Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA
M. Kholil Nawawi Ketua Jurusan Syariah dan Dosen Tetap Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor Abstract Zakat and taxes are two obligations that must be implemented by Muslims in Indonesia. This paper aims to examine the similarities and differences between zakat and taxes. Although both a liability in the field of property, but zakat and taxation both have own philosophy, and they vary in nature and principle, different source, target, and measure parts, and also different in the principles, objectives and guarantee. This paper also stressed that the people who pay taxes cannot be said to have paid the zakat, otherwise, those who have to pay zakat cannot be said to have paid the tax. However, if tax funds are used for things that are diametrically opposed to the values of Islam and the common good, and it has to be used for corruption etc, it is not obligatory for the Muslims of Indonesia to pay taxes. Keywords: zakat, taxes, Muslims, Indonesia
Abstrak Zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam persamaan dan perbedaan antara zakat dengan pajak. Meski sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun zakat dan pajak mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, di samping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Ditekankan pula bahwa orang yang membayar pajak tidak dapat dikatakan telah membayar zakat, dan orang yang telah membayar zakat tidak dapat dikatakan telah membayar pajak. Meskipun demikian, apabila dana pajak dipergunakan untuk hal-hal yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan kemaslahatan umum, serta tidak jelas pengelolaannya bahkan menjadi peluang untuk terjadinya korupsi dan lainya, maka tidak wajib bagi umat Islam Indonesia untuk membayar pajak. Kata Kunci: zakat, pajak, umat Islam, Indonesia
I. PENDAHULUAN Kajian tentang zakat di Indonesia, pasti akan bersentuhan dan bersinggungan dengan pajak, terlebih sejak lahirnya Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (yang kini telah digantikan Undang-undang Nomor 23 tahun 2011) dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak. Ada yang mempertentangkan antara pembayaran pajak dengan pembayaran zakat. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa umat Islam di Indonesia seolah-olah menanggung dua beban, yaitu pajak dan zakat. Untuk menghindari 156
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
terjadinya beban ganda ini ada yang berpendapat agar zakat yang dibayarkan kepada amil yang ditunjuk penguasa dapat megurangi beban pajaknya kepada negara. Menarik untuk dipahami pernyataan Wahbah Zuhaili bahwa pajak tidak bisa dizakatkan dan zakat tidak bisa dipajakkan. Pernyataan ini secara mudah dapat dipahami karena antara pajak dan zakat keduanya bertolak dari kutub yang berbeda. Bahwa orang yang membayar pajak tidak dapat dikatakan telah membayar zakat, dan orang yang telah membayar zakat tidak dapat dikatakan telah membayar pajak. Konsekwensi dari adanya perbedaan yang mendasar tersebut, masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan telah memenuhi syarat, diwajibkan membayar pajak sebagai kewajiban warga negara dan juga wajib menunaikan zakat sebagai kewajiban agama yang dianutnya. Masalahnya mana dulu yang harus dibayar: pajak atau zakat. Beruntunglah bahwa waktu yang ditetapkan untuk membayar pajak berbeda dengan waktu untuk membayar zakat. Waktu untuk membayar pajak telah ditetapkan sebagai tahun fiskal yaitu dari bulan Januari s/d Desember dan paling lambat dibayarkan pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Sedang waktu membayar zakat disesuaikan dengan kondisinya yaitu dihitung setelah satu tahun dari memulainya pada zakat perdagangan/perusahaan, emas dan perak, hewan ternak dan ketika panen pada zakat pertanian . Karena waktu berjalan terus, maka tidak dapat ditentukan lagi mana yang terlebih dahulu pajak atau zakat. Keberatan membayar pajak karena telah membayar zakat sebenarnya juga merugikan umat Islam sendiri apalagi dalam keadaan dimana pembayaran zakat belum sesuai dengan yang seharusnya. Penurunan penerimaan pajak akan mengakibatkan menurunnya kemampuan Pemerintah dalam membiayai pembangunan sektor agama dan sektor-sektor lainnya yang menjadi sasaran pembayaran zakat. Dengan demikian beban ganda yang ditanggung umat Islam itu telah diimbangi dengan manfaat ganda yang diterima umat Islam. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah pandangan kritis terhadap literatur yang ada dan observasi terhadap kondisi yang berkembang saat ini. II. PENGERTIAN ZAKAT DAN DASAR HUKUM ZAKAT Zakat menurut pengertian bahasa adalah mempunyai beberapa arti kata “alMusytarak” artinya yang mempunyai pengertian lebih dari satu) al-namâ ialah tumbuh , ath-Thaharatu ialah kesucian dan ash-Shalahu artinya beresan. Kata “zakat” itu berlaku umum bagi shadaqah wajib, shadaqah sunnah, nafaqah, ampunan dan hak.1 Menurut Nuruddin Mhd. Ali, ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan bantuk kata dasar (masdar) dari zakaa yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Karenanya, zakaa, berarti tumbuh dan berkembang, bila dikaitkan dengan sesuatu juga bisa berarti orang itu baik bila dikaitkan dengan seseorang. Sedang menurut istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyarakatn tertentu pula.2 Zakat adalah rukun Islam yang ketiga. Dasar hukum wajibnya cukup banyak dan jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan al-hadits. Karenanya umat Islam telah Ijma’.
1
Imam Muhammad Ibnu Ismail, Subulus Salam Juz II (Surabaya; Alhidayah, 1926), hlm.120.
2
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta; Gema Insani Press, 2002), hlm.7.
157
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
Harta yang dibagi-bagi itu namanya zakat, sedangkan kata zakat itu berarti bertambah suci dan berubah, karena dengan dikeluarkannya zakat diharapkan kekayaan menjadi bertambah, suci dan barakah (serba berkecukupan). Madzhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari’at karena Allah.3 Menurut Madzhab Syafi’i zakat adalah sebuah ungkapan keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut madzhab Hanbali, zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.4 Meskipun zakat merupakan ibadah fardhiyah yang diwajibkan secara individual, namun berimplikasi luas pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Zakat dengan definisi sedekah wajib sebenarnya hanya merefleksikan nilai spiritual dan nilai kedermawanan dalam Islam. 5 Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendefinisikan zakat sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang, tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam.6 Zakat telah dijelaskan dalam al-qur’an pada 82 ayat (tempat). Dari antara ayat alQur’an tersebut ialah surat at-Taubah ayat 103 yang berbunyi: ِن ُ ْھ أُم َْﻣ ْو َو َﺗ اﻟُز َ ﻛ ﱢ ﯾ ْﮭ ِ م ْ ﺑ ِ ﮭ َﺎ و َ ﺻ َ لﱢ ﻋ َﻠ َ ﯾ ْﮭ ِ م ْ إ ِن ﱠ ﺻ َﻼ َﺗ َك َ ﺳ َﻛ َ ن ٌ ﻟ َﮭُم ْ و َ ﷲﺳ ُ َ ﻣ ِ ﯾ ْ ﻊ ٌ ﻋ َ ﻠِﻲ ﻣﮭﱢ ر:َ ِﮭ ِ م ْ ﺻ َد َ ﻗ َﺔ ًﺧ ﺗُذ ُْط Artinya,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka”. Maksudnya, dengan zakat itu mereka menjadi bersih dari kekikiran dan berlebih-lebihan dalam mencintai harta mereka.” Dan surat ar-Ruum 39 yang berbunyi:
َ ِن ْد َ ز َ ﻛ َ ﺎةٍ ﺗ ُر ِ ﯾد ُون َ و َ ﺟ ْ ﮫ َ ﷲ ِ ﻓ َﺄ ُوﻟ َ ﺋِك َ ھ ُ م ُ اﻟ ْ ﻣ ُﺿ ْ ﻌ ِﻔ ُون ْ َر ْْﺗﺑُمُو ْ ﻋﻣ ِﻧ ﷲ ِ ِ و َﻓ ﻣَﻼ ََﺎ ﯾآﺗ َ ﯾ ﻟِﯾ َر ْ ﺑُو َ ﻓﻲ ِ أ َﻣ ْ و َ ال ِ اﻟﻧ ﱠﺎس:ﻣ َﺎ آﺗ َ ﯾ ْﺗ ُم ْ ﻣ ِن ْ ر ِ ﺑ ًﺎ Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar- Ruum : 39) Zakat disebut hak, oleh karena memang zakat itu merupakan ketetapan yang bersifat pasti dari Allah SWT yang harus diberikan kepada mereka yang berhak menerimnya (mustahik).7 Untuk menegaskan wajibnya kaum muslim menunaikan ibadah zakat maka harus melihat adanya sumber hukum atau pedoman sebagai acuan dalam mengikuti hukum 3
Wahbah Zuhailiy, Zakat Kajian Beberapa Madzhab (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2000), h.. 83.
4
Ibid, hal. 84.
5
Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat (Yogyakarta; Graha Ilmu, 2007), h.. 153.
6
7
Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2003),h..3.
Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infaq Shadaqah (Jakarta: Gema Insani, 1998), h.. 15
158
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
Islam. Ajaran Islam itu bersifat dinamis dan responsif terhadap situasi zaman dan tempat serta mampu menjawab tuntutan-tuntutan pembaharuan dan perkembangan zaman. Demikian pula dengan zakat, sebuah ajaran yang berkaitan dengan harta dan pribadi orang perorangan pemilik harta, bersih harta dan bersih pula hati pemilik harta dari sifatsifat tercela (kikir, hasad dan tak peduli). Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Pertumbuhan dan perkembangan usaha manusia yang mendatangkan hasil dan keuntungan membawa pengaruh pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan zakat. Seseorang yang memenuhi syarat-syaratnya, yaitu setiap muslim yang mempunyai kekayaan-kekayaan itu sampai pada nisabnya, wajib mengeluarkan zakatnya. Para pengusaha yang sukses apakah melalui usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perhutanan, pertambangan, perindustrian, perdagangan, dan jasa atau usaha-usaha lainnya harus menyadari bahwa di dalam kekayaannya itu ada sebagian milik orang lain yang harus diberikan kepada yang berhak menerimanya melalui zakat bila telah sampai nisabnya. Dan jika belum sampai nisabnya, mengamalkan sebagian hartanya melalui infaq dan shadaqah.8 Adapun landasan dasar wajib berzakat ini disebutkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat ulama. a. Al-Qur’an Di dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain : “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' “(QS. Al-Baqarah : 43) “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (al-Baqarah : 267) ﺳ َ ﻣ ِ ﯾ ْ ﻊ ٌ ﻋ َ ﻠِﻲ ُ ِﮭ ِ م ْ ﺻ َد َ ﻗ َﺔ ًﺧ ﺗُذ ُْط َﻣﮭﱢِنرْ ُ ھأُم َْﻣ ْ و َ ﺗاﻟُز َ ﻛ ﱢ ﯾ ْﮭ ِم ْ ﺑ ِ ﮭ َﺎ و َ ﺻ َ لﱢ ﻋ َﻠ َ ﯾ ْﮭ ِم ْ إ ِن ﱠ ﺻ َﻼ َﺗ َك َ ﺳ َﻛ َ ن ٌ ﻟ َﮭُم ْ و َ ﷲ Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (at-Taubah : 103) b. Hadits/Sunnah Dalam hadits / sunnah Rasulullah SAW diterangkan antara lain : Dalam hadits riwayat Bukhari Rasulullah Bersabda : Artinya : Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambl dari orang-orang kaya mereka kemudian diserahkan/diberikan kepada orang-orang miskin di kalangan mereka. (HR Bukhari) A. Orang yang berhak menerima zakat Orang yang berhak menerima zakat fitrah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an ada delapan Golongan. “Sesungguhnya sedekah – sedekah (zakat) itu hanya untuk orang – orang Fakir, Miskin, Pengurus zakat (amil),orang – orang yang telah dibujuk hatinya (muallaf), Untuk 8
B. Wiwoho, Usman Yatim, Enny A. Hendargo (Ed.), Zakat dan Pajak ( Jakarta; PT. Bina Rena Pariwara, 1991), h..30.
159
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
memerdekakan budak – budak yang telah dijanjikan akan dimerdekakan, orang yang berhutang (gharim) untuk dijalan Allah (sabilillah) dan untuk orang musafir (orang yang dalam perjalanan). Yang demikian ketentuan Allah” (Q.S. At taubah : 60) Penjelasan ayat tersebut menurut imam syafi’i sebagai berikut : a) Fakir, adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak memiliki harta. b) Miskin, adalah orang yang memiliki pekerjaan namun penghasilanya tidak mencukupi kebutuhannya. c) Amil, adalah panitia yang menerima dan membagikan zakat. d) Muallaf, adalah i. Orang yang baru masuk Islam karena Imannya belum teguh. ii. Orang Islam yang berpengaruh pada kaumnya dengan harapan agar orang lain dari kaumnya masuk Islam. iii. Orang Islam yang berpengaruh di orang Kafir agar kita terpelihara dari kejahatan orang – orangkafir dibawah pengaruhnya. iv. Orang yang sedang menolak kejahatan dari orang – orang yang anti zakat. e) Riqab, adalah budak yang ingin memerdekakan diri dengan membayar uang tebusan. f) Gharim, adalah orang yang banyak hutang, baik untuk diri sendiri maupun untuk mendamaikan orang yang berselisih maupun untuk menjamin hutang orang lain. g) Sabilillah, adalah untuk kepentingan agama. h) Ibnu sabil, adalah musafir yang kehabisan bekal. III. PENGERTIAN PAJAK Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran umum. Menurut Prakoso pengertian “Pajak adalah iuran wajib anggota masyarakat kepada negara karena Undang-Undang, dan atas pembayaran tersebut pemerintah tidak memberikan balas jasa yang langsung dapat ditunjuk.” Sedangkan pengertian pajak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa Pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dsb. Menurut Sudarsono (1994) pajak adalah iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya yang menurut peraturan dengan tidak dapat mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk penggunaannya dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Soemitro (1997,h.7) mengatakan pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir kepada sektor pemerintahan) berdasarkan
160
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dan dapat ditunjuk untuk membiayai pengeluaran umum. Pajak juga dapat diartikan penyerahan sebagian kekayaan kepada Negara karena suatu keadaan tertentu, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman tetapi menurut pemerintah hal ini dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. Pajak adalah suatu cara Negara untuk membiayai pengeluaran secara umum disamping kewajiban suatu warga Negara. Secara politik pajak merupakan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan pertahanan menuju masyarakat yang berkeadilan. Oleh karena itu pajak merupakan alat yang paling efektif dari kebijakan fiskal untuk menggerakkan partisipasi rakyat kepada Negara. Pajak juga dapat dipandang dari berbagai aspek, dari sudut pandang ekonomi pajak merupakan alat untuk menggerakkan ekonomi yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak juga digunakan sebagai motor penggerak kehidupan ekonomi rakyat. Dari sudut pandang hukum pajak adalah masalah keuangan Negara, sehingga diperlukan peraturan-peraturan pemerintah untuk mengatur permasalahan keuangan Negara. Dari sudut pandang keuangan pajak dipandang sebagai bagian yang sangat penting. Dari pengertian-pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah : a. Iuran masyarakat kepada negara, dimana swasta atau pihak lain tidak boleh memungut. b. Berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dimana mempunyai kekuatan hukum. c. Tanpa balas jasa (prestasi) dari negara yang dapat langsung ditunjuk. d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah. e. Apabila terdapat surplus dipakai untuk membiayai public investment
IV. TUJUAN DAN FUNGSI PAJAK Secara umum tujuan diberlakukannya pajak adalah untuk mencapai kondisi meningkatnya ekonomi suatu Negara : 1. untuk membatasi konsumsi dan dengan demikian mentransfer sumber dari konsumsi 2. untuk mendorong tabungan dan menanam modal 3. untuk mentransfer sumber dari tangan masyarakat ke tangan pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi pemerintah 4. untuk memodifikasi pola investasi 5. untuk mengurangi ketimpangan ekonomi 6. untuk memobilisasi surplus ekonomi V. SUBYEK, OBYEK DAN BESARAN PAJAK Subjek pajak adalah : Orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk usaha tetap. Objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, 161
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
memelihara penghasilan, penyusutan, iuran, kerugian, biaya penelitian pengembangan perusahaan dan piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih.
dan
Pajak penghasilan yang terutang adalah sebesar jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh berdasarkan pasal 17 no. 17 tahun 2000 yaitu (PKP dalam rupiah). - Orang Pribadi # PKP s/d 25 juta Rp. 05 % # > 25 juta s/d 50 juta Rp. 10 % # > 50 juta s/d 100 juta Rp. 15 % # > 100 juta s/d 200 juta Rp. 25 % # > 200 juta Rp. 35 % - Badan # PKP s/d 50 juta Rp. 10 % # > 50 juta s/d 100 juta Rp. 15 % # > 100 juta Rp. 30 % VI. ZAKAT DAN PAJAK DALAM ISLAM Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Dalam hukum Islam, istilah pajak dapat diartikan Al-jizyah, Al-kharaaj, Adhdhariibah dan Al-usyuriyah. Al-jizyah merupakan suatu bagian kekayaan yang diambil dari orang-orang kafir dzimmi sebagai kewajiban baginya, karena telah dilindungi keselamatan diri dan hartanya oleh pemerintah Islam. Al-kharaj merupakan suatu bagian kekayaan yang telah dikeluarkan oleh setiap penduduk yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintah Islam, bagi yang memiliki tanah pertanian atau perkebunan. Sedangkan istilah Adh-Dhariibah merupakan suatu bagian kekayaan yang dikeluarkan oleh orang-orang kafir yang telah ditaklukan oleh tentara Islam dengan sebutan “Ahlu Harbi”. Kalau mereka dibebani pajak 10% dari harta kekayaan, maka hal itu disebu Al‘usyuriyah.
VII. HAKIKAT PAJAK DAN ZAKAT Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara. Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya. Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak: a. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan b. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat) c. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi. 162
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
d. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan. Adapun segi perbedaannya: a. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti. b. Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah. c. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah. d. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah. e. Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara. f. Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri. g. Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya. a. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya.9 Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat. b. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir 10 karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin c. Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orangorang yang berhak.11 d. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya
9
10
11
Lihat At-Taubah : 60 Lihat Al-Mughni 4/200 Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
163
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
Tabel 1. Persamaan antara zakat dan pajak Uraian Unsur paksaan
Zakat
Pajak
at-taubah : 103 dan diperangi
peringatan dan penyitaan
Pada masa kholifah Abu Bakar Unsur pengelola
Badan Amil Zakat (BAZ)
Tujuan
Kesejahteraan masyarakat
Imbalan
tidak ada imbalan
Dijen Pajak, KPPN “Pembangunan kesejahteraan” tidak ada imbalan
Tabel 2. Perbedaan zakat dengan pajak Zakat Nama Dasar hukum Al-Qur’an dan al-Hadits Sifat Subyek Ketentuannya
Kewajiban Kenegaraan Umat Islam saja Dari pembuat syari’at (Allah)
Kelestarian dan keberlangsungannya
Bersifat tetap dan terus menerus
Hubungan dengan Penguasa
Hubungannya dengan Allah
Pajak Undang-undang & PP. Kewajiban Agama Semua warga negara Kebijakan dan kekuatan dari penguasa Ada selagi diperlukan dan lenyap bila tidak diperlukan Hubungannya dengan pemerintah
Berdasarkan poin-poin di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat. Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al Qardhawi yang mengupas hal tersebut : VIII. PRINSIP KEADILAN ANTARA PAJAK DAN ZAKAT Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan hendaknt tetap memegang prinsip dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan, disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu 164
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
segi dan pihak pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh sebelumnya. Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan, yaitu: keadilan, kepastian, kelayakan dan ekonomis. a) Tentang Keadilan Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai pada: i. Sama rata dalam kewajiban zakat. Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama. ii. Membebaskan harta yang kurang dari nisab iii. Larangan berzakat dua kali. Banyak hadits yang menerangkan larangan ini. Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama: “Larangan Pajak Ganda”. iv. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan. Semakin mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang 10% dan 5%. Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan. v. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran. Dengan juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutanghutang yang dimiliki, dipungut dari pendapatan bersih, dan lainlain. vi. Keadilan dalam praktek. Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits sebagai berikut: “Orang yang bekerja memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah” (Hadits shahih). b) Tentang Kepastian Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas. c) Tentang Kelayakan Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik. Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya: i.
Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang memungut yang terbaik, misalnya ternak.
165
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
ii. iii. iv.
Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan buahbuahan. Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika terjadi wabah kelaparan. Dan lain-lain. d) Tentang Faktor Ekonomis Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi berbagai pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak. Islam sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan umum terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat berangkat untk mengumpulkan zakat, yang lalu dibagikan kepada yang berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi. Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian).
IX. HUKUM PAJAK MENURUT TOKOH-TOKOH MUSLIM 1. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31] 2. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah. “…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud:85] Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331] 3. Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam 4. Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)” 5. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan ( ِ )ﺻ َﺎﺣ ِاﻟ ْب ُﻣ َﻛ ْ سShahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr ( ُ )ْﻌ َ ﺷ ﱠﺎر. اﻟAdapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal 166
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam. 6. Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks ( ِ )ﺻ َ ﺎﺣ ِاﻟ ْب ُﻣ َﻛ ْ سadalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”. 7. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”. 8. Ijma’ kaum Muslimin, Imam Ibnu Hazm Al Andalusi Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al Ijma’ (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” 9. Fatwa moratorium pajak munas NU di Cirebon Jawa Barat sebagaimana yang di kemukakan ketua PB NU KH. Said Aqil Siraj “ kewajiban membayar pajak untuk sementara sebaiknya dihentikan (moratorium) sampai pemerintah bisa membuktikan tidak ada kebocoran dari sektor penerimaan pajak , dan tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk membayar pajak, yang ada hanya membayar zakat.“ (Radar Bogor, 18 September 2012 halaman 5). X. KESIMPULAN Dari kajian dan pembahasan tentang Hukum Zakat dan Pajak bagi umat Islam di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang merupakan ibadah maaliyah yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Untuk terjaminnya pengelolaan zakat dengan baik dalam lembaga zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) ditentukan harus adanya unsur pertimbangan, pengawas yang terdiri atas ulama, kaum cendikia, masyarakat dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola zakat yang tidak mencatat dengan tidak benar. Jika zakat dikelola dengan baik, pengambilan maupun pendistribusiannya, pasti akan mengangkat kesejahteraan masyarakat. 2 Pajak adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan yang dikeluarkan untuk Negara oleh Wajib Pajak dalam setiap tahun. Pendayagunaan pajak berfungsi sebagai Budgetair yaitu sebagai sumber dana bagi pemerintah dalam membiayai pengeluaranpengeluaran dan berfungsi untuk mengatur (Regulerend) yaitu sebagai alat untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam sosial ekonomi. Pajak Penghasilan yaitu 167
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
yang berkenaan dengan penghasilan yang diperolehnya selama satu tahun pajak. Penerimaan Pajak Penghasilan dibagi untuk pemerintah pusat 80 % dan 20 % untuk pemerintah daerah tempat Wajib Pajak. Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya dilakukan penagihan dengan surat paksa dalam bentuk tindakan penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak. 3. Di kalangan masyarakat terjadi perkembangan perbedaan pendapat tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Sebagian mempersamakannya secara mutlak dan sebagian lain membedakannya secara mutlak. Persamaan antara Zakat dan Pajak adalah unsur paksaan, unsur pengelola, dari sisi tujuan dan imbalan. Sedangkan perbedaannya adalah dari segi nama dan etikanya, segi dasar hukum dan sifat kewajiban, mengenai batas dan ketentuannya, mengenai kelestarian dan kelangsungannya, mengenai pengeluarannya, hubungan dengan penguasa dan maksud tujuannya. 4. Apabila dana zakat belum memenuhi kebutuhan mustahiq secara optimal, terutama dalam rangka peningkatan kwalitas kehidupanya atau untuk kepentingan negara dalam rangka pembangunan masyarakat secara lebih luas dalam berbagai sektor, maka bagi kaum muslimin Indonesia wajib menunaikan zakat sekaligus membayar pajak. Bahkan ajaran Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya menunaikan zakat, tetapi juga menunaikan imfak dan sedekah yang tidak terbatas jumlahnya sekaligus pemamfaatan dan pendayagunaanya yang sangat luas dan pleksibel yang sesuai dengan ajaran Islam. Tetapi apabila dana pajak dipergunakan untuk hal-hal yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan kemaslahatan umum serta tidak jelas pengelolaannya bahkan menjadi peluang untuk terjadinya korupsi dan lainya, maka tidak wajib bagi umat Islam Indonesia untuk membayar pajak.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat (terjemahan), Litera Antar Nusa, Bogor Baru, tt, B. Wiwoho, Usman Yatim, Enny A. Hendargo (Ed.), Zakat dan Pajak ( Jakarta; PT. Bina Rena Pariwara, 1991 Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2003 Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam perekonomian modern,Jakarta, Gema Insani press, 2002 ,
, Panduan Praktis Tentang Zakat Infaq Sedekah (Jakarta: Gema
Insani, 1998 Jahrah, Abu, Zakat Dalam Perspektif Sosial, terj. Ali Jawawi, Jakarta : Pustaka Firdaus, tt, Keputusan Menteri Agama RI nomor 581/1999 , Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38/1999, Bandung, BAZIS Kabupaten Bangdung, 2000. Mardiasmo, Perpajakan, Jogyakarta, Andi, 1997 Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat (Yogyakarta; Graha Ilmu, 2007 168
Nawawi -- HUKUM MEMBAYAR ZAKAT DAN PAJAK BAGI UMAT ISLAM DI INDONESIA Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September 2012 pp. 156-169 Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor
Tunggal, Hadi Setia, Peraturan pelaksanaan Undang-undang Perpajakan tahun 2000, Harvarindo, 2001 Undang-undang Perpajakan tahun 2000, Citra Umbara, Bandung, tt. Undang-undang RI Nomor 38/1999 Tentang Pengelolaan Zakat di lengkapi Panduan Praktis Amil Zakat, Jakarta, Forum Zakat, tt. Zuhaili, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, terj. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, tt.
169