MASALAH HUKUM POLIGAMI DAN KEMUNGKINAN SOLUSINYA
Azmi Siradjuddin STAIN Jurai Siwo Metro Email:
[email protected] Abstrak Poligami merupakan isu penting dalam masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, tidak pernah tuntas untuk dikaji dari berbagai perspektif. Terlebih dari dimensi hukum dan solusinya. Masyarakat Indonesia hingga kini masih menuai pro dan kontra memahami masalah hukum poligami. Satu pihak, poligami diperbolehkan dengan beberapa syarat yang ketat. Pendapat lain yang mengharamkan poligami bahwa poligami membawa dampak serius. Dari segi istilah pemaknaan pun, apabila dicermati dengan telaah yang serius, penggunaan kata poligami sesungguhnya kuranglah tepat untuk sebutan bagi seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang. Sebab, poligami dalam pengertiannya digunakan untuk setiap perkawinan yang lebih dari satu orang suami maupun istri. Sungguhpun demikian, dalam istilah teknis sehari-hari dalam masyarakat Indanesia, yang dimaksud dengan poligami adalah identik benar dengan poligini, tidak akan ada yang memaknainya dengan arti poliandri. Hal ini dapat dipahami dari penyamaan arti dan maksud kata poligami di satu pihak dengan kata-kata bersitri lebih dari seorang di pihak lain.Lepas dari itu, penggunaan kata poligini sesungguhnya akan lebih tepat untuk digunakan sebagai padanan dari kata-kata beristri lebih dari satu orang dalam terminologi Indanesia lainnya, di samping itu sesuai benar dengan istilah ta‟addud zaujat dalam literatur fikih Islam (klasik maupun kontemporer), dan juga sepadan dengan literaturliteratur Inggris yang juga kerap mengistilahkan palygamy dengan “marrying more than one wife”. Substansi dari tulisan ini bahwa poligami merupakan suatu langkah prepentif untuk
dilakukan, karena memiliki dampak keberlangsungan yang sangat serius. Kata Kunci: Poligami, Poligini, Poliandri Abstract Polygamy is an important issue in Indonesian society. Now, it is never completed to be studied from various perspectives, especially from the legal dimensions and solutions. The society still has reaping the pros and cons to understand the legal issues of polygamy. The other hand, polygamy is allowed by some strict conditions. In another opinion, polygamy is forbidden because it has serious impact. Viewed from the meaning, when it is observed seriously, the use of the polygamy word is really not appropriate for designation for a husband who has more than one wife. Therefore, polygamy in the sense used for any marriage which is more than one husband or wife. Nevertheless, the terminology in society, the definition of polygamy is completely identical with polygyny which will be not interpretation the meaning of polyandry. It can be understood from the equation meaning and word of polygamy that it can be defined as having wife more than one on the other. Besides, In Indonesia terminology, using of the polygymny word actually is more appropriate to be used as the equivalent of the words having wife more than one person. In addition, the terms of “ta‟addud azzaujah” in Islamic fiqh literature (classical and contemporary), and it is commensurate with the English literature which is also often termed polygamy with “Marrying more than one wife”. Therefore, the substance of this paper describes that polygamy is a preventive step to be done, because it has very serious impact sustainability. Keywords: Polygamy, Polygyny, Polyandry
Pendahuluan Ada beberapa istilah penting di dalam tulisan ini yang terkait dengan masalah poligami, yaitu per-Kawinan itu sendiri, poligami, poligami, poliandri. Pengertian ini menjadi penting untuk dikemukakan sebagai pengantar pembahasan di dalam tulisan ini. Perkawinan secara literal berarti kumpul, bersetubuh,1 “Ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai swami istri dengan tujuan membentukkeluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu yang sangat kuat atau mitasaqa ghalizha untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupal:an ibadah.3 Poligami (polygamy) artinya beristri/bersuami lebih dari seorang,4 dua, tiga, empat dan sererusnya. Secara terminologis diartikan sebagai “sistem perkawinan yang salah satu pihak [lakilaki atau perempuannya] memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.”5 Sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersaman.6 Dari pengertian di atas, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam (fikih), pada dasarnya hanya membolehkan poligami atau ta‟addud al-zawjat, tidak membenarkan poligami apalagi poliandri. Poligami, seakan-akan rnembenarkan perempuan memiliki sejumlah swami, sebagaimana seorang suami dibolehkan memiliki beberapa atau sejumlah istri apalagi poliandri. Pembahasan pa njant lobar ccntang a.rei hrzifiy:ah perkawinan, lihar an rara lain Muhanunad Arvin Surna, Hukam Keluaran Islam di Dunia Islam., 2003, h. 27. 1
Pasal I UU Plomor 1 Tahun 1971.
2
Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991. “Tentang Kompilasi Hukum Islam. 4 John M. Echols and Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, 1984, h. 438. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1989), h. 885. 6 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1989, h. 885. 3
Dengan kalimat lain, hukum Islam hanya memberikan kemungkinan poligami bagi para suami tertentu untuk memiliki istri lebih dari seorang (ta `addud al-zawjat; poligami) atas dasar alasan tertentu, dengan persyaratan tertentu, dan atau dalam keadaan yang tertentu pula. Sedangkan poligami bagi perempuan, atau tepatnya poliandri, semua ulama sepakat unttrk mengharamkan poligami atau tepatnya poligami bagi seorang perempuan yang tidak dibolehkan memiliki suami lebih dari satu orang. Bila dicermati dengan seksama, penggunaan kata poligami (polygamy) sesungguhnya kuranglah tepat untuk sebutan bagi seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang. Sebab, poligami dalam pengertiannya di atas, digunakan untuk setup perkawinan yang lebih dari satu orang suami maupun istri. Sungguhpun demikian, dalam istilah teknis sehari-hari di Indanesia, yang dimaksud dengan poligami adalah identik benar dengan poligami, tidak akan ada yang memaknainya dengan arti poliandri. Hal ini dapat dipahami dari penyamaan arti dan maksud kata poligami di satu pihak dengan kata-kata bersitri lebih dari seorang di pihak lain.7 Lepas dari itu, penggunaan kata poligami ke depan sesungguhnya akan lebih tepat untuk digunakan sebagai padanan dari kata-kata beristri lebih dari satu orang dalam terminologi Indanesia lainnya, di samping juga sesuai benar dengan istilah ta‟addud az-zaujah dalam literatur fikih Islam (klasik maupun kontemporer), dan juga sepadan dengan literatur-literatur Inggris yang juga kerap mengistilahkan palygamy dengan “marrying more than one wife”
Pembahasan A. Hukum Dasar Perkawinan Lepas dari perbedaan pendapat fukaha tentang hukum dasar (hukum asal) nikah itu apakah ibahah, sunah, atau bahkan wajib, yang jelas para ahli hukum Islam telah sepakat untuk 7 Perhatikan
43 dan 44.
misalnya UU No. I Tahun 1974, Pawl 3 ayat (1) dan (2), Pawl
mengklasifikasikan hukum nikah ke dalam lima tingkatan sesuai dengan lima kategorisasi hukum Islam (al-ahkam al-khamsah) itu sendiri yakni: Pertama, perkawinan wajib (al-zawaj al-wajib), yaitu perkawinan yang harus dilakukan oleh seseorang yang mampu rnelakukannya secara fisik-biologis maupun mental-spiritual dan material, dan yang bersangkutan merasa khawatir akan terlibat dengan perzinaan apabila tidak rnelakukan perkawinan. Kedua, perkawinan yang dianjurkan (al-zawaj alrrczastahab), yaitu perkawinan yang dianjurkan untuk orang orang yaag memiliki kemampuan secara fisik-biologis, mental spiritual dan material, hanya saja yang bersangkutan dapat menahan dirinya dari kemungkinan perzinaan manakala tidak menikah. Ketiga, perkawinan yang dibolehkan (al-z,waj al-maabah), yakni perkawinan yang dilakukan tanpa ada hal-hal yang luar biasa tnendorong atau menghalang-halangi; yang bisa juga disebut dengan nikah normal yang biasa-biasa saja. Keempat, perkawinan yang dimakruhkan (al-zawaj almakruh), yakni perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sejatinya kurang siap untuk melakukan perkawinan karena ada hal-hal tertentu yang tidak dipunyai dalam dirinya; misalnya orang kaya tetapi impoten (lemah syahwat), atau orang perkasa secara seksual, tetapi tidak mempunyai penghasilan. Kelima, perkawinan yang diharamkan (alzawaj al-haram), yaittu perkawinan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan fisik-biologis maupun mental-spiritual dan material.8 Memperhatikan jenjang hukum perkawinan di atas, maka serta-merta menghukumi poligami dengan boleh (ibahah), dianjurkan (sunah), diharuskan (wajib), tidak disukai (makruh), dan bahkan dilarang total (haram) sekalipun, tampaknya penetapan hukum yang menyalahi prinsip al-ahkam al-Izhamsah di atas. Alasannya, sdain hukum Islam itu selalu memberikan jalan keluar dalam memecahkan semua dan setiap persoalan dengan penggunaan salah satu al—ahkam al-khamsah yang bisa saja berubah-ubah, hukum Islam juga mengenal penyelesaikan masalah berdasarkan masing-masing kasus (kasuistis). Ketika permasalahan yang diselesaikan bentuknya kasus, dalam hal ini 8 Lihat
antara lain al-Sayyid Sabid, Fiqh al-Sunnah, jilid II, h. 15-18.
kasus poligami, maka penyelesaian hukumnya hampir dapat dipastikan akan berbeda antara kasus yang satu dari kasus yang lain. Apalagi kasus-kasus poligami yang telah memiliki sejarah perjalanan yang sangat panjang.
B. Sejarah Poligami Berbicara tentang poligami, mustahil bisa melepaskan diri dari ihwal perkawinan pada umumnya, termasuk sejarahnya. Sebab, poligami pada dasarnya dan dalam kenyataannya, adalah cuma salah satu dari beberapa jenis perkawinan yang dikenal masyarakat luas. Sejarah perkawinan membuktikan bahwa poligami adalah saJah satu bentuk perkawinan yang telah berjalan sekian lama, tidak terlalu lama terpaut waktunya untuk cidak mengatakan soma tua usianya dengan usia perkawinan itu sendiri. Sebab, diawal-awal generasi manusia khususnya Adam A.S., poligami memang belum terjadi. Tetapi, pada periode nabi-nabi yang sesudahnya, poligami telah mulai terjadi. Seperti dinyatakan para ahli, di antaranya Abdur Rahman I. Doi: “Polygamy or marrying mor than one wife is not a new phenomcnenon. It has always been with mankind from time immemorial among different peoples in various parts of the world. lheabiuns were polygamous even before the advent of Islam and so were other people on most parts of the world during that time. When one goes through the Jewish and Cristian religious sciptures, one inds that polygamy was an accepted way of life. All the Prophets mentioned in the Talmud, the old Testament and the Qur an were polygamious with the exeption of ProphetJesus who if he had lined longer on this earth the exception of perhaps, accepted the same system as his forefathers. In the Pre-Islamic Arabia there was the practice of limitless polygamy.9 Dalam sejarahnya, nyaris tidak ada satupun area permukiman di benua manapun di muka bumf ini yang benarbenar steril dari praktik poligaini, apapun namo dan/atau 9 Abdur
Rahman 1. Doi, Shari‟ah: The Islamic Law, 1984, h. 145.
sebutannya kola itu. Poligami, menjadi fenomena sosial yang ada di berbagai belahan benua, seperti halnya di Afrika, Amerika, Asia, dan Australia. Demikian pula halnya dalam berbagai imperium terkemuka seminal Babilonia, Abbisinia, dan Persia. Dan, dari sudut pandang agama, poligami juga dikenal dan dijalani oleh orang orang tertentu dari pengikut-pengikut agama manapun, tidak terkecuali pemeluk Yahudi, Kristen, dan Muslim. Dengan kalimat lain, poligami bukanlah monopoli agama dan suku tertentu misalnya cuma agama Islam dan bangsa Arab saja, melainkan juga dikenal dart praktikkan oleh pemeluk agama lain dan bangsa-bangsa lain. Sejarah juga telah mencatat bahwa ta‟addud al-zawjat pernah dijalani oleh nabi-nabi Allah seminal Ibrahim, Ya‟qub, Dawud, Sulayman, dan para nabi/rasul yang lainnya: Termasuk nabi Muhammad Saw. yang sempat memadu istri-istrinya sembilan orang. Hanya saja, situ satu hal yang mutlak perlu dicatat terkait poligami yang dilakukan para nabi khususnya nabi Muhammad Saw., jauh lebih bersifat : dakwah dan melindungi kaum perempuan daripada semata-mata karena dorongan lainnya. Sekadar ilustrasi, dari sekian barnyak istri-istri rasul Allah Saw., hanya :A‟isyah-lah situ-satunya istri beliau yang berstatus gadis tatkala dinikahi. Dan dari semua janda yang beliau nikahi, hanya Hafshah bind `Umar yang tergolong janda “kembang/muda”, inipun pernikahannya lebih disebabkan untuk menghibur „Umai yang merasa kurang nyaman memiliki putri berstatus janda daripada atas dorongan cinta nabi Muhammad Saw. kepada Hafshah. Bahwa Islam kemudian mengatur poligami sedemikian rupa, termasuk legislasinya, itu merupakan sesuatu yang layak untuk dikaji lebih jauh dengan pendekatan yang lebih obyektif daripada hanya semata-mata mencari titik lemah poligami yang dibolehkan Islam. Islam benar-benar mengatur poligami yang di zaman jahiliah kala itu meujadi ajang permainan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Di antara pengaturan yang dimaksudkan adalah pembatasan jumlah istri maksimal empat orang, yang sebelumnya dilakukan masyarakat tanpa batas, apalagi dibatasi. Penertiban lainnya yang dilakukan hukum Islam adalah terkait dengan persyaratan swami yang harus memiliki
kemampuan ekonomifinansial untuk menjamin kesejahteraan istriistri dan anak-anaknya, di samping terutama persyaratan kesiapan mental untuk berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anaknya sebagaimana tercantum dalam sejumlah ayat dan atau Hadis yang menjadi sumber dan dasar hukum poligami, antara lain: Dan jika kamu takut (khazuatir) tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yaqtim iyu (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilak wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dva, tiga atau empat, maka kemudian, jika kamu (juga) takut tidak akan dapat berlaku add, inaka (kawinilah.) seorangsaja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu (tentu) lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya. (Q.s al-Nisa [4]: 3). Dun kamu selkali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat yang demikiazz itu; karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan rnemelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhaya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa [4]:129). Seiring dengan ayat Alquran yang di dalamnya terdapat ayat ta‟addud al zawjdt, dalam Hadis juga dijumpai Hadis-hadis terkait poligami, baik qawli maupun fi li, bahkan tarlriri. Di antara Hadis yang dimaksudkan adalah: Pertama, Nabi Saw. berkata kepada Ghilan, seorang muallaf (baru masuk Islarn) yang memiliki istri sepuluh orang, sabda beliau, “Ghilan, silakan kamu pilih empat orang saja dari sepuluh istrimu itu, selebihnya [enam lainnya] silakan kamu ceraikan. “(HR. al-Nasa‟i dan al-Turmudzi). Kedua, dari al-Harits ibn Qays al-Asdi, is berkata, “Tatkala aku memeluk agama Islam, aku memiliki delapan orang istri, dan ketika aku ceritakan hal ini kepada Nabi Saw., beliau berkata, Pilihlah empat orang istri saja. “10 Sedangkan ketentuan poligami dalarn Peraturan Perundang-undangan adalah, antara lain: Pertama, UU Nomor 1 10 AI-Qurthubi,
Al Jami‟ li-Ahkam al-Qur‟an, juz V, h. 17.
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, “Pada asanya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya botch mempunyai seorang suami.” Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.11 Dalarn hal seorang suarni akan beristri lebih dari seorang, Sebagaimana tersebut dalarn Pasal 3 ayat (2) undangundang ini, maka is wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suarni yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (?) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) istti mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.12 Untuk dapat memajukan [mengajukan] permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasa14 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa suarni mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak rnereka. Persetujuan yang dirnaksud pada ayat (1) hurufa Pasal ini tidak diperlukan bagi nseorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungl:in dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) thun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.13 Dalam PP-R1 Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undarib undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutlan, Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.14
11 UU
Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 3 ayat (1 ) dan (2) Nornor 1 Tahun 1974, Pasal 4 ayat (1) uan (2) 13 UU Nomor I Tahun 1974, Pasal 5 ayat (1) dan (2) 14 PP Noinor 9 Tahun 1975, Pasal 40 12 UU
Pengadilan kernudian memeriksa mengenai: (a) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawui lagi, ialah: bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; bahwa istri tidak dapat rnelahirkan keturunan; (b) ada atau tidaknya persetujuann dari istri, bails persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan; (c) ada atau tidak adanya kernampuan swami akaa berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari swami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.15 Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pawl 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.16 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari scorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.17 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang swami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasa 143.18 Dalam Inpres Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. Syarat utama beristri lebih daei seorang, swami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, swami dilarang beristri lebih dari seorang19
15 PP
Nomor 9`I‟ahun 1975, Pasal 41 Nomor 9 Tahun 1975, Pasa142 17 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pisa143 18 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasa144 19 Inpres Nomor I Tahun 1991, Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) 16 PP
Suami yang hendak harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menuntt rata cara sebagaimana diatur dalam bab VIII Peraturan Pernerintah No. 9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Perigadilan Agama, tidak mempunyain kekuatan hukum.20 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; (b) Istri mendapat cacat badan atau penyal;.it yang tidak dapat disembuhkan; (c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.21 Selain syarat utama yangdisebut padaPasa155 ayat (2) maka utauk memperoleh izin Pengadilan Agarna, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No. I Tahun 1974 yaitu: (a) adanya persetujuan istri; (b) adanya kepastian bahwa swami mampu menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuani istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang PengadilanAgama. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila cidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.22 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan, izin untuk beristri lebih dari satu gang berdasarkan atas salah satu alasan yang. diatur dalam pawl 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
20 Nomor
1 Tahun 1991, Pasa 156 ayat (1), (2) dan (3) 1 Nomor I Tahun 1991, Pasal 57 huruf a, b dan c. 22 Inpres Nomor 1 Tahun 1991, Pawl 58 ayat (1), (2) dan (3) 21 Inpres
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Perkawinan batal apabila suarni melakukan perkawinan, sedang is tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam idah talak raji‟. Suatu perkawinan juga dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligarni tanpa izin Pengadilan Agama. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau Istri.
C. Pendapat Ahli Tafsir dan Fukaha Para pembahas poligami, terutama dari kalangan ahli tafsir dan fikih, pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat dalam memandang positif-negatif poligami yang akhirnya berimbas juga pada penetapan hukum poligami itu sendiri, terutama di masamasa modern sekarang ini. Sebagian ada yang memandang poligami dengan pandangan yang serba negatif (negative thinking) yang pada akhirnya kelompok ini lebih cenderung untuk melarang (mengharamkan) poligami secara mutlak. Sebagian yang lain, ada yang memandang pdigami dengan pandangan yang serba positif (positive thinking), dan karenanya yang berpendapat ini dengan tanpa beban membolehkan poligami secara behas pula. Di balik itu, tentu ada sebagian lain yang menilai poligami bisa positif dan bila pula negatif, bergantung pada sejauh mana konsistensi orang dan pihak yang nielakukan atau terlibat dengan poligami itu sendiri. Ungkapan yang mengatakan hahwa umumnya kaum lakilaki memiliki kecenderungan (naluri) untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami) dan umumnya kaum perempuan tidak mau dimadu, tidak sepenuhnya benar meskipun juga tidak sepenuhnya salah. Faktanya, tidak semua laki-laki mehkukan poligami, bahkan jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan yang melakukan poligami. Sebagaimana juga tidak setiap perempuan menyatakan anti poligami, meskipun jauh lebih banyak yang tidak rela dimadu. Dengan kalimat lain, poligami tidak sepenuhnya
merupakan “selera” kaum laki-laki sebab poligami juga ternyata merupakan kebutuhan sebagian kaum perempuan. Bahwa poligami kemudian banyak yang merusak kebahagiaan atau bahkan harmonisasi rumah tangga tertentu. Itu memang merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dimungkiri, dan karenanya harus segera diatasi dengan memberikan solusi yang lebih tepat. Tetapi, bahwa poligami juga telah menyelamatkan banyak orang/pihak dari keterpurukan orang atau keluarga tertentu, ini juga merupakan kebenaran lain yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Sama dengan perkawinan umumnya yang tidak selalu rnenghadikan keluarga sakinah beralaskan mawaddah dan rahmah, meskipun jumlahnya memang terpaut sangat jauh berbeda. Intinya, poligami adalah salah satu institusi perkawinan yang bisa baik dan bisa juga buruk, hampir sama dengan jenis-jenis perkawinan lainnya yang juga bisa berdampak baik dan bisa pula berefek buruk. Demikian halnya, maka pengharaman poligami secara mutlak sesungguhnya bukanlah satu-satunya cara untuk memberikan solusi yang dianggap paling baik dalam mernecahkan problematika masyarakat yang diakibatkan “praktik liar” poligami. Sebaliknya, solusi untuk memecahkan persoalan keluarga yang diduga kuat disebabkan poligami, justru harus dilakukan dengan mendudukkan konsep poligami itu secara proporsional dan profesional. Penelitian kasus-kasus penyelewengan atau penyalah-gunaan poligami oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tentu menjadi penting untuk terns dilakukan; sernentara kajian ilmiah akadernik yang bersifat normatif mencarikan solusi terbaik, juga tidak kurang pentingnya. Tulisan ini sebagaimana diperlihatkan di atas, lebih mengacu kepada pendekatan ilmiah akademik berdasarkan teks-teks wahyu dan peraturan perundanb undangan yang telah dipaparkan pada bagian lain sebelum ini. Surat al-Nisa [4] ayat 3, oleh sebagian orang wring dinyatakan sebagai ayat yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan poligami mengingat ayat ini penekanannya lebih pada perlindungan anak-anak yatirn yang diperlakukan sewenangwenang daripada membicarakan urusan poligami. Menurut beberapa riwayat, antara lain dari A‟isyah R.a., ayat 3 surat al-Nisa
[4], terutama penggalan kalimat “wa ain khiftum an la tuqsithu‟ fi al yatama” yang memiliki toleransi (mundsabah) dengan ayat 127 surat al-Nisa‟[4] terkait dengan oknum bangsa Arab kala itu yang pada satu sisi memiliki “kewenangan” atau tepatnya kemauan untuk mengampu anak-anak yatim perempuan, tapi pada saat yang bersamaan, yang bersangkutan juga berkeinginan untuk menikahi anak yatim perempuan yang cantik dan memiliki banyak harta; tetapi tanpa mau membayar mahar dan bahkan nafkah lahir. Tetapi, manakala anak yatim perempuan yang ada dalam pengampuannya itu ternyata tidak dia cintai karena tidak cantik dan atau tidak kaya, maka is kawinkan dengan laki-laki lain dengan motif untuk mengambil mahar yang diperoleh dari lakilaki yang menikahi anak yatim itu.27 Dalam kondisi kecurangan dan kelicikan seperti itulah maka Al-Qur‟an melarang laki-laki supaya tidak menikahi atau menikahkan anak-anak yatim perempuannya itu, kalau mernang tidak siap untuk berlaku adil; dan karenanya pula rnaka mereka disarankan supaya menikahi perempuan-perempuan lain saja di luar anak-anakk perempuan yang yatim itu, apakah itu perempuan-perempuan merdeka dan boleh dua, tiga, atau empat. Atau, kalau tidak dengan perempuan-perempuan merdeka, Alquran rnempersilakan si laki-laki itu supaya melakukan tasarri dengan budakbudak yang mereka miliki.21 Kehadiran ayat 3 surat al-Nisa‟ [4], oleh kebanyakan ulama tafsir dan fiqih justru dipandang sebagai ayat yang mengatur bentuk perkawinan poligami dengan hanya memungkinkan seorang swami memiliki istri maksimal empat orang; yang selama itu tidak pernah dibatasi. Redaksi ayat Alquran yang menyatakan menunjukkan hal itu. Maksudnya, kalau laki-laki merasa khawatir apalagi yakin bahwa dirinya tidak akan bisa berbuat adil dengan menikahi anak-anak yatim itu maka disilakan menikahi perempuan-perempuan merdeka dua orang tiga orung atau bahkan empat orang Tetapi kalau menikahi empat orang perempuan itu juga masih menjadi beban berat karena khawatir apalagi yakin tidak akan bisa berlaku adil terhadap mereka, maka Alquran memberikan solusi supaya mencukupkan diri untuk memiliki seorang istri saja. Di sinilah terletak arti. penting dari penggalan ayat Ketika menafsirkan kata-kata ()Abu Bakr al-nazi
menafsirkannya demildan, sesungguhnya Allah membolehkan laki-laki untuk menikahi dua istri kalau mau, atau tiga istri kalau mau, atau bahkan empat istri kalau mau. Tapi, kalau takut tidak akan dapat berbuat adil sekiranya memiliki empat orang istri, maka dikurangilah dengan tiga istri saja, dan kalau tiga istri masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kurangi lagi menjadi dua istri; jika masih juga tidak mampu berlaku adil terhadap dua istri, maka cukupkanlah dengan seorang istri saja.23 Bahwa kemudian ada sebagian orang yang menafsirkan kata-kata itu dengan teknik pernbilangan sehingga maksimal poligami boleh menjadi sembilan atau bahkan 18 istri, apalagi ada yang mengatakannya tanpa Batas, sampai scat ini pendapat itu tetap saja dipandang sebagai pendapat yang asing dan tidak berdasar yang karenanya maka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, menutup rapat pintu darurat poligami dengan menghararnkannya berdasarkan ayat 129 surat al-Nisa [4], juga dipandang tnengingkari teks maupun konteks ayat 3 surat alNisa di atas. Apalagi ketika dihubungkan dengan kenyataan bahwa poligami benar-benar dipraktikkan secara nyata oleh sejumlah nabi dan rasul, bahkan oleh uli al-‟azmi min al-rusul sekalipun. Apalagi dengan sejumlah tokoh Islam/Muslim terkemuka di berbagai belahan dunia yang sebagian dari mereka, juga melakukan perkawinan poligami. Menariknya, poligami yang hukum anal atau hukum dasarnya dihukumi ibahah, tidak hanya disuarakan olelr para pelaku poligami itu sendiri; akan tetapi juga diperkuat oleh para ahli fiqih Islam yang dirinya membujang sepanjang hayat (al-Ulama al-‟ „uzaha). Kehadiran ayat 129 surat al-Nisa‟ [4], yang juga Bering dikaitkan dengan surat al-Ahzab [33]:50, dinilai tidak cakup alasan untuk mengharamkan poligami secara mutlak. Apalagi bagi Mama-Mama klasik sebagairrrana yang dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiah yang ditinggalkannya kepada generasi sekarang. AlQurthubi, misalnya, menyatalun bahwa pernberitaan Allah Swt. tentang ketidakmungkinan scorang swami berpoligami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, yang dimaksud adalah terkait dengan kecenderungan karakter (selera) cinta, 23 Abu
Bakr al-Rizi al-Jashshash, A_hktam al-Quran, Juz II, h. 54
persetubuhan dan pembagian rasa hati, bukan dalarn konteks keadilan terkait nafkah material seminal tempat tinggal, pakaian, nafxah, keperluan belanja seharihari dan lain sehagainya. Allah Swt. mensifati psikis manusia sesuai dengan hukum kejadian (penciptaannya) dalam dalam mana memiliki hati untuk mencintai yang satu dan, pada saat yang sama, tidak mencintai yang lainnya. Di sinilah terletak urgensi Nabi A.s. ketika mendoa, “Ya Allah, sesungguhuya inilah [caraJ pernbagianku terhadap apa yang aku miliki; maka aku mohon janganlah Engkau paksa (menghukum) atas apa yang tidak aku miliki. Memperhatikan sejumlah dalil hukum di atas, baik hukum Islam maupun hukum negara, ditambah pula dengan pendapat sejumlah mufassir dan fakih ternama, tampaknya tidak ada satupun ayat dan/atau hadis hukum serta peraturan perundangundangan yang mengharamkan atau melarang poligami/taaddud al jawzat. Sesuai dengan pemahaman umumnya ahli hukum Islam di dunia maupun di Indanesia, maka peraturan perundangundangan di Indanesia sampai saat ini masih tetap membolehkan atau tepatnya memungkinkan poligami dilakukan oleh orangorang tertentu. Dengan kalimat lain, ihwal poligami di negaranegara Islam/ Muslim termasuk di Indanesia, masih tetap mendapat tempat untuk dilaksanakan oleh orang-orang tertentu yang memenuhi beberapa atau sejumlah persyaratan tertentu, bails yang telah ditentukan oleh agama Islam sendiri maupun yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prasyarat poligami yang dimaksudkan pada umumnya adalah terkait dengan persyaratan kernampuan secara ekonomis dan keuangan dalam arti, seorang suami yang bermaksud melakukan poligami, hares merniliki kemampuan untuk mensejahterakan istri-istri dan anak atau anak-anaknya secara ekonomi atau tepatnya finansial. Persyaratan mendasar lainnya adalah kemampuan suami untuk berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Yang dimaksud dengan berlaku adil di sini pada umumnya undang-undang maupun pendapat/komeritar para ahli tafsir dan ahli fikih, juga terkait dengan hal-hal yang
bersifat material ekonomi di samping kehadiran suami (giliran) di rumah-rumah istri-istrinya. Perihal adil dalam cinta kasih, jarang disebut-sebut apalagi terkait dengan berbagi cinta syahwati. Sebab, campaknya memang merupakan suite hal yang sulit untuk bisa dilakukan secara adil dalam artian membagi nafsu birahi (seksual) yang sama persis atau persis sama. Ini karena cinta tnerupakan ekspresi spontan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi obyektif messing-messing istri itu sendiri terkait dengan ital-hal yang menimbulkan rangsangan nafsu birahi. Misalnya usia, dandanan, sikap menggoda, cumbu-rayu dan lain-lain. Maka tentu saja hampir dapat dipastikan bahwa rasa cinta syahwati suami diduga kuat akin berbeda terhadap istri-istrinya, antara istri yang usianya lebih muda dibandingkan dengan istrinya yang lebih nta. Demikian pula antara yang lebih seksi dari yang kurang/ tidak seksi; terhadap istri yang bisa dan suka bersolek, dibandingkan dengan istri yang tidak suka apalagi tidak bisa bersolek; dan begitulah seterusnya. Karenanya, nafsu, syahwati dapat dikatakan sekian persen datang dari arah yang berlainan dengan penciptaan suasana keadilan dalam bidang pembelajaran, tempat tirggal, pakaian, dan lain-lainnya. Namun demikian, keadilan dalam konteks menyayangi dan mengasihi istri-istri, mutlak perlu diperhatikan. Sekurang-kurangnya tidak boleh memperlakukan istri-istri secara diskriminatif di luar hal-hal yang terkait dengan nafsu syahwati. Meskipun kata-kata adil di dalam ayat itu bersifat mutlak, demikian kata Syaltut, namun yang dimaksudkan adalah khusus terkait dengan keadilan terhadap istri-istri. Ketika menafsirkan ayat 129 surat al-Nisa‟ [4], para ahli tafsir, di antaranya al-Qurdliubi, mcnyatakan bahwa Allah Swt. menginformasikan perihal ketidakmungkinan seorang suami untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya, yang dimaksud adalah terkait dengan kecenderungan ekspresi rasa cinta, persetubuhan dan berbagi cinta dalam hati. Allah mensyifati keadaan manusia yang tidak mungkin mampu untuk membagi rasa cinta secara persis sama atau sama persis kepada dua, tiga, atau empat orang istri yang satu sama lain berbeda-beda.24 24 Al-Qurthubi,
al Jami‟ li fihkam al-Qur‟an, h. 407
Seorang suami yang beristri lebih dari satu orang, wajib berlaku adil terhadap semua istrinya, masing-masing harus mendapatkan giliran yang sama yakni misalnya satu hari satu malam secara bergantian. Demikian menurut kebanyakan Mama, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban itu hanya terkait dengan soal giliran di malam hari, tidak di slang hari. Para Mama juga umumnya sependapat untuk tidak, mengizinkan seorang suami mengumpulkan istri-istrinya di dalarn situ rumah, kecuali alas persetujuan istri-istrinya itu sendiri. Bahkan, jika para istri tinggal di dalam satu rumah, maka si suami tidak boleh seenaknya memasuki kamar masing-masing istrinya tanpa keperluan yang jelas.
D. Pandangan Negara Muslim Terhadap Poligami Sebagimana para ahli berbeda pendapat dan pendirian dalam menyikapi ihwal hukum poligami, maka negara-negara Muslim di duniapun bermacam-macam pula. Untuk negaranegara Islam, dalam artian negara-negara yang secara konstitusional menyatakan diri sebagai negara Islam, pada umumnya tetap membolehkan orangorang tertentu untuk melakukan poligami. Demikian pula dengan negara-negara berpenduduk Muslim mayoritas, dan/atau bahkan di negaranegara penuduk Muslim minoritas. Kalau ada negara dalam hal ini pemerintahan negara Islam/ negara- negara Muslim melarang pernikahan poligami, maka itu tatnpaknya lebih . disebabkan tekanan arus kekuasaan pemerintah (uli al-amri) yang bersangkutan dibandingkan dengan pendapat murni para Mama yang memberikan fatwa alas dasar hukum Islam itu sendiri. Di antara contohnya adalah Tunisia di tahun 1957, dan Maroko di tahun 1958 yang secara togas melarang (mengharamkan) poligami.25 Larangan atau tepatnya pengharaman poligami di beberapa negara Islam/berpenduduk Muslim; itu hampir dapat dipastikan lebih didasarkan alas pertimbangan praktis dari pelaksanaan poligami itu sendiri yang umumnya cenderung moral-marit, daripada berdasarkan basil 25 Abdur
Rahman L Doi, Shari‟ah: Thc Islamic Law, h. 150
ijtihad yang benar-benar didasarkan alas nash-nash syarak dan kebutuhan masyarakat tertentu terhadap keberadaan poligami. Apalagi ketika dihubungkan dengan fungsi poligami yang pensyariatannya kepada umat Islam, dipastikan juga memiliki cita ideal dalam konteks penanggulangan sebagian problem sosial ekonomi dan biologis. Pengaitan syarat adil dalamn konteksnya yang sangat luas dan menyelurah (komprehensif) termasuk adil dalam hal berbagi rasa cinta-biologis oleh sebagian orang, agaknya juga sulit dipertanggung jawabkan mengingat cinta dalam konteks nafsu birahi apalagi dalam ha] persenggamaan, memerlukan trik-trik tersendiri semisal kesegaran tubuh dan lainnya. Ada pula yang berpendapat bahwa dalain kasus tertentu, adil dalam bidang material juga sulit dilakukan orang berpoligami, misalnya ratkala tempat tinggal para istri yang dipoligami berbeda-beda daerah dan/atau bahkan negaranya. Akibatnya, akan memberikan kesulitan tersendiri bagi si suami untuk memberikan pembagian yang sama disebabkan sosio ekonomi dan keuangannya yang berbeda-beda.26 Terhadap alasan ini, masih bisa dipertimbangkan jawabannya, bahwa pengertian adil tidak harus sama aersis atau persis sama seperti anggapan sebagian orang selama ini, mengingat adil adakalanya juga bisa diartikan dengan seimbang atau sebanding, di samping memiliki arti sama atau b:rhkan sama persis dan persis sama. Maksudnya, keadilan nafkah, misalnya, tidak harus selalu dan selamanya diukur dengan banyaknya nilai/harganya, akan tetapi bisa juga diLakar dengan kebutuhan hidup yang sesungguhnya. Terutama tatkala kondisi kehidupan berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Persis seperti keadilan membiayai anak-anak dalam satu keluarga yang tidak harus selalu sama jumlahnya mengingat kebutuhan antara yang satu dengan yang lain juga berbeda-beda. Keadilan yang persis sama atau sama persis dalam hat nominal, hanya dikenal dalam hukum kewarisan, tidak harus dalam hal poligami. Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka penafsiran ayat-ayat Alquran yang mengarah pada pengharaman 26 Ahmad
Ibrahim, Family Law in Malaysia, 1997, h. 197
mutlak poligami, agaknya tetap raja tidak memiliki landasan hukum yang kuat di samping cidak pula berdasarkan metode ijtihad yang tepat. Karena, semata-mata melihat dmapak buruk (negatif) dari praktik poligami itu sendiri tanpa pernah mempertimbangkan lebih jauh hikmah yang terdapat dibalik pembolehan poligami itu. Kecuali itu secara konseptual, hukum Islam juga dalam kenyataannya tidal: pernah menutup rapat atau tepatnya menutup coati keharaman sesuatu apapun, tenrtama di saat-saat umat manusia benar-benar membutuhkannya. Pembolehan mengonsumsi bangkai yang hukum dasarnya haram, rnerupakan salah satu contoh konkretnya. Apalagi dengan pernikahan walau itu dalam bentuk poligami sekalipun mengingat hukum asal perkawinan termasuk perkawinan poligami adalah mubah. Bahwa kemudian poligami itu bisa berubah menjadi makruh dan bahkan haram bergantung pada jenis implementasinya, maka itu sesuatu yang sah adanya sebagaimana juga perkawinan biasa yang tidak semua melahirkan keluarga bahagia. Itulah pula sebabnya mengapa hukum perkawinan yang biasa (non poligami)-pun tidak serta merta dibolehkan manakala diduga kuat hanya akan menimbulkan penderitaari. Maksudnya, sebagaimana hukum nikah yang bisa berubah-ubah dari mubdh, sunah, wajib, makruh, dan haram, hukum poligami juga bisa berubah-ubah antara haram, makruh, mubah, sunah dan wajib. Bergantung pada kopndisi obyketif orang yang melakukannya, dan ditentukan oleh situasinya. Sungguh tidak aril rasanya dengan dalih melindungi masyarakat korban poligami, lalu yang diharamkan poligaminya, bukan mernbenahi mental komunitas masyarakat poligaminya itu sendiri.27 Pergeseran pemikiran sebagian sarjana Muslim dari pemikiran membolehkan poligami yang kemudiar. berubah melarang atau tepatnya mengharamkan poligami secara mutlak, oleh Abdur-Rahrnan I. Doi disinyalisasi sebagai salah satu pengaruh langsung dari penjajahan bangsa-bangsa tertentu yang berpikiran liberal terhadap negara-negara Muslim. Sebab, Pemikiran asli sarjana-sarjana Muslim sebelum penjajahan dan bahkan sesudah penjajahan sekalipun, pada umumnya tetap 27 Ahmad
Ibrahim, Family Law in Malaysia, h. 149
membolehkan poligami. Kondisi demikian terlihat dengan kenyataan bahwa negara-negara Muslim memberikan ternpat bagi institusi poligami dengan tidak melarang apalagi mengharamkannya secara mutlak. Hanya saja, rata-rata negara Islam/berpenduduk Muslim, tampak lebih hati-hati dalam mengatur dan mengawasi atau tepatnya kontrol terhadap praktik poligami itu sendiri. Salah situ contoh kasusnya adalah Indanesia yang peraturan perundangundangannya tentang perkawinan sampai sekarang masih tetap memungkinkan orang-orang tertentu melakukan poligami; tetapi pada saat yang bersamaan, likaliku administratifnya demikian ruwet dan jelas-jelas dipersulit. Boleh jadi faktor ini pula di antara salah situ alasan mengapa orangorang tertcntu melakukan poligami secara diam-diam alias nikah sire yang sesungguhnya belum tentu lebih baik daripada poligami yang dilakukan secara legal-formal dan terbuka. Lepas dari itu, yang jelas di antara asas perkawinan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah asas “pembatasan poligami secara ketat” di samping mengutarnakan asas-asas lainnya yakni “asas suka-rela,” “asas partisipasi keluarga,” “asas perceraian dipersulit”, “asas kematangan calon mcmpelai” dan “asas memperbaiki derajat kaum wanita.” 28 Kesulitan poligami secara legal-formal akan menjadi lebih terasa. lagi bagi kalangan pcgawai negeri sipil (PNS) atau yang disamakan dengannya yang pengaturannya jauh lebih ketat dan lebih berat atau bahkan “berbelit-belit” karena harus melibatkan banyak pihak. Selain melibatkan keluarga khususnya suaini atau istri dan keluarga dekat lainnya, undang-undang juga mensyaratkan PNS yang hendak beristri lebih dari seorang untuk memperoleh izin dari atasari yang ada di instansinya, dan harus berurusan pula dengan Pengadilan dalam hal ini Pengadilan Agama sebagaimana telah dikutibkan pada bagian lain sebelum ini. Permasalahannya kini, adakah pengetatan poligami seperti itu sesuai dengan tujuan dan sasaran dari pengundangan Lihat Wasit Aulawi dan Arso Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang), 1978 28
peraturan perundang-undangan perkawinan itu sendiri? Lebihlebih ketika dihubungkan dengan pensyariatan perkawinan termasuk poligami yang sesungguhnya sangat bermartabat dan terhormat itu. Jawabannya, masih tetap perlu dilakukan penelitian yang Lebih bersirat spesifik dan kontinue. Alasannya? Karena poligami, secara sosiologis dan tradisi memang masih terus berlanjut di tengah-tengah masyarakat. Keberatan orang/pihak tertentu terhadap poligami, tidak serta merta menghilangkan praktik perkawinan yang kerap mengundang kontroversial itu, apalagi jika pengharaman poligami itu harus pula diiringi dengan segera menceraikan istri kedua, ketiga dan/atau keempat yang sudah dinikahi. Untuk mengatasi dampak negatif dari perkawinan poligami, seyogyanya para pelaku memahami benar dan jika perlu diadakan pembinaan tentang hukum dan etika berpoligami yang dibolehkan syariat Islam. Terkait dengan kedua ayat poligarni (al-Nisa‟ [41: 3 dan 129) yang seolah-olah menjadi tandqudh (bertentangan) antara keduanya, Mahmud Syaltut memberikan solusi yan terbaik dalam menafsirkan kedua ayat ini. Mentirutnya, kedua ayat ini satu sama lain ding melengkapi. Ayat pertama, Annisa 3, memberikan pernahaman bahwa berlaku adil terhadap istri-istri, itu hukumnhya wajib; sedangkan ayat kedua (al-Nisa‟ [41: 129) yang menyatakan ketidak mungkinan seseorang yang poligami itu bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya, lebih bersifat mengingatkan jangan sanlpai terjadi pengabaia.n terhadap salah satu istrinya karena Lebih mencitai istri atau istri-istrinya yang lain. Lebih dkri itu, Syaltut juga menyatakan bahwa bagaimanapun, hukum asal tuaddud al jawzdt adalah boleh (al-ibahah). Syaltut menyatakan bahwa sejak zaman sahabat, tabi‟in, tdbi‟al-tabi‟in, dan seterusnya, is belum pernah mendengar ada pendapat yang tidak membolehkan poligami. Hanya raja, Syaltut mengingatkan bahwa ayat iai sesungguhnya hendak menyatakan bahwa memiliki seorang istri (asas monogarni), itulah hukum asal perkawinan yang wajib; sedangkan kebolehan. berpoligairi, itu semata-mata karena keadaan darurat.29 Pendapat senada dengan Syaltut, juga 29 Mahmud
Syaltui, al-Islam „Aqidab wa-Syari‟ah, h. 189-192
dikemukakan pakar lain di antaranya al Syangithi ketika menyatakan bahwa dengan mengacu kepada ayat 3 surat al-Nisa‟ [4], pembolehan hukum poligami itu sudah menjadi konsensus (ijmak) kaum muslimin sebelum kemudian lahir pendapat yang menyalahinya dan [bahkan] menyesatkan itu.30
E. Hikmah Pensyariatan Poligini Poligini memiliki dampak ngatif bagi orang/pihak tertentu ketika disalahgunakan, itu cnerupakan keadaan yang tidak bisa dimungkiri. Tetapi, atas alasan itu lalu menafikan sisisisi positif keberadaan polgini, juga merupakan sikap yang tidak realistis. Selain kaiena Islam mustahil mengakui kebolehan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, juga poligini dibolehkan karena memiliki dampak positif dsalam kondisi tertentu dan untuk orang-orang tertentu. Dalam kondisi di bawah ini, poligini memiliki nilai positif ketika: Pertarna, istri menderita penyakit serius seperti epilepsi, penyakit yang sukar disembuhkan. Dalam kondisi seperti mi, al-can lebih baik manakala ada istri lain yang siap mengambil alih kebutuhan suami dan anak/anak-anaknya, di samping keberadaannya jugs bisa membantu istri yang sakit itu sendiri. Kedua, istri telah dibuktikan mandul secara medik oleh dokter yang ahli dalam biding kandungan; maka suami boleh menikah dengan perempuan lain sehingga bisa memiliki anak sebagai salah satu, hal yang memberikan kenikmatan tersendiri dalam kehidupan runnah-tangga. Ketiga, istri memiliki keterbelakangan mental yang mengakibatkan suami dan anak/anak-anaknya mengalami penderitaan. Keempat, istri mencapai usia lanjut yang menyebabkan dia menjadi lemah sehingga tidak lagi matnpu meL.gurus rumah dan properti lainnya. Kelima, suami mengetahui benar bahwa istrinya memiliki perangai buruk yang tidak bisa diubah. Keenam, istri keluar rumah meninggalkan suaminya disebabkar, ketidak-patuhan istri (nusyu) kepada suami. Ketujuh, pada masa-masa peperangan di mina banyak l:aum lakiMuhammad al-Arvin Ibn Muhammad al-Mukhtar al-Jakani alSyangithi, Adhwa‟ al-Bayan fl Idhah al-Qur‟dn bi al- Qur‟an, juz 1, h. 307 30
laki terbunuh dan menyisakan banyak kaum perempuan atau dalam jumlah besar; dalan kondisi demikian, poligini bisa menjadi solusi yang paling tepat. Kedelapan, terlepas dari semua alasan di atas, ada juga alasan karena seorang pria merasa bahwa dirinya tidak bisa hidup tanpa istri kedua, ketiga dan/atau keempat dikarenakan hasrat alamiah (nafsu biologisnya) yang sangat kuat dan ia telah memberitahukan kepada istrinya. Sebab, di muka bumi ini, faktualnya ada beberapa atau sejumlah orang yang secara alamiah tidak merasa puas dengan hanya memiliki seorang istri.31 Laki-laki seperti ini tergolong hypper sex.
Simpulan Dari pembahasan panjang lebar di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sebagaimana hukum dasar nikah itu sendiri yang bisa dikategorikan mubah, sunah, wajib, makruh dan haram; maka hukum poligami pada dasarnya juga bisa dikategorikan lee dalam poligami yang mubah, sunah, wajib, makruh dan haram bergantung kasus poligami itu sendiri. Hanya saja, berlainan dengan pernikahan monogami yang mernang amat sangat dianjurkan oleh syariah Islam, maka perkawinan poligami pada dasarnya tidaklah dianjurkan meskipun tidak harus diartikan sebagai perkawinan yang terlarang apalagi dilarang. Hampir atau bahkan tidak ada ulama yang serta merta mengharamkan poligami, kecuali dalam kondisikondisi tertentu; sebagaimana juga tidak ada ulama yang serta-merta membolehkan pernikahan tanpa ada alasan-alasan tertentu. Berlainan dengan menikah biasa yang pada dasarnya terbuka atau bahkan di buka lebar-lebar untuk setiap insan, maka poligami justru sangat terbatas atau bahkan dibatasi untuk orang-orang tertentu yang karena satu dan lain hal, benarbenar memerlukan kehadiran istri lebih dari satu orang, baik disebabkan alasan nafsu biologis, maupun karena tuntutan keadaan lain yang menghendakinya. Atas dasar alasan apapun, Abdur Rahman I. Doi, Shari‟ah: Islamic Law, h. 146; lihat pula Ahmad Mushthafa aI -Maraghi, Taf it al-Maraghi; jilid II, h. 181 31
pengharaman poligami secara mutlak tampak merupakan basil ijtihad yang masih tetap mengundang berbaga: pertanyaan. Sebab, selain pengharaman poligami itu bukan satu-satunya solusi yang tepat, pengaharaman poligami secara mutlak, juga terlampau memaksakan hukum untuk semua orang dalarn semua keadaan. Padahal, di antara karakter hukum Islam adalah justru selalu memberikan jalan keluar dengan tidak menutup semua pintu pintu pernikahan dalam hal ini perkawinan poliiini. Wa Allahu a‟lam bi al-shawab.
Daftar Pustaka Aulawi, Wasit dan Sosroatmodjo, Arso, Hukum Perkawinan di Indanesia, (Jakarta: Bulan Bintang), 1978. Doi, Abdur-Rahman I, Shari‟ah: Islamic Law, (Kuala LumpurMalayasia: AS. Noordeen), 2004 M/1422 H. Ibrahim, Ahmad, Family Law in Malaysia, (Malayan Law Jurnal), 1997. Jashshash, al-, Abi Bakr Ahmad al-nazi, Ahkdm al-Quran, (BeirutLubnan: Dar al-Filer), t.th. Maraghi, al-, Ahmad Mushthafa, Tafsiral-Maraghi, (t.tp.: t.p.), t.th. Qurthubi, al-, Abi „Abd Allah, al Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, (t.tp.: t.p.), t.th. Samargandi, al-, Nashr ibn Muhammad Ahmad Abu al-Layts, Tafsir al-Samarqhandi (Bahr al-‟ Ulum), (Beirut-Lubnan: Dar al-Filr), t.th. Sayyid, al-, Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut-Lubnan: Dar al-Jayl), 1973. Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-UndangPerdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indanesia, (Jakarta: Rajawali Pers), 2003