Berawal pada bulan Juni 2010, di emperan ruko, di sebuah warung untuk nongkrong di pinggiran Jalan Sudirman, Denpasar, tepatnya Waroong Obey, sebelah Kampus LP3i, kami datang untuk menikmati konser musik yang diadakan dengan semangat kebersamaan dan spontanitas sekumpulan pecinta musik. Kami datang hanya berbekal keyakinan untuk mempererat tali perkawanan dan juga menambah teman baru sambil menikmati secangkir kopi panas sajian ala Waroong Obey. Kami berkumpul secara spontan saja, sembari bertukar informasi apapun seputar seni dan budaya: Fotografi, Video/Film, Teater, Musik, Desain, subCulture, hingga sejarah Kerajaan Majapahit. Semua begitu sederhana dan menyenangkan karena kami bisa sejenak melupakan aktivitas keseharian kami. Sebuah identitas bernama ‘Lingkar Community’, atau lebih singkatnya disebut ‘Lingkar’, dicetuskan ketika kami melihat potensi spontanitas dan kebersamaan dalam wacana seni-budaya yang sama. Nama ‘Lingkar’ bermakna wadah, ruang, dan sarana untuk menjembatani para pelaku seni di Bali. Sebuah wadah untuk tempat ngumpul, kongkow, ruang untuk eksplorasi seni, dan sarana bertukar informasi apapun, adalah bekal dan dasar Komunitas Lingkar untuk saling berkomunikasi. Dari manapun kami berasal, selalu saja ada ruang terbuka untuk bisa mengatasnamakan senibudaya dari Bali, baik yang bermuatan tradisional ataupun modern. ‘Lingkar’ yang mengambil filosofi dan makna lingkaran itu sendiri sudah ‘terlalu tua’ untuk dijabarkan kembali, namun kami pergunakan untuk menjadi sebuah ‘jembatan’ antar-individu ataupun antar-kelompok seni. Kami berharap suatu saat jembatan ini akan dilalui untuk dijadikan barometer arti eksistensi kebersamaan dan eksplorasi dalam seni dan budaya di Bali. Untuk menjadi barometer itulah Lingkar harus mempunyai sebuah ‘titik temu’ dari banyak kepentingan, untuk lebih bisa mendefinisikan seperti apa seni dan budaya Bali dieksplorasi secara modern, tanpa meninggalkan tradisi yang sudah turun-menurun sejak berabad yang lampau. Lingkaran-lingkaran energi seni dan budaya, baik berasal dari individu ataupun kelompok, yang diharapkan tidak pernah mati inilah yang kami pergunakan dalam proses mewujudkan ruang terbuka untuk pelaku seni dari Bali. Dari sini, setidaknya Lingkar Community/Komunitas Lingkar/Lingkar terus mengusahakan pergerakan eksistensi dan eksplorasi seni dan budaya dari Bali, sehingga karya-karya kami kelak mampu menjadi referensi yang bisa dipergunakan bersama.
HypomaniCam
HypomaniCam presents a series of artworks based on photography. Under the banner of Lingkar Community, seven young professional photographers (Indra Widi, Komang ‘Totok Bulu’ Parwata, Yan Palapa, DP Arsa, Aries Santhana, Patrick Lumbanraja, Al Ma) work to redefine the conventions of photography, and transcend the boundaries of the art of photography as well as the domain of the profession of photographer. They explore various ideas, techniques, and material to expand and enrich the aesthetic vocabulary of photography as a medium of expression in the field of contemporary art. The exhibition bring forward photographic works in various modes of presence and presentation, twodimensional as well as three-dimensional, including installation. HypomaniCam proclaims a new movement in Bali to establish the power of photography as a significant creative basis in the development of visual art today.
HypomaniCam menampilkan serangkaian karya seni rupa berbasis fotografi. Tujuh fotografer muda profesional anggota Lingkar Community (Indra Widi, Komang ‘Totok’ Parwata, Yan Palapa, DP Arsa, Aries Santhana, Patrick Lumbanraja, Al Ma) berkreasi dengan mendefinisikanulang konvensi fotografi, menerobos pakem seni fotografi, dan sekaligus melampaui ranah profesi fotografer. Mereka menjelajahi beragam gagasan, teknik maupun material guna memperluas dan memperkaya khazanah estetika fotografi sebagai medium ekspresi seni rupa kontemporer. Karyafotografi dihadirkan dalam berbagai kemungkinan format ‘burn the frame’, aneka bentuk penggarapan dan penyajian, dwimatra maupun trimatra, termasuk instalasi. HypomaniCam mengumandangkan bahwa di Bali telah dimulai sebuah gerakan ‘penegasan’ kemampuan fotografi sebagai dasar berkreasi yang penting dalam perkembangan seni rupa masa kini.
MELAMPAUI TRANSPARANSI Oleh Arif Bagus Prasetyo HypomaniCam berasal dari kata “hypomania” dan “camera”. Hypomania adalah suatu keadaan jiwa yang dicirikan oleh suasana euforia pikiran dan perasaan, gelora antusiasme yang melebihi kondisi normal, tetapi tidak sampai abnormal. Kerap dikaitkan dengan gejala kejiwaan individuindividu kreatif, hypomania menggambarkan situasi peningkatan ekstrem energi produktif dan kreativitas, tanpa kehilangan kendali kesadaran dan kewarasan. Luapan ide, energi yang seolah tak ada habisnya, hasrat menggebu dan dorongan kuat meraih puncak pencapaian, adalah sebagian dari simtom klasik hypomania. Kata “camera”, unsur kedua yang membentuk istilah HypomaniCam, mengacu pada fotografi. Dengan demikian, HypomaniCam bermakna “hypomania fotografi”: fotografi yang didorong untuk melampaui produktivitas normalnya demi menyalurkan arus deras energi kreatif. Pameran seni rupa HypomaniCam menampilkan kreasi tujuh fotografer-perupa anggota Lingkar Community, Bali. Mereka menjelajahi beragam gagasan, teknik maupun material, guna memperluas dan memperkaya khazanah estetika fotografi sebagai medium ekspresi seni rupa kontemporer. Citra fotografis, kata Roland Barthes dalam “Pesan Fotografis”, adalah analogon: cerminan, representasi sempurna realitas. Kita percaya kepada foto, karena fotografi dipandang mampu merepresentasikan dunia secara transparan, seperti apa adanya dalam kenyataan. Transparansi inilah yang umumnya diterima orang sebagai kekhasan dan kekuatan foto.
“
HypomaniCam bermakna “hypomania fotografi”: fotografi yang didorong untuk melampaui produktivitas normalnya demi menyalurkan arus deras energi kreatif .
”
“
Objek-objek fotografis membentuk sistem tata-surya visual mandiri yang digerakkan oleh irama internal mereka sendiri.
”
Dengan transparansinya, fotografi menyampaikan pesan secara langsung: denotasi, pesan harfiah. Tanpa perlu menafsir-nafsir, kita bisa langsung mengakui bahwa foto menunjuk kenyataan yang sebenarnya. Tetapi foto berkomunikasi dengan kita bukan hanya menggunakan denotasi, melainkan juga memakai konotasi atau pesan simbolik. Menurut Barthes dalam “Retorika Citra”, ciri khas foto adalah percampuran antara denotasi dan konotasi. Intervensi manusia dalam fotografi (tata letak, jarak pengambilan gambar, pencahayaan, fokus dsb.) adalah bagian dari proses konotasi. Indra Widi menitikberatkan proses konotasi pada penggunaan teknik Distorsi Digital untuk melengkungkan citra fotografis sejauh satu putaran penuh. Kepekaan artistik dan perhitungan logika formal sangat dibutuhkan agar pelengkungan citra fotografis menghasilkan harmoni komposisional baru: desain cakram-cakram unik yang memancarkan pesona ornamental-dekoratif dari efek-efek distorsi, sekaligus menghadirkan enigma visual yang membuka ruang-ruang imajiner yang tak terbayangkan sebelumnya. Dalam karya-karyanya, Indra seolah memotret realitas dengan matanya, lalu memejamkan mata dan memotret-ulang dengan pikirannya. Ia menata objek-objek dengan kamera, kemudian membetot mereka secara terukur untuk merepresi kealamian mereka, mengentas mereka dari ruang pengalaman di dunia nyata, dan mengisolasi mereka di ruang maya. Objek-objek fotografis membentuk sistem tata-surya visual mandiri yang digerakkan oleh irama internal mereka sendiri. Dengan teknik pengolahan digital, Indra meminimalkan denotasi dan memaksimalkan konotasi, menukar fungsi deskriptif-objektif foto dengan fungsi ekspresif-subjektif. Berbagai citra fotografis yang terpiuh menggulung persepsi kita ke dalam pusaran yang memabukkan, dan menorehkan semacam trauma pada pengalaman visual kita.
Menghadapi fotografi Indra, kita serasa berdiri gamang di tepi jurang yang terbentang di antara kenyataan dan ilusi. Yan Palapa menggali efek-efek estetis foto kabur atau pecahpecah yang dihasilkan oleh aktivitas kamera merekam gerak. Karyakaryanya mendramatisir citra detail-detail gerak yang terlalu halus atau terlampau cepat untuk ditangkap oleh penglihatan manusia. Dengan kemampuan mencacah sekuens-sekuens peristiwa hingga hitungan sepersekian detik, kamera Yan mengupas gerak hingga ke renik-reniknya yang tak terlihat mata telanjang, dan memproduksi citra gerak yang begitu fantastis, melampaui pengalaman visual sehari-hari. Lewat eksploitasi kemampuan kamera dalam menyingkap lapisanlapisan realitas yang tak terjangkau indera penglihatan, Yan menegaskan kapasitas fotografi sebagai representasi independen yang berpijak pada hukum-hukumnya sendiri dan tak bergantung pada pengalaman visual. Kamera Yan menganalisis fakta visual, tidak sekadar merekamnya. Karyakaryanya mengungkapkan bahwa fotografi bukanlah transkripsi dunia kasat-mata, melainkan penerjemahan data tak kasat-mata ke dalam bentuk visual. Fotografi adalah abstraksi realitas , bukan refleksi kenyataan. Melampaui transparansi fotografi, karya-karya Yan memproblematiskan definisi-definisi tentang “kebenaran” realitas, mempertanyakan objektivitas rekaman realitas yang tersimpan dalam memori pengalaman visual kita. Jika mata kamera dan mata manusia melihat realitas secara berbeda, lantas realitas manakah yang benar? Kenyataan yang disaksikan oleh mata telanjang, atau realitas yang ditangkap oleh mata kamera? Fotografi Yan menyiratkan kesenjangan antara penglihatan kita dan penglihatan kamera: bahwa ada celah menganga di antara realitas dan persepsi kita tentang realitas – sebuah jurang-pemisah yang memustahilkan akses kita terhadap “kebenaran” realitas.
“
Fotografi adalah abstraksi realitas, bukan refleksi kenyataan.
”
“
Pemahaman kita tentang realitas lebih ditentukan oleh “cara kita melihat fakta” ketimbang kehadiran fakta itu sendiri.
”
Patrick Lumbanraja menyejajarkan foto hitam-putih dan foto berwarna yang digarap dengan style berbeda. Pada foto hitam-putih, kita melihat wajah laut yang muram, seram, misterius dan purba. Tafsir yang lebih positif akan mengarah pada wacana spiritualisme, kekudusan atau keilahian. Ada aura mimpi yang membuat foto ini terasa asing, tidak cocok dengan memori visual kita tentang alam nyata, sehingga kita cenderung mengasosiasikannya dengan “alam gaib”. Sebaliknya pada foto berwarna, kita saksikan paras laut yang cerah, ramah, hangat dan ceria. Suasana kekinian, keakraban dan keduniawian sangat terasa. Foto-foto berwarna ini juga mengandung kualitas miripmimpi, tapi dari jenis lain: impian sekuler tentang gaya hidup modern yang berpusat pada kesenangan (pleasure) dan waktu senggang (leisure). Lewat penyandingan foto hitam-putih dan foto berwarna yang sama-sama mewacanakan laut, Patrick memperagakan bahwa proses konotasi (seleksi objek, pewarnaan, proporsi, komposisi dsb.) lebih kuat pengaruhnya daripada denotasi (fakta visual) dalam mengarahkan tafsir kita tentang foto. Pemahaman kita tentang realitas lebih ditentukan oleh “cara kita melihat fakta” ketimbang kehadiran fakta itu sendiri. Al Ma mempersoalkan transparansi fotografi dengan mereproduksi realitas semu yang tersedia di dunia kehidupan sehari-hari. Ia memotret pertunjukan teater (ilusi kehidupan), bayangan penari yang beraksi di panggung (ilusi dari ilusi kehidupan) yang disorot secara artistik (penampilan-rekaan). Dengan transparansinya, fotografi mencerminkan dunia. Tetapi karya-karya Al Ma memperlihatkan bahwa dunia yang dicerminkan itu ternyata semu: ilusi yang berpura-pura menjadi realitas, fiksi yang menyaru sebagai fakta. Kamera Al Ma tidak merekam apapun, kecuali bayang-bayang – baik bayang-bayang dalam arti harfiah maupun simbolis. Fotografinya mendemonstrasikan kemustahilan transparansi: bahwa fotografi tidak dapat menemui kenyataan secara langsung,
karena ia hanya menangkap bayangan-kenyataan. Foto tak pernah menampilkan kenyataan sebenarnya, karena apa yang disodorkan oleh foto sebagai “kenyataan” itu sendiri adalah suatu konstruksi, tak lebih daripada “panggung sandiwara” belaka. Fotografi tidak pernah sekadar mendeskripsikan, tetapi selalu mementaskan, realitas: ia menyorot dunia dengan cahaya ilusi. Dengan mereproduksi “bayang-bayang dunia”, fotografi Al Ma sekaligus mempertanyakan hakikat realitas. Apa artinya realitas? Di mana batas antara kenyataan dan ilusi? Di hadapan karya-karya Al Ma, kita percaya melihat citra realitas, yakin bahwa foto memang menunjuk kenyataan. Tetapi berbarengan dengan itu, foto justru memaklumkan diri sebagai dokumen ilusi, rekaman tentang tiruan kenyataan. Dalam foto-foto Al Ma, makna realitas menjadi problematis, karena citra realitas di sana hanya menunjuk duplikat. Menduplikasi duplikat, fotografi Al Ma menyibakkan secercah panorama Simulakrum: sebuah ruang penggandaan murni, di mana tidak ada apapun selain duplikat dari duplikat, bayangan dari bayang-bayang. Komang “Totok” Parwata, Aries Santhana dan DP Arsa menyangkal transparansi fotografi dengan strategi yang lebih agresif. Mereka bukan saja mengontrol bagaimana fotografi menampilkan-ulang realitas, tetapi juga bertindak sebagai “pengarang” realitas itu sendiri. Mereka menciptakan fiksi, realitas-rekaan, dan memotretnya. Karya foto mereka sepenuhnya fiksional, menyimpang dari dunia pengalaman sehari-hari. Komang ‘Totok’ Parwata menciptakan fiksi fotografis dari tubuh perempuan telanjang berlumur lumpur. Format foto hitam-putih, penekanan pada tekstur kulit berselubung lumpur, permainan kontras gelap-terang dan sudut pengambilan gambar yang cenderung menyoroti detail bagian-bagian tubuh, bersama-sama membangun tegangan dramatis dan sekaligus menyamarkan tubuh model. Tubuh model dengan
“
Fotografi tidak pernah sekadar mendeskripsikan, tetapi selalu mementaskan, realitas: ia menyorot dunia dengan cahaya ilusi.
”
“
Daya-tarik utama ...terletak pada paradoks penyingkapan/ penyembunyian, ketelanjangan/ keterselubungan, keterbukaan/ ketertutupan.
”
kulitnya yang retak-retak tampak seperti onggokan benda mati, patung yang usang dimakan cuaca, batang kayu lapuk, atau tubuh binatang bersisik yang hidup di habitat berlumpur. Memandang karya-karya Totok, kita serasa mengenali fragmenfragmen tubuh perempuan telanjang. Namun perasaan kenal ini gampang menguap, karena sebetulnya kita hanya melihat “kulit”, penggalan data visual yang tidak sesuai dengan ingatan atau imajinasi kita tentang tubuh perempuan telanjang. Kalau kita “melihat” tubuh perempuan telanjang dalam foto Totok, itu karena pikiran kita telah “menguliti” citra tubuh yang terpampang di sana. Faktanya, Totok tidak menyajikan foto perempuan telanjang, melainkan hanya menyuguhkan kesan tentang perempuan telanjang. Karya-karyanya menyingkapkan dan sekaligus menyembunyikan tubuh. Tubuh perempuan telanjang dalam foto-foto itu seakan bermain petak-umpet dengan kita. Daya-tarik utama karya Totok terletak pada paradoks penyingkapan/penyembunyian, ketelanjangan/keterselubungan, keterbukaan/ketertutupan. Bagaikan ilmuwan yang bekerja di laboratorium untuk menciptakan penemuan baru, Aries mengonstruksi “formula” yang menjadi materi pemotretannya: gelembung-gelembung yang terbentuk dari selisih kadar kekentalan cairan-cairan berbeda yang dicampur dalam gelas. Melalui invensi dan intervensi teknis, karya-karyanya mendemonstrasikan “sihir fotografi”: unjuk kekuatan fotografi dalam menghadirkan keajaiban visual, suatu dunia artifisial yang lebih memukau daripada dunia real. Seni fotografi Aries mempersoalkan batas-batas kemampuan indera penglihatan dan nalar kognitif dalam mempersepsi realitas. Berbagai citra fotografis seolah mengundang kita untuk melihat momen aktual, tapi sekaligus menyuruh kita untuk meragukan penglihatan kita sendiri. Kita seolah dilemparkan ke wilayah ambang antara kenyataan dan ilusi. Mata kita melihat citra gelembung dalam gelas, tapi imajinasi kita bisa melayang ke
telur, kelereng, bola mata, atau raut wajah aliens. Kilasan sinar lampu bisa terlihat seperti lingkaran cahaya halo di kepala santo. Kepadatan citra gugusan gelembung bisa membuat kita ragu apakah sedang berhadapan dengan foto zat cair, benda lunak seperti agar-agar, atau benda sepadat kristal. Seni fotografi Aries seolah-olah bercerita bahwa realitas alami telah tak ada, hilang ditelan imaji-imaji buatan manusia. Foto bukan lagi sekadar arsip peristiwa lampau, tetapi berubah menjadi semacam panggilan untuk menyingkapkan kenyataan-kenyataan baru yang menakjubkan. Arsa menciptakan fiksi fotografis yang menggelitik dan kritis tentang kondisi masyarakat kontemporer yang dikuasai oleh media informasi. Karya-karyanya menggambarkan suatu dunia tempat teknologi media (disimbolkan oleh rangka pesawat televisi) menyebar di mana-mana, dan manusia secara sadar atau tak sadar menjadi bagian darinya. Dalam foto-foto Arsa, TV hadir merasuki ranah publik, wilayah domestik maupun ruang-ruang pribadi; menceburkan manusia dalam jaringan kompleks relasi tatap-menatap, melihat dan dilihat. Sebuah gambaran tentang masyarakat di mana spectatorship (tatapan, pandangan, pengamatan, pengawasan, pengintaian, pemuasan hasrat visual) menjadi pusat kehidupan. Dalam visi fotografis Arsa, TV bukan lagi ditatap, tetapi justru menatap. TV menyusupi segala sendi kehidupan dan mengunci manusia sebagai targetnya. Dalam sejumlah foto Arsa, TV bagaikan mata yang menatap aktivitas manusia di ruang publik. Dalam beberapa foto lain yang berlatar ruang domestik atau privat, TV menatap kita melalui tatapan figur dalam foto. Sebagaimana yang dikatakan Jean Baudrillard dalam “The Precession of Simulacra”: Anda tidak lagi menonton TV, tapi TV menonton Anda. Dalam kehidupan nyata, ketika kita melihat iklan di TV, saat itulah iklan melihat kita dan memproyeksikan citra produknya pada kita. TV
“
Fotografi hanya membingkai dunia berdasarkan mekanisme dan hukum-hukumnya sendiri. Tak ada foto yang sepenuhnya transparan dan objektif mengungkapkan realitas.
”
“
Foto bukan lagi sekadar arsip peristiwa lampau, tetapi berubah menjadi semacam panggilan untuk menyingkapkan kenyataankenyataan baru yang menakjubkan.
”
mengamati kita lewat program interaktif, polling, sistem rating dll; memindai hasrat dan impian kita lewat iklan, sinetron, kuis, gosip selebritis dst. Pesawat televisi dalam foto-foto Arsa layarnya bolong, hanya berupa kerangka seperti jendela. Televisi Arsa adalah metafora tentang fotografi itu sendiri. Bagaikan televisi tanpa layar, fotografi menyediakan jendela untuk memandang realitas. Tetapi sebagai jendela, fotografi tidak bisa menunjukkan realitas secara utuh dan penuh, melainkan hanya sebatas yang tercakup dalam bingkainya. Fotografi hanya membingkai dunia berdasarkan mekanisme dan hukum-hukumnya sendiri. Tak ada foto yang sepenuhnya transparan dan objektif mengungkapkan realitas. HypomaniCam merongrong kepercayaan umum bahwa foto memperlihatkan “kenyataan sebenarnya”. Pameran ini menyarankan bahwa fotografi tidak menggelar kenyataan, tetapi hanya menunjukkan “cara melihat” kenyataan, bagaimana realitas ditafsirkan dan dimaknai. Dengan bergerak melampaui transparansi fotografi, karya seni rupa fotografi dalam pameran ini memercikkan kesadaran pascamodern bahwa “kebenaran” realitas tidak lebih nyata daripada fiksi, dan satu-satunya cara untuk sampai kepada realitas yang paling mendekati kebenaran adalah dengan mengoperasikan berbagai sudut-pandang, beragam tafsir dan aneka representasi. Arif Bagus Prasetyo, kurator, alumnus IWP University of Iowa, USA
It Is Well with My Soul - 2010 120 cm x 318 cm Printed on Canvas
Sunday on the Beach #1 - 2011 122 cm x 162 cm Printed on Aluminium
Patrick Lumbanraja
Sunday on the Beach #2 - 2011 122 cm x 162 cm Printed on Aluminium
Sunday on the Beach #3 - 2011 122 cm x 162 cm Printed on Aluminium
back to the ripple - 2011 120 cm x 180 cm Printed on layer of glasses with glow in the dark
RippleLution ripple iluminated motion Ketika bentuk dikaburkan oleh gerakan , yang berulang, yang tak berarturan, di bawah, atas, samping dan semua sudut yang mengepung kita. menutupi siapa kita sesungguhnya. Menebarkan ketidak pastian atau malah menuju sesuatu yang pasti dalam gelap dan terangnya. Namun meski tanpa kita sadari gerakan membentuk kita, siapa kita atau bahkan mungkin menunjukkan kita adalah hanya “Apa”.
Yan Palapa
Between the ripple - 2011 120 cm x 180 cm Printed on layer of glasses with glow in the dark
avoid the ripple - 2011 120 cm x 180 cm Printed on layer of glasses with glow in the dark
120 cm x 180 cm Printed on layer of glasses with glow in the dark
distortion from the ripple - 2011
under the ripple - 2011
red in the ripple - 2011
the ripple maker - 2011
Metal Transcendental Meditation - 2011 part of Cakram serial Collections. Printed Photo Paper based on Aluminium 2.20 x 2.20 meters
VERTIGO (Digital Distortion Artwork Series) Citra fungsi dekoratif dengan penggunaan efek distorsi digital yang menimbulkan efek lengkung ekstrim, menginspirasikan saya untuk memunculkan kesan abstrak namun surealis dalam apresiasi karya tersebut. Efek distorsi ekstrim seperti penggunaan lensa wide angle namun menciptakan sudut 180º ini, saya ingin memunculkan gerakan yang lentur untuk menggiring apresiasi bebas untuk menikmati karya tersebut dari sudut manapun melihatnya. Saya menginginkan agar karya tersebut mampu berdialog dan mengalir secara bebas saja. Tehnik digital distorsi ini juga mampu memutarbalikkan intepretasi imej foto tersebut, sehinga kita mempunyai ruang gerak yang lebih bebas ke dalam banyak bahasa dan pikiran untuk mengekspresikannya. Putaran-putaran dalam efek distorsi tersebut, saya maksudkan untuk menajamkan gelombang-gelombang ekspresi surealis secara bebas pula. Kebebasan yang dimunculkan oleh efek-efek tersebut juga memungkinkan adanya ruang apresiasi lain akibat munculnya permaknaan ganda. Sebuah ruang yang sangat pribadi dalam benak dan pikiran kita, sehingga kita mampu berbicara dengan diri sendiri, sebebas kita bergerak dalam ruang yang tidak terbatasi dengan dinding pemisah. Di dalam ruang tersebut kita bisa menjelahi tampilan-tampilan imajinya hingga waktu yg tak terbatas.
Indra Widi
Apple Talk #1 - 2011 part of Apple Talk Serial Collections. Printed Photo Paper based on Aluminium 2.20 x 2.20 meters
Tamengsportation - 2011 part of Dadali’s Egg Serial Collections. Printed Photo Paper based on Aluminium 2.20 x 2.20 meters
Collective 9 - 2011 part of others Vertigo Collections in 70 x 70 meters Print based on Aluminium
My Own tv 12 -2011 120 cm x 180 cm Sticker on Almuninium Solid Metal Plate
“mencoba untuk “bermain” dalam arti melepaskan energi gagasan dan ide, mencoba menisbikan nilai-nilai mapan dalam kesenian masa kini,membuka ruang dialog dalam interprestasi dalam rangka membangun kepekaan terhadap setiap gejala perubahan sosial dalam keseharian melalui media fotografi”
DP Arsa
My Unperfect tv - 2011 120 cm x 80 cm Sticker on Almuninium Solid Metal Plate
My Own tv 5 - 2011 120 cm x 180 cm Sticker on Almuninium Solid Metal Plate
Like tree in the rainy season
Vacant - 2011 120 cm x 180 cm Printed on acrylic
Remix in art Ketika melakukan ekxperimen pemotretan dengan benda cair dalam sebuah medium, saya menemukan sebuah cara pandang yang berbeda dari biasanya. Entah berawal dari bentuk dari sesuatu yang akhirnya membentuk sebuah pandangan yang saling menegaskan tentang adanya sebuah penampakan ekspresi wajah yang mampu mengekspresikan sesuatu pula. Menemukan abstraksi pada sesuatu yang baru dari bentuk keaslian eksperimen tersebut, namun mampu memberikan makna yang lebih luas pada sebuah konsep cara pandang. Memodifikasi percampuran antara benda cair dalam sebuah medium dengan permainan banyak sumber cahaya, dalam menciptakan warna-warna pop-art. Menciptakan sebuah permaknaan dalam cerita yang mewakili sesuatu ekspresi pada wajah adalah bentuk yang ingin saya tampilkan sebagai hasil eksperimen tersebut.
Aries Santana
Book worm - 2011 120 cm x 180 cm Printed on acrylic
Feeling blue - 2011 120 cm x 180 cm Printed on acrylic
Discollective # 1- 3 2011 90 cm x 90 cm Printed on acrylic
Twinborn - 2010 152 cm x 212 cm Printed on canvas with frame
Bicara tentang konseptual, aku tak perlu membuat sebuah pengakuan karena jelaslah alasanku menjadi seseorang tanpa idealisme. Krna semuanya hanyalah kenyamanan tanpa harus berada dalam sebuah pilihan. Perbedaan bukanlah sebuah dosa... manusia sebagai individu tak bisa lepas dr hub sosial. Introvert-ekstrovert tetap saja bisa jd theatrikal dalam Hidup. Human being menjadi human doing menyesuaikan Schenarionya yg di direct oleh hati nurai. segalannya kembali karana inilah hidup yg mestinya di jalanni bagai drama pangung setiap babak per babak.... Meyakini bahwa kesempurnaan adalah hal yg tak pernah ada. Ini lah tampilan bagian situasi hidup yang dilakonkan dari bagian theatrikal rekayasa... Yang bisa ku rekam dalam terjemahan Perlawanan dan perbedaan yg tak bisa dihindari... Apapun ini kembali kepada khalayak untuk memperspektipkan sebuah visual menjadi imaginer kedalam karakter atau personality.
Al Ma
Postend - 2010 152 cm x 152 cm Printed on canvas with frame
Twinburn - 2010 212 cm x 152 cm Printed on canvas with frame
Posttomultiply - 2010 152 cm x 152 cm Printed on canvas with frame
Posttopose - 2010 152 cm x 152 cm Printed on canvas with frame
Body Part #1 - 2011 125 cm x 145 cm Printed on gel medium acrylic, glitter, acrylic phosphor on canvas
Efek “ Pemanasan Global terhadap Bumi “ Beranjak dari keprihatinan terhadap kerusakan alam dimana pemanasan global yang dirasakan saat ini telah begitu berpengaruh terhadap Bumi dan juga isinya. Banjir, gempa, kekeringan serta bencana alam lainnya banyak terdengar dan kita saksikan, ini semua akibat dari manusia itu sendiri yang begitu mengeksploitasi alam dengan sangat rakusnya. Dengan karya – karya yang saya tampilkan saat ini saya mencoba untuk mengingatkan kembali terhadap kita semua sebagai manusia bahwasannya semua bencana yang ada saat ini peranan manusia masih sangat dominan selain memang dari factor alam itu sendiri. Saya mengambil bagian – bagian badan dari seorang wanita sebagai simbul alam dengan baluran tanah liat yang sengaja dibiarkan mongering sehingga efek retak timbul. Wanita dalam karya saya bukan sebagai objek yang tereksploitasi dengan gamblang dan bukan bermagsud untuk melecehkan keberadaan wanita namun saya melihat wanita merupakan simbul dari Bumi, wanita memiliki payudara sebagai simbul dari Gunung, lekuk tubuhnya indah seperti alam semesta serta banyak lagi.
Komang ‘Totok’ Parwata
Body Part #2 - 2011 125 cm x 187.5 cm Printed on gel medium acrylic, glitter, pearl white acrylic on canvas
Body Part #3 - 2011 125 cm x 187.5 cm Printed on gel medium acrylic, glitter, pearl white acrylic on canvas
Body Part #4 - 2011 125 cm x 187.5 cm Printed on gel medium acrylic, glitter, pearl white acrylic on canvas
Body Part #5 - 2011 125 cm x 187.5 cm Printed on gel medium acrylic, glitter, pearl white acrylic on canvas
collective 4 - 2011 80 cmx 80 cm, 80 cm x 120 cm Printed on gel medium acrylic, glitter, pearl white acrylic on canvas
Estetika Cahaya “What Do You See, is What Will You Get” - sebuah slogan ‘kuno’ kinerja sebuah kamera SLR (single lens reflect) menjadi dasar dari keseluruhan karya Lingkar Community dalam merekam momen, baik dilakukan secara digital ataupun manual. Mengabadikan sebuah peristiwa, atau membuat sebuah desain visual melalui cahaya yang tertangkap lewat rana lensa, dengan tanpa menambahkan atau mengurangi (merekayasa) element momen tersebut diluar konten proses ‘kamar gelap’, adalah prinsip dasar para perupa Komunitas Lingkar yang berbasis fotografi. Perhitungan tepat pada light meter, penggunaan lensa yang sesuai, pengamatan subjek, dan pengaturan komposisi-komposisi yang terkadang cukup ekstrim menjadi ‘ruang berburu’ untuk menjadikan karya-karya yang masif. ‘Capturing Moment’ kemudian menjadi slogan para perupa foto di Lingkar Community ini, ketika berkarya dalam fotografi dengan disertai pemantapan dan pengembangan dasar komposisi foto yang mengacu kepada seni rupa. Tidak boleh melewatkan momen menarik sedikitpun juga menjadi dasar kepada pemaksimalan hasil yang ingin diperoleh pada dukungan medium yang ratarata mempergunakan produk kamera digital. Setidaknya hal tersebutlah yang selalu ditekankan oleh Henri Cartier Bresson: “Oops! The Moment! Once you miss it, it is gone forever” dalam konsep/teori ‘Decisive Moment’nya yang terkenal itu.
Dengan belajar dari ‘karya fotografi masa lampau’ para fotografer senior yang telah dulu berkiprah dalam fotografi, para perupa foto di Lingkar Community membuat sebuah formasi dan formulasi baru yang mampu membuat banyak interpretasi-interpretasi baru dalam kajian dan muatan ide visual serta cerita di dalamnya. Disini, visual karya bisa tidak lagi berbicara: daun adalah bagian sebuah pohon, namun bisa menjadi: aku, dia, ataupun kamu, dalam sebuah subyek ide karyanya. Para perupa foto di Lingkar Community tidak memprioritaskan karya-karya fotonya menjadi sebuah karya foto Surrealis itu sendiri secara langsung. Namun lebih menjadi apresiasi kedua setelah karya tersebut dihasilkan terlebih dahulu atau ketika dalam proses pengambilan foto tersebut. Apresiasi kedua tersebut kemudian direspon sebagai efek imbas karya dengan cara saling memadukan satu karya dengan karya foto lainnya. Saling mengisi dan menyinambungkan cerita di dalam karya tersebutlah yang pada akhirnya menjadikan kombinasi ini, muncul sebuah kesan surrealis. Keselarasan komposisi berdasarkan kemiripan ataupun kesamaan subyek dalam karya-karya berbasis fotografi tersebut, menjadikan sebuah ruang apresiasi utama atas sebuah kolaborasi karya fotografi tersebut. Apresiasi kedua tersebut adalah awal para perupa foto di Lingkar Community menempatkan ruang dan posisi karya-karyanya untuk sebuah penegakan tonggak sebuah karya fotografi dalam kaidah-kaidah seni rupa. Sebuah konsep karya perpaduan yang unik ketika ‘capturing moment’ kemudian berkembang ke dalam wacana seni rupa. Sebuah kolaborasi yang memicu timbulnya komunikasi banyak arah.
Namun, semua itu tidak lebih adalah sebuah karya yang berisi momen yang menjadikan subyek di dalamnya menjadi hidup dan bercerita. Kepiawaian masing-masing perupa foto di Lingkar Community mampu melepaskan tragedi ‘kesalahkaprahan’ sebuah usaha rekayasa ‘setting’ untuk merekam moment ketika berkarya. Hanya melihat, mengamati dan mencermati, memprediksi momen yang akan terjadi, dan membuat sebuah komposisi-komposisi yang melalui medium perekaman fotografi, serta membuat konsep secara visual grafis di dalamnya. Batasan nilai kebakuan dalam seni fotografi yang kini menjadi sebuah labirin dalam era yang semua serba digital, masih menjadi sebuah perdebatan argumentasi ketika terjadi visi yang saling bersinggungan. Nilai sebuah karya fotografi yang dulu harus terbentuk dalam sebuah bingkai panjang dan lebar, tidak lagi menjadi sebuah keharusan seorang perupa foto di Lingkar Community dalam berkaryanya. Kemapanan teori lama yang kemudian dianggap menjadi sebuah ‘ hal yang benar’ dalam teori ‘phos’ (light) dan ‘graphe’ (drawing) itu, menjadi sebuah representasi terbuka bagi karya seni foto, untuk lebih memberikan ruang yang mempunyai volume, dan memberikan intepretasi ke dua selain dari hal-hal yang sekedar tampak saja. Dalam membangun sebuah citra baru dalam fotografi seni, perupa foto di Lingkar Community tidak lagi melihat ke dalam bentuk panjang dan lebarnya sebuah karya tersebut. Melakukan interaksi semiotik (tanda) yang terkait dengan ruang dan volume imajiner terhadap sebuah keadaan yang tersaji di dalam karya ini, sangat jelas menggambarkan bentuk penolakan terhadap sebuah pola lama. Melakukan kontak fisiologis ke banyak arah, untuk keluar dari pakem-pakem, bahwa fotografi tidak hanya untuk merekam momen saja, namun mampu melakukan interaksi estetika yang tidak mudah dimengerti dan menimbulkan
intepretasi-intepretasi tak terbatas dengan memberikan tandatanda yang juga tidak selalu konvensional. Tujuan utama keseluruhan dari konsep karya perupa foto di Lingkar Community adalah memberikan ruang gerak bebas dari berbagi sisi dan cara memandang dalam bentuk intepretasi yang bebas transparans dan citra imej foto yang posistif (nyata). Sebuah penyampaian citra fotografi seni rupa yang dikemas dalam satu dimensi di era digital dan juga keluwesan atas bakunya sebuah norma estetika fotografi yang semakin kabur. Memaksimalkan dari berbagai sumber pustaka dan internet untuk memperkaya eksplorasi ide dalam berkarya mengenai Simbol ? Permaknaan dalam karya: Studi sistematis suatu tanda2 dikenal sebagai SEMIOLOGI. Arti harafiahnya adalah ‘kata-kata mengenai tanda-tanda’. KATA2 DAN MAKNA: 1. Infedensial: Makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam Uraian Odgen dan Ricard (1946) Proses pemberian Makna (Reference Process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang (kata) dengan yang ditunjukkan lambang itu sendiri (disebut: Rujukan/ Referent). 2. Significance (arti): suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep2 yang lain (membentuk sesuatu yang baru)
3. Intensional: Makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang tsb. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, dan hanya dimiliki dirinya saja. Dua makna intensional boleh jadi serupa, tetapi tetap tidak akan sama. TANDA LINGUISTIK : Harus bisa membaca jeli detil dari Bahasa yang ada yang telah disepakati secara umum Tanda Visual (gambar): Harus bisa melihat kemiripan antara tanda dan Objek. Simbol: Harus Tahu kesepakatan dibalik tanda tersebut. Dari tanda yang orisinil, berkembang suatu tanda baru yang disebut: Interpretant. Hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional, tanda itu disebut simbol. Kata2 dan unsur2 kebahasaan pada umumnya, pada prinsipnya semua merupakan simbol. Peran kita dalam hubungannya dengan tanda2, khususnya tanda2 visual - adalah pada umumnya lebih dari apa yang ditangkap mata. Arti tersembunyi dari suatu tanda menurut pandangan kita bukanlah bersifat umum ataupun sudah jelas termaksud, Arti ini dipendam dalam tanda tersebut dan dalam ketidaksadaran pembuat tanda sendiri ataupun yang meyakinkan tanda tersebut. “Foto merupakan bentuk kesan yang penting yang diterapkan sebagai suatu tanda yang telah dibuat kembali atau diproduksi kembali.” FUNGSI PESAN NON-VERBAL 1. REPETISI : mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal.
2. SUBTITUSI : menggantikan lambang2 verbal. 3. KONTRADIKSI : menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. 4. KOMPLEMEN : melengkapi dan memperkaya makna pesan non-verbal. 5. AKSENTUANSI : menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya / menegaskan secara kuat.Ada satu tujuan komunikasi yang harus diingat yakni : tanda harus ‘bermakna’ sesuatu (respon emosi). Urutan bagan: 01 Bahasa Penanda (signifier) Petanda (Signified) Tanda (sign)
02 Mitos Bentuk (Form) Konsep Penandaan (signification)
Pada kenyataannya bahwa: Petanda dan Penanda membentuk Tanda.Penanda dan Petanda membentuk sebuah Tanda dari kebahasaan. Dan Tanda inilah yang menjadi sebuah Petanda yang berbeda dan Tanda dalam bahasa asli. Jikalau kita melihat dari segi Mitos, (penanda yang merupakan tanda bahasa asli), disebut bentuk, sedangkan petanda adalah konsep, dan tanda yang dihasilkan, berasal dari proses perasaan.
Kata2 digunakan untuk memperjelas gambaran yang ada dalam angan2 seseorang. Impian, bentuk2 khayal, (kreatif): meski rumit, simbol2 yang ada dalam sebuah mimpi tidak mempunyai arti yang tidak tepat sama sekali dengan simbol dalam mimpi yang berlainan. Mimpi, bisa juga menjadi TANDA2 IMAJINER: tanda yang yang tidak berada dalam dunia nyata namun dapat kita bayangkan. Tanda2 imajiner yang merupakan segala bentuk tanda yang dapat dilihat tetapi hanya dalam konsep pemikiran. KODE ESTETIKA: Disisi yang lain, berkaitan dengan seni dan membicarakan bagaimana meninterpretasikan dan mengevaluasi seni, kita memeriksa tanda2 dalam karya yang disajikan dan mencari kode2 yang disembunyikan dibaliknya tetapi memberikan kekuatan dan arti.Semakin Elit Seni itu, semakin sedikit memlilik tanda2 konvensional yang semakin membuat orang sukar mengerti dan menginterpretasikan karya itu, namun bukan untuk tidak bisa diterjemahkan kedalam sebuah kesepakatan akan tanda-tanda visual tersebut. Munculnya nilai Apresiasi kedua dalam karya-karya perupa Lingkar Community, adalah sebuah kolaborasi antara sebuah proses ‘pendokumentasian peristiwa’ dan ‘ekspresi pribadi’ perupa foto. Sejak era sejarah fotografi Indonesia yang ditandai oleh adanya karya-karya Kassian Cephas (1871) atau oleh fotografer dunia Ansel Adams (1927), adalah dua figur terkenal yang sangat berbeda karakter dalam tampilan karakternya. Keabsahan sebuah foto pemandangan yang memang ingin ditampilkan sebagai
sebuah informasi betapa cantik pemandangan disana, tentu sangat berbeda dengan keinginan seorang perupa foto yang menyajikan romantisme di dalam karya yang sama. Romantisme dalam karya-karya perupa foto sangat dipengaruhi oleh ekspresi pribadinya. Hal tersebut muncul setelah sebuah kreatif rasionalisme karya tersebut sudah dilampaui. Demikianlah para perupa foto Lingkar Community melakukan proses-proses kreatif dan eksplorasi karya-karyanya. Menegaskan kepada bentuk-bentuk ekpresi diri dalam karya, menempatkan karya-karya yang berbasis fotografi dalam ide-ide romantisme seni, dan menyelaminya dalam apresiasi seni rupa. Lingkar Community 2011.
LingkarCommunity