HUBUNGAN STRES DENGAN KARAKTERISTIK MOTIVASI BERPRESTASI PADA SISWA TUNARUNGU YANG BERSEKOLAH DISEKOLAH INKLUSI
BERNADETTE VEA A.L.P.
[email protected] Rani Agias Fitri, S.Psi., M.Psi Binus University: Jl Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530 Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644
ABSTRAK Siswa tunarungu yang bersekolah di sekolah inklusi akan menghadapi kendala dalam menerima pelajaran dan bersosialisasi. Kendala ini dapat menimbulkan stres dan berdampak pada karakteristik motivasi berprestasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres dengan karakteristik motivasi berprestasi pada siswa tunarungu yang mengikuti pelajaran disekolah inklusi. Dalam penelitian, peneliti menggunakan pengukuran dengan Student Stress Inventory dan karakteristik motivasi berprestasi. Dalam pengambilan data dalam penelitian peneliti menggunakan kuesioner dengan jenis pengambilan sampling berupa teknik quota sampling. Total responden yang berpartisipasi sebanyak 46 siswa tunarungu yang mengikuti pelajaran di sekolah inklusi. Hasil penelitian menemukan hubungan yang bersifat negatif antara stres dan karakteristik motivasi berprestasi pada anak tunarungu. Apabila stres semakin tinggi, maka semakin rendah motivasi berprestasinya. Begitu pula sebaliknya. Tingkat stress pada subyek tergolong tinggi dan karakteristik motivasi berprestasinya tergolong rendah. Kata Kunci: Stres, Karakteristik Motivasi Berprestasi, Siswa Tunarungu, Sekolah Inklusi ABSTRACT Deaf students who attend inclusive schools will face obstacles in receiving lessons and socializing. This constraint can be stressful and affect the characteristics of underachievement motivation. This study aimed to determine the relationship between stress and the characteristics of achievement motivation in deaf students who attend lessons at school inclusion. In the study, researchers used measurements of the Student Stress Inventory and characteristics of achievement motivation. In taking the data in this study the researchers used questionnaires to the type of sampling such as quota sampling techniques. Total respondents who participated as much as 46 deaf students who attend lessons at school inclusion. The results found a negative relationship between stress and the characteristics of achievement motivation in children with hearing impairment. If the stress of the higher, the lower the motivation of underachievement. And vice versa. Stress level is high on the subject of motivation and characteristics of underachievement is low. Keywords: Stress, Characteristics of Achievement Motivation, Deaf Students, School Inclusion
PENDAHULUAN Dibandingkan anak berkebutuhan khusus yang lain, apabila dilihat secara fisik anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara verbal. Dari sekian banyaknya jumlah penyandang tunarungu, tidak sedikit dari mereka yang menginginkan bersekolah untuk menuntut ilmu. Keterbatasan fisik tidak menjadi penghambat penyandang tunarungu untuk menuntut ilmu. Pendidikan sendiri adalah hak semua orang, termasuk mereka yang memiliki kekurangan fisik. Siswa tunarungu pada umumnya mendapat pendidikan di sekolah khusus yaitu SLB B. Namun dengan berkembangnya dunia pendidikan ternyata siswa tunarungu dapat diterima di sekolah umum(inklusi) bila memenuhi ketentuan yang ada. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2/U/1986 yang menyatakan bahwa siswa disabel dapat diterima dalam sekolah umum, apabila siswa tersebut memiliki intelegensi normal.
(Rachawati, Sarwindah, Sulistiani, 2010). Sebagai suatu model
pendekatan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusi telah menjadi kajian yang menarik di Indonesia pada dekade terakhir ini (Suparno, 2010). Menurut Sapon-Shevin (Suparno, 2010) pendidikan inkusi didefinisikan sebagai suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Namun anak penyandang tunarungu akan menghadapi tantangan ketika bersekolah disekolah inklusi. Adanya lingkungan yang berbeda tentu menimbulkan masalah baru bagi anak tunarungu. Permasalahan yang dihadapi oleh penderita tunarungu disebabkan oleh keterbatasan dalam proses komunikasi dengan sosialisasi, dan dalam mengikuti pelajaran di sekolah. (Rachawati, Sarwindah, Sulistiani, 2010) Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 November 2012 terhadap tiga siswa tunarungu yang pernah dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah inklusi, diketahui bahwa komunikasi dapat menjadi kendala ketika lawan bicara tidak dapat memahami apa yang dikatakannya. Saat menerima pelajaran, mereka juga mengalami kendala untuk memahami penjelasan guru, apabila guru tersebut memberikan penjelasan terlalu cepat atau ketika guru tersebut menjelaskan dengan membuat catatan di papan tulis. Hal ini menyebabkan munculnya rasa stres pada anak tunarungu karena kesulitan yang dialami saat bersekolah disekolah inklusi. Diketahui dari hasil wawancara bahwa mereka merasa kesulitan ketika beradaptasi karena suasana sekolah yang baru dan lingkungan yang baru pula.
Proses pembelajaran di sekolah inklusi dengan SLB B memanglah berbeda, begitu juga dengan tingkat kesulitan dan tingkat mengejar ketinggalan pelajaran yang diberikan. Bagi siswa tunarungu untuk mengerti ucapan seseorang haruslah melihat gerak bibir orang tersebut. Bila terdapat pelajaran yang diterangkan terlalu cepat, maka akan sulit untuk mengartikan apa yang diucapkan. Dampak pada siswa tunarungu dapat menurunkan prestasi dalam akademiknya, menarik diri dari lingkungan sekitar, mempengaruhi diri nya sendiri dengan menjadi tidak percaya diri, menarik diri dan mengurangi motivasi dalam dirinya. Stres dapat berdampak pada pencapaian akademik. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara stres dengan motivasi berprestasi. Prabandari (1989) menemukan korelasi negatif antara stres dan motivasi berprestasi pada mahasiswa, dimana tingkat stres yang tinggi akan diikuti dengan motivasi berprestasi yang rendah. (Rumiani, 2006) Menurut McClelland (Rumiani, 2006) motivasi berprestasi diartikan sebagai motif yang mendorong individu untuk meraih sukses dan bertujuan untuk meraih hasil dengan standar tertentu. Menurut McClelland (dikutip dalam Ruminani, 2006) orang yang memiliki motivasi berprestasi menunjukkan ciri-ciri seperti : suka bekerja keras, ulet, membutuhkan umpan balik secara nyata, berorientasi masa depan, tidak suka membuang waktu, optimis, bertanggung jawab dan memperhitungkan resiko. Dampak dari motivasi berprestasi pada siswa tunarungu dapat dilihat dari tinggi dan rendahnya motivasi yang dimilikinya. Apabila motivasi berprestasi yang dimiliki seorang siswa tunarungu rendah, kemungkinan keinginan untuk memperoleh suatu prestasi akan menurun, begitu pula bila motivasi berprestasi tinggi maka akan lebih mudah untuk memperoleh suatu prestasi yang memuaskan. Semakin tinggi motivasi berprestasi pada siswa semakin baik pula prestasi akademiknya, begitupula sebaliknya. Pengaruh
tinggi dan
rendahnya motivasi berprestasi yang dimiliki pada siswa tunarungu dalam mengikuti pelajaran disekolah inklusi dapat mempengaruhi prestasi dalam akademiknya.
METODE PENELITIAN Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode nonprobability sampling. Nonprobability sampling adalah teknik sampling yang memberi peluang atau kesempatan tidak sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Jenis yang dipakai adalah teknik quota sampling. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian
korelasional yaitu penelitian yang bertujuan menentukan apakah terdapat asosiasi atau hubungan antara dua variabel atau lebih. Untuk memperoleh data mengenai stres, peneliti menggunakan kuesioner dari alat ukur Student Stress Inventory (SSI) yang telah direvisi oleh peneliti untuk mengukur stres pada siswa tunarungu. Dikembangkan oleh Bernadette M. Gadzella pada tahun 1991 (dalam Gadzella dan Masten, 2005). SSI adalah kuesioner yang mengidentifikasi kepada lima kategori dari stressor yaitu, frustrations, conflicts, pressures, changes, self-imposed dan empat tipe dari reaksi terhadap stressor yaitu, physicological, emotional, behavioral, cognitive appraisal. (Gadzella, B., M., Baloglu, M. 2001). Untuk karakteristik motivasi berprestasi yang kemudian di revisi kembali oleh peneliti untuk menyesuaikan item dengan karakteristik subyek peneliti. Mengutip dalam Stefanus, (2012) Motivasi Berprestasi yang mengidentifikasi kepada karakteristik motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh McClelland dan Winter (dalam McClelland, 1987), Morgan et. Al. (1987), Gage dan Berliner (1992), Santrock (2001), Kingston dan White (dalam Setiawati, 1996), Parson et. Al. (2001), Atkison (1964), Eggen dan Kauchak (1997), Ormod (2003) dan Pintrich & Schunk (1996). Karakteristik tersebut meliputi pemilihan tugas, kebutuhan akan umpan balik, ketangguhan dalam mengerjakan tugas, pengambilan tanggung jawab, penambahan usaha-usaha tertentu, prestasi yang diraih, kepuasan dalam mengerjakan tugas, dan ketakutan akan kegagalan. Berdasarkan penyebaran diberikan kepada 46 anak tunarungu dan dapat dilihat bahwa koefisien reliabilitas dari hasil data lapang yang dimiliki oleh alat ukur Student Stress Inventory dengan menghitung setiap item untuk setiap kategori dan mendapati nilai Cronbach’s Alpha 0,939 dan koefisien reliabilitas yang dimiliki oleh alat ukur Karakteristik Motivasi Berprestasi mendapat nilai Cronbach’s Alpha 0,775. Data lengkap Output SPSS pada studi lapangan instrumen dapat dilihat pada lampiran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan uji normalitas yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan bahwa persebaran ini masuk kedalam data normal. Oleh karena itu, analisa korelasi pada penelitian ini menggunakan metode korelasi Pearson. Menurut Priyatno (2011). Rentan Skor 51-153 154- 256 TOTAL
Student Stess Inventory Jumlah Responden Kategori 10 Orang Rendah 36 Orang Tinggi 46 Orang
Persentase 21,7% 78,3% 100%
Hasil perolehan data menunjukan bahwa 36 orang (78,3%) yang merupakan lebih dari separuh responden dalam penelitian ini teridentifikasi mengalami keadaan stres yang tinggi dalam kehidupan disekolah sebagai siswa tunarungu. Dan sebanyak 10 orang (78,3%) mengalami stres yang rendah dalam kehidupan disekolah sebagai siswa tunarungu. Motivasi berprestasi pada siswa tunarungu tergolong rendah. Menurut McClelland dan Atkinson dalam Djiwandono (2002), motivasi yang paling penting untuk seseorang mendapatkan prestasi yang baik adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung berjuang untuk mencapai sukses atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan kesuksesan. Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini siswa tunarungu cenderung tidak berjuang untuk mencapai kesuksesan atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan kesuksesan disekolah inklusi. Siswa tersebut tidak memiliki dorongan atau hasrat untuk menjadi yang terdepan, sehingga tidak dapat menampilkan performa yang luar biasa. Karakteristik Motivasi Berprestasi Jumlah Rentang Kategori Persentase Skor Responden 34 – 68 Rendah 44 95,7% 104 – 138 Tinggi 2 4,3% 46 100% TOTAL Dapat dilihat pada tabel diatas 44 orang (95,7%) memiliki karakteristik motivasi berprestasi yang tergolong rendah sedangkan 2 orang (4,3%) memiliki motivasi berprestasi yang tergolong Tinggi. Stres pada siswa tunarungu pada penelitian ini tergolong tinggi. Menurut Sarafino (2008) stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Stres pada siswa tunarungu dapat terjadi karena adanya kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara siswa dengan lingkungan sekolah inklusi. Lingkungan sekolah inklusi dipersepsikan oleh siswa tunarungu menimbulkan adanya tuntutan-tuntutan. Sebagai analisis tambahan, penelitian ini menghubungkan karakteristik motivasi berprestasi dengan stressor dan dengan reaksi terhadap stres. Maka hasilnya didapat sebagai berikut:
Analisis Tambahan Uji Korelasi Karakteristik Motivasi Berprestasi dengan Stressor Correlations totmotivasiberpr
totstressor
estasi Pearson Correlation Totmotivasiberprestasi
-,302
Sig. (2-tailed)
,041
N Pearson Correlation Totstressor
*
1
46
46
*
1
-,302
Sig. (2-tailed)
,041
N
46
46
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Berdasarkan Tabel diatas hasil uji korelasi pearson tersebut, dapat terlihat hasil-hasil signifikansi antara karakteristik motivasi berprestasi dengan stressor. Hasil signifikansi antara karakteristik motivasi berprestasi dengan stressor sebesar 0,041. Hal ini menunjukan hubungan antara stressor dengan karakteristik motivasi berprestasi pada siswa tunarungu. Arah hubungan yang terjadi adalah negatif artinya kenaikan pada satu variabel menyebabkan penurunan pada variabel lain sebaliknya dengan penurunan pada satu variabel menyebabkan kenaikan pada variabel yang lain. Hal ini menunjukan bahwa lima kategori stressor yang dikemukakan oleh Morris (1990), yaitu frustasi, konflik, tekanan, mengidentifikasi perubahan dan self-imposed dapat berkaitan dengan karakteristik motivasi berprestasi. Kondisi frustasi, konflik, tekanan, mengidentifikasi perubahan dan self-imposed berperan pada tinggi/rendahnya karakteristik motivasi berprestasi. Analisis Tambahan Uji Korelasi Karakteristik Motivasi Berprestasi dengan reaksi terhadap Stressor Correlations totmotivasiberprestasi
Totreaksiterhdpstresso r
Pearson Correlation totmotivasiberp
1
Sig. (2-tailed)
*
-,331
,025
restasi N Pearson Correlation totreaksiterhdp
Sig. (2-tailed)
46
46
*
1
-,331
,025
stressor N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
46
46
Berdasarkan tabel diatas hasil uji korelasi pearson tersebut, dapat terlihat hasil-hasil signifikansi antara karakteristik motivasi berprestasi dengan reaksi terhadap stres. Hasil signifikansi antara karakteristik motivasi berprestasi dengan reaksi terhadap stres sebesar 0,025. Hal ini menunjukan hubungan antara reaksi terhadap stres dengan karakteristik motivasi berprestasi pada siswa tunarungu. Arah hubungan yang terjadi adalah negatif artinya kenaikan pada satu variabel menyebabkan penurunan pada variabel lain sebaliknya dengan penurunan pada satu variabel menyebabkan kenaikan pada variabel yang lain. Hal ini menunjukan bahwa empat reaksi terhadap stres yang dikemukakan oleh Morris (1990) yaitu, reaksi terhadap fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku berkaitan dengan karakteristik motivasi berprestasi. Kondisi reaksi terhadap fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku berperan pada tinggi/rendahnya karakteristik motivasi berprestasi. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan pengolahan serta analisa data yang peneliti lakukan, diperoleh hasil adanya korelasi yang signifikan dan terdapat hubungan yang bersifat negatif pada siswa tunarungu yang bersekolah disekolah inklusi. Artinya, tinggi/rendahnya stres berkaitan dengan tinggi/rendahnya motivasi berprestasi. Dan didapat hasil analisis tambahan bahwa adanya korelasi yang signifikan dengan arah hubungan yang negatif pula dari karakteristik motivasi berprestasi dengan stressor dan dengan reaksi terhadap stres. Beberapa saran yang dapat peneliti ajukan untuk penelitian selanjutnya yaitu, peneliti selanjutnya sebaiknya membuat perbandingan tingkat stres atau motivasi berprestasi antara subyek yang mengalami hendaya fisik dengan yang normal, penelitian selanjutnya dapat juga melihat pengaruh dukungan sosial terhadap stres dan motivasi berprestasi, dan menggabungkan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif, agar mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
REFERENSI Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Atkinson, J. W. (1964). An Introduction to Motivation. New Jersey : Van Nostrand Company, inc. Eggen, P., Kauchak, D. (1997). Educational Psychology : Windows on Classrooms (3rd ed.). Prentice Hall, Inc.
Gadzella, B., M., Baloglu, M. (2001). Contemporary Psychology and Effective Behaviour (7th ed), Journal of Instructional Psychology, Vol. 28, No. 2. Gadzella, B. M., Masten, W. G. (2005). An Analysis Of The Categories In The Student-life Stress Inventory. American Journal of Psychological Research Diunduh 17 November 2012 dari http://www.mcneese.edu/ajpr//vol4/ajpr03_08.pdf
Gage, N. L., Berliner, D. C. (1992). Educational Psychology (5th ed.). Boston : Houghton Mifflin Company. McClelland, D. C. (1987). Human Motivation. Cambridge: Cambridge University Press. Morgan, C. T., King, R.A., Weisz, J.R., & Schopler, J. (1987). Introduction to Psychology (7th ed.). Singapore : McGraw-Hill, Inc. Omrod, J. E. (2003). Educational Psychology : Development Learners (4th ed.). New Jersey : Merrill Prentice Hall, Inc. Parson, P. D., Hinson, S. L., Brown, D. S. (2001). Educational Psychology : A Practicioner-reseacher Model of Teaching. Canada : Woodsworth. Pintrich, P. R., & Schunk, D. H. (1996). Motivation in Educational Psychology : Theory and Practice. New Jersey : Prentice Hall. Priyatno. (2011). Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: Gava Media. Prokop C. K., Bradley L. A., Buris T. G., Anderson K. O., Fox J. E. (1991). Health Psychology: Clinical Methodes and Reserach. New York; Macmillan Inc. Rachmawati W. D., Sarwindah S. D., Sulistiani W. (2010). Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum. Journal INSAN, Vol. 12, No. 03. Rumiani. (2006). Prokrastinasi Akademik ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan Stres Mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, vol 3 (2), 37-48. Santrock, J. W. (2001). Educational Psychology. New York : McGraw-Hill, Inc. Setiawati, T. N. (1996). Hubungan antara Intelegensi, Kreativitas, dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar pada Siswa SMU 8 (Studi pada siswa sekolah unggulan tingkat propinsi DKI Jakarta). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Suparno. (2010). Pendidikan Inklusif Untuk Anak Usia Dini. Jumal Pendidikan Khusus VoL 7. No.2.