HUJJAH TERAGUNG DALAM AL-QUR`AN, Tafsir Surat Al-Ashr
Allah telah menurunkan sebuah hujjah kepada makhluk-Nya yang seandainya Allah tidak menurunkan hujjah selain itu maka ia telah mencukupi. Ia adalah sebuah surat yang pendek dan ringkas tetapi sarat dengan makna dan pelajaran serta hujjah yang nyata bagi siapa yang mentadabburinya. Ia tiada lain adalah surat al-‘Ashr.
ِ ِ َ اْل ْٔض ِ ِ ِ اْٛ اص َ ) إ ََِّّل ا ٌَّز2( ٍبْ ٌَفي ُخ ْضش َ ٓي َ َٛ َرَٚ اٌصبٌ َحبد َ ِ ْ َّْ ) ِإ1( ِا ٌْ َع ْصشَٚ « َّ اٍُٛ ّ َعَٚ إُِٛآ » ِِبٌصجش ا ثْٛ اص َ َٛ َرَٚ ثِب ٌْ َح ِك ْ َّ “Demi masa. Sesungguhnya seluruh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta orang-orang yang saling berwasiat dalam kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.” [QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3] Imam as-Syafi’i mengomentari ayat ini:
ِِ ِِ َ ُُٙ َس َح ٌَ َى َف ْزْٛ اٌض ُّ ٖاَّلل ُح َّد ًخ َع ٍَى َخ ٍْمٗ ِإَّل َّ َ٘ز ُ َّ َِب أ ْٔ َز َيْٛ ٌَ ْ “Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah bagi makhluk-Nya selain surat ini, niscaya ia telah mencukupi.” [Tafsîr Imâm asy-Syafi’î (III/1 46)] Allah memulai surat ini dengan sumpah, menunjukkan bahwa apa yang akan disebutkan merupakan perkara yang besar dan perlu diperhatikan oleh manusia. Kemudian Allah mengabarkan bahwa seluruh manusia tanpa terkecuali berada dalam kerugian, laknat, dan kesesatan. Ini seperti dalam ayat yang lain :
ِ َّ ًِي َ ْ إ ِْْ ُر ِط ْع أَ ْو َثش َِ ْٓ ِفيَٚ « »اَّلل ِ ن َع ْٓ َصجٛ َ ٍُّ اْل ْس ِض يُ ِض َ “Jika engkau mengikuti (keinginan) kebanyakan orang di bumi niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” [QS. Al-Mâ`idah [6]: 116]
ِِ ِ ِب أَ ْو َثشٚ« »ٓي َّ ُ َ ِٕ َح َش ْص َذ ث ُِّ ْؤْٛ ٌَ َٚ إٌبس ََ “Dan tidaklah kebanyakan manusia beriman meskipun engkau sangat menginginkan (mereka beriman).” [QS. Yûsûf [12]: 103] Kemudian Allah mengecualikan dari mereka 4 golongan manusia. Siapakah mereka itu?
Pertama dan kedua: Orang yang beriman dan beramal shalih. Ada 4 makna mengenai orang beriman dan beramal shalih.
Makna yang pertama adalah ibadah batin dan ibadah dhahir. Ibadah batin seperti roja’ (berharap), khouf (rasa takut), mahabbah (cinta), raghbah (berharap diterima amalnya), rahbah (takut ditolak amalnya), ikhlas, tawakkal, dan yang semisalnya. Diantara ibadah batin yang teragung adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, rasul-Nya, hari Akhir, dan takdir sebagaimana hadits Jibril AS, “Apa itu iman?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ِ ا ٌْيٚ ،ِٗ ٍِ سصٚ ،ِِٗ ُوزجٚ ،ٗئى ِز ِ ِ َ »ِٖ َع ِشَٚ ِٖ ِرُ ْؤ ِِ َٓ ثِبٌ َم َذسِ َخيشَٚ ،َ اآل َِخشٛ ُ ُ َ ُ َ َ َِالَٚ ،«أ ْْ رُؤِ َٓ ثِبَّلل ْ َ َ “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.” [HR. Muslim (no. 8) dari ‘Umar RA] Ibadah dhahir seperti rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sebagaimana hadits Ibnu ‘Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ِ ُيٛأَ َّْ ِحّذ ًا سصٚ بد ِح أَ ْْ َّلَ ِإ ٌَٗ ِإَّل َّ اَّللْٙلصالَ ع ٍَى َخّ ٍش َع ِ ِ ِإ َل ِبَ اٌصٚ ،اَّلل ،الح َ َ َ ُ ْ ِ « ُثٕ َي ا َ َ ْ ُ َ َ َّ َ ُ َ َّ ْ ِ »ْب َ َِ َس َِ َضْٛ َصَٚ ، َح ِح اٌج ِْي ِذَٚ ،اٌز َو ِبح َّ إ ِْي َزبءَٚ “Islam dibagun di atas lima hal: syahadat lâ ilâha illâllâh dan muhammadur rasûlûllâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.” [Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 8) dan Muslim (no. 16) dari Ibnu ‘Umar RAHUMA] Maka termasuk orang yang Allah kecualikan dari kerugian adalah orang-orang yang mengamalkan ibadah batin dan dhahir terutama rukun iman dan rukun Islam. Makna kedua adalah ikhlas dan ittiba’. Hal ini disebabkan inti dari keimanan adalah ikhlas (memurnikan) ibadah hanya kepada Allah semata dan tidak mencampurinya dengan kesyirikan dan riya’. Allah berfirman:
ِ ِ ِ ِ ُِ »يٓ ُح َٕ َف َبء َ يٓ ٌَ ُٗ اٌذ َ اَّلل ُِ ْخٍص َ َّ اٚا إ ََِّّل ٌ َي ْع ُج ُذٚ َِب أِ ُشَٚ « “Dan mereka tidak diperintah kecuali menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama yang lurus kepada-Nya.” [QS. Al-Bayyinah [98]: 5]
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ِ ُّ أَ َٔب أَ ْغٕى: َرعب ٌَىٚ « َل َبي اَّلل َرجبس َن ِ ِٓ بء ع َِ ْٓ َع ِّ ًَ َع َّ ًال أَ ْعش َن ِف ِيٗ َِ ِعي،اٌغش ِن َ َ اٌغ َش َو َ َ َ َ ُ َ ْ »ُٗ ِعش َوَٚ ُٗ َرش ْو ُز،َغيشِ ي ْ ْ َ
“Allah berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang dicampuri kesyirikan bersama-Ku, maka aku akan meninggalkannya dan kesyirikannya.’” [HR. Muslim (no. 2985) dari Abu Hurairah RA] Dan sebuah amalan dikatakan amal shalih jika amal tersebut sesuai dengan petunjuk nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berdasarkan hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
» َسدَٛ ُٙ س ِفي أَ ِْشِ َٔب َ٘ َزا َِب ٌَي َش ِِ ْٕ ُٗ َف «ِٓ أَحذ ْ ْ َ َ ْ ْ َ “Barangsiapa yang mengada-mengada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” [Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718) dari ‘Aisyah RAH]
» َسدَٛ ُٙ « َِ ْٓ َع ِّ ًَ َع َّالً ٌَي َش َع ٍَي ِٗ أَ ِْش َٔب َف ْ ُ ْ “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.” [HR. Muslim (no. 1718)] Hal ini disebabkan ibadah ikhlas apapun tidak akan Allah terima hingga ia sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga jadilah dikatakan suatu ibadah baik (ihsan) hingga diterima Allah jika ikhlas dan ittiba’ mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Begitulah, Allah hanya menerima ibadah yang baik (ihsan) saja, sebagaimana firman-Nya:
»اٍُٛ ِّ ُ أَ ْح َض َٓ َِب َعُٙ ْٕ يٓ َٔ َز َمج ًُ َع ٌ ِئه اٌ ِزُٚ«أ ْ َّ َ َّ َ َ “Merekalah orang-orang yang Aku terima ibadah mereka yang baik (ihsan) yang telah mereka kerjakan.” [QS. Al-Ahqâf [46]:] Imam Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Allah:
»ً ُوُ أَ ُّي ُىُ أَ ْح َض ُٓ َع َّالَٛ ٍُ ا ٌْ َحيب َح ٌِيجَٚ َدْٛ َّ ٌْ «اٌَّ ِزي َخ ٍَ َك ا ْ ْ َْ “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang paling baik (ahsan) amalnya.” [QS. Al-Mulk [67]: 2]
اثب فبٌخبٌصٛٔخبٌصب صٛ ا ٌْ َع َّ ًُ ََّل ُي ْمج ًُ حزى يى: َل َبيَٚ .ُٗ ُثَٛ أَ ْصَٚ ُٗ أَ ْح َض ُٓ َع َّ ًال أَ ْخ ٍَ ُص َ اٌض َّٕ ِخ َ اة ِإ َرا َو ُّ بْ َع ٍَى ُ َٛ اٌص َّ َٚ إرا وبْ اَّلل “Yakni amal yang ikhlas dan benar. Amal tidak akan diterima hingga ikhlas dan benar. Dikatakan ikhlas jika hanya untuk Allah dan benar jika di atas sunnah.” [Tafsîr al-Baghawî (V/125)] Makna Ketiga: berakhlak mulia kepada al-Khaliq dan makhluk. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya:
ِ »ذ ِْل ُ َر ُِّ َِ َىبسِ ََ ْاْلَ ْخ َال ِق ُ «إ َِّٔ َّب ُثع ْث َ “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.” [Shahih: HR. AlBaihaqi (no. 27572) dalam Syu’abul Imân. Dinilai shahih oleh al-Hakim, Ibnu Abdil Barr, al-Haitsami, dan al-Albani] Lafazh innamâ (hanyalah) seakan mengisyaratkan tugas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanyalah memperbaiki akhlak saja padahal tugas teragung Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tauhid dan mengenalkan umat kepada Allah. Hal ini hanya bisa digabungkan bila akhlak di sini mencakup akhlak kepada Allah dengan mensucikannya dari cacat dan kesyirikan dan mengesakannya dalam peribadahan. Akhlak kepada Allah harus diiringi akhlak kepada makhluk terutama manusia, yakni dia perlu memperbaiki hubungannya dengan Allah (habluminallah) dan hubungannya dengan manusia (hablumminannas). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan akhlak kepada binatang dalam sabdanya:
ٍ بْ ع ٍَى ُو ًِ َع ِ إُٛ َف ِئ َرا َلز ٍْزُ َفأَح ِض،يء ِ َّلل َو َز َت ا إُٛ ِإ َرا َر َث ْح ُزُ َفأَ ْح ِضَٚ ،اٌم ْز ٍَ َخ َ َ ْل ْح َض ْ ُْ َ َ « ِإ َّْ ا ْ ِ »ُٗ ٌْيشِ ْذ َرثِي َح َزَٚ ،ُٗ ٌْي ِح َّذ أَ َح ُذ ُوُ َع ْفش َرَٚ ،اٌز ْث َح َخ ْ ْ ُ ُ َ “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat baik atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh membunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kalian menyembelih menyembelilah dengan baik pula. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan mempermudah penyembelihan.” [HR. Muslim (no. 1955) dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus RA]
ٍ ِ ِ ِ ِ ََّلَٚ بَٙ َّلَ ِ٘ي أَ ْط َع َّ ْز،بس َّ بَٙ ب َح َّزى َِ َبر ْذ َف َذ َخ ٍَ ْذ ف ْيَٙ « ُعز َث ِذ ْاِ َشأَ ٌح فى ٘ َّشح َص َد َٕ ْز َ ٌٕا َ ِ ب َر ْأ ُو ًُ ِِٓ َخ َغَّٙلَ ِ٘ي َرش َوزٚ ،بٙب ِإ ْر حجضزٙص َمز »بط اْلَ ْس ِض ْ َْ َ َ َْ َ َ َْ َََ “Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati, lalu dia pun masuk neraka. Dia tidak memberi makan dan minum saat mengurungnya, tidak pula membiarkannya lepas untuk makan makanan di bumi.” [Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3482) dan Muslim (no. 2242) dari ‘Abdullah bin ‘Umar RAHUMA]
ٍ ِ َف َٕ َز َع ْذ،ًي َ ِإ ْر َسأَ ْر ُٗ َث ِغى ِِ ْٓ َث َغ َبيب َث ِٕى إ ِْص َش ِائ،بد َي ْم ُز ٍُ ُٗ ا ٌْ َع َط ُظ ُ ت يُ ِط َ يف ث َِشو َّيخ َو ٌ ٍْ « َث ْي َٕ َّب َو »ِِٗ ب ثَٙ ٌَ َف ُغ ِفش،ُٗ ب َف َض َم ْزَٙ َلْٛ ُِ َ “Suatu ketika ada seekor anjing yang berputar-putar hampir mati karena kehausan. Tibatiba seorang pezina dari Bani Israil melihatnya lantas melepas sepatunya lalu memberi
minum anjing itu. Maka, karena itu Allah mengampuninya.” [Muttafaqun ‘Alaih: HR. AlBukhari (no. 3467) dan Muslim (no. 2345) dari Abu Hurairah RA] Jika binatang saja diperintahkan untuk diperlakukan baik dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengancam dengan hukuman berat bagi yang berlaku jahat kepada mereka, maka manusia lebih ditekankan lagi. Abu Hurairah RA bercerita:
بَٙ َٔ ِخيشا َ َٛ ُ َر ُصَٚ
ُر ْؤ ِريَٚ ًَ َ اٌ ٍَّيٛ رمٚ بسٌٕٙا ْ ُ ُ َ َ َ َ َّ ِ ث َخٛ َ َفئ َِّْ ُف َال َٔ َخ ُر َصٍي ا ٌْ َّ ْى ُز
ِ ِ َ ِل َٛ َّ ٌ ًي ُ «إ َِّْ ُف َال َٔ َخ َر ُص:َُ ٍَّ َصَٚ ٍٕٗج ِِي َص ٍَّى اَّللُ َع ٍَ ْي ِ ِ ِ ِ ِ :ًي َ ِل،» ِإٌبس َّ ب ٘ َي فيٙي َ « ََّل َخ ْي َش ف:ب َف َم َبيَٙ ٔثٍِ َضب » « ِ٘ي ِفي ا ٌْ َد َّٕ ِخ:ب َل َبيَٙ ٔ ََّل ُر ْؤ ِري أَ َح ًذا ث ٍِِ َض ِبَٚ اسٍ ِِ ْٓ أَ ِل ٍطَٛ َر َز َص َّذ ُق ِثأَ ْثَٚ ْب َ َس َِ َض َ
“Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ada seorang wanita yang selalu puasa di siang hari dan shalat di malam hari tetapi lisannya suka menyakiti tetangganya.” Lalu beliau menjawab, “Tidak ada kebaikan padanya dan dia di neraka.” Ditanyakan lagi, “Ada pula wanita yang shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan bersedekah dengan sedikit gandum tetapi tidak pernah menyakiti seorang pun dengan lisannya.” Beliau menjawab, “Dia di surga.” [Shahih: HR. Al-Hakim (no. 7305, IV/184) dalam al-Mustadrâk. Dinilai shahih oleh al-Albani, al-Arna`uth, dan al-Hakim seraya berkata, “Sesuai syarat al-Bukhari Muslim,” dan disetujui adz-Dzahabi] Tampak dalam hadits tersebut bahwa wanita itu baik akhlaknya kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah apalagi yang wajib. Tetapi ternyata Allah tidak menyukainya karena dia tidak menggabungkan dengan berakhlak mulia kepada tetangganya dengan sering menyakiti mereka dengan lisannya. Hal ini menunjukkan bahwa belum cukup seseorang disebut orang beriman dan beramal shalih sampai dia berakhlak kepada Allah juga makhluk-Nya. Di dalam hadits lain, juga disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بَٙ أ ُ ِخيج: َف َم َبي،ُٗ َخ َبء ْر ُٗ أ ُ ُِّ ُٗ َف َذ َع ْز،بْ ُي َص ٍِي ُ يً َس ُخ ًٌ يُ َم َ بْ ِفي َث ِٕي إ ِْص َش ِائ َ َو،ح َ « َو ٌ بي ٌَ ُٗ ُخ َش ْي ُ ِ ِ ِ ِ ِضٛ ح ِفي َ َوَٚ ،بد ٌ بْ ُخ َش ْي َ ُخُٚ ُٗ َُّ َّلَ ُرّ ْز ُٗ َح َّزى ُرشِ َيُٙ ٍَّ ٌ ا: َف َمب ٌَ ْذ، أ ُ َصٍيْٚ َأ َ ٌّا ُ ٖٛ ٌَ َذ ْدَٛ َف،بَٙ َفأَ َر ْذ َس ِاعيب َفأَ ِْ َى َٕ ْز ُٗ ِِ ْٓ َٔ ْف ِض، َو ٍَّ َّ ْز ُٗ َفأَ َثىَٚ َف َز َعش َض ْذ ٌَ ُٗ ْاِشأَ ٌح،ِٗ َِ َع ِزْٛ َص ً َ َّ ِ َ َص ٍَّى ثُُ أَ َرىَٚ َ َّضأَٛ َف َز،ٖٛ ُ َص ُّجَٚ ٖٛ ُ ٌُأَ ْٔ َزَٚ ُٗ َِ َع َزْٛ ا َصٚ ُٖ َف َى َض ُشْٛ ِ ْٓ ُخ َش ْي ٍح َفأ َر: َف َمب ٌَ ْذ،ُغالَ ًِب َّ ،َ َّل: َِ َع َز َه ِِ ْٓ َر َ٘ ٍت؟ َل َبيْٛ َٔج ِٕي َص:اٌُٛ َلب،ن َيب ُغالَ َُ؟ َل َبي اٌش ِاعيٛ َ َِ ْٓ أَ ُث: َف َم َبي،ََ َاٌغال ُ ْ َّ »ٓي ٍ إ ََِّّل ِِ ْٓ ِط “Di kalangan Bani Isra`il ada seorang yang bernama Juraij. Suatu ketika dia shalat lalu ibunya datang memanggilnya. Juraij berkata (dalam hati), ‘Aku memenuhi panggilannya atau tetap shalat?’ Lalu ibunya berdoa, ‘Ya Allah janganlah Engkau mewafatkannya hingga Engkau
perlihatkan padanya wajah wanita pelacur.’ Ketika Juraij di tempat ibadahnya, dia dirayu seorang wanita dan menawarkan dirinya tetapi Juraij tidak mau. Lalu wanita itu mendatangi penggembala lalu berzina dengannya lalu lahirlah seorang bayi lalu dia berkata, ‘Ini anaknya Juraij.’ Lalu orang-orang mendatangi tempat ibadah Juraij untuk mengusirnya dan merobohkannya. Lalu dia berwudhu lalu shalat lalu mendatangi bayi tersebut seraya bertanya, ‘Siapakah ayahmu wahai bayi?’ Dia menjawab, ‘Penggembala.’ Maka orang-orang pun berkata, ‘Kami akan membangun kembali tempat ibadahmu dari emas.’ Juraij menjawab, ‘Tidak. Dari tanah saja.’” [Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3436, IV/165) dan Muslim (no. 2550) dari Abu Hurairah RA] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Juraij adalah ahli ibadah. Bahkan dia adalah orang shalih dan wali Allah yang mempunyai karomah. Ini bisa diketahui dengan bagusnya ibadahnya kepada Allah dan pertanyaannya kepada bayi serta sikapnya tidak mau mushallanya dibuat dari emas. Kemudian Allah mengabulkan doa keburukan dari ibunya, padahal ibunya mendoakannya karena pilihan Juraij lebih mendahulukan shalatnya ketimbang ibunya. Tetapi justru Allah lebih memenuhi doa ibunya, karena Juraij telah salah sikap dalam hal ini. Dia lebih mendahulukan keutamaan (ibadah shalat sunnah) daripada kewajiban birrul walidain berupa memenuhi panggilan ibunya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa belumlah cukup seseorang dikatakan beriman dan beramal shalih hingga dia menggabungkan antara akhlak kepada Allah dan makhkluk-Nya.
Makna Keempat adalah ilmu dan amal. Makna ini ditunjukkan oleh sebuah hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ِ ب إ ََِّّل ِر ْوش هٙ ٌْ ِب ِفيٛ َٔ ٌخ ِ ٍْعٛاٌذ ْٔيب ِ ٍْع َ »ٍُِ ُِ َز َعْٚ َ َع ِبٌُ أَٚ ُٖ َاَّلَٚ َِبَٚ اَّلل َ َ ُ َ ُ َ َ ُّ َّْ «أ ََّل ِإ ٌ ٌ ُ “Ketahuilah bahwa dunia itu terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, dan orang alim atau penuntut ilmu.” [Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2322) dan Ibnu Majah (no. 4112) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dinilai hasan oleh al-Albani] Semua manusia rugi kecuali orang yang berilmu dan yang mengamalkan ilmunya. Hal ini disebabkan Allah tidak bisa dikenal dan tidak suka diibadahi kecuali dengan ilmu, untuk itu Allah membenci kaum Nashrani karena mereka beribadah tanpa ilmu dan menyebut mereka dengan kaum yang sesat. Kemudian ilmu tidak akan bermanfaat dan berguna bagi ahlinya kecuali diamalkan karena ilmu dicari untuk diamalkan. Untuk itu Allah murka kepada orang-orang Yahudi yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya dan menyebut mereka sebagai kaum yang dimurkai. Tentang ilmu, Allah berfirman:
َ ْ « َف »اَّلل ُ َّ بع ٍَ ُْ أ َّٔ ُٗ ََّل ِإ ٌَ َٗ إ ََِّّل
“Maka ilmuilah bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah.” [QS. Muhammad [47]: 19] Tentang amal, Allah berfirman:
ِ َ ٍُ أَ ْٔزُ َرزٚ ُ َْ أَ ْٔ ُفض ُىٛ َر ْٕضٚ ْ إٌبس ثِب ٌْج ِِشٚ ْ َ »ْٛ َ ٍُ بة أَ َف َال َر ْع ِم ْ ُْ َ ْ َ َ ْ ا ٌْى َزٛ ْ َ َ َ َّ َ «أ َرأ ُِ ُش “Apakah kalian hendak memerintahkan kebaikan kepada manusia tetapi kalian sendiri melupakan diri-diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitab? Apakah kalian tidak berakal???” [QS. Al-Baqarah [2]: 44] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ٌِ اج ي ِضيء ِ ِ ِ ِ ي ْحشِ ُقٚ َّ ُ َّ ُُ ٍ« َِ َث ًُ ا ٌْ َعبٌ ُِ اٌَّزي يُ َع َ ٍٕبس َ بس ا ٌْ َخ ْي َش َ ٌٕا ُ ِ ي ْٕ َضى َٔ ْف َض ُٗ َو َّ َث ًِ اٌض َشٚ »ُٗ َٔ ْف َض
“Perumpamaan orang alim yang mengajari manusia kebaikan tetapi melupakan dirinya seperti lilin yang menerangi manusia tetapi membakar dirinya.” [Jayyid: HR. Ath-Thabarani (no. 1681) dalam al-Mu’jam al-Kabîr dari Jundub Abu Dzar radhiyallahu ‘ahnu. Dinilai baik sanadnya oleh al-Albani]
ِ ِ ِ ِ ِ سٚ «يدبء ث َّ َف َز ْٕ َذٌ ُك أَ ْل َز ُبث ُٗ في، ِإٌبس َّ ََ اٌم َي َبِخ َف ُي ٍْ َمى فيْٛ ِبٌش ُخ ًِ َي ُ س َو َّب َي ُذٚ ُ َف َي ُذ، ِإٌبس َّ ُ َ ُ ِ ِ أَ ْي ُفالَ ُْ! َِب َع ْأ ُٔ َه؟ أَ ٌَي َش ُو ْٕ َذ َر ْأ ُِش َٔب:ْٛ َ ٌُٛإٌبسِ َع ٍَ ْي ِٗ َف َي ُم َّ ًُ ْ٘ َ َف َي ْد َزّ ُع أ،ٖبس ث َِش َح ُب ُ َّ اٌح ْ ُ ِ ُو ْٕذ آِش ُوُ ثِب ٌّْعش:ب َٔب ع ِٓ اٌّ ْٕ َىشِ ؟ َل َبيْٕٙ َرٚ فٚ ِ ثِب ٌّْعش ِٓ بوُ َع َٙٔأٚ ،َّٗلَ ِآر ِيَٚ فٚ َ َ َ ُ ُْ َْ َ ْ ُُ ُ ُْ َ ُْ َ »ٗ ِآر ِيَٚ ِاٌّ ْٕ َىش ُ “Akan didatangkan seseorang pada hari Kiamat lalu dilempar ke neraka lalu usus-ususnya keluar berceceran di neraka. Dia berputar-putar seperti putaran keledai di tempat penggilingan. Kemudian penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya, ‘Wahai fulan, apa yang terjadi padamu? Bukankah dahulu kamu memerintah kami yang ma’ruf dan melarang kami yang mungkar?’ Dia menjawab, ‘Dulu memang aku memerintahkan kalian yang ma’ruf tetapi aku sendiri tidak melaksanakannya, dan aku melarang kalian yang mungkar tetapi aku sendiri melanggarnya.’” [Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 3267) dan Muslim (no. 2989) dari Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘ahnuma] Ketiga dan Keempat adalah Orang berdakwah dan Bersabar. Allah SWT berfirman:
ِ ْأِش ثِب ٌّْعشٚ «يب ث َٕي أَ ِل ُِ اٌص َال َح »اصجِش َع ٍَى َِب أَ َص َبث َه ٚ ِأٗ عٓ إٌّىشٚ فٚ َّ ْ ْ َ َ ُْْ ِ َ َْ َ ُْ َ ُْ َ َّ ُ َ
“Wahai ananda, laksanakanlah shalat dan perintahkan yang makruf dan cegahlah yang mungkar serta bersabarlah atas apa yang menimpamu.” [QS. Luqmân [31]: 17] Dalam ayat ini Allah menggabungkan empat kriteria orang yang dikecualikan dari kerugian. Yang pertama (ilmu) dan kedua (amal) ditunjukkan oleh ayat “laksanakanlah shalat” karena amal shalat tidak akan benar kecuali dengan ilmu. Sementara yang ketiga (berdakwah) dan keempat (sabar) ditunjukkan oleh ayat “perintahkan yang makruf dan cegahlah yang mungkar” sebagai isyarat berdakwah dan ayat “serta bersabarlah atas apa yang menimpamu” sebagai isyarat bersabar terutama dalam berdakwah. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
»بَٙ اص َطجِش َع ٍَي ٚ ْأ ُِش أَ ْ٘ ٍَ َه ثِبٌصال ِحَٚ « ْ ْ ْ َ َ َّ ْ “Dan perintahkanlah keluarganmu untuk shalat dan bersabarlah kamu atasnya.” [QS. Thâhâ [20]: 132] Allah melaknat Bani Isra`il karena mereka tidak mau berdakwah sebagaimana firman-Nya:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ يً ع ٍَى ٌِض اْٛ يضى ْاث ِٓ َِش َيُ َر ٌِ َه ث َِّب َع َص َ ٚبْ َد ُا َ َ ا ِ ْٓ َثٕي إ ِْص َشائٚيٓ َو َف ُش َ «ٌُع َٓ اٌَّز َ عَٚ دٚ َ َ ْ »ْٛ َ ٍُ ا َي ْف َعُٖٛٔ ٌَج ِْئ َش َِب َوبٛ َ ا َي ْع َز ُذُٛٔ َوبَٚ َ َٕ ا ََّل َي َزُٛٔ) َوب78( ْٚ ُ ٍُ َْ َع ْٓ ُِ ْٕ َىشٍ َف َعْٛ ٘ب “Orang-orang kafir dari Bani Isra`il dilaknat lewat lisan Dawud dan Isa bin Maryam. Hal itu disebabkan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah kemungkaran yang mereka kerjakan. Sungguh amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” [QS. Al-Mâ`idah [5]: 78-79] Dalam surat Hûd Allah menceritakan tentang model-model manusia yang tidak beradab kepada Allah. Jika ditahan rezekinya, mengadu kepada Allah tetapi jika diberi rezeki justru melupakan Allah. Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang sabar:
ِ ا اٌص ِبٌحٍُٛ ِّ عٚ اٚ«إ ََِّّل اٌَّ ِزيٓ صجش »أَ ْخش َوجِيشَٚ ُ َِ ْغ ِفش ٌحُٙ ٌَ ٌَ ِئ َهُٚبد أ َ َ َُ َ َ َ َّ ْ َ ٌ ٌ “Kecuali orang-orang yang sabar dan beramal shalih. Merekalah orang-orang yang akan mendapat ampunan dan rezeki yang besar.” [QS. Hûd [11]: 9-11] Kesimpulan Semua manusia berada dalam kerugian, kesesatan, dan laknat kecuali manusia yang memiliki empat sifat, yaitu berilmu, beramal, berdakwah, dan bersabar. Kadar kerugian, kesesatan, dan laknat atasnya sesuai dengan kadar lemahnya ilmu, amal, dakwah, dan kesabarannya. Maka, barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya empat perkara ini maka dialah orang yang sukses dan beruntung. Allahu a’lam. Artikel www.norkandirblog.wordpress.com