HUBUNGAN MAKNA RUMAH BANGSAWAN DAN FALSAFAH HIDUP MANUSIA JAWA DALAM KONTEKS PEMBATAS RUANG Dhiafah Setiprayanti1
[email protected]
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch.2 Ir. Muhammad Faqih, MSA. PhD.3 1
Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 2 Staff Pengajar Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 3 Staff Pengajar Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
ABSTRAK Budaya menampilkan kekomplekan dalam suatu masyarakat. Masyarakat Jawa adalah salah satu hasil dari kebudayaan yang merasuk hingga menjadi identitas. Pada masa Pakubuwono X terjadi gempuran budaya Eropa yang secara eksplisit berpengaruh pada kehidupan masyarakat Jawa dan juga arsitektur di Surakarta. Tulisan ini membahas ekspresi budaya Jawa berupa falsafah hidup manuisa Jawa yang tertuang dalam rumah dan kaitannya dengan makna. Makna dibaca dengan konteks pembatas ruang, yaitu dinding, lantai dan langit-langit/ceiling. Rumah bangsawan terletak di benteng Keraton Kasunanan Surakarta dipilih menjadi objek karena masih memiliki keaslian dan kelengkapan bagian-bagian rumah Jawa. Hasil penelitain menunjukkan adanya hubungan pada bagian rumah yang memiliki nilai kehidupan dan ke-Tuhan-an. Kata kunci: budaya, falsafah hidup manusia Jawa, pembatas ruang, rumah bangsawan
PENDAHULUAN Kebudayaan dibangun oleh masyarakat dengan pemikiran yang abstrak tentang apa yang penting dan bernilai dalam hidupnya. Kebudayaan menjadi pedoman hidup baik itu tindakan maupun sikap, melalui proses penyamaan pandangan masyarakat atas pandangan atau pendapat pribadi. Pedoman hidup tersebut disetujui bersama dan kemudian menjadi latar kebudayaan. Jawa sebagai daerah yang memegang teguh kebudayaannya telah mempertahankan apa yang diyakininya tapi tidak menutup diri atas segala sesuatu yang baru untuk membangun kekayaan budaya yang dimilikinya. Budaya Jawa memperoleh gempuran dan pengaruh dari budaya luar namun masyarakat Jawa atau kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mempertahankan keaslian budayanya, dengan cara membiarkan bahkan menerima budaya asing tersebut, sebagai sarana untuk memperkaya kebudayaan Jawa, sampai akhirnya menjadikan pengaruh budaya luar itu sebagai budaya Jawa (Suseno, 1988:16). Pembauran masing-masing komponen masyarakat dalam lingkungan budaya yang baru memberikan nuansa dan wajah baru bagi kota Surakarta. Namun, masyarakat Jawa akan tetap mempertahkan yang diyakininya sedari dulu. Warisan leluhur dijadikan dasar bagi individu agar mendapatkan tempat dan pengakuan dari masyarakat luas. Suatu warisan luhur yang menuntun dirinya menjadi manusia Jawa akan terus dipertahankan dan dijadikan identitas Jawa. Budaya merupakan pintu gerbang menuju berbagai pemikiran abstrak yaitu filosofi yang berkembang menjadi falsafah hidup yang digunakan sebagai tuntutan kehidupan. Pemikiran-pemikiran masyarakat Jawa terpapar dari bagaimana mereka menjalankan kehidupannya dengan berbagai sikap yang berhubungan dengan sesamanya dan berhubungan dengan Tuhannya. Rumah sebagai tempat untuk memfasilitasi kehidupan manusia. Rumah dibentuk dari kebudayaan dengan memakan waktu yang sangat lama, pada awalnya hanya sebegai tempat pernaungan dan perlindungan, tapi dengan adanya perkembangan budaya, kebutuhan dan teknologi, fungsi rumah menjadi cukup kompleks. Rumah mengemban berbagai macam fungsi dan terkadang tidak dapat disatukan, sehingga diperlukannya pembatas untuk memisahkan. Pembatasan akan membentuk ruang-ruang yang saling berkaitan menjadi kompleks rumah. Kelengkapan ruang inilah yang menjadikan rumah bangsawan lebih unggul dari pada rumah umumnya. Rumah bangsawan merupakan
community house terdiri dari beberapa bagian, yaitu pendopo, pringgitan, emperan, dalem ageng, senthong, gandok, dapur, kamar mandi. Keunggulan rumah bangsawan/dalem kepangeranan selain memiliki kelengkapan, juga mampu menunjukkan keaslian wujud fisiknya. Mempertahankan keaslian rumah bangsawan Jawa merupakan salah satu upaya dalam mempertahankan identitas Jawa. Namun, rumah mengalami perubahan akibat meningkatnya pengetahuan manusia dari yang sederhana ketingkat yang lebih kompleks. Pengetahuan ini membantu mengarahkan manusia memahami nilai, konsepsi, atau paham yang membimbing tindakan dalam upayanya mencari pengalaman yang harmonis untuk mencapai ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Pandangan mengenai konsep kemapanan dalam bertempat tinggal memberikan gambaran keberadaan dan status seseorang. Rumah hanya salah satu cara yang nyata untuk mewujudkan upaya menghuni suatu tempat, yang terdiri dari struktur bangunan fisik yang memuat satuan simbolis, sosial dan praktis (Santosa, 2000:3). Upaya tersebut tidak lepas dari budaya yang mengarahkan masyarakat Jawa sebagai manusia kaya akan nilai-nilai luhur dan membentuk falsafah hidup. Keaslian arsitektur Jawa mengalami beberapa perubahan secara fisik menimbulkan pertanyaan akan pemaknaannya. Perubahan berlangsung disebabkan masuknya budaya Eropa pada masa Pakubuwono X di berbagai bidang yang dikhawatirkan menuntun kearah perubahan inti dari budaya Jawa. Tulisan ini juga mencoba mengungkap makna yang terjadi pada rumah bangsawan dilihat dari segi falsafah hidup masyarakat Jawa. Rumah bangsawan diangkat dalam penelitian ini karena diperkirakan masih memegang keaslian karena rana terdekat dengan Keraton. Penelitian ini akan menguak makna yang terkandung dalam inti rumah bangsawan Jawa, yaitu pendopo, pringgitan dan dalem ageng dengan menggunakan metode kualitatif. TINJAUAN PUSTAKA Rumah sebagai lingkungan yang paling diakrabi manusia merupakan rana domestik yang sarat akan makna karena lingkup dari gagasan-gagasan utama kebudayaan dibentuk. Pemaknaan yang terjadi pada rumah menjadi suatu pola budaya yang berkesinambungan dibentuk oleh pengguna melalui interaksi dan aktivitas. Interaksi sosial sebagai penyusun makna dalam pembentukan bangunan terdapat tiga level hubungan, antara lain secara reflektif antara seseorang dengan dirinya sendiri, antara seseorang (atau sejumlah orang) dengan orang lain di masyarakat, dan antara seseorang (atau sejumlah orang) dengan “Yang Lain” yang ditentukan dalam pengalaman dengan Yang Maha (numinous) (Santosa, 2000:210). Level satu dan tiga lebih diorientasikan ke dalam manusia, sedangkan yang ke dua berorientasi ke luar karena hubungannya antara sosial masyarakat. Orientasi keluar dapat diekspresikan dengan fisik bangunan maupun yang non fisik, misalnya penggunaan bahasa yang memperlihatkan tingkatan status. Secara fisik, ruang depan mengemban tugas mengindikasikan status soaial pemilik rumah karena merupakan bagian dari rumah secara sosial paling rapi dan prestisius, guna menaikkan status pemiliknya di mata tamunya. Orientasi ke dalam adalah tempat bertemu diantara diri kita sendiri atau dengan lingkungan terdekat kita. Rumah dalam bebas dari pengamatan publik, memiliki sedikit kesempatan untuk menunjukkan status sehingga penampilan fisik yang menegaskan dan susunan yang rapi kurang diperhatikan. Rumah yang dikenal masyarakat turun temurun merupakan hasil kebudayaan. Manusia memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan kejadian dan aktivitas yang dilakukan dalam setting hingga memperoleh kesesuaian. Kebudayaan tidak semerta-merta terbentuk melainkan suatu proses dari nol hingga ada dan berkembang serta pengaruh mempengaruhi. Dengan sistem yang kuat dan stabil, budaya tetap ada dan dipegang teguh oleh masyarakatnya. Rapoport (2005) berpendapat bahwa untuk menggunakan konsep budaya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diasumsikan bahwa budaya dan lingkungan bina adalah unit yang ekuvalen, namun budaya masih terlalu abstrak, sehingga pendekatan yang digunakan melalui sosial-budaya. Dalam menghubungkan antara budaya dan lingkungan bina, Rapoport menentukan komponen-komponen secara spesifik dari ekspresi budaya agar lebih mudah dipahami. Komponen-komponen tersebut antara lain pandangan
dunia (world views), tata nilai, norma, gaya hidup dan sistem aktifitas (Rapoport,2005;9496).
Gambar.1 Budaya Kaitannya Dengan Lingkungan Bina (sumber: Rapoport, 2005:98)
Lingkungan bina dijabarkan menjadi empat komponen pembentuk, yaitu organization of space, system setting dan made up fixed, semi fixed and non-fixed features. Komponen made up fixed elements digunakan sebagai konteks pembacaan makna rumah bangsawan Jawa atas dasar budaya. Fixed elements diartikan sebagai elemen yang sudah terstruktur dan menjadi kesatuan pembentuk ruang, seperti lantai, dinding, dan atap. Perubahan elemen ini relatif dalam jangka waktu yang panjang, berbeda dengan semi fixed elements, seperti furniture/perabot yang memiliki tingkat perubahan tidak terlalu lama. Elemen-elemen itulah yang merupakan ekspresi yang dapat diinterpretasikan sebagai makna. Pengungkapan makna juga berkaitan dengan konsep ruang, kepercayaan masyarakat, fungsi, aktivitas, pandangan hidup, tujuan komersial, dan lain-lain. Tulisan ini akan menitik beratkan pada world views dalam melihat hubungannya dengan lingkungan binaan. World views diartikan sebagai pandangan manusia Jawa yang berkembang dalam wujud falsafah. Pola pikir berfilsafat masyarakat Jawa tidak sebatas sebagai pola pikir saja tapi juga diterapkan dalam dunia kehidupannya yang mengamalkan ajaran-ajaan yang menjadi tuntunan bersikap oleh masyarakat hingga masuk ke dalam lingkungan bina/arsitektur. Dengan dasar teori Rapoport, mencoba menguak hubungan yang terkandung pada rumah Jawa khususnnya pendopo, pringgitan dan dalem ageng dengan falsafah hidup manusia Jawa. Falsafah hidup manusia Jawa berakar pada filsafat Timur yang diungkapkan oleh Plato, bahwa pandangan hidup/ filsafat hidup yang tumbuh tanpa melalui penyelidikan benar dan tidaknya, tetapi hanya karena tumbuh melalui kecocokan rasa. Inilah yang membedakan pola pikir masyarakat Jawa (masyarakat timur) sangat berbeda dengan pola pikir masyarakat barat yang berakar pada pemikiran Ariestoteles. Jika di barat, berfilsafat berarti dikaitkan dengan mempelajari ilmu tetapi di Jawa (masyarakat timur) berfilsafat berarti mencari kesempurnaan hidup. Seperti yang dikemukakan oleh Zoetmulder dalam
Herusatoto, (1984:72) bahwa, orang selalu mencari keterangan tentang arti kehidupan manusia, asal-usulnya, tujuan akhirnya, hubungan dengan Tuhan dan dunia. Nilai-nilai kehidupan dan hubungan dengan Tuhan difokuskan dalam tiga falsafah, yaitu Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula lan Gusti dan Memayu hayuning bawana (Endraswara, 2000). Sangkan Paraning Dumadi mengandung artian bahwa manusia Jawa harus berhati-hati dalam menjalani hakekat hidup dan diharapkan mengetahui betul dari dan akan kemana hidup kita nantinya. Manunggaling Kawula lan Gusti merupakan suatu perwujudan sikap manembah, menciptakan ketenangan batin dan lewat inilah akhirnya ditemukan sebuah keharmonisan antara manusia dengan Tuhan. Memayu hayuning bawana berarti watak dan perbuatan yang senangtiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera dan bahagia. OBJEK KAJIAN Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Surakarta berasal dari kata Sala adalah jenis pohon. Kata Sala pada perkembangannya menjadi Salakarta dan sekarang lebih dikenal dengan Solo. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Adat istiadat Keraton Kasunanan Surakarta melekat pada diri para bangsawan karena kedekatan hubungan keluarga dengan Sunan. Dalam suatu susunan strata sosial dari kaum bangsawan, yakni komunitas yang sedikit-banyak telah terstratifikasi yang mengakibatkan munculnya berbagai perjuangan atas teritori. Dinamika perjuangan semacam ini tampak paling menonjol pada para penghuni di rumah utama, yakni para bangsawan yang eksistensinya sangat bergantung pada kedekatan dan kemurahan dari Raja yang sedang memerintah. Secara genealogis, pada garis keturunan seorang bangsawan, tiap tingkatan generasi memiliki kedekatan yang berjenjang terhadap garis trah penguasa. Pada kaitan ini, penurunan satu tingkat generasi akan berpengaruh pada penurunan derajat kedekatan terhadap garis trah tersebut. Penurunan status dapat diperbaiki dengan merekatkan kembali dengan pertautannya dengan keluarga yang sedang berkuasa. Itu bukanlah salah satu jalan, bisa juga dengan kedekatan baik resmi ataupun personal dengan penguasa (Santosa, 2000). Pertautan yang dekat dengan penguasa khususnya yang berhubungan kerabat akan mendiami dalem. Rumah bangsawan atau lazim disebut dalem kepangeranan, lokasinya di lingkungan kraton. di dalam dan luar benteng, merupakan salah satu dari berbagai tingkatan terbesar dan terlengkap dalam arsitektur rumah tradisional Jawa. Rumah-rumah bangsawan ini mudah dikenali karena struktur, bentuk atap, bangunan dan luas lahan berbeda dengan rumah penduduk sekitar, dikelilingi dinding tembok tinggi kira-kira tiga hingga lima meter. Dalem dapat dikategorikan dalam rumah joglo yang paling besar dan lengkap, dengan bagian-bagiannya. Joglo dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau sistem konstruksi bagian dari kompleks rumah. Joglo juga dapat diartikan sebagai keseluruhan atau kompleks rumah, termasuk dinding keliling, halaman, regol dan semua bagian di dalamnya. Regol merupakan akses masuk ke dalam area rumah bangsawan berupa pintu besar. Rumah bangsawan juga dapat disebut community house terdiri dari beberapa bagian, yaitu pendopo, pringgitan, emperan, dalem ageng, senthong, gandok, dapur, kamar mandi. Dalam suatu rumah lengkap bangsawan memiliki perbedaan dengan rumah lengkap yang dipergunakan oleh masyarakat umum yang memiliki tingkatan ekonomi yang tinggi. Rumah bangsawan yang dihuni oleh keluarga keraton memiliki batasan atau pakem-pakem yang harus ada dalam suatu rumah bangsawan Jawa. Ini sangat berbeda dengan rumah lengkap yang dibangun masyarakat umum yang bisa diolah sesuai dengan ekspresi yang ditampilkan pemilik. Mempertahankan kebudayaan yang telah diturunkan menjadi acuan dalam mempertahankan keaslian gubahan bentuk dan detail rumah bangsawan Jawa. Keaslian yang dipertahankan inilah yang menjadikan alasan mendasar dalam mempelajari
rumah Jawa dengan mengkhususkan pada rumah bangsawan Jawa di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta. PEMBAHASAN Rumah bangsawan merupakan perwujudan dari beberapa aspek yang ditautkan dan dipersatukan. Dalam membahas tentang pembatas pada rumah Jawa dapat menyinggung aspek lain yang membentuknya. “Dalam hubungan antara susunan ruang dan tindakan ragawi, terdapat dua cara untuk menyatakan setting ruang. Pertama, secara positif dengan mengartikulasi pusatnya dan yang kedua, secara negatif dengan mendefinisikan batasannya” (Santosa, 2000:40). Berkait dengan tindakan ragawi dalam suatu ruang, suatu pusat cenderung menjadi orientasi pengguna, sedangkan pembatas ruang akan mengisyaratkan partisipannya; siapa saja yang boleh masuk dan siapa saja yang tidak boleh memasuki ruangan. Manusia Jawa percaya pada kekuatan kosmos yang berasal dari lingkungan alam sehingga dipanadang perlu untuk membuat batas yang tegas antara ruang luar dengan ruang dalam. Pembatasan dalam suatu rumah mutlak ditentukan dan dihadirkan bahkan pada Sasono Mulyo. Batasan-batasan yang digunakan terdiri dari fixed element yang umumnya terdiri dinding, lantai, atap. Pendopo Bagian atas pendopo disangga oleh jajaran kolom/soko yang tersusun terpusat untuk menahan beban atap yang tersusun tiga tingkat digolongkan sebagai atap Joglo. Bentukan Joglo hanya digunakan oleh orang yang memiliki status sosial tinggi, yaitu bangsawan dan Raja. Jenis joglo digunakan juga berdasarkan luasan yang ingin dinaungi. Pendopo memiliki bentuk persegi yang tidak akan mampu ternaungi dengan atap limasan yang lebih mengarah ke bentuk persegi panjang.
Gambar 2. Tiga Tingkatan Atap Joglo
Terjadi sumbu horizontal dan vertikal dalam skala yang lebih kecil pada pendopo. Rangka ceiling/langit-langit yang memusatkan pada tumpang sari menambah kesan sentripetal yang terjadi dalam pendopo yang menunjukkan kesakralan tumpang sari dengan adanya pusat vertikal seperti yang diungkapkan Hidayatun (1999). Pusatnya pada empat soko utama/soko guru tepat ditengah ruangan yang menguatkan kevertikalitasan ruang. Tumpang sari adalah balok-balok pengikat soko guru yang tersusun seperti piramid berundak terbalik, mengikat puncak empat soko utama serta menghiasi ruang di dalamnya. Soko guru dapat diungkapkan sebagai ekspresi keabsolutan dari keberadaan pribadi dari tuan rumah ditengah lingkungan masyarakat dalam suatu perhelatan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Santosa (2000:27) bahwa Susunan sentripetal tampak pada balai pertemuan di depan yang merupakan satu-satunya ruang lapang menerus di depan rumah
yang memiliki empat kolom tinggi untuk menandai pusatnya. Empat kolom tinggi/ soko guru merupakan simbol akan adanya suatu yang ditinggikan dan diagungkan, yaitu Tuhan. Dalam menjalankan segala aktivitas sehari-harinya baik formal maupun non formal tidak terlepas dari Tuhan, termasuk yang berlangsung di pendopo. Pringgitan
Gambar 3. Keterbukaan Pendopo yang dapat dilalui dari ketiga sisinya
Keterbukaan ruang/tanpa dindiing secara umum hampir tidak tampak dengan jelas, kecuali pada rumah kelompok bangsawan yang memiliki unit pendopo dan pringgitan yang jelas terbuka (tidak berdinding). Konsep keterbukaan pendopo tidak sepenuhnya terbuka dalam arti sebenarnya, melainkan memberikan suatu efek psikologis. Orang Jawa dikenal dengan tata karma yang tinggi yang menyimpan penghormatan dan perilaku yang sopan. Orang diajak merasakan suatu efek psikologis dengan melihat pendopo yang terbuka dan terbentang luas tanpa penghalang. Ini membawa manusia untuk berhitung/menimbangnimbang akan suatu kepantasan untuk berada di tengah tanpa adanya pemilik rumah. Ini termanifestasikan dalam suatu sikap seperti sungkan untuk bertingkah seenaknya di dalam pendopo. Luas dan terbuka menjadikan orang lain yang ingin memasuki dengan melewati area tengah menjadi terhalang oleh efek psikologis. Keterbukaan endopo memberikan pengalaman yang berbeda yang dirasakan seakan-akan ada sesuatu yang menuntun untuk bersiakap sebaliknya. Memunculkan sikap canggung, sehingga kebebasan yang terjadi sangatlah mengikat. Kebebasan yang semu ini menjadikan seseorang terdorong untuk tidak bersikap sombong. Ini berimbas pada rasa canggung untuk melangkah ke tengah ruangan yang terasa monumental diarea tengahnya, sehingga kenyakan akan berjalan mengelilingi ruang menuju ke arah bagaian belakang bangunan. Maka, keterbukaan ini mengalami suatu penyempitan perilaku. Peninggian lantai di pendopo juga tergantung pada strata sosial pemilik rumah. Bangsawan yang memiliki starata sosial yang tinggi biasanya menaikkan lantainya hingga tiga tingkat. Dari lantai pendopo inilah yang juga membedakan dengan lantai kuncung yang dibuat rata dengan tanah, tapi menuju ke area dalem ageng akan terjadi kenaikan pula. Setiap kenaikan dari tiap ruang menunjukkan adanya hirarki yang mengikutinya. Memberikan kesan kesucian bagi ruang yang berada di puncak hirarki. Selain itu, ketinggian tertentu dibuat karena mengandung suatu maksud untuk memudahkan menerima tamu, yakni cara duduk (bersila di lantai) (Hidayatun, 1994). Dari ketiga pembatas ruang, yaitu atap/ceiling, dinding, dan lantai menuntun ke arah maknanya sendiri-sendiri. Atap sebagai pernanungan merupakan simbol dari Tuhan, dinding dimaknai keterbukaan dalam arti yang menyempit sedangkan lantai yang ditinggikan menyimbolkan status sosialnya dan juga cara penerimaan mencerminkan kerukunan dengan duduk di lantai. Ketiganya ini berhubungan dengan hubungan sosial pemiliknya dengan pengungkapan yang simbolik dari bentuk dan juga memberikan isyarat psikologis tertentu agar tidak seenaknya dalam bersikap.
Pendopo dalam komponen rumah bangsawan Jawa yang mewadahi aktifitas publik yang dilakukan oleh pemilik rumah. Sifat pendopo dalam arti pembatas ruang hanya dapat memenuhi satu falsafah hidup yang diangkat pada studi kali ini diungkapkan oleh Endraswara, yaitu falsafah Manunggaling Kawulo lan Gusti. Secara filsafati terekspresikan dari wujud atap brujung dari pendopo yang mepresentasikan adanya suatu yang diagungkan, yaitu Tuhan. Pringgitan Tantangan alam ditanggapi dengan menutup sebagian tempat tinggal dari udara bebas dan terbuka, kecuali di bagian yang dipergunakan untuk menerima tamu atau bagian publik yang menyandang konsep terbuka sepebuhnya, yaitu pendopo. Timbul anggapan bahwa kekuatan alam akan mengintai saat manusia dalam keadaan tidak sadar atau tertidur, hingga berada di dalam rumah memberikan jaminan terbebas dari pengaruh mala petaka (kekuatan alam) yang merugikan. Bukaan yang menghubungkan dengan ruang luar direduksi, sehingga ruang dalam tidak berhubungan langsung dengan ruang luar. Maka, dubuatlah suatu ruang transisi yang disebut pringgitan. Area penghubung antara dalem dan pendopo ini terjadi komunikasi di antara ke dua ruang. Tidak sekedar sebagai penghubung tapi juga sebagai penyeimbang antara suatu yang umum dan yang sakral. Dari segi pemabatas ruang sangat berbeda dengan pendopo, salah satu alasannya juga dikarenakan kapasitas dan fungsinya. Pringgitan ini lebih sederhana dari segi bentuknya baik atap dan juga soko. Pringgitan biasanya menggunkan atap limasan. Limasan dipilih karena bentuk denah pringgitan yang membentuk persegi panjang, sehingga atap limasanlah yang sesuai untuk menaungi pringgitan. Atap jenis limasan terkesan sederhana dan umum. Ini biasanya yang dipakai oleh rakyat kebanyakan. Limasan dari segi konstruksi dan bahan relative lebih sederhana dan menggunkan sedikit bahan. Pada keseluruhan komponen rumah bangsawan Jawa, pringgitan bukanlah suatu area yang memiliki kesakralan melainkan pendukung bangunan utamanya, yaitu pendopo dan dalem ageng. Tidak seperti Joglo yang memiliki makna yang dalam memperlihatkan kehidupan manusia, limasan tidak memiliki arti yang spesifik. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Hidayatun (1999) bahwa, bentuk limasan secara makna filosofis dapat dikatakan hampir tidak ada. Pringgitan sebagai ruang transisi dan juga mengakomodasi kegiatan yang masih bersifat terbuka seperti menerima tamu. Kegiatan tersebut sangat dekat kaitannya ke arah ke luar, yaitu pendopo sehingga dapat dikatakan area pringgitan ini lebih berorientasi ke pendopo dari pada dalem ageng. Namun area pringgitan ini pun tidak dapat dikatakan untuk umum tapi lebih tepatnya kalangan umum yang terbatas dalam artian diterima oleh sang pemilik rumah. Pemabatas ruang lainnya adalah lantai. Lantai area pringgitan ini ada dua jenis, yaitu yang menyambung langsung dengan pendopo dan ada pula yang terpisah karena adanya longkangan. Pada dasarnya adalah sama, namun yang membedakan hanya penempatan pemberhentian kereta kuda /longkangan.
Gambar 4. Longkangan di Mangkunegaran
Gambar 5. Kuncung di Sasono Mulyo
Secara keseluruhan pringgitan merupakan area transisi untuk menuju ke area dalem ageng. Pembatas-pembatas ini mengarah pada fungsional pringgitan yang berfungsi sebagai penerimaan tamu delam jumlah terbatas dan juga pagelaran wayang. Dengan bentukan yang dimiliki pringgitan tidak mengarah pada pemaknaan yang filosofis seperti yang diungkapkan oleh Hidayatun bahwa bentuk limasan secara makna filosofis dapat dikatakan hampir tidak ada. Sedangkan bentukan lainnya seperti dinding dan lantai sebagai bentukan fungsional semata. Sifat pringgitan dalam arti pembatas ruang belum dapat memenuhi falsafah hidup yang diangkat pada studi kali ini, yaitu Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula lan Gusti dan Memayu hayuning bawana. Dalem Ageng Dalem ageng memiliki keserupaan dengan pendopo, tetapi yang membedakan cukup jauh adalah penggunaan dinding mengelilingi dalem ageng. Pada atapnya pun menggunakan joglo namun bentukknya lebih sederhana karena pada area ini bukanlah tempat bagi pemilik rumah untuk menunjukkan prestise tapi mengarah pada aktivitas pribadinya. Menggunakan atap joglo sudah barang tentu memiliki soko guru yang menopangnya. Pada prinsipnya soko guru yang berada di pendopo dan di dalem ageng adalah sama. Kesamaan pada pendopo dan dalem ageng, keduanya memiliki kesamaan bentuk dan berlanjut pada cosmos. Pendopo merepresentasikan hubungan sosial dan secara terbuka terhadap sekelilingnya. Sedangakan Dalem merepresentasikan kekuatan langit yang secara langsung menunjukkan pusat dan berhubungan langsung dengan vertikalisasi ke area tertinggi. Pemusatan keduanya memperlihatkan kekuatan yang lebih besar dan menguasai segalanya, yaitu Tuhan. Pembatas ruang berupa dinding pada dalem ageng tidak sama dengan pendopo, walaupun struktur atapnya tidak jauh berbeda. Dinding masif yang melingkupi dalem ageng menimbulkan sifat privasi dan menunjukkan ada yang ingin diliindungi di dalamnya. Perempuan yang tinggal di dalamnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga dan bendabenda berharga atau pusaka menjadi yang dilindungi oleh kemasifan. Di dalam dalem ageng pun terdapat penyekatan ruang, sehingga membentuk sentong tengah, sentong kiwo/kiri dan sentong tengen/kanan. Sentong kiwo berfungsi sebagai tempat tidur anak, sentong kanan sebagai tempat tidur orang tua, dan sentong tengah sebagai pusat/as kesakralan rumah Jawa yang dipergunakan hanya untuk pengantin baru dan juga menyimpan benda-benda berharga.
Gambar 6. Kemasifan Dinding yang Melindungi yang Ada di Dalamnya
Secara fungsional, dalem ageng memiliki makna proteksi dengan adanya kemasifan dinding yang menyelubunginya dan faktor penjagaan atas segala sesuatu yang berharga di dalam rumah. Kemasifan dinding yang diberi bukaan secukupnya sebagai penghawaan di siang harinya, namun lingkup kegelapan masih terasa karena cahaya matahari tidak langsung masuk melainkan berupa pantulan. Keadaan ini tetap dapat memberikan efek privasi yang sangat diperlukan dalam dalem ageng. Dalem ageng merupakan tempat
keluarga inti melakukan kegiatan yang tidak diketahui oleh orang luar seperti beristirahat dan juga ritual. Ritual atau meditasi inilah yang utama dan menjadi pemusatan aktivitas pada rumah. Pembatasan dalem ageng ini untuk membatasi akses dan menjadikannya sebagai area privat, namun lebih dalam lagi dilaksudkan untuk menguatkan karakter protektif. Protektif terhadap segala yang ada di dalamnya baik itu benda maupun yang tinggal didalamnya. Dari area pendopo, pringgitan dan dalem ageng terjadi penambahan dinding yang mengakibatkan reduksi cahaya yang berangsur melemah hingga dalem ageng. Pada dalem ageng lingkup kegelapan masih dapat dirasakan walaupun pada siang harinya sehingga memberikan kesan misteri. Ini sama seperti yang disebutkan Tjahjono bahwa reduksi cahaya ini menimbulkan kesan sakral dan misteri. Pada area pendopo yang tanpa adanya dinding, cahaya yang masuk sangatlah kuat dan terang. Intensitas cahaya lebih sedikit karena tiga sisinya tertutup dinding, yang terbuka hanya sisi yang berhadapan dengan pendopo. Dalem ageng yang dilingkupi dinding massif, tidak mendapatkan cahaya sehingga ruangan menjadi gelap. Dari sini ditemukan suatu tingkatan intensitas cahaya yang juga berhubungan dengan hirarki ketiga ruang inti serta kesakralannya. Bagian belakang rumah dikonstruksikan sebagai ranah yang terjaga.
Gambar 7. Reduksi cahaya pencipta misteri di dalem ageng (sumber: Gunawan Tjahjono, 1989:128) Lantainya tidak berbeda dengan pendopo hanya saja ada yang menaikkan level lantainya pada area sebelum soko guru hingga sentong. Kali ini pun, hirarki pada ruang digunakan sebagai penanda adanya sesuatu yang ditinggikan. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesakralan area ini. Menuju ke area yang lebih suci dan disakralkan, yaitu pada area sentong tengah yang merupakan pusat dari rumah Jawa. Kesakralan dan kesucian area ini benar-benar dijaga hingga diperlukan ijin untuk dapat memasukinya bahkan keluarga dekat sekalipun. Tingkat kesakralan pada sentong tengah ini aadalah kesakralan yang tertinggi di rumah karena tempat individu menjalin hubungan dengan Tuhan. Pembatas ruang di sini tidak hanya sekedar membatasi untuk memberikan area privat tapi juga terjadi penyimbolan. Sifat dalem ageng dalam arti pembatas ruang hanya memenuhi falsafah hidup pada point Manunggaling Kawulo Lan Gusti. Falsafah ini merupakan suatu hubungan individu secara sadar, mendekat, menyatu dan manunggal dengan Tuhan. Keutamaan falsafah ini termanifestasikan pada atap dan dinding dalem ageng. Dinding yang dilingkupi kemasifan memberikan pengalaman cahaya yang berbeda. Dari terang menuju ke kegelapan sepanjang sumbu tersebut membangkitkan rasa saral dan misteri (Tjahjono, 1989:126). Kesakralan inilah yang memberikan kesan kuat terhadapa ritual yang dijalankan pada sentong tengah. Keadaan tersebut juga berpengaruh pada atap. Mengadakan ritual/meditasi pada pendopo ageng dapat terjadi di sentong tengah, di bawah tumpang sari bahkan menanam dirinya di tanah tanpa makan dan minum. Ritual di bawah tumpang sari menunjukkan hubungan vertikal yang terjadi dengan Tuhan. Jadi, Manunggaling Kawulo Lan Gusti sangat kuat pada dalem ageng.
KESIMPULAN Falsafah hidup manusia Jawa membentuk perilaku dan aktivitas yang terjadi di rumah bangsawan Jawa. Dibantu dengan pembatasan ruang, aktivitas terklaster dalam ruangruang tersendiri dan terbagi dalam dua rana besar, yaitu rana duniawi dan spiritual. Didasari oleh pemikiran filsafat Timur yang bertolak dari pemikiran tentang arti kehidupan dan hubungannya dengan Tuhan, maka hal tersebut termanifestasikan dengan dalam bentukan Joglo yang ada pada pendop dan dalem ageng. Dalem ageng merupakan area privat yang tidak sembarangan orang dapat masuk ke dalamnya termasuk juga area sakral pada waktu tertentu dan melingkupi sentong tengah. Falsafah Manunggaling Kawula Gusti meresap dalam pada area ini. Dengan pendekatan diri pada Tuhan didukung dengan bentukan arsitekturnya yang memberikan kesan misteri dan sakral. Kemasifan, peninggian lantai serta atap Joglo yang dipergunakan merupakan elemen yang menunjukkan hirarki kesakralan. Sebenarnya keseluruhan rumah dari pendopo hingga dalem ageng semakin meninggi, ini menunjukkan adanya suatu hirarki yang terus dipertahankan. Falsafah hidup manusia Jawa yang lebih bersifat pribadi/individu, Manunggaling Kawula lan Gusti tercermin disini. Keprivatan ini membuat pemilik rumah lebih dapat mendekatkan diri pada Tuhan, berfikir dan juga belajar akan hidup dan setelah kehidupan. Maka dapat dimengerti mengapa dalam agenglah yang menjadi arena hubungan dengan konsep tertinggi yang dimiliki oleh filosofi Timur. Dari ketiga ruang, keutamaan makna yang berhubungan dengan falsafah hidup manusia Jawa terjalin kuat pada area yang memiliki nilai kesakralan dan ditinggikan. Nilai kesakralan tidak sama sekali dapat terjamah oleh budaya luar. Kekuatan inilah yang menjadikan identitas budaya Jawa masih terjaga dengan baik. Walaupun terjadi gempuran budaya Eropa, tapi tidak mengubah gubahan bentuk bahkan keaslian nilai-nilai rumah bangsawan. Bentuk yang masih terus dipertahankan merupakan bukti teraga adanya usaha mempertahankan budaya yang menjadi dasar identitas. Kenyataan ini sesuai dengan yang dikatakan Suseno (1988:16) bahwa kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mempertahankan keaslian budayanya.
DAFTAR PUSTAKA Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. PT. Hanindita. Yogyakarta. Hidayatun, Maria I. 1994, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Kotagede: Dampaknya Terhadap Arsitektur Rumah Tinggalnya”, Tesis S-2 Pascasarjana UI. Program Studi Antropologi. Hidayatun, Maria I., 1999. Pendopo Dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi dan Makna Pendopo pada Arsitektur Tradisional Jawa dalam Perubahan Kebudayaan. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 37 – 47. Universitas Kristen Petra. Rapoport . 2005. Culture Architecture, and Desigm. Lock Science Publishing Company, Inc. Chicago. USA. Santosa, Revianto Budi. 2000. Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta. Suseno, Franz Magnis, 1988, “Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tjahjono, Gunawan. 1989. Dissertation: Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectureal Tradition: The Symbolic Dimention of house Shapes in Kota Gede and Surroundings. University of California.