Persona, Jurnal Psikologi Indonesia Sept. 2013, Vol. 2, No. 3, hal 223 - 231
Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas Terhadap Agresivitas Verbal Arief Nurtjahyo
Andik Matulessy
[email protected] Alumni Program Magister Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
[email protected] Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstract.The escalation in aggressive behavior in Indonesia has caused myriad losses. Social experts stated human behavior aimed to harm and injure others, the so-called aggression, has increased rapidly each year, both qualitatively and quantitatively. When the concentration focused on the nature of physical aggression, verbal aggression, which becomes the part of aggression itself, continued to socialize especially among our youth. Teenagers inclined to have strong emotions. Their uncontrolled, irrational, and irritable emotions tend to easily explode when they feel disturbed, thus allowing the emergence of aggressive behavior they consider to be the correct solution to solve their problems. This study examined the relationship of emotional maturity and conformity toward verbal aggression. The respondents of this research are 100 students from Faculty of Letters of Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Based on the regression analysis using SPSS 16, it is found that Emotional Maturity and Conformity, jointly, play the role in building Verbal Agression (F = 15,573, p = 0,000 or p < 0,05). Collectively, those two variables contributes effectively of 26,6 % whichthe greater was given by Emotional Maturity. While other result confirmed that the higher emotional maturity resulted in the lower verbal aggression (F = -4,292, p = 0,000 or p < 0,05), it is also found that conformity itself didnot have any relationship with verbal aggression (F = -1,349, p = 0,181 or p > 0,05) so that it cannot be used as a basis to predict verbal aggression. Keyword: Verbal Aggression, Emotional Maturity, Conformity Intisari. Semakin meningkatnya perilaku agresi di Indonesia telah mengakibatkan kerugian dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Para ahli menyatakan bahwa perilaku manusia yang bertujuan untuk menyakiti dan melukai orang lain, yang disebut dengan agresi, telah meningkat pesat dari tahun ke tahun baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Saat konsentrasi kita terfokus pada sifat dari agresi fisik, perilaku agresi verbal, yang juga menjadi bagian dari agresi itu sendiri, terus berlanjut “bersosialisasi” diantara kaum remaja kita. Emosi mereka yang tak terkontrol, irasional, rentan dan cenderung mudah meledak ketika merasa terganggu akan memungkinkan munculnya perilaku agresi yang mereka anggap sebagai solusi yang benar untuk memecahkan masalah mereka. Penelitian ini menguji hubungan kematangan emosi dan konformitas terhadap agresi verbal. Responden yang digunakan adalah 100 orang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Berdasarkan analisis regresi dengan menggunakan SPSS 16, ditemukan bahwa Kematangan Emosi dan Konformitas, secara bersama, memainkan peranan dalam membangun Agresi Verbal (F = 15,573, p = 0,000 or p < 0,05). Secara kolektif, kedua variabel ini memberikan sumbangan efektif sebesar 26,6% dimana yang terbesar diberikan oleh Kematangan Emosi. Hasil lainnya mengkonfirmasikan bahwa semakin tinggi Kematangan Emosi maka akan semakin rendah Agresi Verbal (F = -4,292, p = 0,000 or p < 0,05). Ditemukan juga bahwa Konformitas sendiri tidak memiliki hubungan positif atau negatif dengan Agresi Verbal (F = -1,349, p = 0,181 or p > 0,05) hingga tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk memprediksi Agresi Verbal. Kata kunci : Agresi Verbal, Kematangan Emosi, Konformitas
223
Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas Terhadap Agresivitas Verbal
PENDAHULUAN Peningkatan perilaku agresi di Indonesia dapat terlihat di beberapa kota besar di Indonesia. Setiap hari seakan tak habis-habisnya kita melihat dan mendengar berbagai perilaku agresi yang ditayangkan oleh baik media cetak maupun elektronik. Kerugian yang ditimbulkan akibat perilaku tersebut sudah tak terhitung lagi banyaknya. Secara materi memang masih “memungkinkan” bagi kita untuk mengetahui berapa persisnya kerugian yang ada. Tetapi secara non materi sulit untuk memastikan tingkat kerusakan moral yang ditimbulkan oleh perilaku ini. Tindak kekerasan yang dilakukan para remaja dan mahasiswa pada beberapa tahun belakangan ini telah menjadi perhatian orang tua, pengajar, dan pemerintah. Polda Metro Jaya (news.detik.com, 2012, 11 Mei) menyatakan bahwa intensitas kenakalan remaja pada 2012 mengalami peningkatan mencapai 13,34% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tawuran antar pelajar, perkelahian antar supporter dan kekerasan gang motor seperti sudah menjadi tradisi dan dapat terjadi hanya karena masalah sepela saja. Dampak yang ditimbulkan hingga sampai memakan korban jiwa. Pada 2010, tawuran pelajar tercatat berjumlah 28 kasus, sedangkan pada periode Januari Agustus 2011, tawuran pelajar di Jakarta sudah tercatat sebanyak 36 kasus, dengan wilayah paling banyak di Jakarta Pusat (Tempo, September 2011). Dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan intensitas tawuran pelajar,Hal di atas diperkuat data Komnas PA merilis jumlah tawuran pelajar tahun ini (2011) sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang. Tahun sebelumnya, jumlah tawuran antar-pelajar sebanyak 128 kasus. Begitu banyaknya kasus kekerasan remaja ini sangat meresahkan warga dan orangtua. Sama halnya dengan di Indonesia, di negara maju seperti negara-negara Eropa (Sethi et al, 2010 dalam Baskoro, 2012) dan Amerika (Wilson, 2000 dalam Baskoro, 2012), perilaku agresif remaja juga menjadi masalah. Menurut para pengamat sosial, perilaku manusia yang bertujuan untuk menyakiti, melukai orang lain atau yang biasa disebut agresi ini mengalami peningkatan yang pesat setiap tahunnya, baik secara kualitas maupun kuantitas.
(http://librarygunadarma.ac.id/repository/view/3 19821/hubunganantarakonformitaskelompokde nganperilakuagresifpada-siswa-siswi-kelas-1regulersmu-islam-pb-sudirman-jakarta.html/) Saatini, perilaku agresi sudah tidak lagi menjadi “hak” kelompok tertentu. Siapapun dengan status social apapun sudah menunjukkan perilaku agresi ini dengan jenisnya masing-masing. Preman-preman melakukan perilaku agresi di wilayah yang mereka anggap sebagai daerah kekuasaannya. Kepolisian Republik Indonesia sejak 28 Februari hingga 10 Maret 2012 telah menindak 2.990 orang yang terlibat kasus premanisme (http://www.antaranews.com/berita/1331537 714/polri-tindak-2990-orang-terlibat-kasuspremanisme), Tentara melakukan perilaku agresi dengan menyerbu dan menembak mati tahanan yang bahkan tidak sedikitpun mampu melawan dalam kasus “penyerbuan” LP Cebongan yang melibatkan 11 anggota Kopassus berpangkat bintara dan tamtama (http://www.tempo.co/read/news/2013/04/06/ 063471550/Komandan-Kopassus-Tak-TahuPenyerbuan-Cebongan).
Yang lebih parah lagi, perilaku agresi ini sudah merambah ke dunia pendidikan atau dunia kampus. Berbagai kasus tawuran mahasiswa baik yang sifatnya antar fakultas dalam satu perguruan tinggi ataupun antar perguruan tinggi sudah semakin merajalela. Karena jengah dengan keadaan seperti ini bahkan pemerintah akan membekukan atau mencabut izin program studi di perguruan tinggi mana pun jika ada mahasiswanya yang terlibat tawuran. Sanksi itu berlaku untuk perguruan tinggi negeri dan swasta serta dapat berlaku sementara atau selamanya. (http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/15/11 224773/Tawuran.Sanksi.Berat.bagi.Pimpinan.P T?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&ut m_campaign=) Dalam psikologi dan ilmusosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya menga lami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilaku kan secara verbal atau fisik. Perilaku yang seca ra tidak sengaja menyebabkan bahaya atau sakit bukan merupakan agresi. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk
224
Arief Nurtjahyo dan Andik Matulessy
dalam definisi agresi. Agresi tidak sama dengan ketegasan.(http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi). Menurut Koeswara (1991) istilah agresi seringkali disalah-artikan dengan agresif. Agresif adalah merupakan kata sifat agresif. Istilah agresif seringkali digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku yang memiliki dasar motivasional yang berbeda-beda dan sama sekali tidak mempresentasikan agresif atau tidak dapat disebut agresif dalam pengertian yang sesungguhnya. Dengan penggunaan istilah agresif yang simpang-siur atau tidak konsisten, penguraian tingkah laku khususnya tingkah laku yang termasuk dalam kategori agresif menjadi kabur, dan karenanya menjadi sulit untuk memahami apa dan bagaimana sesungguhnya yang disebut tingkah laku agresif atau agresi itu. Menurut Aronson (dalam Koeswara, 1991) agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan atau tanpa tujuan tertentu. Murray dan Fine (dalam Koeswara, 1991) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap obyekobyek. Buss dan Perry (1992) mengatakan bahwa ada empat macam agresi, yaitu : 1. Agresi fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Hal initermasukmemukul, menendang, menusuk, membakar, dansebagainya. 2. Agresi verbal adalahagresi yang dilakukan untuk melukai orang lainsecara verbal. Bila seseorang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek, dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi verbal. 3. Kemarahan hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Contoh seseorang dapat dikatakan marah apabila dia sedang merasa frustrasi atau tersinggung. 4. Kebencian adalah sikap yang negatif terhadap orang lain karena penilaian sendiri yang negatif. Contohnya adalah seseorang curiga kepada orang lain karena orang lain tersebut baik dan lain sebagainya. Sebagian besar dari kita hanya menganggap adalah agresi fisik yang sifatnya berbahaya.
Kenyataannya, agresi verbal sama berbahayanya dengan agresi yang sifatnya fisik. Agresi verbal adalah perilaku pesan yang menyerang konsep diri seseorang untuk memberikan rasa sakit psikologis (Infante, 1995). Menurut kamus istilah psikologi (Chaplin, 1981) verbal adalah berupa kata-kata atau suku kata dalam berbagai macam bentuk baik lisan, tulisan, maupun cetakan. Garcia Leon (dalam Leny, 2001) mendefinisikan agresi verbal sebagai perilaku agresif yang bentuknya berupa perkataan-perkataan kasar atau menyakitkan orang lain ataupun yang dikeluarkan berupa gumaman atau gerutuan. Ketika konsentrasi masyarakat kita hanya dipusatkan pada sifat agresi yang sifatnya fisik, agresi verbal terus “memasyarakat” khususnya pada remaja-remaja kita saat ini. Remaja cenderung memiliki emosi yang sangat kuat, tidak terkendali dan irasional, mudah marah dan emosinya cenderung meledak apabila merasa terganggu, sehingga memungkinkan munculnya perilaku agresif yang mereka anggap sebagai jalan keluar yang tepat dalam memecahkan masalah (Retnaningsih, 2000). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari cara bagaimana menanggulangi atau, paling tidak, mengurangi perilaku agresif ini, khususnya bagi pelajar dan mahasiswa. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi, kematangan emosi dan konformitas dianggap sebagai dua faktor yang cukup penting dalam mempengaruhi perilaku agresif. Salah satu penelitian yang membahas tentang hubungan kematangan emosi dan perilaku agresif dilakukan oleh Jeany Yuniar Adita (2005) yang membahas tentang hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresif pada Taruna Remaja Sekolah Tinggi Perikanan. Arie Wahyu Wijayanti (2009) melakukan penelitian tentang hubungan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada kelompok balap motor liar. Agresi merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji dan dipahami. Namun penelitian tentang agresi lebih banyak difokuskan pada pelaku tindak kekerasan secara fisik padahal sangat penting untuk memahami secara mendalam mengenai tindak kekerasan agresi yang bersifat non fisik juga. Penilaian terhadap seseorang yang mengalami tindakan menyakitkan secara fisik akan
225
Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas Terhadap Agresivitas Verbal
membantu memberikan gambaran dengan lebih nyata mengenai bentuk kekerasan fisik yang lebih umum terjadi dan ditemukan. Sementara ketika yang dilihat adalah sudut pandang pelaku yang membuat tindakan menyakitkan melalui kata-katanya terhadap orang lain, hal itu seringkali diabaikan sebagai perilaku agresi verbal (Christiansen & Evans, 2005). Pada akhirnya gambaran mengenai tindak kekerasan non fisik menjadi semu karena masyarakat umum lebih mengenal kekerasan secara fisik. Hal ini terjadi karena kekerasan fisik akibatnya dapat langsung dikenali dengan adanya tanda/bekas luka atau memar pada fisik, sedangkan kekerasan verbal tidak menimbulkan bekas luka secara fisik yang nampak pada korban. Agresi Secara umum agresi merupakan segala macam bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis (Berkowitz, dalam Myers, 2012). Senada dengan pandangan diatas, Brigham ( dalam Myers, 2012) mengatakan bahwa agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti orang yang tidak ingin disakiti, baik secara fisik maupun psikologis. Pendapat senada disampaikan oleh Baron dan Byrne (2003) bahwa perilaku agresif adalah perilaku individu yang bertujuan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Baron dan Byrne (dalam Myers, 2012) juga merumuskan empat faktor yang mendukung definisi diatas yaitu : 1) Individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi korban 2) Tingkah laku individu pelaku 3) Tujuan untuk melukai atau mencelakakan (termasuk membunuh atau mematikan) 4) Ketidak-inginan korban untuk menerima perilaku pelaku. Sears dan kawan-kawan (1994) mengemukakan bahwa agresi adalah suatu tindakan yang melukai orang lain dan memang dimaksudkan untuk itu. Sedikit berbeda, Moore dan Fine (dalam Koeswara. 1988) menjelaskan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik
maupun verbal terhadap individu lain atau terhadap obyek-obyek. Kematangan Emosi Menurut Crow & Crow (1958) emosi adalah‘an emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows itself in his evert behavior”. Jadi, emosiadalahwarnaafektif yang kuatdanditandaiolehperubahan-perubahanfisik. Wolman (dalam Puspitasari, 2002) mendefinisikan kematangan emosi sebagai kondisi yang ditandai oleh perkembangan emosi dan pemunculan perilaku yang tepat sesuai dengan usia dewasa daripada bertingkah laku seperti anak-anak. Semakin bertambah usia individu diharapkan dapat melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta daripada perasaan. Menurut Kartono (1988) kematangan emosi sebagai kedewasaan dari segi emosional dalam artian individu tidak lagi terombang-ambing oleh motif kekanak-kanakan. Chaplin (2001) menambahkan emotional maturity adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas. Konformitas Dalam kehidupan berkelompok, setiap kelompok memiliki seperangkat aturan yang dibuat untuk mengatur nilai, kayakinan dan perilaku anggotanya. Setiap anggota kelompok harus mentaati dan melaksanakan aturan-aturan atau norma-norma yang ditetapkan kelompok tanpa diminta. Hal inilah yang disebut dengan konformitas. Jadi konformitas mengacu pada pengertian tidak hanya bertindak seperti orang lain tapi juga dipengaruhi oleh bagaimana orang lain berperilaku. (http://psych.umn.edu/courses/ yanowitz/Psy3201/lectures/pdfs). Myers (2012) mengartikan konformitas sebagai“a change in behavior of belief to accord with others”. Konformitas adalah perubahan perubahan perilaku ataupun keyakinan agar sama dengan orang lain.
226
Arief Nurtjahyo dan Andik Matulessy
Asch (dalam Feldman, 1995) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan dalam sikap dan perilaku yang dibawa seseorang sebagai hasrat untuk mengikuti kepercayaan atau standar yang ditetapkan orang lain. Konformitas juga diartikan sebagai bujukan untuk merasakan tekanan kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk tunduk pada kelompok (Deux, Dune & Wrighgman, 1993). Sedangkan Feldman (1995) menyatakan“A change in behavior or attitude brought about by a desire to follow the belief of standards of others”.Konformitas adalah perubahan perilaku atau sikap yang disesuaikan untuk mengikuti keyakinan atau standar kelompok. METODE Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi. Karena merupakan bagian dari populasi, tentu ia harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya (Azwar, 2012). Peneliti mengambil sampel sebanyak 100 orang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dengan menggunakan purposive sampling yang terdiri dari mahasiswa semester 2, 4, dan 6. Variabel Penelitian dan Pengukurannya Variabel penelitian adalah konsep mengenai atribut atau sifat yang terdapat pada subyek penelitian yang dapat bervariasi secara kuantitatif maupun secara kualitatif (Azwar, 2012). Tiga variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Agresivitas verbal (variabel terikat (y)), dan dua variabel bebas yaitu kematangan emosi (x1) dan konformitas (x2) HASIL Setelah dilakukan análisis Regresi ditemukan koefisien korelasi F regresi = 15,573 dengan p = 0,000 (p< 0,05) dengan t negatif (arah negatif). Hal ini berarti ada hubungan sangat signifikan antara Kematangan Emosi dan Konformitas dengan Agresi Verbal pada mahasiswa Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Hal ini dapat diartikan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa Kematangan Emosi dan
Konformitas berhubungan dengan Agresi Verbal dapat diterima. Dari hasil perhitungan analisis data diperoleh koefisien korelasi parsial - 4,292 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 ( p < 0,05). Ini berarti bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara Kematangan Emosi dengan Agresi Verbal. Artinya bahwa Kematangan Emosi berhubungan dengan Agresi Verbal, sehingga Kematangan Emosi dapat dijadikan dasar untuk memprediksi Agresi Verbal. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa Kematangan Emosi berhubungan dengan Agresi Verbal, dapat diterima. Dari hasil perhitungan analisis data diperoleh koefisien korelasi parsial - 1,349 dengan taraf signifikansi sebesar 0,181 ( p > 0,05). Ini berarti tidak ada hubungan antara Konformitas dengan Agresi Verbal. Artinya bahwa Konformitas tidak berhubungan dengan Agresi Verbal, sehingga Konformitas tidak dapat dijadikan dasar untuk memprediksi Agresi Verbal. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa Konformitas berhubungan dengan Agresi Verbal, tidak dapat diterima. Berdasarkan hasil análisis regresi juga menunjukkan bahwa R2 (koefisien determinan) ditemukan sebesar 0,266. Ini berarti bahwa variabel X1 (Kematangan Emosi) bersama-sama variabel X2 (Konformitas) berperan menentukan variabel Y (Agresi Verbal) sebesar 26,6%. Sisanya 73,4% ditentukan oleh variabel-variabel lain yang tidak terprediksi dalam penelitian ini atau tidak diteliti pada penelitian ini. PEMBAHASAN Hipotesis pertama dalam penelitian ini yang menyatakan ada hubungan antara kematangan emosi dan konformitas kelompok dengan perilaku agresi verbal pada mahasiswa Fakultas Sastra bisa dibuktikan. Secara simultan ditemukan ada hubungan yang sangat signifikan antara kematangan emosi dan konformitas kelompok dengan agresi verbal. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua variabel independent (kematangan emosi dan konformitas kelompok) mempengaruhi variable dependent (agresi verbal). Kedua variable independent tersebut memiliki sumbangan efektif (R²) yang relatif kecil, sebesar 26,6%, sedangkan sisanya sebesar 73,4%
227
Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas Terhadap Agresivitas Verbal
dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya variabel yang mempengaruhi agresivitas. Penelitian yang dilakukan oleh Alif Mu’arifah (2005) menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara kecemasan dan agresi sebesar 21,06%. Penelitian yang dilakukan oleh Tita Utami Dewi (2003) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan positif antara intelegensi emosional dengan agresi. Ruqaya Imtiaz (2010) menyatakan dalam penelitiannya bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi agresi diantaranya lingkungan keluarga, religiusitas, sikap terhadap pendidikan dan kekerasan dalam media. Hipotesis kedua dalam penelitian ini juga terbukti, yakni ada hubungan yang negatif antara kematangan emosi dengan agresi verbal. Artinya adalah semakin tinggi kematangan emosi maka semain rendah agresi verbalnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hurlock (1992) mengenai beberapa kriteria dalam kematangan emosi, bahwa seseorang dapat dikatakan memiliki kematangan emosi apabila ia dapat bertindak sebagai berikut: a. Sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu dapat mengendalikan ekspresi emosi yang dapat diterima oleh masyarakat. b. Memanfaatkan kemampuan mentalnya secara tepat, yaitu seseorang yang dapat menilai situasi secara kritis sebelum memberikan respon secara emosional dan kemudian memutuskan cara terbaik merespon stimulus tersebut. c. Memahami diri sendiri, yaitu seseorang yang dapat mempelajari seberapa besar pengendalian diri yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya dan mengarahkannya pada harapan-harapan yang sesuai dengan masyarakat. d. Emosi yang diberikan oleh individu relatif stabil dan tidak mudah berubah-ubah dari suatu emosi ke emosi yang lain. Dari gambaran tersebut, tentunya dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa yang memiliki kematangan emosinya tidak akan bertindak agresif verbal. Mahasiswa akan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan atas resiko yang ditimbulkan bilamana bertindak agresif.
Hasil penelitian ini searah dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aprius Maduwita Guswani (2011). Dari subyek penelitian mahasiswa fakultas Teknik Universitas Muria Kudus, ditemukan ada korelasi negatif yang signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku agresif. Semakin tinggi kematangan emosi maka akan semakin rendah perilaku agresinya dan, sebaliknya, semakin rendah kematangan emosi maka akan semakin tinggi perilaku agresinya. Monk, dkk (1996) menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan problemproblem pribadi tanpa adanya keselarasan antara gangguan perasaan dan ketidakmampuan menyelesaikan masalah, kemampuan untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat. Kematangan emosinantinya akan mempengaruhi kemampuannya untuk mengendalikan diri dan tidak sampai pada perilaku yang bersifat agresif. Kematangan emosional sebagaimana diuraikan oleh Mappiare (1982) memiliki ciri sebagai berikut : a. Emosi terkendali, individu yang telah mencapai kematangan emosi akan mengendalikan ekspresi emosinya sehingga tidak merugikan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Individu mempunyai kemampuan untuk menahan diri dan tidak bertindak secara emosional dan selalu berfikir positif; b. Emosi terarah, individu dengan tenang dapat menyalurkan ketidakpuasan maupun konflik yang dialami kearah penyaluran yang kreatif. Sikap emosi yang terarah antara lain dapat memahami kesulitan orang lain serta mudah memaafkan dan tidak mencari alasan bila mengalami kegagalan; c. Emosi terbuka lapang, individu terbuka dan menghargai kritikan, saran dan pendapat dari orang lain, serta memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengemukakan ideidenya; d. Kasih sayang, pada individu yang telah mencapai kematangan emosi, rasa kasih sayang dapat diwujudkan secara wajar antara lain
228
Arief Nurtjahyo dan Andik Matulessy
membantu orang tanpa pamrih, menghargai orang lain. Hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang menyatakan ada hubungan yang positif antara konformitas kelompok dengan agresi verbal mahasiswa ternyata tidak terbukti. Artinya tidak ada hubungan antara konformitas dengan agresi verbal. Semakin tinggi konformitas tidak diikuti dengan semakin rendahnya agresi verbal pada mahasiswa Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Peningkatan perilaku agresif di Indonesia dapat terlihat di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa lainnya. Kerugian yang ditimbulkan akibat perilaku yang merusak tersebut sudah tidak terhitung lagi. Menurut para pengamat sosial, perilaku manusia yang bertujuan untuk menyakiti, melukai orang lain atau yang biasa disebut agresi ini, mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Remaja cenderung memiliki emosi yang sangat kuat, tidak terkendali dan irasional, mudah marah dan emosinya cenderung meledak apabila terganggu sehingga memungkinkan munculnya perilaku agresif yang dianggap sebagai jalan keluar yang paling tepat dalam memecahkan masalah. Konformitas kelompok dapat memunculkan perilaku tertentu pada seseorang yang dapat bersikap positif maupun negatif. Kelompok sendiri sebenarnya memiliki definisi sebagai dua atau lebih orang yang berinteraksi satu sama lain dan saling memiliki ketergantungan, dimana kebutuhan dan tujuan menyebabkan mereka untuk saling mempengaruhi satu sama lainnya. (Huky, 1982). Dari sini bisa dilihat bahwa suatu kelompok pasti terbentuk karena adanya usaha untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan yang sama. Kelompok tersebut memiliki tujuan yang sama, memiliki atribut yang sama, meskipun begitu tentu cara mereka mempengaruhi setiap anggotanya akan berbeda. Salah satunya adalah dengan konformitas. Rendahnya tingkat konformitas, dalam konteks kelompok mahasiswa Fakultas Sastra, dalam penelitian ini bisa ditinjau dari beberapa hal sebagai berikut. Dilihat dari besar kecilnya kelompok, kelompok mahasiswa Fakultas Sastra Untag Surabaya bukanlah sebuah kelompok besar. Sebuah kelompok yang besar biasanya
akan juga dimapankan dengan aturan-aturan yang ketat bagi anggotanya. Sanksi bagi yang tidak mematuhi akan tampak jelas disini. Kelompok yang besar dan mapan akan menerapkan seleksi bagi mereka yang ingin masuk dan bergabung dengan anggotanya. Tidak demikian halnya dengan kelompok mahasiswa Fakultas Sastra. Secara otomatis seseorang akan dianggap sebagai anggota kelompok bila dia berpredikat sebagai mahasiswa Fakultas Sastra. Ketidak-jelasan atau ketiadaan aturan dan/atau norma yang dianut dalam kelompok membuat anggotanya enggan untuk mematuhi apa yang dianut oleh kelompok. Apabila mengikuti atau berkonformitas dengan aturan kelompok pun yang dilakukan mahasiswa adalah yang bersifat conversion atau private acceptance. Conversion atau Private Acceptance adalah perubahan perilaku dan keyakinan seseorang yang sesuai dengan tekanan dari kelompok, namun dirinya sendiri memang menghendaki perilaku tersebut (Myers, 2005). Misalnya: Saya memiliki kelompok yang punya kebiasaan merokok. Pada suatu hari semua teman menyuruh saya merokok. Saya adalah orang yang bersikap positif terhadap rokok, maka saya akan dengan senang hati berkonformitas. Mahasiswa masuk dalam tataran usia dimana kematangan emosi dan sifat kemandiriannya sudah lebih matang dari sebelumnya. Apa yang mereka lakukan dalam contoh diatas tampaknya dianggap sebagai konformitas tetapi sebenarnya itu adalah pengejawantahan kehendak mereka sendiri untuk bersikap dengan menggunakan baju konformitas. Atribut kelompok yang mengedepankan status mahasiswa membuat kelompok maha-siswa Fakultas Sastra tidak memiliki stigma negatif, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain seperti gang motor yang dari awalnya sudah tampak stigma negatifnya. Atribut ini bersifat umum sebagai sebuah kelompok hingga tidak menghendaki adanya syarat khusus kecuali status mahasiswa Fakultas Sastra bagi mereka untuk bisa dianggap sebagai anggota kelompok. Kelompok mahasiswa kurang memiliki kemampuan yang sangat penting bagi timbulnya konformitas yakni kesepakatan pendapat kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapatkan tekanan yang kuat untuk menyesuaikan penda-
229
Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas Terhadap Agresivitas Verbal
patnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu maka akan tampak adanya penurunan konformitas. Mahasiswa dalam realitasnya telah memiliki kemampuan untuk tidak harus sepakat dalam kelompok karena mereka adalah individu-individu yang lebih mandiri dan bebas berpendapat dalam aspek kehidupan sosialnya. Hal ini berbeda pada remaja, seperti penelitian terdahulu, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara konformitas kelompok dengan agresi dimana semakin tinggi konformitas kelompok, maka semakin tinggi pula agresinya. Remaja dalam masa perkembangan sosialnya sangat tinggi bila dibandingkan mahasiswa. Remaja sangat butuh untuk diterima oleh teman sebayanya, sehingga kesepakatan kelompok mempunyai arti penting bagi kebutuhan social remaja. Sedangkan mahasiswa cenderung bersikap berbeda, menentang kemapanan, memiliki kemandirian dan cenderung tidak memiliki kesepakatan dalam kelompok, sehingga perilaku yang ditunjukkan tidak harus mengikuti kelompok. Dalam konteks ini, mahasiswa akan melakukan sifat non-konformitas berupa Independence dimana mereka menolak untuk tunduk pada kehendak mayoritas, menunjukkan kemerdekaan, dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan norma mereka sendiri (Myers, 2005). Sebagai contoh: Saya memiliki kelompok yang memiliki kebiasaan merokok. Pada suatu hari semua teman saya menyuruh saya merokok. Saya sendiri adalah orang yang bersikap negatif terhadap rokok. Saya tidak akan ikut merokok namun saya tetap menghargai kehendak teman saya yang ingin merokok. Mahasiswa, sejalan dengan usianya, masuk dalam golongan masa dewasa dini (Hurlock, 1990). Dalam masa ini berarti bahwa remaja harus membiasakan diri dengan berbagai macam tuntutan menjadi orang dewasa yang tentunya berbeda dengan masa remaja sebelumnya. Hal ini terkait dengan pekerjaan dan pola hidup. Dalam masa ini berarti bahwa setelah remaja menginjak dewasa, mereka akan cenderung untuk sedikit demi sedikit meninggalkan kelompoknya masing-masing. Hal ini terjadi karena kesibukan pada pekerjaan dan keluarga mereka, sehingga aktivitas dalam persahabatan terganti-
kan sebagian oleh persaingan dalam karir di pekerjaan masa ini. Zimbardo (2006) menyatakan bahwa yang disebut sebagai normative conformity adalah bentuk dominan dari konformitas sosial yang terkait dengan membuat kesan baik dihadapan sebuah kelompok. Meski kita, secara rahasia, tidak menyepakati pendapat kelompok, kita akan secara verbal mengadopsi sikap kelompok hingga kita akan tampak sebagai seorang team player dibanding pembelot. Dalam membuat keputusan-keputusan sehari-hari, mahasiswa seharusnya mampu menelaah apakah alasanalasan yang dikemukakan akan menentukan tindakan mereka. Dalam situasi yang tidak dikenal, kapasitas seorang mahasiswa akan mampu bertanya pada diri sendiri apakah tindakantindakan yang dilihat dilakukan oleh orang lain itu rasional, benar, dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang dia pegang sebelum secara tanpa sadar dan otomatis memutuskan untuk mengadopsinya. Secara sama, dalam situasi dimana mahasiswa ingin memberi kesan baik dan agar bisa diterima oleh kelompok, dia akan mampu mempertanyakan apakah tindakan tersebut bertentangan dengan tatanan moral yang ada, dan mempertimbangkan apakah dia akan dengan secara sukarela mengkompromikan opini pribadi dengan yang dilakukan orang lain. Pada akhirnya, seorang mahasiswa dengan kapasitasnya akan mampu mencari informasi yang benar agar bisa melakukan tindakan yang benar. Rendahnya tingkat konformitas kelompok dalam konteks mahasiswa adalah karena mereka mampu menentukan seberapa penting dampak yang ditimbulkan orang-orang dalam kelompok itu untuk menyukainya, mengenali bahwa masih banyak kelompok lain yang akan menerima mereka sebagai anggota dan mampu mengambil perspektif masa depan dengan membayangkan apa akibat tindakannya saat ini di masa mendatang. KESIMPULAN Penelitian tentang agresi telah banyak dilakukan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Namun penelitian yang hanya menyangkut jenis agresi verbal sangat minim ditemukan. Hal ini terjadi karena mungkin kita
230
Arief Nurtjahyo dan Andik Matulessy
banyak melupakan bahwa agresi verbal berdampak sama bahayanya dengan agresi non verbal. remaja telah banyak dilakukan misalnya yang berkaitan antara konsep diri dengan harga diri, ataupun agresivitas dengan kematangan emosi. Penelitian tentang Kematangan Emosi, Konformitas dengan Agresivitas Verbal adalah salah satu penelitian yang penting untuk dilakukan, karena ketika seorang anak menginjak usia dewasa awal, maka selain terjadi perubahan fisik yang cepat, juga terjadi perubahan emosi, sikap serta minatnya. Dari hasil pengambilan data pada sejumlah 100 mahasiswa Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan perhitungan analisis data dengan menggunakan program SPSS Windows 16 diperoleh F = 15,573 dengan taraf signifikansi = 0,000 ( p <0,05) dengan t negative (arah negatif). Ini berarti bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara Kematangan Emosi dan Konformitas dengan Agresi Verbal pada mahasiswa Fakultas Sastra Untag Surabaya. Berdasarkan hasil analisis regresi ditemukan ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas Kematangan Emosi (X1) dan Konformitas (X2) dengan variabel terikat Agresif Verbal (Y). Hal ini berarti hipotesis pertama yang diajukan diterima. Hasil analisis regresi menemukan adanya hubungan yang signifikan antara variabel bebas Konformitas (X2)dengan variabel terikat Agresi Verbal (Y). Hal ini berarti hipotesis kedua yang diajukan diterima.
Baron, R.A, & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial, jilid 2 (edisi ke sepuluh). Alih Bahasa: Ratna Djuwita, Melania Parman. Jakarta : Erlangga.
DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata, S. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Berkowitz, (1995). Agresi Sebab dan Akibatnya. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo Chaplin. (1981). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers Manajemen PT Raja Grafindo Perkasa. Fromm, Erich. (2000). Akar Kekerasan. Jakarta: Pustaka Pelajar Goleman. (2002). Emotional Intellegence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Hurlock, Elizabeth. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan edisi 5. Jakarta: Erlangga. Kartono,K. (2003). Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Koeswara, E. (1998). Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco Myers, David G. (2010). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Priantoro, Agung. (2011). Hubungan Antara Konformitas Kelompok Dengan Perilaku Agresif Pada Siswa-Siswi Kelas 1 Reguler SMU Islam PB Sudirman Jakarta. Universitas Gunadarma : Fakultas Psikologi Santrock, J.W. (1996). Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga
Ali, M. dan Asrori, (2012). Psikologi Remaja. Suryabrata, S. (20050. Pengembangan Alat Jakarta: PT. Bumi Aksara Ukur Psikologi, Yogyakarta: Andi Offset Azwar, S. (2012).Metode Penelitian. YogyaUtomo, GT. (2007). Hubungan Konformitas karta : Pustaka Pelajar Dengan Kematangan Emosi. Naskah Publikasi Azwar, S. ( (2005). Reliabilitas dan Validitas. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas PsiJogyakarta: Pustaka Pelajar kologi Universitas Islam Indonesia. Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
231