Hukum Asalnya Adalah Poligami Rabu, 5 Mei 2004 08:13:25 WIB
HUKUM ASALNYA ADALAH POLIGAMI
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah hukum asal di dalam perkawinan itu poligami ataukah monogamy ? Jawaban. Hukum asal perkawinan itu adalah poligami (menikah lebih dari satu istri) bagi laki- laki yang mampu dan tidak ada rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim. (Yang demikian itu diperbolehkan) karena mengandung banyak maslahat di dalam memelihara kesucian kehormatan, kesucian kehormatan wanita-wanita yang dinikahi itu sendiri dan berbuat ihsan kepada mereka dan memperbanyak keturunan yang dengannya ummat Islam akan menjadi banyak dan makin banyak pula orang yang menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dalil poligami itu adalah firman Allah. “Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengawini lebih dari satu istri, dan Allah Subhnahu wa Ta’ala telah berfirman. “Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu” [Al-Ahzab ; 21] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda setelah ada beberapa orang sahabat yang mengatakan : “Aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang satu lagi berkata : “Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka”. Yang satu lagi berkata : “Aku tidak akan mengawini wanita”. Tatkala ucapan mereka sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau langsung berkhutbah di hadapan para sahabatnya, seraya memuji kepada Allah kemudian beliau bersabda.
“Artinya : Kaliankah tadi yang mengatakan “begini dan begitu ?!”. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa kepadaNya. Sekalipun begitu, aku puasa dan aku juga berbuka, aku shalat malam tapi akupun tidur, dan aku mengawini wanita. Barangsiapa yang tidak suka kepada sunnahku ini, maka ia bukan dari (umat)ku” [Riwayat Al- Bukhari] Ini adalah ungkapan luar biasa dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup satu istri dan lebih. Wabillahittaufiq. [Majalah Al- Balagh, edisi 1015, tanggal 19 R.Awal 1410H, Fatwa Ibnu Baz] [Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 392-394 Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=691&bagian=0
Apakah Poligami Itu Dianjurkan ? Kategori Pernikahan Jumat, 8 Desember 2006 00:36:54 WIB
POLIGAMI
Oleh Ummu Salamah As-Salafiyyah
Allah Ta'ala berfirman. “Artinya : … Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….” [An-Nisaa : 3] Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan ?
Jawaban Syaikh Mustafa Al- Adawi Hafizhahullah Ta'ala mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang laki- laki mampu berbuat adil terhadap isteri- isterinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala: “Artinya : …Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….” Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri- isterinya dan tidak akan menyianyiakan hak Allah atas dirinya karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman. “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri- isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” [At-Taghabun : 14] Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan. Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman. “Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya” [An-Nuur : 33] [1] Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ? Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh”. MEMBERI SETIAP ISTERI SEBUAH RUMAH SEBAGAI UPAYA MENGIKUTI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM Allah Ta'ala berfirman. “Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumahj mereka” [Al- Ahzab : 33] Dia juga berfirman. “Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al- Ahzaab : 34] Dia juga berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” [Al- Ahzab : 53] Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan bahwa sunnah Nabi itu ada beberapa buah dan bukan hanya satu saja. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) Aisyah. Lalu isteri- isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari] Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri- isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelaya n sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu'. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari] Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau ditanya- tentang seorang laki- laki yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan al- wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat”. Atsar ini shahih. Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara kedunaya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing- masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya. Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan,
karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”. Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela”. Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikiian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan” Catatan. Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri- isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masingmasing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a'lam. [Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu'minaat, Edisi Indonesia Dapatkan HakHakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM] _________ Foote Note [1]. Fiqh Ta'addud Az- Zaujaat, hal. 5, Syaikh Musthafa Al-Adawi
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1990&bagian=0 Berpoligami Bagi Orang Yang Mempunyai Tanggungan Anak-Anak Yatim Rabu, 26 Januari 2005 12:53:16 WIB
BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki- laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah. “Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” [An-Nisa : 3] Kami berharap syaikh menjelaskan yang sebenarnya mengenai masalah ini. Jawaban. Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya. Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki- laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik” [Al-Ahzab : 21] Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki- laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau. [Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al- Arabiyah, edisi 83]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 430-431 Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=1318&bagian=0
Hukum Isteri Melarang Suami Kawin Lagi (Berpoligami) Kamis, 26 Mei 05 www.alsofwah.or.id Tanya : Assalamu 'alakum wr wb Apakah boleh menurut syari'at, seorang isteri melarang suaminya menikah lagi? Mengingat, sekarang ia tidak bisa lagi melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri karena menderita penyakit akut sehingga tidak dapat mengerjakan hal tersebut. Bahkan, ia lebih senang kalau suaminya - ma'af- berzina (istilahnya: jajan-red.,) ketimbang ia membawa wanita lain yang nantinya sama-sama memiliki sang suami dan mendapatkan harta warisan. Jazakumullah khairan. Wallahul Musta'an. Jawab: Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh Tidak boleh hukumnya seorang isteri melarang suaminya menikah lagi selama belum terjadi perjanjian antara keduanya pada akad nikah. Jika memang disyaratkan, maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "(Kesepakatan) di antara kaum muslimin adalah berdasarkan persyaratan yang mereka ajukan." (HR.Abu Daud, 3594 dan selainnya)
Bila setelah terjadi persyaratan itu, sang suami tetap menikah lagi; maka si isteri (lama) boleh memilih antara tetap menjadi isteri atau membatalkan pernikahan (fasakh). Sedangkan sikap wanita melarang suaminya menikah dan rela ia berzina, maka ini jelas merupakan sebesar-besar kejahatan dan dosa, bertentangan dengan fitrah dan menyerupai tingkah orang-orang kafir, na'udzubillah. Wa shallaahu 'ala nabiyyina Muhammad. (Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Ahmad ad-Duraihim, ketua pencatat peradilan di alMuzahimiyyah, Saudi Arabia) Keridhaan Istri Tidak Menjadi Syarat Di Dalam Pernikahan Kedua Selasa, 1 Juni 2004 11:52:56 WIB
KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya seorang lelaki yang telah lama menikah dan mempunyai beberapa anak, dan saya bahagia dalam kehidupan berkeluarga, akan tetapi saya merasa sedang membutuhkan istri satu lagi, sebab saya ingin menjadi orang yang istiqomah, sedangkan istri satu bagi saya tidak cukup, karena saya mempunyai kemampuan melebihi kemampuan istri. Dan dari sisi lain, saya menginginkan istri yang mempunyai kriteria khusus yang tidak dimiliki oleh istri saya yang ada ; dan oleh karena saya tidak ingin terjerumus di dalam hal yang haram, sedangkan di dalam waktu yang sama saya mendapat kesulitan untuk menikah dengan perempuan lain karena masalah usyrah (hubungan keluarga) dan juga karena istri saya, saya mendapatkan hal yang tidak mengenakkan darinya, ia menolak secara membabi buta kalau saya menikah lagi. Apa nasehat Syaikh kepada saya ? Apa pula nasehat Syaikh bagi istri saya agar ia menerima ? Apakah ia berhak menolak keinginan saya untuk menikah lagi, padahal saya akan selalu memberikan hak-haknya secara utuh dan saya mempunyai kemampuan material – alhamdulillah- untuk menikah lagi ? Saya sangat berharap jawabannya secara terperinci, karena masalah ini penting bagi kebanyakan orang. Jawaban. Jika realitasnya seperti apa yang anda sebutkan, maka boleh anda menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk
menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya” [Muttafaq ‘Alaih] Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi umat- umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak” [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban] Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Kepada penanya hendaknya berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap mereka berdua. Semua hal diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman. “Artinya : Dan saling tolong menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa” [Al-Maidah : 2] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka menolong saudaranya” [Riwayat Imam Muslim] Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. “Artinya : Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya”
Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik. Semoga Allah memperbaiki keadaan semua pihak dan semoga Dia mencatat bagi kamu berdua kesudahan yang terpuji. Amin. [Fatwa Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 428-430 Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=768&bagian=0
TIDAK ADA KONTRADIKSI DI DALAM AYAT POLIGAMI Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Di dalam Al-Qur’an ada satu ayat suci yang berbicara tentang poligami yang mengatkan. “Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawin ilah) seorang saja― [An-Nisa : 3] Dan pada ayat yang lain Allah berfirman. “Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikianâ € • [An-Nisa ; 129] Pada ayat yang pertama tadi dinyatakan bahwa berpoligami itu dengan syarat adil, sedangkan pada ayat yang kedua dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami
itu tidak mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat yang pertama di- nasakh (dihapus hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syarat harus adil tidak mungkin tercapai ? Kami mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kebaikan syaikh. Jawaban. Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat yang satu dengan yang lain, karena sesungguhnya keadilan yang diperintahkan di dalam ayat itu adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam pembagian mu’asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mecintai, termasuk didalamnya masalah hubungan badan (jima’) adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikianâ € • [An-Nisa ; 129] Oleh karena itulah ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah Radhiyallahu anha. Beliau berkata. “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pembagian (di antara istri- istrinya) dan beliau berlaku adil, dan beliau berdo’a : ‘Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannyaâ € • [Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al- Hakim] [Fatawal Mar’ah, hal.62 oleh Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari. Kitab Al- Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al- Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al- Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 435-436 Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1379&bagian=0
POLIGAMI ITU SUNNAH Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah berpoligami itu mubah di dalam Islam ataukah sunnah ? Jawaban. Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya. “Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3] Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki- laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan. Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman. “Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3] Semoga Allah memberi taufiq kepada segenap kaum Muslimin menuju apa yang menjadi kemaslahatn dan kesalamatan bagi mereka di dunia dan akhirat. [Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz]
TAFSIR AYAT POLIGAMI
Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ayat tentang poligami dalam Al-Qur'an berbunyi : "Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja" [An-Nisa : 3] Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" [An-Nisa : 129] Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ? Jawaban. Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" [An-Nisa : 129] Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam do'a: "Artinya : Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan" [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim] [Fatawa Mar'ah. 2/62] [Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 394-395 Darul Haq]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=731&bagian=0