tuturan “Janganlah Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 56) Tuturan “Jadi bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas Ibu kasih waktu 10 menit mengerjakannya
tapi
tidak
boleh
menyontek”
dinilai
memenuhi
skala
ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 57) Tuturan “Bu gak boleh nyontek tapi kerja sama bolehlah Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 58) Tuturan “Sama aja itu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 59) Tuturan “Bu permisi mau ke kamar mandi kecil” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 60) Tuturan “Jangan lama-lama, 5 menit” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung. 61) Tuturan “Ya Bu” dinilai memenuhi skala ketidaklangsungan. Makna tuturan ini tidak bersifat langsung.
13
j)
Skala Keotoritasan Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang memenuhi skala keotoritasan.
Adapun tuturan yang memenuhi skala keotoritasan yaitu: 1. Tuturan “Takut aku sama ibu itu, nanti ditamparnya pula aku” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Ibu” untuk kata ganti gurunya. 2. Tuturan “Pagi Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk membalas sapaan dari gurunya.. 3. Tuturan “Baik Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk membalas sapaan dari gurunya.. 4. Tuturan “Bahasa Indonesia Bu.” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 5. Tuturan “Ada Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 6. Tuturan “Iya Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 7. Tuturan “Halaman berapa Prnya Nak?” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Nak” untuk kata ganti siswanya. Kata “Nak” yang digunakan guru menunjukkan bahwa guru menghargai siswanya. 8. Tuturan “Halaman 37 Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 9. Tuturan “Saya Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 10. Tuturan “Lupa Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru.
14
11. Tuturan “Mati lampu Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 12. Tuturan
“Gaklah
Bu”
dinilai
memenuhi
skala
keotoritasan.
Sipenutur
menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 13. Tuturan “Janganlah Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 14. Tuturan “Jadi bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas Ibu kasih waktu 10 menit mengerjakannya tapi tidak boleh menyontek” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Ibu” untuk mengganti kata ganti dirinya. 15. Tuturan “Bu gak boleh nyontek tapi kerja sama bolehlah Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk mengganti kata ganti gurunya. 16. Tuturan “Bu permisi mau ke kamar mandi kecil” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk memanggil gurunya. 17. Tuturan “Ya Bu” dinilai memenuhi skala keotoritasan. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk mengganti kata ganti gurunya.
k) Skala Jarak Sosial Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang memenuhi skala jarak sosial. Adapun tuturan yang memenuhi skala jarak sosial yaitu: 1. Tuturan “Kau pegang apa rupanya?” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 2. Tuturan “Gak tau pula aku mau pegang apa” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 3. Tuturan “Kau katro kali, kamseupay” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun
15
percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 4. Tuturan “Akukan gak nengok makanya gak tahu.” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 5. Tuturan “Bodoh kau” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 6. Tuturan “Sok pintar kau woi” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 7. Tuturan “Selolah Bro” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Bro” adalah kata asing namun karena tuturan ini dituturkan kepada teman sekelas maka kata “Bro” yang diucapkan sebagai kata ganti temannya dinilai santun. 8. Tuturan “Cebok dulu kalian baru nonton bola” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Sipenutur menggunakan kata “Kalian” untuk kata ganti temannya yang merupakan mitra tuturnya. 9. Tuturan “Eh..Bia ada pulpen dua?” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Sipenutur menggunakan kata “Bia” yang merupakan nama teman Sipenutur sebagai kata ganti temannya yang merupakan mitra tuturnya. 10.
Tuturan “Pelit kalipun kau” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau”
yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 11.
Tuturan “Eh..Riza kek mana ujian kau?” dinilai memenuhi skala jarak sosial.
Kata “Rizan” dan “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 9) Tuturan “Biasa-biasa aja, klo kau?” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun
16
percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 10) Tuturan “Klo aku yang jelas bisa dong” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 11) Tuturan “Kalo aku itu emang pintar, gak kek kau bego” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 12) Tuturan “Biasa kau bodoh kalo ngisi soal ujian” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 13) Tuturan “Itukan dulu, kalo sekarang gue itu uda belajar” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “gue” yang digunakan adalah kata gaul yang sering diucapkan oleh anak muda. Percakapan ini antara siswa yang sekelas. Kata “gue” yang diucapkan jadi santun karena jarak sosial penutur dekat.“ 14) Tuturan “ Aduh.. Nian sesak kencing aku ini”. Kata “Nian” dan “Aku” yang digunakan untuk kata ganti temannya dinilai santun. Walaupun percakapan ini terjadi dengan teman sekelas namun tidak membuat sipenutur menggunakan kata yang tidak sopan untuk kata ganti temannya. 15) Tuturan “Takut aku sama ibu itu, nanti ditamparnya pula aku” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 16) Tuturan “Wei.. dia sesak kencing kek mana ini?” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Dia” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun. 17) Tuturan “Gila kau, jangan ketawa kau Nop” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun. 18) Tuturan “Kencing aja kau di ujung-ujung tangga itu” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun. 19) Tuturan “Kaukan ketua kelas” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun.
17
20) Tuturan “Mana berani aku” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 21) Tuturan “Kalo aku jumpa di luar kek mana?” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 22) Tuturan “Matilah kalian” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kalian” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun. 23) Tuturan “Kalian kek anjing, pelit kali kalian, permisikan napa wei.. kasian tahu” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kalian” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun. 24) Tuturan “Bukan aku” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Aku” yang digunakan untuk kata ganti diri sipenutur dinilai santun. 25) Tuturan “Kau ketua kelas kek tahi” dinilai memenuhi skala jarak sosial. Kata “Kau” yang digunakan untuk kata ganti mitra tutur sipenutur dinilai santun.
l)
Penggunaan Eufemisme Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang menggunakan kata eufemisme.
Penggunaan kata eufemisme dalam percakapan dinilai santun. Adapun tuturan eufemisme yang terdapat dalam percakapan yang diteliti dalam penelitian ini adalah “Bu permisi mau ke kamar mandi kecil”. Kata “ke kamar mandi kecil” merupakan kata eufemisme.
m) Penggunaan kata Honorifik Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang menggunakan kata honorifik. Penggunaan kata honorifik dalam percakapan dinilai santun. Kata honorifik dalam percakapan ini ditujukan oleh siswa kepada guru Adapun tuturan honorifik yang terdapat dalam percakapan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1. Tuturan “Pagi Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk membalas sapaan dari gurunya.. 2. Tuturan “Baik Bu merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk membalas sapaan dari gurunya..
18
3. Tuturan “Bahasa Indonesia Bu.” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 4. Tuturan “Ada Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 5. Tuturan “Iya Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 6. Tuturan “Halaman 37 Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 7. Tuturan “Saya Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 8. Tuturan “Lupa Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 9. Tuturan “Mati lampu Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 10. Tuturan “Gaklah Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 11. Tuturan “Janganlah Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” diakhir jawaban dari pertanyaan gurunya. Kata “Bu” yang digunakan memiliki makna menghormati guru. 12. Tuturan “Bu gak boleh nyontek tapi kerja sama bolehlah Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk mengganti kata ganti gurunya.
19
13. Tuturan “Bu permisi mau ke kamar mandi kecil” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk memanggil gurunya. 14. Tuturan “Ya Bu” merupakan tuturan yang mengandung kata eufemisme. Sipenutur menggunakan kata “Bu” untuk mengganti kata ganti gurunya.
E. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai Analisis Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 5 Binjai maka penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Realisasi kesantunan di SMP Negeri 5 Binjai dapat dilihat dari terpenuhinya maksim skala ketidaklangsungan dengan jumlah 52 tuturan dan skala jarak sosial dengan jumlah 42 tuturan. 2. Pelanggaran prinsip kesantunan di SMP Negeri 5 Binjai dapat dilihat dari tidak terpenuhinya maksim kebijaksanaan dengan jumlah 24 tuturan dan skala ketidaklangsungan dengan jumlah 24 tuturan. 3. Peringkat pelanggaran kesantunan bahasa yang dominan yang ditemukan adalah pelanggaran maksim kebijaksanaan dengan jumlah 24 tuturan dan skala ketidaklangsungan dengan jumlah 24 tuturan. DAFTAR PUSTAKA George, Yule. 1996. Pragmatics, New York: oxford university. Djudjun Djaenuddin Supriadi. 2008. Jurnal Pendidikan Penabur. Program Pendidikan Karakter di Lingkungan BPK Penabur Jakarta. Nomor 10. Elfindri, dkk. 2011. Pendidikan Karakter. Baduose Media: Jakarta. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Jogjakarta: Graha Ilmu. Pangaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
20
LAMPIRAN A.2 Transkip Percakapan 1. Hari : Senin, 18 Juni 2012 Lokasi : Kantin Sekolah Percakapan ini terjadi di kantin ketika jam istirahat. Percakapan ini dilakukan oleh 5 orang siswa di mana kelima siswa tersebut adalah teman satu kelas. hubungan kelima penutur adalah teman dekat. Siswa 1 : “Woi.. gak nonton bola kalian? Siswa 2 : “Gak lah” Siswa 1 : “Knapa?” Siswa 2 : “Gak sempat” Siswa 1 : “Ngapain?” Siswa 2 : “Ngantuk kali” Siswa 3 : “Gak bermutu.” Siswa 1 : “Knapa rupanya gak bermutu?” Siswa 3 : “Gak enak nonton bola” Siswa 1 : “Kan enak nonton bola” Siswa 2 : “Kau pegang apa rupanya?” Siswa 3 : “Gak tau pula aku mau pegang apa” Siswa 1 : “Kau katro kali, kamseupay” Siswa 4 : “Spanyol” Siswa 2 : “Spanyol itu gak keren yang keren itu Brasil.” Siswa 4 : “Brasil itu gak masuk” Siswa 2 : “Akukan gak nengok makanya gak tahu.” Siswa 4 : “Bodoh kau” Siswa 2 : “Sok pintar kau woi” Siswa 4 : “Selolah Bro” Siswa 3 : “Eh..kalian anak cencenpun sok ikut campur.” Siswa 4 : “Eh..biasa aja” Siswa 5 : “Cebok dulu kalian baru nonton bola” (Semua siswa tertawa) 2. Hari : Selasa, 19 Juni 2012 Lokasi : Di kelas pada saat proses belajar mengajar Percakapan ini terjadi di dalam kelas ketika guru menjelaskan di depan kelas. tuturan ini dilakukan oleh 2 orang siswa yang duduk satu meja. Siswa 1 : “Eh..Bia ada pulpen dua?” Siswa 2 : “Gak ada pula tuh” Siswa 1 : “Pelit kalipun kau” Siswa 2 : “Beli dong” 3.
Hari : Rabu, 20 Juni 2012 Lokasi : Kantin sekolah Percakapan ini terjadi di kantin ketika jam istirahat. Tuturan ini dilakukan oleh 2 orang siswa. Hubungan kedua penutur adalah teman satu kelas. Siswa 1 : “Eh..Riza kek mana ujian kau?” Siswa 2 : “Biasa-biasa aja, klo kau?”
21
Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1
: “Klo aku yang jelas bisa dong” : “Tumben pintar?” : “Kalo aku itu emang pintar, gak kek kau bego” : “Bodoh” : “Oh.. Lo yang bego” : “Biasa kau bodoh kalo ngisi soal ujian” : “Itukan dulu, kalo sekarang gue itu uda belajar” : “Oya?” : “Iya dong” : “Gitu rupanya?” : “Iya”
4. Hari : Kamis, 20 Juni 2012 Lokasi : Ruangan kelas Percakapan ini dilakukan oleh 5 orang siswa. Percakapan terjadi di dalam kelas ketika proses belajar mengajar berlangsung, namun guru sedang tidak berada di kelas. Siswa 1 : “Aduh.. Nian sesak kencing aku ini” Siswa 2 : “Kencinglah sana” Siswa 1 : “Kawanilah” Siswa 2 : “Takut aku sama ibu itu, nanti ditamparnya pula aku” Siswa 1 : “Aduh sakit we..” Siswa 2 : “Wei.. dia sesak kencing kek mana ini?” Siswa 3 : “Uda kencing aja di situ” Siswa 1 : “Gila kau, jangan ketawa kau Nop” Siswa 4 : “Beli pemperslah” Siswa 5 : “Kencing aja kau di ujung-ujung tangga itu” Siswa 2 : “Kaukan ketua kelas” Siswa 5 : “Mana berani aku” Siswa 1 : “Uda mau keluar ini” Siswa 6 : “Gurunya mana? Gurunya gak ada tapi” Siswa 1 : “Kalo aku jumpa di luar kek mana?” Siswa 5 : “Matilah kalian” Siswa 2 : “Kalian kek anjing, pelit kali kalian, permisikan napa wei.. kasian tahu” Siswa 5 : “Bukan aku” Siswa 1 : “Kau ketua kelas kek tahi” Siswa 5 : “Apa ini tahi-tahi” Siswa 6 : “Diam wei.., ibu datang” 5. Hari : Jumat, 21 Juni 2012 Lokasi : Ruangan kelas Percakapan terjadi di dalam kelas pada saat proses belajar mengajar. Tuturan dilakukan antara guru dan siswa. Guru : “Selamat pagi semuanya” Siswa : “Pagi Bu” Guru : “Gimana kabarnya?” Siswa : “Baik Bu” Guru : “Sekarang pelajaran apa?”
22
Siswa : “Bahasa Indonesia Bu” Guru : “Ada PR?” Siswa : “Ada Bu” Guru : “Keluarkanlah Prnya” Siswa : “Iya Bu” Guru : “Halaman berapa Prnya Nak?” Siswa : “Halaman 37” Siswa : “Halaman 40” Guru : “Halaman 37 atau 40 ?” Siswa : “Halaman 37 Bu” Guru : “Siapa yang tidak mengerjakan tugas?” Siswa : “Saya Bu” (Beberapa siswa mengangkat tangan) Guru : “Kenapa tidak mengerjakan tugas?” Siswa : “Lupa Bu” Siswa : “Mati lampu Bu” Guru : “Jadi kalau mati lampu tidak mengerjakan tugas?” Siswa : “Gaklah Bu” Guru : “Siapa yang tidak mengerjakan tugas nanti dikasi hukuman” Siswa : “Janganlah Bu” Guru : “Jadi bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas Ibu kasih waktu 10 menit mengerjakannya tapi tidak boleh menyontek” Siswa : “Bu gak boleh nyontek tapi kerja sama bolehlah Bu” Guru : “Sama aja itu” Siswa : “Bu permisi mau ke kamar mandi kecil” Guru : “Jangan lama-lama, 5 menit” Siswa : “Ya Bu”
23