“Diam yang Menggeliat” dalam Karya Fotografi Ekspresi Tanto Harthoko Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jln. Parangtritis Km 6,5 Bantul, Yogyakarta 55001 Tlp. 081903707570, E-mail:
[email protected] Volume 12 Nomor 1, April 2012: 36-44
ABSTRAK ”Diam yang Menggeliat” menunjukkan adanya suatu pertentangan yang sedang terjadi. Diam yang menggeliat perlu dimaknai secara lebih mendalam atau dikembangkan dalam arti kiasan. Sesuai dengan imajinasi, persepsi, dan pengalaman batin penulis, karya ini dimaknai sebagai bentuk proses sebuah perjalanan kehidupan manusia yang divisualkan secara simbolis dengan subjek tumbuh-tumbuhan atau tanaman. Proses hidup tanaman sama dengan perjalanan hidup manusia, dari awal tumbuh hingga dewasa, sampai menuju masa akhirnya, yaitu menguning, layu, kemudian mengering atau mati. Perwujudan karya ini menggunakan teknik pemotrean close-up agar dapat menangkap detail yang membentuk gambaran fisik sesuatu yang menggeliat. Sebagai ujungnya, dalam pengekspresiaan penciptaan karya ini berorientasi pada nilai-nilai pencerahan dalam memaknai arti kehidupan yang selaras dengan alam. Kata Kunci: diam, menggeliat, fotografi close-up, tanaman
ABSTRACT “Squirming Silence” In the Art Work of Photographic Expression. Silence is mute, still, or not moving, while squirm means starting a movement no matter how slow it is. “Squirming Silence” indicates the existence of an ongoing dispute. If simply defined as it is, it would become impossible or would be a questionable truth. A possible solution for the phrase of squirming silence is that it needs to be interpreted deeper or developed in the sense of metaphor. In accordance with my imagination, perception, and inner experience, “Squirming Silence” could be interpreted as a form of process of a human life journey which is symbolically visualized with the subject of greenery or plants. The reason is that the process of a plant’s life is almost similar with the journey of human life, growing at the beginning until reaches adulthood, towards the end of life, turning yellow, wilting, and finally drying out or passing away. Using the technique of closeup photography, to capture the details may shape the physical description of something squirming. At the end, in expressing this art work, an orientation on the enlightment values is highly needed to define the meaning of life which is in harmony with the nature. Keywords: still, squirming, close-up photography, and plant
36
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 1, April 2012
Pendahuluan Rangkaian kata ”diam yang menggeliat” sebagai subject matter dalam penciptaan karya ini muncul secara tiba-tiba, entah bagaimana asalmuasalnya. Entah mungkin pernah mendengar sebelumnya atau memang merupakan berkah berkontemplasi, ataupun intuisi hati nurani, sehingga rangkaian kata itu kemudian mengerucut sebagai wacana dalam diri. Rasa penasaran yang cukup besar dalam memahami arti frase “diam yang menggeliat” kemudian mendorong dilakukannya berbagai upaya pencarian. Pencarian paling murah dan efisien yang cukup menjadi andalan yaitu melalui search engine www.google.com, atau dalam “komunitas maya” biasa disebut “Mbah Gugel”. Hasil searching dengan kata kunci ”diam yang menggeliat” kemudian menuntun pada sebuah tulisan cerpen berjudul “Monolog Sudut Hening”, yang ditulis dalam salah satu paragrafnya dengan gaya puisi oleh seseorang yang mengatasnamakan Gendhotwukir (http://gendhotwukir.multiply. com). Pencarian yang terbatas melalui internet ini akhirnya menjadi suatu kesimpulan bahwa rangkaian kata “diam yang menggeliat” sudah ada yang mempublikasikan lebih dahulu jauh sebelum ide dan tema pokok ini menjadi wacana yang akan dikaji lebih lanjut. Rangkaian kata “diam yang menggeliat”, begitu menarik dan memiliki arti yang mendalam penuh misteri. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, “diam” merupakan sesuatu yang tidak bersuara (berbicara), tidak bergerak (tetap ditempat), tidak berbuat (berusaha) apa-apa. “Menggeliat” merupakan kata kerja berasal dari kata geliat, geliatgeliut, geliang-geliut yang artinya gerakan meliukliuk dan melilit. Menggeliat juga berarti gerakan meregang-regang serta menarik-narik tangan dan badan seperti setelah bangun dari tidur, yang dapat diartikan sebagai suatu gerakan yang sedang dimulai kemudian terus bergerak meskipun pelan. “Diam yang menggeliat” menunjukkan suatu pertentangan kondisi yang sedang terjadi. Di salah satu sisi disebutkan dalam kondisi diam, sementara keadaannya yang lain dikatakan sedang bergerak. Bila diartikan secara sederhana
apa adanya, kenyataan yang demikian menjadi tidak mungkin terjadi atau akan dipertanyakan kebenarannya. Oleh karena itu, pemecahan kalimat “diam yang menggeliat” perlu dimaknai dengan cara lain atau dikembangkan sebagai bahasa kiasan atau ungkapan. “Diam yang menggeliat” memberikan inspirasi untuk dapat diwujudkan dalam bentuk karya fotografi ekspresi yang menggambarkan suatu gejolak emosi dalam keadaan yang bertentangan. Melalui penciptaan karya ini mengeksperikan bagaimana perwujudan “Diam” merupakan sesuatu yang tidak bergerak, tidak bergeser atau tidak berpindah tempat dan “menggeliat” merupakan yang berarti memulai suatu gerakan dan kemudian bergerak meskipun pelan, sehingga terjadi suatu keadaan kontradiktif yang menarik perhatian. Pergulatan makna terjadi di sini sehingga membentuk berbagai macam spekulasi dalam upaya memahaminya, apalagi teks maupun konteksnya masih demikian luas untuk dapat segera disimpulkan. Dalam proses penciptaan suatu karya fotografi, selain kejelian dan wawasan (pengalaman), juga dibutuhkan suatu kemampuan kreatif untuk melihat suatu fenomena untuk dijadikan sebagai objek suatu karya. Ekspresi dari “Diam yang menggeliat” mengarah pada upaya eksplorasi bentuk-bentuk yang meliuk-liuk dan bergelombang serta bentuk-bentuk yang secara imajinatif bergerak atau menggeliat. Berdasarkan hasil observasi awal terutama mengenai penampilan atau bentukbentuk yang secara eksplisit berkaitan, muncul ide untuk mengeksplorasi tumbuh-tumbuhan atau tanaman. Selanjutnya melalui proses penciptaan ini akan ditemukan jawaban dari pertanyaan bagaimana menciptakan karya fotografi yang diawali dengan ide atau gagasan berupa sebuah teks, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa ungkapan dan selanjutnya divisualisasikan secara simbolik dengan subjek tanaman. Tujuan utama penciptaan ini diharapkan dapat menambah keragaman wujud karya fotografi ekspresi yang mampu menghadirkan imaji yang mencerminkan ide, gagasan, dan wawasan baru,
37
Tanto Harthoko, “Diam yang Menggeliat” Karya Fotografi
terutama dalam memaknai kata “diam yang menggeliat”. Selain itu secara subjektif/personal memberikan kepuasan tersendiri atas kemampuan dalam memahami dan menyimpulkan suatu metode penciptaan sehingga membentuk wujud karya seni yang indah, estetik, dan kreatif, hasil imajinasi gagasan, konsep, dan pengalaman diri sendiri. Judul ”Diam yang Menggeliat” merupakan fungsi penambat (anchorage) dalam perjalanan proses penciptaan ini. Selanjutnya gabungan penanda dan petanda tersebut akan dijadikan penanda pada tataran konotatif/mitos (tingkat kedua). Fungsi penambat ini dirancang untuk mengkonotasikan citra, mengikatnya pada petanda-petanda pada tataran kedua (second order signifieds) serta membebaninya dengan suatu kultur, moral, maupun imajinasi. Jadi, kehadiran teks bukanlah untuk ”menduplikasi” citra, melainkan untuk sekadar mengeksplisitkan atau menegaskan seperangkat konotasi yang telah ada di dalam citra (Barthes, 1981:25-27; Budiman, 2004:73). Sebagaimana dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama dan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Judul ”Diam yang Menggeliat” pada tataran denotasi (tingkat pertama) dapat diidentifikasi bahwa pada kata “diam” merupakan sesuatu yang tidak bergerak, tidak bergeser tempat, atau tidak bersuara. Sementara “menggeliat” berarti sesuatu gerakan atau sedang bergerak meliuk-liuk dan melilit. Pada tataran kedua, (konotasi) identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos. Dengan demikian, pemahaman kesatuan makna fungsi penambat akan membantu dalam proses perwujudan karya. Menurut Barthes, dalam semiotik setiap tipe tuturan (speech), entah berupa sesuatu yang tertulis atau sekadar representasi, verbal atau visual, secara potensial dapat menjadi mitos (Barthes, 1981:109, 110, 111; Budiman, 2004:67). Pada tataran kedua, pesan-pesan ikonik berkode yang dapat dimaknai dengan menggunakan stok kultural yang ada atau kesan yang dapat dilihat ketika membaca tulisan “diam yang menggeliat” langsung mengingatkan 38
pada suatu upaya pemberontakan, perjuangan, kegelisahan, kehidupan, atau kebangkitan. Secara keseluruhan representamen “diam yang menggeliat” membentuk metafora akan suatu perubahan atau pertanda adanya denyut kehidupan yang lebih dinamis sehingga secara tegas dapat diposisikan sebagai metafora untuk sesuatu hal yang bersifat positif atau kejadian alamiah. Analisis ini dilakukan selain menggunakan pendekatan teori mitos Roland Barthes juga melalui teori ideasional Alston yang merupakan salah satu jenis teori makna yang menawarkan alternatif lain untuk memecahkan masalah makna ungkapan. Menurut Alston dalam Sobur (2006:260), teori ideasional ini adalah: ”Suatu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna ungkapan dengan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dalam hal ini, teori ideasional menghubungkan makna atau ungkapan dengan suatu ide atau representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan tersebut kepada kesadaran. Atau dengan kata lain, teori ideasional ini mengidentifikasi makna E (Expression). Jadi, pada dasarnya teori ideasional meletakkan gagasan (ide) sebagai titik sentral yang menentukan makna suatu ungkapan”. Demikian rangkaiannya, sehingga dapat dikatakan bahwa karya seni bukanlah sekadar perwujudan yang berasal dari ide semata, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam hal yang bisa diwujudkan oleh seniman dalam bentuk yang konkret (Kartika, 2007:11). “Lebih jauh lagi bagi pencapaian objektifnya, diperlukan berbagai eksperimentasi dan eksplorasi baik terhadap objek fotografi maupun proses penghadirannya setelah menjadi subjek/subject matter dalam karya fotografinya” (Soedjono, 2006:7). Melalui proses demikian, suatu penciptaan karya oleh setiap seniman tentu saja akan menggunakan konsep dan teknik dengan gaya yang berbeda-beda, sesuai dengan bekal pengalaman estetik yang dimiliki oleh para seniman tersebut. “Di tangan fotografer kreatif, fotografi telah menjadi ‘object d’art’ yang mampu mengekspresikan luapan emosi dan daya kreatif si pemotretnya” (Soedjono, 2006:50).
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 1, April 2012
Fotografi Ekspresi Kehadiran fotografi merupakan revolusi yang mengubah cara pandang manusia dalam menerjemahkan sesuatu melalui bahasa visual. Fotografi tidak hanya sekadar menciptakan imaji yang begitu akurat, rinci, dan objektif dalam merekam realitas yang ada, namun juga mampu memberikan dampak yang semakin luas. Pada tahap perkembangannya fotografi bukan hanya sebagai media yang memiliki nilai dokumentatif semata, tetapi juga sebagai media ekspresi dan media untuk mengungkapkan emosi serta perasaan yang terpendam. Fotografi menjadi media representasi yang sangat personal bagi si penciptanya. Sebuah karya fotografi yang dirancang dengan konsep tertentu dengan memilih objek foto yang terpilih dan yang diproses dan dihadirkan bagi kepentingan si pemotretnya sebagai bahan luapan ekspresi artistik dirinya, maka karya tersebut bisa menjadi sebuah karya fotografi ekspresi (Soedjono, 2006:27). Untuk mengekspresikan rasa melalui karya foto sesuai yang diinginkan, dikembangkan konsep penciptaan dengan mengaitkan pengalaman estetik melalui objek tumbuh-tumbuhan yang menonjolkan komposisi bentuk, tekstur, dan warna. Dari berbagai referensi dalam membuat foto ekspresi, pembuatan dengan cara memandang melalui sisi close-up suatu benda atau objek, tak kalah menarik hasil yang didapat dibanding dengan memandang objek secara keseluruhan, sekalipun objek pemotretan berada di tempat yang biasa dan umum dijumpai. Tanaman Tumbuhan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan hewan. Tanpa adanya tumbuhan, manusia dan hewan tidak mungkin dapat bertahan hidup. Tanaman merupakan tumbuhan yang secara umum sengaja dihadirkan di sekeliling kita karena memiliki manfaat yang luar biasa besarnya. Jenisnya yang beraneka macam, bila diamati dengan saksama, maka bentuknya yang menggeliat, bergelombang, ataupun yang meliukliuk sangat menarik perhatian. “Konon dewi cinta
dari Yunani, Aphrodite, pernah berujar bahwa tidak ada yang lebih indah di dunia ini dibandingkan sekuntum bunga, dan tidak ada yang lebih esensial dibandingkan tanaman” (Tompkinn dan Bird, 1973). Metode penciptaan merupakan proses kreatif yang dilatarbelakangi atau didasarkan pada ide dan konsep. Hasil dari proses penciptaan ini sebagai bentuk ungkapan ekspresi atas jalinan gagasan yang bersumber dari pengalaman hidup dan daya imajinatif. Tahap Ide dan Konsep Sebagai benang merah dalam proses penciptaan ini, judul “diam yang menggeliat” merupakan kiasan atau metafora akan sesuatu hal yang menandakan adanya kehidupan. Apabila dikaitkan dengan diamnya sebuah gunung berapi yang seakan-akan diam tidak aktif, namun di dalamnya tersembunyi suatu geliat pergerakan magma yang siap dimuntahkan, “diam yang menggeliat” dapat dimaknai sebagai suatu gejolak, kemarahan, atau ancaman. Memilih diam yang menggeliat di sini untuk menyimbolkan sesuatu yang lain, bukan merujuk ke sesuatu yang berkesan negatif ataupun mengancam, melainkan sebaliknya, yaitu suatu awal kebangkitan atau semangat baru atau pun apa yang disebut sebagai daya hidup. Sebagaimana yang dimaksud oleh Schauberer dalam Marianto (2010:14-15): ... sebagai daya hidup, atau: 1) daya yang mempercepat dan mengangkat; 2) daya yang menyebabkan kehidupan dapat berlangsung; 3) daya yang menyebabkan kemeninggian, atau pertumbuhan makhluk hidup. “Diam yang menggeliat” apabila dimaknai sebagai daya hidup dapat dikaitkan dengan tumbuhnya tanaman mulai dari pupus daun muda sampai daun yang mulai menguning menjelang tua dan kemudian gugur. Dengan kata lain, dapat dimaknai sebagai bentuk proses perjalanan sesuatu tahap kehidupan, yaitu dari tumbuh hingga menuju masa akhirnya. Untuk menemukan jawaban yang berkaitan dengan judul “diam yang menggeliat” baik dalam arti denotatif maupun konotatif, salah satu langkah yang perlu dalam penciptaan
39
Tanto Harthoko, “Diam yang Menggeliat” Karya Fotografi
fotografi adalah eksplorasi. Barthes (1977:21-25) mengatakan bahwa ada enam prosedur yang dapat digunakan untuk membentuk makna konotasi pada foto, yaitu (1) trick effect, misalnya dengan memanfaatkan teknik olah imaji secara digital; (2) pose, bisa dengan cara mengatur pose dan arah pandang subjek yang dipotret; (3) objects, misalnya melalui penataan dan pemilihan sudut pandang pemotretan; (4) photogenia, yaitu dengan mengatur exposure, lighting, dan sebagainya; (5) aesthetism, dengan menerapkan teknik posterisasi; (6) syntax, yaitu dengan menampilkan beberapa foto sekaligus dalam bentuk sekuens sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak dapat ditemukan dalam bagian yang terpisah. Observasi Objek Sebelum dilakukan observasi objek secara langsung di lapangan, perlu dilakukan pengumpulan data-data pustaka dan pencarian referensi foto-foto yang relevan untuk dijadikan bahan pembanding. Pendalaman pengamatan kemudian dilakukan terhadap objek-objek yang akan difoto dengan pengamatan secara mendetail terhadap objekobjek potensial. Observasi dilakukan sebelum pemotretan, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung di tempat-tempat penjual tanaman dan juga di sekeliling tempat tinggal. Observasi sebagai bagian dari tahapan dalam proses penciptaan ini dilakukan secara cermat dengan melibatkan indera pengamatan sendiri agar mendapatkan gambaran yang luas dan meyakinkan tentang karakter objek baik tekstur, warna, maupun bentuknya. Penyediaan Alat Sesuai dengan hasil observasi di lapangan, dalam proses penciptaan ini sangat tidak menguntungkan apabila menggunakan lensa tele, lensa normal, ataupun lensa zoom. Rentang jarak yang menjadi jauh dengan objek akibat penggunaan alat yang tidak tepat akan menghambat dalam melakukan pembingkaian dan pemilihan detail yang ideal. Karya fotografi yang diciptakan ini adalah dengan mengeksplorasi objek secara close-up sehingga dengan pertimbangan yang matang cukup hanya mengandalkan lensa makro yang terpasang 40
secara standar/normal pada kamera DSLR. Eksperimen Pemotretan Tahapan eksperimen penciptaan karya ini meliputi berbagai aspek terutama aspek produksi atau pemotretan dan aspek pascaproduksi, yakni proses editing. Tahap eksperimen pemotretan lebih bersifat implementatif penggunaan teknik close-up guna mendapatkan hasil pemotretan yang maksimal. Penggunaan tripod hampir selalu dilakukan untuk mempertahankan fokus pada objek yang dituju, mengingat ruang tajam yang sangat sempit atau terbatas karena jarak antara kamera/lensa dengan objek yang sangat dekat. Pengecualian tidak menggunakan tripod apabila letak objek dengan pengambilan sudut gambar (angle) yang sangat sulit karena mengejar bentuk yang diinginkan. Eksperimen Editing Eksperimen setelah pemotretan dilakukan dengan berberapa alternatif perangkat proses kamar terang (digital imaging atau lighroom), yaitu dengan software Adobe Lightroom dan Adobe Photoshop. Aplikasi software Adobe Lightroom di sini untuk memaksimalkan kualitas exposure, brightness, contrast, clarity, dan saturation. Kemudian cropping dan pembesaran sesuai ukuran yang akan dicetak menggunakan program Adobe Photoshop. Pembahasan Karya ini baik secara teknis maupun subjek tentu saja sudah banyak yang membuatnya. Beberapa contoh berikut ini ditampilkan karya foto yang dipandang memiliki kedekatan emosi dan karakter dengan karya yang akan dibuat. Pada gambar 1 berikut ini, adalah karya Itti Karuson (judul dan tahun tidak disebutkan) salah seorang fotografer profesional yang tinggal di Thailand. Itti Karuson serius menggabungkan semua pengalamannya dalam menangkap momen dengan gaya yang sangat unik dan alami, baik dalam bidang fotografi pernikahan, pengambilan gambar candid, potret, fashion, jurnalistik, lanskap, maupun still life. Dalam karyanya tampak bunga yang “tertunduk” layu karena mungkin kekurangan
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 1, April 2012
'ĂŵďĂƌλ͘ƐƐĞŶƟĂů^Ŭŝůů͕^ƚƵĚŝŽWŚŽƚŽŐƌĂƉŚLJ͗dŚŝƌĚĚŝƟŽŶďLJ:ŚŽŶŚŝůĚ;ŚŝůĚ͕μκκοͿ
air dan ditampakkan pula sebuah bayangan tempat air yang sedang mengucurkan air untuk membasahi bunga. Banyak pemaknaan yang dapat dikembangkan dalam mengamati karya tersebut. Gambar 2 adalah foto Weston berjudul “Two Shells”, memperlihatkan bentuk meliuk-liuk sebuah cangkang atau kulit yang diabadikan dalam jarak dekat. Berkat kejelian dalam pengamatan dan pengambilan sudut gambarnya, secara imajinatif
ataupun kesan optis seolah-olah benda mati tersebut tengah bergerak-gerak menggeliat. Demikian juga foto buah paprika (gambar 3) yang diabadikan oleh Edward Weston yang diberi judul Pepper. Paprika kulitnya dipoles atau diminyaki kemudian diabadikan dalam jarak dekat (close-up), hasilnya adalah memberikan kesan sugesti dari bentuk bulatan yang melingkar-lingkar seolah-olah sedang menggeliat.
'ĂŵďĂƌμ͘,ŝƐƚŽƌLJŽĨWŚŽƚŽŐƌĂƉŚLJďLJWĞƚĞƌdƵƌŶĞƌ ;dƵƌŶĞƌ͕λσσκͿ
'ĂŵďĂƌν͘<ŝƐĂŚDĂƚĂ͗WĞƌďŝŶĐĂŶŐĂŶƚĞŶƚĂŶŐĚĂ͕ ŽůĞŚ^ĞŶŽ'ƵŵŝƌĂũŝĚĂƌŵĂ;ũŝĚĂƌŵĂ͕λσσκͿ
41
Tanto Harthoko, “Diam yang Menggeliat” Karya Fotografi
Tujuan utama penciptaan ini diharapkan dapat menghadirkan keragaman wujud karya fotografi ekspresi yang mampu menghadirkan imaji yang mencerminkan ide, gagasan, dan wawasan baru, terutama dalam memaknai kata “diam yang menggeliat”. Memotret bagian-bagian tertentu saja yang secara eksplisit menampilkan bentuk yang meliuk-liuk atau bentuk yang bergelombang menjadi salah satu langkah artistik yang memungkinkan untuk ditempuh. Mengenai isi karya, dimaksudkan dapat menampung dan mengakumulasikan berbagai pencitraan sebagai representasi dari kehidupan manusia. Hal tersebut bisa saja tentang filosofi hidup, nasib, konflik, percintaan, penyadaran, dan lain-lain, yang dalam pengekspresiaannya berorientasi pada nilai-nilai pencerahan untuk memahami dan memaknai arti kehidupan. Artikulasi karya merupakan pencitraan terhadap nilai-nilai simbolik pada geliat kehidupan sehingga wujud karya secara keseluruhan mencerminkan ekspresi pribadi (personal expression). Dengan landasan berpikir dan perenungan yang mendalam, ulasan karya ini cukup untuk memberikan pemahaman awal kepada apresian dalam mengamati dan menikmati karya foto sehingga karya-karya yang dihadirkan dalam penciptaan ini selain dapat dinikmati secara tekstual dalam artian tampilan artistiknya, juga dapat dipahami secara kontekstual dalam arti maksud dan tujuannya. Berikut ini akan diuraikan tiga karya foto yang telah diseleksi beserta ulasan makna karyanya, mewakili beberapa karya lain. Karya dimaknai sendiri sesuai dengan imajinasi, persepsi, dan pengalaman batin. Karya Foto 1 Foto lekukan daun Anthurium Corong tersebut, yang membentuk relief sedemikian rupa, dari samping seakan menampakkan wajah badut dengan hidungnya yang besar didukung riasan wajahnya yang meriah dan lucu (lihat gambar 4). Sosok badut memiliki tugas menghibur, biasanya untuk melengkapi kemeriahan suatu arena hiburan atau arena permainan. Menyadari kenyataannya bahwa tidak mudah menjadi seseorang yang
42
'ĂŵďĂƌξ͘ĂĚƵƚWĞŶŐŚŝďƵƌ;μκλλͿ ĞƚĂŬĚŝŐŝƚĂůƉĂĚĂŵĞĚŝĂ&><ŽƌĞĂůĂĐŬ͕ςςdžλνοĐŵ
harus terus-menerus selalu bisa tampak riang, tampak lucu, tampak menyenangkan orang setiap waktu, untuk itulah aka dibuatlah topeng badut bermuka lucu. Sementara topeng bekerja menghibur, sebaliknya seseorang di dalam topeng secara tersembunyi diam-diam mempunyai geliat aktivitas tersendiri. Kemungkinan seseorang di dalam topeng dapat seirama dengan ekspresi topeng, yaitu sedang riang gembira atau mungkin juga malah tengah menangis sebagaimana perasaan hati yang sesungguhnya. Karya Foto 2 Foto tersebut menampakkan mahkota bunga Adenium (Plumeria Acuminate Varadenium) yang tengah mekar atau dikenal juga dengan nama Kamboja Jepang (lihat gambar 5). Tepian yang bergelombang dari mahkota bunga ini dikomposisikan membentuk wajah yang tengah membuka mulutnya lebar-lebar, seakan-akan ingin berteriak lantang. Namun, karena suatu hal usaha berte-
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 1, April 2012
'ĂŵďĂƌο͘dĞƌŝĂŬĂŶdĂŬĞƌďƵŶLJŝ;μκλλͿ ĞƚĂŬĚŝŐŝƚĂůƉĂĚĂŵĞĚŝĂ&><ŽƌĞĂůĂĐŬ͕λκκdžππĐŵ
'ĂŵďĂƌπ͘DĂƚĂƵĂLJĂ;μκλλͿ ĞƚĂŬĚŝŐŝƚĂůƉĂĚĂŵĞĚŝĂ&><ŽƌĞĂůĂĐŬ͕λκκdžππĐŵ
riak tersebut akhirnya gagal karena tidak mampu menimbulkan suara sama sekali. Akhirnya hanya hening dan membisu, sebagai wujud kepasrahan sosok makluk hidup yang memiliki banyak keterbatasan.
Simpulan
Karya Foto 3 Foto tersebut menampilkan batang pohon serut yang dibonsai sehingga meskipun ukurannya mungil, namun karakter tua dan kokoh muncul begitu kuatnya (lihat gambar 6). Kegempalan serat pada batangnya yang berkelok-kelok menimbulkan keyakinan akan kesempurnaannya. Dengan dikomposisikannya batang serut ini secara horizontal, imajinasi yang tervisualkan memperlihatkan bagian mata seekor buaya. Kulit batang pohon serut ini menjadi nampak seperti kulit buaya yang keras dan tebal. Buaya digambarkan sebagai sosok yang cukup berbahaya, dingin dan tenang penampilannya, namun mengisyaratkan akan ancaman bagi mangsanya.
Upaya menerapkan metode berpikir lateral menjadi bagian penting dari rangkaian proses dalam memecahkan segala permasalahan di sini, baik dari ide sampai dengan proses perwujudannya. Langkah brainstorming dan “kesibukan” berandai-andai atau berkhayal juga menjadi bagian dari sekian langkah yang ditempuh agar menemukan jawaban yang berkaitan dengan tema yang dipilih. Karya fotografi ekspresi “Diam yang Menggeliat” ini, dalam visualisasinya menggunakan teknik close-up dengan subjek utamanya tanaman. Diperlukan kejelian agar dapat menemukan dan mengekspresikan bagian dari tanaman yang mengesankan, dalam sebuah karya still fotografi. Hal yang menarik dalam penciptaan karya fotografi ini, apabila “diam yang menggeliat” dimaknai dan dikaitkan sebagai bentuk proses perjalanan kehidupan manusia yang secara simbolis divisualkan dengan menggunakan subjek tanaman.
43
Tanto Harthoko, “Diam yang Menggeliat” Karya Fotografi
Tahapan hidup manusia sama bila diidentikkan dengan hidup tanaman, yaitu dari awal tumbuh, kemudian berkembang hingga dewasa, dan sampai pada masa berakhirnya, yaitu menguning, layu, dan mati. Meskipun ada tumbuhan yang hampir selalu tumbuh sepanjang hidupnya, tetap saja selalu diikuti dengan proses biologis atau proses alamiah sebagai makhluk hidup. Demikianlah sebuah konsep karya seni yang mengekspresikan penghayatan pengalamanpengalaman estetik tentang kehidupan. Pada dasarnya penciptaan karya seni adalah proses pencarian bentuk yang tak pernah berakhir. oleh karena itu, dalam memupuk kreasi dan daya cipta tidak boleh berhenti sekadar pada suatu pemikiran puas karena sebuah proses kreatif adalah sebuah proses pencarian terhadap hal-hal baru yang berkembang dan terus mengalami perubahan. Berangkat dari penciptaan ini diharapkan penghayatan akan dapat terus berproses dan selaras dengan perkembangan dan perubahan yang selalu akan terjadi. Ucapan Terima Kasih Atas terselesaikannya penciptaan ini, puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah kemurahan-Nya. Rasa terima kasih tulus juga penulis ucapkan kepada segenap pihak yang banyak memberikan kontribusi yang berharga, yaitu: (1) Prof. Drs. M. Dwi Marianto, M.F.A., Ph.D., (2) Drs. H. Surisman Marah, M.Sn., (3) Prof. Drs Soeprapto Soedjono, M.F.A., Ph.D., (4) Drs. Subroto Sm., M.Hum.
44
Kepustakaan Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subyek: Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press. Barthes, Roland. 1977. Image-Music-Text. New York: Hill and Wang. _____________. 1981. Elements of Semiology. Terjemahan Annete Lavers dan Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik. Child, John. 2005. Essential Skill, Studio Photography: Third Edition. Italy: Focal Press. Kartika, Dharsono Sony. 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Marianto, M. Dwi. 2010. “Relasi Bolak-balik Antara Seni dan Daya Hidup”, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Disampaikan di Depan Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta, 24 April 2010 di Yogyakarta, Yogyakarta. Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Soedjono, Soeprapto. 2006. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Tompkinn, Peter & Christopher Bird. 1973. Secret Life of The Plant atau Keajaiban Tumbuhan: Temuan Sains yang Menggetarkan. Terjemahan Shohifullah. 2008. Yogyakarta: Kutub. Turner, Peter. 1990. History of Photography. USA: Brompton. http://gendhotwukir.multiply.com/journal/ item/295/CERPEN_Monolog_Sudut_ Hening (Diakses tanggal 17 Februari 2011)