HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
NURUL FAUZIAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Nurul Fauziah NIM I34110094
ii
iii
ABSTRAK NURUL FAUZIAH. Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani. Dibimbing oleh Dr SOFYAN SJAF, MSi Moda produksi yang pemerintah fokuskan dalam meningkatkan kesejahteraan petani tetap saja tidak membuat petani terbebas dari belenggu kemiskinan. Berbagai modal sosial yang ada di masyarakat disinyalir mampu memberikan kontribusi kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Tipologi modal sosial yang berada pada masyarakat yaitu bounding, bridging dan linking dapat ditentukan melalui tingginya tingkat unsur-unsur modal sosial. Kesejahteraan dapat dilihat melalui dua pendekatan, yakni: (1) kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif dan (2) kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis sejauh mana hubungan modal sosial dengan kesejahteraan objektif dan subjektif rumah tangga petani, (2) menganalisis tingkat modal sosial rumah tangga petani, (3) menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani dan (4) menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kuantitatif melalui pendekatan survei. Teknik penentuan sampel dalam rancangan penelitian ini adalah teknik simple random sampling. Pengolahan data menggunakan uji statistik Rank Spearman untuk melihat hubungan variabel. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat modal sosial berada pada kategori sedang. Hasil uji statistik menunjukkan tipe modal sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan objektif adalah social bounding dan social bridging, sedangkan tipe modal sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan subjektif adalah social bridging. Selain itu hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara modal sosial rumah tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif. Kata kunci: modal sosial, kesejahteraan, petani
ABSTRACT NURUL FAUZIAH. The Correlation of Social Capital in Economic Welfare of Farmer Households. Supervised by Dr SOFYAN SJAF, MSi Mode of production that government focusing for improve the farmers welfare still can not make the farmers freed from the shackles the poverty. Various social capital in the community was allegedly able to contribute to the economic welfare of society. Typology of social capital in communities are bounding, bridging and linking can be determined by the high levels of the elements of social capital. Welfare can be measured through two approaches, namely: (1) welfare that measured by an objective approach and (2) welfare that measured by subjective approach. The aim of this study are: (1) analyzing the correlation of social capital with the objective and subjective welfare of farm households, (2) analyzing the
iv
level social capital stock of farmers household, (3) analyzing the correlation between the type of social capital with the objective and subjective economic welfare of farmers households. This study conducted by quantitative survey approach with simple random sampling technique. Data processing used the Rank-Spearman test to see the correlation of variables. The results obtained showed that level of social capital stock on the middle category. Based on the statistical test results showed the typology of social capital that have correlation with objective ecomic walfare are social bounding and social bridging meanwhile the typologi of social capital that have correlation with subjective econimic walfare is social bridging. There was a correlation between social capital of farmers household with objective and subjecetive economic welfare. Key word: social capital, welfare, farmers
v
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
NURUL FAUZIAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
vi
vii
Judul Skripsi Nama NIM
: Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani : Nurul Fauziah : I34110094
Disetujui oleh
Dr Sofyan Sjaf, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
viii
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan segenap nikmat dan anugerah-Nya sehingga penulis mampu menyusun skripsi yang berjudul “Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani”. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Program Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dan kontribusi selama proses pembuatan proposal skripsi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Sofyan Sjaf, MSi selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mendukung dan memberikan masukan selama proses penyusunan skripsi. Selanjutnya penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Hendro Sulistiyono dan Ibu Siti Khodijah serta keluarga yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada penulis. Tak lupa rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada donatur beasiswa Angkatan 16 Sosek IPB yang telah memberi dukungan dan materi selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada seluruh teman-teman Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dan teman-teman dalam lingkup Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Bogor, Juli 2015
Nurul Fauziah
x
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
2
Tujuan Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Tinjauan Pustaka
5
Kerangka Pemikiran
12
Hipotesis Penelitian
15
Definisi Operasional
15
PENDEKATAN LAPANGAN
21
Metode Penelitian
21
Lokasi dan Waktu
21
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
21
Teknik Pengumpulan Data
22
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
22
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
25
Kondisi Geografi dan Demografi
25
Kondisi Sosial dan Ekonomi
27
Karakteristik Responden
32
ANALISIS MODAL SOSIAL RUMAH TANGGA PETANI
35
Kondisi Sosial Bounding Rumah Tangga Petani
35
Kondisi Social Bridging Rumah Tangga Petani
39
Kondisi Social Linking Rumah Tangga Petani
44
KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
49
xii
Kesejahteraan Ekonomi Objektif
49
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
53
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN
57
EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI Hubungan Tipe Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Objektif
57
dan Subjektif Rumah Tangga Petani Hubungan Modal Sosial dengan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi
62
Objektif dan Subjektif Rumah Tangga Petani SIMPULAN DAN SARAN
67
Simpulan
67
Saran
68
DAFTAR PUSTAKA
69
LAMPIRAN
71
RIWAYAT HIDUP
83
xiii
DAFTAR TABEL
1
Definisi, peranan dan lingkup analisis modal sosial
6
2
Identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasarkan tipologi modal 10 sosial
3
Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut kelompok 27 umur dan jenis kelamin
4
Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut tingkat 28 pendidikan
5
Jumlah dan persentase keluarga pertanian Desa Krasak tahun 2014
29
6
Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan luas penguasaan lahan
30
pertanian 7
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan
32
8
Jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian 33 lain selain petani
9
Jumlah dan peresentase responden menurut tingkat kepercayaan
36
10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat ketaatan pada 37 norma sosial 11 Jumlah dan persentase rumah tangga petani menurut tingkat social 38 bounding 12 Jumlah dan persentase responden menurut kuatnya jaringan
40
13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat solidaritas
41
14 Jumlah dan persentase responden menurut tinggi rendahnya partisipasi 42 dalam organisasi 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat social bridging
43
16
44
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kebergantungan
17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan
46
18 Tabel jumlah dan persentase responden menurut tingkat social linking
47
19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kesejahteraan ekonomi
50
objektif 20 Jumlah dan persentase responden menurut penguasaan lahan pertanian 50
xiv
21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengeluaran rumah tangga petani
52
22 Jumlah dan persentase responden menurut kelengkapan fasilitas
52
23 Jumlah dan persentase responden menurut kesejahteraan ekonomi 53 Subjektif 24 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif
57
25 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi subejktif rumah tangga petani
59
26 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan tingkat pengeluaran rumah tangga
61
27 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi obejktif rumah tangga petani
62
28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani di Desa Krasak
63
29 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi subejektif rumah tangga petani
65
30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani di Desa Krasak
65
xv
DAFTAR GAMBAR
1
Kerangka pemikiran rancangan penelitian
13
2
Kalender musim pertanian Desa Krasak
25
DAFTAR LAMPIRAN
1
Jadwal pelaksanaan penelitian
73
2
Peta wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah
73
3
Hasil pengolahan data menggunakan uji statistik
74
4
Dokumentasi
77
5
Tulisan tematik
78
6
Daftar nama responden
81
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah rumah tangga petani yang besar. Pada tahun 2003 jumlah rumah tangga petani Indonesia mencapai 31 juta rumah tangga, namun pada tahun 2013 terdapat 26 juta rumah tangga petani (BPS 2013). Penurunan angka kurang lebih sebesar lima juta rumah tangga petani selama satu dekade tersebut dikarenakan berbagai banyak hal. Penyebab penurunan tersebut salah satunya adalah karena petani maupun buruh tani mengalami kemunduran kesejahteraan ekonomi, sehingga petani dan buruh tani beralih mata pencaharian ke sektor lainnya. Hal tersebut juga dipicu dengan tidak adanya jaminan kesejahteraan bagi petani Indonesia yang didukung dengan kebijakan. Hampir semua kebijakan pertanian di Indonesia berpegang pada peningkatan manfaat moda produksi. Moda produksi yang pemerintah pentingkan tetap saja tidak membuat petani terbebas dari belenggu kemiskinan. Data jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2013 adalah 22.71 persen dari total penduduk. Kemudian dari 22.71 persen total penduduk tersebut, sebesar 14.32 persen adalah penduduk miskin di wilayah pedesaan Indonesia (BPS 2013). Sekitar 56 persen dari total penduduk miskin Indonesia menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian atau bekerja sebagai petani di wilayah pedesaan. Diketahui pula bahwa dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata 90 persen telah bekerja dan sebagian besar petani (BPS 2013). Hal ini memiliki arti bahwa masyarakat miskin di wilayah pedesaan yang sebagian besar adalah petani telah bekerja keras namun tetap belum sejahtera. Pemerintah menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Undang-Undang tersebut menimbang bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini belum mengatur perlindungan dan pemberdayaan petani secara komprehensif, sistemik, dan holistik. Implementasi UU Nomor 19 Tahun 2013 berupa bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi kepentingan petani, antara lain pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi di dalam negeri, penyediaan sarana produksi pertanian yang tepat waktu, tepat mutu, dan harga terjangkau bagi petani, serta subsidi sarana produksi, kemudian penetapan tarif bea masuk komoditas pertanian, serta penetapan tempat pemasukan komoditas pertanian dari luar negeri dalam kawasan pabean. Undang-Undang tersebut menetapkan kebijakan dalam hal sosial yaitu masyarakat petani mendapatkan pemberdayaan mengenai kelembagaan, namun kelembagaan tersebut didominasi oleh kelembagaan formal berisi tata aturan yang mengikat. Sehingga terdapat kendala yang dirasakan petani untuk dapat memanfaatkannya secara maksimal. Kelembagaan tersebut diantaranya adalah pemberdayaan dalam kelembagaan kelompok tani. Semua kelompok masyarakat di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan. Persoalannya selama ini potensipotensi tersebut kurang mendapat tempat karena adanya anggapan potensi-potensi tersebut tidak relevan dengan zaman dan tidak dapat digunakan untuk peningkatan
2
taraf hidup manusia. Akibatnya selain tidak banyak dipahami juga tidak diikut sertakan dalam proses pembangunan itu sendiri. Terdapat penyeragaman modal yang bersifat materi. Modal tersebut selalu diutamakan sehingga berakibat kurangnya perhatian terhadap potensi-potensi lokal. Salah satu ahli yang berfokus pada peranan modal sosial di masyarakat adalah Putnam. Putnam (1995) dalam Pranadji (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Putnam et al. (1993) dalam Field (2010)menyatakan modal sosial adalah penampilan organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma (atau hal timbal balik), dan jaringan (dari ikatan-ikatan masyarakat). Penampilan organisasi sosial tersebut dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.
Masalah Penelitian Berbagai modal sosial yang ada di pedesaan disinyalir mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat pedesaan. Hal tersebut diketahui melalui berbagai hasil penelitian yang ditelaah. Peran modal sosial dalam pencapaian kesejahteraan seharusnya bukan hanya merupakan kegiatan rutinitas bagi masyarakat, namun juga harus mampu menampung berbagai permasalahan dan melakukan pemecahan masalah secara kolektif. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui optimalisasi modal sosial harusnya didukung dengan kebijakan pemerintah yang tidak hanya fokus terhadap penyedian moda produksi. Modal sosial dapat berupa sumber daya yang telah ada di masyarakat dan dapat dimanfaatkan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Atas dasar uraian realitas tersebut maka menarik untuk menelaah konsep modal sosial dengan mengaitkan pada kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian ini mengkaji seberapa kuat hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif rumah tangga petani? Penentuan tipe modal sosial yang digagas oleh Woolcock (2001) dalam Field (2010) dapat berdasarkan variabel atau unsur modal sosial dari para ahli. Adapun tipe dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial yang mengikat (social bounding): tingkat kepercayaan dan nilai sosial, (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social bridging): jaringan, solidaritas, dan tingkat partisipasi pada kelembagaan, (3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking): kebergantungan terhadap komunitas lain dan tingkat kepentingan. Berdasarkan analisis yang mempertanyakan peranan modal sosial dalam kesejahteraan keluarga dapat diidentifikasi bahwa unsur modal sosial terdiri dari: tingkat kepercayaan, nilai sosial, perasaan senasib, jaringan, solidaritas, tingkat partisipasi, kebergantungan terhadap komunitas lain, dan tingkat kepentingan. Sedangkan aspek kesejahteraan digolongkan dalam pendekatan kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif dapat digolongkan dalam beberapa indikator survei yang baku yaitu pengeluaran untuk kebutuhan
3
pangan, non pangan dan investasi. Kemudian kesejahteraan subjektif dapat diukur dengan indikator kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Oleh karena itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan dengan fokus penelitian yaitu: (1) bagaimana tingkat modal sosial yang ada pada rumah tangga petani? (2) seberapa jauh hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani? dan (3) seberapa jauh hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dirumuskan tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis sejauh mana hubungan modal sosial dengan kesejahteraan objektif dan subjektif rumah tangga petani. Adapun tujuan yang lebih spesifik lainnya adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis tingkat modal sosial rumah tangga petani; 2. Menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani; dan 3. Menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai modal sosial yang ada dalam komunitas petani dan kesejahteraan yang dimiliki komunitas petani. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan pustaka dan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai modal sosial komunitas petani dimasa mendatang sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi kebijakan. 2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta gambaran rinci mengenai penguatan modal sosial sehingga dapat membuat kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pemanfaatan moda produksi. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kesadaran kritis tentang modal sosial sebagai komponen penting untuk pembangunan Indonesia terutama dalam segi pertanian.
4
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Modal Sosial Modal sosial menekankan pada potensi kelompok dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok. Modal sosial merupakan sumber daya yang dimiliki masyarakat yang berkaitan dengan interaksi di kehidupan sehari-hari yang tersedia di komunitas. Perkembangan konsep modal sosial bervariasi menurut berbagai ahli. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992) dalam Field (2010), modal sosial adalah jumlah sumber daya aktual atau maya yang berkumpul pada seseorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. Field (2010) mengemukakan bahwa teori modal sosial Bourdieu (1992) secara jelas melihat modal sosial sebagai hak milik eksklusif elite (berupa aset) yang didesain untuk mengamankan posisi elite tersebut. Jika modal sosial Bourdieu menitik beratkan sebagai aset individu dan modal sosial merupakan hasil, maka Coleman (1994) dalam Field (2010) mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna pada perkembangan kognitif atau sosial anak atau idividu. Pernyataan tersebut lebih sarat akan makna karena di dalamnya ia menggambarkan nilai hubungan bagi semua aktor, individu, dan kolektif baik yang berkedudukan istimewa maupun yang kedudukannya tidak menguntungkan. Coleman (1994) dalam Field (2010) melihat modal sosial sebagai sumber daya karena dapat memberi kontribusi terhadap kesejahteraan individu. Putnam (1996) dalam Field (2010) mengemukakan bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Kemudian Field (2010) memaparkan pembahasan Putnam (1996) selanjutnya, gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan memiliki nilai kemudian kontak sosial akan memengaruhi produktivitas individu dan kelompok. Pengertian lain yakni oleh Fukuyama (1995) yang dikutip oleh Cahyono dan Adhiatma (2012) bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012) menyatakan modal sosial timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas. Dari definisi tersebut dapat dilihat Fukuyama perpendapat bahwa modal sosial termasuk dalam budaya dan kepercayaan. Berikut merupakan batasan definisi modal sosial menurut beberapa ahli.
6
Tabel 1 Definisi, peranan dan lingkup analisis modal sosial Ahli Bourdieu (1992)
Definisi Peranan Lingkup Analisis Hasil dari hubungan Sebagai aset elite Individu dalam timbal balik untuk menjamin kelompok perkenalan dan tercapainya modal pengakuan individu ekonomi maupun kelompok Coleman (1994) Sumber daya yang Untuk menjamin Melihat hubungan melekat pada tercapainya seluruh aktor. hubungan keluarga kesejahteraan Aktor atau individu dan dalam keluarga/komunitas dalam keluarga dan organisasi sosial masyarakat komunitas Putnam (1996) Jaringan, Untuk menjamin Masyarakat luas kepercayaan dan tercapainya norma merupakan kesejahteraan aset/fasilitas untuk ekonomi mencapai tujuan bersama Fukuyama (1995) Nilai-nilai atau Untuk menjamin Komunitas. norma-norma tercapainya Masyarakat. informal yang kesejahteraan sesuai dimiliki bersama dengan nilai-nilai yang kelompok/komunitas memungkinkan terjalinnya kerjasama Sumber: Bourdieau (1992); Coleman (1994); Putnam (1995) dalam Field (2010), Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012)
Berbagai definisi di atas dapat diketahui modal sosial memiliki perbedaan peranan maupun lingkup analisis sesuai dengan argumentasi ahli. Untuk studi dalam suatu komunitas maka dapat dirumuskan kembali definisi dari modal sosial. Modal sosial adalah sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa kepercayaan, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan normanorma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Kepercayaan akan membuat individu mau untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan, demikian juga terhadap jaringan. Menurut beberapa hasil penelitian yang telah ditelaah, penggunaan definisi modal sosial oleh Putnam lebih banyak digunakan karena Putnam mengkaji modal sosial dalam ruang lingkup yang lebih luas. Unsur dan Pengukuran Modal Sosial Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012) mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial, yaitu: (1) participation in a network: kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary),
7
kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility), (2) reciprocity: kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri tanpa mengharapkan imbalan, (3) trust: suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, (4) social norms: sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu, (5) values: sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat, dan (6) proactive action: keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat. Berbagai unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Hasbullah tersebut memiliki kesamaan pula dengan unsur-unsur modal sosial yang dikaji oleh beberapa penulis lain. Unsur modal sosial tersebut diukur dan dianalisis dalam suatu masyarakat untuk mengungkap karakteristik modal sosial yang terdapat pada masyarakat. Unsur tersebut diukur tingkat kekuatannya sehingga dapat simpulkan karakteristik masyarakat lebih kuat pada unsur tertentu. Selanjutnya mengenai unsur jaringan (network) tidak akan berdampak pada kehidupan masyarakat jika tidak disertai nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan kepercayaan (trust) yang dimiliki individu terhadap individu lain maupun kelompok. Sehingga unsur trust dapat disimpulkan unsur yang penting dalam mengkaji modal sosial. Pranadji (2006) mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial di pedesaan, pengertian kepercayaan (trust) seharusnya tidak dilihat sekedar masalah personalitas (psikologis) atau intrapersonal, melainkan mencakup juga aspek ekstrapersonal dan intersubyektif (asosiasi tingkat dukuh, organisasi tingkat desa dan sistem jaringan sosial hingga melintasi batas desa). Pada masyarakat yang berpotensi cepat maju umumnya mampu mengembangkan jaringan kepercayaan (mutual trust) yang relatif besar. Selanjutnya mengenai nilai yang melekat dalam masyarakat, Pranadji (2006) melihat tata nilai yang ada dalam masyarakat melalui empat elemen nilai komposit, yaitu: 1. Ditegakkannya sistem sosial di pedesaan yang berdaya saing tinggi (produktif) namun berwajah humanistik tidak eksploitatif dan intimidatif terhadap sesama manusia atau masyarakat; 2. Ditegakkannya sistem keadilan yang dilandaskan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia (tidak imperialistik dan menegasi kehidupan sosial); 3. Ditegakkannya sistem solidaritas yang dilandaskan pada hubungan saling percaya (mutual trust) antar elemen pembentuk sistem masyarakat; dan 4. Dikembangkannya peluang untuk mewujudkan tingkat kemandirian dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang relatif tinggi, yang merupakan salah satu bagian terpenting keberadaan suatu masyarakat. Pendapat Pranadji tersebut mendukung konsep Fukuyama (1995) dalam Field (2010) bahwa kepercayaan adalah dasar dari tatanan sosial yaitu komunitas tergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul spontan. Purnomo et al. (2007) mendukung pendapat Pranadji bahwa masyarakat lebih
8
memilih melakukan interaksi sosial dan memanfaatkan modal sosial asli yang berupa nilai-nilai asli masyarakat daripada melakukan kebijakan sebagai modal sosial “bentukan”. Selanjutnya kebutuhan yang dipenuhi dalam suasana persaingan dan menegasikan solidaritas sosial dan etika moral yang terpuji dan dikehendaki dalam tatanan budaya ekonomi lokal. Suandi (2005) mengungkapkan unsur modal sosial yaitu solidaritas. Solidaritas adalah rasa mau saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai (Suandi 2005). Unsur selanjutnya yaitu jaringan sosial, menurut Kamarni (2012) Analisa jaringan sosial adalah upaya memetakan dan mengukur kesalinghubungan dan aliran antara orang, kelompok orang, maupun organisasi dalam sebuah sistem sosial. Jamasy (2006) dalam Pontoh (2010) memaparkan bahwa karakter sosial budaya yang menjadi ciri atau karakter modal sosial di masyarakat diketahui melalui pendekatan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Faktor internal mencakup: (1) pola organisasi sosial dalam suatu komunitas yang mencakup kepercayaan lokal, pola dan sistem produksi dan reproduksi serta politik lokal, dan (2) norma dan nilainilai yang melekat dalam komunitas. Sedangkan faktor eksternal dapat dirangkum dalam pengaruh agama, pendidikan serta sistem dan hubungan politik dan pemerintahan dengan luar komunitas. Faktor-faktor internal dan eksternal akan membentuk karakter dari modal sosial suatu masyarakat. Coleman dalam Sumarti (2007) mengemukakan bahwa ahli ekonomi gagal memperkenalkan relasi sosial dalam analisanya. Coleman memperkenalkan sosiologi berbasis kepentingan, menurutnya modal sosial adalah cerminan sebagai adanya relasi sosial yang dapat membantu individu ketika mencoba untuk merealisasikan kepentingannya. Sumarti (2007) menelaah konsep kepentingan dalam analisa sosial. Sumarti (2007) mengemukakan bahwa konsep kepentingan Swedberg mirip dengan konsep Weber1 bahwa kepentingan mendorong tindakan manusia yaitu elemen sosial menentukan ekspresi dan arah tindakan apa yang akan diambil. Selanjutnya Swedberg (2003) dalam Sumarti (2007) mengemukakan bahwa seluruh kepentingan menjadi elemen sosial dalam dua cara: (1) menjadi bagian masyarakat dimana individu dilahirkan, dan (2) individu mempertimbangkan aktor lain ketika mencoba merealisasikan kepentingan mereka. Keanggotaan individu dapat berupa keanggotaan dalam kelembagaan formal maupun informal. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat nelayan sumatera utara yang memiliki kebergantungan dengan tengkulak atau “toke” dan pemilik kapal.2 Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa modal sosial dimanfaatkan oleh nelayan Sumatera Utara untuk memperoleh moda produksi yaitu memenuhi kebergantungan terhadap kebutuhan penyewaan kapal.
1
Weber mengemukakan konsep kepentingan dalam pendekatan sosiologi. Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia, Jaringan Advokasi Untuk Nelayan Sumatera Utara. 2010. Masyarakat pinggiran yang kian terlupakan: membedah persoalan nelayan tradisional Sumatera Utara. Universitas Michigan. Diakses di: https://books.google.co.id/books?ei=Gu2IVeOkB42GuASkwYnoBw&hl=id&id 2
9
Pengukuran modal sosial secara kritis adalah bergantung pada melekatnya modal sosial dalam konteks tertentu (Pontoh 2010). Bagi komunitas bisnis pengukuran modal sosial adalah untuk menelaah keuntungan dan kerugian. Bagi komunitas pemerintahan maupun lembaga kebijakan pemerintahan, pengukuran diukur untuk mengetahui suatu kebijakan (program maupun aturan) dapat terlaksana dengan baik. Kemudian bagi peneliti sosial, pengukuran dilakukan untuk mengetahui karakteristik hubungan sosial masyarakat. Pemaparan di atas menunjukkan unsur-unsur modal sosial yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini akan menggunakan unsur-unsur modal sosial: (1) kepercayaan, (2) norma sosial, (3) partisipasi dalam kelembagaan, (4) jaringan, (5) solidaritas, (6) kepentingan dengan pihak luar komunitas dan (7) kebergantungan dengan pihak luar komunitas. Tipologi Modal Sosial Putnam (2000) dalam Field (2010) mengemukakan perbedaan antara dua bentuk dasar modal sosial yaitu menjembatani (inklusif) dan mengikat (ekskusif). Modal sosial yang menjembatani cenderung menyatukan individu dari beragam ranah sosial. Hubungan-hubungan yang menjembatani tersebut berperan dalam penyediaan aset-aset eksternal dan bagi penyebaran informasi. Kemudian bentuk modal sosial yang mengikat adalah modal sosial yang cenderung mendorong identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas suatu masyarakat. Bentuk modal sosial ini dapat menjadi perekat terkuat sosiologi sehingga terbentuk solidaritas yang kuat. Konsep tersebut telah banyak diterima oleh peneliti sosial (Field 2010). Ahli lain yaitu Woolcock (2001) dalam Field (2010) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga tipe hubungan, yaitu: (1) modal sosial yang mengikat (social bounding), (2) modal sosial yang menjembatani (social bridging), dan (3) modal sosial yang menghubungkan (social linking). Pada penerapannya kedua jenis tipe hubungan modal sosial yang diungkapkan Putnam dan Woolcock adalah membedakan modal sosial akan lebih berkembang di dalam komunitas internal saja atau modal sosial akan lebih kuat apabila diterapkan pada antar komunitas. Menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), social bounding dapat berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Pengertian social bounding adalah tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat dalam sistem sosial seperti halnya keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya. Norma-norma seperti nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom) tercermin dalam kehidupan seharihari. Selanjutnya Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) menjelaskan bahwa social bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada didalamnya sehingga memutuskan untuk membangun kekuatan dari luar dirinya. Wilayah cakupan social bridging menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) yaitu lebih luas dari social bounding karena dapat bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok kepentingan. Social bridging
10
bisa dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (participation), asosiasi, dan jaringan. Sehingga dapat terlihat tujuan dari social bridging adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Hasil penelitian yang dilakukan Firdaus (2006) dalam Muspida (2007) menyimpulkan bahwa meluasnya jaringan petani yang berorientasi pada nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian telah mendorong terbentuknya modal sosial yang menjembatani (bridging social caital), sehingga kohesifitas sosial petani tidak hanya di tingkat kelompok tani. Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) mengemukakan tipe modal sosial yang terakhir adalah social linking yaitu bisa berupa hubungan atau jaringan sosial. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Selanjutnya menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) dalam relasi sosial akan terdapat perbedaan kepentingan, dalam situasi relasi tersebut dibutuhkan adanya social linking yang mampu mengatasi kepentingankepentingan tersebut. Dari kepentingan yang dimiliki oleh komunitas pada luar komunitas, terdapat rasa kebergantungan pada luar komonitas. Contohnya dapat digambarkan pada penelitian Nuryadin (2009) yakni hubungan antara nelayan Suku Bajo dengan lembaga perbankan, pemilik modal atau pemerintah yang dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan produksi dan memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional. Berdasarkan tipologi modal sosial Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009); Field (2010) dapat diidentifikasi unsur-unsur modal sosial berdasakan tipologi modal sosial. Berikut tabel identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasakan tipologi modal sosial. Tabel 2 Identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasarkan tipologi modal sosial Tipologi modal sosial Unsur modal sosial Social bounding Kepercayaan
√
Norma sosial
√
Social bridging
Kuatnya Jaringan
√
Solidaritas
√
Tingkat partisipasi Kebergantungan terhadap komunitas lain
√
Tingkat kepentingan
Social linking
√ √
Sumber: Putnam (1995) dalam Field (2010); Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012), Suandi (2007), Pontoh (2010), Swedberg dalam Sumarti (2007), Nuryadi (2009), Firdaus (2006) dalam Muspida (2007)
11
Penentuan tipe modal sosial yang digagas oleh Woolcock (2001) dalam Field (2010) dapat berdasarkan variabel atau unsur modal sosial dari para ahli yaitu: Putnam, Fukuyama, Suandi, Pontoh, Nuryadin dan Firdaus. Tabel 2 menunjukkan bahwa tipe modal sosial dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial yang mengikat (social bounding): tingkat kepercayaan, norma sosial, (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social bridging): kuatnya jaringan, solidaritas, dan tingkat partisipasi pada kelembagaan, (3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking): kebergantungan terhadap komunitas lain dan tingkat kepentingan. Konsep Kesejahteraan Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (Suandi 2007). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi 2007) antara lain: kesejahteraan finansial, status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain lain. Santamarina et al. (2002) dalam Suandi (2007) mengemukakan berdasarkan tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan ke dalam dua subsistem yakni: (1) subsistem sosial dengan faktornya yaitu: pendidikan, kesehatan, struktur dan dinamika penduduk, kekuatan sosial dll, dan (2) subsistem ekonomi dengan faktornya yaitu: konsumsi, hak pemilikan akan tanah, tingkat kemiskinan dan aktifitas ekonomi. Kemudian Suandi (2007) mengemukakan bahwa kesejahteraan juga dapat dilihat melalui dua pendekatan, yakni: (1) kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif dan (2) kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif. Kesejahteraan Objektif Pendekatan kesejahteraan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya (Suandi 2007). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku. Kemudian menurut Suandi (2007), kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan besarnya pengeluaran keluarga. Suandi menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga yang dimaksud adalah pengeluaran untuk pembelian kebutuhan keluarga sehari-hari, yaitu kebutuhan pokok dan lainnya. Dengan demikian, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan pangan, non pangan dan investasi (dapat berupa biaya pendidikan). Untuk mengukur kesejahteraan, BPS (2014) menggunakan indikator kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui SUSENAS tahun 2013. Pengukuran kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani dalam penelitian menggunakan indikator SUSENAS tahun 2013 dalam BPS (2014) yang dipisahkan indikator ekonominya yaitu meliputi: (1) pengeluaran kebutuhan
12
pangan, (2) pengeluaran kebutuhan non pangan, (3) luas penguasaan lahan, dan (4) keadaan tempat tinggal. Pada penelitian Johan et al. (2013)3, kesejahteraan objektif keluarga diukur dengan pengertian penduduk miskin menurut BPS (2011). Penduduk miskin (BPS 2011) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK). Penelitian tersebut menggunakan perkiraan GK Kabupaten Indramayu tahun 2012 sebesar Rp 277.596,00 per kapita per bulan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar keluarga nelayan yang diteliti termasuk dalam kategori tidak miskin. Kesejahteraan Subjektif Kesejahteraan subjektif menurut Suandi (2007) adalah tingkat kesejahteraan yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan. Sumarwan dan Hira (1993) yang dikutip oleh Suandi (2007) mengemukakan bahwa secara operasional variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap antara aspirasi dengan tujuan yang dicapai. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sumarti (1999) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Menurut Suandi (2007) tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif dapat diukur dari tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Pada peneltian Johan et al. (2013), kesejahteraan subjektif keluarga nelayan diukur berdasarkan tingkat kepuasan istri terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Indikator dari variabel tersebut adalah kepemilikan kitab suci, keamanaan tempat tinggal, hubungan antar anggota keluarga, pengalokasian waktu yang dibuat keluarga, dan kepuasaan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan pokok. Studi oleh Hayo dan Seifert (2003) dalam Suandi (2007) menunjukan bahwa kesejahteraan ekonomi subjektif berkolerasi positif terhadap kepuasaan hidup masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif maka tingkat kepuasan hidup akan lebih tinggi.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil analisis dan kajian referensi dari berbagai literatur, sejauh ini program pemerintah belum mengintegrasikan modal sosial asli yang dimiliki masyarakat dengan kebijakan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pemerintah cenderung untuk membuat modal sosial bentukan. Modal sosial bentukan tersebut dapat berupa kelembagaan yang sistematika peraturannya menyulitkan masyarakat. Pemerintah menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Implementasi Undang-Undang tersebut berupa bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi kepentingan petani. Peraturan tersebut lebih memfokuskan pada pengadaan moda 3
Johan I R, Muflikhati I, Mukhti D S. 2013. Gaya Hidup, Manajemen Keuangan, Strategi Koping, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol, 6 No.1
13
produksi daripada penguatan modal sosial yang telah ada dimasyarakat. Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang dapat menunjang pembangunan. Salah satu potensi sosial tersebut adalah modal sosial. Kajian modal sosial tersebut dijabarkan dalam kerangka penelitian (Gambar 1). X. Modal Sosial X1. SOCIAL BOUNDING 1. Tingkat kepercayaan individu dalam lingkup komunitas - Kesedian untuk bersosialisasi - Kesedian melakukan saran - Tingkat komitmen 2. Kuatnya norma sosial dalam komunitas - Frekuensi melaksanakan norma adat - Frekuensi melaksanakan norma agama - Frekuensi melaksanakan norma sosial
X2. SOCIAL BRIDGING 1. Kuatnya jaringan sosial - Tingkat kerjasama - Tingkat keterbukaan informasi - Kebermanfaatan organisasi 2. Tingkat solidaritas - Tingkat solidary making - Tingkat persatuan kelompok - Kepekaan terhadap kemajuan pertanian 3. Tingkat partisipasi - Jumlah kelembagaan yang diikuti - Keaktifan dalam pertemuan - Pengambilan keputusan
X3. SOCIAL LINKING 1. Tingkat kebergantungan pada komunitas lain - Akses moda produksi - Pemasaran hasil pertanian 2. Tingkat kepentingan - Pemanfaatan lembaga peminjaman modal nonformal - Pemanfaatan lembaga peminjaman modal formal - Pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian
Y. KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA Y1. TINGKAT KESEJAHTERAAN OBJEKTIF 1. Luas penguasaan lahan 2. Keadaan tempat tinggal 3. Pengeluaran kebutuhan pangan 4. Pengeluaran kebutuhan non pangan (SUSENAS 2013)
Y2. TINGKAT KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF 1. Pemenuhan kebutuhan pangan 2. Pemenuhan kebutuhan non pangan 3. Pemenuhan kebutuhan investasi SDM
Keterangan : Berhubungan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
14
Modal sosial menurut berbagai ahli dapat didefinisikan kembali dalam lingkup komunitas sebagai sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas yang berperan untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama Variabel atau unsur modal sosial digolongkan berdasarkan tipologi modal sosial menurut Woolcock (2001) dalam Field (2005). Tipe modal sosial dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial yang mengikat (social bounding), (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social bridging), dan (3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking). Unsur modal sosial yang ada di dalam tipologi modal sosial adalah tingkat kepercayaan, tingkat kepatuhan pada norma sosial, luasnya jaringan, tingkat solidaritas, tingkat partisipasi dalam kelembagaan, kebergantungan pada komunitas lain, dan tingkat kepentingan. Tingkat kepercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok dalam komunitas. Tingkat kepercayaan merupakan elemen tata nilai yang ada pada masyarakat yang melekat dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi sumber daya sosial. Variabel selanjutnya adalah kuatnya norma, masyarakat dapat dilihat derajat modal sosialnya melalui kuatnya norma yang diterapkan Variabel modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial. Setelah terdapat kepercayaan antar individu maupun kelompok dalam bermasyarakat, maka akan memungkinkan terdapat jaringan sosial yang eksistensinya mengalami keberlanjutan. Selanjutnya variabel partisipasi individu pada kelembagaan atau asosiasi penting bagi kelembagaan yang individu ikuti karena sangat menentukan kemajuan dan peran kelembagaan. Partisipasi berkaitan dengan pemanfaatan jaringan pada komunitas. Individu dapat memanfaatkan jaringan yang terjalin antar individu, maupun individu dengan kelompok. Variabel yang akan diukur dalam modal sosial lainnya adalah solidaritas. Kemudian terdapat variabel modal sosial yang terakhir adalah kebergantungan. Kebergantungan yang dimaksud adalah tingkat kebergantungan individu pada komunitas lain. Variabel ini akan diukur dari penggunaan sumber daya dari luar komunitas dan pemanfaatan modal dari luar komunitas Selanjutnya karakteristik modal sosial yang dilihat berdasarkan variabelvariabel tersebut akan dihubungkan dengan kesejahteraan ekonomi komunitas petani dan dilihat tingkat seberapa kuatnya. Kesejahteraan ekonomi suatu komunitas dapat dibedakan menjadi kesejahteraan objektif dan subjektif. Tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan objektif diukur dari tingkat kesejahteraan ekonomi SUSENAS tahun 2013 dalam BPS (2014). Kesejahteraan subjektif dapat dilihat dalam keluarga mengenai tingkat kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan menurut persepsi individu yang merasakan seberapa tinggi kesejahteraannya, bukan dari persepsi orang lain. Tinggi rendahnya kesejahteraan subjektif dilihat pada tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi.
15
Hipotesis Penelitian Penelitian ini menggunakan hipotesis uji yang terdiri dari: 1. Terdapat hubungan signifikan positif antara modal sosial (X) dengan kesejahteraan ekonomi objektif (Y1) dan subjektif (Y2) rumah tangga petani 2. Terdapat hubungan signifikan positif antara tipe modal sosial tertentu (X1, X2, X3) dengan kesejahteraan objektif (Y1) ekonomi rumah tangga petani. 3. Terdapat hubungan signifikan positif antara tipe modal sosial tertentu (X1, X2, X3) dengan kesejahteraan subjektif (Y2) ekonomi rumah tangga petani.
Definisi Operasional Definisi operasional untuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut: Modal sosial adalah sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa kepercayaan, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan normanorma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Modal sosial dibedakan bertasarkan hubungan pada masyarakat menjadi tiga tipe modal sosial: 1. Modal sosial yang mengikat (social bounding), ikatan yang kuat dalam sistem sosial seperti halnya keluarga petani yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Pengukuran variabel kuatnya social bounding diukur melalui: 1. Tingkat kepercayaan antar individu satu komunitas yaitu perasaan yakin yang terbangun antara petani dengan orang lain yang berhubungan dengan pertanian daerah setempat. Indikator yang digunakan yaitu: a. Kesediaan untuk bersosialisasi adalah tingkat kemauan petani untuk berinteraksi dengan kerabat petani lain. b. Kesediaan melakukan saran adalah tingkat kemauan petani untuk melakukan saran petani lain dalam komunitas. c. Tingkat komitmen adalah sejauhmana petani mau menepati sesuatu yang dijanjikan pada individu lain yang tercermin pada tindakan. Terdapat enam pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diukur dengan skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju: skor 5. 2. Tingkat kepatuhan norma sosial dalam komunitas adalah tingkat kepatuhan petani terhadap tata aturan kelompok dan masyarakat, dapat berupa nilai adat atau budaya lokal. Indikator yang digunakan yaitu: a. Frekuensi melaksanakan norma adat adalah intensitas petani melaksanakan ide adat yang dianggap benar dalam komunitas. b. Frekuensi melakukan norma agama adalah intensitas petani melaksanakan nilai agama yang dilakukan secara bersama dalam komunitas.
16
c. Frekuensi melakukan norma sosial adalah intensitas petani melaksanakan gotong royong dalam komunitas. Terdapat enam pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diukur dengan skor : sangat jarang: skor 1; jarang: skor 2; sering: skor 3; dan selalu : skor 4. Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang mengikati atau social bounding dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu: 1. social bounding rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd 2. social bounding sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd 3. social bounding tinggi : x ≥ 𝑥̅ + sd 2. Modal sosial yang menjembatani (social bridging) adalah modal sosial yang mencakup ikatan yang lebih longgar dari beberapa petani, seperti teman jauh dan rekan kerja. Tujuan dari tipe modal sosial ini adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas baik sumber daya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Pengukuran variabel kuatnya social bounding diukur menggunakan unsur modal sosial dalam konteks social bounding. Variabel yang di ukur adalah: 1. Kuatnya jaringan sosial adalah kuatnya saluran petani dalam keterlibatan hubungan keluarga, persaudaraan teman dan rekan kerja dalam satu komunitas. Indikator yang digunakan yaitu: a. Tingkat kerjasama adalah usaha antara (perorangan) petani ataupun kelompok sehingga mencapai tujuan dengan lebih cepat dan lebih baik b. Tingkat keterbukaan informasi adalah sejauh mana petani menerima informasi mengenai pertanian untuk mendukung kegiatan produksi pertanian. c. Kebermanfaatan organisasi yang diikuti adalah tingkat manfaat perkumpulan yang ada berlandasakan persamaan tujuan, yang diikuti petani dalam lingkup komunitas. Kuatnya jaringan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju: skor 5. 2. Tingkat solidaritas adalah sejauh mana rasa kebersamaan dalam suatu komunitas yang menyangkut tentang kesetiakawanan antara individu petani dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama. Indikator yang digunakan yaitu: a. Tingkat solidarty making adalah seberapa jauh keinginan petani untuk membuat hubungan kekerabatan antar petani. b. Tingkat persatuan kelompok tani adalah sejauh mana petani memiliki rasa kebersamaan atau rasa senasib. c. Kepekaan terhadap kemajuan pertanian desa sejauh mana petani memiliki rasa ingin mengembangkan pertanian desa. Tingkat solidaritas diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju: skor 5. 3.Tingkat partisipasi dalam organisasi di lingkungan sekitar adalah keikutsertaan petani dan keaktifan dalam organisasi sosial/kerja di keseharian komunitas petani. Indikator yang digunakan yaitu:
17
a. Jumlah kelembagaan yang diikuti adalah banyaknya keanggotaan petani dalam kelembagaan formal maupun informal. b. Keaktifan dalam pertemuan adalah sejauh mana petani mengikuti kegiatan dalam kelembagaan formal maupun informal. c. Pengambilan keputusan adalah sejauh mana petani terlibat dalam pengambilan keputusan dalam kelembagaan formal maupun informal. Tingkat partisipasi diukur melalui skor jawaban (1): skor 1; (2): 2, (3):3, (4): 4. Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang menjembatani atau social bridging dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu: 1. social bridging rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd 2. social bridging sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd 3. social bridging tinggi : x ≥ 𝑥̅ + sd 3. Modal sosial yang menghubungkan (social linking), yaitu modal sosial yang menjangkau individu pada situasi berbeda seperti mereka yang sepenuhnya ada di luar komunitas, hubungan ini bersifat vertikal yaitu dapat dilihat dengan kelembagaan yang berpengaruh. Variabel yang di ukur adalah: 1. Tingkat kebergantungan terhadap komunitas luar desa adalah sejauh mana petani mengandalkan komunitas luar desa untuk mendukung kegiatan pertaniannya. Indikator yang digunakan yaitu: a. Tingkat akses moda produksi adalah bagaimana petani mendapatkan modal untuk usaha produksi pertaniannya. b. Cara pemasaran hasil pertanian adalah cara yang dilakukan petani untuk menjual produk pertaniannya. Tingkat kebergantungan diukur melalui skor jawaban (1): skor 1; (2): 2, (3):3, (4): 4 2. Tingkat kepentingan adalah kebutuhan atau keinginan petani yang berhubungan dengan pihak berpengaruh sehingga mendorong tindakan yang akan diambil oleh petani. Indikator yang digunakan yaitu: a. Pemanfaatan lembaga peminjaman modal non formal adalah sejauh mana kecenderungan petani untuk tergabung menjadi anggota lembaga peminjaman non formal. b. Pemanfaatan lembaga peminjaman modal formal adalah sejauh mana kecenderungan petani untuk tergabung menjadi anggota lembaga permodalan formal. c. Pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian adalah sejauh mana kecenderungan petani untuk memanfaatkan keberadaan penyuluh pertanian. Tingkat kepentingan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; sangat setuju: skor 5. Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang menghubungkan atau social bounding dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu: 1. social linkingrendah: x ≤ 𝑥̅ –sd 2.social linking sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd
18
3.social linking tinggi : x ≥ 𝑥̅ + sd Tingkat kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani adalah konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup rumah tangga petani di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Kesejahteraan akan diukur dengan dua pendekatan yakni: kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi subjektif. 1. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang melihat kesejahteraan rumah tangga petani diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu menggunakan ukuran ekonomi. Variabelnya adalah: 1. Luas penguasaan lahan pertanian adalah besaran luas tanah produktif yang dikuasai rumah tangga petani. Indikator dan pengukurannya adalah: a. Luas lahan rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd b. Luas lahan sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd c. Luas lahan tinggi : x ≥ 𝑥̅ + sd 2. Luas kepemilikan lahan rumah adalah besaran luas tanah rumah yang dimiliki rumah tangga petani. Indikator dan pengukurannya adalah: a. Luas lahan rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd b. Luas lahan sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd c. Luas lahan tinggi : x ≥ 𝑥̅ + sd 3. Keadaan tempat tinggal atau rumah adalah karakteristik tempat tinggal responden (petani) meliputi bahan atap, bilik, status tempat tinggal, bahan lantai, luas lantai dan luas pekarangan rumah. Indikator dan pengukurannya adalah: a. Bilik : tembok (4), kayu (3), bambu (2), triplek (1) b. Lantai : keramik (4), semen (3), kayu/bambu (2), tanah (1) c. Atap : beton (4), genteng (3), asbes (2), seng (1) d. Status : milik sendiri (4), sewa (3), dinas/bebas sewa (2), menumpang(1) e. Penerangan rumah: listrik PLN (4), generator (3), petromak (2), obor (1) f. Fasilitas rumah tangga: keberadaan fasilitas rumah tangga meliputi: televisi, radio, kulkas, telepon/telepon seluler, tempat tidur, lemari, sepeda, sepeda motor dan mobil. Jika ada skor 2, jika tidak ada skor 1. 4. Pengeluaran kebutuhan pangan adalah jumlah uang yang dibayarkan atau ditransaksikan untuk kebutuhan pangan per bulan. Pengukurannya adalah: a. Pengeluaran rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd b. Pengeluaran sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd c. Pengeluaran tinggi jika: x ≥ 𝑥̅ + sd 5. Pengeluaran kebutuhan non pangan adalah jumlah uang yang dibayarkan atau ditransaksikan untuk kebutuhan pangan per bulan. Pengukurannya adalah: a. Pengeluaran rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd b. Pengeluaran sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd c. Pengeluaran tinggi jika: x ≥ 𝑥̅ + sd Kemudian semua skor akumulatif dari kesejahteraan ekonomi objektif dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:
19
1. rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd 2. sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd 3. tinggi: x ≥ 𝑥̅ + sd 2. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang dilihat secara personal oleh petani yang diukur dalam bentuk kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Kesejahteraan subjektif dilihat dari: 1. Kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan adalah sejauh mana rumah tangga petani merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan kebutuhann pangannya. Indikatornya adalah: a. Kepuasan frekuensi makan setiap hari b. Kepuasan keragaman pangan yang dikonsumsi rumah tangga petani Kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan diukur melalui skor jawaban 1, 2, 3, 4 dan hingga 5. Skor jawaban 1 adalah untuk jawaban tingkatan tidak puas dan berturut-turut hingga 5 untuk jawaban sangat puas. 2. Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan (sandang dan papan) adalah sejauh mana rumah tangga petani merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan kebutuhan sandang dan papan. Indikatornya adalah: a. Pemenuhan kebutuhan sandang/pakaian b. Pemenuhan kebutuhan tempat tinggal c. Pemenuhan kebutuhan komunikasi d. Pemenuhan kebutuhan sosial Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; sangat setuju: skor 5. 3. Kepuasan Investasi SDM adalah sejauh mana rumah tangga petani merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan kebutuhann investasi. Indikatornya adalah: a. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan. b. Pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; sangat setuju: skor 5. Kemudian semua skor akumulatif dari kesejahteraan ekonomi subjektif dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu: 1. rendah: x ≤ 𝑥̅ –sd 2. sedang: 𝑥̅ –sd < x <𝑥̅ + sd 3. tinggi : x ≥ 𝑥̅ + sd
20
21
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Penelitian mengenai hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani ini menggunakan metode kuantitatif melalui pendekatan survei. Pendekatan survei merupakan pendekatan penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data (Singarimbun dan Efendi 1989). Sementara itu, metode kuantitatif digunakan untuk mencari informasi hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif rumah tangga petani. Selain menggunakan data kuantitatif, penelitian menggunakan data kualitatif sebagai argumentasi pendukung yaitu dengan wawancara mendalam. Untuk itu, pendekatan lapang dilakukan dengan penggalian informasi dari informan dengan wawancara mendalam. Hasil uraian wawancara dijelaskan secara deskripsi, namun tetap berfokus pada hubungan antar variabel untuk menguji hipotesa.
Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di desa pertanian yaitu Desa Krasak, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes Provinsi jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan menurut Potensi Desa Krasak (2014) di desa tersebut terdapat sejumlah 97% keluarga merupakan keluarga pertanian. Komoditas pertanian yang unggul di Desa Krasak adalah produk hortikultura yaitu bawang merah dan tanaman pangan yaitu padi dan jagung. Komoditas bawang merah terbesar bersentra di Kabupaten Brebes, maka menarik untuk diteliti bagaimana hubungan tingkat modal sosial pada rumah tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi khususnya pada sentra komoditas pertanian yaitu bawang merah. Selanjutnya penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan dari bulan Januari 2015 sampai Juli 2015. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian terlampir (Lampiran 1).
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga petani di Desa Krasak, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini memiliki karakter suku yang sama yaitu suku Jawa, berada pada ekologi yang sama yaitu pada pertanian sawah. Responden memiliki mata
22
pencaharian yang sama yaitu sebagai petani sawah dan seluruh responden beragama islam. Sebanyak 97% keluarga dari populasi merupakan keluarga pertanian, selain itu keadaan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling). Hal ini sesuai dengan Singarimbun dan Efendi (1989) bahwa simple random sampling dapat digunakan pada komunitas dengan keadaan geografis yang sama dan tidak menyebar. Adapun unit analisa penelitian adalah rumah tangga petani untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga dan individu yaitu kepala rumah tangga untuk menganalisis tingkat modal sosial. Jumlah sampel yang menjadi responden berjumlah 40 rumah tangga petani yang akan merepresentasikan hasil mengenai hal yang akan dianalisa korelasinya. Sedangkan informan akan dipilih secara purposive yaitu petani, ketua Gapoktan, ketua Poktan dan perangkat desa.
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi, kuesioner, dan wawancara kepada responden dan informan di lokasi penelitian. Kuesioner telah diuji coba untuk mengetahui reliabilitas dari kuesioner tersebut. Maka diperoleh hasil reliabilitas Cronbach’s alpha sebesar 0.864. Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpa > 0.90, maka realibilitas sempurna; jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90, maka reliabilitas tinggi; jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5, maka reliabilitas moderat; dan jika nilai alpha <0.5 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabililitas pada kuesioner penelitian ini menunjukkan angka 0.864 artinya kuesioner memiliki reliabilitas tinggi. Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti aparat pemerintah desa dan hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti monografi desa, demografi desa, nama kepala keluarga dan jumlah anggota keluarga yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi dengan menggunakan uji statistik yaitu uji korelasi Rank Spearman untuk mengetahui hubungan masing-masing tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif (data ordinal) rumah tangga petani dan untuk menguji hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif rumah tangga petani.
23
Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Data yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan microsoft excel 2007 sebelum dimasukan ke perangkat lunak Statistical Package for the Social Science for windows (SPSS) versi 17. Berdasarkan ketentuan nilai korelasi Rank Spearman dan kategori keterhubungan yaitu: 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09 (hubungan kurang berarti), 0.10-0.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.07-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9 (hubungan mendekati sempurna). Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis untuk disajikan dalam bentuk tabulasi silang, teks naratif, matriks, bagan dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
24
25
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografi dan Demografi Desa Krasak merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Brebes. Desa Krasak terletak di bagian utara Kabupaten Brebes. Luas wilayah Desa Krasak adalah 167.17 Ha. Luas untuk lahan pertanian adalah 118.72 Ha sedangkan luas pemukiman Desa Krasak adalah 47.20 Ha. Kondisi tipologi Desa krasak adalah dataran rendah dan terdapat aliran sungai yang terletak di samping jalan utama. Untuk menyeberangi sungai tersebut tersedia 3 jembatan beton yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor roda dua dan beberapa jembatan yang bukan beton. Secara administratif, Desa Krasak terdiri dari tiga Rukun Warga (RW) dan 27 Rukun Tetangga (RT). Wilayah Desa Krasak sebelah utara berbatasan dengan Desa Banjaranyar, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pemaron, sebelah timur berbatasan dengan Desa Lembarawa dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Wangandalem. Jarak dari Desa Krasak ke ibukota Kecamatan Brebes yaitu 5 km dengan akses jalan beraspal yang dapat ditempuh dengan angkutan umum. Panjang jalan beraspal yang berada di Desa Krasak adalah sepanjang 1 Km sedangkan jalan yang belum beraspal (jalan tanah) sepanjang 0.5 Km. Masyarakat Desa Krasak menyatakan bahwa kondisi tanah di Desa Krasak subur. Hal ini disebabkan karena komoditas sawah atau pertanian ditanam secara musiman dapat mengurangi hama yang ada pada saat komoditas tertentu ditanam. Desa Krasak merupakan desa pertanian sehingga dapat dinyatakan kalender musim pertaniannya (Gambar 2).
Gambar 2 Kalender musim pertanian Desa Krasak
26
Musim tanaman atau komoditas padi berlangsung pada bulan Januari sampai awal April. Setelah panen padi, petani melakukan pengolahan tanah terlebih dahulu yaitu untuk menyiapkan bedengan untuk tanaman bawang merah. Musim tanaman atau komoditas bawang merah berlangsung pada akhir bulan April sampai akhir bulan Juni. Bulan Juli, Agustus hingga September adalah musim kering atau kemarau maka petani memilih menanam jagung atau pun tanaman hortikultura yang tahan akan kondisi kering. Pada bulan Oktober terdapat perayaan sedekah bumi oleh masyarakat Desa Krasak. Musim tanaman bawang merah selanjutnya berlangsung pada minggu ketiga dan keempat bulan Oktober sampai minggu pertama dan kedua bulan Desember. Petani Desa Krasak sangat menjaga pertumbuhan bawang merah dengan pemupukan maupun dengan penggunaan pestisida, sedangkan untuk tanaman padi, petani cenderung mengandalkan kesuburan tanah dan curah hujan. Tanaman padi ditanam setelah musim bawang merah. Pada musim bawang merah, penggunaan pupuk dan pestisida banyak. Biaya total yang dihabiskan oleh seluruh petani Desa Krasak untuk membeli pestisida saat musim bawang merah adalah kurang lebih Rp 126 500 000, biaya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran total seluruh petani untuk pestisida pada musim tanam padi yaitu kurang lebih Rp 10 000 000. Penggunaan pestisida pada tanaman padi tidak banyak karena pada musim tanam padi serangan hama yang ada telah berkurang akibat pemakaian pestisida pada saat musim bawang merah. Kemudian pada musim padi, tanah masih mengandung unsur hara yang banyak yaitu memanfaatkan unsur hara yang masih terkandung dalam tanah setelah pemanenan bawang merah. Tekstur tanah di Desa Krasak adalah lempungan dengan warna abu-abu. Saluran irigasi di Desa Krasak tergolong irigasi tadah hujan, jika hujan maka irigasi akan penuh namun jika tidak hujan irigasi akan kering. Irigasi tersebut dibangun dengan dana Program Nasional Pembangunan Mandiri (PNPM). Desa Krasak memiliki jumlah penduduk sebanyak 7 119 jiwa pada tahun 2014. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Krasak adalah sebanyak 2 169 jiwa. Penduduk Desa Krasak terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 3 589 jiwa dan perempuan 3 530 jiwa (lihat Tabel 3).
27
Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut kelompok umur dan jenis kelamin Tahun 2014 Jenis Kelamin Kelompok Laki-laki Perempuan Umur Jumlah Persentase Jumlah Persentase (jiwa) (%) (jiwa) (%) 0-4 292 4.10 282 3.96 59 433 6.08 321 4.51 10 14 386 5.42 363 5.10 15-19 440 6.18 430 6.04 20-24 360 5.06 350 4.92 25-29 395 5.55 387 5.44 30-34 315 4.42 325 4.57 35-39 225 3.16 214 3.01 40-44 270 3.79 284 3.99 45-49 194 2.73 175 2.46 50-54 105 1.47 107 1.50 55-59 77 1.08 84 1.18 60-64 72 1.01 61 0.86 65-69 63 0.88 56 0.79 70 35 0.49 18 0.25 Total 3 662 51.44 3 457 48.58 Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)
Total (jiwa)
Persentase (%)
574 754 749 870 710 782 640 439 554 369 212 161 133 119 53 7 119
8.06 10.59 10.52 12.22 9.97 10.98 8.99 6.17 7.78 5.18 2.98 2.26 1.87 1.67 0.74 100.00
Tabel 3 menunjukkan jumlah penduduk Desa Krasak menurut kelompok umur. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa jumlah penduduk yang berada pada usia produktif antara 15 tahun sampai 64 tahun tergolong besar yaitu 4 870 jiwa, sedangkan jumlah penduduk usia non produktif sebesar 2 249 jiwa. Dapat diketahui dari hal tersebut bahwa penduduk usia produktif di Desa Krasa lebih banyak dari pada penduduk usia non produktif. Penduduk usia produktif dapat berpotensi sebagai modal dasar bagi pembangunan.
Kondisi Sosial dan Ekonomi Pendidikan Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh sebagian besar penduduk Desa Krasak (3 450 jiwa) termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya pendidikan di Desa Krasak diantaranya karena pada generasi petani sebelum sekarang, minat warga Desa Krasak dalam pendidikan formal kurang. Selain itu juga disebabkan oleh biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) masih tergolong tinggi (Tabel 4).
28
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut tingkat pendidikan Tahun 2014 Tingkat pendidikan
Jumlah (jiwa)
Tidak tamat SD/Sederajat Tamat SD/sederat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat Diploma Tamat Perguruan Tinggi S1 Tamat Perguruan Tinggi S2 Tamat Perguruan Tinggi S3 Total Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)
Persentase (%)
350 3 100 310 101 153 65 2 0
8.58 75.96 7.60 2.47 3.75 1.59 0.05 0
4 081
100.00
Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dengan jumlah penduduk tertinggi adalah pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Jumlah penduduk yang tamat SD pada tahun 2014 adalah 3 100 jiwa. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan formal di Desa Krasak masih rendah yakni dengan 75.96 persen penduduknya pada tingkat pendidikan SD dan 8.58 persen tidak tamat SD. Program Wajib Belajar oleh pemerintah hanya dapat dicapai oleh 15,46 warga dan hanya 5.39 persen saja dari total penduduk Desa Krasak yang memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi. Adanya perubahan minat masyarakat untuk memberikan pendidkan tinggi kepada anak belum cukup untuk membuat anak mendapatkan pendidikan tinggi. Kondisi keuangan keluarga dan biaya pendidikan yang mahal adalah kondisi yang dihadapi keluarga pertanian di Desa Krasak. Pendapatan keluarga petani yang tidak menentu mengakibatkan ketidakpastian keluarga untuk dapat memberikan pendidikan tinggi bagi anak. Namun demikian menurut hasil wawancara terhadap informan yaitu Kepala Desa, tingkat pendidikan di Desa Krasak pada masing-masing jenjang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya walaupun bukan pada jenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi. Berikut wawancara dengan informan. “...Kondisi pendidikan di Krasak meningkat dari jaman saya masih sekolah sampai sekarang. Dulu banyak teman-teman saya yang tidak sekolah, mereka nggarap sawah. Sekarang minimal pada lanjut ke SMP. Setip tahun meningkat ko Mbak. Laporan dari sekolah SD di Krasak, muridnya bertambah banyak. Orang dulu kebanyakan SD, orang tua saya juga SD, makanya cuma jadi tani. Kalau sekarang pasti orang tua ingin anaknya sukses atau jadi pegawai. Peningkatan itu misalkan begini Mbak, pada tahun 2013 anak-anak SD yang melanjutkan ke SMP hanya sekitar 60 persen, nah kalau di tahun 2014 anak-anak SD yang melanjutkan ke SMP bisa sampai 75 persen begitu pula untuk SMP ke SMA.”(Bapak S, Kepala Desa)
29
Meningkatnya jenjang pendidikan pada anak di Desa Krasak dikarenakan masyarakat telah tersosialisasi oleh pentingnya pendidikan dan berubahnya minat dan pandangan orang tua. Jika pada generasi para petani sebelumnya orang tua berpandangan bahwa tidak perlu sekolah tinggi karena anak akan meneruskan usaha pertanian orang tua maka pada generasi petani sekarang, petani cenderung menginginkan perubahan kesejahteraan keluarganya melalui tingkat pendidikan anaknya yang tinggi . Pemerintah desa telah berupaya dalam meningkatkan minat para orang tua akan pendidikan ananknya yakni dengan pembangunan kembali Sekolah Dasar Negeri 02 Krasak dengan fasilitas yang memadai. Hal tersebut membuat warga desa tidak ragu untuk memberikan pendidikan dasar untuk anak-anaknya. Selain pendidikan formal di Desa Krasak terdapat sarana pendidikan non formal. Pendidikan non formal dilaksanakan dalam bentuk pengajian. Pelaksanaan pengajian yang dimaksud adalah kegiatan belajar mengajar mengaji untuk anakanak. Pelaksanaan atau tempat belajar mengajar tersebut di rumah salah satu tokoh agama atau yang disebut dengan Ustad. Pengajian tersebut dilaksanakan setiap hari untuk anak-anak usia 7-20 tahun. Pendidikan non formal tersebut dapat menunjang kuatnya norma agama dan menjadikan anak sebagai pribadi yang baik. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk di Desa Krasak adalah sebagian besar di sektor pertanian. Hal ini didukung data bahwa pemanfaatan lahan terluas yakni kurang lebih 118.72 ha adalah untuk lahan persawahan. Selain itu dengan kondisi tingkat pendidikan di Desa Krasak yang tergolong rendah maka sebagian besar penduduk tidak dapat memiliki pekerjaan di sektor formal. Potensi yang ada pada Desa Krasak adalah lahan yang luas dan subur, hal itu dapat dimanfaatkan penduduk untuk bertani. Keluarga petani di Desa Krasak terbagi menjadi dua jenis yaitu keluarga yang seluruh anggota keluarga menjadi petani dan keluarga yang anggota keluarganya ada yang menjadi buruh tani (terdapat anggota keluarga yang bekerja di sektor lain) (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah dan persentase keluarga pertanian Desa Krasak tahun 2014 Kategori
Jumlah (keluarga)
Keluarga pertanian Keluarga yang anggotanya terdapat buruh tani Total Sumber: Profil Desa Krasak 2014
Persentase (%)
624
29.52
1 490
70.48
2 114
100.00
Tabel 5 menunjukkan jumlah dan persentase keluarga yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Terlihat bahwa walaupun sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian petani, namun tidak semua petani di Desa Krasak memiliki lahan sendiri atau menguasai lahan. Terdapat 70.48 persen keluarga yang anggotanya keluarganya memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani, jumlah ini lebih besar dari pada jumlah keluarga yang mempunyai hak
30
penguasaan lahan yakni 29.52 persen. Buruh tani di Desa Krasak disebut sebagai petani klutuk yaitu pekerja yang membantu pengolahan tanah, perawatan tanaman, pemanenan hingga pengangkutan saat penjulan hasil panen. Petani yang mempekerjakan buruh tani juga ikut bekerja di lahan atau memantau para buruh tani. Tidak semua petani yang memiliki hak penguasaan lahan di Desa Krasak menggunakan jasa buruh tani, karena lahan yang mereka kuasai tidak terlalu luas sehingga kegiatan pertanian masih dapat dikerjakan oleh petani tersebut dan keluarganya. Sebagian besar petani tidak memiliki penguasaan lahan yang luas (Tabel 6). Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan luas penguasaan lahan Pertanian Tahun 2014 Luas lahan (ha)
Jumlah (jiwa)
Persetase (%)
0.1 - 0.5
425
40.25
0.51 - 1
614
58.14
1.1 - 5
12
1.14
5.1- 10
3
0.28
> 10
2
0.19
Jumlah total penduduk 1 056 Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)
100.00
Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat 1 506 warga yang memiliki hak penguasaan lahan pertanian. Akses lahan pertanian di Desa Krasak dapat berupa penyewaan lahan, kepemilikan pribadi dan hak waris yang dibagi diantara saudara untuk digarap. Sebesar 58.14 persen petani di Desa Krasak hanya menguasai lahan seluas 0.51 ha sampai dengan 1 ha. Kemudian terdapat sebesar 40.25 persen petani di Desa Krasak yang hanya menguasai lahan pertanian seluas 0.1 sampai 0.5. Sedangkan jumlah petani yang menguasai lahan lebih dari 5 ha hanya berjumlah 5 orang (0.47 persen) dari total 1 056 petani yang memiliki hak penguasaan lahan dari total petani. Dari data tersebut dapat diketahui mayoritas petani Desa Krasak merupakan petani kecil. Petani maupun buruh tani harus memanfaatkan seluruh potensi yang ada di komunitas. Potensi tersebut dapat berupa potensi sosial maupun potensi alam. Potensi sosial dapat berupa modal sosial. Jika petani di Desa Krasak hanya memanfaatkan moda produksi dalam usaha pertaniannya, maka petani kecil akan memperoleh hasil yang tidak maksimal dalam pertanian. Potensi sosial yaitu modal sosial dapat dimanfaatkan oleh petani agar mudah mendapatkan moda produksi pertanian seperti lahan pertanian, modal awal musim, dan berbagai sarana produksi pertanian. Selain mata pencaharian petani, berdagang juga merupakan mata pencaharian yang banyak dilakukan oleh penduduk Desa Krasak. Warung-warung sembako, warung-warung kecil, usaha dagang bensin eceran, terdapat di setiap RW di Desa Krasak. Beberapa juga ada yang menjadi pedagang makanan keliling. Berdagang juga dijadikan pekerjaan sampingan selain bertani. Kemudian terdapat penduduk yang bermata pencaharian Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejumlah 62
31
orang, guru sejumlah 11 orang, pensiunan sejumlah 17 orang, Pembantu Rumah Tangga sejumlah 30 orang dan sopir angkutan umum sejumlah 30 orang (Profil Desa Krasak Tahun 2014). Pranata Sosial dan Kelembagaan Kondisi sosial dan politik serta ketenteraman dan ketertiban di wilayah Desa Krasak terbilang terkendali. Sebagian besar warga Desa Krasak adalah suku Jawa dan beragama Islam sehingga keberagaman penduduk tidak terlalu beragam. Warga masih memegang teguh norma-norma dan etika yang berlaku. Desa Krasak memiliki kelembagaan berupa kelompok tani yang berjumlah 3 kelompok. Tidak semua petani masuk dalam kelompok tani. Kelompok tani terdiri dari Kelompok Tani Unggul Tani, Bina Tani dan Sejahtera Tani. Kelompok tani mengadakan pertemuan setiap satu kali dalam dua minggu. Namun jika sedang mengadakan kegiatan, kelompok tani dapat mengadakan pertemuan sebanyak satu kali dalam seminggu. Kegiatan kelompok tani diantaranya pengadaan penyuluhan pertanian, pengadaan kegiatan lampunisasi (pemasangan lampu di areal persawahan), pelatihan pembuatan pupuk kompos dengan teknologi baru dan lain-lain. Tempat berlangsungnya penyuluhan disebut gubuk temu. Gubuk temu dimanfaatkan sebagai tempat yang digunakan petani untuk berdiskusi mengenai pertanian di Tingkat desa. Tempat tersebut dikenal sebagai dengan tempat pemecahan masalah. Petani juga berkoordinasi mengenai pemasangan lampu di gubuk temu. Pemasangan lampu adalah kegiatan yang penting untuk dilaksanakan. Pemasangan lampu pada areal persawahan (lampunisasi) dilakukan pada minggu keempat bulan April sebelum bibit bawang merah ditanam sampai dengan bulan juni saat bawang merah siap dipanen. Dana pelaksanaan lampunisasi berasal dari iuran sukarela para petani yang memiliki lahan garapan sawah di areal persawahan Desa Krasak. Kelompok tani Unggul Tani mencoba mempermudah anggotanya untuk pembayaran iuran lampunisasi menggunakan uang hasil tabungan para anggotanya. Biaya untuk lampunisasi dapat terbilang besar namun petani dapat membayar iuran tersebut dalam dua periode. Pemasangan lampu bertujan untuk mengurangi hama berupa serangga yang menyerang pada malam hari. Pemasangan lampu dilaksanakan pada musim bawang merah pada bulan April karena pada musim tersebut harga bawang merah cenderung tinggi. Pada musim tersebut tanah dan cuaca sangat mendukung untuk perkembangan bawang merah. Pemasangan lampu pada pelaksanaannya dilakukan secara gotong royong oleh warga desa terutama petani. Petani melakukan gotong rotong dalam RW masing-masing. Kelompok tani yang ada pada setiap RW mengatur pelaksanaan pemasangan lampu. Ada tiga generator yang digunakan untuk menyalakan lampu dimana di setiap RW disediakan satu generator. Selain para petani yang bergotong-royong, kegiatan tersebut harus didukung dengan pekerja atau teknisi listrik. Setelah lampu terpasang, maka setiap malam hari akan dinyalakan oleh petani yang bertugas menjaga generator. Penjagaan generator oleh petani dilakukan secara bergiliran. Warga Desa Krasak memiliki budaya atau kebiasaan yang masih dilakukan terkait dengan mata pencaharian khususnya petani. Budaya tersebut adalah “Sedekah Bung” atau sedekah bumi, budaya ini dilakukan pada setiap satu tahun
32
sekali yaitu pada awal bulan Oktober. Budaya sedekah bung dilakukan pada bulan Oktober karena pada bulan tersebut dimulainya musim penghujan. Maka petani harus bersyukur dan meminta berkah. Kegiatan adat ini didahului dengan pembacaan doa bersama sebagai rasa syukur atas musim penghujan dan hasil pertanian yang didapat satu tahun terakhir. Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan kambing dan berbagi nasi serta lauk-pauknya. “Sedekah Bung” dilakukan di tanah lapang yang berada di tengah persawahan yang bernama “Blok Pung”.
Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 responden. Empat puluh responden tersebut merupakan kepala rumah tangga pertanian. Petani di lokasi penelitian adalah petani sawah yang melakukan penanaman berbagai komoditas pertanian dengan waktu tertentu. Berikut penjelasan tentang profil responden. Pendidikan Responden Pendidikan warga di Desa Krasak tergolong rendah hal ini berkaitan dengan minat anak dan orang tua. Sebagian besar warga adalah petani yang pada generasinya tidak diberikan pendidikan tinggi oleh orang tuanya. Orang tua petani pada saat itu juga bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian besar warga yang memiliki mata pencaharian sebagai petani diwariskan turun temurun sesuai dengan pewarisan tanah atau pun mengikuti orang tua sebagai buruh tani. Pertanian merupakan sektor informal yang tidak mengharuskan petani mempunyai pendidikan formal yang tinggi (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan Kategori Pendidikan Rendah (tidak tamat SD dan tamat SD atau sederajat) Sedang (tamat SLTP atau sederajat) Tinggi (Tamat SLTA atau sederajat dam tamat Perguruan Tinggi) Total
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
30
75.0
3
7.5
7
17.5
40
100.0
Pendidikan sebagian besar responden tergolong rendah yaitu terdapat 75 persen responden dari total 40 responden yang termasuk dalam kategori tidak tamat SD dan tamat SD atau sederajat. Tingkat pendidikan pada kategori tinggi hanya memiliki persentase 17.5 persen. Responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tersebut memilih bekerja sebagai petani karena melihat peluang komoditas bawang merah yang dapat mendatangkan keuntungan. Selain itu walaupun responden tidak memiliki lahan sawah, namun telah tersedia kapling
33
lahan yang ditawarkan untuk disewa. Terdapat satu responden pensiunan Pegawai Negeri Sipil yang bekerja sebagai petani sawah. Sebanyak 75 persen responden termasuk dalam kategori pendidikan rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah biaya pendidikan tingkat SLTP dan SLTA yang mahal dan minat warga yang cenderung tidak ingin melanjutkan pendidikan karena ingin menggarap sawah orang tua. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh salah satu responden. “...Pendidikan terakhir saya SD Mbak. Istri juga SD. Dulu mau lanjut SMP tapi enggak tau harus bagaimana. Orang dulu pada nggak tau. Orang tua saya tani Mbak, jadi saya bantu-bantu orang tua.”(Bapak K, Petani) Generasi petani atau masyarakat sebelumnya belum tersosialisasi dan sadar akan pendidikan menengah atau pun pendidikan tinggi. Masyarakat merasakan sudah cukup untuk bisa baca tulis sehingga pendidikan sebagian besar masyarakat hanya pada tingkat SD. Mata pencaharian responden Mata pencaharian responden selain sebagai petani, terdapat beberapa responden yang memiliki mata pencaharian sampingan atau lainnya. Berikut tabel jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian lain selain petani (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian lain selain petani Mata pencaharian lain Tidak mempunyai pekerjaan lain Pedagang Buruh bangunan Pensiunan Total
Jumlah (jiwa) 25 8 6 1 40
Persentase (%) 62.5 20.0 15.0 2.5 100.0
Tabel 8 menunjukkan bahwa 62.5 persen responden tidak memiliki mata pencaharin lain selain petani. Hal ini menunjukkan kehidupan 62.5 persen responden sangat bergantung pada hasil panen komoditas sawah. Komoditas sawah yang dapat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga petani di Desa Krasak adalah bawang merah yang harganya berfluktuatif. Terdapat responden yang memiliki mata pencaharian lain. Sebesar 20 persen responden mempunyai pekerjaan sampingan pedagang terdiri dari pedagang toko kelontong dan pedagang bawang merah. Selain itu terdapat 15 persen atau 6 responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan. Responden yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh bangunan akan lebih banyak mendapat pekerjaan tersebut pada bulan Juli, Agustus dan September atau pada bukan bulan musim bawang merah.
34
35
ANALISIS MODAL SOSIAL RUMAH TANGGA PETANI
Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani di Desa Krasak merupakan interaksi yang dibangun dari kehidupan sehari-hari. Interaksi tersebut dapat terjadi antar petani dalam satu desa maupun dengan desa yang lain, antara petani dengan tengkulak, antara petani dengan distributor kebutuhan pertanian, pemerintah, atau petani dengan lembaga pendukung pertanian seperti lembaga perbankan. Woolcock (2001) dalam Field (2010) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga tipe hubungan, yaitu: (1) modal sosial yang mengikat (social bounding), (2) modal sosial yang menjembatani (social bridging), dan (3) modal sosial yang menghubungkan (social linking). Analisis modal sosial berdasarkan tipe-tipe modal sosial akan lebih jauh dipaparkan dalam bagian ini.
Kondisi Social Bounding pada Rumah Tangga Petani Menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), social bounding dapat berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Hal tersebut mencerminkan adanya kekerabatan yang dilihat dari pelaksanaan berbagai normanorma sosial yang ada pada masyarakat. Penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa suatu masyarakat tergolong lebih memanfaatkan social bounding adalah Suandi (2007), Rustanto (2007) dan Pontoh (2010). Suandi (2007) menyimpulkan demikian karena melihat variabel kepercayaan masyarakat. Jumlah responden pada variabel kepercayaan tersebut besar pada kategori kepercayaan sangat tinggi dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut relevan apabila penelitian ini menggunakan indikator kepercayaan sebagai penyumbang konsep social bounding. Analisis social bounding ini menggunakan indikator tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial. Hasil penelitian ini menunujukan frekuensi dan persentase masing-masing indikator tergolong sedang atau cukup baik. Tingkat Kepercayaan Tipe modal social bounding memiliki karakteristik adanya ikatan yang kuat dan mengikat, maka indikator kepercayaan relevan digunakan untuk melihat ikatan kuat yang ada dalam masyarakat. Kepercayaan yang ada dalam masyarakat petani di Desa Krasak dapat berupa perasaan yakin yang terbangun antara petani atau dengan orang lain, bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari atau dapat pula dalam kegiatan pertanian. Jumlah dan persentase indikator tingkat partisipasi tergolong sedang (Tabel 9).
36
Tabel 9 Jumlah dan peresentase responden menurut tingkat kepercayaan Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 8 26 6 40
Persentase (%) 20 65 15 100
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah responden pada kategori sedang sebanyak 26 responden dengan persentase 65 persen. Sedangkan untuk kategori tingkat kepercayaan tinggi terdapat 8 responden dengan persentase 20 persen. Tingkat kepercayaan petani Desa Krasak tergolong sedang dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari petani yaitu kesediaan berbagi pengalaman antar petani. Kesediaan berbagi pengalaman antar petani tergolong tinggi, namun untuk beberapa petani di Desa Krasak kesediaan melakukan saran petani lain mengenai permasalahan pertanian dapat dikatakan tidak terlalu tinggi. Sehingga indikator kepercayaan antar sesama tergolong sedang. Penyebab kurangnya kesediaan untuk melakukan saran dalam bidang pertanian salah satunya adalah pada saran penggunaan pupuk dan pestisida. Petani di Desa Krasak selektif terhadap penggunaan jenis pestisida maupun pupuk. Petani sangat berhati-hati dalam memilih jenis pestisida karena menurut pengalaman petani jika petsni langsung melakukan saran petani lainnya belum tentu hasil panen akan meningkat. Setelah diberi saran maka petani tidak langsung melakukan saran tersebut, melainkan masih mempertimbangkannya. Seperti yang dikemukakan salah satu responden berikut ini. “..Kalau ada teman bawangnya bagus, kadang saya tanya pakai pupuk apa? Obatnya apa? Kadang dijawabnya jenis obat baru dari PT. Saya belum tahu obat itu jadi saya tanya lagi ke yang lainnya.”(Bapak W, petani) Kesediaan memberi dan melakukan saran menjadi hal yang penting dalam kepercayaan antar petani. Sebagian besar petani bersedia memberikan saran. Saling bertukar saran dalam masalah pertanian oleh petani dilakukan saat berbincang dan beristirahat di sawah. Dalam hal berinteraksi antar sesama petani, petani di Desa Krasak tergolong sering berinteraksi. Interaksi tersebut tercermin seringnya petani berbincang dan beristirahat bersama saat bekerja di sawah. Berikut wawancara dengan responden. “Saya pasti ngbrol-ngobrol Mbak. Apa lagi di Sawah saat ngaso, kumpul bareng, ya tukar pikir lah. Kadang saya cerita hama yang ditemuin pas di sawah tadi apa saja.” (Bapak W, petani) Tingkat kepercayaan juga dapat dilihat dari pemenuhan tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah memberi saran tentang pertanian dengan benar kepada petani lain dalam artian petani tidak berbohong dalam memberikan saran. Dalam penjualan hasil pertanian petani memang bersaing untuk
37
mendapatkan harga yang tinggi, namun dalam perawatan tanaman petani bersidia memberikan saran yang berdasarkan pengalamannya dapat meningkatkan hasil panen. Bentuk tanggung jawab lainnya adalah petani akan melaksanakan tugastugas yang diterimanya di organisasi maupun di masyarakat. Uraian hal-hal tersebutlah memberi sumbangsih terhadap analisis tingkat kepercayaan antar sesama petani yang tergolong dalam kategori sedang. Tingkat Kepatuhan pada Norma Sosial Tingkat kepatuhan pada norma sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan petani terhadap tata aturan yang ada di masyarakat, dapat berupa nilai adat atau budaya lokal. Norma sosial tersebut dapat terlihat dari tingkat kepatuhan pada peraturan adat istiadat maupun nilai budaya, tingkat kepatuhan terhadap norma agama. Salah satunya adalah kegiatan gotong-royong yang diadakan di desa. Gotong-royong di Desa Krasak dilaksanakan saat pembangunan jalan lingkungan, perayaan HUT-RI, dan acara-acara desa lainnya. Tingkat kepatuhan pada norma sosial rumah tangga petani berada pada kategori sedang (Tabel 10). Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan pada norma sosial Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 6 28 6 40
Persentase (%) 15 70 15 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase tingkat kepatuhan pada norma sosial tergolong pada kategori sedang. Jumlah responden pada kategori sedang adalah sebanyak 28 responden dengan persentase 70 persen. Sedangkan untuk kategori kuat persentasenya adalah 5 persen. Tingkat kepatuhan norma sosial berada pada kategori sedang dapat dilihat dari intensitas masyarakat melakukan ide adat atau tradisi, salah satunya adalah sedekah bumi. Sedekah bumi rutin dilaksanakan pada setiap bulan Oktober. Sedekah bumi tersebut lebih dikenal dengan sedekah bung. Pelaksanaannya sedekah bung dimulai dari penarikan iuran untuk disumbangkan. Iuran tersebut untuk keperluan sedekah bumi diantaranya yaitu kambing dan makanan lainnya. Iuran tersebut sudah menjadi norma dalam kehidupan masyarakat. Kemudian pada saat kegiatan warga bersama-sama membawa sedekah untuk berdoa ke tanah lapang di dekat persawahan yang disebut dengan blok pung. Namun tidak semua warga mengikuti dalam acara sedekah bung, beberapa warga lebih memilih hanya berpartisipasi dengan memberikan uang iuran saja. hal ini lah yang memberikan sumbangsih bahwa tingkat kepatuhan pada norma, sehingga tergolong dalam kategori sedang. Berikut salah satu responden yang tidak ikut serta dalam kegiatan sedekah bumi karena bertentangan dengan ajaran agama.
38
“..Saya cuma iuran, kalau ke blok pung saya tidak ikut. Memang acaranya juga pengajian Mbak, tapi ini bertentangan dengan Agama Islam Mbak, Nanti saya musyrik” (Bapak A, petani) Norma agama yang dilihat dalam tingkat kepatuhan terhadap norma adalah norma hadir dalam tahlilan (berdoa bersama untuk orang meninggal) dan jamiahan (pengajian yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan rutin pada waktu tertentu) yang diadakan di lingkungan setempat. Hampir setiap hari dilaksanakan jamiahan di Desa Krasak, namun pelaksananya adalah berbagai kelompokkelompok pengajian baik kelompok perempuan atau kelompok laki-laki. Petani dapat mengikuti jamiahan sebanyak 3-6 kali dalam satu bulan. Tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial mempengaruhi tingkat social bounding yang ada di masyarakat. Analisis sebelumnya memaparkan bahwa pada rumah tangga petani Desa Krasak, tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma berada pada kategori sedang karena beberapa hal. Demikian pula untuk persentase tingkat social bounding atau modal sosial yang mengikat (Tabel 11) Tabel 11 Jumlah dan persentase rumah tangga petani menurut tingkat social bounding Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 8 26 6 40
Persentase (%) 20 65 15 100
Tabel 11 menunjukan bahwa rumah tangga petani di Desa Krasak mempunyai tingkat social bounding yang tergolong dalam kategori sedang. Rumah tangga petani yang tergolong sedang berjumlah 26 rumah tangga dengan persentase 65 persen. Kemudian untuk kategori social bounding tinggi berjumlah 8 rumah tangga dengan persentase 20 persen. Sedikitnya jumlah responden yang berada pada kategori tinggi dapat dikarenakan berkurangnya norma kekerabatan yang ada pada masyarakat. Ikatan yang terbagun diantara petani tidaklah sekuat pada tahun 1990an yaitu dilihat dengan tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat ketua Gapoktan Desa. “...Petani di Desa Krasak bisa dikatakan merupakan petani mandiri mbak. Dulu saat tahun 1990an disini selain bawang juga menanam cabe merah. Cabe merah disini bagus, ada yang dikirim ke luar. Saat itu petani masih sering keliatan rewang-rewang ngolah sawah dan panen. Kalau sekarang masalah saling pinjam alat, meminjam modal antar petani itu sudah jarang. Walaupun mungkin pasti masih ada yang meminjam modal, tapi pasti sama keluarga.” (A W, ketua Gapoktan)
39
Namun demikian, nilai-nilai kekeluargaan masih dilaksanakan seperti membantu petani yang gagal panen, membantu keluarga atau tetangga yang sedang menikahkan anaknya. Hal tersebut mencirikan social bounding yakni hubungan masyarakat yang masih satu keluarga yang tinggal dalam satu wilayah maupun antar keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Pada masyarakat Desa Krasak banyak terdapat warga yang masih satu kerabat atau masih bersaudara. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu responden berikut ini. “...Saudara saya banyak di sini Mbak, adik-adik saya juga nggarap sawah di sini. Rata-rata disini juga sawah keluarga jadi banyak disini yang masih satu keluarga” (SN, petani dan pedagang bawang merah) Hubungan kekerabatan ini dapat menyebabkan adanya rasa empati atau kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas. Rasa empati pada masyarakat masih melekat, setiap Rukun Tangga (RT) mengkoordinir warga untuk menjenguk apabila terdapat warga yang sakit serta memberikan uang santunan. Meskipun dikoordinir oleh lembaga Rukun Tangga namun warga memiliki rasa empati dan rasa berkewajiban untuk membantu warga yang sedang mengalami musibah. Selain dari hubungan kekerabatan, norma-norma sosial yang termasuk dalam unsur social bounding yang ada pada masyarakat Desa Krasak dapat tercermin pada kebiasaan, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Pada norma tradisi adat, umumnya masyarakat akan melaksanakan Sedekah Bung dari rangkaian acara awal hingga akhir namun pada lima tahun terakhir masyarakat yang mengikuti rangkaian acara tidak banyak. Hal tersebut mengindikasikan adanya kerenggangan atau melemahnya kepatuhan pada norma tradisi atau adat.
Kondisi Social Bridging pada Rumah Tangga Petani Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) menjelaskan bahwa social bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada di dalamnya sehingga memutuskan untuk membangun kekuatan dari luar dirinya. Wilayah cakupan social bridging lebih luas dari social bounding karena dapat bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok kepentingan. Kemudian Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) melanjutkan, social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Sehingga dapat terlihat tujuan dari social bridging adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Berkaitan dengan tujuan dari social bridging maka pengembangan potensi dari rumah tangga petani maka interaksi sosial yang perlu dilihat adalah kuatnya jaringan, tingkat solidaritas dan tingkat partisipasi dalam organisasi.
40
Kuatnya Jaringan Pengukuran kuat jaringan rumah tangga petani di Desa Krasak dilakukan dengan melihat beberapa hal seperti jaringan kerja sama antar pertani, tingkat keterbukaan informasi dan kebermanfaatan asosiasi atau orgasasi kelompok tani. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kuat jaringan yang dimiliki oleh rumah tangga petani yang ada di Desa Krasak berada pada kategori sedang (Tabel 12). Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut kuatnya jaringan Kategori Kuat Sedang Lemah Total
Jumlah (jiwa) 7 26 7 40
Persentase (%) 17.5 65.0 17.5 100.0
Tabel 12 menunjukkan bahwa kuatnya jaringan pada rumah tangga petani tergolong sedang dengan persentase 65 persen. Berdasarkan hasil penelitian Kuatnya jaringan petani yang tergolong sedang disebabkan oleh hubungan kerja sama oleh petani dengan petani lain. Bentuk-bentuk kerja sama petani antara lain penyewaan lahan sawah pada pemilik lahan, saling meminjamkan sarana produksi, maupun kerja sama menanamkan modal bersama. Kerja sama tersebut adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya. Dalam bekerja sama petani sudah saling bersepakat dalam aturan menjalani kerja sama. Kesepakatan antara pemilik lahan dan petani dibuat pada saat petani akan menyewa lahan. Harga sewa lahan per bau atau ¾ Ha berkisar antara 8 juta hingga 12 juta per tahun. Kuatnya jaringan termasuk dalam kategori sedang dapat dilihat pada kebermanfaatan asosiasi kelompok tani. Kelompok tani merupakan jaringan yang dapat dimanfaatkan sebagai wadah petani bernaung, mendapatkan informasi dan bekerja sama antar petani. Namun terdapat lebih dari 50 persen responden yang mengatakan bahwa dirinya tidak tergabung dalam kelompok tani. Hal ini dikarenakan tidak ada keinginan petani untuk tergabung dalam kelompok tani selain itu terdapat responden yang tidak menerima informasi mengenai cara tergabung dalam kelompok tani. Terdapat responden yang tidak merasakan manfaat dari keberdaan kelompok tani karena kelompok tani dinilai belum maksimal mewadahi petani di Desa Krasak. Kemudian terdapat pula petani yang telah tergabung namun tidak mendapatkkan kredit sarana produksi pertanian. Hal ini memberikan anggapan bahwa keanggotaannya pada kelompok tani belum memberikan kemajuan pada usaha pertaniannya. Berikut wawancara dengan responden tersebut. “...Iya, saya anggota Unggul Tani, tapi belum ada kredit untuk sarana pertanian. Sebetulnya yang paling dibutuhkan ya pupuk murah sama cangkul yang sering hilang..” (Bapak H, petani)
41
Adanya anggapan-anggapan seperti yang diungkapkan oleh Bapak H, dapat menyebabkan tidak dirasakannya manfaat organisasi Kelompok tani di Desa Krasak sehingga para petani pun tidak tertarik untuk ikut dalam organisasi kelompok tani. Paparan hasil penelitian tersebut menyebabkan kuatnya jaringan tergolong pada kategori sedang. Tingkat Solidaritas Rumah Tangga Petani Tingkat solidaritas yang ada pada rumah petani Desa Krasak dapat dilihat dari hubungan pertemanan diantara pertani yang erat, yakni melihat sejauh mana rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Rasa kebersamaan tersebut menyangkut tentang kesetiakawanan antara individu petani dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat solidaritas rumah tangga petani Desa Krasak tergolong sedang (Tabel 13). Tabel 13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat solidaritas Kategori
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Tinggi
7
17.5
Sedang
27
67.5
Rendah
6
15.0
40
100.0
Total
Tingkat solidaritas rumah tangga petani tergolong sedang dengan persentase sebesar 67.5 persen. Tingkat solidaritas yang tergolong sedang dapat dilihat dari solidarty making, yaitu seberapa jauh keinginan petani untuk membuat hubungan kekerabatan antar petani. Responden menyatakan bahwa mereka berkeinginan untuk berteman dengan petani lain. Kemudian dalam menjalani hubungan pertemanan atau kekerabatan antar petani, petani berteman baik atau tidak ingin memicu perselisihan. Petani menghindari hal-hal yang akan menimbulkan perselisihan. Petani Desa Krasak lebih memilih mendiskusikan permasalahan dan mengambil keputusan secara mufakat. Seperti pernyataan responden berikut. “..Kalau ada acara, orang-orang sini berdiskusi Mbak. Kadang bikin rapat dadakan buat acara-acara pertanian. Tidak ada perselisihan yang terjadi kok Mbak. Permasalahan yang meresahkan ya paling harga bawang Mbak..” (Bapak H. Petani) Sehingga keadaan kehidupan sosial atau kehidupan sehari-hari petani dalam kondisi tenang. Indikator lainnya adalah sejauh mana petani memiliki rasa kebersamaan atau perasaan senasib. Jika terdapat petani yang sedang mengalami permasalahan, petani lain cenderung akan membantu. Namun terdapat hambatan yaitu jarangnya petani-petani tertentu menceritakan permasalahan yang sedang dihadapinya. Sehingga petani maupun kelompok tani tidak tahu dan tidak dapat membantu.
42
Tingkat solidaritas tergolong sedang disebabkan oleh keadaan pasca panen. Para petani tidak berdiskusi mengenai permasalahan penjualan hasil panen. Para petani cenderung menunggu pembeli/pengepul dengan tawaran harga beli tertinggi. Tidak ada kelembagaan atau diskusi petani yang dapat memfasilitasi hasil panen. Sehingga petani tidak dapat memecahkan permasalahan murahnya harga bawang merah jika harga sedang turun. Hal tersebut menjadi sumbangsih sedangnya solidaritas petani. Indikator tingkat solidaritas yang lainnya yang mempengaruhi sedangnya solidaritas adalah kepekaan terhadap kemajuan pertanian desa sejauh mana petani memiliki rasa ingin mengembangkan pertanian desa. Wujud dari solidaritas ini adalah berkaitan langsung dengan reputasi Desa Krasak sebagai salah satu desa penghasil bawang merah dengan tonase terbaik. Pada saat mendekati musim tanam bawang merah, petani yang peduli akan hasil panen desa, berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan. Sehingga petani menerima informasi mengenai bibit yang baik pada musim itu. Mengenai hasil panen tidak pernah ada gagal panen besar dalam skala desa. Selain itu terdapat lampunisasi yaitu pemasangan lampu pada persawahan di Desa Krasak. Lampunisasi bertujuan untuk meminimlisir serangan hama berupa serangga pada malam hari. Lampunisasi dilakukan oleh warga secara sukarela dan bergotong royong. Dana dari kegiatan ini didapatkan dari dana iuran petani atau warga yang lahan sawahnya berada di Desa Krasak. Partisipasi dalam Organisasi di Lingkungan Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012), yang mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial, salah satunya yaitu participation in a network. Selanjutnya Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012) menyatakan participation in a network adalah kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Tabel 14 Jumlah dan persentase responden menurut tinggi rendahnya partisipasi dalam organisasi Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 7 26 7 40
Persentase (%) 17.5 65.0 17.5 100.0
Tabel 14 menunjukkan bahwa partisipasi rumah tangga petani dalam organisasi tergolong sedang dengan persentase 65 persen. Sedangnya tingkat partisipasi petani Desa Krasak dalam kelembagaan lingkungan dilihat dari keikutsertaan petani dalam lembaga. Keikutsertaan petani dalam lembaga di
43
keseharian komunitas petani juga tergolong tidak tinggi. Rata-rata petani hanya ikut serta dalam satu atau dua organisasi di lingkungannya. Organisasi formal dan informal atau kelembagaan yang banyak diikuti oleh petani adalah kelompok pengajian atau jamiahan. Jamiahan merupakan kelembagaan yang berasal dari norma agama. Seluruh warga Desa Krasak beragama Islam, sehingga pelaksanaan norma agama sangat penting. Hampir setiap hari ada kegiatan jamiahan, selain untuk menjalankan norma agama, kegiatan ini dapat menjadi modal untuk tempat saling bertukar informasi. Sedangkan kelembagaan formal yaitu kelompok tani dianggap tidak dapat memberi kemajuan pada pertanian. Sehingga petani yang tergabung dalam kelompok tani sedikit. Indikator lainnya adalah keaktifan dalam pertemuan yaitu sejauh mana petani mengikuti kegiatan dalam kelembagaan formal maupun informal. Petani sering mengikuti kegiatan pengajian yaitu 4 sampai 6 kali dalam satu bulan, namun untuk kegiatan rapat RT/RW hanya petani yang berkepentingan dalam masalah yang dibahas saja yang aktif hadir. Hal tersebut menjadi salah satu penyumbang bahwa tingkat partisipasi dalam organisasi (kelembagaan formal/informal) tergolong sedang. Kemudian indikator selanjutnya adalah pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dimaksudkan adalah sejauh mana petani terlibat dalam pengambilan keputusan dalam kelembagaan formal maupun informal. Pada pengambilan keputusan, responden mengatakan bahwa mereka selalu diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat. Terdapat 40 persen responden yang sering (4 sampai 5 kali dalam satu bulan pertemuan) menyampaikan pendapatnya dan pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Partisipasi dalam organisasi mendukung ruang lingkup social bridging yaitu menggali potensi dan memaksimalkan kekuatan, dalam konteks ini adalah potensi dan kekuatan sosial. Partisipasi petani dalam organisasi di lingkungan dapat menjembatani petani untuk mengembangkan potensi karena dengan ikut serta dalam organisasi, petani memperoleh informasi dan keuntungan yang lebih yaitu dengan memiliki jaringan yang lebih luas. Berdasarkan indikator social bridging yang telah dipaparkan maka dapat diketahui social bridging yang ada pada rumah tangga petani di Desa Krasak. Tingkat social bridging pada rumah tangga petani Desa Krasak berada pada kategori sedang. Selain dapat diketahui melalui pemaparan indikator, hal tersebut dapat diketahui dari akumulasi skor social bridging (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat social bridging Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 7 26 7 40
Persentase (%) 17.5 65.0 17.5 100.0
Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat social bridging rumah tangga petani Desa Krasak tergolong dalam kategori sedang atau cukup baik dengan persentase 65 persen. Kategori tinggi dan sedang memperoleh persentase yang sama yaitu
44
17.5 persen. Baik kuatnya jaringan, tingkat solidaritas maupun tinggi rendahnya partisipasi dalam organisasi, rumah tangga petani tergolong dalam kategori sedang. Social bridging merupakan modal sosial yang berperan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Kondisi social bridging di komunitas petani Desa Krasak sudah cukup baik namun perlu pengembangan yang lebih baik lagi agar potensi-potensi yang ada dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan (sosial maupun ekonomi) komunitas.
Kondisi Social Linking pada Rumah Tangga Petani Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) mengemukakan tipe modal sosial yang terakhir adalah social linking (modal sosial yang menghubungkan) yaitu dapat berupa hubungan. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Kemudian Nuryadin (2009) lebih menegaskan pendapat Woolcock yaitu social linking lebih memberikan perhatian kepada hubungan yang bersifat vertikal dengan para aktivis partai, kelembagaan dan pengambil keputusan. Hal tersebut dapat digambarkan pada penelitian Nuryadin (2009) yakni hubungan antara nelayan suku Bajo dengan lembaga perbankan atau pemerintah yang dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan produksi dan memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional. Social linking diukur dari tingkat kebergantungan rumah tangga petani pada luar komunitas dan tingkat kepentingan rumah tangga petani pada kelembagaan luar komunitas. Tingkat Kebergantungan Tingkat kebergantungan rumah tangga petani pada luar komunitas yang akan dipaparkan adalah sejauh mana petani mengandalkan komunitas luar desa untuk mendukung kegiatan pertaniannya. Sebuah sistem masyarakat pertanian di dalamnya terdapat berbagai pihak-pihak yang menentukan kehidupan komunitas pertanian tersebut. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kebergantungan Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 8 26 6 40
Persentase 20 65 15 100
45
Tingkat kebergantungan rumah tangga petani tergolong dalam kategori sedang dengan persentase 65 persen. Tingkat kebergantungan yang tergolong sedang dapat terlihat dari tingkat akses moda produksi, yaitu bagaimana petani mendapatkan modal dan sarana produksi pertanian untuk usaha pertaniannya. Petani mendapatkan modal awal setiap musimnya dari berbagai sumber yaitu dari lembaga peminjaman/perbankan atau dari tabungan sendiri. Petani yang menggunakan modal dari tabungan sendiri berarti memiliki tingkat kebergantungan yang rendah terhadap komunitas luar. Petani yang menggunakan modal dari tabungan yakni petani yang masih memiliki keuntungan yang berlebih untuk melanjutkan kegiatan bertani ke musim berikutnya. Seperti salah satu responden berikut: “..Ini sekitar pertengahan maret kan mau pada tanam, sekarang saya harus sudah tahu apakah tabungan cukup atau tidak. Setiap musim kalau sedang stabil saya pakai uang tabungan saja. Kalau ditambah pinjam pusing Mbak” (Bapak W, petani dan pedagang bawang) Tidak sedikit petani yang memiliki uang tabungan atau keuntungan hasil panen musim sebelumnya tidak cukup untuk modal awal musim berikutnya. Maka tidak ada pilihan lain selain bergantung pada kerabat atau lembaga perbankan untuk meminjam modal. Petani yang melakukan peminjaman pada kerabat adalah petani yang kesulitan akses modal di perbankan dan petani yang hanya membutuhan tambahan modal sedikit. Sedangkan petani yang memilih meminjam modal di Bank adalah petani yang telah tersosialisasi dengan tata cara aturan peminjaman di Bank dan memang petani tersebut membutuhkan modal yang besar. Petani yang pernah melakukan peminjaman modal di Bank mengaku tidak ada kesulitan untuk melakukan transaksi peminjaman dan pengembalian di setiap musimnya. Seperti yang dikemukakan responden berikut. “..Saya ke Brebes kalau mau pinjam modal Mbak, di BRI. Kalau tidak begitu tidak bisa tanam bawang. Nanti pas panen dua bulan kalau udah ada yang beli, bisa ditutup. Seperti itu Mbak.” (Bapak K, petani) Pernyataan responden tersebut juga didukung oleh informasi yang didapatkan dari informan berikut. “...Setahu saya petani besar maupun petani kecil modal awal musim akan meminjam di Bank.Jika harga bawang normal, keuntungannya tidak bisa dijadikan modal. Memang ada keuntungan. Tapi modal tanam itu besar mbak. Untuk bibit dan pestisida itu yang paling banyak belum lagi ditambah upah dan konsumsi pekerja.”(Bapak AW, Petani dan ketua Gapoktan) Selain itu akses moda produksi lainnya dapat dilihat pada petani yang mendapatkan atau membeli sarana pertanian. Sebagian besar petani mendapatkan pupuk dan pestisida dari penyuplai yang berada di dalam Desa. Hal ini menunjukkan kebergantungan pada luar komunitas dalam hal mendapatkan pupuk rendah. Sehingga hal tersebut dapat menjadi sumbangsih sedangnya tingkat
46
kebergantungan. Toko pupuk atau penyuplai di dalam desa memperbolehkan petani ingin untuk berhutang dahulu. Sistem pembayaran hutang tersebut petani dapat mengambil seluruh pupuk dengan berhutang atau pun dengan sistem pembayaran setengahnya dahulu. Tingkat kebergantungan rumah tangga petani dapat dilihat dari cara pemasaran hasil pertanian. Cara pemasaran hasil pertanian adalah cara yang dilakukan petani untuk menjual hasil pertaniannya. Dalam mengetahui harga bawang merah maupun hasil pertanian lainnya. Petani mengetahuinya dari pengepul dan dari informasi harga pasar dari media informasi. Namun sebagian besar petani hanya mengetahui dari pengepul saja. Begitu pula dengan penetapan harga, petani akan menawar harga per kilogram bawang merah dari harga yang ditentukan pengepul terlebih dahulu. Selanjutnya terdapat proses tawar menawar antara petani dan pengepul. Berikut pernyataan informan. “..petani sini jarang bisa nawar tinggi. Seringnya nyerah Mbak. Paling kalau bawang merah lagi naik tinggi baru bisa sedikit nawar tinggi dan dibolehkan sama tengkulak. Itu pun petani besar, yang tertentu saja..”(Bapak AW, Ketua Gapoktan) Menurut informan yaitu ketua Gapoktan pada proses tawar menawar petani cenderung lemah. Rantai penjualan hasil pertanian di Desa Krasak dimulai dari petani yang menjual hasil pertanian pada tengkulak besar, rata-rata tengkulak akan menggunakan jasa perantara (calo). Sehingga perantara dapat saja menawarkan harga yang sangat rendah. Perantara akan mendapatkan upah dan juga tidak sedikit keuntungan yang disebabkan oleh harga beli rendah. Tengkulak besar akan menjual hasil pertanian tersebut pada tengkulak kecil dan selanjutnya dapat di pasarkan pada konsumen. Tingkat Kepentingan Tingkat kepentingan adalah kebutuhan atau keinginan petani untuk berhubungan dengan pihak berpengaruh sehingga mendorong tindakan yang akan diambil oleh petani. Pihak-pihak berpengaruh tersebut adalah lembaga peminjaman modal non formal, lembaga peminjaman modal non formal dan penyuluh atau pemerintah. Tingkat kepentingan dapat dilihat dari sejauhmana petani merasa perlu untuk berinteraksi atau memanfaatkan kelembagaan tersebut. Petani memiliki kepentingan yang berbeda pada pihak-pihak tersebut bergantung pada kebutuhan petani dalam menjalankan usaha pertanian (Tabel 17). Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 5 31 4 40
Persentase (%) 12.5 77.5 10.0 100.0
47
Tabel 17 menunjukkan tingkat kepentingan rumah tangga petani tergolong dalam kategori sedang dengan persentase 77.5 persen. Tingkat kepentingan tergolong sedang dapat dilihat dari sejauh mana pemanfaatan lembaga peminjaman modal formal dan non formal. Lembaga peminjaman modal non formal, tidak dimanfaatkan sebagian besar petani. Karena jumlah modal yang ditawarkan sedikit dan jangka waktunya pendek. Petani yang memanfaatkan kelembagaan ini adalah petani yang membuka toko klontong di rumahnya, yaitu untuk keperluan menambah stok barang dagangan yang dijual. Sedangkan kelembagaan peminjaman formal dibutuhkan sebagian besar petani atau petani berkepentingan terhadap lembaga peminjaman formal. Selain dapat meminjam modal dalam jumlah yang besar, syarat yang diajukan juga tergolong tidak rumit. Petani meminjam modal dengan syarat jaminan surat BPKB kendaran bermotor. Petani meminjam dengan jangka waktu musiman yakni kategori enam bulan atau pun satu tahun. Jika harga bawang merah sedang menurun dan petani tidak mendapatkan keuntungan, petani dapat memperpanjang masa peminjaman atau waktu pengembalian uang mundur. Rata-rata petani meminjam pada kelembagaan peminjaman formal (perbankan) berkisar antara 10 juta hingga 70 juta pertahun. Selain dari pemanfaatan lembaga peminjaman, sedangnya tingkat kepentingan dapat dilihat dari pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian. Manfaat lembaga penyuluhan dapat dirasakan petani, yaitu dalam bentuk sosialisasi berbagai macam sarana pertanian, pembudidayaan maupun sosialisasi kebijakan baru. Namun tidak seluruh petani merasakan langsung manfaatnya. Menurut ketua Gapoktan, pertemuan dalam rangka penyuluhan tersebut tidak rutin dilaksanakan. Pelaksanaannya kurang efektif karena jumlah petani di Desa Krasak besar namun penyuluhan dilakukan dalam tingkat desa bukan tingkat RW. Berdasarkan pemaparan mengenai tingkat kebergantungan dan tingkat kepentingan, dapat diketahui tingkat social linking rumah tangga petani tergolong sedang (Tabel 18). Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat social linking Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (jiwa) 6 29 5 40
Persentase (%) 15.0 72.5 12.5 100.0
Tabel 18 menunjukkan bahwa social linking rumah tangga petani tergolong sedang dengan persentase 72.5 persen. Persentase tersebut didapatkan dari akumulasi skor tingkat kebergantungan dan tingkat kepentingan yang tergolong sedang. Penyuluhan petani yang diadakan di Desa Krasak tidak dirasakan secara langsung manfaatnya. Penerima informasi dalam penyuluhan biasanya adalah para perwakilan RT maupun RW. Hal ini menyebabkan anggapan bahwa masyarakat petani merasa tidak memiliki kepentingan pada penyuluh. Tidak ada hal yang ingin mereka wujudkan melalui penyuluhan. Namun petani memiliki kebergantungan dan kepentingan terhadap kelembagaan perbankan. Petani memanfaatkan kelembagaan perbankan untuk menyimpan uang penjualan hasil
48
panen. Kemudian untuk meminjam modal setiap awal musim tanam bawang merah atau dua musim sekali. Modal tersebut digunakan untuk biaya sewa tanah per musim, biaya pembelian pupuk, pembelian pestisida, dan biaya upah pekerja jika menggunakan pekerja. Keberadaan kelembagaan-kelembagaan tersebut menghubungkan petani dengan moda produksi yang dibutuhkan petani. Selain itu melalui social linking dapat dilihat hubungan vertikal antara petani dengan pemerintah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes). Dinas Pertanian Pangan dan Hortikultura memberikan sosialisasi mengenai pembagian pupuk bersubsidi per desa dan batasan penggunaan pupuk bersubsidi. Sehingga dapat dilihat bahwa terdapat hubungan vertikal yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan pertanian di Desa Krasak.
49
KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (Suandi 2007). Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi 2007) antara lain: kesejahteraan finansial, status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain lain. Santamarina et al. (2002) dalam Suandi (2007) mengemukakan berdasarkan tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan ke dalam dua subsistem yakni: (1) subsistem sosial dengan faktornya yaitu: pendidikan, kesehatan, struktur dan dinamika penduduk, kekuatan sosial dll, dan (2) subsistem ekonomi dengan faktornya yaitu: konsumsi, hak pemilikan akan tanah, tingkat kemiskinan dan aktivitas ekonomi. Kemudian Suandi mengemukakan bahwa kesejahteraan juga dapat dilihat melalui dua pendekatan, yakni kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif dan kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif.
Kesejahteraan Ekonomi Objektif Pendekatan kesejahteraan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya (Suandi 2007). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku. Kemudian menurut Suandi (2007), kesejahteraan ekonomi objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan besarnya pengeluaran keluarga. Suandi (2007) menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga yang dimaksud adalah pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga seharihari, yaitu kebutuhan pokok dan lainnya. Pengeluaran yang dimaksud adalah pengeluaran untuk pembelian kebutuhan keluarga sehari-hari, yaitu kebutuhan pokok dan lainnya. Kesejahteraan ekonomi yang diukur secara objektif tersebut juga dapat menggunakan ukuran kesejahteraan SUSENAS tahun 2013 yang telah dimodifikasi atau dipisahkan indikator ekonominya. Sehingga ukuran atau indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani adalah: (1) luas penguasaan lahan pertanian, (2) luas kepemilikan lahan rumah adalah besaran luas tanah rumah dan pekarangan yang dimiliki rumah tangga petani, (3) keadaan tempat tinggal atau rumah, (4) fasilitas rumah tangga, (5) pengeluaran kebutuhan pangan dan (6) pengeluaran kebutuhan non pangan. Kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani di desa krasak cenderung tergolong kategori sedang (Tabel 19).
50
Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 17 18 5 40
Persentase (%) 42.5 45.0 12.5 100.0
Kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani yang diukur secara objektif berada pada kategori sedang dengan persentase 45 persen. Sedangkan pada kategori tinggi persentasenya sebesar 42.50 persen. Tingkat kesejahteraan ekonomi objektif di Desa Krasak terlihat dari luas penguasaan lahan pertanian. Penguasaan lahan atau akses petani pada lahan dapat berupa lahan milik pribadi, milik keluarga dan lahan sewa. Sebagian besar petani menanam di lahan sewa baik lahan yang terletak di dalam Desa Krasak maupun di luar desa. Lahan tersebut disewa oleh petani dengan waktu sewa per musim (2-3 bulan) atau pun per tahun. Sistem bayarnya dapat berupa bagi hasil atau menggunakan uang tunai, sesuai dengan kesepakatan petani dan pemilik lahan. Jika menggunakan pembayaran uang tunai satu bau ( ¾ ha atau 7500 m2 luas lahan) harga sewanya berkisar antara 8 juta hingga 12 juta per tahun. Luas lahan yang dikuasai oleh petani di Desa Krasak cenderung sempit dan merata (lihat Tabel 20). Tabel 20 Jumlah dan persentase responden menurut penguasaan lahan pertanian Kategori Luas Lahan (m2) > 8 178 434 – 8 177
Jumlah (jiwa) 5 35
Persentase (%) 12.5 87.5
< 433
0
0
Total
40
100.0
Tabel 20 menunjukkan bahwa penguasaan lahan pertanian di Desa Krasak sebagian besar berkisar antara 434 m2 sampai 8177 m2 . Pengukuran lahan petani di Desa Krasak umumnya menggunakan satuan bau atau setara dengan ¾ ha. Luas lahan yang umumnya disewa responden sebesar ¼ sampai ½ bau atau setara dengan 1 875 m2 sampai 3 750 m2. Hal tersebut diketahui dari informan yaitu Sekretaris Desa. Berikut pernyataan Sekretaris Desa mengenai luas penguasaan lahan rumah tangga petani di Desa Krasak “Kurang lebih 70 persen lahan di desa adalah lahan persawahan. Lahan seluas itu juga masih kurang. Rata-rata petani yang menyewa lahan di Desa Krasak biasanya hitungan ¼ bau atau ½ bau. Petani di sini lahannya ada yang di luar Brebes Mbak. Nanti ini saya juga besok mau ke Weleri, mau nanam yang di sana. Di sini dibiarkan padi dulu, di Weleri ditanam bawang” (Bapak S, petani dan Sekretaris Desa)
51
Petani kecil di Desa Krasak yang sebagian besar hanya memiliki penguasaan lahan seluas ¼ bau atau hanya 1 875 m2 dapat menjadi penyebab tingkat kesejahteraan ekonomi dalam kateori sedang. Selain itu terdapat gap atau ketimpangan penguasaan lahan oleh petani. Lahan pertanian yang sangat luas hanya dikuasai oleh beberapa orang saja yaitu lahan seluas 5 Ha sampai 10 Ha hanya dikuasai oleh 3 petani dan lahan yang luasnya lebih dari 10 Ha dikuasai oleh 2 petani saja. Informan mengungkapkan bahwa petani yang menguasai lahan di Desa Krasak (bukan buruh tani) juga dapat menguasai (menyewa) lahan di kota lain. Kota-kota tersebut adalah Weleri, Kendal, Karawang dan Indramayu. Lahan sewaan yang berada di luar kota lebih sering untuk ditanami tanaman bawang merah. Petani menyewa lahan di luar kota banyak pada bulan Maret sampai Mei dan Oktober sampai Desember. Petani berkepentingan dengan pemilik lahan agar dapat mengembangkan usaha pertaniannya, dengan bertambahnya lahan penguasaan maka petani dapat mengembangkan usaha pertanian dan menambah keuntungan. Harga jual hasil panen komoditas hortikultura tidak menentu, dalam hal ini adalah komoditas bawang merah. Terakhir petani mengalami kerugian adalah pada panen bawang merah tahun 2014. Harga bawang merah untuk dikonsumsi sangat rendah. Harga per kilogram bawang merah pada saat itu dapat mencapai Rp 5 000 saja per kilogram. Harga normal bawang merah adalah normal perkisar antara Rp 13 000 per kilogram sampai Rp 15 000 per kilogram. Sehingga pada awal tahun 2015 banyak petani kecil yang rugi dan tidak dapat mengembalikan peminjaman modal seutuhnya dan tepat waktu. Banyak diantaranya yang mencari pekerjaan sampingan lain. Seperti wawamcara dengan responden berikut ini. “...Saya petani mbak, tapi kan sekarang sedang musim pari. Dari pada menganggur Saya ngerjain apa aja mbak yang Saya bisa. Kadang ada yang lagi bangun rumah, Saya ikut, benerin listrik atau meja kursi Saya lakuin Mbak. Bawangnya murah, itu banyak yang tidak Saya jual, buat bibit saja.” (Bapak S, petani) Petani di Kabupaten Brebes umumnya lebih mementingkan dan lebih bergantung pada komoditas hortikultura yaitu bawang merah. Begitu pula dengan petani di Desa Krasak, komoditas bawang merah akan lebih dirawat dan dijaga agar hasil panennya maksimal. Komoditas lain seperti padi dan jagung tidak terlalu diperhatikan perawatannya, karena dinilai kurang menguntungkan. Hasil panen beras juga dijual namun cenderung disimpan untuk konsumsi dan keperluan hajatan sendiri maupun hajatan kerabat. Pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga petani diakumulasikan dalam satu bulan. Pengeluaran tersebut terdiri dari pengeluaran kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Pengeluaran rumah tangga petani di Desa Krasak tergolong dalam kategori sedang (Tabel 21).
52
Tabel 21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengeluaran rumah tangga petani Kategori
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Tinggi Sedang Rendah
3 35 2
7.5 87.5 5.0
Total
40
100.0
Kebutuhan pangan terdiri dari beras, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, buah-buahan, minyak dan lemak, bumbu-bumbuan, tembakau dan sirih, minuman jadi, dan makanan jadi. Pengeluaran kebutuhan non pangan terdiri dari biaya pengeluaran untuk listrik, air, gas, pulsa handphone, kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial, biaya pendidikan sekolah, transportasi, pajak kendaraan dan pajak bumi dan bangunan. Tabel 21 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga petani tergolong dalam kategori sedang dengan persentase 87.5 persen dari total responden. Pada kategori tinggi, tingkat pengeluaran rumah tangga petani memiliki persentase 7.5 persen. Konsumsi pangan di daerah pedesaan pada umumnya sederhana tidak banyak bahan makanan yang dikonsumsi dalam satu waktu makan. Terdapat petani yang mengkonsumsi nasi dengan beras hasil panen dan ada pula petani yang membeli beras untuk konsumsi pangan. Data pengeluaran tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga petani pada umumnya tidak mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran kebutuhan non pangan berkaitan dengan kepemilikan fasilitas rumah tangga. Dengan banyaknya fasilitas rumah tangga yang dimiliki maka semakin besar pula pengeluaran kebutuhan non pangan. Misalkan suatu rumah tangga memiliki kulkas, televisi, motor dan mobil maka pengeluaran untuk biaya listrik maupun bahan bakar akan lebih besar dari pada rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tersebut. Fasilitas yang dilihat kelengkapannya pada rumah tangga petani terdiri dari sembilan fasilitas. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut kelengkapan fasilitas Kategori
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Memiliki 7 – 9 fasilitas Memiliki 4 – 6 fasilitas
29 10
72.5 25.0
Memiliki 1 – 3 fasilitas
1
2.5
40
100.0
Total
Fasilitas yang dilihat kelengkapannya adalah: (1) televisi, (2) radio, (3) kulkas, (4) telepon, (5) tempat tidur/kasur, (6) lemari/bufet, (7) sepeda/sampan, (8) sepeda motor/motor tempel dan (9) mobil. Persentase rumah tangga yang memiliki 7 sampai 9 fasilitas sebesar 72.5 persen. Rumah tangga yang memiliki 4 sampai 6 fasilitas, persentasenya 25 persen dari total keseluruhan rumah tangga responden. Terdapat indikator kesejahteraan yang diukur secara objektif lainnya
53
yaitu kondisi rumah. Kondisi rumah meliputi jenis lantai pada rumah, jenis dinding, jenis atap, penerangan rumah dan sumber air minum. Pada indikator jenis lantai rumah, lantai rumah responden ada yang menggunnakan semen dan ada yang menggunakan keramik. Jenis dinding rumah responden umumnya menggunakan tembok. Kondisi penerangan rumah responden umumnya menggunakan listri dari PLN dan untuk sumber air minum menggunakan air dari PAM (Perusahaan Air Minum). Sebagian besar rumah tangga petani tidak memiliki sumber air dari PAM. Responden membelinya pada pedagang air minum PAM eceran. Berdasarkan paparan hasil penelitian, secara objektif dapat disimpulkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani di Desa Krasak belum mencapai kesejahteraan.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Kesejahteraan subjektif menurut Suandi (2007) adalah tingkat kesejahteraan yang dilihat secara personal, diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan. Sumarwan dan Hira (1993) yang dikutip oleh Suandi (2007) mengemukakan bahwa secara operasional variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap antara aspirasi dengan tujuan yang dicapai. Tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif diukur dari tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM (biaya pendidikan). Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut kesejahteraan ekonomi subjektif Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah (jiwa) 11 21 8 40
Persentase (%) 27.5 52.5 20.0 100.0
Tabel 23 menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi yang diukur secara subjektif pada rumah tangga petani tergolong pada kategori sedang dengan persentase 52.5 persen. Kesejahteraan yang diukur secara subjektif merupakan cara untuk mengetahui sejauh mana pencapaian taraf hidup rumah tangga petani sesuai dengan apa yang mereka rasakan sendiri. Sehingga dalam mengukur kesejahteraan tidak menggunakan ukuran baku melainkan pendapat petani sendiri. Petani mengungkapkan sudah atau belumnya kebutuhan keluarga petani tersebut tercapai. Pencapaian tersebut meliputi pencapaian kebutuhan pangan atau kepuasan kebutuhan pangan. Sebagian besar rumah tangga petani memenuhi kebutuhan makan sebanyak tiga kali sehari. Rumah tangga petani menyatakan sangat terpenuhi atau sangat puas dengan banyaknya waktu makan tersebut. Berikut pernyataan salah satu responden.
54
“...Keluarga di rumah makan sehari tiga kali, walaupun lauknya biasa saja Mbak. Kadang kalau lapar, makan lagi. Sudah Alhamdullillah Mbak.” (Bapak K, petani) Rumah tangga petani mengkonsumsi karbohidrat yang beragam yaitu nasi, jagung, kentang, ubi jalar dan roti. Hal tersebut dikarenakan petani dapat menanam sendiri jenis-jenis makanan yang mengandung karbohidrat tersebut. Selain itu di lingkungan desa terdapat pedagang keliling yang menjajakan makanan tersebut setiap harinya. Sehingga makanan tersebut sangat sering dikonsumsi rumah tangga petani. Rumah tangga petani juga mengkonsumsi jenis sayuran yang beragam yaitu kangkung, wortel, bayam, sawi. Untuk konsumsi lauk-pauk, rumah tangga petani sering mengkonsumsi tahu, tempe, kacangkacangan dan ikan. Sedangkan untuk jenis lauk ayam, daging dan udang rumah tangga petani mengkonsumsi namun intensitasnya jarang. Jenis lauk daging sapi atau pun kambing dalam satu minggu sekali pun jarang dikonsumsi oleh rumah tangga petani. Sebanyak 27.5 persen responden menyatakan bahwa mereka merasa cukup puas (cukup terpenuhi) akan keberagaman pangannya. Sedangkan sebanyak 67 persen responden merasa puas dengan keberagaman pangan tersebut, dengan kata lain 67 persen rumah tangga petani telah mencapai pemenuhan kebutuhan pangannya. Berikut pernyataan responden saat wawancara. “...Makan sehari-hari ya tiga kali Mbak. Biasa seperti itu sih Mbak. Lauknya ya seadanya. Tahu, tempe sayur asem, sambel. Kalau beli daging pas lebaran Mbak. Kalau ayam ya ada lah seminggu dua kali. Kalau makan terpenuhi Mbak, berarti yang kurangnya dagingnya, tidak ada.” (Bapak N, petani) Kesejahteraan ekonomi subjektif juga diukur melalui pemenuhan kebutuhan non pangan rumah tangga petani. Kebutuhan tersebut yaitu pemenuhan kebutuhan pakaian, tempat tinggal, komunikasi dan transportasi. Kebutuhan pakaian meliputi pakaian untuk beribadah (mukenah, sarung dan peci), pakaian untuk anak dan pakaian untuk bersosialisasi di lingkungan. Petani hanya memerlukan pakaian sederhana karena tidak bekerja pada sektor formal maka kebutuhan pakaian rumah tangga petani dapat terpenuhi. Untuk kebutuhan tempat tinggal juga kebutuhan petani terpenuhi, walaupun terdapat petani yang tinggal dengan orang tua atau mertuanya. Namun untuk kebutuhan biaya listrik dan transportasi petani hanya merasa cukup dan cenderung kurang terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan wawancara dengan salah satu responden berikut. “...kalau dikatakan terpenuhi, Saya tidak setuju Mbak. Kemarin sedang tidak bagus harga bawangnya mulai pertengahan tahun kemarin sudah turun, ditambah BBM sekarang naik. Listrik juga kaya ikut naik Mbak, lebih tinggi bulan ini.” (Bapak J, petani) Kebutuhan mengikuti acara sosial seperti iuran dan pemberian sumbangan dirasakan terpenuhi oleh rumah tangga petani. Petani menganggap iuran dan sumbangan adalah hal wajib yang harus mereka penuhi. Terutama untuk sumbangan yang diberikan kepada saudara yang memiliki acara pernikahan atau
55
khitanan. Petani di Desa Krasak akan menyumbangkan sejumlah uang dan beras untuk kerabat mereka. Kesejahteraan ekonomi yang diukur secara subjektif dapat pula dilihat pada pemenuhan kebutuhan investasi SDM (sumber daya manusia). Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah pemenuhan biaya pendidikan dan pemenuhan biaya berobat. Kebutuhan biaya pendidikan SD (Sekolah Dasar) telah dibebaskan oleh pemerintah, maka warga Desa Krasak merasa ringan dan mudah untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang SD. Sedangkan untuk jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Akhir) menerapkan uang bulanan atau SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) untuk setiap bulannya. SMP dan SMA terdekat dengan Desa Krasak adalah di Kecamatan Brebes yang biaya uang bangunan dan uang SPP lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Brebes.
56
57
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
Modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersatu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan yang di dalamnya terdapat nilai dan norma yang dipatuhi (Coleman 199) dalam (Cahyono dan Adhiatma 2012). Modal sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat menentukan apakah persatuan masyarakat dapat terwujud sehingga memberikan sumbangsih dalam kesejahteraan masyarakat.
Hubungan Tipe Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Objektif dan Subjektif Rumah Tangga Petani Tipe modal sosial terdiri dari, modal yang berbentuk ikatan yang kuat dari petani yakni social bounding, modal yang menjembatani petani dengan kekuatan lain untuk mengembangkan potensi yaitu social bridging kemudian modal yang menghubungkan petani pada pihak pemerintah maupun pihak perbankan (social linking). Modal sosial memiliki peran penting dalam kesejahteraan ekonomi keluarga. Petani yang memiliki ikatan yang kuat terhadap sesama dan berhubungan dengan komunitas lain, memiliki kesempatan yang lebih tinggi untuk membangun usaha pertaniannya agar lebih baik. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara masing-masing tipe modal dengan kesejahteraan ekonomi yang diukur secara objektif (lihat Tabel 24). Tabel 24 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif Tipe Modal Sosial Social bounding Social bridging Social linking
Tingkat Kesejahteraan Objektif Koefisien Korelasi Sig.(2-tailed) 0.321* 0.043 0.398* 0.011 0.111
0.495
Keterangan Berhubungan Berhubungan Tidak berhubungan
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi social bounding dengan kesejahteraan objektif sebesar 0.321. Hasil tersebut menunjukkan korelasi antara keduanya kurang signifikan atau hubungan moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.043 (p < 0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat hubungan antara tingkat social bonding rumah tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani. Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel merupakan hubungan yang searah atau positif. Semakin tinggi tingkat social bounding yang ada dalam masyarakat maka umumnya semakin tinggi pula
58
kesejahteraan ekonomi yang diukur dengan pendekatan objektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang mayoritas rumah tangga petani memiliki social bounding dalam kategori sedang umumnya juga tingkat kesejahteraan ekonomi objektifnya sedang. Uraian sebelumnya memaparkan bahwa adanya kepercayan antar sesama dan norma sosial yang dipatuhi dapat menentukan keberlangsungan usaha pertanian rumah tangga petani yang diukur melalui patokan atau ukuran tertentu. Kepercayaan yang ada dapat membuat petani berbagi saran dan pengalaman dalam memecahkan permasalahan pertanian sehingga berdampak pada hasil panen petani. Kepercayaan sebagai salah satu komponen pembentuk social bounding juga memegang peranan menetukan keberhasilan petani membangun hubungan kerjasama. Hasil uji korelasi pada tipe modal sosial lainnya yaitu social bridging dengan kesejahteraan objektif menunjukkan nilai koefisien korelasi 0.389 yang menunjukkan adanya hubungan nyata moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0,011(p < 0.05). Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan antara tingkat social bridging dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif. Sehingga dapat diartikan bahwa tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif dapat ditentukan dari jumlah social bridging yang tersedia. Komponen social bridging diantaranya adalah tingkat solidaritas, kuatnya jaringan, partisipasi atau keterlibatan petani dalam organisasi di lingkungan. Kuatnya jaringan menyebabkan petani mudah menjalin hubungan kerja sama dengan petani lainnya. Kerja sama tersebut adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya. Solidaritas diwujudkan dalam rasa ingin mengembangkan pertanian desa. Hal ini berkaitan langsung dengan reputasi Desa Krasak sebagai salah satu desa penghasil bawang merah dengan tonase terbaik. Pada saat mendekati musim tanam bawang merah, petani berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan. Sehingga petani menerima informasi mengenai bibit yang baik pada musim itu. Informasi hasil pertemuan tersebut dapat dimanfaatkan petani untuk kegiatan panennya dan menjadi salah satu penentu baik atau buruknya hasil panen. Social bridging merupakan tipe modal sosial yang dicirikan dengan adanya ikatan sosial yang muncul di dalam masyarakat dan merupakan reaksi atas adanya reaksi masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut social bridging turut menyumbang tinggi atau rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani. Hasil uji korelasi pada tipe modal sosial yang terakhir yaitu social linking dengan kesejahteraan objektif menunjukkan nilai koefisien korelasi 0.111. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0,495 (p > 0.05). Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak, yaitu tidak terdapat hubungan antara social linking dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif. Hal ini berarti kesejahteraan ekonomi objektif tidak ditentukan melalui seberapa besar tinggi tingkat social linking. Social linking dapat terlihat melalui tingkat kebergantungan pada komunitas lain dan tingkat kepentingan. Jika dilihat melalui komponen social linking, kebergantungan rumah tangga petani terlihat pada akses modal pada lembaga perbankan tidak menyebabkan kesejahteraan petani tinggi atau pun rendah. Kemudian terlihat dari kepentingan
59
petani dengan lembaga penyuluhan. Penyuluhan petani yang diadakan di Desa Krasak tidak dirasakan secara langsung manfaatnya. Penerima informasi dalam penyuluhan biasanya adalah para perwakilan RT maupun RW. Hal ini menyebabkan anggapan masyarakat petani bahwa mereka tidak memiliki kepentingan pada penyuluh. Tidak ada hal maupun motivasi yang diwujudkan melalui penyuluhan. Keberadaan kelembagaan-kelembagaan tersebut menghubungkan petani dengan moda produksi yang dibutuhkan, namun tidak menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif. Sumarti (1999) dalam Suandi (2005) mengemukakan bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga merupakan wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian dan pengukuran kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal) masyarakat setempat. Kemudian di dalam pengalaman hidupnya, sekelompok petani atau rumah tangga petani tentu melakukan berbagai bentuk interaksi yang bertujuan untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya. Kesejahteraaan ekonomi subjektif dalam penelitian ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan. Kesejahteraan ekonomi subjektif pada rumah tangga petani di Desa Krasak tergolong cukup baik atau sedang dengan persentase 52.5 persen. Uji statistik digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara tipe modal sosial tertentu yang ada pada rumah tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi subjektif (lihat Tabel 25). Tabel 25 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif Tipe Modal Sosial Social bounding Social bridging Social linking
Tingkat Kesejahteraan Subjektif Koefisien Korelasi Sig.(2-tailed) 0.117 0.471 0.374* 0.139
0.017 0.391
Keterangan Tidak berhubungan Berhubungan Tidak berhubungan
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi social bounding dengan kesejahteraan ekonomi objektif sebesar 0.117. Hasil tersebut menunjukkan korelasi atau namun lemah. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.471 (p > 0.05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara social bounding dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Artinya, tinggi rendahnya kesejahteraan subjektif tidak ditentukan oleh kekuatan yang mengikat di dalam masyarakat. Tidak terdapatnya hubungan social bounding dengan kesejahteraan ekonomi yang diukur melalui pendekatan subjektif dapat dikarena dengan adanya rasa percaya terhadap sesama dan norma sosial tidak menjamin pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani tercapai. Tingkat kepercayaan petani tercermin pada interaksi saat bertani di sawah, kepercayaan untuk melakukan saran dari petani lain. Tingkat kepatuhan pada norma sosial tercermin pada intensitas rumah tangga petani melakukan norma agama, adat dll. Berikut wawancara dengan responden.
60
“..saya sering diskusi bareng petani Mbak. Ya ngobrol sambil tukar pikir juga pasti dilakukan Mbak. Tukar pikirnya kadang di gubuk temu, di sawah terus pas jamiahan. Kadang nemu solusi, hasilnya bisa panen bagus tapi harga sedang anjlog. Seperti saat ini, saya enggak berani jual. Nanti buat bibit atau disimpen dulu. Akibatnya ya harus sangat hemat, rugi Mbak. Anak jajan juga seadanya. Kalau sakit saya minum jamu saja.” (Bapak T, petani) Walaupun kepercayaan dan norma sosial berperan dalam proses usaha pertanian namun hasil panen tidak menjadi ukuran kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan. Penjualan hasil panen bergantung pada harga pasar. Petani menyimpan hasil panen bawang merah jika harga pasarnya tersebut turun drastis. Hasil uji korelasi social bridging dengan kesejahteraan subjektif menunjukan nilai koefisien korelasi 0.374. Hasil tersebut menunjukkan korelasi moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.017 (p < 0.05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima atau terdapat hubungan antara social bridging dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa modal sosial yang menjembatani atau modal sosial yang berfungsi untuk mengembangkan potensi dan kekuatan komunitas memiliki hubungan nyata dengan kesejahteraan yang dilihat secara subjektif. Komponen social bridging terdiri dari kuatnya jaringan, tingkat solidaritas dan partisipasi (aktif atau tidaknya) petani dalam oraganisasi di lingkungan. Solidaritas masyarakat Desa Krasak khususnya dalam skala rumah tangga petani merupakan kondisi dimana petani dapat saling menerima, saling memiliki sebagai anggota dari sebuah kesatuan. Semakin besar solidaritas antar petani maka petani cenderung dapat memperhatikan keinginan masing-masing dalam mencari jalan ke arah kerja sama yang baik sehingga hasil yang dicapai sama baik. Kuatnya jaringan dapat membantu rumah tangga petani memenuhi kebutuhannya. Semakin kuat hubungan kerja sama dengan petani lain, dan semakin tinggi kebermanfaatan organisasi maka semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani yang tercapai. Hubungan kerjasama dan informasi yang dimanfaatkan berdampak langsung pada hasil pertanian dan berdampak pada kepuasaan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM bagi rumah tangga petani. Hasil uji korelasi social linking dengan kesejahteraan subjektif menunjukan nilai koefisien korelasi 0.139. Hasil tersebut menunjukkan korelasi lemah. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.391 (p > 0.05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara social linking dengan kesejahteraan ekonomi yang dilihat secara subjektif. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kebergantungan dan kepentingan petani pada pihak luar tidak selalu berkorelasi terhadap pemenuhan kebutuhan subjektif. Menurut pengeluaran rumah tangga, dapat dilihat tipe modal sosial apa yang paling kuat digunakan oleh rumah tangga petani dalam kehidupan atau kegiatan pertaniannya (Tabel 26).
61
Tabel 26 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan tingkat pengeluaran rumah tangga Tingkat pengeluaran rumah tangga Tipe modal sosial Social bounding Social bridging Social linking
Koefisien korelasi
Sig. (2-tailed)
0.118 0.117 0.143
0.469 0.472 0.380
Berdasarkan Tabel 26, nilai koefisien korelasi ketiga tipe modal sosial menunjukkan hubungan lemah pada tingkat pengeluaran rumah tangga. Nilai koefisien korelasi yang paling besar adalah pada social linking yaitu sebesar 0.143. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa pemanfaatan social linking oleh petani lebih besar dari pada tipe modal sosial lainnya. Pemanfaatan penggunaan social linking tersebut terlihat pada kegiatan pertanian yaitu dari awal musim. Petani meminjam modal pada lembaga peminjaman formal atau perbankan. Lembaga peminjaman modal memiliki peran yang sangat penting. Responden yang menyatakan bahwa dirinya pernah meminjam pada lembaga perbankan sebesar 80%. Peminjaman modal dilakukan oleh petani dianggap sebagai suatu hal yang biasa karena keuntungan penjualan hasil panen tidak cukup untuk melakukan kegiatan pertanian pada musim selanjutnya. Petani Desa Krasak meminjam modal sebanyak 10 hingga 70 juta per tahunnya. Peminjaman tersebut menggunakan syarat tertentu, yaitu jaminan suratsurat penting seperti BPKB kendaraan bermotor dalam jangka waktu satu tahun. Harga jual bawang merah yang berfluktuatif membuat penghasilan petani tidak menentu. Hal ini berakibat pada kemampuan petani untuk mengembalikan pinjaman modal secara tepat waktu. Jika petani tidak dapat mengembalikan modal dalam waktu yang ditentukan, petani akan diberikan perjanjian tenggang waktu kembali hingga seterusnya sampai penyitaan jaminan. Ketiga tipe modal sosial saling berkaitan dan saling mendukung. Social bounding bercirikan ikatan yang kuat antar petani yaitu dalam bentuk pelaksanaan norma-norma bersama dan kepercayaan. Rasa percaya diantara petani sangat menentukan unsur dari social bridging yang tersedia, yaitu kerja sama atau membangun jaringan dan solidaritas antar petani. Social bridging dimanfaatkan untuk pengembangan potensi dari dalam komunitas sehingga potensi tersebut terfasilitasi dan membentuk suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan komunitas. Social linking dapat berupa hubungan vertikal petani dengan pemerintah yaitu berbentuk kebijakan. Petani sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, salah satunya yaitu kebijakan pupuk bersubsidi. Penerapan kebijakan tersebut, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes akan mendata jumlah petani dan luas lahan yang dikuasai. Selanjutnya stok pupuk bersubsidi akan ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan petani dan luas lahan di Desa Krasak. Selain itu, social linking dapat dilihat melalui hubungan petani dengan pihak perbankan. Untuk membeli sarana produksi, petani memanfaatkan peminjaman modal sehingga dapat melakukan dan mengembangkan kegiatan pertanian. Sehingga dalam membentuk kekuatan, komunitas menggunakan tipe modal sosia yang tersedia, yaitu social bounding, bridging dan linking.
62
Hubungan Modal Sosial dengan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif dan Subjektif Rumah Tangga Petani Putnam (1996) dalam Field (2010) mengemukakan bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi rumah tangga tidak dapat terlihat langsung. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suandi (2005) bahwa modal sosial bukan merupakan potensi atau modal yang dapat mentrasformasikan langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan, maka modal sosial dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani telah dimanfaatkan sebagai aset untuk mendapatkan moda produksi. Modal sosial adalah aset yang dapat dimanfaatkan sebagai peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas interaksi rumah tangga dalam persatuan kelompok/lembaga maka semakin tinggi pula kesejahteraan rumah tangga tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi rumah tangga (lihat Tabel 27). Tabel 27 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi obejektif rumah tangga petani Tingkat kesejahteraan objektif Koefisien korelasi Sig (2-tailed) Modal sosial 0.331* 0.037 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif sebesar 0.331. Hasil tersebut menunjukkan korelasi moderat atau korelasi menengah. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.037 (p < 0.05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan nyata antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani. Hal ini berarti tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif dapat ditentukan dengan kondisi modal sosial yang terdapat pada rumah tangga petani. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 28.
63
Tabel 28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani di Desa Krasak Tingkat kesejahteraan objektif Modal Sosial
Rendah
Sedang
Total Tinggi
n
%
n
%
n
%
N
%
Rendah Sedang Tinggi
1 3 1
2.5 7.5 2.5
9 7 2
22.5 17.5 5.0
0 13 4
0 32.5 10.0
10 23 7
25 57.5 17.5
Total
5
12.5
18
45.0
7
17.5
40
100
Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel ini merupakan hubungan yang searah atau positif, dimana semakin tinggi modal sosial rumah petani maka umumnya akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan objektifnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani yang berada pada kategori tingkat modal sosial sedang umumnya juga memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi objektif yang tergolong dalam kategori sedang hingga tinggi. Persentase responden yangt tingkat modal sosial dan tingkat kesejahteraan objektifnya tergolong sedang adalah sebesar 17.5 persen. Terdapat 32.5 persen responden yang tingkat modal sosialnya tergolong sedang dan tingkat kesejahteraannya tergolong tinggi. Kedua variabel modal sosial dan tingkat kesejahteraan objektif rumah tangga petani tergolong dalam kategori sedang. Rumah tangga petani masih memegang norma dan nilai kebudayaan yang ada. Modal sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan ekonomi. Pemanfaatan modal sosial pada usaha pertanian dilakakukan pada seluruh proses. Proses-proses tersebut adalah: (1) pada saat petani akan menyewa lahan untuk per musim atau pun per tahunnya, (2) pada saat petani mengakses modal pada lembaga perbankan atau pun pada kerabat dekat, (3) petani melakukan diskusi jenis pupuk dan pestisida apa yang terbaru dan yang cocok untuk tanaman bawang merah pada musim tertentu, (4) pada saat perawatan tanaman hingga panen, petani yang memiliki hak penguasaan lahan akan berinteraksi membangun jaringan dengan buruh tani dan (5) pada saat penjualan harga panen petani membangun jaringan dengan para petani lain, tengkulak maupun konsumen langsung. Peluang tingginya tonase maupun kualitas hasil panen yang memanfaatkan potensi modal sosial secara maksimal, akan lebih tinggi dari pada petani yang tidak maksimal memanfaatkannya. Petani tidak dapat menentukan harga jual bawang merah. Namun petani dapat menawar harga jual yang lebih tinggi pada tengkulak atau pengumpul. Hasil penjualan panen sangat bergantung pada harga pasar nasional. Penetapan harga bawang merah yang cenderung berfluktuatif, sehingga walaupun petani berhasil panen dan kualitasnya bagus belum tentu akan mendapatkan keuntungan yang banyak. Bahkan pada suatu kondisi saat harga sangat rendah petani merugi dan tidak dapat mengembalikan modal pinjaman secara tepat waktu keseluruhan. Kondisi tersebut salah satunya terjadi pada panen bawang merah pada akhir tahun 2014. Harga jual bawang merah ditingkat petani merosot rendah yaitu dapat
64
mencapai Rp 5 000 per kilogram. Sedangkan petani dapat dikatakan untung jika penjualan bawang merah mencapai kisaran Rp 13 000 sampai Rp 15 000 per kilogram. Hal tersebut seharusnya dapat diupayakan petani agar tidak terjadi pada masa mendatang. Hal tersebut juga dikemukakan oleh situs berita on line Brebes yang meliput kunjungan dari Direktur Biro Ideologi Pengawasan dan Pengembangan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri (Kemendag). “Perlu ada langkah bersama dengan jalan menyatukan petani bawang merah, perlu ada revitalisasi petani bawang merah agar petani semakin sejahtera dan tidak merugi. Kalau jiwa gotong royong dan bersatu dalam koperasi maka tidak ada permainan harga oleh siapapun.” (Bapak SS)4 Selain harga di pasaran yang mempengaruhi hasil jual panen yang diperoleh petani, terdapat pihak-pihak tertentu yang dapat melakukan permainan harga. Hal ini perlu diantisipasi oleh petani melalui penguatan modal sosial. Untuk mencapai harga yang stabil harus ada intervensi dari pusat berupa regulasi maupun kebijakan lainnya seperti bantuan, bibit, pupuk, teknologi tepat guna dan lainlainnya. Kerugian ekonomi akibat penurunan harga jual bawang dapat terjadi kapan saja. Jika hal itu terjadi, maka petani akan memperpanjang tempo pelunasan peminjaman modal. Sedangkan sebagian hasil penjualan akan digunakan untuk biaya pengeluaran kebutuhan pangan dan biaya kebutuhan non pangan. Kesejahteraan yang diukur dalam pendekatan objektif salah satu satunya dilihat melalui status dan luas kepemilikan lahan sawah. Indikator tersebut berhubungan langsung dengan modal sosial yaitu kepercayaan dan jarinagan. Sebagian besar petani di Desa Krasak tidak memiliki lahan sawah sendiri, melainkan menyewa. Jika petani tidak memiliki jaringan yang kuat terhadap pemilik lahan maka petani tidak dapat menyewa lahan atau petani tidak dapat menyewa lahan tersebut dengan harga yang menguntungkan petani. Kesejahteraan ekonomi rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan objektif dan subjektif. Kesejahteraan objektif diukur dengan pendekatan yang baku. Sedangkan pendekatan subjektif dilihat dari persepsi kondisi pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Kesejahteraan ekonomi subjektif tidak hanya mendeskripsikan mengenai kekayaan rumah tangga namun juga dapat mendeskripsikan sejauh mana kepuasan rumah tangga dalam pencapaian kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Suatu rumah tangga petani yang kondisi kehidupan objektifnya rendah belum tentu kondisi kehidupan subjektifnya juga rendah, dan sebaliknya. Dalam penelitian Sembiring dan Berutu (2005) modal sosial yang diteliti dapat dijadikan sebagai bentuk potensi yang menunjang keberhasilan ekonomi, pemuasan kebutuhan tidak harus menggunakan modal uang atau kebijakan baru namun dapat mengguanakan potensi lokal yang sudah ada sebelumnya. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif (lihat Tabel 29). 4
Ditjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri: Distribusi Bawang Merah Harus di Kawal. Brebes News.Co. Dapat diakses di http://brebesnews.co/2014/12/ditjen-kesbangpol-kementrian-dalamnegeri-distribusi-bawang-merah-harus-dikawal/#.VWVcvPB_SQI. Diakses pada 20 Mei 2015
65
Tabel 29 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi subejektif rumah tangga petani Tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif Koefisien korelasi Sig (2-tailed) Modal sosial 0.343* 0.030 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif sebesar 0.343 . Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi namun moderat atau lemah. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.030 (p <0.05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan nyata antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani. Hal ini berarti tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif dapat ditentukan dengan kondisi modal sosial yang ada pada rumah tangga petani. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani di Desa Krasak Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Modal sosial Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n % 4 10.0 4 10.0 0 0 8
20.0
Sedang n % 4 10.0 14 35.0 3 7.5 21
52.5
Tinggi n % 2 5.0 5 12.5 4 10.0 11
27.5
Total N 10 23 7
% 25.0 57.5 17.5
40
100.0
Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel merupakan hubungan yang searah atau positif, dimana semakin tinggi tingkat modal sosial rumah petani maka umumnya akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan subjektifnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani (35 persen) yang berada pada kategori modal sosial sedang umumnya juga memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif yang tergolong dalam kategori sedang. Kemudian terdapat 10 persen responden pada kategori modal sosial tinggi yang juga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi, sedangkan responden yang memiliki kategori sedang sebesar 7.5 persen. Hubungan antara tingkat modal sosial rumah tangga petani dengan tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif dapat tercermin pada interaksi yang dibangun oleh petani dengan lingkungannya sekitarnya. Interaksi yang menjadi bagian dari modal sosial tersebut bukanlah interaksi yang penuh dengan persaingan dan kaku, sehingga pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani seperti kebutuhan pangan, pakaian, fasilitas rumah tangga dapat tercapai dan relatif sama. Interaksi tersebut terjadi di lingkungan Desa Krasak, dapat berupa pelaksanaan
66
norma sosial seperti bersilaturrahmi, berdiskusi, bergotong-royong. Berikut hasil wawancara dengan responden mengenai pemenuhan kebutuhan. “...Kalau masalah puas atau tidak, saya merasa puas Mbak. Kebutuhan belanja harian, baiaya anak SD, listrik sudah terpenuhi Mbak. Dengan untung segitu ya terpenuhi ko Mbak. Kalau tinggal dikota yang serba mewah mungkin ga bisa. Saya juga kan punya keluarga disini, kakak dan adik saya di sini. Kalau bawang sedang jelek ya sama-sama saling membantu. Timbal balik saja.” (Bapak W, petani) Pemenuhan kebutuhan keluarga bergantung pada pengambilan keputusan dalam aktivitas anggota keluarga, contohnya pola konsumsi. Jika suatu rumah tangga petani lebih menyukai makanan sederhana yang murah maka pemenuhan kebutuhannya tercapai (merasa puas) walaupun pengeluaran untuk konsumsi pangan tergolong kecil. Perbedaan pendekatan objektif dan subjektif tersebut dapat dilihat melalui pengeluaran kebutuhan untuk investasi SDM misalnya pendidikan. Perbedaan jenjang pendidikan yang sedang dijalani anak akan mempengaruhi pemuasan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan biaya untuk menyekolahkan anak pada jenjang SMA dan S1 misalnya, akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya menyekolahkan anak SD dan SMP. Sehingga walaupun pengeluaran keluarga lebih tinggi (kesejahteraan objektif tinggi), bukan berarti keluarga tersebut pasti dapat merasakan puas atas pemenuhan kebutuhan investasi SDM atau kebutuhan lainnya.
67
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Semua kelompok masyarakat di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah pemanfaatan modal sosial. Jumlah rumah tangga petani di Indonesia semakin menurun. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa modal sosial signifikan positif berhubungan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif dan subjeketif rumah tangga petani di Desa Krasak. Hal ini berarti semakin tinggi modal sosial yang ada pada rumah tangga petani maka semakin tinggi pula kesejahteraan ekonominya. Modal sosial secara khusus dilihat dari tipe hubungannya yaitu social bounding, social bridging dan social linking. Masing-masing kondisi modal sosial berdasarkan tipe hubungannya, telah tersedia pada rumah tangga petani namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui hubungan masing-masing tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi, baik yang diukur secara objektif dan subjektif. Hasil penelitian menunjukkan tipe social bounding dan tipe social bridging signifikan berhubungan positif dengan kesejahteraan ekonomi objektif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat social bounding dan tingkat social bridging, maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani. Selanjutnya hanya tipe social bridging yang signifikan berhubungan positif dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat social bridging maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif pada rumah tangga petani Desa Krasak. Peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi rumah tangga tidak dapat terlihat langsung. Modal sosial bukan merupakan potensi atau modal yang dapat mentransformasikan langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan. Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani telah dimanfaatkan sebagai aset untuk mendapatkan moda produksi. Modal sosial adalah aset yang dapat dimanfaatkan sebagai peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas interaksi rumah tangga dalam persatuan kelompok/lembaga maka semakin tinggi pula kesejahteraan rumah tangga tersebut. Peran modal sosial dapat terlihat yaitu (1) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengetahui kebijakan pertanian yang berpengaruh pada kehidupan petani, (2) meningkatkan tindakan bersama dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam masyarakat, dan (3) dapat menambah informasi dan membantu mendapatkan kebutuhan yang diterima petani seperti fasilitas mengakses modal, fasilitas kredit dan berbagai bentuk produksi.
68
Saran Modal sosial merupakan salah satu aset yang telah tersedia yang dimiliki oleh petani dalam menjamin keberlangsungan hidupnya. Modal sosial yang ada belum seluruhnya dimanfaatkan oleh rumah tangga petani. Kelembagaan kelompok tani di Desa Krasak belum banyak dimanfaatkan oleh petani. Hal tersebut disebabkan oleh persepsi petani yang menganggap bahwa bergabung dalam kelompok tani tidak dapat meningkatkan usaha pertaniannya. Anggota kelompok tani perlu memaksimalkan kinerja kelompok tani dan melakukan sosialisasi tentang kebermanfaatan kelompok tani untuk para petani. Selain perlu dimanfaatkan dengan maksimal, modal sosial juga perlu ditingkatkan. Peningkatan modal sosial untuk membangun kekuatan kolektif. Upaya peningkatan modal sosial rumah tangga petani dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan, dialog terbuka, atau pelatihan yang memfasilitasi petani agar dapat membentuk jaringan dengan pihak lain. Upaya tersebut diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada petani untuk membangun dan mengembangkan jaringan yang dimiliki. Upaya-upaya tersebut juga diharapkan agar modal sosial dapat mempercepat atau sebagai katalis menuju rumah tangga petani yang berdaya. Perlu perhatian pemerintah mengenai modal sosial yang sebaiknya diikutsertakan dalam berbagai kebijakan pertanian. Kebijakan pertanian yang menyertakan pemanfaatan modal sosial akan lebih efektif dan dapat diikuti oleh seluruh rumah tangga petani dari pada kebijakan yang hanya mengutamakan moda produksi.
69
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013. [Internet]. Dapat diunduh di:http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek =23¬ab=7 . 2013. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013. [Internet]. Dapat diunduh di: http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel?searchtabel=Jumlah+Rumah+Tangga+Usaha+Pertanian+menurut+Golongan+Lu as+Lahan+yang+Dikuasai+Tahun+2003+dan+2013&tid=21&searchwilayah=Indonesia&wid=0000000000&lang=id . 2014. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dapat diunduh di: www.bps.go.id . 2014. Potensi Desa Krasak Kabupaten Brebes 2014. Cahyono, Adhiatma. 2012. Peran Modal Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Petani Tembakau di Kabupaten Wonosobo. [Prociding seminar] Makalah disampaikan pada seminar Conference In Business, Accounting and Management (CBAM) Vo.1 No.1 [Internet]. [diunduh 10 September 2010]. Dapat diunduh di: http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/cbam/article/view/128/104 Ditjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri. 2014. Distribusi Bawang Merah Harus di Kawal. Brebes News.Co. Dapat diakses di http://brebesnews.co/2014/12/ditjen-kesbangpol-kementrian-dalam-negeri-distribusi-bawangmerah-harus-dikawal/#.VWVcvPB_SQI Field J. 2010. Modal Sosial (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh NURHADI) Bantul [ID]: Kreasi Wacana 272 hal. [Judul asli Social Capital] Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal Pengembangan Humaniora Vol.12 No.1 [Internet]. [diunduh 20 September 2014]. Dapat di undu di: http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_6%20apr% 202012.pdf Johan I R, Muflikhati I, Mukhti D S. 2013. Gaya Hidup, Manajemen Keuangan, Strategi Koping, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol. 6 No.1 Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia, Jaringan Advokasi Untuk Nelayan Sumatera Utara. 2010. Masyarakat pinggiran yang kian terlupakan: membedah persoalan nelayan tradisional Sumatera Utara. Universitas Michigan. Diakses di:https://books.google.co.id/books?ei=Gu2IVeOkB42GuASkwYnoBw&hl=id&id Muspida. 2007. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sualwesi Selatan. Diunduh di: http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/download/93/84 Nuryadin. 2009. Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo: Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. [Disertasi].
70
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Pontoh O. 2010. Identifikasi Dan Analisis Modal Sosial dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. 6 No.3 [Internet]. [diunduh 15 Oktober 2014]. Dapat diunduh di: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT/article/view/156/122 Pranadji T. 2006. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Studi Kasus: Desa-desa (Hulu DAS) ex Proyek Bangunan Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal Agro Ekologi Vol. 24 No.2. [Internet]. [diunduh 10 September 2014]. Dapat diunduh di: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2024-2d.pdf Purnomo A, Dharmawan A.H, Agusta I. 2007. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan: Pertumbuhan “Modal Sosial Bentukan” dalam Skema Pengelolaan Hutan Bersama Mayarakat di Kabupaten Kuningan Vol. 1 No.2 [Internet]. Dapat diunduh di: http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/5931/4608 Singarimbun M, Efendi S. 1983. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. [diunduh 20 September 2007]. Dapat diunduh di: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40884/2007sua.pdf ?sequence=11 Sumarti T. 2007. Sosiologi Kepentingan (Interest) dalam Tindakan Ekonomi. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol.1 No.2 [Internet]. Dapat diunduh di: http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5925/4603 [UU]. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. [Internet]. Dapat diunduh di: http://perundangan.pertanian.go.id/admin/uu/UU%20No.19%20Tahun%20 2013%20Perlindungan%20&%20Pemberdayaan%20Petani.pdf
71
LAMPIRAN
72
73
Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian Kegiatan
Januari Februari 1 2 3 4 1 2 3 4
Maret April Mei Juni Juli 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal skripsi Penjajagan lapang Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penyusunan draft skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Lampiran 2 Peta wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah
74
Lampiran 3 Hasil pengolahan data menggunakan uji statistik Tabel 1 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bounding dengan kesejahteraan objektif Social Bounding Spearman's rho Social Bounding
Correlation Coefficient
Kesejahteraan Objektif
1.000
.321*
.
.043
40
40
.321*
1.000
Sig. (2-tailed)
.043
.
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
40
40
Sig. (2-tailed) N Kesejahteraan Objektif
Correlation Coefficient
Tabel 2 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bridging dengan kesejahteraan objektif Social Bridging Spearman's rho Social Bridging
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Kesejahteraan Objektif
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Kesejahteraan Objektif
1.000
.398*
.
.011
40
40
.398*
1.000
.011
.
40
40
75
Tabel 3 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social linking dengan kesejahteraan objektif
Spearman's rho Social Linking
Correlation Coefficient
Social Linking
Kesejahteraan Objektif
1.000
.111
.
.495
40
40
.111
1.000
.495
.
40
40
Sig. (2-tailed) N Kesejahteraan Objektif Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tabel 4 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bounding dengan kesejahteraan subjektif Social Bounding Spearman's rho Social Bounding
Correlation Coefficient
1.000
.117
.
.471
40
40
Correlation Coefficient
.117
1.000
Sig. (2-tailed)
.471
.
40
40
Sig. (2-tailed) N Kesejahteraan Subjektif
Kesejahteraan Subjektif
N
Tabel 5 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bridging dengan kesejahteraan subjektif Social Bridging Spearman's rho Social Bridging
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Kesejahteraan Subjektif
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Kesejahteraan Subjektif
1.000
.374*
.
.017
40
40
.374*
1.000
.017
.
40
40
76
Tabel 6 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social linking dengan kesejahteraan subjektif Kesejahteraan Social Linking Subjektif Spearman's rho Social Linking
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Kesejahteraan Subjektif Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
1.000
.139
.
.391
40
40
.139
1.000
.391
.
40
40
77
Lampiran 4 Dokumentasi
Lahan tanaman bawang merah yang telah diolah
Sosialisasi pupuk bersubsidi
Kegiatan penyortiran hasil panen bawang merah
Wawancara responden
Penanaman tanaman bawang merah
Gubuk tani
Salah satu toko atau warung yang menjual pestisida, pupuk dan sarana pertanian lainnya
Padi yang akan di panen pada bulan April
78
Lampiran 5 Tulisan tematik Modal sosial rumah tangga petani Desa Krasak didominasi oleh masyarakat dengan pekerjaan utama sebagai petani. Pemanfaatan lahan Desa Krasak antara lain untuk lahan persawahan yaitu dengan luas kurang lebih 118.72 ha, luas pemukiman kurang lebih 47.20 ha. Maka Desa Krasak dapat disebut dengan desa pertanian. Komoditas pertanian yang unggul di Desa Krasak adalah bawang merah, hal ini sejalan dengan Kabupaten Brebes yang merupakan sentra bawang merah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Krasak menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Agar keberlangsungan hidup petani terjamin, maka petani perlu menggunakan modal sosial yang telah tersedia untuk mendapatkan moda produksi. Modal sosial berdasarkan jenis hubungannya dibedakan menjadi tiga tipe yaitu social bonding, social bridging, dan social lingking. Komponen pembentuk sosial bounding adalah tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial. Kepercayaan yang terbangun antar petani cukup baik. Petani saling mempercayai satu sama lain terutama dalam hal pengembangan pertanian. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Bapak W sebagai berikut. “Saya pasti ngbrol-ngobrol Mbak. Apa lagi di Sawah saat ngaso, kumpul bareng, ya tukar pikir lah. Kadang saya cerita hama yang ditemuin pas di sawah tadi apa saja. Kalau ada yang minta saran ya saya kasih Mbak, obat apa aja yang baru yang lebih bagus. Kalau ada teman bawangnya bagus, kadang saya tanya pakai pupuk apa? Obatnya apa? Kadang dijawabnya jenis obat baru dari PT. Saya belum tahu obat itu jadi saya tanya lagi ke yang lainnya”. Kepercayaan petani di Desa Krasak juga didasari oleh kedekatan petani dengan yang lainnya seperti hubungan keluarga atau tetangga. Tingkat kepatuhan norma sosial dapat dilihat dari intensitas masyarakat melakukan ide atau tradisi. Norma tersebut berbentuk keikutsertaan dalam tradisi lokal, silaturrahmi saat hari raya besar Islam, tahlilan, jamiahan. Salah satu tradisi lokal adalah sedekah bumi. Pelaksanaan sedekah bumi adalah warga berkumpul di tanah lapang pada malam hari dan membaca doa bersama dan diakhiri dengan makan bersama. Namun terdapat warga yang tidak mengikuti acara sedekah bumi tersebut. Seperti wawancara dengan Bapak A. Sedekah bumi ya setiap tahun saya iuran Mbak, warga ada yang ikut ke Blok Pung ada yang tidak. Saya cuma iuran, kalau ke blok pung saya tidak ikut. Memang acaranya juga pengajian Mbak, tapi ini bertentangan dengan Agama Islam Mbak, Nanti saya musyrik. Tingkat kepatuhan terhadap norma tergolong baik. Keadaan tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma tersebut membuat kondisi social bounding tergolong tinggi. Komponen pembentuk sosial bridging adalah kuatnya jaringan, tingkat solidaritas dan tingkat partisipasi dalam organisasi. Kuatnya jaringan Kuatnya jaringan pada rumah tangga petani cukup baik. Terdapat petani yang saling membangun jalinan kerja sama dengan petani lain. Kerja sama tersebut adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya. Dalam bekerja sama petani sudah saling bersepakat dalam aturan bekerja sama baik dalam proses penanaman modal awal, perawatan tanaman maupun, panen, maupun dalam proses menjualan hasil panen. Kuatnya jaringan dapat terlihat apabila petani banyak menerima informasi perkembangan cara budidaya pertanian. Informasi tersebut didapatkan dari petani lainya. Kemudian terdapat pula petani yang tidak mendapatkkan kredit sarana produksi pertanian. Banyak petani yang kurang merasakan manfaat dari kelompok tani. Hal ini
79
dikarenakan petani-petani tersebut tidak tersosialisai dengan baik mengenai keuntungan bergabung dengan kelompok tani. Terdapat anggapan bahwa keanggotaannya pada kelompok tani belum memberikan kemajuan pada usaha pertaniannya. Berikut wawancara dengan responden tersebut. “Iya, saya anggota Unggul Tani. Jarang ada rapat atau perkumpulan kok Mbak. Saya hanya anggota, kadang dapat undangan buat yang promosi pestisida. Seperti itu saja sih Mbak. Kalo pengkoordinasian sarana belum ada. Belum ada kredit untuk sarana pertanian. Sebetulnya yang paling dibutuhkan ya pupuk murah sama cangkul yang sering hilang..” (Bapak H, petani). Adanya anggapananggapan seperti yang diungkapkan oleh Bapak H, dapat menyebabkan tidak dirasakannya manfaat organisasi Kelompok tani di Desa Krasak sehingga para petani pun tidak tertarik untuk ikut dalam organisasi Kelompok tani. Tingkat solidaritas sesama petani di Desa Krasak cukup tinggi. Pada saat mendekati musim tanam bawang merah, petani berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan. Partisipasi dalam kelembagaan di lingkungan sekitar dilihat dari intensitas petani mengikuti kegiatan kelembagaan tersebut. Hampir setiap hari ada kegiatan “jamiahan”, selain untuk menjalankan norma agama, kegiatan ini dapat menjadi modal untuk tempat saling bertukar informasi. Pada kegiatan kelembagaan petani mengambil keputusan secara musyawarah. Berdasarkan tingkat kebergantungan, petani cukup bergantung dengan kelembagaan peminjaman modal dan para tengkulak. Dalam mendapatkan modal awal setiap musimnya terdapat petani yang mendapatkan modal dari tabungan sendiri, yakni petani yang masih memiliki keuntungan yang berlebih untuk melanjutkan kegiatan bertani ke musim berikutnya. Seperti pernyataan Bapak W. “Sekitar pertengahan maret kan mau pada tanam, sekarang saya harus sudah tahu apakah tabungan cukup atau tidak. Setiap musim kalau sedang stabil saja saya pakai uang tabungan saja. Kalau ditambah pinjam pusing Mbak” (Bapak W, petani dan pedagang bawang. Kemudian Bapak K mengemukakan ” Saya ke Brebes kalau mau pinjam modal Mbak, di BRI. Kalau tidak begitu tidak bisa tanam bawang. Nanti pas panen dua bulan kalau udah ada yang beli, bisa ditutup. Seperti itu Mbak”. Tingkat kepentingan petani pada luar komunitas terlihat pada pemanfaatan keberadaan penyuluhan. Pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian dapat dirasakan petani, namun tidak seluruh petani merasakannya langsung. Penyuluhan pertanian memberikan penyuluhan kepada petani di “Gubuk Temu”. Penyuluh pertanian menyampaikan mengenai cara-cara pembudidayaan terbaru.
Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani
Kesejahteraan ekonomi dilihat dari aspek-aspek ekonomi seperti pengeluaran rumah tangga petani, penguasaan dan kepemilikan lahan sawah, luas bangunan rumah, kepemilikan fasilitas rumah dan kondisi rumah. Terdapat petani yang memiliki lahan sawah dan ada pula yang menyewa lahan persawahan. Hal tersebut dikemukakan oleh informan yaitu Bapak S, Sekretaris Desa Krasak. “Kurang lebih 70 persen lahan di desa adalah lahan persawahan. Lahan seluas itu juga masih kurang. Rata-rata petani yang menyewa lahan di Desa Krasak biasanya hitungan ¼ bau atau ½ bau. Petani di sini lahannya ada yang di luar Brebes Mbak. Nanti ini saya juga besok mau ke Weleri, mau nanam yang di sana. Di sini dibiarkan padi dulu, di Weleri ditanam bawang”. Informan mengungkapkan bahwa petani yang menguasai lahan (bukan buruh tani) juga
80
dapat menguasai (menyewa) lahan di kota lain. Kota-kota tersebut adalah Weleri, Kendal, Karawang dan Indramayu. Lahan sewaan yang berada di luar kota lebih sering untuk ditanami tanaman bawang. Petani menyewa lahan di luar kota banyak pada bulan Maret sampai Mei dan Oktober sampai Desember. Pengeluaran rumah tangga petani dapat mencerminkan pendapatan petani. Untuk mempermudah penelitian, digunakan indikator pengeluaran karena petani merupakan pekerjaan sektor informal yang setiap panennya memperoleh pendapatan tidak tetap. Seperti pernyataan responden yaitu Bapak S. “Bawang sedang anjlog harganya Mbak. Walaupun hasilnya bagus tapi enggak berpengaruh buat harga jual. Saya petani mbak, tapi kan sekarang sedang musim pari. Dari pada menganggur Saya ngerjain apa aja mbak yang Saya bisa. Kadang ada yang lagi bangun rumah, Saya ikut, benerin listrik atau meja kursi Saya lakuin Mbak. Bawangnya murah, itu banyak yang tidak Saya jual, buat bibit saja”. Pengukuran kesejahteraan menggunakan pendekatan subjektif adalah dengan cara mengetahui seberapa jauh kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Rumah tangga petani menyatakan puas dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Keluarga di rumah makan sehari tiga kali, walaupun lauknya biasa saja Mbak. Kadang kalau lapar, makan lagi. Sudah Alhamdullillah. (Bapak K, petani) Makan sehari-hari ya tiga kali Mbak. Biasa seperti itu sih Mbak. Lauknya ya seadanya. Tahu, tempe sayur asem, sambel. Kalau beli daging pas lebaran Mbak. Kalau ayam ya ada lah seminggu dua kali. Kalau makan terpenuhi Mbak, berarti yang kurangnya dagingnya, tidak ada.” (Bapak N, petani). Untuk kebutuhan tempat tinggal juga kebutuhan petani terpenuhi, walaupun terdapat petani yang tinggal dengan orang tua atau mertuanya. Namun untuk kebutuhan biaya listrik dan transportasi petani hanya merasa cukup dan cenderung kurang terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan Bapak J. Kalau dikatakan terpenuhi, Saya tidak setuju Mbak. Kemarin sedang tidak bagus harga bawangnya mulai pertengahan tahun kemarin sudah turun, ditambah BBM sekarang naik. Listrik juga kaya ikut naik Mbak, lebih tinggi bulan ini.” Kebutuhan mengikuti acara sosial seperti iuran dan pemberian sumbangan dirasakan terpenuhi oleh rumah tangga petani. Petani menganggap iuran dan sumbangan adalah hal wajib yang harus mereka penuhi. Terutama untuk sumbangan yang diberikan kepada saudara yang memiliki acara pernikahan atau khitanan, petani di Desa Krasak akan menyumbangkan sejumlah uang dan beras untuk kerabat mereka.
81
Lampiran 6 Daftar Nama Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Nama Warson Wahidin Tarsim Sunarto Sangwar Samsudi Titis Adi S Sumar Sakwi Tarwan Kakim Zuhri Senyan Waryono Suhaji Sutono Abas Tarnyan Wa ad Jaeli Jaenudin Jirab Sarkham Wasrip Khasan Manis Nurokhim Wa an Supardi M. K. Sarnadi Rajad Carsad Jaroah Suparmin Hadining P
Usia 35 65 50 50 52 38 25 30 60 65 65 57 50 52 45 40 43 55 60 46 32 40 30 45 40 55 37 65 43 40 50 57 43 40 35
Alamat RT 1 RW 1 Desa Krasak RT 1 RW 1 Desa Krasak RT 1 RW 1 Desa Krasak RT 8 RW 1 Desa Krasak RT 9 RW 1 Desa Krasak RT 9 RW 3 Desa Krasak RT 9 RW 3 Desa Krasak RT 9 RW 2 Desa Krasak RT 9 RW 2 Desa Krasak RT 7 RW 1 Desa Krasak RT 7 RW 1 Desa Krasak RT 3 RW 1 Desa Krasak RT 3 RW 1 Desa Krasak RT 3 RW 1 Desa Krasak RT 3 RW 1 Desa Krasak RT 2 RW 2 Desa Krasak RT 3 RW 2 Desa Krasak RT 3 RW 2 Desa Krasak RT 2 RW 2 Desa Krasak RT 1 RW 3 Desa Krasak RT 6 RW 2 Desa Krasak RT 5 RW 2 Desa Krasak RT 4 RW 1 Desa Krasak RT 5 RW 1 Desa Krasak RT 5 RW 1 Desa Krasak RT 5 RW 1 Desa Krasak RT 3 RW 2 Desa Krasak RT 3 RW 2 Desa Krasak RT 1 RW 3 Desa Krasak RT 2 RW 3 Desa Krasak RT 3 RW 3 Desa Krasak RT 4 RW 2 Desa Krasak RT 4 RW 2 Desa Krasak RT 3 RW 2 Desa Krasak RT 4 RW 2 Desa Krasak
36
Sukram
50
RT 9 RW 2 Desa Krasak
37
Tarmidi
62
RT 2 RW 3 Desa Krasak
38 39 40
Wirsad Nurohman Nurcahya
43 43 40
RT 2 RW 3 Desa Krasak RT 2 RW 3 Desa Krasak RT 2 RW 3 Desa Krasak
82
83
RIWAYAT HIDUP
Nurul Fauziah dilahirkan di Brebes pada tanggal 3 Mei 1993 dari pasangan Hendro Sulistiyono dan Siti Khodijah. Penulis menyelesaikan pendidikan formalnya yaitu SD, SMP dan SMA di Kabupaten Brebes. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah di SD Muhammadiah Brebes, SMP Negeri 2 Brebes dan SMA Negeri 1 Brebes. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada semester ke-3 tepatnya pada tahun 2012, hingga semester ke-8 penulis adalah penerima Beasiswa Angkatan 16 Sosek IPB. Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi. Penulis aktif sebagai anggota KPMDB (Kumpulan Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes) pada tahun 2012 sampai tahun 2013, kemudian sebagai bendahara KPMDB pada tahun 2014. Pada tahun 2013 penulis bergabung dalam kepengurusan HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat). Dalam kepengurusan tersebut penulis menjadi sekretaris divisi public relation. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah sebagai juara 2 menulis cerita pendek pada acara HIMASIERA OLAH TALENTA pada tahun 2012. Kemudian menjadi finalis kategori cerita pendek pada acara Al-QalamWritification di Universitas Pendidikan Indonesia.