HUKUMAN MATI PERLU DALAM RANGKA MELINDUNGI KEPENTINGAN MASYARAKAT INDRIATIAMARINI Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Hukuman mati akan selalu menimbulkan polemik dalam masyarakat, ada yang pro dan kontra. Pada satu sisi mereka yang pro menganggap pidana mati perlu untuk melenyapkan orang-orang yang melakukan kejahatan di luar batas kemanusiaan dan untuk melindungi masyarakat. Sedangkan yang kontra, pidana mati lebih didasarkan pada alasan bahwa yang berhak mencabut nyawa seseorang hanyalah Tuhan dan melanggar Hak Asasi Manusia. Ancaman pidana mati diperlukan dalam menanggulangi kejahatan (extra ordinary crime) atau tindak pidana tersebut sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta ketahanan nasional. Namun dalam penerapan pidana mati dijatuhkan oleh hakim seyogyanya harus dilakukan secara spesifik dan selektif. Kata kunci: hukuman mati, perlindungan masyarakat A. PENDAHULUAN Eksekusi pidana mati terhadap 6 terpidana kasus narkotika pada tanggal 18 Januari 2015 yang lalu menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Penjatuhan pidana mati menimbulkan pro dan kontra yang tiada henti baik di kalangan akademisi hukum, praktisi, pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia Internasional. Jaksa Agung RI HM Prasetyo menyatakan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap 6 terpidana mati kasus narkotika bukanlah hal yang menyenangkan untuk pemerintah Indonesia. Namun demikian, hal tersebut harus tetap dijalankan demi penegakan hukum sebab tindak pidana tersebut telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara yang akan berdampak buruk terhadap daya saing
DinamikaKontemporerHukumanMati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
bangsa. Kejahatan yang dilakukan telah menimbulkan luka dalam bagi keluarga dan korban serta menimbulkan kerusakan bahkan kematian bagi korban1. Hukuman atau pidana ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling kontroversial saat ini adalah pidana mati atau hukuman mati. Sebagaimana diuraikan diatas bahwa hukuman mati akan selalu menimbulkan polemik dalam masyarakat, ada yang pro dan kontra. Polemik ini akan selalu muncul dalam masyarakat2. Bagir Manan mengemukakan ada beberapa argumentasi mengenai tidak memuat ancaman atau menerapkan pidana mati. Adapun dasar pembenaran ancaman dan penerapan pidana mati yaitu Pertama, alasan keagamaan yaitu kaidah agama yang memungkinkan mengenakan hukuman mati seperti adanya asas “siapa membunuh dibunuh kecuali dimaafkan keluarga korban” atau dalam kriminologi disebut teori taliansi. Kedua, dasar politik hukum. Politik hukum kolonial dapat berbeda dengan politik hukum dalam negara merdeka.WvS Belanda tidak memuat pemidanaan mati, sehingga tidak ada ancaman, apalagi penerapan pidana mati. Namun KUHPidana memuat pidana mati. Ini semata-mata berdasarkan politik hukum kolonial terhadap rakyat Indonesia. Ketiga, dasar sosiologis yaitu didapati perbuatan menghilangkan nyawa orang atau orang-orang lain dengan kekejian luar biasa seperti dengan sengaja membunuh dengan alasan 1
Pelaksanaan pidana mati pada saat ini merupakan salah satu upaya pemberantasan dan pencegahan peredaran dan penyalahgunaan narkoba untuk mewujudkan ASEAN bebas narkoba pada tahun 2015. Deklarasi yang disepakati pada The 33rd ASEAN Ministriel Meeting, Ministers of the ASEAN Member Countries Bangkok, Thailand 24-25 Juli 2000 yang merupakan komitmen politik negara-negara ASEAN sebagai wujud keprihatinan dan kepedualian negara-negara di kawasan ASEAN akan angka kejahatan yang terus meningkat dikarenakan narkoba. Dalam rangka mewujudkan tujuan ini dibangunlah suatu regional framework dalam bentuk Plan of Action yang terdiri dari empat pilar yaitu (1) Civic Awareness (2) Demand Reduction (3) Law Enforcement dan (4) Alternative Development Program, dalam Diani Indramaya, Pro Kontra Pidana Mati, Tersedia di lib.ui.ac.id/file?file=digital/120272, diakses Minggu, 3 Mei 2015. 2 I Putu Indra Yoga Abimaniu, dkk, Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia, hlm. 6. Tersedia di www. Ojs.unud.ac id. diakses Selasa28 April 2015.
52
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
yang sepele, dengan sengaja membunuh satu keluarga atau berpuluh-puluh anak sekolah di sekolah atau kerumunan orang yang sedang duduk-duduk bersama atau dengan kata lain yaitu suatu perbuatan anti kemanusiaan yang luar biasa. Sudah pasti pembunuh-pembunuh ini tidak pernah mendapat kuasa dari Tuhan untuk mencabut nyawa orang lain dengan keji. Suatu kontradiksi berpikir luar biasa sebagaimana dikemukakan pejuang HAM bahwa hukuman mati melanggar HAM dikarenakan korban yang dibunuh juga memiliki HAM seperti the right to life3. Sebaliknya ada beberapa dasar menolak ancaman dan mengenakan pidana mati yaitu Pertama, alasan keagamaan. Hanya Tuhan yang berkuasa mencabut nyawa seseorang. Sangat tidak layak dan bertentangan dengan nilai kekuasaan Tuhan, campur tangan manusia atas kekuasaan absolut Tuhan. Bagir Manan mengemukakan bahwa memang benar hidup mati ada di tangan Tuhan, namun cara mati atau bagaimana mati dapat ditentukan oleh alam atau manusia. Makin banyak negara yang menerima eutanasia sebagai cara mengakhiri hidup seseorang (karena pertimbangan medis). Dokter dibenarkan mematikan bayi dalam kandungan demi keselamatan ibu. Dengan demikian yang paling utama menyangkut cara mati. Dilarang menyebabkan mati dengan cara kekerasan atau kekejian atau sewenang-wenang, melainkan harus dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan martabat atau karena tuntutan keadilan. Kedua, alasan hak asasi manusia. Pidana mati bertentangan dengan HAM yaitu the right to life, liberty and happiness (pursuit of happiness). Bagi yang dekat dengan agama, akan melihat persoalan HAM sebagai anugerah Tuhan, sedangkan bagi kaum yang semata-mata berdasarkan akal (kaum naturalis) melihat HAM seperti hak untuk hidup sebagai the natural right. Apakah alam juga memberi kekuasaan kepada seseorang secara kejam membunuh orang lain (seperti berbagai kasus penembakan yang menyebabkan berpuluh-puluh anak yang sedang berada di kelas dan tidak berdosa ditembak dan terbunuh). Oleh karena itu, ada semacam contradictio 3
Bagir Manan, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945, Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 328 Maret 2013, hlm. 19.
53
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
interminis apabila pembunuh-pembunuh kejam itu tidak boleh dikenakan pidana mati4. Pidana mati merupakan satu jenis pidana setua usia kehidupan manusia. Pidana mati berdasarkan sejarah telah digunakan sejak abad 18 sebelum masehi yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athena (Dracodian Code) dan kerajaan Romawi (Twelve Tablet). Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam perspektif modern seperti: penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, dibakar dan lain-lain5. Terdapat sekitar 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia dan lebih dari setengah negara-negara didunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati6. Perkembangan selanjutnya, ada dua sikap negara-negara di dunia terhadap pelaksanaan hukuman mati yaitu negara yang masih menerapkan pidana mati yaitu selain Indonesia adalah Malaysia, Pakistan, Cina Thailand, Amerika Serikat, Zimbwabwe, Iran, Ghana, India dan Sierba Leone. Sedangkan negara-negara yang mengalami perubahan terhadap hukuman mati sebagai berikut7:
4
Ibid. Inosentius Samsul, Politik Hukum Pidana Mati, Info Hukum Singkat, Vol. VII, No. 02/II/P3DI/Januari 2015, hlm. 2. 6 Praktik hukuman mati kerap dianggap bias terutama bias kelas dan bias ras. Di AS sekitar 80 % terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing, dalam Mia Amalia, Masalah Pidana Mati Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 Nomor 02 September 2012, hlm. 558. 7 Argumentasi perubahan sikap terhadap hukuman mati didasarkan pada pemikiran bahwa efektivitas pidana mati dalam mengurangi kejahatan serta fungsi hukuman mati dan juga hukuman seumur hidup tersebut sesungguhnya tidak memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki perilakunya.ibid. 5
54
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
Tabel 1 Perubahan Negara-negara Terhadap Hukuman Mati No
Negara
Tahun Penghapusan Hukuman Mati
1
Perancis
1981
2
Belanda
1982
3
Australia
1985
4
Brasil
1988
5
Spanyol
1995
6
Singapura
1995
7
Inggris
1998
8
Senegal
2004
Pidana mati merupakan pidana yang terberat, oleh karena itu ancamannya secara alternatif dengan pidana pokok lainnya yaitu dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Oleh karena sifatnya fakultatif maka tergantung kepada hakim untuk memilih. Sebagaimana dikemukakan Bambang Poernomo8 bahwa penjatuhan sanksi pidana berkaitan dengan kepentingan umum masyarakat. Apabila terjadi pertentangan atas dasar kepentingan yaitu kepentingan umum dan kepentingan individu maka kepentingan masyarakat yang menjadi dasar di atas kepentingan lain. Apabila terhadap pelaku kejahatan tidak ada harapan untuk diperbaiki, lebih baik dikenakan pidana mati agar kepentingan masyarakat dapat terlindungi dan dapat diselamatkan. B. TUJUAN PEMIDANAAN HUKUMAN MATI Ada beberapa tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Ancaman hukuman mati secara eksplisit ditegaskan dalam berbagai muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia baik dalam KUHP maupun luar
8
Dalam Hernawati R.A.S., Penetapan Pidana Mati Dalam Sistem Pemidanaan, Tersedia di jurnal.fhunla. ac.id., diakses Senin, 4 Mei 2015, hlm. 74
55
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
KUHP diantaranya yaitu : (1) Kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 104 KUHPidana (2) Tindakan pidana pembunuhan berencana yaitu Pasal 340 KUHP (3) Tindak pidana korupsi yaitu Pasal
UU No. 31 Tahun 1999 (4)
Kejahatan genosidayaitu Pasal 36 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (5) Kejahatan kemanusiaan (6) Mobilisasi anak dalam perdagangan gelap narkotika9. Apabila melihat keberadaan pidana mati dalam perundang-undangan tersebut di atas, hampir semua tindak pidana merupakan kejahatan serius yang mengancam nyawa dan tubuh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebelum melihat tujuan pemidanaan pidana mati, secara tradisional ada dua kelompok teori tentang pemidanaan, yaitu: (1) Teori absolut atau pembalasan (retributive theory). Menurut Immanuel Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant memandang pidana sebagai kategorische imperatief, yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan
melainkan
mencerminkan keadilan. Teori ini berprinsip pada pidana untuk pidana, oleh karena itu teori pembalasan mengenyampingkan nilai-nilai kemanusian. Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Andi Hamzah mengemukakan pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis. Pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana. Menurut Sahetapy, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan. (2) Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian theorie) disebut juga teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah 9
Nelvitia Purba, Konstitusionalitas Hukuman Mati Di Indonesia, Jurnal Kultura, Volume 13 No. 1 Juni 2012, tersedia di www.umnaw.ac.id. diakses Minggu, 3 Mei 2015, hlm. 3.
56
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, dasar pembenaran adanya pidana terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan, jadi pidana untuk mengurangi kejahatan10. Selanjutnya teori retributif-teleologis merupakan gabungan kedua teori retributif dan teleologis. Menurut teori ini memandang tujuan pemidanaan bersifat plural yaitu menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari11. Oleh karena itu, penjatuhan pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi masyarakat, penjahat dan hakim itu sendiri, harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan12. Pidana mati merupakan jenis pidana yang merampas suatu kepentingan hukum (rechtsbelang) yaitu yang berupa nyawa manusia. Pidana mati sebagaimana diatur dalam KUHP13 dijatuhkan hakim tidak boleh sewenang-
10
dalam Hernawati R.A.S.,op.cit,. hlm. 74. Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana Yang Beorientasi Pada Tujuan Pemidanaan, Jurnal Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 100. 12 Dalam literatur ada empat tujuan penjatuhan hukuman yaitu : (1) Retribution yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan; (2) Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, maka akan menjadi lebih aman; (3) Deterrence berarti menjerakan atau mencegah sehingga pelanggar sebagai individual ataupun orang lain yang potensial melakukan pelanggaran akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran; (4) Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat, sehingga ketenangan di masyarakat pulih kembali, Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III September 2004, hlm. 24, tersedia di journal.ui.ac.id diakses Selasa 5 Mei 2015. 13 Pasal 10 KUHP berbunyi sebagai berikut: Pidana terdiri atas: a. Pidana Pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Kurungan 4. Denda b. Pidana tambahan 11
57
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
wenang. Penjatuhan sanksi pidana berkaitan dengan kepentingan umum masyarakat. Apabila terjadi pertentangan atas dasar kepentingan yaitu kepentingan umum dan kepentingan individu maka kepentingan masyarakat yang menjadi dasar atas kepentingan lain. Apabila terhadap pelaku kejahatan tidak ada harapan untuk diperbaiki, lebih baik dikenakan pidana mati agar kepentingan masyarakat dapat terlindungi dan dapat diselamatkan14. Pidana mati merupakan senjata pamungkas (jalan terakhir) atau dalam Rancangan KUHP disebut sebagai pidana yang bersifat khusus (eksepsional) dan hanya demi pengayoman masyarakat15. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji16dalam menjatuhkan pidana pokok, KUHP hanya menjatuhkan satu jenis pidana pokok atau dalam KUHP tidak mengenal adanya sistem kumulasi pidana pokok. Hal ini berarti jika suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa macam pidana pokok maka hakim hanya boleh memilih salah satu diantaranya untuk memidana terdakwa. Suatu perbuatan pidana apabila diancam dengan bebrapa jenis pidana pokok maka pidana pokok tersebut selalu diancamkan secara alternatif yaitu misalnya pidana penjara atau pidana denda. Dalam menjatuhkan pidana tambahan, KUHP mengikuti sistem bahwa pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan menyertai suatu pidana pokok artinya pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan semata-mata (yaitu sebagai
satu-satunya
pidana)
dan
pidana
tambahan
sifatnya
fakultatif
(diperbolehkan), jadi bukan imperatif (diwajibkan) seperti halnya pidana pidana pokok.
1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim 14 Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 7 15 Timbul Tua Marojahan Aritonang, Relevansi Sanksi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009) Dengan Tujuan Pemidanaan, Jurnal Mahupiki Volume 3 No. 1 (2014), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Medan, hlm. 8 16 dalam Hernawati R.A.S., Penetapan Pidana Mati Dalam Sistem Pemidanaan, op.cit., hlm. 79
58
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
C. Politik Hukum Pidana Mati Politik hukum17 nasionalharus dapat mendorong dan mengisi semua unsur di dalam sistem hukum nasional agar bekerja sesuai dengan cita-cita bangsa, tujuan negara, cita hukum dan kaidah penuntun hukum di Negara Republik Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Politik hukum mengandung dua sisi yang tak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Indonesia mengundangkan pengesahan atau ratifikasi atas dua instrumen Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) yakni International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Internasional Covenant on civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik18. Indonesia setelah meratifikasi dua kovenan tersebut maka terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya. Hal ini dikarenakan negara yang meratifikasi instrumen internasional berarti ia 17
Sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum. Berdasarkan berbagai rumusan yang dikemukakan para ahli, Moh. Mahfud merumuskan bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu, Moh. Mahfud MD,Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 15. 18 Walaupun tidak ada satu ketentuan internasional yang mewajibkan negara meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional. Majelis Umum PBB hanya menghimbau agar negara anggotanya meratifikasi perjanjian internasional itu. Negara tetap mempunyai kedaulatan penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional dan jika melakukan ratifikasi maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya. Namun dalam perkembangan, banyak negara yang kemudian melakukan ratifikasi dengan akibat bahwa begitu melakukan ratifikasi, negara tersebut terikat untuk melaksanakannya, dalam Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 215.
59
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
melakukan tindakan hukum untuk mengikatkan diri pada konvensi atau perjanjian internasional bersangkutan. Berdasarkan KonvensiWina Tahun 1969 yang mengartikan ratifikasi sebagai tindakan internasional ketika suatu negara secara internasional membuat kesepakatan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Menurut konvensi itu, dalam ratifikasi atau apapun sebutannya, tercakup acceptance (penerimaan), approval (persetujuan) dan accesion (aksesi)19. Terkait
dengan
pidana
mati
di
Indonesia,
menurut
Mahkamah
Konstitusidalam putusannya pada tanggal 30 Oktober 2007 tidak bertentangan dengan UUD 194520. Pidana mati yang diancamkan untuk kejahatan tertentu dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menolak menghapus hukuman mati yang tertuang dalam Undang-undang Narkotika. Menurut Mahkamah Konstitusi, hukuman mati untuk kejahatan terhadap narkotika tidak melanggar perjanjian internasional apapun termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Sebaliknya konvensi itu justru mengamanatkan negara peserta untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Pasal 6 ayat (1) ICCPR menjamin hak untuk hidup, tetapi ayat (2) membolehkan adanya pidana mati untuk kejahatan yang sangat serius. Kejahatan narkotika termasuk kejahatan yang sangat serius karena berdampak luar biasa 19
Ibid., hlm. 208. Ketentuan pidana mati yang diajukan uji materiil ialah ketentuan pidana mati yang terdapat dalam UU Narkotika yaitu Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Ketentuan tersebut menurut pemohon (terpidana mati Edith Yunita Sianturi dan Ranin Andriani Melisa Aprilia, WNI yang ditahan di LP Wanita Tangerang dan Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Anthony Rush, WNA Australia yang ditahan di LP Krobokan Kuta Bali. Menurut para pemohon ketentuan pidana mati dalam pasal-pasal UU Narkotika tersebut, bertentangan dengan UUD 1945, yaitu : Pertama, Pasal 28 A UUD 1945 yang berbunyi : setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kedua, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 20
60
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
antara lain merusak generasi muda. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berbunyi sebagai berikut: Article 6: (1) Every human being has the inherent right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life; (2) In countries which have not abolished the death penalty, sentence of deeth may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present covenant and to the convention on the prevention and punishment of the crime of genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a find judgement rendered by a competent court” Namun sejak 1989 terdapat protokol tambahan (additional protocol) yakni Second Optional Proocol to the InternationalCovenant on Civil and Political Rights, Aiming at the Abolition of the Death Penalty, yang tidak membolehkan reservasi (non-reserved protocol) atas larangan pidana mati kecuali dalam keadaan perang. Indonesia memang tidak atau belum menandatangani second optional protocol tersebut sehingga tidak harus serta merta menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasionalnya. Pelaksanaan pidana mati dikatakan bukan pelanggaran HAM dan tidak dapat dianggap sebagai penghambat dalam penegakan HAM dikarenakan (1) Secara yuridis formal pidana mati dibenarkan; (2) Pidana mati tetap diperlukan dengan melihat adanya kejahatan-kejahatan manusia yang tidak dapat ditolerir lagi. Hingga tahun 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti : KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM21. Apabila menyimak hukuman pidana mati dalam Rancangan KUHP baru sebagai ius constituendum, pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya untuk mengayomi masyarakat22. Selanjutnya ada beberapa ketentuan yaitu (1) 21
Mia Amalia, Masalah Pidana Mati Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 Nomor 02 September 2012, hlm. 560. 22 Pasal 87 RUU KUHP.
61
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak; (2) Pelaksanakaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum; (3)Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh; (4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden23. Selanjutnya dinyatakan bahwa Pertama, reaksi pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun jika: (a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapa untuk diperbaiki; (c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting dan; (d) ada alasan yang meringankan. Kedua, jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan hak asasi manusia. Ketiga, jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan antas perintah Jaksa Agung24. Selanjutnya apabila grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden25. Konsep KUHP atau sistem hukum pidana materiil dilatarbelakangi pemikiran yang secara garis besar dapat disebut ide keseimbangan. Bertitik tolak dari ide keseimbangan monodualistik maka tujuan pemidanaan menurut konsep KUHP diarahkan pada dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan
23
Pasal 88 RUU KUHP. Pasal 89 RUU KUHP. 25 Pasal 90 RUU KUHP. 24
62
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
perlindungan pembinaan individu. Pidana mati merupakan pidana alternatif yang digunakan sangat selektif dan sebagai upaya terakhir26. Selain itu dipertahankannya pidana mati didasarkan pada ide menghindari tuntutan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam/emosional/sewenangwenang tidak terkendali atau bersifat extralegal execution artinya disediakannya pidana mati dalam undang-undang dimaksudkan untuk memberikan saluran emosi/tuntutan masyarakat. Tidak tersedianya pidana mati dalam undang-undang bukan merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam kenyataan di masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Barda Nawawi Arief, untuk menghindari emosi balas dendam pribadi/masyarakat yang tidak rasional, dipandang lebih bijaksana apabila pidana mati tetap tersedia dalam undang-undang. Namun dalam penerapannya oleh hakim akan lebih selektif dan berdasarkan pertimbangan yang rasional dan terkendali27. D. PENUTUP 1. Simpulan Hukuman mati diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat yang lebih besar. Pelaksanaan pidana mati bukan pelanggaran HAM dan tidak dapat dianggap sebagai penghambat dalam penegakan HAM dikarenakan secara yuridis formal pidana mati dibenarkan dan pidana mati tetap diperlukan dengan melihat adanya kejahatan-kejahatan manusia yang tidak dapat ditolerir lagi. Hukuman mati dalam konsep KUHP baru sebagai ius constituendum dilatarbelakangi pemikiran yang secara garis besar disebut ide 26
Hal ini menjadi penting dikarenakan hukuman mati adalah hukuman yang bersifat irreverible (tidak dapat diubah) atau dengan kata lain bahwa ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan karena merupakan hasil karya manusia, Pudji Indah Lestari, Tinjauan Peranan PBB Dalam Perkembangan Penerapan Dan Penghapusan Hukuman Mati Di Dunia, hlm. 3. 27 Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas, dalam Mia Amalia, op. cit. 557.
63
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
keseimbangan yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan pembinaan individu. 2. Saran a. Kebijakan
formulasi
ancaman
pidana
mati
seyogyanya
pula
mempertimbangkan perlindungan atau kepentingan individu. b. Pidana mati merupakan pidana alternatif yang digunakan sangat selektif dan sebagai upaya terakhir.
DAFTAR PUSTAKA Manan, Bagir, Menurut Majelis Mahkamah Agung Hukuman Mati Bertentangan Dengan UUD 1945, Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 328 Maret 2013. MD, Moh. Mahfud, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,Pustaka LP3ES. Poernomo, Bambang, 1982, Yogyakarta,Liberty.
Ancaman
Pidana
Mati
di
Indonesia,
Samsul, Inosentius, Politik Hukum Pidana Mati, Info Hukum Singkat, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Volume VII No. 02/II/P3DI/Januari 2015. JURNAL Abimaniu, I Putu Indra Yoga, dkk, Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia, tersedia di www.ojs.unud.ac id., diakses 28 April 2015. Amalia, Mia, Masalah Pidana Mati Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 Nomor 02 September 2012. Aritonang, Timbul Tua Marojahan, Relevansi Sanksi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009) Dengan Tujuan Pemidanaan, Jurnal Mahupiki Volume 3 No. 1 (2014), Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
64
Indriati Amarini, Hukuman Mati Perlu dalam Rangka Melindungi....
Gunarto, Marcus Priyo, Sikap Memidana Yang Beorientasi Pada Tujuan Pemidanaan, Jurnal Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 1, Februari 2009. Herlina, Apong, Restorative Justice,Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3 No. III September 2004, hlm. 24 Tersedia di journal.ui.ac.id diakses Selasa 5 Mei 2015. Hernawati R.A.S., Penetapan Pidana Mati Dalam Sistem Pemidanaan, Tersedia di jurnal.fhunla. ac.id. diakses Senin, 4 Mei 2015. Purba, Nelvitia, Konstitusionalitas Hukuman Mati Di Indonesia, Jurnal Kultura, Volume 13 No. 1 Juni 2012, tersedia di www.umnaw.ac.id., diakses Minggu, 3 Mei 2015.
65