HUBUNGAN SHALAT TAHAJUD DENGAN PERUBAHAN KADAR KORTISOL DAN SKOR TINGKAT STRES PADA PASIEN HIV & AIDS
Skripsi
Oleh: ERLANGGA RIZALDY NIM:108102000053
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H 2013 M
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Erlangga Rizaldy
NIM
: 108102000053
Tanda Tangan : Tanggal
iii
: 13 Mei 2013
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Erlangga Rizaldy
NIM
: 108102000053
Program Studi : Farmasi Fakultas
: KedokterandanIlmuKesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karyai lmiah saya, dengan judul :
HUBUNGAN SHALAT TAHAJUD DENGAN PERUBAHAN KADAR KORTISOL DAN SKOR TINGKAT STRES PADA PASIEN HIV & AIDS
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Jakarta
Pada Tanggal
: Mei 2013
Yang menyatakan,
(Erlangga Rizaldy)
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama
:
Erlangga Rizaldy
Program Studi :
Farmasi
Judul Skripsi :
Hubungan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS
Kortisol merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks adrenal sebagai respon terhadap stres. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penerapan shalat tahajud dengan perubahan jumlah hormon kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. Desain penelitian yang digunakan adalah non randomized control group pretest-postest design dengan sampel 16 orang laki-laki yang sesuai dengan criteria inklusi dan eksklusi. Kelompok intervensi ( KI 8 orang ) diukur jumlah hormone kortisol dan skor tingkat stres sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa shalat tahajud selama 6 minggu, frekuensi 3 kali per minggu dengan dosis 5 rakaat dalam waktu 1 jam dan kelompok kontrol (KK 8 orang ) tanpa perlakuan. Hasil uji dependen sample t-test pada variable hormone kortisol didapatkan nilai p= 0,213, artinya tidak ada hubungan bermakna antara shalat tahajud dengan perubahan kortisol pada pasien HIV & AIDS. Sedangkan pada variabel skor tingkat stres didapatkan nilai p= 0,001, artinya ada hubungan bermakna antara shalat shalat tahajud dengan perubahan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. Hasil uji independen sample t-test pada variable jumlah hormon kortisol tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p= 0,794. Sedangkan pada variabel skor tingkat stres didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p= 0,010. Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara shalat tahajud dengan hormone kortisol pada pasien HIV & AIDS, tapi ada hubungan dengan skor tingkat stres.
Kata kunci: Shalat tahajud, pasien HIV & AIDS, hormone kortisol, skor tingkat stres
vi
ABSTRACT
Name
:
Erlangga Rizaldy
Study program :
Pharmacy
Title
The Correlation Between Shalat tahajud with the changes of Cortisol and the score of stress level in patients with HIV & AIDS
:
Cortisol is a hormone produced by the adrenal cortex in response to stres. This research aims to know the correlation of shalat tahajud with the changes of hormone cortisol and the score of stress level in patients with HIV & AIDS. The design of this research used a quasi experimental non randomized control group pretest-postest design by the number of samplesare 16 men who fit the criteria of inclusion and exclusion. Treatment group (8 men) measured the amount of hormone cortisol and stress level score before and after the treatment of shalat tahajud given for 6 weeks, the frequency of three times a week with a dose of 5 rakaat in 1 hour and control group (KK 8 people) without treatment. The dependent samples t-test results at the variable value of cortisol obtained p = 0,213, it means that there is no significant correlation between shalat tahajud with changes of cortisol in patients of HIV & AIDS. Whereas at the variable score of stress level obtained p=0,001, it means that there is a significant correlation between shalat tahajud with changes of score of stress level in patients of HIV & AIDS. The independent sample t-test results-test on a variable number of hormone cortisol obtained no significant correlation between the treatment group and a control group difference with a value of p = 0,794. While on a variable level of stress obtained significant correlation with value p = 0,010. From this research we can conclude there is no correlation between shalat tahajud with the changes of hormone cortisol in patients of HIV & AIDS but there is correlation with the score of stress level.
Keyword : Shalat tahajud, HIV & AIDS, hormone cortisol, scores level of stress
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah Azza wa Jalla, yang oleh karena pertolongan dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Makalah skripsi yang berjudul “Hubungan Shalat Tahajud dengan Perubahan Kadar Kortisol dan Skor Tingkat Stres Pada Pasien HIV dan AIDS” dibuat untuk memenuhi tugas Skripsi dan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada penulisan ini, penulis juga ingin mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: (1) Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (2) Zilhadia Msi, Apt dan dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P, MARS selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam menuntun penulis dalam penyusunan skripsi ini. (3) Drs. Umar Mansur M.Sc selaku kaprodi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (4) Para dosen Farmasi UIN yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan wawasannya. (5) Mami Vinolia, Mami Rully, Mami Sarinah, dan teman-teman lain dari LSM Kebaya yang turut membantu pelaksanaan penelitian ini. (6) Mbak Titi dari Prodia Yogyakarta yang membantu dalam pemeriksaan laboratorium. (7) Rekan penelitian Akhmad Safi’i yang telah bersama dalam suka dan duka. (8) Kedua orang tua tercinta Ibunda Mimie Sulistyorini dan Ayahanda Sanu Budi yang senantiasa berdo’a, memberikan curahan kasih sayang, dukungan moral dan materi terhadap seluruh kegiatan penulis. viii
(9) Teman-teman seangkatan Farmasi 2008 yang telah menempuh pendidikan bersama selama empat tahun, Semoga semangat dan kesuksesan bersamasama dengan kita semua. (10) Mas Makmun, Rikza dan segenap teman di Yogyakarta yang telah membantu demi kelancaran penelitian ini. (11) Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi, Saya ucapkan terimakasih.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini dan melaksanakan perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Jakarta, April 2013
Erlangga Rizaldy
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Erlangga Rizaldy
NIM
: 108102000053
Program Studi : Farmasi Fakultas
: KedokterandanIlmuKesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karyai lmiah saya, dengan judul :
HUBUNGAN SHALAT TAHAJUD DENGAN PERUBAHAN KADAR KORTISOL DAN SKOR TINGKAT STRES PADA PASIEN HIV & AIDS
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Jakarta
Pada Tanggal
: Mei 2013
Yang menyatakan,
(Erlangga Rizaldy)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I
BAB II
halaman ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xvi
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Hipotesis 1.4 Tujuan Penelitian 1.5 Manfaat Penelitian
1 4 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KonsepDasar HIV 2.1.1 Definisi Virus HIV 2.1.2 Epidemiologi 2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV /AIDS 2.1.4 Komplikasi atau Infeksi Oportunistik 2.1.5 Tatalaksana Klinis 2.2 Konsep Dasar Shalat Tahajud 2.2.1 Makna Shalat Tahajud 2.2.2 Waktu Pelaksanaan Shalat Tahajud 2.2.3 Bilangan Rakaat Shalat Tahajud 2.3 Konsep Dasar Kortisol 2.3.1 Kelenjar Adrenal dan Sekresi Kortisol 2.3.2 Metabolisme Kortisol 2.3.3 Efek Kortisol Terhadap Sistem Imun 2.4 Konsep Dasar Psikoneuroimunologi 2.5 Psikoneuroimunologi Shalat Tahajud
6 6 6 7 10 10 13 14 15 15 16 16 17 18 20 22
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep 29 3.2 Definisi Operasional 31
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
xi
BAB V
BAB VI
4.1 Desain Penelitian 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.3 Alat dan Bahan 4.3.1 Alat 4.3.2 Bahan 4.4 Populasi dan Sampel 4.4.1 Populasi 4.4.2 Sampel 4.4.3 Teknik Pengambilan Sampel 4.5 ProsedurKerja 4.5.1 Prosedur Pengambilan Darah 4.5.2 Pembuatan Serum 4.5.3 Pemeriksaan Hormon Kortisol 4.5.4 Pengukuran Skor Tingkat Stres 4.6 Variabel Penelitian 4.6.1 Variabel Independen 4.6.2 Variabel Dependen 4.7 Analisa Data 4.7.1 Analisa Univariat 4.7.2 Analisa Bivariat 4.8 Etika Penelitian
32 33 33 33 33 34 34 34 35 35 35 36 36 36 37 37 37 37 37 37 38
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Univariat 5.1.1 Karakteristik Responden 5.1.2 Hasil Pengukuran Kadar Kortisol 5.1.3 Hasil Pengukuran Tingkat Stres 5.2 Analisa bivariat 5.2.1 Uji Normalitas 5.2.2 Hasil Uji Statistik 5.3 Keterbatasan penelitian 5.4 Pembahasan
39 39 40 42 44 44 45 46 47
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran
51 51
DAFTAR PUSTAKA
52
xii
DAFTAR TABEL
halaman Tabel III. Definisi Operasional
31
Tabel V.1. Karakteristik Responden
39
Tabel V.2. Hasil pengukuran kadar hormon kortisol kelompok intervensi 40 Tabel V.3. Hasil pengukuran kadar hormon kortisol kelompok kontrol
41
Tabel V.4. Hasil pengukuran skor DASS pada kelompok intervensi
42
Tabel V.6. Hasil Uji Dependen T-Test
43
Tabel V.7. Hasil Uji Independen T-Test
45
xiii
DAFTAR GAMBAR
halaman Gambar 1.Mekanisme kerja kortisol
17
Gambar 2.Siklus sekresi kortisol dalam 24 jam
19
Gambar 3.Alur kerja psikoneuroimunologi shalat tahajud
26
Gambar 4.Alur kerja psikoneuroimunologi CBSM
27
Gambar 5.Kerangka konsep penelitian
30
Gambar 6.Desain Penelitian
32
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
halaman Lampiran 1. Alur Kerja Penelitian
56
Lampiran 2. Tata Cara ShalatTahajud
57
Lampiran 3. Instrumen DASS 42
59
Lampiran 4. Formulir Persetujuan Menjadi Responden
61
Lampiran 5. Ethical Clearance
62
Lampiran 6. Surat Keterangan Melakukan Penelitian
63
Lampiran 7. Alat-Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kortisol
64
Lampiran 8. Pelaksanaan ShalatTahajud
65
Lampiran 9. Hasil pemeriksaan DASS dengan SPSS
66
Lampiran 10. Hasil pemeriksaan Kortisol dengan SPSS
67
Lampiran 11. Hasil pemeriksaan DASS Kelompok Kontrol dengan SPSS 68 Lampiran 12. Hasil pemeriksaan Kortisol Kelompok Kontrol dengan SPSS
69
Lampiran 13 . Hasil perbandingan kelompok Intervensi dengan kelompok kontrol
70
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Shalat merupakan rukun kedua dalam lima rukun Islam. Perintah shalat disebutkan dalam Al Qur‟an.Salah satu ayat dalam Al Qur‟an yang berisi perintah shalat terdapat pada QS.Al Baqarah ayat 43:“Dan dirikanlah shalat dan bayarlah zakat, dan ruku‟lah bersama-sama orang-orang yang ruku”. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Mu‟adz bin Jabal bahwa Rasulullah Shallallahu‟alaihi Wa Sallam bersabda : “Pokok dari seluruh perkara adalah islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncak tertinggi dari segala urusan tersebut adalah jihad”. Shalat secara bahasa berarti do‟a.Shalat juga dapat berarti do‟a untuk mendapat kebaikan atau sholawat bagi Nabi Muhammad SAW. Secara terminologi, shalat adalah suatu ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat tertentu (Sholeh, 2009). Salah satu shalat yang memiliki banyak keutamaanadalah shalat tahajud.Shalat tahajud adalah shalat sunah yang dilaksanakan pada malam hari setelah bangun tidur. Sebelum perintah shalat lima waktu turun, Rasulullah SAW pernah memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan shalat tahajud. Hal ini tertulis dalam hadist :“Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan sertashalatmalamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk surge dengan selamat.” (HR Tirmidzi) Selain membuat pelakunya mendapatkan tempat istimewa di hadapan Allah SWT, peningkatan kekebalan tubuh juga dapat terjadi dengan melakukan shalat tahajud, sebagaimana penelitian dari Sholeh (2009). Shalat tahajud yang dijalankan dengan gerakan tepat, rutin, dan tentu saja dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
tulus ikhlas bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh meningkat, bisa mengurangi resiko penyakit jantung, dan meningkatkan usia harapan. Salah satu penyakit yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah sindroma penyakit defisiensi imunitas seluler yang didapat, disebabkan oleh HIV yang merusak sel yang berfungsi untuk sistem kekebalan tubuh yaitu CD4 (Lymphocyte T-helper) (Astari et al, 2009). HIV & AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan obat yang dapat memulihkannya sampai saat ini. Penderita HIV & AIDS dianggap aib sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun keluarga dan lingkungan di sekelilingnya. Orang yang terinfeksi HIV terbukti memiliki stres yang tinggi akibat trauma masa lalu seperti pelecehan seksual dan fisik, juga ditambahkan karena beban hidup akibat stigma negatif HIV (Leserman, 2003). Jika ditambah dengan stres yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat kejadian AIDS dan bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997) jika stres mencapai tingkat exhausted stage (tahap keletihan) dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, yang memperparah keadaan pasien dan mempercepat kejadian AIDS (Nursalam, 2007). Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh pada penderitanya. Faktor psikososial diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh melalui beberapa hormon adrenal, termasuk kortisol dan katekolamin (Mc Ewen, 1998). Pasien yang mengalami stres yang berkepanjangan, berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada sistem limbik berefek pada hipotalamus. Kemudian hipofisis akan menghasilkan Corticotropine Releasing Factor (CRF) yaitu pada sel basofilik. Sel basofilik tersebut akan mengekspresikan Adrenal Cortico Tropic Hormon (ACTH) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar kortek adrenal pada sel zona fasiculata,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
kelenjar ini akan menghasilkan kortisol yang bersifat immunosupressive. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun yang meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1 (CD4); dan sel plasma: IFNy; IL-2; IgM – IgG dan Antibodi-HIV (Ader, 2007). Menurut Leserman (2003), kortisol merupakan mediasi antara stres yang berkaitan dengan sistem imun pada HIV. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kortisol positif terkait dengan stres dan depresi pada HIV. Seperti yang dilakukan Christeff, et al (1997) menunjukkan bahwa jumlah CD4 yang rendah terkait dengan kadar kortisol yang lebih tinggi pada pasien yang positif HIV. Goodkin et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah sel CD4 diikuti juga dengan penurunan kortisol pada partisipan yang mengikuti terapi untuk menghilangkan kecemasan. Ada beberapa jalur dimana kortisol dapat mempengaruhi perubahan fungsi kekebalan tubuh dan perkembangan penyakit HIV. Kortisol dapat merangsang replikasi virus HIV, memodifikasi program kematian sel, dan mengubah pola sekresi sitokin (Th1 dan Th2). Selain itu studi klinis lain menunjukkan bahwa tingkat virus yang terdeteksi dalam kultur sel dari pasien dengan AIDS bisa meningkat karena hidrokortison. (Leserman, 2003, h. 28). Penelitian terhadap penderita HIV & AIDS yang berhubungan dengan dimensi psikoreligi telah banyak dilakukan dan membawa hasil yang cukup bermakna bagi meningkatnya daya tahan tubuh. Ironson melakukan penelitian pada penderita HIV & AIDS Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh terapi keagamaan terhadap kekebalan tubuh penderita .Kelompok penderita dibagi dua yaitu kelompok pertama terdiri dari 79 orang dan kelompok kedua terdiri dari 200 orang. Kelompok pertama dalam riwayat kehidupanya menjalankan kegiatan keagamaan, sementara pada kelompok kedua tidak. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok pertama yang melakukan kegiatan keagamaan dan spiritualitas dapat memperpanjang usia dan menurunkan tingkat stres yang ditandai dengan penurunan kortisol (Ironson, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
Penelitian lain juga dilakukan oleh Antoni et al (2000) dengan melakukan
Cognitive-behavioral
Stres
Management
(CBSM)
yang
dilakukan pada 47 pria terinfeksi HIV (34 CBSM dan 13 kelompok kontrol) menunjukkan penurunan depresi dan perbaikan mood yang disertai dengan banyaknya penurunan kadar kortisol
pada kelompok yang mendapat
intervensi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nasronudin et al (2008) pada pasien HIV & AIDS di RSU Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa dengan psikoterapi transpersonal yang meliputi visualisasi, meditasi, dan pujian dapat meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan sistem imun, dan menurunkan stres. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai hubungan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS di LSM Kebaya Yogyakarta dengan jumlah sampel 8 untuk kelompok intervensi dan 8 juga untuk kelompok kontrol. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimental non randomized control group pretest-postest design dalam jangka waktu 6 minggu. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur kadar kortisol dan skor tingkat stres pada responden sebelum menjalankan shalat tahajud dan setelah 6 minggu diukur kembali kadar kortisol dan skor tingkat stres.
1.2 Perumusan Masalah 1. Apakah terdapat penurunan kadar kortisol sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS? 2. Apakah terdapat penurunan skor tingkat stres sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS?
1.3 Hipotesis 1. Terdapat penurunan kadar kortisol sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS. 2. Terdapat penurunan skor tingkat stres sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.4 Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahuiapakah ada hubungan shalat tahajud terhadap perubahankadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan hubungan pelaksanaan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan menurunkan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. 2. Memberikan informasi ilmiah tentang perubahan kadar kortisol dan tingkat stres sebelum dan sesudah melakukan shalat tahajud. 3. Memberikan kontribusi yang positif bagi pasien HIV & AIDS dan keluarganya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Human Immuno Deficiency Virus (HIV) 2.1.1 Definisi Virus HIV HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan DNA dari RNA yang ada di dalam virus. DNA salinan tersebut yang menyebabkan virus dapat bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya dapatbereplikasi di dalam sel pejantan. HIV merupakan virus yang memiliki selubung virus (envelope), mengandung dua kopi genomik RNA virus yang terdapat di dalam inti. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus (Astari et al, 2009).
2.1.2 Epidemiologi Menurut laporan yang diterbitkan oleh UNAIDS (2005) telah terdapat sekitar 40 juta orang (36,7-45,3 juta orang) yang hidup bersama Virus HIV sebagai penyebab penyakit AIDS di akhir 2011. Dalam tahun 2005 saja diperkirakan sekitar 5 juta orang kasus terinfeksi HIV. Episentrum penyakit ini terdapat didaerah sub Sahara Afrika dengan jumlah orang terinfeksi HIV hampir 2/3 dari seluruh penderita terinfeksi HIV di dunia. Angka infeksi pada golongan umur dewasa terdapat 7% dari seluruh populasi yang terinfeksi HIV (Subowo, 2010) Pada akhir tahun 2003, terdapat 12 juta orang yang menjadi yatim piatu karena ditinggal mati orang tuanya yang menderita AIDS. Walaupun
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
jumlah penderita di Afrika paling buruk, namun jumlah orang yang teinfeksi oleh HIV meningkat di sebagian besar wilayah khususnya Eropa timur, Asia Tengah, sedang di India dan Cina terjadi peningkatan epidemik dengan prevalensi 1-2 % pada wanita hamil. Epidemi penyakit ini telah meningkat dengan menampakkan wajah perempuan. Perempuan yang berumur di atas 16 tahun berkontribusi hampir 50% dalam populasi dengan infeksi HIV &AIDS
di wilayah sub –Sahara Afrika. Kunci
demografi yang lain mengarah pada kelompok umur 15-24 tahun, karena orang-0rang dalam kelompok umur ini menyumbangkan hampir 1/3 dari jumlah seluruh penderita terinfeksi HIV (Subowo,2010).
2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV Secara ringkas perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga fase, yaitu: (1) Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut); (2) Fase Infeksi Laten; (3) Fase Infeksi Kronis(Astari et al, 2009). Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut) Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang terkait dengan infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam darah dalam waktu sekitar tiga minggu setelah terjadinya infeksi.Pada periode ini protein virus dan virus yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan serebrospinal, jumlah virion di dalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per mililiter plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang besar akan memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip
infeksi
mononukleosis
akut
yakni
antara
lain:
demam,
limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah, yang timbul sekitar 3–6 minggu setelah infeksi. Pada fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan sel limfosit T-CD4 yang signifikan sekitar 2–8 minggu pertama infeksi primer HIV, dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
ini masih diatas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu terinfeksi HIV(Astari et al, 2009). Fase Infeksi Laten Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respons imun spesifik tubuh terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan perlawanan yang kuat terhadap virus sehingga sebagian besar virus hilang dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi peningkatan respons imun seluler, akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respons imun humoral. Selama periode terjadinya respons imun yang kuat, lebih dari 10 milyar HIV baru dihasilkan tiap harinya, namun dengan cepat virus-virus tersebut dihancurkan oleh sistem imun tubuh dan hanya memiliki waktu paruh sekitar 5–6 jam. Meskipun di dalam darah dapat dideteksi partikel virus hingga 108 per ml darah, akan tetapi jumlah partikel virus yang infeksius hanya didapatkan dalam jumlah yang lebih sedikit, hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar virus telah berhasil dihancurkan. Pembentukan respons imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan perjalanan infeksi mulai memasuki fase laten. Namun demikian sebagian virus masih menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di dalam plasma, virus terutama terakumulasi di dalam kelenjar limfe, terperangkap di dalam sel dendritik folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi, sehingga penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit.Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3 (Astari et al, 2009). Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi primer, akan mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu "set point" selama fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya penyakit AIDS. Dengan jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi dengan periode laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika jumlah virus kurang dari 200 kopi/ml, infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian besar pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Sejumlah pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah virus antara 10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada fase infeksi laten. Pada fase ini pasienumumnya belum menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis. Fase laten berlangsung sekitar 8–10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV (Astari et al, 2009). Fase Infeksi Kronis Berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler serta sel limfosit T-CD4 yang menjadi target utama dari virus HIV oleh karena banyaknya jumlah virus.Fungsi kelenjar limfa sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik.respons imun tidak mampu mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm3, jumlah virus meningkat dengan cepat sedangkan respons imun semakin tertekan sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi AIDS pasien jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi terapi. Infeksi sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia yang disebabkan Pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkhus atau paru serta
infeksi
jamur
jenis
lain
misalnya
histoplasmosis
dan
koksidiodomikosis. Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu, kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma Kaposi's (Astari et al, 2009). Selain tiga fase tersebut di atas, pada perjalanan infeksi HIV terdapat periode masa jendela atau "window period" yaitu, periode saat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
pemeriksaan tes antibodi terhadap HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien yang terinfeksi HIV dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui
pemeriksaan
laboratorium
oleh
karena
kadarnya
belum
memadai.Periode ini dapat berlangsung selama enam bulan sebelum terjadi serokonversi yang positif, meskipun antibodi terhadap HIV dapat mulai terdeteksi 3–6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain (Astari et al, 2009). 2.1.4 Komplikasi atau Infeksi Oportunistik Komplikasi atau infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada ODHA adalah sebagai berikut : Tuberkulosis, Septikemia, Pneumonia (biasanya pneumocystis carinii), Pneumonia biasa, Infeksi jamur pada kulit, mulut dan tenggorokan yang sering kambuh, penyakit kulit lain, demam yang tidak jelas penyebabnya, Diare kronis dan Meningitis (Depkes , 2003).
2.1.5 Tatalaksana Klinis Tujuan tatalaksana klinis adalah terlaksananya program pengobatan HIV & AIDS secara memadai dengan hasil maksimal (Depkes, 2003). Pada prinsipnya terdapat 5 hal yang terkait dengan tatalaksana penderita HIV & AIDS yang meliputi : 1.
Terapi ARV : Sementara ini di Indonesia menggunakan terapi ARV pada lini pertama yang memiliki empat rejimen yaitu a. Zidovudine ( ZDV ) 300 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Nevirapine ( NVP ) 200 mg b. Zidovudine ( ZDV ) 300 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Evafirenz ( EFV ) 600 mg c. Stavudine ( d4T ) 40 mg dan 30 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Nevirapine ( NVP ) 200 mg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
d. Stavudine ( d4T ) 40 mg dan 30 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Efavirenz ( EFV ) 600 mg ( WHO, 2003). 2.
Terapi Infeksi Oportunistik : Penyakit infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada ODHA dan pengobatannya antara lain : a. Tuberkolosa : Isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin etambutol b. Septikemia : Antibiotik c. Pneumonia (biasanya Pneumocystis carinii): memerlukan terapi yang kompleks. Obat lini pertama adalah Kotrimoksasol (yang dapat
juga
digunakan
sebagai
profilaksis)
Kemungkinan
selanjutnya diperlukan pentamidin, prednisolon, dapson. d. Pneumonia biasa : Antibiotik e. Infeksi jamur pada kulit, mulut dan tenggorokan yang sering kambuh : Gentian violet, povidone iodine, obat kumur, tablet telan dan tablet hisap anti jamur f. Diare kronis : Loperamide hanya diberikan bila tidak ada perbaikan setelah diberi pengobatan yang sesuai dengan penyebabnya. g. Meningitis : Antibiotik tergantung dari penyebab atau jenis meningitis (Depkes, 2003). 3.
Terapi Simtomatik : Sehubungan telah dipahaminya patogenesis HIV & AIDSsecara baik, tersedianya fasilitas deteksi virus
dan
perkembangan yang cepat dari program pengobatan. Tes jumlah CD4 dan viral load telah dilakukan untuk memantau dan menentukan tingkat prognosis dan kemajuan pengobatan. Beberapa prinsip penatalaksanaan yang penting terhadap pasien HIV/AIDS. Tes CD4 dan viral load, tidak dapat dilaksanakan di sebagian wilayah di Indonesia, namun tidak akan menjadi kendala dalam melakukan tata laksana klinis yang baik, karena dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan jumlah limfosit total (Depkes, 2003). 4.
Terapi Sosial : a. Membentuk kelompok dukungan masyarakat untuk memberikan dukungan emosional kepada ODHA dan para pendampingnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
Dalam kelompok ini dapat dijajagi kesempatan untuk meningkatan dan menciptakan sumber pendapatan. b. Mengurangi dan menyingkirkan stigma, mebangun sikap positif dari masyarakat terhadap ODHA dan keluargnya, termasuk para petugas kesehatan baik di jajaran pemerintah maupun swasta dan di tempat kerja. c. Dukungan sosial atau rujukan kepada pelayanan sosial untuk mengatakan permasalahan tempat tinggal, pekerjaan, bantuan hukum, serta memantau dan mencegah terjadinya diskriminasi. d. Pendidikan dan pelatihan tentang tatalaksana dan pencegahan HIV & AIDS bagi para pendamping ODHA ( petugas kesehatan, keluarga, tetangga dan relawan ) (Depkes, 2003).
5.
Terapi Suportif yang meliputi asupan gizi dan olahraga : Syarat-syarat diet HIV & AIDS adalah : a. Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi diperhatikan faktor stres, aktifitas fisik dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan suhu 1°C. b. Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati. c. Lemak cukup, yaitu 10% – 25% dari kebutuhan energi total. Jenis lemak
disesuaikan
dengan
toleransi
pasien.
Apabila
ada
malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (medium chain triglyceride/ MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan. d. Vitamin dan mineral tinggi, yaitu 1½ kali (150%). Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) terutama vitamin A, B12, C, E, folat, kalsium, magnesium, seng dan selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
e. Serat cukup, gunakan serat yang mudah dicerna. f. Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid) g. Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium, kalium dan klorida) h. Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat maka dianjurkan pemberian makan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan. i. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering. j. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia (Depkes, 2003).
2.2Konsep Dasar Shalat Tahajud 2.2.1 Makna Shalat Tahajud Tahajud artinya bangun dari tidur.Shalat tahajud artinya shalat sunah yang dikerjakan pada waktu malam hari dan dilaksanakan setelah tidur lebih dahulu walaupun hanya sebentar. Shalat tahajud disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah turun Surat Al Muzzammil.Ada dua pokok yang memmbuat gelisah hati nabi Muhammad SAW, yakni (1) beratnya tugas yang dakwah yang diemban Nabi SAW,di mana tugas ini memerlukan ketenangan jiwa, dan (2) hebatnya rencana musuh yang dihadapi. Kedua hal ini yang menyebabkan Nabi SAW dirundung berbagai kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan. Menurut sebuah riwayat, dalam kondisi seperti itu, Nabi Muhammad SAW merenung sambil berbaring menyelimuti badannya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
Ketika itu, datanglah malaikat Jibril menyampaikan Surah Al Muzzammil ayat 1-10 : “ Hai orang yang berselimut; bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kcuali sedikit dari padanya; yaitu seperdua atau kurangilah seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu dan bacalah Al-Qur‟an itu dengan perlahan-lahan (tartil); sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat; sesungguhnya bangun pada waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‟) dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan; sesungguhnya pada siang hari kamu mempunyai urusan yang panjang (banyak); sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadan-Nya dengan penuh ketekunan; (Dialah) Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan selain Dia. Jadikan Dia sebagai pelindung; dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. Sejarah mencatat ibadah yang mahdah yang pertama diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebelum diperintahkan ibadah lain adalah shalat tahajud. Dalam sebuah riwayat disebutkan: Said bin Hisyam bertanya kepada Aisyah tentang shalat Nabi di waktu malam. Aisyah menjawab: “ Apakah Anda tidak membaca Surah Al-Muzzammil?” “Ya,” jawab Said. Maka , shalat malam pada permulaan surah ini, dijalankan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya selama satu tahun, sampai kaki mereka bengkak dan Allah SWT tidak menurunkan ayat akhir (ayat 20 Surah Al-Muzzammil) dalam surah ini selama dua belas bulan. Kemudian, ayat 20 diturunkan untuk meringankan sehingga solat malam menjadi sunah sesudah diwajibakan,” (HR Ahmad dan Muslim).
2.2.2 Waktu Pelaksanaan Shalat Tahajud Dalam Al Qur‟an Surah Al Muzzammil ayat 3-4, Allah SWT menerangkan dengan perkataan “Separuh malam, kurang atau lebih”. Ini berarti bahwa Allah SWT menyerahkan kepada Nabi SAW untuk memilih waktu shalat tahajud yang sesuai dengan kelonggaran yang ada pada diri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
nabi SAW. Hafidz berkata: “Tahajud Rasulullah SAW tidak ada ketentuan waktunya karena hanyalah semata-mata dimana ada kelapangan”. Apabila diinterpretasikan menurut waktu Indonesia, sepertiga awal malam itu kira-kira pukul 22.00 WIB sampai pukul 23.00WIB. Seperdua malam diperkirakan kira-kira pukul 00.00 WIB sampai pukul 01.00 WIB, dan dua per tiga malam sekitar pukul 02.00 WIB atau pukul 03.00 WIB sampai sebelum fajar atau masuk shalat Subuh (Depag RI, 1985). Namun, menurut hadis yang shahih, sebaik-baik waktu untuk menjalankan shalat tahajud adalah pada sepertiga malam terakhir, yang menurut interpretasi waktu Indonesia adalah sekitar pukul 02.00 WIB, atau pukul 03.00 WIB sampai sebelum subuh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :“Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir.Pada saat itulah Allah SWT berfirman, „Siapa yang berdoa kepada-Ku pasti Ku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu akan pasti Ku-beri dan siapa yangmeminta ampun kepada-ku, pasti Ku-ampunin,” (HR.Jamaah).
2.2.3 Bilangan Rakaat Shalat Tahajud Tidak ada ketentuan atau batasan yang pasti mengenai shalat jumlah rakaat shalat tahajud.Amat beragam bilangan rakaat dan model shalat tahajud yang dijalankan oleh Rasulullah SAW.Berikut ini diuraikan hanya beberapa model yang dipandang bersumber pada hadis yang sahih dan terkenal di kalangan kaum muslimin. Telah berkata Aisyah : „‟Bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat malam antara waktu isya‟ dan subuh sebelas rakaat, yaitu ia beri salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan ia sembahyang witir satu rakaat,” (HR.Bukhari) Telah berkata Aisyah : „‟Bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat malam tiga belas rakaat. Dari tiga belas rakaat itu , ia shalat witir lima rakaat, dan ia tidak duduk diantara rakaat-rakaat itu kecuali
pada
rakaat terakhir,” (HR.Bukhari dan Muslim).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Telah berkata Aisyah : „‟Bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat tahajud empat rakaat, tapi jangan engkau tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian ia shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagus dan panjangnya, kemudian ia shalat witir tiga rakaat,‟‟ (HR.Bukhari dan Muslim). Ketiga hadis tersebut menunjukkan bervariasinya bilangan rakaat dan model yang ditempuh Rasulullah SAW dalam menjalankan shalat tahajud. Rasulullah pernah shalat tahajud sebelas rakaat: sepuluh rakaat shalat tahajud dengan tiap-tiap dua rakaat salam, dan witir satu rakaat.
2.3.Konsep Dasar Kortisol 2.3.1Kelenjar Adrenal dan Sekresi Kortisol Anatomi
kelenjar
adrenal
pertama
kali
dijelaskan
oleh
Bartholomeo Eustachius pada 1963.Kelenjar adrenal mempunyai bobot sekitar 6-10 gram. Kelenjar ini mulai terbentuk pada usia kehamilan dua bulan. Bobot kelenjar ini pada orang dewasa terdiri dari 90% bagian korteks dan 10% medulla. Kelenjar ini terbentuk seperti piramida yang panjangnya berkisar antara 2-6 cm. Tebal ± 1 cm dan terletak di bagian atas kedua ginjal atau posisi posteromedial (A.Ghani,1995). Bagian korteks adrenal terdiri dari tiga zona, yaitu (1) Glomerolusa, yang memiliki distribusi -sebesar 15% letak di bagian luar (2) Fasciulata, yang memiliki distribusi 15% di bagian tengah dan (3) Reticularis merupakan kesatuan karena keduanya menghasilkan hormon kortisol dan androgen (Ghani, 1995). Hormon yang disekresi oleh korteks adrenal adalah kortisol, aldosteron, dan androgen.Prekusor hormon ini adalah kolestrol yang banyak terdapat pada lipid droplet dalam sitoplasma dan dari kolestrol dalam sirkulasi (dalam bentuk LDL). Reseptor LDL banyak ditemukan pada korteks adrenal (Ghani, 1995). Sekresi kortisol dan androgen diatur oleh ACTH, sedangkan sekresi aldosteron juga dipengaruhi oleh angiotensin dan konsentrasi ion K. Selain oleh ACTH sekresi kortisol juga dipengaruhi oleh rangsangan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
otak sebagai respons terhadap stres, khususnya sekresi kortisol dipengaruhi oleh tiga respons, yaitu, stres, ACTH, dan diurnal rytme (Guyton, 2001). Secara visual, mekanisme pengaturan sekresi kortisol dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Mekanisme kerja kortisol Sumber: Guyton AC,2001
Peran ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi antara Hipothalamic-Pituitary Adrenal Axis (HPA).ACTH bekerja pada zona fasciulata dan retikularis dan berkedudukan sebagai faktor utama dalam pengaturan kortisol, androgen, dan aldosteron. Sedangkan, ACTH sendiri diatur oleh CRH (corticotropic relasing hormon) dan neurotransmitter (Mc.Cance, 1994).
2.3.2. Metabolisme Kortisol Di dalam sirkulasi, 75% kortisol terikat dengan kortisol binding globulin (CBG), atau transcortin, 10% dalam bentuk bebas, dan sisanya terikat dengan albumin. CBG disintesa di hati dan memiliki afinitas yang tinggi
terhadap
kortisol.Sintesa
CBG
meningkat
sejalan
dengan
peningkatan konsentrasi estrogen. Waktu paruh kortisol plasma berkisar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
75-90 menit dan ditentukan oleh kemampuanya terikat dengan plasma protein atau proses inaktifasinya. (Guyton, 2001). Kortisol dimetabolisme di hati dan ginjal.Di hati, kortisol diubah menjadi hidrokortisol yang selanjutnya menjadi tetrahidrokortisol. Kortisol juga diubah menjadi dihydrocortison, yang selanjutnya menjadi tetrahydrocortisone.
Baik
tetradihidrokortisol
maupun
tetrahydrocortisone selanjutnya dimetabolisme menjadi asam kortoik. Kortisol juga dimetabolisme menjadi 6-hidrokortisol yang larut dalam air dan diekskresi melalui urin.Di ginjal, kortisol diinaktivasi menjadi kortison oleh enzim 11-hydroxysteroid dehydrogenase. Proses ini mempunyai makna fisiologik dan klinis, sebab kortisol bisa dicegah untuk menduduki reseptor aldosteron dan kelebihan aldosteron dapat dihindari (Guyton, 2001)
2.3.3.Efek Kortisol Terhadap Sistem Imun Interaksi antara ACTH dan kortisol terjadi melalui umpan balik (negative feedback).Mekanisme ini terjadi baik pada tingkat kelenjar pituitary maupun hipotalamus. Konsentrasi kortisol yang meningkat menghambat sekresi ACTH dan CRH. Mekanisme kortisol pada gen dapat menurunkan sintesis RNA untuk pro-opiomelanokrortinyang juga merupakan prekusor ACTH (Sherwood, 2009). Pola sekresi kortisol diatur oleh peace maker endogen yang terdapat
nucleus
suprakiasmatik
di
hipotalamus.
Pengaturan
ini
mengeluarkan impuls bersifat „‟ circadian rhytme‟‟. Irama sirkadian menyebabkan sekresi kortisol dan ACTH yang bersifat episodic seperti terlihat pada grafik berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Gambar 2. Siklus sekresi kortisol dalam 24 jam Sumber: Guyton AC,2001
Reichlin
menyatakan
bahwa
gangguan
irama
sirkadian
memberikan gambaran yang sama dengan akibat adanya stres, yaitu peningkatan ACTH. Hal ini menunjukkan adanya perubahan behavior dari sistem syaraf pusat sebagai uapaya untuk mengendalikan homeostasis sehingga akan memodulasi HPA. Adanya modulasi dari HPA-axis yang menyebabkan meningkatnya hormon kortisol selama 24 jam tidak terdapat titik rendah. Karena titik rendah yang biasanya tercapai pada malam hari (Reichlin, 1992). Irama sikradian dipengaruhi oleh perubahan pola tidur, aktivitas fisik dan psikologis, serta berbagai penyakit seperti kelainan kelenjar pituitari, gagal ginjal kronik, dan gangguan CNS.
Dengan demikian,
sekresi kortisol juga dapat meningkat tanpa terikat oleh irama sirkadian (Guyton, 2001). Selama kondisi stres, korteks adrenal baik yang diaktifkan oleh ACTH maupun rangsangan oleh katekolamin dapat menyebabkan peningkatan sekresi hormon glukortiroid, terutama kortisol (Mc.Cance, 1994). Dalam 24 jam, ACTH dan kortisol mempunyai pola yang menetap. Konsentrasi ACTH dan kortisol cenderung meningkat pada pagi hari dan menurun pada sore hari. Kortisol kadar tertinggi pada pukul 06.00-08.00
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
WIB. Kedua hormon tersebut mengeluarkanya secara periodik tiap 30-120 menit. Faktor yang mempengaruhi irama ACTH dan kortisol adalah (1) irama intrinsik dan sekresi dari CRH, (2) siklus makan, (3) rangsangan terang dan gelap (4) irama yang terdapat dalam adrenal yang diperankan oleh inervasi dari adrenal (Felig, 1995). Irama biologis dari ACTH dan kortisol berkorelasi dengan sasana terang dan gelap. Pada malam hari, saat kondisi gelap , terjadi penurunan ACTH dan kortisol. Kadar kortisol terendah biasanya terjadi antara pukul 02.00 WIB.Karena disamping tidak adanya rangsangan cahaya pada waktu tersebut aktivitasnya rendah. Dan mulai terjadi peningkatan pada jam pertama saat tidur (Felig, 1995). Hormon korteks adrenal terikat dengan reseptor dalam sitoplasma (reseptor intraseluler). Ikatan tersebut bergerak dalam inti sel dan berinteraksi dengan kromatin. Hasil analisis teknik complementary DNA menunjukkan, bahwa terdapat homologi antara reseptor kortisol, aldosteron,
estrogen,
progesteron
dan
reseptor
hormon
tiroid
(Guyton,2001). Secara ringkas efek kortisol terhadap respon imun adalah, menekan sintesis immunoglobulin, menurunkan opulasi sel PMN, limfosit dan makrofag dalam darah tepi dan menimbulkan atropi jaringan limfoid dalam timus, limpa dan kelenjar limfe (Granner, 1998).
2.4. Konsep Dasar Psikoneuroimunologi dan Stres. Psikoneuroimunologi adalah suatu cabang ilmu yang mencari hubungan dua arah; yaitu hubungan kondisi psikologis dengan susunan syaraf pusat (otak) dan hubungan kondisi psikologis seseorang dengan sistem kekabalan tubuh. Psikoneuroimunogi pada awal perkembanganya dianggap sebagai kajian dari beragam ranah studi. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga kajian, yaitu, (1) psikologi, (2) neurologi (3) imunologi (Hawari, 2006). Secara historis, konsep psikoneuroimunologi muncul sekitar tahun 1975
yang
diperkenalkan
oleh
Robert
Ader
dan
C.
Holder.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Psikoneurominulogi imunopatobiologis
muncul dan
setelah
berkembangnya
imunopatologis.
Fakta
pemikiran
imunopatobiologis
menunjukkan bahwa kerentanan infeksi dan metastasis pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan imunologis. Sedangkan kelainan mukosal yang memunculkan pemikiran respon imun yang melukai merupakan fakta imunopatologik. Karena kedua pendekatan model berfikir di atas dalam mengungkapkan pathogenesis dianggap kurang
holistic,
muncullah
ilmu
baru
yang
dikenal
dengan
psikoneuromunologi. Ader mendefinisikan bahwa psikoneuroimunologi merupakan kajian interaksi antara perilaku (behavioral), syaraf dan endokrin (neural and endocrine), dan proses imun yang bergabung menjadi satu area kajian interdisipliner (Ader, 1991). Perkembangan terakhir, model pendekatan psikoneuroimunologi digunakan untuk penelitian bidang kedokteran dan diterima sebagai pendekatan yang relatif holistik dan lebih detail dalam mengungkap mekanisme, baik fisiobiologis maupun patoimunologis ketahanan tubuh. Perkembangan psikoneuroimunologi di Indonesia diawali oleh penelitian Putra dan rekan-rekan (1992) yang meneliti tentang pengaruh latihan fisik dan kondisi kejiwaan terhadap ketahanan tubuh. Penelitian tersebut berdasakan pada konsep psikoneuroimunologi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik yang dilakukan secara teratur dengan dosis yang intermiten dan dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan akan meningkatkan respon imunitas, yaitu peningkatan IgM, IgG, IgA, monosit, subset T4 (helper), estrogen, kortisol, testosterone, ACTH (Nursalam, 2007, h. 3). Mekanisme
peningkatan
ketahanan
tubuh
secara
psikoneuroimunologi dapat dilihat dengan menghubungkan perubahan yang terjadi pada hormon dan nueropeptida yang melibatkan faktor kondisi kejiwaan (stres) dalam mekanisme perubahan ketahanan tubuh. Kondisi kejiwaan tersebut digambarkan sebagai status emosi yang mencerminkan konsep kelainan mental (Nursalam, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Secara garis besar sendiri Pendekatan medikopsikologis stres adalah paradigma dasar dari psikoneuroimunologi. Dalam sudut pandang kedokteran, menurut Hans Seley seorang ahli fisiologi dan pakar stres menyatakan bahwa stres adalah suatu respon tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Stres merupakan respon automatik tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan perubahan fisik atau emosi yang bertujuan untuk mempertahakan kondisi fisik yang optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut sebagai general adaptation syndrome (GAS) (Nursalam, 2007). Dari sudut pandang psikologis stres didefinisikan sebagai suatu keadaan internal yang disebabkan oleh kebutuhan psikologis tubuh , atau disebabkan oleh situasi lingkungan atau sosial yang potensial berbahaya, memberikan
tantangan,
menimbulkan
perubahan-perubahan
atau
memerlukan mekanisme pertahanan seseorang (Nursalam, 2007). Walaupun secara patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan gangguan psikis belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah terdapat banyak bukti dari penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan psikis yang dapat menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologis berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem syaraf autonom vegetatif , sistem endokrin dan sistem imun. Oleh karena itu, belakangan ini perubahan-perubahan fisiologi dapat diterangkan dalam bidang ilmu psikoneruoimunologi. Perubahan ketiga sistem itu terjadi bersamaan dan saling tumpang tindih (Ader R, 2007).
2.5. Psikoneuroimunologi Shalat Tahajud Shalat tahajud yang dijalankan dengan penuh kesungguhan, khusyuk, tepat, ikhlas, dan kontinu diduga dapat mrnumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan mengefektifkan coping. Dan, respons emosi positif dapat mrnghindarkan reaksi stres (Sholeh, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Dalam hal mengontrol respons emosi, dapat diupayakan dengan beberapa alternatif strategi. Taylor menganjurkan strategi kognitif redefinisi, dimana seseorang dibantu untuk melihat masalah dari sisi pandangan yang positif. Sedangkan, Lazarus menganjurkan strategi cognitive restructuring, yaitu upaya mengubah persepsi menjadi lebih realistis dan konstruktif tentang stresor (Soleh, 2009). Orang yang menjalankan shalat tahajud akan memenuhi dua strategi di di atas karena esensi hikmah yang dapat diperolehdari shalat sendiri adalah hidup realistis, selalu optimis dalam kesiapan menghadapi berbagai problema hidup yang dihadapi sehingga orang tetap bersikap konstruktif. Dalam sikap optimis, orang akan terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis. Homeostasis terjadi karena adanya mekanisme umpan balik yang membatasi reaksi berlebihan dan mempertahankan kondisi normal.Kegagalan homeostasis terutama disebabkan oleh kegagalan mekanisme umpan balik, yang dapat menyebabkan timbulnya stres yang berlebihan (Rehatta, N.M.1999). Kini diketahui bahwa susunan syaraf pusat mentransmisikan informasi neurologi menjadi respon biologis dan fisiologis melalui berbagai hormon, neuropeptida, dan neurotransmitter, Hyphothalamic Pituitary Adrenal Axis (HPAA), dan sistem syaraf otonom. Susunan tersebut terbukti merupakan alur yang sangat berperan dalam reaksi emosional, optimistis, dan stres, dan berhubungan dengan respon imun (Bonica J, 1990). Berbagai kondisi emosional, baik positif maupun stres, dapat menyebabkan terjadinya aktivitas HPAA, ia juga mengakibatkan terjadinya tarik-menarik sikap positif dan negatif suasana emosional: tenang, optimistis, senang, atau cemas, susah dan stres. Rangsangan yang tiba di
media parvocellular division of the praventicular nucleus
(mpPVN) di hipotalamus akan menyebabkan sekresi CRF yang terutama berperan sentral dalam reaksi stres sekresi CRF stabil dalam kondisi emosi positif). CRF kemudian memicu reaksi HPAA. Selain itu nucleus mpPVN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
hipotalamus juga berhubungan dengan locus Ceruleus (LC), di mana sebagian besar neuron NE (norepinefrin) mempunyai reseptor untuk CRF. Dengan demikian aktivitas HPAA juga mengaktifkan sistem syaraf otonom ( Vander A.J. 1985 ). Sekresi CRF oleh neuron mpPVN hipotalamus bergantung pada keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang menghambat, sintesis dan sekresi. Neurotransmitter yang diketahui meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin, sedangkan yang menghambat adalah
kortisoldan Gamma Aminobutyric Acid
(GABA). GABA terutama banyak terdapat di area hipokampus sesuai dengan hipokampus yang berfungsi sebagai pengontrol emosi dan pengendali HPAA ( Dunn A.J. dalam Sholeh, 2009). Sistem limbik yang terdiri dari amigdala dan hipokampus merupakan bagian otak yang mengatur motivasi , respon emosi, dan reaksi penolakan terhadap stimulus yang tidak diinginkan. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa hipokampus mempertahankan tonus basal atau mengontrol HPAA, dan bersama struktur limbik lainya berfungsi memberikan informasi masa lalu, apakah suatu stimulus merupakan suatu stresor atau bukan. Amigdala menerima impuls atau informasi rangsang emosional (stresor) dari sistem sensori, batang otak, lewat thalamus yang memungkinkan timbulnya reaksi segera untuk mempertahankan tubuh. Selain itu amigdala juga menerima informasi dari pusat kognisi dan asosiasi sensoris di korteks (Ikawati, 2011). Berdasarkan informasi tersebut, analisis tentang rangsang oleh amigdala
akan
menghasilkan
respon
emosi
yang
kemudian
diumpanbalikkan ke korteks prefrontal kiri dan kanan dan hipokampus. Umpan balik ini menimbulkan kesadaran tentang respon emosi dan terjadi penyesuaian sikap. Apabila shalat tahajud diterima sebagai stresor, secara integral, amigdala mengirimkan informasi kepada locus Ceruleus (LC) yang memicu sistem otonom, kemudian ditransmisikan ke hipotalamus, sehingga terjadi sekresi CRF (Soleh, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Sebaliknya, jika shalat tahajud mendatangkan persepsi positif, amigdala akan mengirimkan informasi kepada locus Ceruleus (LC) yang mengaktifkan reaksi syaraf otonom. Lewat hipotalamus, mensekresi neurotransmitter, endorphin dan enkepalin, yang berfungsi sebagai penghilang
rasa
sakit
dan
pengendali
sekresi
CRF
secara
berlebihan.Akibatnya HPAA dalam mensekresi Adrenocorticotropic hormon (ACTH) juga stabil terkendali. Penurunan ACTH akan menstimulasi penurunan produksi kortisol pada jalur kortek adrenal dan serta katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) pada medula adrenal yang mempunyai reseptor alfa (Ra), dan reseptor beta (Rb) mengalami stabil sehingga pengaruhnya terhadap sistem imun positif (Soleh, 2009). Pada keadaan stres, terdapat substansi yang menyerupai beta carboline, yaitu antagonis GABA yang diduga menyebabkan penurunan jumlah reseptor GABA. Berkurangnya reseptor GABA menyebabkan berkurangnya hambatan terhadap timbulnya kecemasan dan memudahkan reaksi stres.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam kondisi tenang, senang dan optimis, penuh harap (pengaruh shalat tahajud), sekresi kortisol dan antagonis GABA dan sintesis GABA positif normal (Sholeh, 2009). Dalam keadaan stres, terjadi peningkatan aktivasi HPAA, yaitu peningkatan sekresi CRF, ACTH, dan kortisol. Peningkatan kortisol yang berlebihan dapat meningkatkan replikasi virus HIV dan mencegah produksi sitokin Th1 (misalnyaIFN-y) dan sitokin Th2 (misalnya IL-12), dan makrofag, melalui sel T-helper, atau dengan kata lain menurunkan respon sel T terutama CD4 dan CD8.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Gambar 3.Alur kerja psikoneuroimunologi shalat tahajud Sumber: Moh.Sholeh, 2009
Penelitian Psikoneuroimunogi (PNI) pada pasien HIV & AIDS telah dilakukan oleh Antonidengan menggunakan metode Cognitive Behavioral Stres Management (CBSM).Metode ini meliputi pelatihan relaksasi, cognitive restructuring (upaya mengubah persepsi menjadi lebih realistis
dan
konstruktif),
emosi,mengefektifkan coping, serta
dukungan
sosisal,
manajemen
keterampilan mengatasi masalah.
Dengan manajemen stres berupa CBSM tadi dapat mengurangi kecemasan, depresi, serta meningkatkan rasa percaya diri yang berdampak pada meningkatnya kualitas hidup pasien HIVdan AIDS. Adapun mekanisme kerjanya dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
Gambar 4. Alur kerja psikoneuroimunologi CBSM Sumber: Antoni, MH 2003, h. 42
Keterangan : (+) ; meningkat (-) : menurun HPAC : hypothalamic-pituitary-adrenal-cortical DHEA-S:dehydroepiandrosterone-sulfate NK : natural killer CD : cluster of designation (cluster of differentiation) HIV-1 : Human Immonodefisiency Virus type 1 SNS : sympathetic nervous system Alur kerja psikoneuroimunologi CBSM pada pasien HIV dapat memberikan dukungan secara empiris pada setiap komponen. Dapat dijelaskan, intervensi shalat tahajud sebagai manajemen stres membawa perubahan afektif dan tingkat kualitas hidup dengan kemampuan relaksasi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
persepsi dukungan sosial, mampu beradaptasi dengan lingkungan, menumbuhkan motivasi positif, mengefektifkan coping, meningkatkan rasa percaya diri serta proses lebih lanjut dalam mengelola emosional positif. Selanjutnya berbagai reaksi emosional ( positif-negatif-stres ) diduga sangat berperan dalam aktivasi HPAC dan aktivasi SNS yang ditandai dengan penurunan konsentrasi katekolamin perifer pada jalur medula adrenal dan hormon kortisol pada jalur korteks adrenal . Di satu sisi Aktivasi HPAC dan SNS melalui jalur korteks adrenal juga berhubungan dengan
hormone hipotalamus pituitary gonad seperti
testosterondan DHEA-S. Perubahan
hormon-hormon
tersebut
seperti
kortisol
dan
katekolamin diduga sangat berkontribusi dalam mengoptimalkan sistem imun dengan mempengaruhi distribusi limfosit fenotip seperti CD4+sel T naif, CD8, CD56+sel NK sitotoksik, dan surveilans dari infeksi laten virus herpes. Penurunan kortisol dapat meningkatkan sistem imun khususnya pada sel T-helper yaitu meningkatnya limfosit T-CD4+, CD8+, dan CD56+NK sehingga poliferasi virus HIV dapat dihambat dan terjadinya rekonstitusi sistem imun (Antoni, 2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Shalat tahajud memperbaiki persepsi dan motivasi positif Depresi, stres, dan kecemasan Kualitas hidup Korteks serebri melalui HPA - Axis
CRF Endorfin, enkephalin, dan ACTH
SNS
Katekolamin (Norepinefrin dan epinefrin)pada medula adrenal
Kortisol pada korteks adrenal
Neurotransmiter : - Serotonin - Asetilkolin - GABA
Optimasi sistem imun
NK
Limfosit T CD4
CD8
Viral load
Penurunan Tingkat Penyakit HIV
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan : = Yang diukur = Yang tidak diukur
Dengan penerapan shalat tahajud yang dijalankan pasien HIV & AIDS dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan mengefektifkan dengan ditandai meningkatnya limfosit T-CD4. Adapun yang berpengaruh dalam proses tersebut adalah korteks serebri melalui jalur HPA-axis.
Rangsangan yang tiba di
hipotalamus akan menyebabkan sekresi Corticotropin Releasing Factor (CRF), CRF kemudian memicu reaksi HPAA dan juga mengaktifkan sistem syaraf otonom. Sekresi CRF oleh neurotransmitter di hipotalamus bergantung pada keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang menghambat sintesis dan sekresi.Neurotransmitter yang diketahui meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin, sedangkan yang menghambat adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA). Di samping itu kelenjar hipofisis anterior melepas endorphin, enkepalin dan ACTH yang akan akan menstimulasi penurunan produksi kortisol pada jalur korteks adrenal dan
katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin) pada medula adrenal. Penurunan kortisol dapat meningkatkan sistem imun khususnya pada sel T-helper yaitu meningkatnya limfosit T-CD4+, CD8+, dan CD56+NK sehingga poliferasi virus HIV dapat dihambat dan terjadinya rekonstitusi sistem imun.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
3.2 Definisi Operasional Tabel III. Definisi Operasional
No
1
2
3
Variabel
Shalat tahajud
Hormon Kortisol
Skor tingkat stres
Definisi
Cara Ukur
Shalat sunnah pada waktu malam hari dan dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu dengan dosis 5 rakaat meliputi shalat tahajud,hajat, witir, zikir ,muhasabah dan do‟a. Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal sebagai respon terhadap stres Skor yang menggambarkan status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres yang dialami pasien HIV &AIDS.
Diamati waktu pelaksanaan shalat tahajud
Alat Ukur Observasi
Hasil Ukur Responden menjalankan shalat tahajud dengan dosis 5 rakaat pada pukul 03.00-04.00 WIB dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu
Skala Ukur Ordinal
Pengambilan ADVIA spesimen Centaur darah responden
Data numerik dalam satuan sel/µl
Rasio
Wawancara
0-29 (normal) 30-59 (stres ringan) 60-89 (stres sedang) 90-119 (stres berat) >120 (sangatberat)
Ordinal
Kuisioner DASS 42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan desain non randomized control group pretest-posttest design. Desain ini berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental, hanya saja pembagian subyek dalam kelompok tidak dilakukan secara acak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat variabel penelitian (Polit & Hunger, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara responden yang diberi perlakuan shalat tahajud terhadap penurunan kadar kortisol. Kelompok intervensi diukur jumlah kortisol sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada waktu penelitian yaitu selama 6 minggu.Setelah dilakukan intervensi diharapkan terjadi suatu perubahan atau pengaruh pada variabel ini. Kelompok kontrol diukur juga kadar kortisol hari pertama dan hari terakhir tanpa diberikan intervensi selama 6 minggu. Hasil pretest dan posttest sangat penting untuk melihat perbedaan perubahan variabel dependen antara pretest dan posttest (Notoatmojo, 2010). Rancangan penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini: Intervensi Shalat tahajud
KI 1 1
KK 1
KI 2
KK 2 Gambar 6. Desain Penelitian
Keterangan: KI 1 = Kelompok intervensi yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres sebelum shalat tahajud
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
KI 2 = Kelompok intervensi yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres sesudah shalat tahajud KK 1 = Kelompok kontrol yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres saat tes awal KK 2 = Kelompok kontrol yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat
stres
saat tes akhir Untuk mencari deviasi / perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres sebelum dan sesudah shalat tahajud pada kelompok intervensi (KI) maka diperoleh dari KI =
KI 2 - KI 1 , sedangkan untuk mencari deviasi /
perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres saat tes awal dan setelah tes akhir pada kelompok kontrol (KK) maka diperoleh dari KK = KK 2 – KK 1.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di LSM Kebaya Yogyakarta.Untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan di Laboratorium klinik Prodia Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama 6 minggu mulai tanggal 27 November 2012 sampai 7 Januari 2013.
4.3. Alat dan Bahan 4.3.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ADVIA Centaur (Untuk mengukur kadar hormon kortisol), syringe, tourniquet, tabung sampel, rak tabung, sentrifuge, vortex.
4.3.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah, serum, alkohol 70%, reagen lite (terdiri dari kortisol 1,7 ng/ml yang diberi label dengan acridinium ester dan dibufer dengan sodium salisilat 50 mg/ml, sodium azide 0,1 % serta pengawet), fase solid (terdiri dari rabbit anti-kortisol antibody 1,1µg/ml yang di beri label dengan monoclonal mouse anti-rabbit IgG antibody 56 µg/ml
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
,partikel paramagnetic, buffer berupa sodium azide 0,1% dan pengawet), multidiluent 3 (plasma manusia dengan sodium azide 0,1%).
4.4. Populasi dan Sampel 4.4.1. Populasi Populasi penelitian ini adalah Pasien HIV AIDS pada LSM Kebaya Yogyakarta.
4.4.2. Sampel Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penderita HIV & AIDS, Responden sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut : a.
Pasien beragama Islam
b.
Jenis kelamin laki-laki
c.
Usia 20- 55 tahun
d.
Pasien yang positif terinfeksi HIV dan pernah berkunjung ke LSM Kebaya
e.
Belum pernah menjalankan shalat tahajud
f.
Bersedia menjadi responden dengan mengisi informed concent
g.
Mendapatkan terapi ARV
Kriteria Eksklusi: a.
Tidak bersedia menjalankan Shalat tahajud
b.
Pasien HIV & AIDS rawat inap Oleh karena penelitian tentang modulasi respon imun kadar kortisol
akibat shalat tahajud belum pernah dilaporkan, maka besar sampel didasarkan atas penelitian McDowell (1992), tentang pengaruh aerobik terhadap kadar kortisol, dengan nilai SD= 8.5; Xc= 29.9; Xt= 16,3; dan nilai Z = 1,96; Zβ= 1,28, serta proporsi kegagalan (f= 0). Kemudian dari data tersebut dilakukan perhitungan besar sampel atas dasar rumus besar sampel yang dikembangkan oleh Higgins 1985 (Shadiqin AR, 2001) seperti berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
n= 1 1-f
2.σ² ( Zα + Zβ )² (Xc – Xt)²
Keterangan : SD = Standar deviasi kelompok kontrol Xc = rerata kelompok kontrol Xt = nilai rerata kelompok perlakuan Berdasar atas rumus tersebut besar sampel adalah: 2{(1.96+1.28)( 1.96+1.28) } x (8,5)(8,5) = 1516.9032 (29.9-16.3) (29.9-16.3) = 184.96 1516.9032 : 184..96 = 8.20125 n= 1 X 8.20125= 8.20125 Atas dasar perhitungan tersebut di atas maka sebesar sampel dalam penelitian
ini adalah, 8.20125 orang (dibulatkan menjadi 8 orang).
Selanjutnya ditetapkan besar sampel setiap kelompok =8 orang.
4.4.3
Teknik Pengambilan Sampel Dalam pemilihan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan
sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan peneliti.
4.5.
Prosedur Kerja
4.5.1. Prosedur Pengambilan Darah Alat dan bahan yang dibutuhkan dipersiapkan kemudian lengan pasien dalam posisi lurus dan tangan dikepal, torniquet dipasang dan dicari vena mediana kubiti atau sefalika, kemudian kulit pada bagian yang akan diambil darahnya dibersikan dengan alkohol 70%. Setelah itu bagian vena ditusuk dengan lubang jarum menghadap ke atas, dengan sudut kemiringan 15-30 derajat. Setelah volume darah dianggap cukup, tourniquet dilepaskan dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
pasien diminta membuka kepalan tangan, kemudian jarum dilepaskan dan segera diberi kapas alkohol 70 % untuk menekan bagian tusukan tersebut selama 2 menit. Setelah darah berhenti plester bagian bekas penusukan.
4.5.2. Pembuatan Serum Pada proses ini spesimen darah yang diambil didiamkan sampai membeku sempurna pada suhu kamar. Kemudian, spesimen yang telah membeku sempurna (3-6 menit setelah pengambilan), disentrifuge dengan kecepatan 3000-4000 rpm.
4.5.3. Pemeriksaan Hormon Kortisol Dimasukkan 20 µL sampel ke dalam sebuah kuvet, kemudian dimasukkan pula 50 µL reagen lite, 250 µL fase solid, setelah itu diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37° C, selanjutnya dimasukkan 300 µL reagen asam dan reagen basa untuk memulai reaksi pewarnaan dan dibaca pada alat ADVIA Centaur.
4.5.4. Pengukuran Skor Tingkat Stres Pasein diwawancara dengan menggunakan kuisioner Depression Anxiety Stres Scale (DASS 42) kemudian dihitung skornya sesuai dengan jawaban pasien. DASS 42 adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres.DASS 42 terdiri dari 42 item. Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-119 (berat); >120 (Sangat berat) (Lovibond, 2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
4.6. Variabel Penelitian 4.6.1. Variabel Independen Variabel Independen dalam penelitian ini, adalah shalat tahajud.Shalat tahajud disini meliputi berbagai rangkaian seperti shalat tahajud, shalat hajat, halat witir dan diakhiri dengan zikir, muhasabah dan do‟a. Adapun dosis shalat tahajud dalam penelitian ini meliputi: 1. Frekuensi jumlah
rakaat shalat tahajud adalah 5 rakaat
karena
merujuk pada penelitian dari Moh.Soleh dengan rincian 2 rakaat untuk shalat tahajud, 2 rakaat untuk shalat hajat dan 1 rakaat untuk shalat witir . Kemudian diikuti dengan wiridan berupa bacaan kalimah thayyibah
:
Subhanaalah,
Alhamdulillah,
Allahu
Akbar,
Astaghfirullah, La-ila-ha illallah, masing-masing 33 kali. 2. Waktu pelaksanaan shalat tahajud dimulai dari pukul 03.00-4.00 WIB. Adapun waktu dalam penelitian ini adalah 6 minggu dengan frekuensi 3 kali.
4.6.2 Variabel Dependen (tergantung) Variabel tergantung dalam penelitian ini, adalah kadar kortisol dan skor tingkat stres .
4.7
Analisa Data
4.7.1 Analisa Univariat Analisa univariat mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan dari masing-masing variabel yang diteliti untuk data numerik dengan menghitung mean, median, simpangan baku (SD) (Notoatmodjo, 2005).
4.7.2
Analisa Bivariat Analisa Bivariat mempunyai tujuan untuk menganalisis hubungan variabel dependen dan variabel independen. Analisis bivariat akan menguraikan perbedaan mean variabel dependen dengan menghitung kadar kortisol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
sebelum dan sesudah intervensi shalat tahajud selama 6 minggu. Analisa bivariat dilakukan dengan uji statistik dependent sampelt-test(paired t test).Sementara untuk mengetahui hubungan antara shalat tahajud dengan skor tingkat stres menggunakan uji statistik dependent sampelt-test(paired t test) (Sastroasmoro,2002).
4.8 Etika Penelitian Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan rekomendasi dari Komisi Etik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah ada persetujuan barulah penelitian ini dilakukan dengan menekankan pada masalah etik yang meliputi : 1. Informed Concent ( Lembar persetujuan ) Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti, peneliti menjelaskan maksud dari penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia, maka mereka harus menandatangani surat persetujuan penelitian, jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. 2.
Anonimity (tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan dicantumkan nama dalam lembar pengumpulan data dan cukup diberi kode tertentu.
3. Confidentiality ( kerahasiaan ) Kerahasiaan informasi yang diperoleh dari responden dijamin oleh peneliti, hanya sekelompok data tertentu yang akan disajikan dan dilaporkan sebagai hasil riset.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Analisis Univariat Analisa Univariat menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan sumber penularan, variabel kadar kortisol dan skor tingkat stres baik sebelum maupun sesudah intervensi dan juga variabel pada kelompok kontrol.
5.1.1. Karakteristik Responden Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi sebanyak 8 responden dan kelompok kontrol sebanyak 8 responden juga. Karakteristik responden dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel V.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Sumber Transmisi dan Tingkat Pendidikan Karakteristik Responden
Kelompok Intervensi (n=8)
Kelompok Kontrol (n=8)
8 (100%)
8 (100%)
o 25-35
4 (50%)
2 (25%)
o 36-45
3 (37,5%)
3 (37,5%)
o 46-55
1 (12,5%)
3 (37,5%)
8 (100%)
8 (100%)
o SD
4 (50%)
1 (12,5%)
o SMP
1 (12,5%)
2 (25%)
Jenis Kelamin o Laki-laki Usia
Sumber Penularan o Seks bebas Pendidikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
o SMA
3 (37,5%)
5 (62,5%)
Berdasarkan tabel di atas jenis kelamin dari 16 responden pada kelompok intervensi dan kontrol adalah 100% laki-laki. Usia responden antara 25-35 tahun dari kelompok intervensi sebanyak 50% sedangkan dari kelompok kontrol sebanyak 25%, usia 36-45 tahun dari kelompok intervensi sebanyak 37,5% demikian juga pada kelompok kontrol sebanyak 37,5% , sedangkan usia 46-55 tahun dari kelompok intervensi sebanyak 12,5% dan dari kelompok kontrol sebanyak 37,5%. Adapun Sumber penularan HIV dari keseluruhan responden 100 % dari hubungan seks. Tingkat pendidikan dari 16 responden yang sampai tingkat SD pada kelompok intervensi sebanyak 50% dan kelompok kontrol sebanyak 12,5%, tingkat SMP pada kelompok intervensi sebanyak 12,5% dan kelompok kontrol sebanyak 25%, sedangkan tingkat SMApada kelompok intervensi sebanyak
37,5% dan kelompok
kontrol sebanyak 62,5%.
5.1.2 Hasil Pengukuran Kadar Kortisol Pengukuran Kadar kortisol dilakukan dengan pengambilan darah pasien pada saat sebelum shalat tahajud dan enam mingggu sesudah dilakukan shalat tahajud. Hasil data yang dperoleh ditampilkan dalam tabel V.2.
Tabel V.2 Hasil Pengukuran Kadar Hormon Kortisol pada Kelompok Intervensi Nama
Kadar Hormon Kortisol (µg/dL) Sebelum Shalat
Sesudah Shalat
1
13,42
8,42
2
18,33
11,91
3
15,59
13,23
4
9,51
10,64
5
8,33
9,19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
6
26,79
16,34
7
15,41
11,50
8
9,92
16,17
Mean : 14,68
Mean : 12,17
SD
SD
: 6,01
: 2,93
Keterangan : Rerata kadar kortisol pada kelompok intervensi pada saat sebelum perlakuan dan setelah perlakuan berada pada range normal (nilai kadar kortisol pagi hari: 4,30 – 22,40 µg/dL, Laboratorium Klinik prodia)
Dari tabel V.2 menunjukkan bahwa rerata kadar kortisol sebelum melakukan shalat tahajud adalah 14,68 µg/dL dengan standar deviasi 6,01. Setelah dilakukan shalat tahajud rata-ratanya 12,17 µg/dL dengan standar deviasi 2,93. Secara umum hal ini menunjukkan penurunan tetapi ada tiga responden yang mengalami peningkatan yaitu dari 8,33 µg/dL menjadi 9,19 µg/dL, dari 9,92 µg/dL menjadi 16,17 µg/dL dan dari 9,92µg/dL menjadi 16,17 µg/dL .
Tabel V.3 Hasil Pengukuran Kadar Hormon Kortisol pada Kelompok Kontrol Nama
Kadar Hormon Kortisol (µg/dL) Hari Pertama
Sesudah 6 minggu
1
19,54
18,10
2
13,20
10.39
3
18,43
8,96
4
7,82
7,86
5
12,59
16,50
6
20,74
15,74
7
21,34
11,20
8
9,15
8,66
Mean : 15,35 SD : 5,33
Mean : 12,17 SD : 3,99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Keterangan : Rerata kadar kortisol pada kelompok kontrol pada saat hari pertama dan setelah 6 minggu berada pada range normal (nilai kadar kortisol pagi hari: 4,30 – 22,40 µg/dL, Laboratorium Klinik prodia)
Dari tabel V.3 menunjukkan bahwa rerata kadar kortisol kelompok kontrol pada hari pertama adalah 15,35 µg/dL dengan standar deviasi 5,33. Setelah enam minggu rata-ratanya 12,17 µg/dL dengan standar deviasi 3,99. Secara umum hal ini menunjukkan penurunan tetapi ada dua responden yang mengalami peningkatan yaitu dari 7,82 µg/dL menjadi 7,86 µg/dL dan dari 12,59 µg/dL menjadi 16,50 µg/dL.
5.1.3. Hasil Pengukuran Skor Tingkat Stres Pengukuran tingkat stres menggunakan instrumen DASS (Depresion Anxiety Stres Scale). Instrumen DASS ini berupa kuesioner yang menunjukkan tingkat stres seseorang. Penggunaan DASS dilakukan kepada 16 orang responden, yaitu kelompok intervensi 8 orang dan kelompok kontrol 8 orang. Pengisian kuesioner DASS dilakukan pada saat sebelum intervensi dilakukan kembali saat sesudah intervensi 6 minggu kemudian. Hasil skor DASS ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel V.4 Hasil Pengukuran DASS pada Kelompok Intervensi No.
Skor DASS Sebelum
Sesudah
1
29
10
2
25
4
3
15
5
4
11
5
5
79
50
6
64
22
7
59
20
8
44
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Mean : 40,75
Mean : 17,12
SD
SD
: 24,73
: 15,33
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa rerata skor DASS pada kelompok intervensi sebelum melakukan shalat tahajud adalah 40,75 dengan standar deviasi 24,73. Setelah dilakukan shalat tahajud reratanya 17,12 dengan standar deviasi 15,33. Secara keseluruhan
hal ini menunjukkan
penurunan pada masing-masing responden. Sebelum dilakukan intervensi jumlah responden yang menunjukkan normal sebanyak 4 orang atau 50% namun setelah menjalankan shalat tahajud terdapat 7 pasien yang normal atau 87,5%, Sedangkan jumlah responden dengan tingkat stres sedang adalah 2 orang atau 25% dan setelah menjalankan shalat tahajud menurun menjadi 0% (tidak ada). Demikian juga jumlah responden dengan tingkat stres ringan sebanyak 2 orang dan dan setelah menjalankan shalat tahajud
menurun
menjadi 1 orang 12,5%.
Tabel V.5 Hasil Pengukuran DASS pada Kelompok Kontrol No.
Skor DASS Hari Pertama
Sesudah 6 minggu
1
59
66
2
46
41
3
53
39
4
29
33
5
27
25
6
44
37
7
78
51
8
36
30
Mean : 46,5 SD : 16,87
Mean : 40,25 SD : 12,99
.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Sementara pada kelompok kontrol, rerata skor DASS pada hari pertama adalah 46,5 dengan standar deviasi 16,87 dan setelah 6 minggu diukur kembali didapatkan rerata skor DASS 40,25 dengan standar deviasi 12,99. Pada hari pertama jumlah responden yang menunjukkan normal sebanyak 2 orang atau 25% dan setelah 6 minggu kemudian berkurang menjadi
satu orang. Sedangkan jumlah responden yang mengalami stres
ringan sebanyak
1 orang atau 12,5% ,setelah 6 minggu kemudian tetap
sebanyak 1 orang. Demikian juga jumlah responden yang mengalami stres ringan
sebanyak 5 orang 62,5%, setelah 6 minggu kemudian meningkat
menjadi 7 orang atau 87,5%.
5.2 Analisa Bivariat Analisa Bivariat mempunyai tujuan untuk menganalisa hubungan dua variabel. Dalam penelitian ini akan diuraikan seberapa kuat hubungan antara shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada kelompok intervensi. Selain itu juga menganalisa hubungan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres baik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
5.2.1 Uji Normalitas Sebelum melakukan Uji dependen sampel t- test (paired t-test) untuk menganalisa hubungan antar variabel, maka data tersebut harus berdistribusi normal. Langkah yang dilakukan yaitu dengan melakukan uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap data variabel penelitian meliputi kadar kortisol dan skor tingkat stres. Didapatkan kadar kortisol dan skor tingkat stres kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda bermakna (p>0,05). Berarti kedua variabel berdistribusi normal dan sampel bersifat homogen
(lihat
lampiran)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
5.2.2 Hasil Uji Statistik Untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS maka digunakan uji statitistik dependen sampel t- test (paired t-test). Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel V.6:
Tabel V.6 Hasil Uji Dependen T-Test
Variabel
Kelompok intervensi Rerata Rerata sebelum sesudah
P
Kelompok kontrol Rerata Rerata sebelum sesudah
P
Kadar kortisol
14,68
12,17
0,213
15,35
12,17
0,104
Skor tingkat Stres
40,75
17,12
0,001
46,5
40,25
0,140
Dari Tabel V.6 pada variabel kadar kortisol pada kelompok intervensi didapatkan nilai p= 0,213 karena nilai p< 0,05 dapat disimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara shalat shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol pada pasien HIV & AIDS. Sedangkan pada variabel skor tingkat stres didapatkan nilai p = 0,010 karena nilai p< 0,05dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara shalat shalat tahajud dengan perubahan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. Sementara untuk menjelaskan perbedaan antara masing-masing variabel penelitian (kadar kortisol dan skor tingkat stres) antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol secara statistik maka dilakukan uji independen t-test.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Tabel V.7 Hasil Uji Independen T-Test Variabel
Kadar kortisol
Kelompok Intervensi Rerata SD delta 2,51 5,18
Skor tingkat stres
23,63
12,69
Kelompok Kontrol Rerata SD delta 3,18 4,91 6,25
P
0,794
10,63
0,010
Hasil Uji independen t-test pada variable kadar kortisol tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kontrol ( p>0,05 ). Sedangkan pada variabel skor tingkat stres didapatkan hubungan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kontrol ( p<0,05 ).
5.3. Keterbatasan Penelitian Penelitian
ini
memiliki
keterbatasan-keterbatasan
yang
dapat
mempengaruhi hasil penelitian, keterbatasan-keterbatasan tersebut yaitu: 1.
Penelitian ini menggunakan sampel dengan mengacu pada penelitian sebelumnya
tentang
modulasi
respon
imun
dengan
pendekatan
psikoneuroimunologi. Adapun penelitian yang sesuai dengan tema dan desain seperti penelitian ini belum terdapat di Indonesia sehingga menyulitkan peneliti dalam menentukan jumlah sampel penelitian. 2.
Penelitian ini belum dapat menyeragamkan
dalam hal pengkondisian
responden yang meliputi pola nutrisi atau diet yang seragam serta pola aktivitas yang seragam. 3.
Peneliti menggunakan kuesioner DASS 42 dalam mengukur tingkat stres dari responden yang merupakan skala subyektif, sehingga terkadang muncul subyektifitas peneliti dalam mewawancarai responden.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
5.4. Pembahasan Penelitian ini dirancang untuk mengetahui perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS sebelum dan sesudah shalat tahajud. Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa dengan shalat tahajud yang dijalankan dengan benar, rutin dan ikhlas dapat meningkatkan sistem imun (Soleh, 2009). Penelitian ini dilakukan selama 6 minggu yang didasarkan pada teori adaptasi Fox dan Bower (1993). Berdasarkan teori tersebut, adaptasi dari durasi latihan yang baik adalah dengan frekuensi latihan sebanyak 2-5 kali/minggu dan akan terjadi puncaknya pada minggu ke 6 sampai ke 8. Selain itu Geowald menyatakan bahwa 6 minggu merupakan waktu dimana seseorang sudah mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan perlakuan yang dianggap asing (Geowald, 1988). Hasil skor DASS menunjukkan jumlah responden yang normal pada waktu sebelum intervensi sebanyak 4 orang menjalankan shalat tahajud
atau 50% namun setelah
terdapat 7 pasien yang normal atau 87,5%,
sedangkan jumlah responden dengan tingkat stres sedang adalah 2 orang atau 25% dan setelah menjalankan shalat tahajud menurun menjadi 0% (tidak ada). Demikian juga jumlah responden dengan tingkat stres ringan sebanyak 2 orang dan dan setelah menjalankan shalat tahajud menurun menjadi 1 orang 12,5%. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 pada variabel skor tingkat stres didapatkan rerata sebelum shalat tahajud adalah 40,75 dan rerata sesudah shalat tahajud adalah 17,12. Adapun nilai p = 0,001 karena nilai p < 0,05 dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara shalat shalat tahajud. dengan perubahan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. Hasil pengukuran kadar kortisol pada kelompok intervensi secara umum menunjukkan adanya penurunan. Tetapi ada tiga responden yang mengalami peningkatan yaitu responden nomor 4, 5, dan 8. Pada
responden nomor 4
mengalami peningkatan dari yaitu dari 9,51 µg/dL menjadi 10,64 µg/dL, pada responden nomor 5 dari 8,33 µg/dL menjadi 9,19 µg/dL, sedangkan pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
responden nomor 8 mengalami peningkatan dari dari 9,92 µg/dL menjadi 16,17 µg/dL. Setelah pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 pada variabel kadar kortisol didapatkan rerata sebelum melakukan shalat tahajud adalah 14,68 µg/dl dan sesudah shalat tahajud adalah 12,17 µg/dl dengan nilai p = 0,213 ( p > 0,05 ). Dari hasil statsitik ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara shalat shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol pada pasien HIV & AIDS. Berdasarkan data yang didapat, walaupun rerata kadar kortisol mengalami penurunan setelah intervensi, tapi secara statistik tidak terdapat hubungan signifikan antara shalat tahajud dengan penurunan kadar kortisol. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan Ironson (2002) dan Antoni et al (2000). Dari hasil ketiga responden pada kelompok intervensi, walaupun mengalami kenaikan kadar kortisol tetapi dari hasil skor DASS malah menunjukkan penurunan. Pada responden nomor 4 dan 5 mengalami penurunan dari kategori normal (skor 11) menjadi skor 5 dan dari kategori stres sedang ( skor 79 ) menjadi kategori stres ringan (skor 50). Hal ini menandakan bahwa dengan shalat tahajud setidaknya dapat meningkatkan kesehatan mental dengan ditandai menurunnya skor DASS tetapi tidak mengubah proses hormonal. Selanjutnya pada responden yang mengalami penurunan kadar kortisol juga mengalami penurunan skor tingkat stres. Diketahui bahwa sebelum menjalankan shalat tahajud responden nomor 1, 2, dan 3 dengan skor DASS 29, 25 dan 15, setelah menjalankan shalat tahajud mengalami penurunan menjadi 10,4, dan 5. Pada responden nomor 6 mengalami penurunan dari kategori stres sedang (skor 64) menjadi kategori stres ringan (skor 20). Sedangkan pada responden nomor 7 dan 6 mengalami penurunan dari kategori stres ringan (skor 59) menjadi kategori normal (skor 22). Setelah melihat hasil di atas akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesis penelitian. Diantara
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
faktor-faktornya. Pertama yaitu kontinuitas dalam shalat tahajud. Dalam tinjauan psikoneuroimunologi dijelaskan bahwa dengan penerapan shalat tahajud yang dijalankan pasien HIV & AIDS secara rutin dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif. Jika shalat tahajud mendatangkan persepsi positif, maka amigdala
akan
mengaktifkan
mengirimkan reaksi
syaraf
informasi otonom.
kepada Lewat
locus
Ceruleus
hipotalamus,
yang
mensekresi
neurotransmitter, endorphin dan enkepalin, yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi CRF secara berlebihan. Akibatnya HPAA dalam mensekresi ACTH juga stabil terkendali. Penurunan ACTH akan menstimulasi penurunan produksi kortisol pada jalur kortek adrenal. Penurunan produksi kortisol dapat meningkatkan sistem imun lainya seperti limfosit T-CD4, CD8+ dan CD56+NK sehingga dapat menghambat poliferasi virus HIV (Sholeh 2008; Antoni, MH, 2003). Bila perlakuan shalat tahajud diberikan secara kontinu selama masa intervensi, kemungkinan penurunan kortisol akan lebih besar sehingga akan ada hubungan yang signifikan antara shalat tahajud dan perubahan kadar kortisol. Faktor kedua yaitu hal pengkodisian yang sulit diseragamkan. Idealnya pasien yang menjalankan terapi harus diasramakan dalam satu tempat dengan pola diet atau nutrisi yang sama dan juga pola aktivitas yang seragam. Hal tersebut yang menjadikan penelitian ini belum berhasil. Di lapangan susah menemukan tempat rehabilitasi khusus HIV & AIDS. Kalaupun ada biasanya juga berbentuk LSM yang beranggotakan ODHA tetapi tidak menetap di sana. Mereka mempunyai pekerjaan yang tentunya berbeda satu sama lainya. Peneliti hanya bisa mengontrol dan mengkondisikan sampel pada waktu penelitian saja yaitu 3 hari dalam seminggu. Faktor ketiga yaitu jumlah sampel yang sedikit. Dari data di atas dapat dilihat bahwa dari 8 responden yang mengikuti shalat tahajud hanya 3 orang yang mengalami kenaikan kortisol, sedangkan yang lainnya mengalami penurunan. Artinya secara umum aktivitas shalat tahajud bisa menurunkan kadar hormon kortisol, dan kalau jumlah sampel lebih besar lagi secara statistik bisa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
jadi akan ada hubungan erat antara aktivitas shalat tahajud dengan menurunnya kortisol. Seperti yang dilakukan Elyana (2008) dalam penelitiannya tentang modulasi respon kortisol dan IgG dengan menggunakan latihan pernapasan, sampel yang digunakan dalam setiap kelompok berjumah 15 orang, dengan terdapatnya penurunan kortisol yang signifikan pada kelompok yang diberi perlakuan. Dalam penelitian ini memang sulit mendapatkan responden penderita HIV & AIDS yang bersedia melakukan shalat tahajud. Itu berarti jumlah sampel mempengaruhi hasil analisa statistik. Jika sampelnya ditambah kemungkinan diuji stastistik akan menunjukkan hubungan yang bermakna. Faktor keempat kondisi mental yang berbeda pada tiap individu. Selama ini terdapat asumsi bahwa orang yang terkena HIV akan mengalami depresi dan tekanan mental. Meskipun banyak studi yang menunjukkan dampak negatif HIV yang berhubungan dengan stres dan kesehatan mental (Lee, Kochman, & Sikkema, 2002; Vanable et al., 2006), ternyata tidak semua penderita HIV memiliki tingkat stres yang sama (Lori et al, 2008, h. 10). Hal ini terlihat pada kadar kortisol penderita HIV yang diteliti semua masih berada pada rentang normal. Bisa jadi penderita HIV yang menjadi sampel pada penelitian ini sudah memiliki sikap mental yang positif dan menerima keadaan dirinya. Seperti yang dikatakan oleh Lori et al (2008) kemungkinan dampak intervensi yang diberikan pada individu yang memiliki tekanan akan berbeda dari orang yang tidak pada kondisi tertekan. Sehingga penelitian perlu dilakukan pada orang dengan kondisi stres yang sama.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Secara umum terjadi penurunan kadar kortisol pasien HIV & AIDS yang diberi intervensi shalat tahajud, tapi secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara shalat tahajud dengan perubahan Kortisol
pada
pasien HIV & AIDS (p=0,213). 2.
Terjadi penurunan tingkat stres pada pasien HIV & AIDS yang diberi intervensi shalat tahajud dan secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara shalat tahajud dengan perubahan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS (p=0,001).
6.2 Saran Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut untuk mengkaji hubungan shalat tahajud dengan perubahan kortisol dan tingkat stres dengan waktu yang lebih lama dan jumlah sampel yang lebih besar serta tingkatan stres yang sama.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
DAFTAR PUSTAKA
A.Gani. (1995). Fisiologi Endokrin. Ujung Pandang: FK Universitas Hasanuddin Ader, R. Felten, D.L. and Cohen, N. (2007). Psychoneuroimunologi. 4th Ed. Sandiego: Academic Press Al-Bukhari, Muhammad bin Ismai‟il, al-Imam. (1981). Shahih Bukhari: Beirut Libanon: Dar al-fikr Al-Naisaburi, al-Qusyairi, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Husain, al-Hafizh. (1992). Shahih Muslim: Beirut Libanon: Dar al-fikr Al-Tirmidzi, Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, bin Ibrahim, alImam. (1965).Sunan al-Tirmidzi. Beirut Libanon: Dar al-fikr Antoni, Michael H. PhD. (2003). Stres Management and Psychoneuroimmunology in HIV Infection. CNS Spectrum.Vol 8.2003. No. 1: 40-51 Antoni, Michael H., Crues, S., Cruess, Dean G., et al. (2000). Cognitive-behavioral stres management reduces distres and 24-hour urinary free cortisol output among symptomatic HIV-infected gay men. Ann Behav Med. Vol. 22. 2000. No. 1: 29-37. Asnar, Eliana S., Harjanto, dan Siswantoyo. (2008). Modulation of Immunoglobulin G (IgG) and Cortisol responses in Breathing Exercise. Folia Medica Indonesiana. Vol. 44, 2008 . No. 1: 6-10 Astari, L. Sawitri, Eka Safitri. Y, Hinda P, Desi. (2009). Viral Load Pada Infeksi HIV. Vol. 21 No 1. Surabaya: FK Unair Bonica J. (1990). Anatomic and Physychologic Basic of Nociception and Pann .in Bonica J (ed.) The Manajemen of Pann. London: Lia and Febriger Budiarto, Eko. (2001). Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Calabrese J, King M, Gold P. Alterations in immunocompetence during stres, bereavement, and depression: focus on neuroendocrine regulation. Am J Christeff N, Gherbi N, Mammes O, et al. (1997). Serum cortisol and DHEA concentrations during HIV infection. Psychoneuroendocrinology.Vol. 22, 1997(suppl 1):S11-S18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Departemen Agama RI. (2007). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro Departemen Kesehatan RI. (2003). Pedoman Nasional Perawatan Dukungan dan Pengobatan bagi ADHA. Jakarta : Ditjen PPM dan PL Depkes Ditjen PPM&PL Depkes RI. (2012). Statistik kasus HIV di Indonesia, dilaporkan s/d Juni 2012. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Dunn A.J.. (1995). Interaction Between the Nervous System and Immune System In Psychoneuroimmunology. New York: Raven Press Felig, P.(1995). Endocrinology and Metabolism. Mc Graw Hill Inc Fox. E. L., & Richard W. Bowers, Male L. Foss. (1993). The Physiological Basis For Exercise And Sport. USA: Bench Mark Publisher, hlm, :232-233, 346, :418, 684 Goodkin K, Feaster DJ, Asthana D, et al. (1998). A bereavement support group interventionis longitudinally associated with salutary effects on the CD4 cell count And number of physician visits. Clin Diagn Lab Immunol. 1998;5:382-391. Granner, Dk.(1988). Hormons of The Adrenal Medulla, in Murray (ed.), Herper‟s Biochemistry. New York: Lange Medicine Guyton, Arthur. C & Hall. John, E. (2001). Human physiology and Diseases Mechanism, (11th Ed) terjemahan oeh Irawati, 2007. Jakarta. EGC Hawari, D. (2006). Global Effect HIV & AIDS Dimensi Psikoreligi.FKUI: Jakarta Ibnu Majah al-Qazwini, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, al-Imam.(1960). Sunan Ibnu Ibnu Majah. Mesir: Dar ihya al-Kutub al-Arabiyyah Ikawati, Zullies. (2011). Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu Ironson, G. (2002). The Ironson–Woods Spirituality/Religiousness Index Is Associated With Long Survival, Health Behaviors, Less Distres, and Low Kortisol in People With HIV & AIDS. International Journal of Behavioral Medicine 24(1): 34-3 Kiecolt-Glaser J, Ricker D, George J, et al. Urinary kortisol levels, cellular and loneliness in psychiatric inpatients. Psychosom Med.1984;46:15-23. Koenig, Harold G.; Cohen, Harvey Jay. (2002). The Link between Religion and Health. Oxford University press
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Lori, A.J, Kallichman, Seth C., Carey, M.P., Fielder, R.L. (2008). Stres Management Interventions for HIV+ Adults: A MetaAnalysis of Randomized Controlled Trials, 1989 to 2006. Health Psychol. 2008 March ; 27(2): 129–139 Lortholary O, Christeff N, Casassus P et al. Hypothalamic-pituitary-adrenalfunction in human immunodeficiency virus-infected men.J Clin Endocrin Metabol.1996;81:791-796. Lovibond. Depression Anxiety Stres Scale (DASS 42 42) .Available from: http://www2.psy.unsw.edu.au/DASS/ diakses tanggal 18 September 2012 Mc.Cance. (1994). Stres and Disease. In Pathophysiology.St.Louis Missouri: Mosby Year Book McEwen B. Protective and damaging effects of stres mediators.N Engl J Med. 1998;338:171-179. Nasrounudin, Effendy, N., Prawitasari, J.E., dan Hastjarjo, T.D. (2008). Pengaruh Psikoterapi Trasnpersonal Terhadap Kualitas hidup Pasien HIV dan AIDS. Indonesian Psychological Journal,Vol. 24, 2008, No. 1 : 1-16 Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010).Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. (2007).Asuhan Keperawatan Pada Pasien terinfeksi HIV & AIDS. Jakarta: Salemba Medika Polit, Dense F Hunger. (2006). Data Análisis and Statistics for Nursing Research. New York: Appleton and lange Putra,ST.(1999).Konsep Psikoneuroimunologi Pengembangan IPTEKDOK.FK Unair: Surabaya
dan
Kontribusinya
pada
Reichlin, S. (1992).Hypothalamus and Pituitary, Neuroendocrinology. WB: Sanders Company Sastroasmoro, S. (2002). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.Dalam Ismail S (ed.). Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto Sayid Sabiq. Fiqh Sunnah, Jilid II, Alih Bahasa, Mahyudin Syaf, Bandung : PT. Al Ma‟arif, 1986
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Sherwood, Lauralee. (2005). Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC Sholeh, Moh. (2008). Terapi Shalat Tahajud. Jakarta: Mizan Publika Santoso, Singgih. (2006). Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15. PT.Elex Media Komputindo : Jakarta.
Subowo. (2010). Imunologi Klinik. Edisi 2.Jakarta: Sagung Seto
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Lampiran 1. Alur Kerja Penelitian
Populasi pasien HIV & AIDS di LSM Kebaya Yogyakarta Sampling dilakukan dengan cara purposive Sampel berdasarkan kriteria inklusi Mengukur kadar kortisol dan tingkat stress sebelum dilakukan shalat tahajud Mengidentifikasi pelaksanaan shalat tahajud Mengukur kadar kortisol dan tingkat stress sesudah dilakukan shalat tahajud Mengidentifikasi hubungan penerapan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol pada pasien HIV / AIDS Analisis dengan uji statistik dependen t-test Penyajian hasil penelitian Hasil : ada atau tidaknya hubungan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Lampiran 2. Tata Cara Shalat Tahajud 1. Pakai pakaian suci dan bagus. 2. Pilih tempat yang suci dan sunyi. 3. Tutup pintu dan matikan lampu. 4. Berdiri tegak, ambil posisi yang nyaman, jarak antara kedua kaki tidak terlalu sempit dan tidak terlalu lebar. 5. Gerak-gerakkan kaki dan tubuh sehingga mendapakan tumpuan yang mantap. 6. OFF-kan pikiran sadar kemudian ON-kan pikiran bawah sadar dengan cara merelaksasikan fisik dari ujung rambut sampai ujung kaki sehingga tubuh terasa rileks (ringan) , tarik nafas dalam-dalam, tahan empat atau lima hitungan lalu keluarkan perlahan-lahan, dan temukan nafas anda seperti nafas orang tidur, lembut, alami, pelan dan halus. Kemudian relaksasikan pikiran dengan memperkecil stimulus melalui sugesti diri dengan mengucapkan Allah ( )اهللketika ambil nafas, dan Hu ( ) هوketika mengeluarkan nafas, rasakan, niatkan dan lisankan. Lalu berdo’a: “ Ya Allah, Kami hanya ingin menggapai maghfirah-Mu”. Kemudian berdo’a: “ Ya Allah, melalui salat tahajud inisembuhkan penyakit saya’’. 7. Niat, takbiratul ihram. 8. Membaca do’a iftitah pelan-pelan, dihayati, dan diresapi. 9. Membaca al-fatihah pelan-pelan, dihayati, dan diresapi. 10. Membaca surat pelan-pelan, dihayati, dan diresapi. 11. Sambung kepada Allah dengan cara, dalam hati menghiasi masuknya nafas dengan mengucapkan Allah ( )اهللketika ambil nafas, dan Hu () هو.Dalam hati mengadukan segala persoalan yang sedang dihadapi yaitu sakit yang diderita. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
12. Ruku’, membaca tasbihpelan-pelan, dihayati, dan diresapi. 13. Dalam hati sambung kepada Allah seperti di atas. 14. I’tidal/ bangkit dari ruku’, membaca do’a pelan-pelan, dihayati dan diresapi. 15. Dalam hati sambung kepada Allah seperti di atas. 16. Sujud , membaca tasbih pelan-pelan, dihayati, dan diresapi. 17. Dalam hati sambung kepada Allah seperti di atas. 18. Duduk di antara dua sujud, membaca do’a pelan-pelan, dihayati dan diresapi. 19. Dalam hati sambung kepada Allah seperti di atas. 20. Sujud kedua , membaca tasbih pelan-pelan, dihayati, dan diresapi. 21. Dalam hati sambung kepada Allah seperti di atas. 22. Duduk tasyahud, membaca bacaan tasyahud pelan-pelan, dihayati dan diresapi. 23. Salam. 24. Zikir, Muhasabah, dan berdo’a.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Lampiran 3. Instrumen DASS 42
INSTRUMEN DEPRESSION ANXIETY STRESS SCALE (DASS 42) Keterangan 0 : Tidak ada atau tidak pernah; 1: Sesuai dengan yang dialami sampai tingkat tertentu, atau kadangkadang; 2: Sering ; 3: Sangat sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat 1
Menjadi marah karena hal-hal kecil/ sepele
0
1
2
3
2
Mulut terasa kering
0
1
2
3
3
Tidak dapat melihat hal yang positif dari suatu kejadian
0
1
2
3
4
Merasakan gangguan dalam bernapas (napas cepat, sulit bernapas)
0
1
2
3
5
Merasa sepertinya tidak kuat lagi melakukan suatu kegiatan
0
1
2
3
6
Kesulitan untuk relaksasi/ bersantai
0
1
2
3
7
Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
0
1
2
3
8
Kelemahan pada anggota tubuh
0
1
2
3
9
Cemas yang berlebihan dalam suatu situasi namun bias lega jika hal/ situasi tersebut berakhir
0
1
2
3
10
Pesimis
0
1
2
3
11
Mudah merasa kesal
0
1
2
3
12
Merasa menghabiskan banyak energy karena cemas
0
1
2
3
13
Merasa sedih dan depresi
0
1
2
3
14
Ketidaksabaran
0
1
2
3
15
Kelelahan
0
1
2
3
16
Kehilangan minat pada banyak hal (missal; makan,ambulasi, sosoialisasi)
0
1
2
3
17
Merasa diri kurang layak
0
1
2
3
18
Mudah tersinggung
0
1
2
3
19
Berkeringat ( missal; tangan berkeringat) tanpa stimulasi oleh cuaca maupun latihan fisik
0
1
2
3
20
Ketakutan tanpa alas an yang jelas
0
1
2
3
21
Merasa hidup tidak berharga
0
1
2
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
22
Sulit untuk beristirahat
0
1
2
3
23
Kesulitan dalam menelan
0
1
2
3
24
Tidak dapat menikmati hal-hal yang saya lakukan
0
1
2
3
25
Perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa stimulasi oleh latihan fisik
0
1
2
3
26
Merasa hilang harapan dan putus asa
0
1
2
3
27
Mudah marah
0
1
2
3
28
Mudah panic
0
1
2
3
29
Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang menunggu
0
1
2
3
30
Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak biasa dilakukan
0
1
2
3
31
Sulit untuk antusias pada banyak hal
0
1
2
3
32
Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan
0
1
2
3
33
Berada pada keadaan tegang
0
1
2
3
34
Merasa tidak berharga
0
1
2
3
35
Tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi anda untuk menyeleseikan hal yang sedang anda lakukan
0
1
2
3
36
Ketakutan
0
1
2
3
37
Tidak ada harapan untuk masa depan
0
1
2
3
38
Merasa hidup tidak berarti
0
1
2
3
39
Mudah gelisah
0
1
2
3
40
Khawatir dengan situasi saat diri anda mungkin menjadi panik dan mempermalukan diri sendiri
0
1
2
3
41
Gemetar
0
1
2
3
42
Sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam melakukan sesuatu
0
1
2
3
Skor Penilaian : 0-29 (normal) 30-59 (stres ringan) 60-89 (stres sedang) 90-119 (stres berat) >120 (sangat berat) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Lampiran 4. Formulir Persetujuan Menjadi Responden
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: …………………………………….
No. Responden
: …………………………………….
Setelah mendapat penjelasan dari peneliti, saya menyatakan ( bersedia / tidak bersedia *) menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , atas nama Erlangga Rizaldy dengan judul “ Hubungan Shalat Tahajud dengan Penurunan Kadar Kortisol pada pasien HIV / AIDS “ Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan sejujur – jujurnya tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
Yogyakarta, November 2012 Responden
(…………………………) Nama Terang
*) Coret salah satu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Lampiran 5.Ethical Clearence
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Lampiran 6. Surat Keterangan melakukan penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Lampiran 7. Alat-Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kortisol
ADVIA Centaur
Vorteks
Sentrifuge
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Lampiran 8. Pelaksanaan Shalat Tahajud
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Lampiran 9. Hasil pemeriksaan DASS dengan SPSS Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Dasspre
.183
8
.200
*
.940
8
.612
Dasspost
.250
8
.149
.813
8
.040
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Dasspre
40.7500
8
24.73141
8.74388
Dasspost
17.1250
8
15.32913
5.41966
Paired Samples Correlations N Pair 1
Correlation
Dasspre & Dasspost
8
Sig.
.904
.002
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the
Mean Pair
Dasspre –
1
Dasspost
2.3625 0E1
Difference
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
Lower
Upper
4.48783
13.01297
34.23703
12.69350
Sig. (2t 5.264
df
tailed) 7
.001
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 10. Hasil pemeriksaan Kortisol dengan SPSS
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
kortipre
.190
8
.200
*
.898
8
.280
kortipost
.163
8
.200
*
.927
8
.488
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
kortipre
14.6850
8
6.01103
2.12522
kortipost
12.1750
8
2.93532
1.03779
Paired Samples Correlations N Pair 1
kortipre & kortipost
Correlation 8
Sig.
.505
.201
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval
Mean Pair 1 kortipre – kortipost
2.51000
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
5.18783
1.83417
of the Difference Lower -1.82713
Sig. (2-
Upper
T
6.84713
1.368
df
tailed) 7
.213
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 11. Hasil pemeriksaan DASS Kelompok Kontrol dengan SPSS
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Dasspre
46.5000
8
16.87771
5.96717
Dasspost
40.2500
8
12.99176
4.59328
Paired Samples Correlations N Pair 1
Dasspre & Dasspost
Correlation 8
Sig.
.777
.023
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 Dasspre Dasspost
6.25000
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
10.63350
3.75951
Sig. (2Lower -2.63983
Upper 15.13983
t 1.662
df
tailed) 7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
.140
69
Lampiran 12. Hasil pemeriksaan Kortisol Kelompok Kontrol dengan SPSS
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
kortipre
15.3512
8
5.33661
1.88678
kortipost
12.1762
8
3.99943
1.41401
Paired Samples Correlations N Pair 1
kortipre & kortipost
Correlation 8
Sig.
.499
.209
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval
Mean Pair 1 kortipre kortipost
3.17500
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
4.81597
1.70270
of the Difference Lower -.85125
Upper 7.20125
Sig. (2t 1.865
df
tailed) 7
.104
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
Lampiran 13 . Hasil perbandingan kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol
Group Statistics sholat deltacortisol
deltaCD4
deltaDASS
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Ya
8
2.5100
5.18783
1.83417
Tidak
8
3.1750
4.81597
1.70270
Ya
8
45.2500
82.25005
29.07979
Tidak
8
82.3750
207.81512
73.47374
Ya
8
23.6250
12.69350
4.48783
Tidak
8
6.2500
10.63350
3.75951
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig. (2-
F deltacorti Equal variances sol
assumed
Sig. .022
.884
Equal variances not assumed deltaCD4 Equal variances assumed
1.719
.211
Equal variances not assumed deltaDAS Equal variances S
assumed Equal variances not assumed
.470
.504
t -.266
df
tailed)
Mean
Std. Error
Difference Difference
Difference Lower
Upper
14
.794
-.66500
2.50268
-6.03271
4.70271
-.266 13.923
.794
-.66500
2.50268
-6.03548
4.70548
-.470
14
.646 -37.12500
79.01914
-.470
9.141
.649 -37.12500
79.01914
2.968
14
.010
17.37500
5.85445
4.81846
29.93154
2.968 13.583
.010
17.37500
5.85445
4.78218
29.96782
206.60420 215.46071
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
132.35420
141.21071
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta