HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN GEJALA ANEMIA DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PEKERJA WANITA DATARAN TINGGI DI PERKEBUNAN TEH PURBASARI, BANDUNG
ANNA TRESIA SIAHAAN
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Konsumsi Pangan dan Gejala Anemia dengan Kadar Hemoglobin pada Pekerja Wanita Dataran Tinggi di Perkebunan Teh Purbasari, Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Septermber 2016
Anna Tresia Siahaan I14120108
iv
v
ABSTRAK ANNA TRESIA SIAHAAN. Hubungan antara Konsumsi Pangan dan Gejala Anemia dengan Kadar Hemoglobin pada Pekerja Wanita Pemetik Teh di Perkebunan Purbasari, Bandung. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan NAUFAL MUHARAM NURDIN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsumsi pangan
dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin pada pekerja wanita pemetik teh di Perkebunan Purbasari, Bandung. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study dengan jumlah responden sebesar 46 orang. Responden dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang terdaftar sebagai pekerja pemetik teh dan bersedia menjadi responden penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik responden, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, gejala anemia dan kadar hemoglobin. Sebagian besar responden (67.4%) memiliki tingkat pengetahuan gizi pada kategori sedang dan status gizi lebih (52.2%). Rata-rata tingkat kecukupan energi dan karbohidrat responden tergolong baik sedangkan tingkat kecukupan protein, lemak, zat besi, vitamin C, dan vitamin A tergolong defisit. Skor gejala anemia pada kelompok responden non-anemia cenderung lebih tinggi (18.46) dibandingkan dengan responden anemia (16.22). Hasil uji beda dengan Independent Sample T-Test menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1) pada pengeluaran pangan untuk jajanan dan sayuran pada kedua kelompok responden. Konsumsi jajanan yang tinggi sejalan dengan konsumsi sayuran yang rendah pada kelompok anemia. Uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p<0.1) antara tingkat kecukupan energi terhadap kadar hemoglobin responden dan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara karakteristik responden, gejala anemia, tingkat kecukupan protein, zat besi (Fe), vitamin C dan vitamin A pada kedua kelompok responden. Kata kunci : gejala anemia, kadar hemoglobin, tingkat kecukupan zat gizi, wanita usia subur
ABSTRACT ANNA TRESIA SIAHAAN. The Correlation between Food Consumption and Anaemia Symptoms with Hemoglobin Level of Woman Workers in Purbasari Tea Plantation, Bandung. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI dan NAUFAL MUHARAM NURDIN. The aims of this study was to analyze the correlation between food consumption, anaemia symptoms and haemoglobin level of woman workers in Purbasari Tea Plantation, Bandung. The design of this research used cross sectional study which involved 46 subjects. The subjects of this research were women of childbearing age that registered as employees at Purbasari Tea Plantation, Bandung. Data collected include the characteristic of subjects, energy and nutrients adequacy level, anaemia symptoms and hemoglobin level. Most of respondents (67.4%) had nutritional
vi knowledge in the middle category while the nutritional status respondents (52.2%) were overweight and obese. The average of energy and carbohydrate adequacy level were categorized as adequate, while protein, fat, iron, vitamin C, and vitamin A were categorized as deficit. Anaemia symptoms score in non-anaemia group (18.46) were higher than anaemia group (16.22). Independent Sample T-Test showed that there were significant differences (p<0.1) in food cost of vegetables and snacks between the groups. High consumption of snacks in line with low consumption of vegetables in anemia group. Pearson and Spearman test showed that there were significant correlations (p<0.1) between energy adequacy level with hemoglobin level and there were no significant (p>0.1) correlation between characteristic of subjects, adequacy level of protein, iron, vitamin C and vitamin A and anemia symptoms with hemoglobin level. Keyword : adequacy level of nutrient, anaemia symptoms, haemoglobin level woman in childbearing age.
vii
RINGKASAN ANNA TRESIA SIAHAAN. Hubungan gejala anemia, konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin pekerja wanita dataran tinggi di perkebunan teh Purbasari, Bandung. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan NAUFAL MUHARAM NURDIN. Anemia merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia dan sering dialami oleh kelompok wanita usia subur (WUS). Anemia adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dalam darah tidak mencukupi sehingga terjadi gangguan dalam mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Indikator anemia untuk usia >15 tahun yakni apabila konsentrasi hemoglobin (Hb) darah sebesar <12 mg/dL pada wanita dan <13 mg/dL pada laki-laki (Riskesdas 2013). Berdasarkan data Riskesdas (2013), sekitar 21.7% masyarakat Indonesia pada kategori usia ≥1 tahun mengalami anemia dan umumnya lebih banyak terjadi pada perempuan (22.8%) dibandingkan dengan laki-laki (20.6%). Menurut WHO (2011), sebanyak 38% wanita hamil, 29% wanita tidak hamil serta hampir 50% wanita usia produktif di dunia mengalami anemia. Pekerja wanita penting untuk menjaga dan mempertahakankan kadar hemoglobin darah berada batas normal agar terhindar dari gejala anemia yan dapat menganggu aktivitas sehari-hari dan produktivitas dalam bekerja. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan gambaran tentang kaitan antara konsumsi pangan dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin pada pekerja wanita yang khususnya tinggal di daerah dataran tinggi. Secara umum tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin pada pekerja wanita pemetik teh di perkebunan Purbasari, Bandung. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik individu pekerja wanita pemetik teh di perkebunan Purbasari Kabupaten Bandung, 2) Menilai status gizi dan konsumsi pangan responden, 3) Mengidentifikasi gejala anemia yang dirasakan dan kadar hemoglobin responden, 4) Mengkaji perbedaan antara status gizi dan pengetahuan gizi pada responden pada kelompok anemia dan non-anemia 5) Mengkaji perbedaan antara gejala anemia, konsumsi pangan dan frekuensi konsumsi pada responden pada kelompok anemia dan non-anemia 6) Menganalisis hubungan antara gejala anemia dan kadar hemoglobin responden, dan 7) Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dan kadar hemoglobin responden. Responden penelitian merupakan pekerja wanita di perkebunan Purbasari, Kabupaten Bandung sebanyak 46 orang. Rata-rata usia responden yaitu 36.8±8.4 tahun. Rata-rata besar keluarga responden yang anemia dan non-anemia tergolong kecil (4-6 orang). Pengeluaran pangan responden anemia lebih besar dibandingkan responden non-anemia. Persentase tertinggi pendidikan akhir yang ditempuh responden yakni lulusan SD (54.3%). Total pengeluaran pangan yang dikeluarkan oleh responden anemia (Rp 974 682) lebih besar dibandingkan dengan responden non-anemia (Rp 953 752). Pengeluaran terbesar responden anemia dalam sebulan yaitu untuk membeli jajanan sedangkan pada responden non-anemia untuk membeli makanan pokok.
viii Rata-rata tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi responden anemia lebih rendah dibandingkan responden non-anemia. Status gizi normal lebih banyak ditemukan pada responden anemia (55.6%) dibandingkan dengan responden nonanemia (46%). Rata-rata skor gejala klinis yang dirasakan oleh responden anemia (16.22) lebih rendah daripada skor responden non-anemia (18.46). Rata-rata asupan energi dan zat gizi pada kedua kelompok responden tidak berbeda secara signifikan (P>0.05). Tingkat kecukupan responden secara umum tergolong defisit pada protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C sedangkan energi, karbohidrat, lemak sudah tergolong baik. Hasil uji beda dengan Independent Sample T-Test menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0.1) pada pengeluaran sayuran dan jajanan antara kedua kelompok responden namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada pengetahuan gizi, status gizi, asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada kedua kelompok reponden. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan signifikan (p>0.1) antara tingkat kecukupan energi terhadap kadar hemoglobin responden dan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara karakteristik responden, gejala anemia, tingkat kecukupan energi, zat besi, vitamin C dan vitamin A terhadap kadar hemoglobin responden.
ix
HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN GEJALA ANEMIA DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PEKERJA WANITA DATARAN TINGGI DI PERKEBUNAN TEH PURBASARI, BANDUNG
ANNA TRESIA SIAHAAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
x
xi Judul Skripsi
Nama NIM
: Hubungan Konsumsi Pangan dan Gejala Anemia dengan Kadar Hemoglobin Pekerja Wanita Dataran Tinggi di Perkebunan Teh Purbasari, Bandung : Anna Tresia Siahaan : I14120108
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si Pembimbing I
dr. Naufal Muharam Nurdin, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh,
Dr. Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal disetujui :
xii
xiii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas cinta kasih dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Konsumsi Pangan dan Gejala Anemia dengan Kadar Hemoglobin Pekerja Wanita Dataran Tinggi di Perkebunan Teh Purbasari, Bandung.” Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si dan dr. Naufal Muharam Nurdin, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan skripsi. 3. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan tim peneliti yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan sebagian data dalam penelitian ini untuk penulisan skripsi. 4. Seluruh pihak Perkebunan dan Kepala Administrasi PTPN VIII yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini. 5. Keluarga penulis tercinta Bapak, Mama, Abang Anton, Abang Ponco, Kak Angel, Kak Dede atas dukungan moril, materil, cinta dan dukungan serta selalu mendoakan kelancaran dari penyelesaian tugas akhir. 6. Sahabat-sahabat yang penulis kasihi, Regina, Chendy, Maria, Icon, Roni, Max, Kevin, Haga, Herry, diaspora, Anggia, Nevvi, Nurma, Rindy, Lestari, Novi, Sakinah, Dena, Vivi, Novie, Meisya, Mita atas kebersamaannya dan selalu memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. 7. Teman-teman Gizi Masyarakat serta semua pihak yang telah mendukung penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan dan ketidaksesuaian, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Bogor, Oktober 2016
Anna Tresia Siahaan
xiv
xv
DAFTAR ISI PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis Penelitian Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN METODE Desain, Waktu dan Tempat Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Sumber dan Jenis Data Pengolahan dan Analsisis Data Defenisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Usia Besar Keluarga Pendidikan Pengeluaran Pangan Pengetahuan Gizi Status Gizi Status Anemia Gejala Anemia Frekuensi Konsumsi Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Makro Tingkat Kecukupan Zat Gizi Mikro Hubungan Antar Variabel Hubungan antara karakteristik responden dan kadar hemoglobin Hubungan antara gejala anemia dengan kadar hemoglobin Hubungan antara konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
1 1 2 3 3
3 6 6 6 7 7
11 12 12
12 12 13 14 15 15 16 17 18 21
22 23 25
25 25 26 27 27 28
28 32 37
xvi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kategori variabel penelitian Rekomendasi pengurangan kadar hemoglobin Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu responden Alokasi pengeluaran pangan pada responden Sebaran responden berdasarkan tingkatan pengetahuan gizi Sebaran responden berdasarkan status gizi responden Sebaran responden berdasarkan status anemia Skor gejala anemia Sebaran frekuensi asupan pangan responden Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro responden dalam sehari 11 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi makro 12 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro 13 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro responden dalam sehari
7 10 13 14 15 16 17 17 19 22 23 24 24
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian
5
DAFTAR LAMPIRAN 1 Skor Gejala Anemia pada Kelompok Responden 2 Hasil uji beda dan uji hubungan pada penelitian
32 33
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu fokus utama dalam peningkatan sumber daya manusia. Masalah kesehatan yang kini sedang dihadapi Indonesia yakni masalah gizi ganda meliputi masalah gizi kurang seperti kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan masalah gizi lebih (berat badan berlebih atau obesitas). Masalah gizi ini umumnya terjadi karena ketidakseimbangan dalam mengonsumsi makanan yang dapat menganggu pertumbuhan dan daya tahan tubuh (Herman 2007). Penanggulangan masalah gizi penting dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat. Anemia merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia dan sering dialami oleh kelompok wanita usia subur (WUS). Anemia adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dalam darah tidak mencukupi sehingga terjadi gangguan dalam mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Indikator anemia untuk usia >15 tahun yakni apabila konsentrasi hemoglobin (Hb) darah sebesar <12 mg/dL pada wanita dan <13 mg/dL pada laki-laki (Riskesdas 2013). Berdasarkan data Riskesdas (2013), sekitar 21.7% masyarakat Indonesia pada kategori usia ≥1 tahun mengalami anemia dan umumnya lebih banyak terjadi pada perempuan (22.8%) dibandingkan dengan laki-laki (20.6%). Berdasarkan Depkes (2008), prevalensi anemia gizi besi (AGB) di Indonesia tahun 2007 yang terjadi pada wanita usia subur yakni sebesar 19.7%. Menurut WHO (2011), sebanyak 38% wanita hamil, 29% wanita tidak hamil serta hampir 50% wanita usia produktif di dunia mengalami anemia. Anemia tidak hanya sering dialami oleh wanita usia subur tetapi juga rawan terjadi pada kelompok balita, bayi, remaja, ibu hamil dan ibu menyusui. Anemia dapat disebabkan oleh infeksi, kekurangan darahdan kurangnya asupan makanan sumber mikronutrien seperti asam folat, zat besi dan vitamin B12 (Arisman 2004). Anemia yang paling sering terjadi yaitu anemia kekurangan zat besi yang umumnya banyak terjadi di Indonesia atau biasa disebut anemia gizi besi (AGB) (Maharani et al 2007). Anemia gizi besi (AGB) adalah anemia yang timbul karena kekurangan zat besi sehingga proses pembentukan sel-sel darah dalam tubuh terganggu (Wirani & Wirjatmadi 2012). Anemia dapat dideteksi melalui gejala yang muncul seperti pucat, mudah lelah, berdebar, takikardia (jantung berdetak lebih cepat) dan sesak nafas (Arisman 2004). Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan kesehatan tubuh seperti lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan serta menurunnya kebugaran tubuh, kemampuan kerja dan kekebalan tubuh (Yuniastuti 2008). Dampak anemia dapat dirasakan oleh hampir seluruh golongan usia baik anak-anak maupun usia dewasa. Kejadian anemia dapat menurunkan konsentrasi belajar pada siswa (Muchtar 2000). Pada pekerja wanita, anemia dapat berdampak pada menurunnya kebugaran tubuh, produktivitas kerja, turunnya daya tahan tubuh sehingga rentan terserang penyakit (Lubis & Aritonang 2008). Konsumsi pangan turut berperan dalam menentukan kejadian anemia pada seseorang. Asupan zat besi yang rendah pada masyarakat Indonesia umumnya
2 karena masyarakat lebih banyak mengonsumsi lauk nabati yang rendah kandungan zat besinya. Asupan yang rendah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya anemia (Lubis & Aritonang 2008). Berdasarkan penelitian Suyardi, Andriani dan Priyatna (2009) diketahui bahwa sebanyak 44% dari pekerja wanita di Tangerang mengalami anemia gizi dan diketahui adanya hubungan yang signifikan antara kejadian anemia gizi dan rendahnya asupan protein dan zat besi. Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh mekanisme penyerapan zat besi dalam tubuh. Penyerapan zat besi dapat ditingkatkan melalui asupan protein hewani dan vitamin C. Protein hewani memiliki kandungan dan biovabilitas Fe yang tinggi sedangkan vitamin C berperan dalam mengubah senyawa ferri dalam makanan menjadi berbentuk ferro sehingga mudah diserap oleh tubuh (Whitney & Sharon 2007). Sementara faktor yang menganggu penyerapan zat besi dalam tubuh yaitu konsumsi senyawa tannin, asam fitat dan asam fosfat (Raspati 2010). Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi turut berperan dalam menentukan penyerapan zat besi dalam tubuh (Utama et al 2013). Masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi umumnya memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah (Waani et al 2014). Daerah dataran tinggi memiliki kadar oksigen yang rendah sehingga tubuh akan melakukan proses aklimatisasi atau adaptasi fisiologis dengan cara meningkatkan kapasitas paru dan kadar hemoglobin (Hb) darah agar oksigen dapat diedarkan ke seluruh tubuh secara optimal (Sudiana 2013). Orang yang bekerja di daerah dataran tinggi penting untuk menjaga dan mempertahankan kadar hemoglobin darah berada dalam batas normal agar terhindar dari gejala anemia yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari dan produktivitas dalam bekerja. Pekerja wanita banyak ditemukan di daerah dataran tinggi salah satunya di perkebunan teh. Masyarakat yang tinggal di daerah perkebunan umumnya memiliki kebiasaan minum teh tawar. Teh diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara konsumsi pangan dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin pada pekerja wanita dataran tinggi di daerah perkebunan teh.
Tujuan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin pada pekerja wanita di Perkebunan Teh Purbasari, Bandung. Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik individu pekerja wanita pemetik teh di perkebunan Purbasari Kabupaten Bandung 2. Menilai status gizi dan konsumsi pangan responden 3. Mengidentifikasi tanda dan gejala anemia yang dirasakan dan kadar hemoglobin responden 4. Mengkaji perbedaan antara status gizi dan pengetahuan gizi pada kelompok anemia dan non-anemia
3 5. Mengkaji perbedaan antara gejala anemia, konsumsi pangan dan frekuensi konsumsi pada kelompok anemia dan non-anemia 6. Menganalisis hubungan antara gejala anemia dan kadar hemoglobin responden 7. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dan kadar hemoglobin responden
Hipotesis Penelitian Hipotesis umum pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan antara status gizi dan pengetahuan gizi responden pada responden anemia dan non-anemia 2. Terdapat perbedaan antara gejala anemia, konsumsi pangan dan frekuensi konsumsi pada responden anemia dan non-anemia 3. Terdapat hubungan antara gejala anemia dan kadar hemoglobin responden 4. Terdapat hubungan antara konsumsi pangan dan kadar hemoglobin responden
Manfaat Manfaat penelitian ini yaitu memberikan gambaran dan informasi kepada pihak perkebunan dan responden pada penelitian terkait pola konsumsi pangan meliputi kuantitas dan kualitas pangan dan hubungannya dengan kejadian anemia pada pekerja wanita pemetik teh. Selain itu, dapat menjadi bahan referensi untuk menentukan pola konsumsi makan yang baik dan membantu dalam mengatasi masalah anemia pada pekerja khususnya wanita agar produktivitas kerja meningkat.
KERANGKA PEMIKIRAN Anemia adalah salah satu masalah kesehatan yang rentan terjadi pada wanita usia subur dan akan berdampak pada produktivitas dalam bekerja. Masalah anemia pada pekerja wanita dapat terjadi karena kurangnya asupan makanan sumber zat besi, menstruasi, konsumsi makanan yang menghambat penyerapan zat besi serta adanya infeksi cacing atau saluran cerna (Mann & Truswell 2007). Secara umum, masalah anemia pada negara berkembang disebabkan oleh rendahnya asupan zat gizi besi dalam diet sehari-hari. Asupan energi dan zat gizi umumnya dipengaruhi oleh karakteristik individu dan keluarga seperti umur, jenis kelamin, besar keluarga, pendidikan dan besar pendapatan keluarga. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi konsumsi yaitu pengetahuan gizi responden. Konsumsi pangan merupakan gambaran terkait dengan jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi oleh seseorang setiap hari dan sebagai ciri khas dari suatu kelompok masyarakat (Santosa 2004). Kurangnya asupan zat besi dalam diet, asupan makanan yang memiliki bioavabilitas rendah dan
4 kekurangan zat gizi lainnya yang terkait dengan metabolisme zat besi dalam tubuh dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia gizi besi (AGB) (Berdanier 2002). Selain itu, asupan zat gizi mikro lainnya selain zat besi (Fe) turut berperan dalam meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi. Dengan kata lain, jenis dan kuantitas makanan turut berperan dalam mempengaruhi kejadian anemia pada individu. Selanjutnya, jumlah dan jenis konsumsi pangan yang dikonsumsi seseorang akan menentukan tingkat kecukupan pada energi dan zat gizi meliputi energi, protein, karbohidrat, lemak, zat besi, vitamin C dan vitamin A. Tingkat kecukupan zat gizi seseorang akan berdampak pada status kesehatan seseorang. Seseorang yang mengalami anemia akan merasakan beberapa gejala yang umum dirasakan oleh penderita anemia yakni letih, lemah, lesu, pusing, pucat dan mata berkunang, sulit berkonsentrasi, pola tidur terganggu, sakit kepala berdenyut dan gangguan suasana hati (Berdanier 2002). Akan tetapi, gejala yang timbul umumnya berbeda pada setiap individu. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yakni pengukuran hemoglobin darah perlu dilakukan untuk memastikan status anemia seseorang. Seseorang akan dikatakan mengalami anemia apabila hasil pengukuran kadar hemoglobin darah kurang dari batas normal walaupun individu tersebut tidak mengalami beberapa tanda dan gejala anemia secara umum. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini akan disajikan pada Gambar 1.
5 Karakteristik Responden Umur Besar keluarga Pendidikan Pengeluaran pangan Pengetahuan gizi
Konsumsi pangan Kualitas Kuantitas
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Makro (E, P, L, Kh) Mikro (Fe, Vit C, Vit A)
Faktor lainnya: Infeksi Menstruasi Kehamilan
Status Anemia (Kadar Hemoglobin)
Gejala anemia
Produktivitas kerja
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Varibel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian konsumsi pangan dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin pekerja wanita dataran tinggi di Perkebunan Purbasari, Bandung
6
METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dan seluruh proses pengolahan dan analisis data dilakukan di Bogor pada bulan Juni-Agustus 2016. Penelitian ini menggunakan sebagian data sekunder dari penelitian yang berjudul “Kontribusi pendapatan, konsumsi pangan, anemia, defesiensi besi serta pengaruh suplementasi zat gizi dan pendidikan gizi untuk meningkatkan produktivitas pada pemetik teh wanita” yang dilakukan di Perkebunan Purbasari, Pengalengan, Bandung (Anwar et al 2016).
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur usia yang terdaftar sebagai pekerja pemetik teh di perkebunan Purbasari, Bandung. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang sesuai dengan kriteria pada penelitian ini. Adapun kriteria responden yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) wanita usia subur 19-49 tahun (2) sudah menikah, (3) tidak dalam keadaan hamil ataupun menyusui, (4) tidak sedang menderita penyakit/sehat dan (5) bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Jumlah contoh minimal ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan : n= jumlah minimal contoh Z= nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 sebesar 90% (1.645) P= estimasi proporsi anemia (prevalensi anemia WUS di Indonesia tahun 2007 sebesar 19.7%) d = estimasi drop out 10% (0.1) Sehingga : N = (1.645)2 (0.197) (0.803) = 43 responden 0.12 Jumlah responden digunakan pada penelitian ini yakni sebanyak 46 orang dan sudah memenuhi jumlah sampel minimal.
7 Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder meliputi data karakteristik individu, data konsumsi pangan, data kuesioner gejala anemia dan data pengukuran kadar hemoglobin responden. Data sekunder yang didapatkan dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner dan pemeriksaan laboratorium sebelum diberikan intervensi (baseline). Data karakteristik responden yang digunakan meliputi pengukuran antropometri tubuh (berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh), umur, data karakteristik sosio ekonomi-demografi (jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir) dan data pengeluaran keluarga. Adapun data konsumsi pangan individu diperoleh berdasarkan hasil food recall 2x24 jam dan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Selain itu, data gejala anemia menggunakan beberapa pertanyaan yang dimodifikasi dari kuesioner gejala anemia yang mengacu pada FACT-An questionnaire (Yellen et al. 1997). Status anemia responden diketahui dari pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb) yang dilakukan oleh tenaga medis.
Pengolahan dan Analsisis Data Data yang diperoleh dan terkumpul selanjutnya akan diolah menggunakan software Microsoft excel, Statistical Program for Social Science (SPSS versi 16) dan DKBM 2007. Tahapan pengolahan data dimulai dengan proses input data kemudian proses cleaning dan pengeditan data yang sudah ada. Selanjutnya, data dianalsis sesuai dengan variabel yang akan diteliti. Data karakteristik individu berupa umur, sosio ekonomi-demografi (jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir), data pengeluaran pangan keluarga dan pengetahuan gizi akan dianalisis secara deskriptif. Adapun pengkategorian variabel penelitian disajiikan pada Tabel 1.
No
Variabel
Tabel 1 Kategori variabel penelitian Kategori/Kelompok
1
Usia
2
Jumlah anggota keluarga
3
Pengeluaran pangan
(1) 20-29 tahun (2) 30-39 tahun (3) 40-49 tahun (1) Kecil (≤ 4 orang) (2) Sedang (5-7 orang) (3) Besar (> 7 orang) (1) Makanan pokok (2) Lauk pauk (3) Sayur (4) Buah (5) Jajanan
Sumber/Acuan AKG 2013
BKKBN (1998)
8
No 4
5
6
7
8
9
10
Tabel 1 Kategori variabel penelitian (Lanjutan) Variabel Kategori/Kelompok Tingkat pendidikan (1) Tidak sekolah (2) SD/sederajat (3) SMP/sederajat (4) SMA/sederajat (5) Perguruan tinggi/sederajat Tingkat (1) Kurang (<60%) pengetahuan gizi (2) Sedang (60-80%) (3) Baik (>80%) Status gizi (1) Kurus (IMT<18.5) (2) Normal (18.5
2 kali/bulan) (4) Sering (≥2 kali /minggu) (5) Selalu (Hampir setiap hari) Tingkat kecukupan (1) Defisit (< 80%) energi protein (2) Normal (80-110%) lemak (3) Lebih (>110%) Vitamin dan (1) Defisit (< 77% AKG) mineral (2) Cukup (≥ 77% AKG) Kadar Hemoglobin (1) Berat (<8.0 mg/dL) (2) Sedang (8-10.9 mg/dL) (3) Ringan (11-11.9 mg/dL) (4) Normal (≥ 12 g/dL) Status anemia (1) Ya (2) Tidak
Sumber/Acuan Sebaran responden
Khomsan (2000) Asia Pasifik (2000)
FACT-An Questionnaire (Yellen et al 1997) WNPG (2004)
Gibson (2005) WHO (2011)
Sebaran responden
Data asupan zat gizi responden diperoleh dari data food recall 1x24 jam pada hari kerja dan 1x24 jam pada hari libur. Hasil food recall tersebut kemudian dikonversi dari Ukuran Rumah Tangga (URT) menjadi satuan gram. Data yang dihitung berupa asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi (Fe), vitamin C dan vitamin A, diolah dengan menggunakan DKBM 2007. Kandungan zat gizi dari makanan dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dengan rumus sebagai berikut : Kgij = (Bj/100)x Gij x (BDD/100) Keterangan : Kgij = kandungan gizi i dalam bahan makanan j Bj = berat makanan j yang dikonsumsi (g) Gij = kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan j BDDj = bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
9 Kebutuhan energi dan zat gizi makro responden dibedakan berdasarkan status gizi individu sedangkan zat gizi mikro menggunakan acuan AKG (2013). Perhitungan kebutuhan energi untuk wanita usia >18 tahun berdasarkan IOM (2002) menggunakan rumus sebagai berikut: AKE = (354- 6.91xU) + FA x (9.36 BB x AF) + (726 TB x AF) (Normal) AKE = (387- 7.31xU) + (10.9 BB x AF) + (660.7 TB x AF) (overweight) AKE = (448- 7.95xU) + (11.4 BB x AF) + (619 TB x AF) (obes) Keterangan: AKE = Angka kebutuhan energi U = Umur responden BB = Berat badan responden TB = Tinggi badan responden FA = Faktor aktivitas responden
AF = 1.0 jika 1.0 ≤ TAF ≤ 1.4 (ringan) AF = 1.12 jika 1.4 ≤ TAF ≤ 1.6 (sedang) AF = 1.27 jika 1.6 ≤ TAF ≤ 1.9 (aktif) AF = 1.45 jika 1.9 ≤ TAF ≤ 2.5 (sangat aktif)
Penelitian ini tidak mengukur tingkat aktivitas fisik pada responden sehingga diasumsikan aktivitas fisik seluruh responden berada pada kategori tingkat sedang. Berdasarkan hasil penelitian Mahardikawati (2008), sebagian besar tingkat aktivitas fisik pada wanita pemetik teh di daerah Perkebunan Kabupaten Bandung tergolong sedang (86.7%). Kemudian, angka kebutuhan protein, lemak dan karbohidrat pada responden dihitung menggunakan rumus (Hardinsyah et al 2016). Kebutuhan Protein protein 𝐊𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤
= (AKP x BBkoreksi) x faktor koreksi mutu
=
𝐊𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐫𝐛𝐨𝐡𝐢𝐝𝐫𝐚𝐭 =
𝟐𝟓% 𝐱 𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐞𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝟗
𝐊𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐞𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 – (𝐊𝐏 𝐱 𝟒) − (𝐊𝐋 𝐱 𝟗)] 𝟒
Keterangan: AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari) BB = Berat badan aktual (kg) Faktor koreksi mutu protein umum = 1.3 bagi orang dewasa Tingkat kecukupan zat gizi pada responden dihitung dengan membandingkan asupan terhadap kebutuhan energi dan zat gizi individu. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro yang diukur pada penelitian ini meliputi protein, lemak dan karbohidrat sedangkan zat gizi mikro yakni zat besi, vitamin C dan vitamin A. Berdasarkan AKG (2013), angka kecukupan untuk zat besi (Fe) pada wanita usia 19-49 tahun sebesar 26 mg/hari, vitamin C sebesar 75 mg/hari serta vitamin A sebesar 500 mcg/hari. Tingkat kecukupan zat gizi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994).
10 𝐓𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐊𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐳𝐚𝐭 𝐠𝐢𝐳𝐢 =
𝐊𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐬𝐢 𝐳𝐚𝐭 𝐠𝐢𝐳𝐢 𝐚𝐤𝐭𝐮𝐚𝐥 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 𝐀𝐧𝐠𝐤𝐚 𝐤𝐞𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐠𝐢𝐳𝐢
Penggolongan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro dikelompokkan menjadi defisit (<80%), normal (80-110%) dan lebih (>110%) (WNPG 2004). Kategori zat gizi mikro dikelompokkan menjadi kurang (< 77%) dan cukup (≥ 77%) (Gibson 2005). Data kualitatif konsumsi pangan yang diperoleh berdasarkan hasil pengisian kuesioner food recall questionnaire (FFQ) digunakan untuk menggambarkan kebiasaan pangan yang dikonsumsi oleh responden baik yang mengalami anemia maupun non-anemia. Data mengenai pangan yang berpotensi pendorong dan penghambat penyerapan zat besi dan kuantitas asupan yang dinyatakan dalam konsumsi per bulan. Data gejala anemia diolah dengan menghitung jumlah dan frekuensi keluhan yang dialami oleh responden. Kuesioner gejala anemia berisi enambelas pertanyaan terkait keluhan yang dialami oleh responden. Kemudian, setiap keluhan yang dialami dikategorikan dan masing-masing diberi skor; (0) tidak pernah, (1) jarang (1-2 kali dalam sebulan), (2) kadang (>2x dalam sebulan), (3) sering (≥2x dalam seminggu) dan (4) selalu (hampir setiap minggu). Kemudian, nilai skor gejala anemia seluruh responden dirata-ratakan pada setiap jenis keluhan. Hasil pengukuran kadar hemoglobin akan diklasifikasikan menjadi kategori anemia (tingkat ringan, sedang dan berat) dan non-anemia. Adapun seluruh data pengukuran kadar hemoglobin pada responden akan dikurangi -0.5 g/dL karena daerah perkebunan Purbasari berada pada ketinggian 1500 m dari permukaan laut. Pengurangan kadar hemoglobin ini diacu berdasarkan rekomendasi WHO yang disajikan Tabel 2. Tabel 2 Rekomendasi pengurangan kadar hemoglobin pada masyarakat yang tinggal di ketinggian yang berbeda Ketinggian dari Pengurangan kadar permukaan laut (m) hemoglobin (g/dl) <1000 -0.0 1000 -0.2 1500 -0.5 2000 -0.8 2500 -1.3 3000 -1.9 3500 -2.7 4000 -3.5 4500 -4.5 Sumber : Hemoglobin concentration assessment (WHO 2011) Selanjutnya, kadar hemoglobin akan diklasifikasikan menjadi anemia tingkat berat (<8.0 g/dL) , sedang (8-10.9 g/dL) , ringan (11-11.9 g/dL) dan nonanemia (>12 g/dL (WHO 2011). Sebelum dianalisis lebih lanjut, data pada penelitian ini diuji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk dan kemudian dilakukan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel dependen dan independen dalam bentuk
11 jumlah dan persentase. Data karakteristik individu meliputi usia, besar keluarga, tingkat pendidikan, pengeluaran pangan serta data pengetahuan gizi, status gizi, gejala anemia dan kadar hemoglobin akan diuji secara deskriptif. Analisis bivariat digunakan untuk menguji adanya perbedaan dan hubungan diantara variabel pada penelitian. Uji perbedaan dilakukan dengan menggunakan Independent Sample TTest untuk melihat perbedaan antar kelompok responden meliputi status gizi, pengetahuan gizi, skor gejala anemia, asupan gizi, tingkat kecukupan dan frekuensi konsumsi. Uji Spearman dan Person digunakan untuk mengetahui hubungan diantara variabel yaitu tingkat kecukupan zat gizi dan gejala anemia dengan kadar hemoglobin.
Defenisi Operasional
Responden adalah wanita usia subur yang sudah menikah dan tidak dalam keadaan hamil ataupun menyusui dan terdaftar sebagai pekerja di perkebunan Purbasari serta bersedia menjadi responden dalam penelitian. Anemia adalah suatu kondisi kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal yakni <12 mg/dl pada wanita dan <13 mg/dl pada laki-laki. Non-anemia adalah suatu kondisi kadar hemoglobin (Hb) dalam darah ≥ 12 mg/dL pada wanita dan ≥ 13 mg/dL pada laki-laki. Karakteristik Responden adalah ciri-ciri umum yang dimiliki responden termasuk sosial ekonomi keluarga responden mencakup usia, besar keluarga, total pengeluaran, tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan gizi. Usia adalah kategori umur responden yang dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan angka kecukupan gizi yaitu usia 20-29 tahun, 30-39 tahun dan 39-49 tahun. Besar Keluarga adalah jumlah keluarga yang tinggal bersama responden terdiri dari suami, anak atau anggota keluarga lainnya dalam satu rumah. Pengeluaran pangan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan selama satu bulan dalam bentuk rupiah yang digunakan untuk membeli pangan individu maupun keluarga. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan formal yang ditempuh oleh responden dan memperoleh ijazah atau sertifikat yang akan dikelompokkan menjadi tidak sekolah, SD/Sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, perguruan tinggi/sederajat. Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi yang didapatkan dari asupan dan utilisasi zat gizi. Status gizi dapat dihitung berdasarkan tinggi badan dan berat badan responden yang diklasifikan berdasarkan indeks massa tubuh. Tingkat pengetahuan gizi adalah hal-hal yang diketahui responden terkait hubungan antara kejadian anemia dan gizi yang diukur dari skor jawaban pertanyaan melalui kuesioner yang diberikan. Pengetahuan gizi ini akan dikategorikan menjadi kurang, sedang dan baik.
12 Asupan zat gizi adalah konsumsi zat gizi responden yang diperoleh dari hasil food recall 24jam pada hari kerja dan hari libur. Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan antara konsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan menurut umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan responden dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Gejala anemia adalah jumlah dan frekuensi keluhan anemia yang dirasakan oleh responden Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi contoh baik makanan dan minuman dalam setiap waktu makan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri atas usia, besar keluarga, pendidikan terakhir, pengeluaran pangan dan pengetahuan gizi. Responden pada penelitian ini terdiri dari 46 orang wanita usia subur yang bekerja dan tinggal di daerah perkebunan Purbasari, Kabupaten Bandung. Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu disajikan pada Tabel 3. Usia Rentang usia responden pada penelitian ini yaitu 21 tahun hingga 48 tahun. Rata-rata usia responden yang mengalami anemia berkisar pada usia 39.2±9.0 tahun dan yang tidak mengalami anemia berkisar 36.2±8.4 tahun dengan rata-rata usia secara keseluruhan berkisar 36.8±8.4 tahun. Sebagian besar responden yang mengalami anemia (66.7%) maupun yang non-anemia (40.5%) berada pada kisaran usia 40-49 tahun. Berdasarkan penelitian Sadeghian et al (2013), usia yang rentan terhadap kejadian anemia pada wanita usia subur berkisar antara 40-44 tahun. Kejadian anemia dapat terjadi hampir diseluruh golongan usia mulai dari anak balita, bayi, remaja, ibu hamil dan ibu menyusui dan lansia (Arisman 2004). Berdasarkan uji beda dengan Independent Sample T-Test diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1) pada sebaran usia kedua kelompok responden. Besar Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat terdiri dari ayah, ibu dan anak yang termasuk ke dalam keluarga inti. Besar keluarga diklasifikasikan menjadi kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>7 orang) (BKKN 1998). Jumlah anggota keluarga responden dalam penelitian ini berkisar antara 2 hingga 7 orang dengan klasifikasi besar keluarga tergolong kecil (65.2%) dan sedang (34.8%). Mayoritas besar keluarga responden tergolong kecil baik pada responden yang mengalami anemia (66.7%) dan non-anemia (64.9%). Rata-rata responden yang anemia dan non-anemia terdiri dari 4 orang anggota keluarga. Besar keluarga berpengaruh terhadap ketersediaan pangan keluarga. Semakin besar jumlah keluarga, semakin besar kebutuhan pangan keluarga (Amaliyah & Handayani
13 2011), akan tetapi berdasarkan uji dengan Independent Sample T-Test diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada besar keluarga kedua kelompok responden. Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu responden Variabel
n
Anemia %
Tidak Anemia n %
n
Total %
Nilai p
Usia 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun Total Rata-rata ± SD Min-Maks Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (>7 orang) Total Rata-rata jumlah anggota keluarga ± SD Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi Total
2 1 6 9
22.2 11.1 66.7 100 39.2 ± 9.0 23-48
6 3 0 9
66.67 33.33 0.00 100 4 ± 1.22
1 6 2 0 0 9
11.1 66.7 22.2 0 0 100
10 27.0 12 32.5 15 40.5 37 100 36.2 ± 8.4 21-48
12 26.1 13 28.3 21 45.6 46 100 36.8 ± 8.4 21-48
24 13 0 37
30 16 0 46
64.9 35.1 0.0 100.0
4.1 ± 1.1 5 19 12 1 0 37
13.5 51.4 32.4 2.7 0 100
65.2 34.8 0 100
0.805
0.776
4.1 ± 1.1 6 25 14 1 0 46
13 54.3 30.4 2.2 0 100
0.841
Pendidikan Tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang baik secara formal dan nonformal umumnya akan mempengaruhi pola pikir, pengetahuan gizi, sikap dan perilaku konsumsi pangan (Rifai & Gulat 2003). Tingkat pendidikan akhir yang ditempuh oleh responden berada pada rentang lulusan SD hingga SMA. Pendidikan akhir responden dari persentase tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu lulusan SD (54.3%), SMP (30.4%), tidak sekolah (13%) dan SMA (2.2%), tidak ditemukan responden yang menempuh pendidikan terakhir pada tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian Mahardikawati (2008), sebagian besar wanita pemetih teh (73.9%) di Kabupaten Bandung berpendidikan sekolah dasar dan tergolong memiliki pendidikan yang rendah. Persentase responden yang lulusan SMP lebih tinggi pada responden non-anemia (32.4%) dibandingkan responden dengan anemia (22.2%) serta diketahui terdapat 2.7% responden yang menempuh lulusan SMA pada kelompok non-anemia. Dengan demikian, diketahui bahwa tingkat pendidikan pada responden yang mengalami anemia cenderung lebih rendah dibandingkan dengan responden non-anemia akan tetapi berdasarkan uji perbedaan dengan Chi-square diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada tingkat pendidikan kedua kelompok responden. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat
14 pendidikan yang tinggi akan memudahkan seseorang untuk menerima dan menerapkan informasi yang diperolehnya termasuk pada aspek gizi (Atmarita & Fallah 2004). Pengeluaran Pangan Pengeluaran rumah tangga adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga. Pengeluaran pangan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan selama satu bulan dalam bentuk rupiah yang digunakan untuk membeli pangan individu maupun keluarga. Sebaran pengeluaran pangan rumah tangga responden disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Alokasi pengeluaran pangan pada responden Jenis Pengeluaran Pangan Makanan Pokok Lauk pauk Sayur Buah Jajanan Total Pengeluaran Pangan Min-Maks
Anemia Jumlah % 29.3 285222 16.9 164596 11.1 107857 2.4 23352 40.4 393654 974682 100 436667-1737000
Non-anemia Jumlah % 29.2 278676 21.0 200475 20.1 192104 2.8 26992 26.8 255506 953752 100 340500-2100000
Nilai p 0.927 0.419 0.045 0.414 0.064
Total pengeluaran pangan lebih besar pada responden anemia (Rp 974 682) dibandingkan dengan responden non-anemia (Rp 953 752) akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada pengeluaran makanan pokok pada kedua kelompok responden. Alokasi pengeluaran pangan utama pada kelompok non-anemia digunakan untuk membeli makanan pokok (29.2%). Menurut Ishaq (2011), pada masyarakat pedesaan, alokasi pengeluaran untuk membeli pangan sumber karbohidrat seperti kelompok padi-padian akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk jenis pangan lainnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian (Amaliyah & Handayani 2011), bahwa pengeluaran pangan rumah tangga terbesar (34.7%) digunakan untuk padi-padian sebagai makanan pokok. Persentase pengeluaran pangan untuk membeli lauk-pauk, sayur dan buah cenderung lebih rendah pada responden yang mengalami anemia (16.9%, 11.1%, 2.4%) dibandingkan dengan responden non-anemia (21%. 20.1%,2.8%). Berdasarkan uji beda dengan Independent Sample T-Test diketahui terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1) pada pengeluaran sayuran kedua kelompok responden. Pengeluaran pangan yang paling besar pada kelompok anemia digunakan untuk membeli jajanan (40.4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kelompok anemia lebih cenderung mengalokasikan biaya pengeluaran pangan untuk membeli dan mengonsumsi jajanan dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya. Jajanan yang paling sering dikonsumsi oleh kelompok responden yaitu gorengan seperti bala-bala, combro, tahu goreng dan kerupuk yang mengandung tinggi lemak dan rendah mikronutrien. Hasil penelitian ini menunjukkan alokasi pengeluaran untuk jajanan yang tinggi sejalan dengan rendahnya pengeluaran untuk membeli sayuran pada kelompok anemia. Rendahnya konsumsi sayuran dan Jajanan seperti gorengan merupakan pangan yang mengandung mikronutrien rendah namun sering dijadikan lauk sehari-hari oleh responden. Kebiasaan
15 konsumsi jajanan yang tinggi namun konsumsi sayuran rendah dapat menyebabkan ketersediaan zat besi dalam tubuh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi. Defisiensi zat besi pada tahap lanjut dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin (Gibson 2005). Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi adalah pengetahuan tentang sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit serta cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tetap terjaga (Notoatmojo 2003). Pengetahuan gizi pada penelitian ini diukur dengan pemberian skor pada jawaban yang benar dari sejumlah pertanyaan terkait dengan anemia yang disajikan pada kuesioner. Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan tingkatan pengetahuan gizi Kategori Pengetahuan Gizi Kurang Sedang Baik Total Rata-rata skor ± SD
n
Anemia % 4 44.4 5 55.6 0 0 9 100 55.3%
Non-anemia n % 10 27.8 26 72.2 1 2.8 36 100 61.3%
Total n 14 31 1 46
% 30.4 67.4 2.2 100 60%
Nilai p
0.664
Responden yang mengalami anemia memiliki rata-rata skor yang lebih rendah (55.3%) daripada responden non-anemia (61.3%). Hal ini terbukti dari persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang kurang pada kelompok anemia lebih besar (44.4%) daripada kelompok non-anemia (27.8%). Berdasarkan uji dengan Independent Sample T-Test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.1) pada tingkat pengetahuan gizi kedua kelompok responden. Sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong sedang (67.4%). Hal ini diduga karena sebagian besar dari responden sudah pernah terpapar informasi oleh tenaga kesehatan terkait gizi dan kesehatan.
Status Gizi Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi yang didapatkan dari asupan dan utilisasi zat gizi. Penilaian status gizi terdiri dari penilaian secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung mencakup penilaian terhadap antropometri, klinis, biokimia dan riwayat gizi (Almatsier 2004). Pengukuran status gizi pada orang dewasa yakni usia 18 tahun ke atas umumnya menggunakan indeks massa tubuh (IMT) yakni berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan dikuadratkan (m2) (Supariasa, Bakri, Fajar 2011). Sebaran responden berdasarkan status gizi responden disajikan pada Tabel 6.
16 Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan status gizi responden Status Gizi Kurus Normal Overweight Obes 1 Obes 2 Total Rata-rata nilai IMT ± SD
Anemia n
% 0 2 3 3 1 9
0 22.2 33.3 33.3 11.1 100
Non-anemia n % 0 0 9 24.3 8 21.6 16 43.2 4 10.8 37 100
25.3±3.3
26.0±4.0
Total n
% 0 11 11 19 5 46
0 23.9 23.9 41.3 10.9 100
Nilai p
0.303
25.8±3.9
Rentang status gizi responden berada pada kategori normal hingga obes serta tidak ditemukan responden yang memiliki status gizi kurus. Sebagian besar responden memiliki status gizi lebih yakni sekitar 76.1%. Status gizi lebih pada kelompok anemia sebesar 77.8% dan pada non-anemia sebesar 75.7%, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada status gizi kedua kelompok responden. Hal ini diduga karena sebagian besar responden cenderung mengonsumsi gorengan dan kerupuk sebagai lauk sehari-hari yaitu frekuensi konsumsinya 2 kali sehari dengan 2-3 porsi dalam sekali makan. Hal ini terbukti dari alokasi pengeluaran pangan untuk membeli jajanan yang tinggi terutama pada kelompok anemia. Berdasarkan peneltiian Rosdiana (2014), konsumsi gorengan dengan kategori sering ≥9 kali dalam seminggu memiliki hubungan yang signifikan (p<0.05) dengan kejadian obesitas sentral pada ibu rumah tangga. Berdasarkan penelitian Yunianto (2015) diketahui bahwa sebesar 44.4% responden wanita pada masyarakat pedesaan di Kabupaten Cianjur memiliki status gizi lebih. Rata-rata nilai IMT pada responden anemia yaitu 25.3 kg/m2 dan pada responden non-anemia 26.0 kg/m2.
Status Anemia Anemia adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dalam darah tidak mencukupi sehingga terjadi gangguan dalam mengangkut oksigen ke seluruh tubuh (Riskesdas 2013). Seseorang yang tinggal di dataran tinggi cenderung memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi dikarenakan proses adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah. Oleh karena itu, kadar hemoglobin dapat dikoreksi sesuai dengan ketinggian daerah dari permukaan laut. Sebaran responden berdasarkan pengukuran kadar hemoglobin yang disajikan pada Tabel 7. Rata-rata kadar hemoglobin responden sebesar 12.6 g/dL dengan kadar terendah sebesar 9.9 g/dL dan tertinggi sebesar 14.6 g/dL. Responden yang tidak mengalami anemia sebesar 80.4% (Rata-rata (X) =13.0 g/dL), yang mengalami anemia dengan tingkat ringan sebesar 15.2% (X= 11.4 g/dL) dan tingkat sedang sebesar 4.3% (X=10.4 g/dL) namun tidak ada responden yang menderita anemia pada tingkat berat. Responden yang memiliki status anemia tingkat sedang berjumlah 2 orang dengan kadar hemoglobin 10.9 g/dL dan 9.9 g/dL. Kedua responden memiliki besar keluarga yang tergolong kecil. Responden dengan nilai
17 kadar hemoglobin terendah yakni 9.9 g/dL berusia 47 tahun. Hasil ini sejalan dengan sebaran usia pada Tabel 3 yang menunjukkan sebagian besar kelompok responden yang anemia berada pada rentang usia 40-49 tahun. Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan status anemia Status Anemia Anemia Berat (<8.0 g/dL) Sedang (8-10.9 g/dL) Ringan (11-11.9 g/dL) Non-anemia ( > 12 g/dL) Total Rata-rata kadar hemoglobin ± SD Min-Maks
Jumlah (n)
Persentase (%) 0 2 7 37 46
0 4.3 15.2 80.4 100 12.6 ± 0.96 9.9 - 14.6*
*dikoreksi berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (WHO 2011). Menurut WHO (2007), klasifikasi tingkat prevalensi anemia dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yakni ringan (5-19.9%), sedang (20.039.9%) dan berat (≥40%). Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa prevalensi anemia pada pekerja wanita di Perkebunan Purbasari sebesar 19.5% sehingga termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat tingkat ringan. Prevalensi anemia pada penelitian ini relatif sama dengan prevalensi anemia gizi besi (AGB) di Indonesia tahun 2007 yang terjadi pada wanita usia subur yakni sebesar 19.7% (Depkes 2008).
Gejala Anemia Gejala klinis yang paling umum dirasakan oleh seseorang yang mengalami anemia adalah kelelahan. Kadar hemoglobin yang rendah menyebabkan proses transportasi oksigen dalam tubuh menjadi terhambat sedangkan oksigen sangat diperlukan dalam proses metabolisme energi dalam tubuh. Akibatnya, tubuh tidak dapat melakukan proses metabolisme energi secara optimal dan menyebabkan kelelahan (Schiff 2013). Gejala-gejala anemia yang muncul dengan frekuensi sering akan menyebabkan terganggunya produktivitas seseorang dalam bekerja. Skor gejala anemia pada responden disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Rata-rata skor gejala anemia Skor Gejala klinis Anemia Non-anemia Saya merasa lesu 1.9 2.1 Saya merasa cepat lelah 1.7 1.8 Saya merasa berkunang-kunang 1.2 1.4 Saya merasa pandangan saya gelap terutama ketika berubah posisi dari 1.4 1.6 jongkok atau tidur ke berdiri Saya nyeri kepala 1.9 2.1 Rata-rata skor 16.22 18.46
Nilai p
0.502
18 Gejala klinis dengan nilai skor paling tinggi dirasakan oleh responden yakni lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, pandangan gelap saat berubah posisi dan nyeri kepala. Menurut Berdanier (2002), anemia dapat diketahui melalui tanda dan gejala yang muncul seperti pucat, pusing, mata berkunang-kunang, lelah, lesu, letih, sulit berkonsentrasi, pola tidur terganggu, sakit kepala berdenyut dan gangguan suasana hati. Anemia menyebabkan kadar oksigen dalam tubuh menjadi rendah dan dalam keadaan lebih parah terjadi penurunan oksigenisasi pada otak sehingga memicu terjadinya sesak nafas dan sakit kepala (Berdanier 2002). Berdasarkan uji dengan Independent Sample T-Test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1) antara gejala anemia yang dirasakan oleh kedua kelompok responden. Rata-rata skor gejala klinis yang dirasakan oleh responden anemia yakni 16.22 dan nilai ini lebih rendah daripada skor pada responden non-anemia yaitu 18.46. Rata-rata skor pada non-anemia cenderung lebih tinggi diduga karena sebagian besar responden pada penelitian ini telah mengalami defisiensi zat besi dalam tubuh akan tetapi belum memasuki tahap penurunan kadar hemoglobin. Menurut Handelman & Levin (2008), indikator yang digunakan untuk mengetahui adanya kekurangan asupan zat gizi besi meliputi pemeriksaan plasma ferritin, transferrin saturasi dan kadar hemoglobin pada darah. Pemeriksaan kadar hemoglobin saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis terjadinya defesiensi zat besi (WHO 2011). Menurut Tanamal et al (2015), indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya defisiensi besi secara dini melalui pemeriksaan kadar ferritin namun pemeriksaan kadar ferritin tidak dilakukan dalam penelitian ini. Penurunan kadar hemoglobin darah merupakan tahapan terakhir dari mekanisme terjadinya defisiensi zat besi dalam tubuh. Menurut Almatsier (2004), kadar hemoglobin tidak dapat menggambarkan tahap awal kekurangan besi. Adapun tahapan kekurangan zat besi dalam tubuh yakni tahap ringan (iron depletion), yakni pada tahapan ini terjadi penurunan tahap laten (iron deficient erytropoesis) dan tahap anemia defisiensi zat besi. Walaupun seseorang belum sampai pada tahapan anemia, kekurangan zat besi dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya fungsi jaringan tubuh (WHO 2001). Pada kondisi lanjut, anemia pada kategori tingkat berat dapat menganggu sistem metabolisme termasuk sistem enzim di dalam mitokondria yang dapat menganggu fungsi otak (Handelman & Levin 2008). Selain itu, menurut hasil penelitian Putri (2008), faktor lain seperti stress, frekuensi tidur yang kurang, beban kerja yang terlalu berat yang juga dapat menimbulkan gejala seperti lelah, mata berkunang-kunang, nyeri kepala dan pandangan gelap.
Frekuensi Konsumsi Frekuensi pangan merupakan salah satu aspek yang dapat menggambarkan kebiasaan makan seseorang. Frekuensi konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Frekuensi konsumsi pangan pada penelitian ini digolongkan menjadi beberapa kelompok bahan pangan yakni pangan sumber karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur-sayuran, buahbuahan, jajanan dan minuman. Sebaran frekuensi asupan pangan responden berdasarkan status anemia disajikan pada Tabel 9.
19 Pangan sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi oleh kedua kelompok responden yaitu nasi putih 14 kali seminggu, kentang sekitar 2 kali/minggu dan roti sekitar 3 kali/minggu sehingga rata-rata jumlah konsumsi masing-masing pangan perhari sekitar 19 kali dengan berat sekali makan sebesar 3 porsi dalam sekali makan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki kebiasaan makan utama sekitar 2-3 kali dalam sehari. Berdasarkan prinsip gizi seimbang, konsumsi pangan sumber karbohidrat yang baik yaitu 3-4 porsi dalam sehari atau sekitar 300-400 gram dalam sehari sehingga konsumsi pangan karbohidrat responden dapat digolongkan berlebih. Konsumsi ini membuktikan bahwa sebagian besar responden memenuhi kebutuhan energi sehari-hari dari pangan sumber karbohidrat. Tabel 9 Sebaran frekuensi asupan pangan responden Jenis bahan pangan Karbohidrat Nasi Kentang Roti Total Protein Hewani Telur Ikan asin Susu Total Protein Nabati Tahu Tempe Kacang merah Total Sayuran Kol Wortel Kangkung Total Buah-buahan Jambu Pisang Jeruk Total Jajanan Kerupuk Gorengan Total Minuman Teh Kopi Total
Anemia kali/minggu Berat/kons
Non-anemia kali/minggu Berat/kons
Nilai p
14.0 2.3 2.8 18.1
205 g 77 g 35 g 317 g
14.0 2.2 3.2 19.4
181 g 62 g 40 g 283 g
0.741 0.741 0.877
2.8 1.2 1.3 5.3
52 g 15 g 1 gls 67 g
2.15 2.01 1.05 5.21
52 g 12 g 0.7 gls 67 g
0.611 0.219 0.755
3.55 3.55 0.46 7.56
59 g 52 g 27 g 138 g
3.59 3.39 0.67 7.65
61 g 57 g 30 g 141 g
0.955 0.987 0.434
1.55 1.42 0.79 3.76
30 g 31 g 28 g 89 g
2.24 1.40 1.09 4.73
32 g 34 g 35 g 101 g
0.715 0.338 0.554
6.05 0.85 0.21 7.11
128 g 114 g 53 g 295 g
6.50 0.94 0.44 7.88
116 g 94 g 65 g 275 g
0.673 0.954 0.278
6.78 7.22 14.00
23 g 90 g 113 g
9.75 6.90 16.65
16 g 86 g 102 g
0.917 0.003
11 2 13
1.3 gls 1.2 gls 2.5 gls
12.1 3.1 15.2
2.1 gls 1.1 gls 3.3 gls
0.956 0.252
20 Pangan sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi oleh responden yaitu telur, ikan asin dan susu. Rata-rata konsumsi protein hewani responden anemia yakni 5.3 kali/minggu, tidak jauh berbeda pada responden nonanemia yaitu 5.21 kali/hari yang berarti responden tidak mengonsumsi pangan sumber protein hewani setiap harinya dengan berat konsumsi sekali makan sebesar 67 gram atau 1 porsi lauk hewani. Berdasarkan Permenkes (2014), anjuran konsumsi pangan hewani dalam sehari sebesar 2-4 porsi dalam sehari sehingga dapat diketahui bahwa konsumsi pangan protein hewani kedua kelompok responden tergolong defisit. Pangan sumber protein hewani merupakan sumber zat besi heme yang memiliki bioavabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi nonheme (Mahan & Escott-Stump 2008). Asupan protein hewani yang rendah berkontribusi terhadap terjadinya defesiensi mikronutrien termasuk zat besi. Pangan sumber protein nabati yang sering dikonsumsi oleh responden yaitu tahu, tempe dan kacang merah. Frekuensi asupan protein nabati pada kedua kelompok responden relatif sama yakni 7.6 kali/minggu dengan rata-rata berat konsumsi dalam sekali makan sekitar 140 gram atau sekitar 4 porsi dalam sehari. Konsumsi ini sudah sesuai dengan anjuran Permenkes (2014) yakni konsumsi sumber pangan nabati dalam sehari sebesar 2-4 porsi dalam sehari. Akan tetapi, asam fitat yang terkandung dalam serealia dan kacang- kacangan merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh (Schiff 2013) sehingga pangan nabati akan lebih baik apabila dikonsumsi bersamaan dengan pangan sumber vitamin C agar zat besi non-heme yang berasal dari pangan nabati dapat diserap dengan baik. Berdasarkan uji perbedaan dengan Independent Sample T-Test pada konsumsi kedua kelompok responden tidak ditemukan perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada asupan protein hewani dan nabati pada kedua kelompok responden. Sayuran yang paling sering dikonsumsi oleh kedua kelompok responden yakni berturut-turut kol, wortel dan kangkung, sedangkan pada konsumsi buahbuahan yaitu jambu, pisang dan jeruk. Rata-rata jumlah konsumsi sayur dan buah pada responden anemia lebih rendah (3.8 kali/minggu dan 7.1 kali/minggu) dibandingkan dengan responden non-anemia (4.7 kali/minggu dan 7.8 kali/minggu) akan tetapi tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada frekuensi konsumsi kedua kelompok responden tersebut (p>0.1). Hasil ini sejalan dengan data pengeluaran pangan untuk sayuran pada kelompok non-anemia lebih besar dibandingkan dengan kelompok anemia. Frekuensi konsumsi sayur dan buah pada kedua kelompok responden menunjukkan bahwa responden tidak terbiasa mengonsumsi sayur dan buah-buahan setiap harinya. Jumlah konsumsi sayur dan buah-buahan berdasarkan anjuran gizi yakni sebanyak 3-5 porsi dalam sehari (Permenkes 2014) sehingga konsumsi sayur dan buah-buahan responden tergolong rendah. Jajanan yang paling diminati yaitu kerupuk dan gorengan yang hampir setiap hari dikonsumsi oleh kedua kelompok responden dengan frekuensi konsumsi jajanan sekitar 14 kali/minggu pada kelompok anemia dan 16.6 kali/minggu pada kelompok non-anemia. Berdasarkan uji Independent Sample T-Test frekuensi konsumsi gorengan pada kedua kelompok responden memiliki perbedaan yang signifikan (p<0.1). Hal ini juga sesuai dengan alokasi pengeluaran pangan untuk jajanan pada responden yang cukup besar yakni sekitar 40.4% pada responden anemia dan sekitar 26.8% pada responden non-anemia. Berdasarkan hasil recall
21 2x24 jam, sebagian besar responden menjadikan gorengan sebagai lauk utama untuk konsumsi sehari-hari sehingga konsumsi lauk hewani dan nabati pada responden cenderung rendah dan konsumsinya tidak beragam. Frekuensi konsumsi teh dan kopi pada responden anemia cenderung sedikit lebih rendah dibandingkan non-anemia. Konsumsi teh pada responden anemia dan non-anemia yakni 11 kali/minggu dan 12.2 kali/minggu. Frekuensi ini berbeda pada kopi yakni rata-rata dikonsumsi 2 kali/minggu oleh responden anemia dan 3 kali/minggu pada responden non-anemia. Berdasarkan uji Independent Sample TTest tidak ditemukan perbedaan signifikan (p>0.1) baik pada konsumsi teh maupun kopi pada responden. Jenis kopi yang paling sering dikonsumsi responden adalah kopi sachet. Menurut Nelson (2004), senyawa polifenol yang terkandung dalam kopi dan tannin pada teh dapat mengikat zat besi heme membentuk kompleks besitannat yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap dengan optimal. Kebiasaan minum teh dan kopi pada waktu makan utama dapat menghambat penyerapan zat besi dan dalam jangka panjang akan berdampak pada defisiensi zat vesi dalam tubuh dan menyebabkan terjadinya anemia. Dampak konsumsi teh terhadap penyerapan zat besi dipengaruhi oleh jenis teh, waktu konsumsi teh, banyaknya daun teh yang digunakan dan konsentrasi zat tannin yang terkandung di dalam teh tersebut (Mennen 2007). Secara keseluruhan, pola konsumsi kedua kelompok responden tidak jauh berbeda. Sebagian besar responden memiliki kebiasaan makan 2-3 kali sehari akan tetapi porsi konsumsi dalam sehari melebihi anjuran pedoman gizi seimbang (Permenkes 2014). Porsi konsumsi pangan karbohidrat dalam sekali waktu makan dapat dikurangi dan digantikan dengan konsumsi pangan hewani. Secara umum, asupan pangan hewani pada kedua kelompok responden masih tergolong rendah dan akan berdampak pada terjadinya defisiensi mikronutrien termasuk zat besi. Adapun asupan protein nabati responden sudah sesuai dengan anjuran akan tetapi konsumsinya harus bersamaan dengan pangan sumber vitamin C untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Konsumsi jajanan seperti gorengan sebagai lauk dapat digantikan dengan konsumsi pangan hewani atau nabati sebagai sumber protein sedangkan konsumsi sayuran dan buah-buahan pada kedua kelompok masih tergolong rendah dan perlu ditingkatkan. Sayuran hijau seperti kangkung dan buahbuahan seperti jambu biji yang biasanya tersedia dilingkungan sekitar responden dapat dikonsumsi untuk meningkatkan asupan sayur dan buah-buahan pada kedua kelompok responden.
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pangan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh sebagai sumber energi dan zat-zat gizi dalam jumlah tertentu setiap harinya, kelebihan dan kekurangan dalam jangka waktu yang lama dapat berdampak pada masalah kesehatan. Kebutuhan energi seseorang bergantung kepada berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003). Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan individu baik secara biologik, psikologik maupun sosial (Gibson 2005). Pada dasarnya, konsumsi pangan
22 berfungsi sebagai sumber energi, pertumbuhan serta mengganti jaringan atau sel tubuh yang rusak untuk mempertahankan kehidupan. Secara kuantitatif, kecukupan konsumsi pangan manusia diperkirakan dari nilai energi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang terkandung di dalam makanan tersebut (Almatsier 2003). Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Makro Tingkat kecukupan zat gizi makro yang dikaji dalam penelitian ini yakni protein, lemak dan karbohidrat. Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan responden dalam sehari disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro responden dalam sehari Energi dan Zat Gizi Makro Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)
Anemia Asupan 1675±513.1 34.3 ±13.02 42.1±20.8 285.0±75.0
% 88.1 65.6 80.2 93.6
Non-anemia Asupan % 1761±518.1 88.2 36.0±10.6 66.5 41.4±16.5 75.1 306.4±99.5 95.6
Total Asupan 1746±512.6 36±11.0 41.0±17.2 296.7±303
% 88.2 66.3 76.1 95.2
Nilai P 0.483 0.205 0.155 0.770
Rata-rata asupan energi responden anemia (1675±513.1 kkal) relatif sama dengan responden non-anemia (1761±518.1 kkal), namun tingkat kecukupan tergolong normal (80%). Rata-rata asupan protein responden anemia (34.3±13.0 g) lebih rendah dibandingkan responden non-anemia (36.0±10.6 g), akan tetapi tingkat kecukupan kedua kelompok tersebut masih tergolong defisit (<70%). Rata-rata asupan lemak pada responden anemia (41.8±20.8 g) lebih tinggi dan tergolong baik (<80%) sedangkan pada responden non-anemia (41.4±16.5 g) tergolong defisit (<70%). Rata-rata asupan karbohidrat responden anemia (285.6±75.0 g) lebih rendah dibandingkan responden non-anemia (306.9±99.5 g), akan tetapi tingkat kecukupan kedua kelompok ini tergolong baik. Berdasarkan uji Independent Sample T-Test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan energi dan zat gizi makro baik pada responden anemia maupun non-anemia. Rata-rata asupan karbohidrat berkontribusi sebesar 67.8% pada kecukupan energi responden. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengonsumsi pangan karbohidrat lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari. Asupan karbohidrat >65% mengindikasikan bahwa rendahnya asupan zat gizi dan konsumsi dari jenis pangan lainnya terutama pangan hewani sehingga dapat menyebabkan terjadinya defisiensi mikronutrien dalam tubuh. Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa persentase tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit lebih banyak ditemukan pada responden anemia (44.4%) dibandingkan non-anemia (37.8%). Tingkat kecukupan energi yang baik lebih banyak ditemukan pada responden non-anemia (37.8%). Sebagian besar tingkat kecukupan protein pada kedua kelompok responden tergolong defisit (65.2%), akan tetapi persentasenya lebih banyak ditemukan pada responden anemia (66.7%) dibandingkan dengan non-anemia. Pada tingkat kecukupan lemak, persentase responden anemia memiliki tingkat kecukupan yang berlebih (33.3%) lebih besar dibandingkan responden non-anemia (16.2%). Adapun persentase tingkat kecukupan karbohidrat yang defisit lebih banyak ditemukan pada responden yang
23 mengalami anemia (33.3%) dibandingkan dengan non-anemia (29.3%). Sebagian besar responden memiliki tingkat kecukupan karbohidrat tergolong baik (43.5%). Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi makro disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi makro Tingkat Kecukupan Energi Defisit Baik Lebih Total Protein Defisit Baik Lebih Total Lemak Defisit Baik Lebih Total Karbohidrat Defisit Baik Lebih Total
n
Anemia %
Non-anemia N %
Total n
Nilai P
%
4 1 4 9
44.4 11.2 44.4 100
14 14 9 37
37.8 37.8 24.3 100
18 15 13 46
39.1 32.6 28.3 100
6 3 0 9
66.7 33.3 0 100
24 12 1 37
64.9 32.4 2.7 100
30 15 1 46
65.2 32.6 2.2 100
5 1 3 9
55.6 11.1 33.3 100
21 10 6 37
56.8 27.0 16.2 100
26 11 9 46
56.5 23.9 19.6 100
3 4 2 9
33.3 44.4 22.2 100.0
11 16 10 37
29.7 43.2 27.0 100
14 20 22 46
30.4 43.5 26.1 100.0
0.763
0.376
0.141
0.596
Berdasarkan uji beda Independent Sample T-Test diketahui tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.1) pada tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro pada kedua kelompok responden. Hal ini diduga karena sebagian besar responden memiliki karakteristik individu yang cukup seragam seperti jenis kelamin, jenis pekerjaan, besar pendapatan, tingkat pendidikan dan besar keluarga yang merupakan faktor yang berperan dalam menentukan konsumsi pangan individu. Berdasarkan penelitian Anggarini (2012), karakteristik individu dan faktor lingkungan berhubungan signifikan (p<0.1) terhadap konsumsi pangan responden. Selanjutnya, konsumsi pangan ini akan menentukan tingkat kecukupan responden. Tingkat Kecukupan Zat Gizi Mikro Tingkat kecukupan zat gizi mikro yang dikaji dalam penelitian ini yaitu zat besi, vitamin C dan vitamin A. Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi mikro responden disajikan pada Tabel 12. Rata-rata tingkat kecukupan zat besi dan vitamin C pada responden anemia lebih rendah (42.8%, 46.5%) dibandingkan nonanemia (46%, 52.8%) namun baik responden anemia maupun non-anemia tingkat kecukupannya masih tergolong defisit. Berdasarkan penelitian (Lubis & Aritonang 2008), asupan zat gizi besi yang rendah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya anemia. Menurut WHO (2014), sekitar 50% wanita di dunia mengalami defisiensi karena asupan zat gizi besi yang rendah. Selain zat besi, vitamin C juga merupakan salah satu zat gizi mikro yang berpengaruh
24 terhadap kejadian anemia. Vitamin C berperan dalam mengubah senyawa zat besi ferri (pada pangan nonheme) menjadi senyawa feroaskorbat sehingga dapat diserap oleh lumen usus (Andriani & Wirjatmadi 2012). Penelitian Utama, Listiana, Susanti (2013), menunjukkan bahwa terdapat kenaikan kadar hemoglobin yang signifikan dari 9,5 g/dL menjadi 11.44 g/dL pada kelompok yang diberikan asupan tablet Fe beserta vitamin C dibandingkan dengan kelompok kontrol (tanpa pemberian vitamin C) yakni 9.15 g/dL menjadi 10.64 g/dL. Tabel 12 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi mikro responden dalam sehari Zat Gizi Mikro Zat besi (mg) Vitamin C (mg) Vitamin A (IU)
Anemia Asupan %AKG 42.8 10.1±6.1 34.9±39.2 46.5 170.2±278.1 34
Non-anemia Asupan %AKG 46 12.1±4.7 39.6±35.7 52.8 162.2±134.7 32.4
Total n %AKG 12±5.02 45.9 38.7±36.0 51.6 164±168 33.3
Nilai P 0.289 0.713 0.585
Tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok responden tergolong defisit (<77%). Rata-rata asupan vitamin A pada responden anemia lebih tinggi (170.2±278.1) dibandingkan dengan responden non-anemia (162.2±134.7). Vitamin A berperan dalam mobilisasi cadangan Fe agar dapat mensintesa hemoglobin. Defisiensi vitamin A dalam tubuh akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi pada proses eritropoesis (Setiyobroto et al 2004). Berdasarkan uji dengan Independent Sample T-Test tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada asupan zat besi, vitamin C dan vitamin A pada kedua kelompok responden. Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro Tingkat Kecukupan Zat Besi Defisit Cukup Total Vitamin C Defisit Cukup Total Vitamin A Defisit Cukup Total
Anemia n
%
Non-anemia n %
Total n
Nilai p %
8 1 9
88.9 11.1 100
32 5 37
86.5 13.5 100
40 6 46
87.0 13.0 100
0.642
6 3 9
66.7 33.3 100
26 11 37
70.3 29.7 100
32 14 46
69.6 30.4 100
0.713
8 1 9
88.9 11.1 100
34 3 37
91.9 8.1 100
42 4 46
8.7 91.3 100
0.084
Tabel 13 menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat kecukupan zat besi cenderung defisit (87%), baik pada responden anemia (88.9%) maupun non-anemia (86.5%). Tingkat kecukupan vitamin C yang tergolong defisit lebih banyak ditemukan pada responden yang non-anemia (70.3%) dibandingkan anemia (66.7%) sedangkan pada tingkat kecukupan vitamin A, sebagian besar
25 responden yang mengalami defisit lebih banyak ditemukan pada kelompok nonanemia (91.9%) dibandingkan anemia (88.9%), akan tetapi berdasarkan uji beda dengan Independent Sample T-Test diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1) pada tingkat kecukupan zat besi, vitamin C dan vitamin A pada kedua kelompok responden. Berdasarkan penelitian Mahardika (2008), pada pekerja wanita pemetik teh di Kabupaten Bandung memiliki tingkat kecukupan protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi yang tergolong defisit.
Hubungan Antar Variabel Hubungan antara karakteristik responden dan kadar hemoglobin Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara umur dan kadar hemoglobin responden. Kadar hemoglobin darah tidak dibedakan berdasarkan umur tetapi jenis kelamin, status kesehatan, ketinggian dari permukaan laut (Mahan & Escott-Stump 2012). Indikator kadar hemoglobin pada wanita relatif sama yakni >12 g/dL pada setiap kategori usia kecuali pada usia balita. Hasil ini sejalan dengan penelitian Humeid (2013) yakni tidak terdapat hubungan usia dengan kadar hemoglobin. Hasil uji Pearson menunjukkan nilai p sebesar 0.188 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara pengetahuan gizi dan kadar hemoglobin responden. Hal ini diduga karena pengetahuan gizi bukan faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin secara langsung. Kadar hemoglobin umumnya dipengaruhi oleh adanya infeksi atau perdarahan dan asupan zat besi (Mann & Truswell 2007). Selain itu, pengetahuan gizi tidak selalu sejalan dengan perilaku individu terkait gizi dan kesehatan. Berdasarkan penelitian Maharibe et al (2013), tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pengetahuan gizi dan praktek perilaku gizi pada mahasiswa. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara status gizi dan kadar hemoglobin. Status gizi merupakan cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi individu, akan tetapi status gizi tidak dapat menggambarkan kadar hemoglobin seseorang. Kadar hemoglobin secara langsung dipengaruhi oleh kejadian infeksi, perdarahan, kehamilan dan asupan zat gizi (Mann & Truswell 2007). Berdasarkan penelitian Celvaratnam et al (2003), diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status gizi (IMT/U) dan kadar hemoglobin pada responden wanita perkebunan teh.
Hubungan antara gejala anemia dengan kadar hemoglobin Pada penderita anemia, distribusi oksigen dalam tubuh berkurang sehingga proses metabolisme dalam tubuh terganggu dan menimbulkan beberapa gejala seperti lelah, letih, lesu, nyeri kepala dan kepala berkunang-kunang (Berdanier 2002). Hasil korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0.219) antara skor gejala anemia dengan kadar hemoglobin responden. Hal ini diduga karena sebagian besar responden yang memiliki kadar hemoglobin dalam batas normal sudah mengalami defisiensi zat besi sehingga turut
26 merasakan beberapa gejala anemia seperti lemah, letih, lesu dan nyeri kepala. Defisiensi zat besi dalam tubuh biasanya terjadi melalui beberapa tahapan yaitu simpanan zat besi di dalam hati menurun namun belum menyebabkan kekurangan zat besi pada proses eritropoesis. Selanjutnya, zat besi dalam sumsum tulang akan berkurang dan tidak cukup untuk membentuk sel-sel darah merah pada proses eritropoesis namun tahap ini belum menyebabkan penurunan pada kadar hemoglobin.,Tahap selanjutnya, terjadi penurunan kadar hemoglobin karena terganggunya proses eritropoesis. Menurut WHO (2011), walaupun seseorang belum memasuki tahapan anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah, kekurangan zat besi dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya sistem jaringan tubuh. Selain itu, faktor lain seperti stress, frekuensi tidur yang kurang, beban kerja yang terlalu berat yang juga dapat menimbulkan gejala seperti lelah, mata berkunang-kunang, nyeri kepala dan pandangan gelap (Putri 2008) sehingga gejala anemia yang dirasakan oleh seseorang belum tentu selalu berhubungan penurunan kadar hemoglobin.
Hubungan antara konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan nilai signifikansi sebesar p=0.078 (r=0.262) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan (p<0.1) antara tingkat kecukupan energi dan kadar hemoglobin pada responden. Hal ini diduga karena energi berperan dalam pembentukan sel darah pada proses eritropoesis. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Suryadi et al (2009) yang menyatakan bahwa asupan energi bukan merupakan faktor yang menentukan terjadinya kejadian anemia. Asupan energi yang cukup dapat mencegah pemecahan energi zat gizi lain seperti protein sehingga protein dapat seutuhnya digunakan untuk membentuk sel dan memelihara jaringan tubuh yang rusak (Almatsier 2003). Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan protein dan kadar hemoglobin menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.389 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua vartiabel tersebut (p<0.1). Hal ini diduga karena sebagian besar responden memenuhi kebutuhan protein melalui asupan pangan nabati seperti kacang-kacangan yang mengandung asam fitat dan dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Yamin (2012) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p=0.032) antara asupan protein dengan kejadian anemia dan responden yang asupan proteinnya rendah berpeluang 2.25 kali terkena anemia dibandingkan responden nonaenemia. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.637 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin responden. Hal ini diduga karena sebagian besar responden mengonsumsi sumber protein melalui pangan nabati yang merupakan sumber zat besi non-heme yang hanya dapat diserap sekitar 1-6% oleh tubuh penyerapannya rendah dalam tubuh (Whitney & Sharon 2007). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Suyardi, Andriani dan Priyatna (2009) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian anemia gizi dan rendahnya asupan protein dan zat besi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Savitri (2015) bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan zat besi dan vitamin C terhadap kadar hemoglobin darah mahasiswa.
27 Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan nilai P=0.635 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara tingkat kecukupan vitamin C dan kadar hemoglobin responden. Vitamin C berperan dalam meningkatkan penyerapan zat besi dalam lumen usus (Andriani & Wirjatmadi 2012). Konsumsi vitamin C dengan jumlah cukup namun tidak disertai dengan asupan zat besi yang sesuai kebutuhan menyebabkan vitamin C tidak dapat berperan dalam meningkatkan kecukupan zat besi seseorang sehingga tidak berpengaruh terhadap kadar hemoglobin serta tetap menurunkan kadar plasma ferritin dalam tubuh (Backstrand 2002). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Kurniati (2013) bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia pada wanita. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.818 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar hemoglobin dan tingkat kecukupan vitamin A pada responden. Vitamin A berperan dalam mobilisasi cadangan Fe agar dapat mensintesa hemoglobin. Defisiensi vitamin A dalam tubuh akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi pada proses eritropoesis (Setiyobroto et al 2004). Akan tetapi, vitamin A hanya akan berperan apabila zat besi di dalam tubuh tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga dapat digunakan dalam proses eritpropoesis. Pada penelitian ini, diduga sebagian besar responden sudah mengalami defesiensi zat besi sehingga vitamin A tidak dapat memobilisasi zat besi dalam jumlah yang cukup pada proses eritropoesis sehingga kecukupan vitamin A menjadi tidak berhubungan dengan kadar hemoglobin responden.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Responden penelitian merupakan pekerja wanita di perkebunan Purbasari, Kabupaten Bandung sebanyak 46 orang. Rata-rata usia responden yaitu 36.8±8.4 tahun. Rata-rata besar keluarga responden yang anemia dan non-anemia tergolong kecil (4-6 orang). Pengeluaran pangan responden anemia lebih besar dibandingkan responden non-anemia. Persentase tertinggi pendidikan akhir yang ditempuh responden yakni lulusan SD (54.3%). Total pengeluaran pangan yang dikeluarkan oleh responden anemia (Rp 974 682) lebih besar dibandingkan dengan responden nonanemia (Rp 953 752). Pengeluaran terbesar responden anemia dalam sebulan yaitu untuk membeli jajanan sedangkan pada responden non-anemia untuk membeli makanan pokok. Rata-rata tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi responden anemia lebih rendah dibandingkan responden non-anemia. Status gizi normal lebih banyak ditemukan pada responden anemia (55.6%) dibandingkan dengan responden non-anemia (46%). Rata-rata skor gejala klinis yang dirasakan oleh responden anemia (16.22) lebih rendah daripada skor responden non-anemia (18.46). Rata-rata asupan energi dan zat gizi pada kedua kelompok responden tidak berbeda secara signifikan (p>0.1). Tingkat kecukupan responden secara umum
28 tergolong defisit pada protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C sedangkan energi, karbohidrat, lemak sudah tergolong baik. Hasil uji beda dengan Independent Sample T-Test menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0.1) pada pengeluaran sayuran dan jajanan antara kedua kelompok responden namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada pengetahuan gizi, status gizi, asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada kedua kelompok reponden. Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan signifikan (p>0.1) antara tingkat kecukupan energi terhadap kadar hemoglobin responden dan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.1) antara karakteristik responden, gejala anemia, tingkat kecukupan protein, zat besi, vitamin C dan vitamin A terhadap kadar hemoglobin responden.
Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang masih rendah atau defisit. Oleh karena itu, responden disarankan untuk meningkatkan asupan makanan sumber energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C yang berkaitan dengan kejadian anemia. Sebaiknya, teh tidak dikonsumsi bersamaan dengan waktu makan utama. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan kadar serum ferritin secara bersamaan untuk mendeteksi tahapan defisiensi zat besi pada responden.
DAFTAR PUSTAKA [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Jakarta(ID) Balitbangkes-Depkes RI. [Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Permenkes RI No 41 tahun 2014 [Internet]. [Diunduh 2016 Agustus 7]. Tersedia pada http://www.hukor.depkes.go.id/ [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departeman Kesehatan, Republik Indonesia. _______________________________. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat. Almatsier. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama. Amaliyah dan Handayani. 2011. Analisis hubungan proporsi pengeluaran dan konsumsi pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga petani di kabupaten Klaten. J Sos Ekonomi Pertanian (SEPA) 7(2):110-118. Andriani dan Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta(ID): Kharisma Putra Utama.
29 Anggarini. 2012. Faktor lingkungan dan karakteristik individu dan hubungannya dengan konsumsi makanan pada mahasiswa asrama universitas Indonesia Depok. [Skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Arisman MB. 2004. Widyastuti P (editor). Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Atmarita dan Fallah. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Di Dalam Soekirman et al, editor. Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. Backstrand et al. 2002. Diet and iron status of non-pregnant women in rural central Mexico. Am J Clin Nutr 76(1):156-164. Berdanier C. 2002. Handbook of Nutrition and Food. USA: CRC Press. Celvaratnam et al. 2003. Nutritional status and productivity of Srilankan tea plickers. Ceylon Medc Jurn 48(4)114-118. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment. New York (US): Oxford University Press. Handelman dan Levin. 2008. Iron and anemia in human biology: a review of mechanisms. Heart Fail Rev J 13:393-404. Haryono. 2015. Pengaruh pendidikan anemia gizi audio visual terhadap tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan dan perilaku konsumsi table Fe serta kadar hemoglobin pada remaja putri. [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Herman. 2007. Masalah kurang vitamin A (KVA) dan prospek penanggulangannya. Puslitbang Gizi dan Makanan Journal 17(4): 40-44. Humeid E. 2013. Hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor. [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Ishaq I. 2011. Konsumsi dan strategi pemenuhan kebutuhan beras pada 2015 di Jawa Barat. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 6(2): 217-229. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kurniati. 2013. Hubungan asupan zat gizi dengan kejadian anemia pada wanita prakonsepsi di kecamatan ujung tanah dan kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar. [Skripsi]. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Lubis dan Aritonang. 2008. Analisis Kadar Hemoglobin darah pada buruh wanita di perusahaan makanan beku (cold storage) PT X Belawan. Jurnal Penelitian Rekayasa 1(2): 58-65 Mahan and Escott-Stump. 2008. Krause Food Nutrition Therapy Internasional Edition. Canada (USA): Saunders Elsevier. Maharani, Hardinsyah dan Sumantri. Aplikasi regresi logistik dalam analisis faktor risiko anemia gizi pada mahasiswa baru IPB. Jurnal Pangan dan Gizi 2 (2): 36-43. Mahardikawati. 2008. Aktivitas fisik, konsumsi pangan, status gizi dan produktivitas kerja wanita pemetik the di PTPN VIII Bandung, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
30 Maharibe, Kawengian dan Bolang. Hubungan pengetahuan gizi seimbang dengan praktik gizi seimbang mahasiswa program studi pendidikan dokter angkatan 2013. [Skripsi]. Manado: Fakultas Kedokteran, Universitas Sam Ratulangi. Mennen, Hirvonen, Arnault, Bertrais, Galan dan Hercberg. 2007. Consumption of black, green and herbal tea and iron status in french adults. European Journal of Clinical Nutrition 61:1174-1179. Nelson. 2004. Impact of tea drinking on iron status in the UK. J Hum Nutr Dietet 17: 43-54. Notoatmojo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Raspati. 2010. Buku Ajar Onkologi-Hematologi Anak. Jakarta: IDAI. Rifai & Gulat. 2003. Indentifikasi tingkat konsumsi pangan masyarakat di Kabupaten Pelalawan. Sosial Ekonomi Pertanian J 3(2):34-44. Rosdiana. 2014. Pengaruh demografi, sosial-ekonomi, gaya hidup, status gizi dan kesehatan terhadap kejadian obesitas sentral pada ibu rumah tangga. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sadeghlan, Fatourechl, Lesanpezenshki dan Ahmadnezhad. 2013. Prevalence of anemia and correlated factors in the reproductive age women in rural areas of tabas. Family and Reproductive Health Journal 7(3): 139-144. Santosa. 2004. Kesehatan dan Gizi Edisi 2. Jakarta: Asdi Mahasatya. Savitri, Fatmawati, Christianto. 2015. Hubungan asupan zat besi, vitamin C dan tembaga dengan kadar hemoglobin pada mahasiswa angkatan 2014 fakultas kedokteran universitas riau. JOM FK 2(2):1-16. Setiyobroto, et al. 2004. Pengaruh suplementasi kombinasi besi-folat, vitamin A dan zink terhadap status anemia dan kadar feritin anak SD kelas IV-VI di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Nutrisia. vol. 5, No. 2, hal 95-104. Schiff W. 2013. Nutrition for Healthy Living. Third Edition. New York (USA): McGraw-Hill Companies. Sharman A. 2000. Anemia Testing in Population-Based Surveys: General Information and Guidelines for Country Monitors and Program Managers. Maryland (USA): ORC Macro. Sihombing dan Riyadina. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada pekerja di kawasan industri pulo gadung Jakarta. Jurnal Litbangkes 29(3): 116-124. Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC. Suyardi, Andriani dan Priyatna. 2009. Gambaran anemia gizi dan kaitannya dengan asupan serta pola makan pada tenaga kerja wanita di Tangerang, Banten. Jurnal Kedokteran Yarsi 17(1): 31-39. Tanamal, Setiawaty, Ritchie dan Timan. 2015. Pengukuran komponen zat besi pada laki-laki pendonor darah rutin di kabupaten gunung kidul. Buletin Penelitian Kesehatan 44(1):41-48 Putri D. 2008. Hubungan faktor internal dan eksternal pekerja terhadap kelelahan (fatigue) pada operator alat besar PT. Indonesia Unit Bisnis. [Skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Utama, Listiana dan Susanti 2013. Perbandingan zat besi dengan dan tanpa vitamin C terhadap kadar hemoglobin wanita usia subur. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7(8): 344-388
31 Waani, Engka, Supit. 2014. Kadar hemoglobin pada orang dewasa yang tinggal di dataran tinggi dengan ketinggian berbeda. Jurnal e-biomedik 2(2): 471-475. Whitney E and Sharon R. 2007. Understanding Nutrition Edition 11th. Belmont (USA): Thomson Wadsworth Corporation. Wirani dan Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat Edisi Pertama. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group. WHO. 2014. Global nutrition targets: anemia policy brief. [Internet]. [Diunduh 2016 Agustus 5]. Tersedia pada: www.who.int/nutrition _____. 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anemia and assessment of severity. [Internet]. [Diunduh 2016 Juli 3]. Tersedia pada: www.who.int/nutrition. _____. 2007. Worldwide prevalence of anaemia WHO global database on anemia. [Internet]. [Diakses 2016 Juli 30]. Tersedia pada http://www.who.int/vmnis/anaemia/prevalence/anaemia_data_status_t4/en/ _____. 2001. Iron deficiency anaemia: assessment, prevention and control a guide for programme managers. [Diakses 2016 Juli 29]. Tersedia pada http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/66914/1/WHO_NHD_01.3.pdf?ua =1 Yamin T. 2012. Hubungan pengetahuan, asupan gizi dan faktor lain yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA Kabupaten Kepulauan Selayar. [Skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Yellen et al. 1997. Measuring fatigue and other anemia-related symptoms with functional assessment of cancer therapy (FACT) measurement system. Journal of pain and symptoms management 13(2): 63-72. Yuniastuti A. 2008. Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
32
LAMPIRAN Lampiran 1 Skor Gejala Anemia pada Kelompok Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Keluhan Saya merasa lesu Saya merasa cepat lelah Saya sulit memulai kegiatan karena lelah Saya menyelesaikan kegiatan karena lelah Saya memiliki kesulitan berjalan Saya butuh untuk tidur siang Saya merasa pusing (seperti mau pingsan) Saya merasa berkunang-kunang Saya merasa pandangan saya gelap terutama ketika berubah posisi dari jongkok atau tidur ke berdiri Saya nyeri kepala Nafas saya pendek atau ngos-ngosan Saya merasa nyeri dada Saya merasa terlalu lelah bahkan untuk makan Saya membutuhkan oranglain untuk membantu saya melakukan kegiatan sehari-hari Saya frustasi karena terlalu lelah untuk melakukan hal yang saya inginkan Kegiatan bersosialisasi saya terhambat karena saya terlalu lelah
TOTAL
Total Skor Anemia Non-anemia 1.89 2.05 1.67 2.08 1.11 1.70 0.78 1.70 0.33 0.41 0.78 1.16 1.11 0.57 1.22 1.16 1.44
1.19
1.89 0.78 0.22 0.33
2.08 0.84 0.59 0.51
1.00
0.70
0.67
0.62
1.00
1.08
16.22
18.46
33 Lampiran 2 Hasil uji beda dan uji hubungan pada hasil penelitian
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Umur Responden Besar Keluarga Kadar Hemoglobin Indeks Massa Tubuh Pengetahuan Gizi Pengeluaran Pangan Pengeluaran Nonpangan Total Pengeluaran Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein Tingkat Kecukupan Lemak Tingkat Kecukupan Karbohidrat Tingkat Kecukupan Zat Besi Tingkat Kecukupan Vit C Klasifikasi TK Vitamin A Konsumsi Energi Konsumsi Protein Konsumsi Lemak Konsumsi Karbohidrat Konsumsi Zat Besi Konsumsi Vitamin C Konsumsi Vitamin A Gejala Anemia
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.123 .216 .099 .101 .182 .134 .103 .135 .073 .095 .144
46 46 46 46 46 46 46 46 46 46 46
.079 .000 .200* .200* .001 .038 .200* .035 .200* .200* .018
.925 .915 .976 .954 .932 .937 .945 .972 .972 .961 .956
46 46 46 46 46 46 46 46 46 46 46
.006 .002 .460 .067 .010 .016 .031 .323 .322 .126 .081
.090
46
.200*
.957
46
.090
46 46 46 46 46 46 46 46 46 46 46
.200*
.969 .864 .963 .970 .948 .978 .924 .969 .864 .963 .967
46 46 46 46 46 46 46 46 46 46 46
.249 .000 .154 .279 .039 .543 .005 .249 .000 .154 .220
.086 .212 .089 .071 .113 .087 .111 .086 .212 .089 .130
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
.000 .200* .200* .181 .200* .200* .200* .000 .200* .051
34
Correlations Kadar Hemoglobin Kadar Hemoglobin
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh .114 .450
46
46
Pearson Correlation
.114
1
Sig. (2-tailed)
.450
N
46
46
Correlations Kadar Hemoglobin Kadar Hemoglobin
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Pengetahuan Gizi
Pengetahuan Gizi .198 .188
46
46
Pearson Correlation
.198
1
Sig. (2-tailed)
.188
N
46
46
35 Correlations
Kadar Hemoglobin
Pearson Correlation
Kadar Hemoglobin
Tingkat Kecukupan Energi
1
.262
Sig. (2-tailed) N Tingkat Kecukupan Energi
.078 46
46
Pearson Correlation
.262
1
Sig. (2-tailed)
.078
N
46
46
Correlations Tingkat Kecukupan Protein Kadar Hemoglobin Tingkat Kecukupan Protein
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Kadar Hemoglobin
.130 .389
46
46
Pearson Correlation
.130
1
Sig. (2-tailed)
.389
N
46
46
Kadar Hemoglobin
Tingkat Kecukupan Zat Besi
1
.071
Correlations
Kadar Hemoglobin
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Tingkat Kecukupan Zat Besi
.637 46
46
Pearson Correlation
.071
1
Sig. (2-tailed)
.637
N
46
46
36 Correlations Tingkat Kecukupan Vitamin C
Kadar Hemoglobin Spearman's rho
Kadar Hemoglobin
Correlation Coefficient
1.000
.072
.
.635
46
46
Correlation Coefficient
.072
1.000
Sig. (2-tailed)
.635
.
46
46
Sig. (2-tailed) N Tingkat Kecukupan Vitamin C
N
Correlations Kadar Hemoglobin Kadar Hemoglobin
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Tingkat Kecukupan Vit A
Tingkat Kecukupan Vit A .035 .818
46
46
Pearson Correlation
.035
1
Sig. (2-tailed)
.818
N
46
46
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 02 Mei 1995 dari ayah Albeder Siahaan dan ibu Rosmalince Simatupang. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari TK Bintang Timur tahun 1999-2000 kemudian penulis melanjutkan ke studi ke SD Budi Mulia 2, Pematangsiantar tahun 2000-2006. Tahun 2006-2009, penulis melanjutkan sekolah ke SMP Budi Mulia Pematangsiantar. Tahun 2009-2012 penulis melanjutkan sekolah dan lulus dari SMA Budi Mulia Pematangsiantar dan pada tahun 2012 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Tulis dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkulihan, penulis aktif mengikuti kegiatan dan kepanitian yang ada di kampus seperti kegiatan UKM taekwondo dan pernah menjadi sekretaris diaspora PMK IPB (2014). Penulis juga pernah menjadi salah satu fasilitator “sarapan sehat” yang diselenggarakan oleh AIPGI. Selain itu, penulis juga mengikuti dan memenangkan beberapa perlombaan yang diselenggarakan oleh kampus seperti juara I Sprint dan Estafet LIGIMA, Juara II Sprint dan Estafet ESPENT dan peserta dalam OMI. Penulis dan bersama-sama teman lainnya juga pernah berkontribusi dalam membuat jingle lagu untuk acara Nutrition Fair 2015. Penulis pernah mendapat beasiswa PPA selama 4 semester pada tahun 2014-2016. Tahun 2015, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Profesi (KKNP) di Desa Sukajaya, Kecamatan Jonggol, Bogor. Penulis melakukan Intership Manajemen Sistem Penyelenggaraan Makanan dan Dietetik di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang kloter 2 (Oktober-November 2015).