Hutan Hutan berperan penting dalam menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam ekosistem hutan. Biomassa hutan berisi sekitar 80% dari semua karbon terestrial di atas tanah dan sekitar 40% dari semua karbon di bawah tanah. Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (FWI, 2003). Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999). Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah temprate (Rahman, 1992). Hutan memberi pengaruh pada sumber alam yang lain. Pengaruh ini melalui 3 faktor lingkungan yang saling berhubungan, yaitu : iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilayah, misalnya di wilayah pertanian. Pada saat ini daerah hutan tropik yang terbesar dan masih cukup baik di Asia Tenggara,
Universitas Sumatera Utara
terutama di Indonesia dijumpai di pulau Sumatera, Kaimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Soeriaatmadja, 1981). Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas fisiologinya. Pengukuran produktivitas hutan dalam konteks studi ini relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, et al., 2003). Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses photosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan (Budiyanto, 2006). Selama ini, potensi pohon hanya dihitung berdasarkan besarnya volume kayu batang pohon yang dimanfaatkan untuk industri-industri pengolahan kayu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ternyata tidak hanya batang, bagianbagian pohon yang lain seperti cabang, ranting, daun dan akar mempunyai peran besar dalam menyimpan karbon. Melalui studi biomassa, penaksiran potensi bagian
pohon
tersebut
dalam
menyimpan
karbon
dapat
dilakukan
(Budiyanto, 2006).
Ekologi dan Taksonomi Eukaliptus Marga Eukaliptus terdiri dari 500 jenis yang kebanyakan endemik di Australia. Hanya dua jenis yang tersebar di wilayah Malesia (Nugini, Maluku, Sulawesi, Asia Tenggara dan Filipina). Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian utara menuju Malesia bagian Timur. Keragaman terbesar di daerah-daerah
Universitas Sumatera Utara
pantai New South Wales dan Australia bagian baratdaya. Hampir semua jenis Eucalyptus beradaptasi dengan iklim muson. Beberapa jenis eukaliptus yang dibudidayakan di TPL Aek Nauli yakni : E.Ind 32, E.Ind 33, E.Ind 47, dan E.Ind 48 yang ditanam pada ketinggian 1800 mdpl dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000 mm, suhu minimum rata-rata 23oC dan maksimum 31oC di dataran rendah dan suhu minimum rata-rata 13oC dan maksimum 31oC di pegunungan (Sutisna dan Purmadjaja, 1999). Eukaliptus merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman Industri. Kayu Eukaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus korek api, pulp dan kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi (Sutisna dan Purmadjaja, 1999). Eukaliptus dapat mencapai tinggi 75 m, dengan kulit kayu putih halus. Eukaliptus umumnya ditanam dalam skala besar untuk produksi kayu, dengan penanaman total diperkirakan mencapai 2 m/ha pada tahun 1987. Sebagian besar dari jumlah ini ditanam di Brazil (>1 m/ha) dan Afrika Selatan (300.000 ha). Selain itu, Eukaliptus juga ditanam dalm jumlah yang besar di Argentina, Australia, India, Uruguay,
Zambia,
Zimbabwe dan negara-negara
lain
(Hunde, et al., 2003). Menurut Sutisna dan Purmadjaja (1999), tanaman Eucalyptus spp. mempunyai sistematika sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Sub Divisio
: Angiospermae
Universitas Sumatera Utara
Class
: Dycotyledone (berkeping dua)
Ordo
: Myrtiflorae
Famili
: Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus
: Eucalyptus
Species
: Eucalyptus spp.
Biomassa Biomassa adalah jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada pohon yang dinyatakan dalam berat kering oven per unit luas (Brown 1997). Jumlah karbon yang disimpan di dalam pohon atau hutan dapat dihitung jika diketahui jumlah biomassa atau jaringan hidup tumbuhan di hutan tersebut dan memberlakukan suatu faktor konversi. Pengertian biomassa ditinjau dari asal kata bio dan massa, sehingga biomassa tanaman adalah massa dari bagian hidup tanaman. Bio mengandung pengertian bagian dari makhluk hidup. Massa mengandung pengertian yang sama dengan yang terdapat dalam fisika yaitu parameter kepadatan dari suatu benda atau zat yang memberikan unsur percepatannya bila suatu gaya diberikan. Dengan demikian biomassa tanaman adalah bahan hidup yang dihasilkan tanaman yang bebas dari pengaruh gravitasi, sehingga nilainya tidak sama dengan berat yang tergantung kepada tempat penimbangan dan berhubungan dengan gaya gravitasi (Rusolono, 2006). Biomassa adalah berat bahan organik persatuan unit luas pada waktu tertentu yang dinyatakan dengan istilah berat kering (dry weight) atau biomassa dapat berupa berat bahan organik suatu organisme tertentu persatuan unit luas. Biomassa
pohon
merupakan
ukuran
yang
sering
digunakan
untuk
menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Hal ini didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
kenyataan bahwa pendugaan biomassa relatif lebih rendah dan merupakan akumulasi dari total proses metabolisme yang dialami oleh tanaman sehingga hal ini merupakan indikator pertumbuhan yang cukup representatif apabila dikaitkan dengan tampilan keseluruhan pertumbuhan tanaman (Rusolono, 2006). Biomassa dapat diukur secara akurat melalui penebangan, pengeringan, dan penimbangan. Akan tetapi cara tersebut tidak efisien dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Menurut Ewusie (1980), diacu dalam Jayasekara (1990), pengukuran biomassa dapat dilakukan melalui pengukuran diameter setinggi dada (DBH) dan tinggi pohon serta pengukuran volume kayu yang dikonversi menjadi berat kering. Kandungan biomassa di atas permukaan tanah dari berbagai spesies pohon dapat diukur menggunakan persamaan allometrik. (Jayasekara 1990).
Karbon Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (FWI, 2003). Karbon di permukaan bumi tersimpan dalam empat reservoir, yakni fosil dan formasi batuan, atmosfer, samudra dan ekosistem daratan termasuk hutan (Kauppi, 2003). Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per satuan luas dan per satuan waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas asam arang (CO) yang diserap dari udara serta air dan hara
Universitas Sumatera Utara
yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah dan Rahayu, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan karbon antara lain adalah: iklim, topografi, karakteristik tanah, spesies dan komposisi umur pohon, serta tahap pertumbuhan pohon. Tingkat serapan karbon yang tinggi umumnya terjadi pada lokasi lahan dengan kesuburan yang tinggi dan tingkat curah hujan cukup, dan pada tanaman yang cepat tumbuh, walaupun tingkat dekomposisi juga cukup tinggi pada lokasi tersebut. Pengelolaan hutan yang baik seperti pengaturan penjarangan dan rotasi pohon juga mempengaruhi tingkat serapan karbon. Sebaliknya tingkat penyerapan karbon yang rendah umumnya terjadi pada lokasi dengan tingkat curah hujan dan kesuburan tanah rendah (Dury, et. al., 2002). Salah satu faktor yang dapat menurunkan akumulasi karbondioksida (CO2) di atmosfer adalah penyerapan oleh vegetasi. CO2 di atmosfer dapat diserap oleh pohon melalui proses fotosintesis. Tanaman atau pohon di hutan berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
tempat penimbunan dan pengendapan karbon dan istilah ini disebut rosot karbon. Proses penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang tumbuh disebut sebagai sekuestrasi karbon (carbon sequestration). Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot (Hairiah dan Rahayu, 2007). Berdasarkan keberadaannya di alam, Hairiah dan Rahayu, (2007) membagi komponen C menjadi 2 kelompok yaitu: A. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: 1. Biomassa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomassa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang. 2. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan).
Universitas Sumatera Utara
3. Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat. 4. Serasah. Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
B. Karbon di dalam tanah, meliputi: 1. Biomassa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomassa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomassa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomassa pohon yang didasarkan pada diameter batang. 2. Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah. Selama pertumbuhannya, pohon menyerap C dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa. Pada perkembangan tegakan, kematian disebabkan oleh persaingan atau bencana alam menghasilkan perpindahan beberapa cadangan C pada pohon ke bahan organik yang mati atau ke atmosfer. Pemanenan hutan, melepaskan C dalam jumlah yang besar, namun tidak seluruhnya. Sebagian dari biomassa yang dipanen tersebut digunakan untuk menghasilkan energi (menggantikan bahan bakar fosil), sementara yang lainnya
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk berbagai produk kayu dengan waktu penggunaan tertentu (Ter-Mikaelian, et al., 2008).
Pendugaan dan Pengukuran Karbon Hutan Biomassa pohon merupakan fungsi dari volume kayu, (yakni diperoleh dari diameter dan tinggi) dan kerapatan kayu (berat kering dalam setiap unit volume kayu segar). Kerapatan bervariasi sesuai dengan spesies, cara hidup, dan faktor lingkungan seperti topografi dan kemiringan lahan. Biomassa pohon dapat dihitung dengan metode langsung (pemanenan destruktif) atau metode tidak langsung (model allometrik). Model allometrik diketahui dengan mengukur variabel diameter at breast height (DBH), tinggi total dan kerapatan kayu. Banyak studi menggunakan model allometrik dalam pendugaan biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass/ABG) karena pemanenan pohon bersifat merusak dan membutuhkan biaya yang besar (Vieira et al., 2008). Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan : (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007). Brown et.al., (1952) dalam Zebua (2008) menyatakan bahwa berat jenis kayu bervariasi diantara berbagai jenis pohon dan diantara pohon dari satu jenis yang sama. Variasi ini juga terdapat pada posisi yang berada dari satu pohon. Adanya variasi jenis kayu tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah zat
Universitas Sumatera Utara
penyusun dinding sel dan kandungan zat ekstraktif per unit volume dan berat jenis didalam suatu spesies telah ditemukan bervariasi dengan sejumlah factor yang meliputi letaknya dalam pohon, letak dalam kisaran spesies, kondisi tempat tumbuh dan sumber-sumber genetik. Zebua (2008) menyatakan bahwa biomassa tegakan hutan dapat dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, bahkan faktor iklim (curah hujan dan temperatur) juga dapat mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon, selain itu perbedaan (gradien) iklim juga menyebabkan perbedaan laju produksi bahan organik. Biomassa kering dapat dikonversi menjadi cadangan karbon yakni 50% dari biomassa. Metode ini dianggap akurat untuk beberapa tempat. Tidak ada sebuah metode yang secara langsung dapat mengukur cadangan karbon yang terdapat pada suatu bentang lahan. Keadaan ini mendorong usaha pengembangan alat dan model yang dapat menghitung dalam skala besar yang didasarkan pada pengukuran di lapangan atau penginderaan jauh (Gibbs et al., 2007). Cadangan karbon dalam hutan dapat juga dievaluasi dengan menggunakan penginderaan jauh yakni satelit atau potret udara. Namun, tidak ada instrumen penginderaan jauh yang dapat mengukur cadangan karbon secara langsung, sehingga dibutuhkan data lapangan sebagi tambahan. Metodologi penginderaan jauh memperlihatkan keberhasilannya dalam menduga cadangan karbon di hutan boreal dan hutan musim dan pada tegakan muda dengan kerapatan karbon yang rendah (Gibbs et al., 2007). Meskipun CO2 terdapat di atmosfer dengan konsentrasi yang relatif rendah (sekitar 0,03 %), karbon bersiklus ulang dengan laju yang relatif cepat, karena tumbuhan mempunyai kebutuhan yang tinggi akan gas ini. Setiap tahun,
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan mengeluarkan sekitar sepertujuh dari keseluruhan CO2 yang terdapat di atmosfer, jumlah ini kira-kira (akan tetapi tidak dapat dikatakan tepat) diseimbangkan melalui respirasi. Sejumlah karbon bisa dipindahkan dari siklus tersebut dalam waktu yang lebih lama. Hal ini terjadi misalnya, ketika karbon terakumulasi di dalam kayu dan bahan organik yang tahan lama lainnya. Perombakan metabolik oleh detritivora akhirnya mendaur ulang karbon ke atmosfer sebagai CO2 meskipun api dapat mengoksidasi bahan organik seperti itu menjadi CO2 jauh lebih cepat. (Campbell et al., 2002).
Mekanisme Penurunan Karbon Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat
yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem
(Hairiah dan Rahayu, 2007). Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut
dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah,
(b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Kauppi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan oleh Negara maju dalam Protokol Kyoto adalah sebesar 5 % dari tingkat emisi pada tahun 1990. Target tersebut harus dapat dicapai dalam periode 2008-2012. Untuk mencapai target tersebut dikenal mekanisme mekanisme fleksibel atau mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: Joint Implementation (JI), MBP atau CDM dan Perdagangan Emisi (Emision Trading). CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan oleh negara berkembang (Mudiyarso, 2003).
Kondisi Umum Lokasi Penelitian PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk merupakan jenis perusahaan Kayu Serat dengan produk berupa pulp yang terletak pada 01°-03° LU dan 98°15’00”100°00’00” BT. Secara geografis terletak di Desa Desa Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dimiliki oleh PT TPL, Tbk terletak pada beberapa kabupaten di Sumatera Utara dengan luas ijin HPHTI berdasarkan SK. Menhut No. 493/Kpts-II/1992 seluas 269.060 ha dengan jangka pengelolaan 43 tahun. Selain HPHTI, PT TPL, Tbk juga memiliki ijin Pemanfaatan Pinus berdasarkan SK. Menhut No. 236/Kpts-IV/1984 seluas 15.763 ha. Luas total areal pengelolaan PT TPL, Tbk adalah 284.816 ha (PT TPL, Tbk, 2008). Areal konsesi PT TPL, Tbk terdiri dari lima sektor yang terletak pada kabupaten yang berbeda, yakni: 1. Sektor Tele, terletak pada 02°15’00” - 02°50’00” LU dan 98°20’00” - 98°50’00” BT, meliputi Kabupaten Samosir (Kecamatan Harian Boho), Kabupaten Pak-pak Bharat (Kecamatan Salak dan Kerajaan) dan Kabupaten Dairi (Kecamatan Sumbul, Parbuluan, dan Sidikalang).
Universitas Sumatera Utara
2. Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” - 02°50’00” LU dan 98°50’00” - 99°10’00” BT, meliputi Kabupaten Simalungun (Kecamatan Dolok Pangaribuan, Tanah Jawa, Sidamanik, Jorlang Hataran, dan Girsang Sipangan Bolon). 3. Sektor Habinsaran, terletak pada 02°07’00” - 02°21’00” LU dan 99°05’00” - 99°18’00” BT, meliputi Kabupaten Toba Samosir (Kecamatan Habinsaran, Silaen, dan Laguboti). 4. Sektor Aek Raja/Tarutung, terletak pada 01°54’00” - 02°15’00” dan 98°42’00” - 98°58’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Utara (Kecamatan Siborongborong, Sipahutar, Gaya Baru Tarutung, Adian Koting, dan Parmonangan) Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Dolok Sanggul, Lintong Ni Huta, Onan Ganjang, dan Parlilitan). 5. Sektor Padang Sidempuan, terletak pada 01°15’00” - 02°15’00” LU dan 99°13’00” - 99°33’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Padang Bolak, Sosopan, Padang Sidimpuan, Sipirok) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Kecamatan Sorkam dan Batang Toru). Penelitian dilakukan di Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00” LU dan 98°50’00” – 99°10’00” BT. Keadaan lahan Sektor Aek Nauli seluruhnya adalah kering dengan ketingian 1.500 m dpl. Jenis tanah di daerah penelitian adalah Dystropepts, Hydrandepts, Dystrandepts, Humitropepts dan jenis batuan Tapanuli, Peusangan, Sihapas, Vulkan Tersier, dan Toba. Sektor Aek Nauli beriklim A (sangat basah) menurut klasifikasi Schmidt Fergusson (1951), dengan curah hujan rata-rata 338,1 mm bulan tertinggi bulan April dan bulan terendah Oktober. Beberapa jenis eukaliptus yang dibudidayakan sebagai objek penelitian adalah jenis E.Ind 32, E.Ind 33, E.Ind 47, dan E.Ind 48. Keempat jenis
Universitas Sumatera Utara
eukaliptus ini dijadikan sebagai objek penelitian dikarenakan keempat jenis tersebut mempunyai kriteria umur 1-4 tahun dengan diameter 4-17 cm. Eukaliptus ini ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 m dengan tingkat kerapatan sebanyak 111 pohon/hektar (PT TPL, Tbk, 2008). Aksesibilitas menuju PT Toba Pulp Lestari (TPL) cukup baik dan lancar karena terletak pada jalur lintas kabupaten yaitu Kabupaten Toba Samosir. Lokasi dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Untuk mencapai lokasi penelitian dapat ditempuh melalui jalan darat dengan rute yaitu Medan → Pematang Siantar → Kab.Toba Samosir (PT . Toba Pulp Lestari (TPL)). Waktu tempuh sekitar 4 jam dengan jarak ±140 km.
Universitas Sumatera Utara