1 HUBUNGAN KEMANDIRIAN DAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PENYANDANG DISABILITAS DI PSLD (PUSAT STUDI DAN LAYANAN DISABILITAS) UNIVERSITAS BRAWIJAYA Bian Damara
[email protected] Ika Herani Unita Werdi Rahajeng Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kemandirian dan penyesuaian diri mahasiswa penyandang disabilitas di PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) Universitas Brawijaya. Populasi adalah mahasiswa penyandang disabilitas di PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) Universitas Brawijaya. Sampel penelitian berjumlah 38 mahasiswa penyandang disabilitas dengan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Kemandirian dan penyesuaian diri diukur dengan menggunakan skala Kemandirian dan Penyesuaian Diri yang dibuat oleh peneliti sendiri. Hasil analisis menggunakan teknik korelasi Product Moment (Pearson) menunjukan koefesian korelasi sebesar 0,695 dan signifikansi sebesar 0,000, hasil tersebut menunjukan hubungan positif antara kemandirian dan penyesuaian diri. Semakin tinggi kemandirian, maka semakin tinggi penyesuaian diri dan sebaliknya. Kata kunci: kemandirian, penyesuaian diri, mahasiswa penyandang disabilitas ABSTRACT This research is aimed to determine the relationship between autonomy and self-adjustment of students with disabilities in PSLD (Disability student service centre) of Brawijaya University. The population for this research is disability students in PSLD (Disability student service centre). These samples included 38 students with disabilities, for sampling using purposive sampling technique. Autonomy and self-adjustment was measured using a scale of Autonomy and Self-adjustment, the scale of the variables created by the researchers themselves. The results of the analysis using Product Moment (Pearson), it shows that correlation coefficient is 0.695 and show significance 0.000, the results showed a positive relationship between autonomy and self-adjustment. The higher self-reliance, the higher selfadjustment and versa. Keyword: Autonomy, self-adjustment, student with disabilities
2 LATAR BELAKANG Setiap manusia di dunia memiliki cita-cita dan tujuan hidup. Tidaklah mudah untuk menggapai cita-cita, akan ada hambatan dan tantangan-tantangan yang akan dihadapi. Salah satu contoh hambatan untuk menggapai cita-cita ialah keterbatasan secara fisik dan mental. Keterbatasan-keterbatasan tersebut meliputi tuna daksa (cacat tubuh), tuna rungu (cacat telinga), tuna netra (cacat mata), tuna grahita (cacat mental), dan tuna wicara (tidak bisa bicara) (Kusumawardhani dkk, 2010). Keterbatasan fisik maupun keterbatasan mental atau intelektual bisa disebut juga dengan disabilitas. Penyandang disabilitas juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, yaitu memiliki hak untuk mendapat pendidikan, jaminan sosial, menggunakan fasilitas umum, serta mendapat pekerjaan (Setyaningsih, 2015). Biasanya, para penyandang disabilitas memulai pendidikannya di SLB (Sekolah Luar Biasa) atau di sekolah yang berbasis inkulsi. Tingkat rata-rata pendidikan difabel atau penyandang disabilitas di Indonesia saat ini masih sangat rendah, hanya 25,9 persen yang mampu bersekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Mardjuki (Rizky, 2013) mengungkapkan bahwa berdasarkan data Badan Pendidikan dan Penelitian Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang memiliki ijazah S1 hanya 0,95 persen. Hal tersebut menandakan masih sangat sedikit para penyandang disabilitas untuk meneruskan pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terdapat beberapa perguruan tinggi yang menerima siswa penyandang disabilitas untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Salah satu Perguruan Tinggi yang menerima mahasiswa penyandang disabilitas di Malang adalah Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya telah menerapkan program penerimaan mahasiswa yang mengalami disabilitas yang dikelola oleh PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas). Sejak tahun 20122014, Universitas Brawijaya telah menerima 56 mahasiswa penyandang disabilitas. Ketika memasuki perguruan tinggi, Santrock & Halonen (Santrock, 2011) menyatakan bahwa menjadi seorang mahasiswa akan merasa lebih dewasa, punya banyak pilihan terhadap mata kuliah yang diambil, punya lebih banyak pilihan waktu untuk bergaul dengan teman-teman, punya kesempatan yang lebih besar untuk mengeksplorasi nilai dan gaya hidup yang beragam. Mahasiswa juga menikmati kebebasan yang lebih besar dari pantauan orang tua, dan tertantang secara intelektual oleh tugas-tugas akademis. Sehubung dengan keterbatasannya, para mahasiswa penyandang disabilitas akan memiliki kesulitan dalam melakukan berbagai macam aktivitas dibanding dengan mahasiswa yang normal. Walaupun para mahasiswa penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan dalam
3 kehidupan keseharian memerlukan bantuan orang lain, akan tetapi dalam kehidupan kesehariannya para mahasiswa penyandang disabilitas memerlukan kemandirian agar tidak selalu bergantung pada orang lain. Kemandirian sangat diperlukan di dunia perguruan tinggi. Kemandirian tersebut yang akan membuat setiap mahasiswa dapat menjalankan setiap aktivitas di dalam dan di luar kehidupan kampus. Menurut Nuryanto (Sitorus & Warsito, 2013) individu yang memiliki kemandirian yang kuat akan mampu bertanggungjawab, menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, berani menghadapi masalah dan resiko, dan tidak mudah terpengaruh atau tergantung pada orang lain. Keterbatasan yang dialami para penyandang disabilitas bukan berarti mereka belum atau tidak mandiri. Pada penelitain terdahulu yang dilakukan oleh Anggraini (2013) menunjukan bahwa pada mahasiswa baru yang merantau di Kota Malang terdapat hubungan positif antara kemandirian dan penyesuaian diri. Hubungan positif tersebut dapat diartikan bahwa ketika kemandirian tinggi, maka penyesuaian diri juga akan tinggi. Saat menjalani proses kehidupannya di perguruan tinggi, setiap mahasiswa akan menghadapi perbedaan antara kehidupan kampus dengan kehidupan sebelumnya ketika masih duduk di bangku sekolah. Transisi tersebut akan menuntut para mahasiswa agar dapat menyesuaikan diri dengan adanya perubahan dan tuntutan pada lingkungan yang baru. Individu yang mengalami disabilitas bisa saja mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial ataupun dengan setiap kegiatannya. Seperti yang dinyatakan oleh Schneiders (Chairunnisa & Rahmawati, 2012) salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah kondisi fisik individu, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. Namun, setiap individu memiliki cara-cara tertentu dalam menyesuaikan diri agar dapat diterima oleh masyarakat umum. LANDASAN TEORI Kemandirian 1. Pengertian Kemandirian Menurut Kusumawardhani dkk (2010) kemandirian merupakan salah satu unsur yang penting agar seseorang dapat memiliki kepribadian yang matang dan terlatih dalam menghadapi masalah maupun mengembangkan kesadaran bahwa dirinya cakap dan mampu, dapat menguasai diri, tidak takut dan malu terhadap dirinya serta berkecil hati atas kesalahan
4 yang diperbuatnya. Lebih lanjut lagi, kemandirian menjadi suatu hal yang diperlukan di dunia perguruan tinggi. Selain itu Nuryanto (Sitorus & Warsito, 2013) menambahkan, individu yang memiliki kemandirian yang kuat akan mampu bertanggungjawab, menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, berani menghadapi masalah dan resiko, serta tidak mudah terpengaruh atau tergantung pada orang lain. Menurut Stainberg (2002) kemandirian adalah kemampuan individu dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasarkan kehendaknya sendiri. 2. Aspek Kemandirian Menurut Steinberg (2002), mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian meliputi: a. Kemandirian Emosi (Emotional Autonomy) Aspek emosional tersebut menekankan pada kemampuan individu untuk melepaskan diri dari ketergantungan orang tua dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Individu yang mandiri secara emosional tidak akan lari ke orang tua ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau membutuhkan bantuan. Individu yang mandiri secara emosional juga akan memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarga dan merasa lebih dekat dengan temanteman daripada orang tua. b. Kemandirian Bertindak (Behavioral Autonomy) Aspek kemandirian bertindak merupakan kemampuan individu untuk melakukan aktivitas, sebagai manifestasi dari berfungsinya kebebasan, menyangkut peraturan-peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan keputusan. Individu yang mandiri secara behavioral mampu untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta nasehat orang lain dan mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian sendiri dan saran-saran dari orang lain. c. Kemandirian Nilai (Value Autonomy) Aspek kemandirian nilai adalah kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, yang wajib dan yang hak, yang penting dan yang tidak penting. Kepercayaan dan keyakinan tersebut tidak dipengaruhi oleh lingkungan termasuk norma masyarakat, misalnya memilih belajar daripada bermain, karena belajar memiliki manfaat yang lebih banyak daripada bermain dan bukan karena belajar memiliki nilai yang positif menurut lingkungan.
5 Penyesuaian diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Wijaya (Anggraini, 2013) mengatakan bahwa penyesuaian diri atau adaptasi adalah suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar tercipta hubungan yang lebih sesuai antara kondisi diri dengan kondisi lingkungannya. Menurut Lazarus (Zakiyah dkk, 2010) mengatakan bahwa menyesuaikan berasal dari kata ”to adjust” yang berarti untuk membuat sesuai atau cocok, beradaptasi, atau mengakomodasi. Schneiders (Christyanti dkk, 2010) menyatakan penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku yang merupakan usaha individu untuk bereaksi terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya. Kusuma dan Gusniarti (Christyanti dkk, 2010) menjelaskan apabila individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya berarti individu tersebut mampu menyelaraskan kebutuhannya dengan tuntutan lingkungan sehingga tidak merasa stres dalam dirinya. 2. Aspek Penyesuaian Diri Menurut Runyon dan Haber (Sitorus & Warsito, 2013) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki lima aspek sebagai berikut: a. Persepsi yang akurat terhadap realita Individu tersebut mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan kemudian menginterpretasikannya, sehingga individu mampu menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai. b. Kemampuan untuk mengatasi stres dan kecemasan Memiliki kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami. c. Self- image positif Penilaian diri yang kita lakukan harus bersifat positif dan negatif.Kita tidak boleh terjebak pada satu penilaian saja terutama penilaian yang tidak diinginkan, kita harus berusaha memodifikasi penilaian positif dan negatif tersebut menjadi suatu perubahan yang lebih luas dan lebih baik. Individu seharusnya mengakui kelemahan dan kelebihannya, jika seseorang mengetahui dan memahami dirinya dengan cara yang realistik, dia akan mampu mengembangkan potensi, sumber-sumber dirinya secara penuh.
6 d. Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan Individu mampu mengekspresikan keseluruhan emosi secara realistik dan tetap berada di bawah kontrol. Masalah-masalah dalam pengungkapan perasaan seperti kurang kontrol atau adanya kontrol yang berlebihan. Kontrol yang berlebihan dapat menyebabkan dampak yang negatif, sedangkan kurangnya kontrol akan menyebabkan emosi yang berlebihan. e. Hubungan interpersonal yang baik Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Sejak kita berada dalam kandungan, kita selalu tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti kebutuhan fisik, sosial dan emosi. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mampu menciptakan suatu hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Disabilitas 1. Pengertian Disabilitas Menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997, penyandang cacat adalah setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. Penyandang cacat fisik b. Penyandang cacat mental c. Penyandang cacat fisik dan mental METODE Partisipan dan Desain Penelitian Peneliti menggunakan sampel sebanyak 38 orang dengan menggunakan metode purposive sampling dalam teknik samplingnya. Kriteria sampel yaitu, mahasiswa penyandang disabilitas yang berkuliah di Universitas Brawijaya. Penelitian ini adalah penelitian kuantiatif. Analisis dilakukan dengan menggunakan teknik koralasi Product Moment (Pearson) dengan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) 22.0 for Mac. Alat Ukur dan Prosedur Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 2 skala yaitu, skala Kemandirian dan skala Penyesuaian Diri. Skala tersebut menggunakan model skala Likert. Alternatif jawaban berupa Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Peneliti melakukan tryout terpakai kepada 38 mahasiswa penyandang disabilitas yang berkuliah di
7 Universitas Brawijaya. Reliabilitas skala Kemandirian sebesar 0,812 sedangkan skala Penyesuaian Diri sebesar 0,807. Peneliti menyebarkan skala di PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) Universitas Brawijaya. Setelah data diperoleh, peneliti mengolah data tersebut dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) 22.0 for Mac dalam membantu proses penghitungan uji asumsi klasik dan uji hipotesis. Proses selanjutnya, peneliti menganalisis dan menginterpratasi data, menyususn laporan hasil penelitian, serta membuat kesimpulan dari hasil penelitain yang sudah dilakukan. HASIL Besarnya signifikansi variabel kemandirian danvariabelpenyesuaian diri sebesar 0,000, Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dibanding dengan α (Sig. < 0,05), dapat dikatakan bahwa hasil tersebut terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel. Besarnya korelasi variabel kemandirian dan variable penyesuaian diri sebesar 0,696 dimana nilai koefisien korelasi tesebut menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi secara positif yang artinya semakin tinggi kemandirian, maka semakin tinggi pula penyesuaian diri pada mahasiswa penyandang disabilitas. DISKUSI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kemandirian dan penyesuaian diri pada mahasiswa penyandang disabilitas. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment (Pearson) untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel yaitu variabel kemandirian dengan variabel penyesuaian diri. Subjek pada penelitian ini, yaitu mahasiswa penyandang disabilitas di Universitas Brawijaya. Terdapat 21 mahasiswa laki-laki dan 17 mahasiswa perempuan dengan usia tersebar dari rentang 18 hingga 29 tahun, Subjek dalam penelitian ini juga dikelompokkan ke dalam kelompok jenis disabilitas. Terdapat 5 kolompok jenis disabilitas, yaitu tuna daksa, tuna rungu, tuna netra, ADHD dan slow learner. Berdasarkan hasil uji hipotesis diketahui bahwa hipotesis tentang kemandirian dan penyesuaian diri pada mahasiswa penyandang disabilitas dapat diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,000 yang menandakan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang signifikan. Hasil dar kedua hubungan tersebut memiliki nilai koefisien korelasi (r = 0,695) yang menandakan besarnya hubungan kedua variabel, nilai tersebut dapat dikategorikan ke dalam kategori cukup dan hubungan kedua variabel ini bersifat positif,
8 artinya ketika kemandirian semakin tinggi, maka penyesuaian diri juga akan semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya, jika semakin rendahnya kemandirian, maka penyesuaian dirinya pun akan semakin rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggraini (2013) dengan judul Hubungan Kemandirian dengan Penyesuaian Diri Pada Mahasiswa Perantau. Sebagai seorang mahasiswa penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan secara fisik maupun mental, namun bukan berarti para mahasiswa penyandang disabilitas tidak bisa hidup mandiri. Para mahasiswa penyandang disabilitas perlu hidup mandiri agar tidak selalu bergantung pada orang lain. Kemandirian akan sangat berguna dalam menjalin hubungan interpersonal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di perguruan tinggi dan lingkungan masyarakat luas. Menurut Kusumawardhani dkk (2010) kemandirian merupakan salah satu unsur yang penting agar seseorang dapat memiliki kepribadian yang matang dan terlatih dalam menghadapi masalah maupun mengembangkan kesadaran bahwa dirinya cakap dan mampu, dapat menguasai diri, tidak takut dan malu terhadap dirinya serta berkecil hati atas kesalahan yang diperbuatnya. Lebih lanjut lagi Sitorus & Warsito (2013) menyatakan ketika individu yang memiliki kemandirian yang kuat akan mampu bertanggungjawab, menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, berani menghadapi masalah dan resiko, dan tidak mudah terpengaruh atau tergantung pada orang lain. Santrock & Halonen (Santrock, 2011) menyatakan bahwa menjadi seorang mahasiswa akan merasa lebih dewasa, punya banyak pilihan terhadap mata kuliah yang diambil, punya lebih banyak pilihan waktu untuk bergaul dengan teman-teman, punya kesempatan yang lebih besar untuk mengeksplorasi nilai dan gaya hidup yang beragam, menikmati kebebasan yang lebih besar dari pantauan orang tua, dan tertantang secara intelektual oleh tugas-tugas akademis. Mahasiswa yang mampu beradaptasi memiliki keterampilan yang tinggi dalam memecahkan masalah, terlibat secara aktif dalam studi dan lingkungnan akademisnya (Papalia dkk, 2009). Berdasarkan hal tersebut, seorang mahasiswa harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sistem pembelajaran yang baru di perguruan tinggi. Penyesuaian diri sangat berperan dalam menciptakan hubungan dengan mahasiswa lainnya. Pada mahasiswa yang mengalami disabilitas bisa saja mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial ataupun dengan setiap kegiatannya. Seperti yang dinyatakan oleh Schneiders (Chairunnisa & Rahmawati, 2012) salah satu faktor yang memperngaruhi penyesuaian diri adalah kondisi fisik individu, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat
9 fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. Akan tetapi, setiap individu memiliki cara-cara tertentu dalam menyesuaikan diri agar dapat diterima oleh umum. Berdasarkan beberapa hal yang sudah dipaparkan di atas, maka karakter seorang mahasiswa penyandang disabilitas yang harus dimiliki salah satunya adalah kemandirian dan penyesuaian diri yang baik. Walaupun seorang mahasiswa penyandang disabilitas memiliki keterbatasan, diharapkan kepada seluruh mahasiswa penyandang disabilitas untuk mempersiapkan kemandirian dan penyesuaian diri yang baik agar dapat mejadi mahasiswa yang tidak mudah menyerah dan dapat menyelesaikan berbagai macam tantangan yang ada. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, E. R. (2013). Hubungan Antara Kemandirian Dengan Penyesuaian Diri Pada Mahasiswa Baru Yang Merantau Di Kota Malang. Skripsi, Tidak diterbitkan: Universitas Brawijaya. Chairunnisa, M., & Rahmawati, A. (2012). Perbedaan Penyesuaian Diri Terhadap Perubahan Fisik Wanita Dewasa Madya yang Bekerja dan Tidak Berkerja.Skripsi, Tidak diterbitkan: Universitas Sumatera Utara. Christyanti, D., Mustami'ah, D., & Sulistiani, W. Hubungan antara Penyesuaian Diri terhadap Tuntutan Akademik dengan Kecenderungan Stres pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya. INSAN, 12 (03), 153-159. Kusumawardhani, A., Hartati, S., & Setyawam, I. (2010). Hubungan Kemandirian Dengan Adversity Intelligence Pada Remaja Tuna Daksa di SLB-D YPAC Surakarta. Preceeding Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis - Himpsi , 251-257. Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009).Human Development (Vol. 2). Jakarta: Salemba Humanika. Rizky, U. F. (2013). Penerimaan Mahasiswa Penyandang Disabilitas Universitas Brawijaya. Media Disabilitas. (Online) Indonesia: http://majalahdiffa.com/index.php/ragamdisabilitas/491-penerimaan-mahasiswa-penyandang-disabilitas-di-universitasbrawijaya?showall=1&limitstart=, diakses pada 14 Mei 2014. Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13 ed.). New York: McGraw-Hill. Setyanigsih, Santi. (2015). Pendidikan Bagi Para Difabel. (Online) http://www.bimbeledunesia.com/pendidikan-pendidikan-bagi-para-difabel.html diakses pada 16 Februari 2015. Sitorus, L. I. S., Warsito, H. W. (2013). Perbedaan Tingkat Kemandirian dan Penyesuaian Diri Ditinjau dari Jenis Kelamin.__________, 1 (2). (Online) http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/1917/baca-artikel, diakses pada 17 April 2014. Steinberg, L. (2002). Adolescence. Sixth edition. New York: McGraw-Hill.
10 Undang-Undang Republik Indonesia. (2009). Hukum Online. (Online) http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c3d44a89102b/parent/1721 5, diakses pada 13 Mei 2014. Zakiyah, N., Hidayati, F. N., & Setyawan, I. (2010). Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dengan Prokrastinasi Akademik Siswa Sekolah Berasrama SMP N 3 Peterongan Jombang. Jurnal Psikologi Undip, 08 (02), 156-167.