1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Hukum merupakan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, namun dalam perjalanannya hukum ini menjadi satu penentu yang nantinya mengatur jalannya suatu kehidupan.Kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan tanpa adanya hukum karena hukum sendiri mau tidak mau turut serta agar membantu kelancaran di dalam kegiatan kehidupan yang dijalani masyarakat. Hukum Indonesia adalah peraturan atau norma yang berlaku di Indonesia. Hukum yang terdapat di Indonesia dan berlaku saat ini, serta berlakunya hukum ini berdasarkan waktu tertentu disebut juga sebagai hukum positif ( Ius Constitutum ). Selain itu, hukum positif ini terbagi atas dua jenis, yaitu hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum Tertulis ( Statute Law = Written Law ), yakni Hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-perundangan satu Negara, contohnya; 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah Mengenai Hukum tertulis, ada yang telah dikondifikasikan, danada yang belum dikondifikasikan.Kodifikasi ialah pembukaan jenisjenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.Unsur kondifikasi meliputi, Jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata), sistematis dan lengkap.Tujuan kondifikasi dari hukum tertulis ialah memperoleh kepastian hukum,
2
penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. Berikut ialah contoh hukum yang sudah dikodifikasikan ; 1) Kitab Undang-undang Hukum Sipil ( 1 Mei 1848 ) 2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang ( 1Mei 1848 ) 3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( 1 Januari 1918 ) Hukum tidak tertulis ( Unstatutery Law = Unwritten Law ), yakni Hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan perundangan ( disebut juga hukum kebiasaan ), disebut juga Hukum Adat ( Adat Law ). Perhatian dari luar terhadap hukum adat, Bangsa Indonesia tidak lepas kontak dengan bangsa-bangsa lain. Istilah “ Hukum Adat “adalah terjemahan dari perkataan Belanda “ Adatrecht ”istilah “ Adatrecht “ ini ialah untuk pertama kali dipakai jadi merupakan ciptaan, Snouck Hurgronje, kemudian dipakai oleh pengarangpengarang lainnya. Tetapi kesemuanya ini memakainya masih sambil lalu dan hanya untuk hukum asli Indonesia asli, terlepas dan akibat pengaruh-pengaruh dari luar, seperti pengaruh agama.1 Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, tetapi hidup dan berkembang dimasyarakat serta ditaati oleh masyarakat itu sendiri.Keberadaan hukum adat ini mengikat bagi setiap warga masyarakat. Istilah hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Adat-Recht“ yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya “ De Atjehers “(orang-orang aceh). Istilah “ Adat-Recht “ ini kemudian dipakai pula oleh Van Vollenhoven yang menulis buku-baku / pokok tentang Hukum Adat dalam 3 jilid yaitu; “ Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie “ (Hukum Adat Hindia-Belanda).2 Hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Snouck Hurgronje, dan kemudian diikuti oleh para ilmuan lain seperti yang telah disebutkan dalam literatur diatas. Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya.Kebiasaan merupakan cerminan kepribadian suatubangsa.Ia adalah penjelmaan jiwa bangsa itu yang terus menerus berkembang secara evolusi dari abad keabad. 1
Pengantar Hukum Indonesia, http://www.HUKUM-ON.blogspot.com, diakses tanggal 2 juli 2013 2 Iman Sudiyat, 2010, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, cetakan keempat, Liberty,Yogyakarta, hlm.1
3
Perkembangannya itu ada yang cepat dan ada yang lamban. Secepat apapun perkembangannya, namun tidak bersifat revolusioner.Karena perkembangan yang revolusioner bersifat membongkar hingga keakar-akarnya.Perkembangan kebiasaan, walaupun cepat tetapi tidak membongkar semua akar kebudayaan bangsa itu, sebab didalamnya terdapat nilai-nilai yang menjadi dasarnya. Perkembangan selalu dilandasi oleh dasar yang menjadi pedoman mereka untuk mengubah, memperbaharui,atau menghilangkan sesuatu bagian dari kebiasaan itu jika kebiasaan itu sudah tidak fungsional lagi. Kebiasaan ini dibuat untuk dijadikan pedoman bagi anggota masyarakat berperilaku, dengan harapan apa yang menjadi tujuan hidup mereka tercapai.3 Kesimpulan dari pendapat Dominikus Rato tersebut bahwa adat adalah suatu kebiasaan yang terus menerus atau ajeg dilakukan dan diikuti oleh masyarakat karena dianggap baik, dan dipakai sebagai pedoman berperilaku bagi masyarakat. Hukum Adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum Adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, Karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.4 Tanah Air Indonesia mempunyai potensi yang sungguh-sungguh besar didalam bidang peternakandan hewani, sebagai karunia Tuhan yang wajib kita syukuri dan daya gunakan hingga dicapai manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat.Dalam pembangunan nasional, sektor peternakan lebih bersinggungan dengan software (perangkat lunak) yang salah satunya adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia.Ini 3
Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, cetakan pertama, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 1-2 4 R. Soepomo, 1993, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan Kesebelas, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 3
4
dikarenakan produk peternakan adalah sumber esensial protein hewani yang menjadi faktor penting dalam meningkatkan kecerdasan manusia.Kebutuhan protein hewani merupakan kebutuhan abadi dalam kehidupan manusia dan itu berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah penduduk bangsa Indonesia, sektor peternakan dapat dikatakan sebagai sektor strategis. Letak geografis yang strategis menunjukkan betapa kaya Indonesia akan sumber daya alam dengan segala flora, fauna dan potensi hidrografis dan deposit sumber alamnya yang melimpah. Sumber daya alam Indonesia berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi. Sebagai Negara agraris, pertanian menjadi mata pencaharian terpenting bagi sebagian besar rakyat Indonesia.Luas lahan pertanian lebih kurang 82, 71 % dari seluruh luas lahan.Lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk areal persawahan.Penyebaran produksi padi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa sehubungan dengan tingginya produktivitas dan luas panen dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.Produksi pertanian lainnya adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai.Produksi holtikultura jenis sayur mayur meliputi bawang merah besar, bawang daun, kentang, kubis dan wortel.Produksi holtikultura jenis buah-buahan meliputi mangga, durian, jeruk, pisang, pepaya dan salak. Populasi peternakan di Indonesia terdiri atas populasi ternak besar seperti, sapi perah, sapi potong, kerbau, dan kuda. Populasi ternak kecil meliputi: kambing, domba, dan babi. Sementara populasi ternak unggas terdiri dari ayam kampung, ayam ras petelur, ayam
5
ras pedaging dan itik.Diantara hasil ternak yang saat ini memiliki prospek ekspor adalah kulit olahan (disamak).5 Pembangunan Nasional yang dilaksanakan Bangsa Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, secara adil dan merata.6 Rakyat kita yang sangat memerlukan protein-hewani, perlu dibimbing ke arah kebiasaan-kebiasaan baru, hingga mereka benarbenar terjamin dalam kebutuhan-kebutuhan protein tersebut.Kebiasaan-kebiasaan baru itu tidaklah sekedar terbatas pada kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud, tetapi perlu diperluas dengan pengetahuan dan kesadaran-kesadaran,bagaimana cara memperolehnya, memeliharanya dan memperkembangkannya untuk kepentingan Rakyat, Bangsa dan Negara, bahkan untuk kepentingan sesama manusia.7 Dalam penyediaan makanan sehat dan bergizi, sektor peternakan menjadi sangat strategis.Selain sektor perikanan, penyedia pangan sumber protein hewani lainnya adalah sektor peternakan.Penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta jiwa lebih, peluang pasar produk peternakan masih sangat luas.Penduduk yang tersebar di 34 propinsi dan lebih dari 450 kabupaten dengan segala potensi wilayahnya merupakan tantangan besar dalam mengembangkan
berbagai
komoditas
ternak
di
seluruh
Indonesia
berdasarkan potensi wilayahnya. Apabila komoditas ternak yang ada sekarang tidak ada yang sesuai dikembangkan di suatu wilayah tertentu, 5
Sumber Daya Alam, “Potensi‐Daerah”, http://www.indonesia.go.id, diakses tanggal 2 Juli 2013 6 Iman Sudiyat, 2000, Hukum Adat Sketsa Asas, cetakan keempat, Liberty, Yogyakarta, hlm.1 7 Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
6
kita perlu mendomestikasi hewan baru untuk dijadikan ternak. Dengan demikian,
Indonesia
yang
disebut-sebut
sebagai
negara
dengan
megadiversitas hayatinya (flora dan fauna) benar-benar dapat menyediakan pangan dan kebutuhan pokoknya bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya sendiri. Secara tidak langsung, sektor peternakan menjadi salah satu faktor penentu dalam membangun sumberdaya manusia berkualitas yang akan membawa bangsa dan negara Indonesia ke arah yang lebih maju dan lebih modern pemikirannya.8 Dalam hukum adat dikenal hak-hak kebendaan, dan dalam hukum adat tidak mengenal perbedaan antara benda-benda tetap dan benda-benda bergerak.Tetap atau tidak tetapnya suatu benda dilihat dari kemungkinan dan keadaannya.9Salah satu hak-hak kebendaan adalah hak-hak kebendaan atas ternak. Mengenai Ternak, undang-undang sudah mengatur dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Mengenai ketentuan hukumnya diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi; “Pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan tanggung jawab para ahli“.
8
Seminar Persusuan, “Mewujudkan Sektor Peternakan Sebagai Pilar Pembangunan Nasional”, STTP Malang, 4 Mei 2004 9 Hilman Hadikusuma, 1994, Hukum Perjanjian Adat, cetakan keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.6
7
Diantara kebijaksanaan Pemerintah perlu memperhatikan bentuk hukum yang tumbuh dan berkembang di Negara kita ini yang cocok untuk rakyat dan cocok pula untuk bidang-bidang produksi.Pemerintah wajib menyediakan fasilitas-fasilitas, yang memungkinkan tumbuhnya peternakan dan produksi-produksi yang ada hubungannya dengan itu.Pertumbuhan ternak dalam rangka pertanian dan keadaan masyarakat desa, maka bagi hasil dan sewa ternak merupakan unsur-unsur yang sudah menjadi kebiasaan.Dalam hal ini Pemerintah wajib dapat mencegah adanya penyalahgunaan seperti pemerasan dan lain sebagainya serta memperhatikan benar-benar hukum-hukum agama, terutama agama islam, yang dalam hal itu menitik beratkan pada segi amanat yang dititipkan oleh pemilik ternak. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam Pasal 17 disebutkan bahwa; bagi hasil ternak dan persewaan ternak ; 1.Peternakan atas bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat, yang dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain, untuk dipelihara baik-baik, diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. 2.Waktu tertentu termaksud dalam ayat (1) tidak boleh kurang dari 5 (lima) tahun, dalam hal yang dipeternakkan atas bagi hasil itu ialah ternak besar. Bagi ternak kecil jangka waktu itu dapat diperpendek.
8
3.Jika pengembalian ternak dikembalikan dalam bentuk ternak, yang harus diberikan pemilik adalah jumlah pokok semula ditambah sepertiga jumlah keturunan ternak semula. 4.Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai soal yang diatur pada ayat (2) sampai pada ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 5.Pemerintah Daerah Tingkat II dengan memperhatikan Pasal 5 dan Pasal 22 undang-undang ini dapat mengadakan peraturan tentang sewa menyewa ternak didaerahnya dengan mengindahkan petunjuk-petunjuk menteri. Keseluruhan Pasal 17 ini dimaksudkan untuk
memberikan
kemungkinan bagi yang kurang mampu untuk memiliki ternak tanpa terjerat oleh tindakan pemerasan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5. Ayat (2) dan ayat (3). Ayat-ayat ini ditafsirkan sebagai berikut: a. pemilik ternak hanya berhak menuntut untuk dikembalikan ternaknya yang digaduhkan beserta keturunannya setelah 5 tahun. b. penggaduh dapat mengembalikan keturunannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setiap saat ia mampu dan menghendakinya. Pertimbangan ayat-ayat ini adalah: a. untuk menjamin pelaksanaan Pasal 5, yakni menghindari unsur pemerasan.
9
b. dengan mengindahkan sub-a di atas, namun yang mengurangi hasrat pemilik ternak untuk menggaduhkan. Bagi hasil ternak dan persewaan ternak tersebut dalam pasal ini ditentukan atas dasar persetujuan dan perjanjian pihak-pihak yang bersangkutan dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan minimal yang tercantum dalam pasal ini. Hak milik numpang atas ternak dapat dikarenakan adanya perjanjian antara pemilik numpang atas ternak dengan pemilik ternaknya atas dasar perjanjian “bagi hasil piara” atau “bagi hasil karya“. Terjadinya bagi hasil piara adalah dikarenakan pemilik ternak menyerahkan atau menitipkan ternaknya, bagi hasil karya dapat dikarenakan pemilik ternak menyerahkan penguasaan dan pemeliharaan kerbau atau sapi untuk dikaryakan oleh sipemelihara.10 Perjanjian bagi hasil ternak berlaku antara pemilik dengan para pengurus atau pemeliharanya, dimana perhitungan bagi hasilnya dilakukan pada setiap waktu dilakukan tahunan dengan menghitung jumlah anaknya. Dalam masyarakat hukum adat Jawa, berlaku sistem bagi hasil yang disebut “maro anak” atau membagi dua anak, “mertelu anak” atau membagi tiga anak dan “marobati” atau membagi laba dari hasil pemeliharaan setelah sapi/kerbau dinilai harga pasarannya. Demikianhalnya apabila sapi yang dibagi hasilkan atau yang dititipkan atau yang diserahkan adalah sapi perah, kalau sapi perah selain anak yang dibagihasilkan juga susu yang dihasilkan oleh sapi perah tersebut. Demikian pula apabila pemelihara ternak berhasil memelihara, ia mendapatkan keuntungan dari hasil susu dan bagian 10
Ibid, hlm. 19
10
hasil.Para pihak dalam bagi hasil ternak sapi dapat dilakukan antara sesama warga desa maupun dari desa yang berbeda.Selanjutnya, ada hak yang harus diterima dan ada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemilik dan pemelihara sapi, kemudian dalam pengadaan ternak sapi, sebagian besar pemelihara harus menentukan sendiri sapi peliharaannya dan terakhir adalah pembagian hasil berdasarkan kesepakatan.Hubungan antara pemelihara atau “penggaduh” dan pemilik umumnya kuat dan tahan lama karena mereka saling membutuhkan untuk menjaga hubungan baik mereka.Dulu para pemilik dan pemelihara “penggaduh” biasanya yang dibagihasilkan adalah ternaknya saja, pada sapi betina
yang dibagihasilkan anak yang
dihasilkannya selama digaduh, sedangkan sapi jantan yang dibagihasilkan harga jual sapi jantan setelah digaduhkan. Namun belakangan, para pemilik ternak yang menggaduhkan sapi perah, selain membagihasilkan anak juga membagihasilkan susunya. Berkaitan dengan perjanjian bagi hasil yang terdapat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman berdasarkan pra-riset dapat diketahui bahwa pada saat pembagian hasil dari penggaduhan/penitipan sapi perah tersebut tidak sesuai dengan perjanjian pada awal kesepakatan. Akan tetapi, pada saat pembagian hasilsusu dari ternak sapi perah dalam prakteknya terdapat pengurangan-pengurangan bagian yang harus diterima pemilik sapi.Dalam perjanjian bagi hasil sapi ini, antara pihak pemilik ternak dan pihak pemelihara ternak dilakukan berdasarkan
“kepercayaan”
sehingga
perjanjiannya
dibuat
tidak
11
tertulis.Artinya perjanjian bagi hasil tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Adapun kebiasaan masyarakat desa yang melakukan perjanjian maro atau perjanjian bagi hasil ternak sapi perah sebagaimana diuraikan diatas, menjadi menarik bagi penulis untuk dilakukan penelitian dengan judul “ Pelaksanaan Bagi Hasil Ternak Sapi Perah di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Dikaitkan Dengan UU nomor 6 tahun 1967 “,
sehingga
perjanjian
yang
didasarkan
pada
kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat menjadi jelas.
B.
Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan bagi hasil ternak sapi perah di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman ? 2. Bagaimanakah penyelesaian masalah dengan terjadinya sengketa antara pihak pemilik ternak dan pemelihara atau “penggaduh” ternak ?
C.
Keaslian Penelitian
12
Sepengetahuan penulis setelah dilakukan penelusuran kepustakaan dilingkungan fakultas hukum , Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, penelitian tentang “ Pelaksanaan Bagi Hasil Ternak Sapi Perah Di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Dikaitkan Dengan UU Nomor 6 Tahun 1967“, sepanjang pengetahuan belum pernah dilakukan penelitian oleh mahasiswa lainnya dan belum pernah diajukan sebagai tesis. Akan tetapi, penulis temukan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan memiliki obyek penelitian serupa, meskipun demikian di dalamnya tidak terdapat kesamaan. Tetapi dalam hal ini, penulis jadikan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian. Adapun penelitian yang telah dipublikasikan tersebut adalah : 1. R.Ari Widianto, Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Ternak Di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, Hukum Keperdataan, Universitas Gadjah Mada, 1996;11 Permasalahan: a. Apakah alasan yang mendorong pemilik ternak (pemerintah dan non pemerintah) mengadakan perjanjian bagi hasil ternak dengan pemelihara? b. Bagaimana pelaksanaan perjanjian bagi hasil ternak di Kabupaten Dati II Sleman?
11
R. Ari Widianto, 1996, Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Ternak Di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, Hukum Keperdataan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
13
2. Fitri Nur Cholifiati, Asas Kepercayaan Dalam Perjanjian Bagi Hasil Ternak Sapi Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, 2010;12 Permasalahan: a. Bagaimanakah implementasi asas kepercayaan dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil ternak sapi di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali? b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perjanjian bagi hasil ternak antara pemilik dan pemelihara sapi di Kecamatan Musuk didasarkan atas “kepercayaan”? c. Bagaimanakah cara penyelesaian perselisihan antara pemilik dan pemelihara ternak sapi apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil? Kedua judul penelitian skripsi dan tesis diatas, terdapat perbedaan judul dan obyek penelitian. Kedua penelitian diatas meneliti tentang ternak sapi pada umumnya,bukan sapi perah seperti penelitian yang akan penulis teliti. Oleh karena itu penulis menjamin keaslian penelitian, akan tetapi jika ada tema yang hampir sama, penulis berharap penelitian ini dapat saling melengkapi satu sama lain.
D.
Tujuan Penelitian
12
Fitri Nur Cholifiati, 2010, Asas Kepercayaan Dalam Perjanjian Bagi Hasil Ternak Sapi Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
14
Sehubungan dengan permasalahan penelitian yang telah diuraikan diatas maka, tujuan penelitian adalah untuk: 1. Untuk mengetahui danmengkaji sistem bagi hasil ternak sapi perah di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui penyelesaian masalah dengan adanya sengketa antara pihak Pemilik ternak dan pihak pemelihara ternak atau “penggaduh” ternak.
E.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitianadalah menjadi harapan bagi setiap peneliti, baik kegunaan
bagi ilmu pengetahuan maupun masyarakat, penelitian ini
diharapkan berguna:
1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah dan melengkapi khasanah ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum Adat yang ada di masyarakat pada umumnya dan magister kenotariatan khususnnya. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukkan dalam melaksanakan bagi hasil sapi perah bagi masyarakat dan bagi penulis guna untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat