HUBUNGAN SIKAP TERHADAP PROSES PENUAANDENGAN TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP PADA LANSIA DI KOTA MALANG Ziadatul Hikmiah
[email protected] Drs. Amir Hasan Ramli, M.Si, Psi Ratri Nurwanti, S.Psi, M.Psi Program Studi Psikologi, Universitas Brawijaya Malang
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara sikap terhadap penuaan dengan makna hidup pada lansia di Kota Malang. Subjek dari penelitian ini berjumlah 100 orang lansia (usia 60 tahun ke atas) yang berdomisili di berbagai area di Kota Malang. Data penelitian dikumpulkan menggunakan skala AAQ (Attitude Toward Aging Questionnaire) yang telah ditransadaptasi sederhana ke dalam bahasa dan budaya Indonesia, dan skala MoL (Meaningfulness of Life). Perhitungan analisis korelasional menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,815 dengan p sebesar 0,00001 (p<0,05). Kekuatan korelasi bersifat positif dan tergolong sangat kuat. Dapat disimpulkan bahwa semakin positif sikap seorang lansia terhadap penuaan, maka akan semakin baik ia memaknai hidupnya. Kata kunci: sikap terhadap penuaan, makna hidup, lansia ABSTRACT The objective of this study was to know the relationship between attitude toward aging and meaningfulness of life of elderly in Malang. The subject of this study were 100 seniors with the age of above 60 who live in numerous area in Malang City. The data was collected using two scales, AAQ (Attitude Toward Aging Questionnaire) which was transadapted into Indonesian language and culture, and MoL (Meaningfulness of Life). Calculation of analysis of correlation produced a coefficient of correlation (r) of 0.815 with p equal to 0.00001 (p <0.05). The correlation was positive and classified as very strong. Thus, it could be concluded that themore positive attitude towards aging of elderly people, the better theygive meaning to their life. Keywords: attitudes toward aging, meaningfulness of life, the elderly
LATAR BELAKANG Masa lanjut usia (lansia) merupakan rentang usia terakhir dari perkembangan kehidupan manusia. Hasil konferensi United Nations World Assembly on Ageing di Vienna pada tahun 1989 dan ASEAN mendefinisikan lansia sebagai individu yang berusia 60 tahun ke atas. Kesejahteraan dari segi kestabilan emosi pada lansia sangatlah penting untuk
mencapai kehidupan yang penuh makna sehingga dapat mencapai kebahagiaan pada diri lansia. Kebanyakan lansia fokus pada perubahan-perubahan negatif pada dirinya sehingga melupakan potensi dan segi positif pada dirinya. Dalam menghadapi perubahan yang drastis tersebut, tidak semua lansia mampu menyikapinya dengan sikap dan penerimaan diri yang positif. Sikap positif adalah sikap optimis yang terbentuk dari proses kognitif, afektif, serta psikomotorik dimana ketiga proses tersebut hanya fokus pada hal-hal yang sifatnya baik (Chapman, 1987). Salah satu tugas perkembangan lansia menurut Erikson dalam Santrock (1995) adalah body transcendence versus body preoccupation. Salah satu bentuk perwujudannya adalah dengan mencari arti kehidupan yang lebih bermakna daripada hanya sekedar fisik saja (Suardiman, 2010). Tanpa adanya usaha untuk mencari makna dalam setiap episode hidup, manusia akan kehilangan potensi-potensi terbaiknya (Baumeister & Vohs, 2002). Baumeister dan Vohs (2002) menghubungkan pencarian makna hidup dengan empat kebutuhan dasar, yaitu (1) tujuan, terdiri dari tujuan objektif dan pemenuhan subjektif, (2) nilai-nilai, yang dapat menjustifikasi aspek tertentu dalam sebuah tindakan, (3) efikasi, kepercayaan untuk mengubah keadaan, dan (4) harga diri,alasan seseorang untuk merasa sebagi orang yang baik dan berharga. Keempat kebutuhan dasar ini membantu manusia dalam mendefinisikan dirinya, dan menggali makna hidupnya. Berbeda dengan masyarakat barat yang memandang proses penuaan sebagai semacam disabilitas (Santrock, 1995), masyarakat timur khususnya wilayah Asia menempatkan lansia pada di tempat istimewa dalam masyarakat sebagai sosok yang bijaksana dan kaya akan pengalaman (Lu dkk, 2010). Di Indonesia, masyarakat memandang kaum lansia sebagai sesepuh dan sebagai penasihat atau narasumber keluarga dalam pembuatan keputusan (Munandar dalam Nurhidayah & Agustini, 2012). Meskipun masyarakat Asia khususnya Indonesia memiliki pandangan yang positif terhadap lansia, sikap lansia sendiri dalam menghadapi proses penuaan dirinya masih jarang dikaji dalam penelitian kuantitatif.
LANDASAN TEORI Lansia Masa lansia merupakan masa penyesuaian diri atas berkurangnya kesehatan dan kekuatan, menatap kembali kehidupan, dan masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 1995). Masa ini merupakan rentang usia paling panjang
dalam siklus kehidupan manusia. Menurut Samino (Suardiman 2010) proses menua didefinisikan sebagai akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan patofisiologi organ tubuh yang berlangsung seiring dengan berlalunya waktu dan sering meningkatkan kemungkinan terserang penyakit atau kematian. Dari segi biologis proses penuaan merupakan masa dimana tubuh mengalami keusangan yang berhubungan dengan waktu biologis dalam tubuh (Santrock, 1995). Robert Havighurst (Schaie & Willis, 1991) menjelaskan enam tugas perkembangan utama pada lansia. Enam tugas perkembangan lansia antara lain (1) menyesuaikan diri terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan, (2) menyesuaikan diri terhadap pensiun dan berkurangnya pendapatan secara ekonomi, (3) menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan, (4) membangun asosiasi dengan rekan seusia, (5) mengadopsi dan mengadaptasi peran-peran sosial secara fleksibel, (6) menetapkan pengaturan kehidupan yang memuaskan dan sesuai dengan kapasitas fisik. Menurut Erikson, tahap terakhir perkembangan psikososial pada lansia adalah ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi (Gunarsa, 1997). Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Beberapa keinginan atau tujuan ingin dicapai tetapi kecil kemungkinan untuk dapat dicapai karena faktor usia. Sikap Thurstone mengungkapkan bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afek, baik bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek-obyek psikologis (Dayakisni & Hudaniah, 2009). Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Sherif & Sherif, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009). Sikap merupakan hasil dari integrasi tiga komponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen afektif, dan (3) komponen psikomotorik (Dayakisni & Hudaniah, 2009). Sikap terhadap penuaan adalah segala pengetahuan mengenai penuaan, pengalaman (harapan, kecemasan, dan emosi), dan perilaku (aktivitas dan keputusan) yang berhubungan dengan proses menua. Sikap terhadap penuaan bersifat individual dan juga dipengaruhi secara sosial. Menurut Chachamovich, Fleck, Laidlaw, & Power, (2008), stressor utama yang paling erpengaruh pada lansia ada tiga dimensi, yaitu (1) perubahan fisik (physical changes), (2) perkembangan psikologis (psychological growth),dan(3) berkurangnya aspek psikososial (psychosocial loss) (Laidlaw, Power,& Schmidt,2007).
Kebermaknaan Hidup Meaningfulness of life atau kebermaknaan hidup adalah seberapa tinggi seorang individu menilai hidupnya bermaksud atau berarti (Crumbaugh dalam Aisyah, 2007). Penelitian tentang makna hidup menekankan akan pentingnya menemukan nilai dalam kehidupan (Baumeister & Vohs, 2002). Pencarian makna hidup bersifat non-fisikal dan cenderung abstrak karena berkaitan dengan pemberian nilai-nilai pada setiap aspek kehidupan dan peristiwa. Untuk mencapai kehidupan yang bermakna, manusia membutuhkan motivasimotivasi tertentu. Baumeister (Baumeister & Vohs, 2002) merumuskan empat dimensi dari meaningfulness of life. Keempat dimensi tersebut adalah kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi untuk memaknai hidup, yaitu (1) kebutuhan akan tujuan, (2) kebutuhan akan nilai-nilai, (3) kebutuhan akan efikasi diri, dan (4) kebutuhan akan harga diri. Seseorang dapat dikatakan memiliki kehidupan yang bermakna apabila ia mampu memenuhi keempat kebutuhan pemenuhan kebermaknaan hidup. Orang yang hidupnya bermakna memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya (Baumeister & Vohs, 2002).
METODE PENELITIAN Responden dan Desain Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode korelasional yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variabel pada faktor lain (Umar, 2012). Adapun responden dalam penelitian ini adalah lansia yang berdomisili di Kota Malang, dengan rentang usia 60 tahun ke atas. Jumlah responden ditentukan dengan metode power analysis dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan statistik atau statistical power dari penelitian dan menghendaki power sebesar 0.85, sehingga mendapatkan ukuran sampel sejumlah 67 orang. Proses uji coba skala menggunakan teknik tryout terpakai, sehingga keseluruhan sampel yang dibutuhkan adalah 100 orang lansia. Adapun kriteria yang ditetapkan oleh peneliti adalah (1) lansia yang berusia 60 tahun ke atas, (2) tidak atau belum mengalami keterbatasan fisik dan psikis yang menyebabkan hendaya dalam proses pemberian informasi, dan (3) berdomisili di Kota Malang.
Alat Ukur dan Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan dua skala, skala Attitude to Aging Questionnaire (AAQ) dan Meaningfulness of Life (MoL). Skala AAQ ditransadaptasi dari skala yang
telah dikembangkan oleh tim World Health Organization (WHO) (Chachamovich, Fleck, Laidlaw, & Power, 2008). Skala AAQ terdiri dari tiga faktor yang mempengaruhi sikap terhadap penuaan yaitu (1) perubahan fisik (physical changes), (2) perkembangan psikologis (psychological growth), dan (3) berkurangnya aspek psikososial (psychosocial loss) (Laidlaw, Power,& Schmidt,2007). Skala terdiri atas 24 aitem soal dengan teknik penskalaan Likert (4 pilihan persetujuan). Akan tetapi setelah dilakukan proses analisis aitem dan proses uji reliabilitas dan validitas, hanya tersisa 20 aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,861. Hal ini menunjukkan bahwa skala ini tergolong sangat reliabel. Sedangkan validitasnya yang diuji berdasarkan konstraknya sudah dinyatakan valid. Skala MoL dibuat dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kebermaknaan hidup pada lansia. Skala ini dikembangkan berdasarkan teori Roy Baumeister dan Kathleen Vohs mengenai makna hidup atau meaningful life. Skala ini terdiri dari empat dimensi, yaitu (1) kebutuhan akan tujuan hidup, (2) kebutuhan akan nilai-nilai, (3) kebutuhan akan efikasi diri, dan (4) kebutuhan akan harga diri. Skala terdiri atas 48 aitem soal dengan teknik penskalaan Likert (4 pilihan persetujuan). Akan tetapi setelah dilakukan proses analisis aitem dan proses uji reliabilitas dan validitas, hanya tersisa 40 aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,923. Hal ini menunjukkan bahwa skala ini tergolong sangat reliabel. Sedangkan validitasnya yang diuji berdasarkan konstraknya sudah dinyatakan valid. Peneliti melakukan expert judgement terhadap kedua skala, yang dibuat berdasarkan dimensi dari tiap variable dan disebarkan pada 100 responden dengan teknik tryout terpakai. Setelah melakukan uji validitas, terpilih aitem-aitem yang kompeten dan selanjutnya dilakukan pengambilan data terhadap 100 subyek. Hasil akhir penelitian dilakukan melalui tahapan analisis deskriptif, uji normalitas, analisis regresi sederhana variabel X terhadap Y, dan uji korelasi Product Moment Pearson. Analisis ini dilakukan bertujuan untuk melihat hubungan antara sikap terhadap penuaan dengan kebermaknaan hidup.
HASIL Berdasarkan hasil perhitungan korelasi dalam penelitian ini, didapatkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,815 dengan p sebesar 0,00001 (p<0,05). Kekuatan korelasi bersifat positif dan tergolong sangat kuat, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima. Ada
hubungan yang positif dan sangat kuat antara sikap terhadap terhadap penuaan dengan kebermaknaan hidup pada lansia di Kota Malang. Koefisien determinasi digunakan untuk menafsirkan skor korelasi pearson (r). Caranya dengan mengkuadratkan nilai r tersebut. Nilai r harus dikuadratkan karena ia bukan berada dalam skala rasio. Setelah dikuadratkan kemudian dikalikan 100% untuk mendapatkan presentase determinasi.Sehingga didapatkan koefisien determinasi sebesar 66,4%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebesar 66,4% varians sikap terhadap penuaan dapat dijelaskan oleh kebermaknaan hidup. Faktor sikap yang paling berperan terhadap makna hidup adalah aspek kemunduran aspek psikososial. Koefisien B pada subdimensi kemunduran aspek psikososial adalah sebesar 1,581, maka setiap kenaikan satu satuan variabel kemunduran aspek psikososial akan mengakibatkan kenaikan variabel makna hidup sebesar 1, 581.
DISKUSI Hasil uji statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa attitude toward aging memiliki hubungan yang positif dan sangat kuat dengan meaningfulness of life dengan koefisien korelasi (r) yang ditunjukkan sebesar 0,815. Artinya, jika seorang lansia memiliki sikap yang cenderung positif dalam menghadapi proses penuaan, maka akan dapat diprediksi bahwa ia memiliki kebermaknaan hidup yang lebih baik. Sebaliknya, apabila seorang lansia menyikapi proses penuaannya dengan negatif atau penuh penolakan, maka dapat diprediksi bahwa tingkat kebermaknaan hidupnya lebih rendah. Hubungan antar kedua variabel dapat saling menjelaskan dengan didapatkannya koefisien determinasi sebesar 66,4%. Sedangkan sisanya, yaitu sebesar 33,6% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Allport, dalam Widayanta (2002), mengartikan sikap sebagai suatu keadaan siap yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap objek tertentu yang mengarah pada arah yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Arah hubungan yang positif menandakan bahwa semakin baik penerimaan diri seorang lansia dalam menghadapi proses penuaan dalam dirinya, baik yang berupa perubahan fisik, psikis, dan psikososial, maka seorang tersebut akan dapat memberi makna pada hidupnya dengan lebih baik. Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai sikap lansia terhadap penuaan yang diukur dengan skala Attitude toward Aging Questionnaire (AAQ), kebanyakan lansia merasa putus asa, merasa kesepian, dan semakin merasa dikucilkan seiring bertambahnya
usia. Hal itu banyak terjadi di negara-negara Eropa seperti Swedia, Belgia, dan Denmark, dimana skor pada aspek psychosocial loss (hilangnya aspek psikososial) mencapai 3,04 (Janeckova, dkk, 2013). Skor pada aspek psychosocial loss (hilangnya aspek psikososial) pada lansia di Kota Malang dalam penelitian ini bahkan lebih rendah yaitu sebesar 2,79. Hal ini menunjukkan adanya persamaan persepsi dan sikap oleh lansia dalam menghadapi kemunduran dalam aspek psikososial. Dalam budaya kita lansia cenderung dipandang sebagai sosok yang dituakan, dihormati, dan didengar pendapatnya (Suardiman, 2010). Lansia dalam budaya kita menjadi bagian inti dalam keluarga, sebagai pusat kebijaksanaan, dan rujukan dalam banyak aspek. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa lansia tetap merasakan kehilangan, kesepian, sulit untuk menemukan teman baru, dan secara aktif terlibat di masyarakat meskipun tinggal bersama anak-anaknya. Menurut Indriana (2012), kesepian disebabkan bukan karena menjadi sendirian, tetapi karena tanpa adanya sebuah hubungan dan relasi yang diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun lansia dianggap penting secara budaya, namun tidak dapat menghindarkan lansia dari rasa kehilangan dan kesepian. Skala AAQ (Attitude toward Aging Questionnaire) yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tiga aspek utama yang diukur, yaitu aspek perubahan fisik, perkembangan psikologis, dan berkurangnya aspek psikososial. Berdasarkan analisis regresi linear berganda dapat diketahui bahwa aspek yang paling berpengaruh terhadap pemaknaan hidup pada lansia adalah berkurangnya aspek psikososial. Tampaknya, tantangan utama pada lansia adalah untuk mengatasi perasaan kesepian sebagai akibat dari perubahan lingkungan sosial.Hasil kuesioner membuktikan bahwa meskipun lansia tinggal bersama keluarga di rumah, lansia masih merasakan kesepian yang berujung pada perasaan tidak dicintai dan diabaikan. Sanuthan (2013) menyatakan bahwa kehilangan teman sebaya dan berkurangnya fungsi sosial dapat menyebabkan perasaan kesepian. Rasa kesepian tersebut didorong oleh adanya perasaan kehilangan akibat terputusnya kontak sosial dengan sabahat, teman, dan keluarga yang membawanya pada perasaan kehilangan, terpencil, dan tersisih (Suardiman, 2010). Besarnya peran aspek psikososial dalam penelitian ini tidak lepas karena pengaruh budaya kolektif masyarakat Kota Malang yang sebagian besar terdiri dari etnis Jawa. Menurut pakar antropologi, Wiryamartana (Saryono, 2011), nilai kebersamaan (kekolektifan) tidak terpisahkan dengan nilai kemapanan dan keselarasan. Oleh sebab itu, hilangnya lingkungan sosial terdekat yang diakibatkan karena kematian teman-teman sebaya, berubahnya peran dalam keluarga, perginya anak-anak dan
kematian pasangan memberikan dampak yang besar bagi lansia. Terbukti dari banyaknya lansia yang merasa kesepian di hari tuanya. Meskipun mereka tinggal di rumah bersama keluarga, namun nampaknya kebersamaan dan interaksi saling membutuhkan telah banyak berkurang sehingga tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan terhadap aspek psikososial tersebut. Berdasarkan hasil temuan ini, untuk mengatasi kesepian pada lansia yang disebabkan oleh peranan mundurnya aspek psikososial, selanjutnya para psikolog dapat melakukan intervensi psikologis dengan pendekatan psikososial. Pendekatan konseling keluarga juga akan memberi dampak positif bagi lansia untuk meningkatkan aspek psikososialnya yang berkaitan erat dengan proses pemaknaan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. 2009. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2010. Metode Penelitian Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. 2012. Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baumeister, R.F., & Vohs, K. D. 2002. The Pursuit of Meaningfulness in Life. Handbook of Positive Psychology (pp. 608-628). New York: Oxford University Press. Baumeister, R.F., Vohs, K.D., Aaker, J.L., & Garbinsky E.N. 2013.Some Key Differences between a Happy Life and a Meaningful Life.The Journal of Positive Psychology, Volume 8, Issue 6, 2013: Special Issue: Positive Psychology in Search for Meaning (halaman 505-516). Cahyawati, R. 2009. Perbedaan Makna Hidup pada Lansia yang Tinggal di Panti Werdha dengan yang Tinggal Bersama Keluarga. (skripsi, tidak diterbitkan). UPI. Čeremnych, J., Alekna, V. 2006. The Viewson Ageing of Elderly Females Living in Community. Gerontologija 2006; 7(4): 180–187: Department of Gerontology Problem, Institute of Experimental and Clinical Medicine at Vilnius University. Chachamovich, E., Fleck, M., Laidlaw, K., Power, M. 2007. Impact of Major Depression and Subsyndromal Symptoms on Quality of Life and Attitudes Toward Aging in an International Sample of Older Adults. The Gerontologist Copyright 2008 by The Gerontological Society of AmericaVol. 48, No. 5, 593–602. Chapman, E.N. 1987. Sikap Kekayaan Anda yang Paling Berharga. Jakarta: Bina Aksara.
Cohen, Y., Gafni, N., Hanani, P. 2007. Translating and Adapting a Test, yet Another Source of Variance; the Standard Error of Translation. Publikasi : Annual Meeting of The IAEA. Dayakisni, T. & Hudaniyah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press. Faul, F., Erdfelder, E., Buchner, A., & Lang, A.-G. 2009. Statistical Power Analyses Using G*Power 3.1: Tests for Correlation and Regression Analyses. Behavior Research Methods, 41, 1149-1160. Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Haddock G., Maio G.R. 2005. Contemporary Perspective on The Psychology of Attitudes. New York: Psychology Press Inc. Hadi, S. 1990. Statistik, Jilid 1. Yogyakarta: Andi. Hasan, I. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara. Hill & Stone. 1990. Success Through Positive Mental Attitude. Boston: Simon & Schuster. Hills & Argyle. 2001. The Oxford Happiness Questionnaire: A Compact Scale for The Measurement of Psychological Well-Being. Journal Personality and Individual Differences 33 (2002) 1073–1082. Hoegh, M., Hoegh, S.M. 2009. Trans-adapting Outcome Measures in Rehabilitation : Cross-cultural Issues. Journal of Neuropsychological Rehabilitation. 19, 6, 955970. Hoyer & Roodin. 2009. Adult Development and Aging. Boston: McGraw-Hill. Idrus, M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta : Erlangga. Indriana, Desiningrum, & Kristiana. 2011. Religiositas, Keberadaan Pasangan dan Kesejahteraan Sosial (Social Well Being) pada Lansia Binaan PMI Cabang Semarang. JurnalPsikologiUndipVol. 10, No.2, Oktober 2011. Janečková, H., Dragomirecká, E., Holmerová, I., Vaňková, H. 2013.The Attitudes of Older Adults Living in Iinstitutions and their Caregivers to Ageing.Cent Eur J Public Health 2013; 21 (2): 63–71. Laidlaw, K., Power, M.J., & Schmidt, S. 2007. The Attitudes to Ageing Questionnaire (AAQ): Development and Psychometric Properties.International JournalGeriatr Psychiatry. 2007 Apr; 22 (4): 367-79. Lu, L., Kao, S., Hsieh, Y. 2009. Positive Attitudes Toward Older People and Well-being Among Chinese Community Older Adults. Journal of Applied Gerontology 29(5) 622–639.
Nurhidayah, S. & Agustini, R. 2012. Kebahagiaan Lansia di Tinjau dari Dukungan Sosial dan Spiritualitas.Jurnal Soul, Vol. 5, No.2, September 2012. Prinz, A. & Bunger, B. 2009. From ’Full Life’ to ’Balanced Life’: Extending Martin Seligman’s Route to Happiness. CAWM Discussion Paper no. 17. Ramdhani, N. 2008. Sikap dan Perilaku: Dinamika Psikologi Mengenai Perubahan Sikap dan
Perilaku,
Universitas
Gajah
Mada.
Available
from:
http://neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2008/03/definisi.pdf. Riduwan. 2005. Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Riduwan.2009. PengantarStatistikaIlmuSosial.Bandung :Alfabeta. Riduwan& Akdon. 2009. Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta. Santoso, S. 2004. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Santrock, J. W. (1995). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup,Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Sarwono, S.W., Meinarno, E.A. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Saryono, J. 2011. Sosok Nilai Budaya Jawa: Rekonstruksi Normatif-Idealistis. Malang: Aditya Media Publishing. Schaie, K.W. & Willis, S.L. 1991. Adult Development and Aging.Longman Higher Education; 3rd Revised edition. Seligman, M & Royzman E. 2003. Happiness: The Three Traditional Theories. Review of General Applied Psychology, 7. Suardiman, S. P. 2010. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Walgito, B. 1980. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Widiyanta, M. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.