SAHIDI DAN SUYASA Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi 2007, Vol. 9, No. 2, 186-206
Hubungan Trait Kepribadian dan Sikap terhadap Sistem Penilaian Kinerja (Studi pada Pengemudi Bus TransJakarta) Adriyani Sahidi & P. Tommy Y. S. Suyasa Universitas Tarumanagara
The research aim was to find out whether the personality trait that using the big five personality factors were significantly and positively correlated with attitude toward performance appraisal system. Method for this research is quantitative and non experimental with correlation research design. A hundred ten (110) TransJakarta bus drivers who have worked minimum for a year, completed the big five scale NEO PI-R and the attitude toward performance appraisal system scale. Among the big five personality facet level, two aspects of openness, aesthetics rs(110) = .22 and ideas rs(110) = .19 were positively related to attitude toward performance appraisal system. Within the conscientiousness dimension, dutifulness rs(110) = .22 and achievement striving rs(110) = .21 were significantly and positively correlated with attitude toward performance appraisal system. Within the extraversion dimension, excitement seeking rs(110) = .21 and positive emotion rs(110) = .23 were significantly and positively correlated with attitude toward performance appraisal system. Finally, these result is recommended to be used in TransJakarta bus driver recruitment process, so that the management would get the best drivers whose performance match to the company expected. Furthermore the service to the society could increase and become a model for another public transportation company. Keywords : The big five personality trait, attitude, performance appraisal system, bus driver
Dalam penelitian Levy dan Williams (1998) menunjukkan bahwa sikap dan reaksi karyawan terhadap proses penilaian Adriyani Sahidi adalah alumni Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Putu Tommy Y.S adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Korespondensi artikel ini dialamatkan ke E-mail: sumatera.
[email protected]
186
kinerja sangat penting untuk mengetahui dan mengevaluasi bergunanya sistem penilaian kinerja. Karyawan yang mengerti sistem penilaian kinerja akan positif sikapnya terhadap penilaian kinerja dan menerima hasil dari penilaiannya. Semakin positif sikap karyawan terhadap penilaian kinerja, maka semakin efektif pula penilaian kinerja yang dilakukan oleh pihak manaje-
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
men. Penggunaan penilaian kinerja menunjukkan asosiasi positif dengan sikap karyawan terhadap penilaian itu sendiri dan juga terhadap penilai. Karyawan melihat penilaian kinerja berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya yang didasari oleh kognisi yang dapat mengarah pada respon sikap, apakah puas atau tidak puas. Dalam penelitian Wright (2004) dijelaskan jika karyawan tidak puas dengan hasil penilaian akan mempunyai dampak dan implikasi yang besar bagi perilaku organisasi dalam rendahnya moral dan produktivitas, tingginya tingkat absen dan keterlambatan, dan turn over karyawan. Ini berarti bahwa jika karyawan merasa puas dengan pengalaman dinilai dan menerima hasil penilaian dalam proses penilaian kinerja, maka sistem penilaian kinerja yang digunakan di perusahaan tersebut akan disikapi dengan positif. Dampaknya juga berpengaruh pada produktivitas dan kepuasan kerja yang meningkat. Secara spesifik, penilaian kinerja juga diterapkan pada pengemudi atau supir bus. Menurut Anderson, Gomez, Molofsky, Morison, dan Vidal (2001), penilaian kinerja untuk pengemudi bus diawali dengan evaluasi keterampilan selama dan setelah periode pelatihan. Proses evaluasi tersebut merupakan langkah formal untuk melihat apakah kinerjanya sudah sesuai dengan tujuan organisasi dan apakah pengemudi tersebut sudah mampu melayani masyarakat dengan baik. Menurut penelitian Anderson et al. (2001), di Amerika, 58% perusahaan bus menilai kinerja pengemudinya dan 80% dari perusahaan tersebut melakukan penilaian kinerja setiap 12 bulan sekali. Dari hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa pengemudi bus tidak melihat proses evaluasi penilaian sebagai pengalaman ne-
gatif, tetapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki keterampilan dan pelayanan. Sehingga dapat dikatakan bah-wa sikapnya positif terhadap penilaian kinerja. Anderson et al. (2001) juga melakukan penelitian pada perusahaan bus Duluth Transit Authority yang selama 12 tahun melakukan penilaian dan observasi terhadap pengemudinya. Penilaian dan observasi tersebut meliputi penerimaan gaji, pengetahuan hukum lalu lintas, pelayanan terhadap penumpang, pengoperasian kendaraan, pemberhentian bus, dan kinerja yang tepat waktu. Hasil dari penelitian itu didapatkan bahwa sebagian pengemudi mendapat penilaian yang buruk karena tidak memahami kriteria penilaian dengan jelas dan menganggap penilai tidak adil. Sehingga para pengemudi menyikapi penilaian kinerja dengan negatif dan menolak hasil penilaian. Menurut Simamora (2004), karyawan tidak akan mempercayai sistem penilaian kinerja yang tidak mereka mengerti dan membuat mereka sama sekali tidak setuju dengan hasil evaluasi dan ingin menentangnya. Ternyata masalah tersebut di atas juga terdapat pada PT. Jakarta Express Trans (JET), yang menaungi pengemudi bus TransJakarta koridor 1 atau yang lebih dikenal dengan sebutan busway. Dalam praktiknya, diketahui adanya pemecatan sekitar 25 orang pengemudi. Semua itu disebabkan karena mental dan kepribadian mereka masih seperti pengemudi angkutan umum, yaitu sikap ugal-ugalannya masih melekat, berpakaian tidak rapi dan melakukan pungutan liar terhadap penumpang. Padahal manajemen telah menerapkan standar operasi penilaian, yaitu cara mengemudi, cara berpakaian, kecepatan kendaraan, hingga perilaku di lapangan (“Seleksi ketat demi 40 pramudi,” 2004).
187
SAHIDI DAN SUYASA
Melalui prosedur standar yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan seperti penggajian, jam kerja, hari libur, serta sistem reward dan punishment, yang terangkum dalam sistem penilaian kinerja, maka seluruh SDM yang terlibat dalam busway didorong untuk memproduksi kinerja yang optimal. Sementara itu, keberhasilan busway bergantung pada peranan pengemudi. Sebagus apapun program busway, jika pengemudinya tidak seperti yang diharapkan, maka akan mengurangi kepercayaan masyarakat (Dagun, 2006). Melihat sistem penilaian kinerja memiliki dampak dan pengaruh bagi sebagian karyawan, dan merupakan suatu sistem penting dalam industri dan organisasi, maka masalah dalam sistem penilaian kinerja penting untuk diperhatikan. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sistem penilaian kinerja dapat dipandang berbeda oleh masing-masing individu. Sebagian karyawan menyikapi sistem penilaian kinerja dengan positif dan sebagian lagi menyikapinya dengan negatif. Sikap adalah karakteristik yang bertahan dalam jangka waktu lama terhadap cara berpikir, berperasaan, dan bertingkah laku (Ivancevich, 2001). Gibson et al. (2003) membagi sikap ke dalam tiga komponen utama, yaitu afeksi, kognisi, dan perilaku. Mereka juga mengatakan bahwa sikap merupakan perasaan positif dan negatif atau kesiapan keadaan mental yang dipelajari dan diorganisasikan sepanjang pengalaman yang mempengaruhi seseorang dalam merespon orang lain, objek, dan situasi. Objek sikap bisa berupa apa saja (Azwar, 1995). Dalam penelitian ini objek sikap yang dibahas adalah sistem penilaian kinerja. Sikap seseorang yang berbeda-beda terhadap objek yang sama dipengaruhi oleh
188
afek. Pekerja dengan afek negatif tinggi cenderung merasa gugup, tegang, cemas, khawatir, marah, dan distres. Mereka mempunyai sikap negatif terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di sekeliling mereka termasuk pekerjaan. Sebaliknya pekerja dengan afek positif yang tinggi cenderung memiliki perasaan sejahtera (well being), memandang dirinya secara efektif dan menyenangkan, serta memiliki sikap yang positif terhadap pekerjaan (Luthans, 1998). Menurut Eysenck (dalam Hall, Lindzey, & Campbell, 1998) kepribadian adalah sesuatu yang mendasari perbedaanperbedaan penting di antara masing-masing individu dalam bersikap, bertingkah laku, dan dalam menentukan pilihan-pilihannya. Menurut Ivancevich (2001), kepribadian adalah karakteristik di mana seseorang berpikir dan berperilaku terhadap lingkungannya. Allport (dalam Gibson et al., 2003) mempunyai pandangan bahwa di dalam kepribadian terdapat trait yang merupakan unit dasar dari kepribadian, yang mendorong individu untuk bertindak yang merupakan sumber keunikan dari masingmasing individu. Pervin, Cervone, dan John (2005), mendefinisikan trait kepribadian sebagai pola yang konsisten pada cara individu berperilaku, merasa, dan berpikir, dengan tujuan untuk menyimpulkan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku dan sikap seseorang. Menurut jurnal yang ditulis Smith dan Canger (2004), di dalam psikologi industri dan organisasi, penelitian tentang kepribadian dianggap penting sejak awal tahun 1990-an. Penyebab pentingnya faktor kepribadian adalah popularitas dan bergunanya model trait kepribadian the big five. Meta analisis yaitu teknik mengkombinasikan beberapa hasil penelitian dan kemudian
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
dianalisa dengan data set statistik (Carter, 2004) dari tahun 1990an telah menggunakan framework the big five untuk membantu mendemonstrasikan bahwa kepribadian penting bagi psikologi industri dan organisasi. Salah satu pentingnya adalah dapat mengelompokan karakteristik kepribadian ke dalam kategori yang memiliki arti. Model kepribadian yang terdiri dari lima faktor yaitu, neuroticism, extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness telah diperhitungkan dalam hampir seluruh variasi pengukuran kepribadian. Beberapa peneliti mengatakan bahwa kepribadian berguna untuk memprediksi pekerjaan yang berhubungan dengan kriteria, kepuasan kerja dan kinerja. Dalam penelitian Saari dan Judge (2004), telah ditemukan bahwa extraversion dan conscientiousness mempengaruhi kepuasan kerja. Individu yang memiliki trait extraversion cenderung lebih terbuka, nyaman, dan mementingkan interaksi interpersonal. Sehingga jika individu tersebut merasa nyaman, didukung, dan diterima baik oleh lingkungan kerjanya, maka akan puas terhadap kerjanya. Individu dengan trait conscientiousness adalah orang yang teratur, dapat diandalkan, cermat, dan pekerja keras. Sehingga individu tersebut akan berusaha menampilkan kinerja yang maksimal, dan jika berhasil maka akan mendapatkan kepuasan kerja yang tinggi. Barrick dan Mount (1993 dalam Smith & Canger, 2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepribadian dapat memprediksi kinerja dengan baik di pekerjaan yang tingkat otonominya tinggi. Dari hasil penelitian meta analisis Barrick dan Mount (1991 dalam Luthans, 1998) ditemukan hanya trait conscientiousness yang menunjukkan hubungan positif yang konsisten terhadap kinerja. Sedangkan diketahui bah-
wa dalam ruang lingkup kinerja terdapat adanya penilaian kinerja yang menjadi suatu sistem penting yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya (Robbins, 1998). Secara timbal balik, sistem penilaian kinerja dapat digunakan untuk mendorong tingkat kinerja karyawan secara sistematis (Simamora, 2004). Ini berarti jika seorang individu mau terlibat dalam proses penilaian kinerja, yaitu memenuhi kriteria penilaian yang diharapkan perusahaan, mengisi kuesioner penilaian, mencatat produktivitas kinerjanya, mengerti metode dalam penilaian, dan memiliki hubungan baik dengan penilai, maka dapat dikatakan memiliki sikap positif terhadap proses penilaian kinerja yang selanjutnya dapat menunjang kinerjanya. Dengan ciri-ciri yang dimiliki individu dengan trait conscientiousness, yaitu cenderung hampir tidak pernah absen dari pekerjaannya, lebih bertanggung jawab (Barrick & Mount, 1991 dalam Luthans, 1998), teratur, dapat diandalkan, cermat, dan pekerja keras (Saari & Judge, 2004) maka ia akan mendukung proses penilaian kinerja sebagai bagian dari kinerjanya yang dapat mengarahkannya pada pembentukan sikap yang positif terhadap penilaian kinerja. Dengan demikian diduga terdapat hubungan antara trait kepribadian dengan sikap terhadap penilaian kinerja.
Sistem Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan salah satu prosedur yang diterapkan manajemen kepada karyawan atau bawahannya untuk melihat kinerja mereka. Sistem penilaian kinerja merupakaan koordinasi antara pihak human resource development (HRD) dengan manajer yang bertanggung jawab
189
SAHIDI DAN SUYASA
melakukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja menurut Levy dan Williams (1998) cukup penting peranannya terhadap pekerjaan, di mana persepsi karyawan tentang proses tersebut mempunyai dampak terhadap sikap dan perilaku. Menurut Anderson et al. (2001) penilaian kinerja memegang peranan penting untuk meningkatkan sikap positif karyawan dan merupakan kebijakan yang membantu efektifitas kerja karyawan. Mengetahui sikap karyawan terhadap sistem penilaian kinerja merupakan sesuatu yang penting dan harus diketahui oleh pihak manajemen. Jewell dan Siegall (1998) mengatakan bahwa para psikolog industri dan organisasi mempunyai cukup banyak bukti bahwa seringkali atasan berbeda pendapat dengan bawahan dalam penilaian unjuk kerja bawahannya. Pihak manajemen merasa bahwa segala bentuk kebijakan, peraturan, dan prosedur yang diterapkannya sudah baik, adil, dan diterima oleh karyawan, tetapi seringkali karyawan memiliki persepsi yang berbeda sehingga mengarah pada sikap yang negatif. Di tambah lagi seringkali karyawan menilai terlalu tinggi unjuk kerjanya, sehingga ketika hasil penilaian kinerja tidak sesuai dengan harapannya, maka akan mengarah pada sikap yang negatif. Robbins (1998) mengatakan bahwa peraturan dan praktik yang dipandang manajemen objektif dan adil mungkin dipersepsikan berbeda oleh karyawan yang dapat mengarah pada sikap negatif terhadap pekerjaan dan organisasi. Sikap karyawan yang positif terhadap sistem penilaian kinerja tentunya merupakan sesuatu yang diharapkan pihak manajemen karena menurut Levy dan Williams (1998) sikap dan reaksi karyawan terhadap proses penilaian kinerja adalah penting untuk mengetahui dan mengevaluasi bergunanya sistem penilaian kinerja.
190
Jika karyawan merasa puas dengan pengalaman dinilai dan menerima hasil penilaian dalam proses penilaian kinerja, maka sistem penilaian kinerja yang digunakan di perusahaan tersebut akan disikapi dengan positif. Dampaknya juga berpengaruh pada produktivitas dan kepuasan kerja yang meningkat. Sikap dapat diukur dengan mengetahui beliefs seseorang terhadap sistem penilaian kinerja. Kemudian dari beliefs tersebut terbentuklah evaluasi umum atau seluruh perasaan suka atau tidak sukanya terhadap suatu objek. (Ajzen & Fishbein, 1980; Ajzen, 1988). Setelah mendapatkan evaluasi dari beliefs tersebut, selanjutnya adalah mengukur strength atau kekuatan beliefnya sehingga didapatkan hasil produk total yang menggambarkan sikap seseorang terhadap sistem penilaian kinerja. Dari hasil tersebut maka dapat diketahui informasi mengenai penilaian kinerja yang telah dijalani karyawan selama ini. Informasi tersebut mencakup pengalaman dinilai selama bekerja, pengetahuan mengenai tujuan dan manfaat penilaian kinerja, metode yang digunakan pihak manajemen, kriteria yang diterapkan, faktor penilai, dan berbagai masalah yang muncul dalam penilaian kinerja. Seluruh pengalaman tersebut akan direspon masing-masing karyawan secara berbeda, sehingga akan mengarah pada pembentukan sikap positif atau negatif. Tidak semua informasi dari penilaian kinerja dimasukkan dalam penelitian ini karena tidak semuanya diterapkan pada PT. JET. Selain itu, menurut Landy dan Conte (2004) proses penting yang saling berkesinambungan dalam penilaian kinerja adalah metode yang digunakan, kriteria yang diterapkan, dan peranan penilai (rater). Sehingga sikap terhadap sistem penilaian kinerja dalam penelitian ini
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
adalah bagaimana seseorang merespon proses penilaian kinerja secara positif atau negatif, yaitu terhadap metode yang dipakai, kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja, dan faktor penilainya (rater).
Kepribadian Menurut Ivancevich (2001), kepribadian adalah karakteristik di mana seseorang berpikir dan berperilaku terhadap lingkungannya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepribadian adalah bagaimana seseorang berperilaku terhadap orang lain dan bagaimana ia menyesuaikan dirinya untuk berinteraksi pada situasi yang bervariasi (Luthans, 1998). Robbins (1998) mengatakan bahwa kepribadian adalah jumlah total reaksi dan interaksi individu dengan orang lain. Gordon Allport (dalam Robbins, 1998) menjelaskan bahwa kepribadian merupakan organisasi dinamik di dalam diri individu yang membuatnya unik di lingkungannya. Greenberg (1996) memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda, menurutnya kepribadian adalah perilaku, pemikiran, serta emosi yang unik dan relatif stabil yang diperlihatkan seorang individu. Dari beberapa definisi di atas, kepribadian didefinisikan sebagai organisasi dinamik di dalam diri individu yang membentuk karakteristik dirinya dan menjadikannya unik, sehingga dapat menentukan perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Trait kepribadian Trait kepribadian adalah karakteristik yang menggambarkan perilaku individu
(Robbins, 1998). Lebih lengkapnya, Allport (dalam Hall et al., 1998) mendefinisikan trait kepribadian sebagai struktur neuropsikis di dalam diri individu yang mempunyai kapasitas untuk menjadikan banyak stimulus diterima dan diproses secara fungsional sehingga membentuk suatu respon tingkah laku yang adaptif dan ekspresif terhadap lingkungan. Allport (dalam Gibson et al., 2003) mempunyai pandangan bahwa trait merupakan unit dasar dari kepribadian, yang mendorong individu untuk bertindak yang merupakan sumber keunikan dari masingmasing individu. Menurut Pervin et al. (2005) trait kepribadian adalah pola yang konsisten pada cara individu berperilaku, merasa, dan berpikir, dengan tujuan untuk menyimpulkan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku dan sikap seseorang. Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa trait kepribadian adalah unit dasar dari kepribadian yang berasal dari faktor struktur neuropsikis individu yang kemudian membentuk karakteristik dan pola yang konsisten terhadap cara individu berperilaku, merasa, dan berpikir sehingga membentuk suatu respon tingkah laku yang adaptif dan ekspresif terhadap lingkungan. Trait tersebut berguna untuk menyimpulkan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku dan sikap seseorang.
Model Kepribadian Big Five Dalam berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa yang kemudian menjadi suatu konsep, ide, dan nilai yang digunakan untuk mendefinisikan, membuat struktur, dan memahami realita kehidupan seharihari. Dari pemahaman itulah maka proses mengidentifikasi trait diawali dengan
191
SAHIDI DAN SUYASA
menentukan berbagai macam kata berdasarkan bahasa atau dapat juga disebut dengan lexical hypothesis (De Raad, 2000). Di dalam lexical hypothesis disebutkan bahwa semua perbedaan antar individu dapat dideskripsikan melalui bahasa, dan dari perbedaan tersebut terbentuklah trait. Kemudian untuk menentukan trait-trait yang mendasar digunakan teknik statistik dengan menggunakan prosedur analisis faktor. Setelah itu, dilakukan pendekatan berdasarkan teori untuk mengidentifikasi dimensi yang penting dari individu dan juga menentukan trait mana saja yang sesuai. Dari berbagai macam penelitian mengenai trait, hanya ditemukan lima trait yang paling penting atau disebut juga dengan the big five yang terbentuk melalui proses panjang seperti yang telah dijabarkan di atas (De Raad, 2000). Lebih jelasnya, Hall et al. (1998) dalam bukunya menjabarkan mengenai sejarah the big five yang diuraikan dalam paragraf berikut ini. Pengidentifikasian trait dimulai oleh Allport dan Odbert pada tahun 1936, yang telah mendefinisikan kepribadian dengan mencarinya di kamus Webster’s. Allport mendasarinya melalui hipotesis lexical, yang pertama kali diartikulasikan oleh Francis Galton. Allport dan Odbert menemukan 18.000 kata, dan 4500 diantaranya dipilih untuk digeneralisasikan dengan kata sifat yang stabil. Pada saat yang sama, Thurstone di tahun 1934 telah menggunakan 60 kata sifat umum dan mengidentifikasikan dalam lima faktor yang kemudian menjadi landasan model the big five. Kemudian, Raymond Cattell pada tahun 1943 menggunakan penggambaran sifat dari Allport dan Odbert sebagai poin awal untuk analisisnya mengenai struktur kepribadian dan menghasilkan 16 faktor trait kepribadian. Ketika peneliti lain meng-
192
ulang analisis Cattell, hanya lima faktor kepribadian saja yang ditemukan sehingga dinamakan the big five. Cattell pun dianggap sebagai bapak the big five. Replika the big five dibuat oleh Donald Fiske pada tahun 1949 yang ternyata mendapatkan lima faktor dan bukan 16 faktor. Kemudian, Tupes dan Christal pada tahun 1961 menganalisisnya kembali dan menemukan bahwa dari delapan faktor, diidentifikasikan hanya lima faktor yang terkuat. Warren Norman pada tahun 1963 turut melengkapi the big five dan mendapat perhatian dari peneliti kepribadian lainnya. Setelah itu McCrae dan Costa pada tahun 1992 juga mengidentifikasi struktur the big five dengan menginvestigasi pertanyaan mengenai kepribadian daripada menggambarkannya. McCrae dan Costa kemudian membuat NEO-PI untuk mengukurnya dan setelah itu direvisi dengan nama NEO PI-R yang memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi (Pervin, 1996). The big five terdiri dari lima faktor, yaitu Neuroticism (N), Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness (A), dan Conscientiousness (C). Untuk lebih mudah mengingatnya maka disingkat dengan OCEAN. Pada dasarnya, the big five adalah usaha untuk menggunakan pola analitis hirarkis dalam rangka menyederhanakan koleksi data yang tersedia tentang perilaku afektif individu. Sehingga informasi yang didapat lebih mudah dikelola dalam menaksir individu dan memprediksi perilaku mereka dalam situasi yang ada. Faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, bersifat lebih deskriptif daripada bersifat menjelaskan atau eksplanatoris (Anastasi & Urbina, 1997). Di dalam perilaku organisasi, the big five sudah banyak digunakan dan sangat baik untuk memprediksi kinerja di tempat kerja (Luthans, 1998).
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
Trait-trait dalam Model Kepribadian Big Five Trait dalam kepribadian “the big five” terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism (emotional stability), dan openness to experience (Robbins, 1998; De Raad, 2000). Extraversion. Dimensi extraversion menggambarkan tingkat kenyamanan hubungan. Individu yang memiliki trait extraversion yang tinggi (extravert) adalah seorang yang ramah, banyak bicara, supel, dan menghabiskan banyak waktu untuk menjaga dan menikmati hubungan yang banyak dengan orang lain. Sedangkan individu yang memiliki trait extraversion yang rendah (introvert) adalah seorang yang pasif, sedikit memiliki hubungan, dan lebih nyaman menyendiri. Dimensi extraversion telah ditemukan relevan dalam konteks pembelajaran (De Raad & Schouwenburg, 1996; Wiggins, 1968 dalam De Raad, 2000), pendidikan (Eysenck, 1992b dalam De Raad, 2000), fenomena yang berkaitan dengan kesehatan (Scheier & Carver, 1987 dalam De Raad, 2000) terutama pada schizoid personality disorder (Wiggins & Pincus, 1989 dalam De Raad, 2000), dan sebagai prediktor yang valid pada pekerjaan tertentu (Barrick & Mount, 1991 dalam De Raad, 2000). Agreeableness. Agreeableness adalah dimensi yang menunjukkan macam interaksi interpersonal yang dipilih individu dan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari (De Raad, 2000). Individu dengan trait agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang responsif, bekerja sama, dan percaya kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai rendah pada agreeableness
lebih fokus pada kebutuhan dirinya daripada kebutuhan orang lain. Dimensi agreeableness ditemukan relevan pada dunia pendidikan (McCloy, 1936 dalam De Raad, 2000), sebagai prediktor dalam pelatihan (Salgado, 1997 dalam De Raad, 2000), budaya organisasi (Judge & Cable, 1997 dalam De Raad, 2000), dan psikologi kesehatan (De Raad, 2000). Conscientiousness. Conscientiousness adalah dimensi yang menunjukkan banyaknya tujuan yang difokuskan seseorang. Dimensi tersebut menekankan prestasi sebagai nilai penting dan tema utama (De Raad, 2000). Individu yang memiliki trait conscientiousness yang tinggi, merupakan seorang yang mempunyai tujuan, bertanggung jawab, tangguh, tergantung, dan berorientasi pada pencapaian prestasi. Sebaliknya individu yang memiliki trait conscientiousness yang rendah, merupakan seorang yang melakukan sesuatu tanpa tujuan, mudah terpengaruh, dan lebih hedonis. Sockett (1988, dalam De Raad, 2000) mengatakan bahwa dimensi conscientiousness relevan dengan dunia pendidikan. Tidak hanya dalam konteks pendidikan, ternyata dimensi ini berkaitan dengan lingkungan organisasi (Barrick & Mount, 1991 dalam De Raad, 2000) dan kinerja dalam pekerjaan (Hogan & Ones, 1997 dalam De Raad, 2000). Dari hasil penelitian Barrick dan Mount (1991 dalam Luthans, 1998) ditemukan hanya trait conscientiousness yang menunjukkan hubungan positif terhadap kinerja. Neuroticism. Neuroticism merupakan dimensi yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam menghadapi stres dan cenderung lebih ke arah klinis. Individu dengan neuroticism positif dikarakteristikan sebagai seorang yang tenang, puas dengan dirinya, dan merasa aman. Sebaliknya,
193
SAHIDI DAN SUYASA
individu dengan neuroticism negatif, dikarakteristikan sebagai seorang yang mudah gugup, depresi, dan merasa tidak aman. Dalam menghadapi masalah, terkadang terlihat karakteristik maladaptif dan rasa tidak berdaya yang membuat seorang individu tidak berfungsi secara efektif (De Raad, 2000). Neuroticism diketahui secara signifikan berkorelasi dengan banyak gangguan kesehatan dan simptom-simptom gangguan tertentu (De Raad, 2000). Openness to experience. Openness to experience berhubungan dengan ketertarikan dan keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang memiliki trait openness to experience yang tinggi merupakan seorang yang inovatif dengan ide-ide baru, artistik, intelek dan mengalami pengalaman emosi yang lebih hidup. Sedangkan individu yang memiliki trait openness to experience yang rendah, adalah seorang yang memiliki kecenderungan konvensional terhadap keyakinan dan sikapnya, konservatif seleranya, memiliki kepercayaan yang kaku, berpandangan sempit, dan tidak artistik. Menurut Costa dan Widiger (1994 dalam De Raad, 2000) dimensi openness relevan dengan segala hal yang menyangkut psikiatri dan psikologi klinis. Sementara itu Miller (1991 dalam De Raad, 2000) berpendapat bahwa dimensi ini berkaitan dengan psikoterapi. Selain itu, dimensi openness juga berkaitan dengan konteks belajar dan pendidikan, terutama pada strategi belajar (Blickle, 1996 dalam De Raad, 2000).
Bus TransJakarta Penelitian ini berfokus pada pengemudi jenis bus yang dinamakan TransJakarta. TransJakarta adalah sebuah sistem
194
transportasi bus cepat di Jakarta, Indonesia. Sistem ini mencontoh sistem Transmilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Bus TransJakarta memulai operasinya pada tanggal 15 Januari 2004 dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat dan nyaman bagi warga Jakarta. Bus TransJakarta memiliki pintu yang terletak lebih tinggi dibandingkan dengan bus lain sehingga hanya bisa dinaiki dari halte khusus busway. Pintu tersebut terletak di bagian tengah kanan dan kiri. Warna bus TransJakarta untuk koridor 1 adalah merah dan kuning dengan gambar elang bondol dan salak (“TransJakarta,” n.d; Dagun, 2006). Bus ini memiliki ketinggian 1,5 meter yang dikemudikan oleh seorang pengemudi. Kapasitas total penumpang adalah 85 orang, 30 orang duduk dan 55 orang berdiri. Selain itu, bus TransJakarta dilengkapi dengan fasilitas pendingin dan fasilitas komunikasi pada ruang kemudi yang dihubungkan dengan pusat kontrol (“Trans Jakarta Busway sebagai sarana menuju tatanan masyarakat kota Jakarta yang tertib dan disiplin,” n.d; Dagun, 2006). Bus TransJakarta diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan jalur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya termasuk bus umum selain TransJakarta yang disebut dengan busway (“TransJakarta,” n.d; Dagun, 2006). Busway merupakan sarana angkutan umum massal dimana kendaraan berjalan pada lintasan khusus yang berada di sisi kanan jalan. Selain itu sistem yang dipergunakan adalah sistem tertutup di mana penumpang dapat naik turun hanya pada halte-halte dan tentunya harus dilengkapi dengan sistem tiket, baik berupa tiket untuk sekali jalan atau pun berlangganan dengan mekanisme prabayar. Agar para penumpang nyaman pada saat menuju dan meninggalkan halte
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
maka disediakan fasilitas penyeberangan orang yang landai, petugas keamanan pada setiap halte, jadwal waktu perjalanan dan tidak adanya pedagang kaki lima baik di halte maupun jembatan penyeberangan (“Trans Jakarta Busway sebagai sarana menuju tatanan masyarakat kota Jakarta yang tertib dan disiplin,” n.d; Dagun, 2006).
Tugas dan tanggung jawab pengemudi bus TransJakarta Pengemudi bus TransJakarta memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaannya. Melalui proses seleksi dan pelatihan mereka dididik agar menjadi pengemudi profesional dan mematuhi standar yang telah ditetapkan. Tugas dan tanggung jawab tersebut meliputi (a) berpakaian dengan rapi, (b) menjaga kecepatan kendaraan dan mengendarai dengan nyaman, (c) melayani penumpang dengan baik, (d) wajib menaikturunkan penumpang di halte, (e) mematuhi peraturan lalu lintas, (f) mematuhi jadwal kerja atau kedisiplinan absensi, (g) menjaga sikap dan perilaku di lapangan, dan (h) mencatat produktifitas kerja atau kilo meter tempuh (“Seleksi ketat demi 40 pramudi,” 2004; Dagun, 2006).
Kepribadian dan Sikap terhadap Penilaian Kinerja The big five terdiri dari 5 dimensi, yaitu openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism. Trait conscientiousness dicirikan sebagai seseorang yang cenderung hampir tidak pernah absen dari pekerjaannya, lebih bertanggung jawab, teratur, dapat diandal-
kan, cermat, dan pekerja keras (Saari & Judge, 2004). Dengan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka peneliti menduga bahwa individu dengan trait conscientiousness akan berusaha mendukung penilaian kinerja sebagai bagian dari kinerjanya agar mendapat penilaian yang baik. Dengan demikian sistem penilaian kinerja akan menjadi salah satu perhatian penting bagi individu tersebut, sehingga sikapnya akan positif terhadap sistem penilaian kinerja. Selain itu, peneliti juga menduga bahwa individu yang memiliki trait extraversion akan menunjukkan sikap yang positif terhadap sistem penilaian kinerja. Individu yang memiliki trait extraversion cenderung lebih terbuka akan berbagai hal dan mementingkan interaksi interpersonal (Robbins, 1998). Dengan ciri-ciri yang dimilikinya tersebut, maka individu dengan trait extraversion akan lebih bersikap terbuka terhadap peraturan maupun kebijakan yang diberlakukan di tempat kerjanya, termasuk dilakukannya sistem penilaian kinerja. Sehingga sikapnya pun akan positif terhadap sistem penilaian kinerja.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ”Terdapat hubungan yang positif antara trait kepribadian dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja pada pengemudi bus TransJakarta”.
Metode Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah pengemudi bus TransJakarta Koridor 1
195
SAHIDI DAN SUYASA
Blok M – Kota yang berada di bawah naungan PT. Jakarta Express Trans (JET). Pengemudi bus TransJakarta dipilih dalam penelitian ini karena di dalam sistem kerja mereka terdapat penilaian kinerja yang diberlakukan secara formal dan berkala yang tidak dialami pengemudi bus umum lainnya, sehingga menarik untuk diteliti. Menurut data kepegawaian PT. JET pada bulan April 2006, jumlah pengemudi adalah sebanyak 237 orang yang terbagi dalam sebelas gelombang. Gelombang menunjukkan tahapan dalam perekrutan dan penerimaan pengemudi baru yang waktunya berbeda antara tahapan yang satu dengan yang lainnya. Dari total 237 populasi pengemudi TransJakarta, tidak semuanya dilibatkan dalam penelitian ini karena peneliti hanya mengambil yang telah bekerja minimal selama satu tahun.
Pengukuran
Variabel Trait Kepribadian Kuesioner yang diasosiasikan dengan the big five adalah “Big Five Questionnaires” (BFQ), yang dikembangkan oleh Caprara, Barbaranelli, Borgogni, dan Perugini pada tahun 1993 dan “Five-Factor Nonverbal Personality Questionnaire” (FFNPQ) oleh Paunonen, Ashton, dan Jackson (in press). Alat ukur lainnya adalah “Five Factor Personality Inventory” (FFPI) dan NEO-PI-R. NEO-PI-R adalah kuesioner kepribadian yang paling sering digunakan untuk mengukur the big five (De Raad, 2000). Costa dan McCrae pada tahun 1992 mengembangkan suatu instrumen untuk mengukur the big five, yaitu NEO Personality Inventories yang berguna sebagai
196
alat penelitian (Pervin, 1996). Dalam edisinya yang sekarang, NEO Personality Inventory Revised (NEO PI-R) memberikan skor-skor pada lima dimensi atau domain yang utama dari kepribadian dan pada 30 ciri-ciri atau facet tambahan yang mengidentifikasi tiap domain. Alat ukur ini terdiri dari 240 item dan satu dimensi terdiri dari 6 indikator, dan setiap indikatornya terdapat 8 buah item. Alat ukur NEO PI-R merupakan kuesioner non timed dengan menggunakan skala Likert 5 rentang. Skala NEO PI-R dikembangkan selama 15 tahun riset yang diawali dengan studi longitudinal pada sampel orang dewasa normal dan kemudian diperluas sampai pada sampel klinis, pekerjaan, dan universitas. Meskipun skala ini dirancang sebagai alat ukur atas ciri-ciri kepribadian normal, Costa dan McCrae memaksudkan agar instrumen ini berguna dalam lingkungan klinis dan terapan lainnya serta dalam penelitian (Anastasi & Urbina, 1997). Alat ukur tersebut memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi serta relatif stabil pada orang dewasa. Pada penelitian Rossier, Stradelhofen, dan Berthoud (2004), internal konsistensi alat ukur tersebut berkisar antara 0,87 sampai dengan 0,91. Test retest reliabilitas berkisar antara 0,63 sampai dengan 0,83. Koefisien alfa Cronbach untuk indikator adalah antara 0,54 sampai dengan 0,83 dengan median 0,72. Sedangkan koefisien alfa Cronbach untuk keseluruhan adalah 0,84 hingga 0,92 dengan median 0,88. The big five telah dapat digunakan dalam lintas budaya setelah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diujicobakan dalam berbagai penelitian (Pervin et al., 2005). Dalam penelitian ini, untuk mengukur trait kepribadian the big five digunakan alat ukur NEO Personality Inventory Revised
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
(NEO PI-R) yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1992. Alat ukur ini terdiri dari 240 item yang terbagi merata dalam lima dimensi atau domain trait kepribadian, yaitu neuroticism, extraversion, openness, agreeableness dan, conscientiousness. Satu dimensi terdiri dari 6 indikator atau facet, dan setiap indikatornya terdapat 8 buah item. Neuroticism adalah skor yang diperoleh partisipan dalam trait neuroticism. Semakin tinggi skor partisipan dalam trait neuroticism, semakin menunjukkan tingginya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait neuroticism, yaitu cemas, kejam, depresi, impulsif, cepat tersinggung, dan memiliki self-consciousness. Sebaliknya, semakin rendah skor partisipan dalam trait neuroticism, semakin menunjukkan rendahnya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait neuroticism. Extraversion adalah skor yang diperoleh partisipan dalam trait extraversion. Semakin tinggi skor partisipan dalam trait extraversion, semakin menunjukkan tingginya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait extraversion, yaitu hangat, senang berteman, asertif, aktif, gembira, dan memiliki emosi yang positif. Sebaliknya, semakin rendah skor partisipan dalam trait extraversion, semakin menunjukkan rendahnya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait extraversion. Openness adalah skor yang diperoleh partisipan dalam trait openness. Semakin tinggi skor partisipan dalam trait openness, semakin menunjukkan tingginya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait openness, yaitu sering berfantasi, menyukai keindahan dan seni, perasa, mau bertindak, memiliki ide-ide, dan mempunyai nilai dalam hidupnya. Sebaliknya, semakin rendah skor partisipan dalam trait openness,
semakin menunjukkan rendahnya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait openness. Agreeableness adalah skor yang diperoleh partisipan dalam trait agreeableness. Semakin tinggi skor partisipan dalam trait agreeableness, semakin menunjukkan tingginya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait agreeableness, yaitu dapat dipercaya, berpikir ke depan, menganggap penting orang lain, sopan, rendah hati, dan memiliki empati. Sebaliknya, semakin rendah skor partisipan dalam trait agreeableness, semakin menunjukkan rendahnya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait agreeableness. Conscientiousness adalah skor yang diperoleh partisipan dalam trait conscientiousness. Semakin tinggi skor partisipan dalam trait coscientiousness, semakin menunjukkan tingginya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait conscientiousness, yaitu kompeten, teratur, taat peraturan, memiliki ambisi berprestasi, disiplin, dan penuh pertimbangan. Sebaliknya, semakin rendah skor partisipan dalam trait conscientiousness, semakin menunjukkan rendahnya kecenderungan partisipan tersebut memiliki trait conscientiousness.
Variabel Sikap Penilaian Kinerja
terhadap
Sistem
Variabel sikap terhadap sistem penilaian kinerja diukur dengan menggunakan alat ukur sikap terhadap sistem penilaian kinerja yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori mengenai sikap yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun 1980. Selanjutnya peneliti melakukan elisitasi dengan partisipan yang memiliki
197
SAHIDI DAN SUYASA
karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian ini untuk mendapatkan salient belief. Pertanyaan untuk elisitasi adalah “menurut saudara, apa positif dan negatifnya diadakan penilaian kinerja?”. Elisitasi dilakukan pada tanggal 8 Desember 2005 di Terminal Blok M dan pengemudi yang berhasil diwawancarai untuk elisitasi berjumlah 17 orang. Menurut banyaknya respon, maka yang dipilih dan dijadikan butir pernyataan berjumlah 17 respon. Respon yang negatif kemudian diubah menjadi respon positif. Setelah itu, peneliti merancang butir pernyataan untuk outcome evaluation dan belief strength. Jumlah total butir pernyataan adalah 34 butir, 17 butir untuk outcome evaluation dan 17 butir untuk belief strength. Alat ukur sikap terhadap sistem penilaian kinerja ini disusun berdasarkan skala Likert yang mengacu pada tujuh pilihan jawaban. Cara penilaian alat ukur tersebut adalah sebagai berikut: Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1, Tidak Setuju (TS) bernilai 2, Cenderung Tidak Setuju (CTS) bernilai 3, Ragu-ragu (RR) bernilai 4, Cenderung Setuju (CS) bernilai 5, Setuju (S) bernilai 6, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 7. Perhitungan skor sikap terhadap sistem penilaian kinerja dilakukan dengan cara mengalikan skor outcome evaluation setiap butir dengan belief strength setiap butir yang sesuai. Setelah itu, skor yang didapat pada setiap butirnya, dibagi dengan jumlah total banyaknya butir. Kemudian setelah semua butir didapat hasilnya, langkah selanjutnya adalah menjumlahkannya sehingga didapat skor total dari sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Semakin tinggi skor total sikap terhadap sistem penilaian kinerja yang diperoleh partisipan, maka semakin tinggi pula
198
kecenderungan partisipan untuk bersikap positif terhadap sistem penilaian kinerja. Sikap yang positif terhadap sistem penilaian kinerja ditandai dengan pemahaman partisipan yang baik terhadap metode penilaian, kriteria penilaian, kejelasan sanksi yang diterima, pendapatan kompensasi yang sesuai, menilai dan percaya penilai merupakan orang yang berkualitas, adil, dan akurat dalam menilai. Selain itu sikap yang positif terhadap sistem penilaian kinerja dapat diketahui yaitu dengan partisipan merasa adanya penilaian kinerja dapat lebih membuat partisipan menerapkan disiplin lalu lintas, memacu untuk loyal pada perusahaan, meningkatkan semangat kerja, memacu untuk bekerja lebih baik, dan membuat rajin bekerja. Melalui hasil uji reliabilitas yang dilakukan, diketahui bahwa alat ukur sikap terhadap sistem penilaian kinerja ini memiliki koefisien alpha cronbach sebesar 0.928.
Prosedur Manajer SDM & Umum PT. JET menentukan waktu dan tanggal penelitian, yaitu pada tanggal 3 Juni 2006 di ruang rapat kantor PT. JET. Pada tanggal yang telah ditentukan, peneliti datang ke kantor PT. JET bersama seorang rekan yang sebelumnya telah diberikan pengarahan singkat mengenai isi kuesioner serta petunjuk pengerjaannya dan kemudian akan membantu peneliti dalam penyebaran kuesioner. Menurut Manager SDM & Umum PT. JET, penyebaran kuesioner dapat dilakukan setelah rapat pengarahan selesai dan rapat tersebut terbagi dalam dua shift. Shift yang pertama diadakan pada pagi hari pukul 09.00 pagi dan dihadiri oleh para pengemudi yang akan mulai bekerja pada siang
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
hari. Rapat pengarahan lebih lama selesainya dari waktu yang diperkirakan yaitu pukul 10.30, padahal peneliti sudah meminta waktu selama satu jam agar dapat memberikan pengarahan dan menunggu kuesioner selesai dikerjakan oleh para pengemudi. Sementara itu, para pengemudi harus sudah berangkat menjalankan pekerjaannya tidak lebih dari pukul 11.00. Selain itu, ternyata ada penelitian dari universitas lain yang juga akan melakukan penyebaran kuesioner sehingga waktunya harus dibagi. Menurut kebijaksanaan Manager SDM & Umum PT. JET, peneliti diberi waktu untuk mempresentasikan petunjuk dan cara mengisi kuesioner. Setelah itu Manager tersebut menginstruksikan kepada para pengemudi agar kuesioner dapat dikumpulkan esok harinya di ruangan beliau. Rekan mahasiswa membantu peneliti menyekeksi para pengemudi yang telah bekerja minimal selama 1 tahun dan kemudian membagikan kuesioner kepada mereka. Untuk petunjuk cara menjawab kuesioner, peneliti mempresentasikan di hadapan para pengemudi dengan memindahkan contoh soal dan kotak pengisian di white board. Kemudian penyebaran kuesioner selanjutnya diadakan pada shift yang kedua, yaitu pada pukul 14.30. Para pengemudi yang menghadiri rapat pada shift kedua ini adalah yang telah selesai bekerja pada pagi hari. Sama seperti rapat pada shift pertama, rapat pengarahan shift kedua ini juga memakan waktu yang lama dan baru selesai pukul 16.30. Setelah rapat selesai, peneliti menjelaskan instruksi dan petunjuk seperti pada saat shift pertama dan mempresentasikannya di white board. Ketika menjelaskan instruksi pengerjaan kuesioner, peneliti mengalami sedikit
kesulitan dalam meminta perhatian para pengemudi untuk menyimak apa yang peneliti katakan karena para pengemudi sudah terlihat lelah dan terdengar agak bising di dalam ruangan. Setelah itu, sama seperti pada shift pertama, karena keadaan tidak memungkinkan dan sudah terlalu sore, maka Manager SDM & Umum menginstruksikan kepada para pengemudi agar esok harinya pengemudi sudah harus mengumpulkan kuesioner di ruangan beliau. Nama pengemudi yang mendapatkan kuesioner pun didata. Keesokan harinya peneliti datang lagi ke kantor PT. JET dan menghadap ke ruangan Manager SDM & Umum untuk mengambil kuesioner yang telah terkumpul. Pada saat itu peneliti banyak menerima keluhan dari para pengemudi yang mengatakan bahwa soal di kuesioner terlalu banyak dan membuat mereka lelah. Jumlah keseluruhan kuesioner yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti sebanyak 133 buah. Namun, setelah dilakukan screening ternyata hanya 110 buah kuesioner yang datanya valid dan dapat dipergunakan untuk penelitian.
Hasil Gambaran Sikap Penilaian Kinerja
Terhadap
Sistem
Dengan menggunakan interval skala jawaban 1 sampai dengan 7, diperoleh titik tengah 4. Skor minimum data partisipan adalah 1.97 dan skor maksimum 7.00. Nilai rata-rata partisipan adalah 5.07 dengan standar deviasi 0.94. Dari nilai rata-rata, dapat dikatakan bahwa partisipan umumnya memiliki sikap terhadap sistem penilaian kinerja di atas titik tengah. Artinya, parti-
199
SAHIDI DAN SUYASA
sipan memiliki sikap yang positif terhadap sistem penilaian kinerja.
Gambaran Trait Kepribadian The Big Five Gambaran trait kepribadian dapat diketahui dengan melihat mean sample pada setiap sub dimensinya yang kemudian dibandingkan dengan titik tengah interval skala jawaban 1 sampai dengan 5, yaitu 3. Namun terkadang ditemukan bahwa mean sample yang dihasilkan hanya terpaut angka yang sedikit tinggi atau sedikit rendah dari titik tengah, sedangkan angka yang sedikit tinggi dari titik tengah belum tentu kecenderungannya tinggi, begitu pun
juga dengan angka yang sedikit rendah belum tentu kecenderungannya rendah. Untuk menghasilkan kecenderungan yang benar-benar akurat maka selain melihat hasil mean sample juga dilakukan uji one sample t test untuk menguji signifikansi perbedaan antara mean sample dengan mean alat ukur. Jika hasilnya signifikan (< .05), dengan melihat angka dari mean sample dapat diketahui tinggi rendah kecenderungannya, namun jika tidak signifikan (> .05), maka dapat dikatakan kecenderungannya cukup. Gambaran lengkap mengenai ni-lai rata-rata, standar deviasi, signifikansi dan keterangan pada dimensi openness dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Gambaran Trait Kepribadian Dimensi Openness Sub dimensi M SD Sig. (2-tailed) Kecenderungan Fantasy 2.97 0.28 0.43 Cukup Aesthetics 3.40 0.41 0.00 Tinggi Feelings 3.27 0.35 0.00 Tinggi Actions 3.25 0.35 0.00 Tinggi Ideas 3.41 0.40 0.00 Tinggi Values 2.97 0.40 0.50 Cukup Gambaran lengkap mengenai nilai keterangan pada dimensi conscientiousness rata-rata, standar deviasi, signifikansi dan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Gambaran Trait Kepribadian Dimensi Conscientiousness Sub dimensi M SD Sig. (2-tailed) Kecenderungan Competence 3.44 0.50 0.00 Tinggi Order 3.69 0.42 0.00 Tinggi Dutifulness 3.89 0.38 0.00 Tinggi Achievement striving 3.62 0.45 0.00 Tinggi Self discipline 3.54 0.49 0.00 Tinggi Deliberation 3.89 0.40 0.00 Tinggi Gambaran lengkap mengenai nilai keterangan pada dimensi extraversion dapat rata-rata, standar deviasi, signifikansi dan dilihat pada tabel 3. Tabel 3
200
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
Gambaran Trait Kepribadian Dimensi Extraversion Sub dimensi M SD Sig. (2-tailed) Kecenderungan Warm 3.56 0.41 0.00 Tinggi Gregariousness 3.56 0.45 0.00 Tinggi Assertiveness 3.03 0.48 0.45 Cukup Activity 3.08 0.43 0.03 Tinggi Excitement seeking 3.15 0.44 0.00 Tinggi Positive emotion 3.53 0.54 0.00 Tinggi Gambaran lengkap mengenai nilai keterangan pada dimensi agreeableness rata-rata, standar deviasi, signifikansi dan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Gambaran Trait Kepribadian Dimensi Agreeableness Sub dimensi M SD Sig. (2-tailed) Trust 3.26 0.42 0.00 Straightforwardness 3.60 0.41 0.00 Altruism 3.55 0.38 0.00 Compliance 2.75 0.41 0.00 Modesty 3.27 0.44 0.00 Tender mindedness 3.65 0.41 0.00
Kecenderungan Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi
Gambaran trait kepribadian dimensi neuroticism. Gambaran lengkap mengenai nilai rata-rata, standar deviasi, signifikansi dan keterangan pada dimensi neuroticism dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Gambaran Trait Kepribadian Dimensi Neuroticism Sub dimensi M SD Sig. (2-tailed) Anxiety 3.06 0.51 0.19 Angry hostility 2.60 0.56 0.00 Depression 3.07 0.42 0.05 Self consciousness 3.34 0.41 0.00 Impulsiveness 2.67 0.38 0.00 Vulnerability 2.44 0.60 0.00 Uji Korelasi antara Trait Kepribadian The Big Five dan Sikap Terhadap Sistem Penilaian Kinerja Hasil korelasi dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara trait kepribadian the big five dan sikap terhadap sistem penilaian kinerja, yang didasari dari hasil pengolahan data dengan
Kecenderungan Cukup Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah
menggunakan Spearman rank correlation coefficient. Alasan peneliti menggunakan Spearman rank correlation coefficient karena variabel sikap terhadap sistem penilaian kinerja yang merupakan salah satu variabel utama diketahui tidak normal, sehingga jika dikorelasikan dengan setiap sub dimensi dari trait kepribadian the big five
201
SAHIDI DAN SUYASA
akan berpengaruh pada keseluruhan hasilnya. Pada dimensi openness, diketahui bahwa sub dimensi trait kepribadian yang berkorelasi positif dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja adalah sub dimensi aesthetics dan ideas. Pada sub dimensi aesthetics rs(110) = 0.22, p < .05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara aesthetics dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Artinya, semakin partisipan menyukai segala keindahan, estetika, dan artistik maka akan semakin positif sikapnya terhadap sistem penilaian kinerja. Pada sub dimensi ideas rs(110) = 0.19, p < .05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara ideas dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Artinya, semakin partisipan memiliki keterbukaan pada ideide atau suatu gagasan dalam merencanakan suatu kegiatan, menyukai hal yang teoretis dan abstrak, serta antusias terhadap ilmu pengetahuan, maka akan semakin positif sikapnya pada sistem penilaian kinerja. Pada dimensi conscientiousness, diketahui bahwa sub dimensi trait kepribadian yang berkorelasi positif dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja adalah sub dimensi dutifulness dan achievement striving. Pada sub dimensi dutifulness rs(110) = 0.22, p < .05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara dutifulness dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Artinya, semakin partisipan mau mematuhi dan mengikuti segala peraturan yang diberlakukan kepadanya maka akan semakin positif sikapnya terhadap sistem penilaian kinerja. Pada sub dimensi achievement striving rs(110) = 0.21, p < .05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara achievement striving dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Artinya, semakin partisipan bekerja keras untuk berprestasi
202
mencapai tujuan maka akan semakin positif sikapnya terhadap sistem penilaian kinerja. Pada dimensi extraversion, diketahui bahwa sub dimensi trait kepribadian yang berkorelasi positif dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja adalah sub dimensi excitement seeking dan positive emotion. Pada sub dimensi excitement seeking rs(110) = 0.21, p < .05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara excitement seeking dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Artinya, semakin partisipan menyukai untuk mencari kesenangan dalam hidupnya maka akan semakin positif sikapnya terhadap sistem penilaian kinerja. Pada sub dimensi positive emotion rs(110) = 0.23, p < .01 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara positive emotion dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Artinya, semakin partisipan memiliki emosi yang positif serta sering merasa gembira dan bahagia, maka akan semakin positif sikapnya terhadap sistem penilaian kinerja. Menurut hasil pengolahan data Pada dimensi agreeableness dan neuroticism, diketahui tidak ada hubungan yang signifikan dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya dan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka didapat kesimpulan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian the big five dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Secara spesifik, trait kepribadian yang berhubungan dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja adalah sub dimensi aesthetics dan ideas pada dimensi open-
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
ness, sub dimensi dutifulness dan achievement striving pada dimensi conscientiousness, serta sub dimensi excitement seeking dan positive emotion pada dimensi extraversion.
Diskusi Sikap yang positif terhadap sistem penilaian kinerja dalam penelitian ini terbukti muncul karena adanya pengaruh dari faktor trait kepribadian tertentu yang secara signifikan berkorelasi positif dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Menurut teori yang dikemukakan Luthans (1998), Mednick, Higgins, Kirschenbaum (1975 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), Walgito (1980 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), dan Mar’at (1981) dikatakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek tertentu dipengaruhi oleh faktor internal yaitu kepribadian adalah terbukti benar. Trait kepribadian yang berkorelasi dengan sikap terhadap sistem penilaian kinerja adalah dimensi openness yaitu pada sub dimensi aesthetics dan ideas. Individu yang mempunyai kecenderungan aesthetics ditandai dengan ketertarikannya yang besar terhadap keindahan dan karya seni. Ini berarti bahwa individu tersebut sangat menghargai sesuatu yang menarik perhatiannya terlebih lagi jika hal tersebut merupakan suatu pengalaman baru baginya. Adanya sistem penilaian kinerja dalam pekerjaan merupakan suatu hal yang baru bagi pengemudi bus TransJakarta. Secara umum latar belakang pekerjaan mereka sebelumnya adalah sebagai pengemudi bus umum biasa yang dalam pekerjaannya tidak dilakukan penilaian kinerja secara formal dan berkala yang dalam hal ini berfungsi mengatur dan memonitor perilaku mereka
di lapangan. Sebaliknya, saat menjadi pengemudi bus TransJakarta, mereka dituntut mematuhi segala peraturan termasuk adanya kerapian, kedisiplinan, dan perilaku di lapangan, yang semuanya itu dimonitor melalui adanya sistem penilaian kinerja. Sistem penilaian kinerja menentukan adanya rewards dan punishment yang akan mempengaruhi kelancaran karier para pengemudi. Sebagai suatu pengalaman yang baru, mereka akan menghargai adanya sistem penilaian kinerja, yaitu dengan bersedia mengisi absensi dan mencatat setiap kilo meter tempuh yang dicapainya setiap hari dengan baik dan teliti. Inilah yang menjadikan sikap mereka positif terhadap sistem penilaian kinerja. Individu yang memiliki kecenderungan ideas ditandai dengan senangnya membahas teori dan berbagai hal, menyukai permainan yang memutar otak, serta menggunakan kesempatan yang ada untuk menambah ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa ada keinginan dari individu tersebut untuk belajar sesuatu yang baru, termasuk juga belajar memahami sistem penilaian kinerja yang diberlakukan, yaitu apa saja kriteria penilaiannya, metode penilaian seperti apa yang dijalankan, dan siapa saja yang menilai. Karena penilaian kinerja memegang peranan penting dalam pekerjaan mereka, maka sistem penilaian kinerja akan dianggap sebagai pengetahuan baru yang perlu dipelajari sehingga sikap pengemudi positif terhadap sistem penilaian kinerja. Selanjutnya ditemukan korelasi pada dimensi conscientiousness yaitu pada sub dimensi dutifulness dan achievement striving. Individu yang memiliki kecenderungan dutifulness ditandai dengan memiliki komitmen terhadap tugasnya, mau mengikuti aturan-aturan yang berlaku, dan mengerjakan sesuatu dengan mengikuti
203
SAHIDI DAN SUYASA
prosedur yang sudah diberikan. Dengan ciri-ciri yang dimilikinya tersebut maka para pengemudi pada dasarnya memiliki komitmen dalam pekerjaannya dan tidak merasa keberatan terhadap segala peraturan perusahaan terutama dalam sistem penilaian kinerja yang mengharuskan pengemudi mencatat jarak tempuh, mengisi absensi, berpakaian rapi, disiplin, dan sebagainya, sehingga sikapnya positif terhadap sistem penilaian kinerja. Individu yang memiliki kecenderungan achievement striving ditandai dengan adanya kemauan bekerja keras untuk mencapai tujuan, peduli pada kesuksesan di masa depan, dan mempunyai rencana dan target yang ingin dicapai dengan sistematis dan jelas. Ini berarti bahwa individu tersebut akan berusaha untuk selalu berprestasi dalam bekerja dan optimis mendapatkan hasil penilaian kinerja yang baik. Dengan demikian sistem penilaian kinerja menjadi salah satu perhatian penting bagi individu tersebut di mana prestasinya akan ditentukan, sehingga sikapnya pun positif terhadap sistem penilaian kinerja. Kemudian ditemukan korelasi pada dimensi extraversion yaitu pada sub dimensi excitement seeking dan positive emotion. Individu yang memiliki kecenderungan excitement seeking ditandai dengan kesenangannya berada di tempat keramaian, menyukai sesuatu yang menegangkan, menginginkan suasana yang berbeda, dan melakukan sesuatu untuk kesenangan hati. Ini berarti individu tersebut menyukai tantangan yang jika mampu dilalui dapat membuatnya senang. Sistem penilaian kinerja mengatur mengenai pemberian rewards dan punishment. Rewards tentunya menjadi faktor yang sangat diharapkan para pengemudi, sementara itu punishment me-
204
rupakan faktor yang ditakutkan dan dihindari para pengemudi. Punishment juga dapat menjadi suatu ancaman dalam kelancaran karier sekaligus dapat memacu pengemudi untuk berkinerja dengan lebih baik. Adanya kondisi yang menegangkan sekaligus adanya harapan dan keinginan untuk mendapatkan penilaian yang baik menjadi suatu tantangan yang menyenangkan bagi para pengemudi sehingga sikapnya pun positif terhadap sistem penilaian kinerja. Individu dengan positive emotion ditandai dengan seringnya dipenuhi perasaan bahagia, merupakan tipe orang yang ceria dan penuh semangat, serta menunjukkan rasa kagum pada suatu pengalaman. Individu yang memiliki kecenderungan tersebut biasanya memandang suatu hal secara positif sehingga sikapnya terhadap apa pun juga positif. Mereka tidak melihat suatu pengalaman baru sebagai sesuatu yang negatif, melainkan sebagai hal yang memperkaya kehidupan mereka. Atas dasar inilah yang menjadikan pengemudi bus TransJakarta memiliki sikap yang positif terhadap sistem penilaian kinerja. Korelasi yang didapat pada setiap sub dimensi dalam penelitian ini tergolong rendah. Korelasi yang rendah ini dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor lain selain kepribadian yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap terhadap sistem penilaian kinerja. Faktor-faktor tersebut menurut Luthans (1998) dapat berasal dari faktor situasional dan faktor karakteristik individu. Faktor-faktor situasional yang mempengaruhi sikap individu adalah iklim organisasi, budaya organisasi, kondisi kerja, dan karakteristik pekerjaan. Sedangkan faktor-faktor karakteristik individual yang dapat mempengaruhi sikap individu adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan
TRAIT KEPRIBADIAN DAN SISTEM PENILAIAN KERJA
derajat stres. Sedangkan menurut Mar’at (1981) selain faktor kepribadian, sikap juga dipengaruhi oleh faktor faal dan faktor eksternal, yaitu situasi, pengalaman, dan hambatan. Jadi banyak sekali faktor-faktor lain yang berpengaruh dan mempunyai peranan dalam pembentukan sikap selain faktor kepribadian. Penelitian ini memiliki keterbatasanketerbatasan dalam pelaksanaannya. Pertama adalah minimnya pemberitaan di media massa yang mengulas permasalahan yang dialami pengemudi bus TransJakarta. Hal tersebut dapat dimaklumi karena menyangkut nama baik pemerintah DKI Jakarta secara politis, di mana saat peluncuran TransJakarta sempat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan wawancara langsung dengan beberapa pengemudi di lapangan atas izin PT. JET, sehingga peneliti mendapat informasi yang dapat dijadikan dasar penelitian. Kedua, pengemudi kurang terbuka memberikan informasi yang diharapkan karena takut salah bicara dan mengira peneliti adalah wartawan. Kesulitan tersebut dapat diatasi peneliti dengan terus meyakinkan pengemudi, menunjukkan surat izin dari PT. JET dan menunjukkan kartu mahasiswa, serta mendapat bantuan dari petugas di lapangan. Ketiga, peneliti harus berkoordinasi dan menunggu komando dari PT. JET mengenai pelaksanaan penyebaran kuesioner. Tujuannya agar para pengemudi lebih kooperatif dan diawasi langsung manajemen. Akibatnya banyak waktu yang terbuang, namun peneliti tidak bisa menolak mengingat pengalaman wawancara di lapangan yang sulit. Keempat, pengisian dan penyerahan kuesioner yang tidak bisa dilakukan saat hari penyebaran kuesioner karena terbatasnya waktu dan sistem kerja pengemudi
yang sudah terjadwal. Namun pihak manajemen menetapkan jadwal pengumpulan kuesioner dan mendata pengemudinya, sehingga proses pelaksanaan tetap lancar.
Daftar Pustaka Ajzen, I. (1988). Attitudes, personality, and behavior. Buckingham: Open University Press. Ajzen, I., & Fishbein, M. (1980). Understanding attitudes and predicting social behavior. NJ: Prentice-Hall. Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th ed.). NJ: PrenticeHall. Anderson, M., Gomez, B., Molofsky, R. A., Morison, C. T., Vidal, S. A., Washington, J. R. (2001). A chalenged employment system: Hiring, training, performance evaluation, and retention of bus operators. Washington: National Academy Press. Azwar, S. (1995). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya (2nd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Carter, D. C. (2004). Quantitative psychological research. A student handbook. NY: Psychology Press. Dagun, S. M. (2006). Busway, terobosan penanganan transportasi Jakarta. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. DeRaad, B. (2000). The big five personality factors: The psycholexical approach to personality. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers. Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., Donelly, J. H., & Konopaske, R. (2003). Organizations: Behavior, structure, processes (11th ed.). NY: McGrawHill.
205
SAHIDI DAN SUYASA
Greenberg, J. (1996). Managing behavior in organizations. NJ: Prentice-Hall. Hall, C. S., Lindzey, G., & Campbell, J. B. (1998). Theories of personality (4th ed.). NY: John Wiley & Sons. Ivancevich, J. M. (2001). Human resource management (8th ed.). NY: McGrawHill. Jewell, L. N. & Siegall, M. (1998). Psikologi industri organisasi modern (2nd ed.). In Danuyasa (Ed.). Jakarta: Arcan. Landy, F. J., & Conte, J. M. (2004). Work in the 21st century: An introduction to industrial and organizational psychology. NY: McGraw Hill. Levy, P. E., & Williams, J. R. (1998). The role of perceived system knowledge in predicting appraisal reactions, job satisfaction, and organizational commitment. Journal of Organizational Behavior, 19, 53-65. Luthans, F. (1998). Organizational Behavior (8th ed.). NY: McGraw-Hill. Mar’at. (1981). Sikap manusia perubahan serta pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Pervin, L. A., Cervone, D., & John, O. P. (2005). Personality: Theory and research (9th ed.). NJ: John Wiley & Sons.
206
Robbins, S. P. (1998). Organizational behavior (8th ed.). NJ: Prentice-Hall International, Inc. Rossier, J., Stradelhofen, F. M., & Berthoud, S. (2004). The hierarchical structures of the NEO PI-R and the 16 PF 5. European Journal of Psychological Assessment, 20, 27-38. Saari, L. M., & Judge, T. A. (2004). Employee attitudes and job satisfaction. Human Resource Management, 43, 395-407. Simamora, H. (2004). Manajemen sumber daya manusia (3rd ed.). Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN. Smith, M. A., & Canger, J. M. (2004). Effects of supervisor “big five” personality on subordinate attitudes. Journal of Business and Psychology, 18, 465-482. Wright, R. P. (2004). Mapping cognitions to better understand attitudinal and behavioral responses in appraisal research. Journal of Organizational Behavior, 25, 339-374. Yuwono, I., Suhariadi, F., Handoyo, S., Fajrianthi, Muhamad, B. S., & Septarini, B. G. (2005). Psikologi industri & organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.