HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA
DEWI RATIH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT DEWI RATIH. The Association Between Area’s Socio-Economic Characteristics and Double Burden of Malnutrition in Under Five Children Group at Rural and Urban Areas of Indonesia. Under the guidances of YAYUK FARIDA BALIWATI and YAYAT HERYATNO. The aim of this study was to analyzed the association between socioeconomic characteristics and the double burden of malnutrition in under five children group in rural and urban areas of Indonesia. The research was conducted using cross sectional study design, which analyzed the 418 districts in Indonesia. The 318 districts were categorized as rural areas and 100 districts as urban areas). Data of malnutrition, the proportion of mothers complete the compulsory nine-year basic education, and household expenditure percapita were obtained from the Health Research Association (Riskesdas 2007). Data level of poverty and GDP percapita area were obtained from the Central Statistics Agency (BPS). Pearson correlation test was performed to determine the association between socio-economic characteristics and the double burden of malnutrition. The result showed that there was no association between socioeconomic characteristics (the proportion of mothers complete the compulsory nine-year basic education, expenditure percapita, GDP percapita, and the level of poverty) with the double burden of malnutrition in under five children group at rural and urban areas of indonesia.
Keywords: socio-economic chracteristics, the double burden of malnutrition
RINGKASAN DEWI RATIH. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia. Dibimbing oleh YAYUK F. BALIWATI dan YAYAT HERYATNO. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi ganda sangat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 kurang gizi dan gizi lebih masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) pada anak balita adalah 18.4 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3 persen. Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi lebih melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Faktor penentu timbulnya masalah gizi akan berbeda di setiap wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda. Wilayah perdesaan dan perkotaan merupakan dua tipe wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang berbeda. Menurut WHO (2008), masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari keterkaitan faktor sosial ekonomi masyarakat dengan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan Indonesia. Tujuan khusus penelitian adalah (1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan dan perkotaan; (2) Mengetahui masalah kurang gizi (undernutrition), masalah gizi lebih (overnutrition), dan masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan; dan (3) Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi wilayah dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Selain itu digunakan pula data statistik tingkat kemiskinan dan PDRB kabupaten/kota tahun 2007 (BPS 2008). Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan April-Juni 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. Kerangka sampel penelitian ini adalah seluruh wilayah kabupaten/kota yang tercakup dalam Riskesdas 2007. Kriteria inklusi dalam pemilihan sampel penelitian ini adalah: (1) kabupaten/kota yang menjadi sampel Riskesdas 2007; dan (2) memiliki data prevalensi gizi balita, sebaran pendidikan terakhir ibu, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sebanyak 418 kabupaten/kota yang terdiri atas 318 wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan dan 100 wilayah dengan karakteristik dominan perkotaan. Suatu kabupaten/kota dikatakan sebagai wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan apabila sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas di kabupaten/kota tersebut tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut BPS. Hal sebaliknya untuk wilayah kabupaten/kota yang dikatakan wilayah karakteristik dominan perkotaan.
Data yang digunakan adalah prevalensi gizi balita, pendidikan terakhir ibu, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Data prevalensi gizi balita, pendidikan terakhir ibu, dan pengeluaran rumah tangga perkapita di peroleh dari Riskesdas tahun 2007. Data PDRB perkapita dan tingkat kemiskinan diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun 2008. Variabel masalah gizi lebih (overnutrition) diperoleh dari prevalensi gizi lebih (overweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi lebih apabila gizi lebih di wilayah tersebut sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan (2000), yaitu prevalensinya melampaui atau sama dengan 5 persen. Variabel masalah kurang gizi (undernutrition) diperoleh dari gabungan antara prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah kurang gizi apabila memiliki prevalensi kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) melampaui 18.5 persen atau belum dapat mencapai target MDGs. Variabel masalah gizi ganda merupakan variabel komposit dari variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi ganda apabila wilayah tersebut memiliki masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Wilayah yang tidak memiliki salah satu atau keduanya dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih tidak dikatakan memiliki masalah gizi ganda. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda diberi skor 1 sedangkan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda diber skor 0. Pemberian skor dengan cara yang sama juga dilakukan pada variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Data yang diperoleh dan terkumpul dianalisa dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for windows. Tahap pengolahan data pertama adalah cleaning dan editing, kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Analisis statistik yang dilakukan yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensia. Statistik deskripif meliputi frekuensi, rata-rata, dan tabulasi silang sedangkan statistik inferensia meliputi uji kemaknaan, uji beda, dan uji hubungan. Perbedaan nilai statistik variabel sosial ekonomi antara wilayah perdesaan dan perkotaan dianalisis menggunakan uji Independent Sample T-test. Hubungan kemaknaan antara masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (perdesaan dan perkotaan) dianalisis menggunakan uji ChiSquare. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Moment Pearson. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perkotaan hampir dua kali lipat dari di perdesaan yaitu sebesar 72.9 persen. Pengeluaran perkapita di perdesaan sebesar 242 ribu rupiah/bulan, lebih rendah dari perkotaan yaitu 372 ribu rupiah/bulan. Wilayah perdesaan memiliki PDRB perkapita 9.3 juta rupiah/tahun. PDRB perkapita wilayah perkotaan lebih tinggi dari pada PDRB perkapita wilayah perdesaan yaitu 16.6 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan di perdesaan adalah 20.4 sementara di perkotaan adalah 16.6 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi di perdesaan. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Kejadian masalah gizi lebih di perdesaan lebih dibanding di perkotaan. Wilayah perdesaan dengan masalah gizi lebih adalah 32.4 persen sedangkan wilayah perkotaan adalah 39 persen. Hasil penelitian menunjukkan wilayah perdesaan yang memiliki masalah
gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Proporsi ibu lulus wajar berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan. Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus wajar dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun perkotaan. Terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah kurang gizi di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Pengeluaran rumah tangga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Peningkatan pengeluaran rumah tangga akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi baik di perdesaan dan perkotaan. PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan perkotaan. Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak di perkotaan. Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan di perkotaan. Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Selain melakukan penanggulangan terhadap masalah kurang gizi pada kelompok usia balita, pemerintah harus mulai memperhatikan masalah gizi lebih yang mulai terjadi di perdesaan maupun perkotaan karena jika dibiarkan akan menjadi faktor penentu keberlangsungan kualitas generasi masa depan. Diperlukan upaya percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun serta upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan terutama di wilayah perdesaan yang masih memiliki angka kurang gizi yang tinggi. Sementara itu, diperlukan upaya peningkatan pengetahuan gizi serta daya beli masyarakat perkotaan agar dapat menurunkan masalah kurang gizi serta gizi lebih. Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan pula masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Masalah gizi ganda yang tidak berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi merupakan gejala yang harus diperhatikan. Hal ini menandakan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi masalah serius dan masalah gizi lebih pun menjadi masalah yang mulai muncul di berbagai wilayah termasuk wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang rendah.
HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA
DEWI RATIH
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul : Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia Nama : Dewi Ratih NIM
: I14061430
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen pembimbing II
Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS 19630312 198703 2 001
Yayat Heryatno, SP, MPS 19690112 199601 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MS sebagai dosen pemandu seminar dan Katrin Roosita, SP, MSi sebagai dosen penguji atas saran-saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan yang telah mengizinkan penulis menggunakan data untuk penelitian. 4. Keluarga tercinta atas restu dan kasih sayangnya. 5. Keluarga besar Fakultas Ekologi Manusia atas semua ilmu, pengalaman, dan kebersamaan selama ini. 6. Keluarga
besar
Asrama
Putri
Darmaga
atas
persaudaraan
dan
persahabatan yang dijalin dengan penulis. 7. Teman-teman dan seluruh pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis selama ini.
Bogor, September 2011 Penulis
ii
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Sukabumi, 22 Januari 1988 dari pasangan Bapak Rahmat Suhenda dan Ibu Rosiah yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Cikelat tahun 1994, kemudian dilanjutkan ke SLTP PGRI 1 Cisolok tahun 2000 dan lulus dari SMAN 1 Cisolok tahun 2006. Selanjtunya pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selanjutnya pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB dengan Mayor Ilmu Gizi dan Minor Ilmu Komunikasi. Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) tahun 2006, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA tahun 2007, Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) tahun 2007, dan Asrama Putri Darmaga (APD) IPB tahun 2007-2009, Penulis pernah mengikuti program Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) dengan tiga judul berbeda dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Pada tahun 2007-2008, penulis juga pernah aktif mejadi pendamping Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) binaan P2SDM-LPPM IPB, Posdaya Melati di Jampang Kulon, Sukabumi. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kecamatan Bogor Selatan, Kabupaten Bogor. Selain itu, pada tahun 2010 penulis juga melaksanakan Internship Dietetika (ID) di Rumah Sakit Karya Bhakti, Bogor. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis Data Pangan dan Gizi tahun 2010 serta mata kuliah Perencanaan Pangan dan Gizi tahun 2010-2011.
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang.............................................................................................. 1 Tujuan........................................................................................................... 3 Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5 Masalah Gizi Ganda ..................................................................................... 5 Karakteristik Sosial Ekonomi ......................................................................... 9 Pendidikan Ibu ....................................................................................... 9 Pengeluaran rumah tangga perkapita .................................................. 10 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ............................................ 11 Kemiskinan .......................................................................................... 12 Perdesaan dan Perkotaan .......................................................................... 13 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 14 METODE PENELITIAN...................................................................................... 16 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ....................................................... 16 Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh....................................................... 16 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................ 17 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................... 17 Definisi Operasional .................................................................................... 19 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 21 Karakteristik Sosial Ekonomi ....................................................................... 21 Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia ....................................... 22 Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda ....................................... 24 Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda............................................. 28 Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun ................................ 28 Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita ............................................... 29 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita ............................ 30 Tingkat Kemiskinan .............................................................................. 31 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 34 Kesimpulan ................................................................................................. 34 Saran .......................................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 36 LAMPIRAN ........................................................................................................ 39
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kriteria status gizi berdasarkan Z-score BB/U menurut WHO 2006 .............. 6
2
Target dan indikator tujuan pertama MDGs .................................................. 6
3
Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi .... 7
4
Jenis data yang dikumpulkan ...................................................................... 17
5
Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota ............ 21
6
Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U ....................................... 23
7
Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda .............................................................. 24
8
Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007 ........ 26
9
Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah ........................................................... 27
10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda ..... 28 11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi .... 28 12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ....... 29 13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi ....................................... 30 14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi .................................... 31 15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda .............................................................. 32
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan nasional adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Fokus pembangunan itu sendiri tidak terbatas pada pembangunan fisik semata tetapi pembangunan nonfisik dengan konsep pembangunan manusia. Tujuan utama pembangunan nasional adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penting dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa pada persaingan global. Namun, ada banyak hal yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia. Masalah gizi ganda merupakan masalah yang sedang dihadapi banyak negara, terutama negara berkembang. Masalah ini sangat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Menurut FAO (2006), masalah gizi ganda merupakan keadaan suatu populasi yang memiliki masalah kurang gizi (undernutrition) dan masalah gizi lebih (overnutrition) yang terjadi pada saat yang bersamaan. WHO (2005) mengemukakan bahwa ada 170 juta anak balita kurus di dunia, 3 juta diantaranya akan meninggal setiap tahunnya akibat kurus. Akan tetapi, WHO juga memperkirakan setidaknya sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan. Masalah gizi ganda semakin meningkat di negara berkembang. Demikian pula halnya Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki masalah gizi ganda ditandai dengan adanya masalah kurang gizi dan gizi lebih yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita adalah 5.4 persen, dan gizi kurang pada balita adalah 13.0 persen.
2
Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta balita di seluruh dunia meninggal karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan lain-lain. Ironisnya, sebanyak 54 persen dari kematian tersebut berkaitan dengan kurang gizi (Hadi 2005). Menurut Mahgoub (2006), kurang gizi berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, tingkat kesakitan, tingkat kematian, perkembangan kognitif, reproduksi, dan kemampuan kerja fisik. Sementara itu, gizi lebih mulai menjadi masalah di berbagai wilayah di Indonesia (Hadi 2005). Prevalensi nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3 persen. Masalah gizi lebih pada anak-anak merupakan salah satu masalah yang sedang mendapat perhatian banyak negara. Setengah dari anak yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas akan tumbuh menjadi orang dewasa yang obesitas. Seperti telah diketahui, obesitas merupakan faktor risiko berbagai masalah kesehatan kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan berbagai jenis kanker (FAO 2006). Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi lebih secara bersamaan melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Menurut FAO (2006), tingginya angka kurang gizi dan gizi lebih seringkali dianggap sebagai isu yang terpisah antara masyarakat miskin dan kaya tapi pada kenyataannya keduanya meningkat sejalan dengan meningkatnya kemiskinan. Fenomena ini yang kemudian berkembang menjadi masalah gizi ganda yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Besarnya kejadian masalah gizi berbeda antar wilayah. Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi kurang gizi berbeda antara di perdesaan dengan di perkotaan, demikian pula dengan prevalensi gizi lebih. Prevalensi kurang gizi (gizi kurang dan gizi buruk) di perdesaan sebesar 20.0 persen sedangkan di perkotaan sebesar 16.9 persen. Sementara itu prevalensi gizi lebih di perdesaan sebesar 3.9 persen dan di perkotaan 4.9 persen. Menurut Fotso (2008), anak yang berada di perdesaan lebih berisiko untuk mengalami masalah gizi, terkena penyakit, dan meninggal dibanding anak yang berada di perdesaan. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan karakteristik sosial ekonomi seperti pendidikan ibu dan pendapatan rumah tangga antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Sobalia (2009) menyatakan bahwa tingkat sosial ekonomi mempunyai dampak signifikan pada status gizi.
3
Menurut Bappenas (2007), masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Jika permasalahan gizi yang ada tidak segera diatasi, maka dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi kehilangan generasi yang dapat mengganggu kelangsungan kepentingan bangsa dan negara. Hal ini akan berdampak
pada tingginya
angka kesakitan
dan
kematian,
penurunan
kemampuan belajar, anggaran kesehatan yang meningkat serta penurunan produktivitas kerja. Oleh karena itu perlu dianalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Dengan demikian, masalah gizi ganda diharapkan dapat segera dicegah dan diatasi. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari keterkaitan faktor sosial ekonomi wilayah dengan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan Indonesia. Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (proporsi ibu lulus wajib belajar, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan dan perkotaan; 2. Mengetahui masalah kurang gizi (undernutrition), masalah gizi lebih (overnutrition), dan masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan; dan 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi wilayah dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan. Hipotesis Penelitian Beberapa hipotesis yang diajukan antara lain: 1. Semakin tinggi proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah; 2. Semakin tinggi pengeluaran rumah tangga perkapita maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah;
4
3. Semakin tinggi PDRB perkapita maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah; dan 4. Semakin tinggi tingkat kemiskinan maka kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin tinggi. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai masalah gizi ganda pada anak balita kaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah dan pihak terkait untuk memutuskan suatu kebijakan atau program intervensi terkait dengan masalah akses sosial dan ekonomi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
5
TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan
suatu
bangsa
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. Akan tetapi saat ini Indonesia masih memiliki masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih (Bappenas 2007). Masalah gizi dapat diketahui melalui keadaan status gizi masyarakat. Antropometri merupakan cara pengukuran status gizi yang sering digunakan di masyarakat. Cara pengukuran status gizi ini digunakan secara luas karena pengukurannya
yang
murah
dan
mudah
untuk
dilakukan.
Penelitian
memperlihatkan bahwa hasil pengukuran antropometri dapat menunjukkan sasaran yang tepat pemberian intervensi gizi, mengidentifikasi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat, dan mengevaluasi respon suatu intervensi terhadap masalah gizi (Cogill 2001). Status gizi dapat dilihat melalui indikator berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Berat badan terhadap umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi (Riyadi 2001). Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi kurang gizi yang diukur dengan indikator BB/U mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Depkes 2008). Menurut Depkes (2008), untuk menilai status gizi anak balita melalui indikator BB/U, dilakukan dengan mengkonversi angka berat badan meneurut umur ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2006. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut, status gizi balita dikelompokkan menjadi gizi buruk (severe undeweight), gizi kurang (moderate underweight), gizi baik, dan gizi lebih. Tabel 1 menyajikan pengelompokan status gizi menurut Z-score BB/U.
6
Tabel 1 Kriteria status gizi berdasarkan Z-score BB/U menurut WHO 2006 Indikator BB/U
Kategori Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
Z-score < -3.0 >=-3.0 s/d Z-score <-2.0 >=-2.0 s/d Z-score <=2.0 >2.0
Sumber: Depkes 2008
Millenium Development Goals (MDGs) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai tujuan pembangunan milenium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota PBB dalam KTT milenium PBB bulan september 2000 silam. Majelis umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum PBB No 55/2 tanggal 18 September 2000 tentang Deklarasi milenium perserikatan bangsa-bangsa (Bappenas 2007). Terdapat delapan tujuan yang dirumuskan dalam MDGs yaitu: (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; (7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (8) Membangun kemitraan global untuk pembangunan (lebih rinci dapat dilihat di lampiran 2). Tabel 2 Target dan indikator tujuan pertama MDGs No 1
Target Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$1 perhari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015
2
Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015
Indikator a) Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari. b) Persentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional. c) Indeks kedalaman kemiskinan. d) Indeks keparahan kemiskinan. e) Proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama). a) Persentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi buruk (severe underweight). b) Persentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang (moderate underweight).
Sumber: Bappenas 2007
Setiap tujuan tersebut memiliki memiliki target dan indikator masingmasing. Tujuan pertama MDGs yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan memiliki dua target. Tabel 2 menyajikan target dan indikator untuk mencapai tujuan pertama MDGs. Prevalensi balita dengan gizi buruk dan gizi kurang
7
merupakan indikator yang dipakai untuk mencapai target kedua dari tujuan pertama MDGs. Indonesia dikatakan sudah dapat menurunkan proporsi pendduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015 apabila pada tahun 2015 prevalensi balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen (Bappenas 2007 dan Depkes 2008). Walaupun masalah gizi lebih tidak termasuk ke dalam target ataupun indikator MDGs akan tetapi adanya masalah gizi lebih harus diperhatikan pula. Menurut BPPSDMK (2011), bersamaan dengan masalah kurang gizi yang tinggi, fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat. Berdasarkan prevalensi ambang batas penentuan besaran masalah gizi Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2000, gizi buruk menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensinya lebih dari atau sama dengan 1 persen, sedangkan gizi kurang dan gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensinya lebih dari atau sama dengan 5 persen. Tabel 3 menyajikan kategori ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2000. Tabel 3 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi Masalah gizi Gizi buruk (severe underweight) Gizi kurang (moderate underweight) Gizi lebih (overweight)
Bebas Masalah
Berdasarkan prevalensi Masalah Masalah Ringan Sedang
Masalah Berat ≥ 1%
< 1% < 5%
5 - 9.9%
10 - 19.9%
>20%
< 5%
5 - 9.9%
10 - 19.9%
>20%
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes (2000) dalam Ali AR (2007)
Masalah gizi ganda merupakan keadaan pada suatu masyarakat dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih yang terjadi bersamaan. Fenomena masalah gizi ganda semakin banyak terjadi terutama di negara-negara berkembang. Fenomena ini tidak terbatas pada negara berkembang dengan pendapatan tinggi tapi juga terjadi di seluruh dunia. Masalah gizi ganda pada
8
berbagai negara dengan budaya dan kebiasaan makan yang berbeda-beda. Ada banyak bukti menunjukkan bahwa ketika kondisi ekonomi meningkat, obesitas dan penyakit tidak menular pun meningkat dengan angka gizi kurang yang tinggi pula (FAO 2006). Menurut Kimani-Murage et al. (2010), transisi gizi merupakan penyebab utama dibalik terjadinya masalah gizi ganda. Transisi gizi merupakan fenomena yang ada di masyarakat dimana kurang gizi dan gizi lebih menjadi masalah kesehatan secara bersamaan di masyarakat tersebut. Transisi pola makan berupa perubahan komposisi diet tradisional yang umumnya berasal dari tanaman yang rendah lemak dan kaya serat ke diet al.a barat yang kayak energi dan rendah serat merupakan salah satu penyebabnya. Popkin (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya transisi gizi adalah adanya transisi laju ekonomi, urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial. Ini adalah fenomena yang ditemui di negara-negara berkembang yang sedang mengalami peningkatan laju ekonomi. Menurut Lanigan dan Singhal (2008), kurang gizi adalah faktor risiko yang serius untuk masalah kesehatan dan menambah banyak sekali beban penyakit di negara dengan pendapatan rendah-menengah. Kurang gizi pada masa anakanak meningkatkan risiko-risiko yang merugikan pada tahapan kehidupan berikutnya seperti gangguan perkembangan kognitif, pencapaian pendidikan yang rendah, rentan terkena berbagai penyakit kronis dan mengalami kelebihan berat badan bahkan obesitas. Kurang gizi berhubungan dengan tingginya prevalensi penyakit infeksi. Pada populasi yang mengalami transisi epidemiologi dan demografi peningkatan gizi lebih dan obesitas mulai terlihat seiring dengan kurang gizi dan dan penyakit infeksi pun masih tinggi. Gizi lebih dan obesitas termasuk ke dalam kategori sepuluh faktor risiko tertinggi berbagai penyakit tidak menular (WHO 2002). Menurut Hadi (2005), pembangunan bidang kesehatan nasional akan semakin berat dengan adanya masalah gizi ganda karena baik kurang gizi maupun gizi lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan yang lain. Masih besarnya beban masalah kesehatan yang bersumber dari defisiensi gizi dan penyakit infeksi disatu sisi dan makin meningkatnya masalah kesehatan yang bersumber dari masalah gizi lebih dan penyakit-penyakit degeneratif disisi lain perlu diantisipasi dengan melakukan perubahan kebijakan yang mendasar
9
dalam
upaya
pelayanan
kesehatan,
baik
upaya
pelayanan
kesehatan
perorangan maupun upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Karakteristik Sosial Ekonomi Masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi (WHO 2008). Riset menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga anak mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari keluarga strata sosial ekonomi rendah. Penyebab perbedaan ini kurang jelas, meskipun kesehatan dan gizi yang kurang baik pada tingkat sosial ekonomi rendah mungkin merupakan faktor signifikan. Sumber makanan bergizi (khususnya protein) sulit didapatkan, dan faktor lain (misalnya ukuran keluarga besar dan ketidakteraturan dalam makan, tidur, dan latihan fisik) dapat memainkan peran. Keluarga dari kelompok sosial ekonomi rendah mungkin kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya gizi yang membentuk perkembangan optimal (Fotso et al. 2008). Pendidikan Ibu Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan. Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada tingkah laku yang baik. Tingkat pendidikan ibu yang rendah memiliki konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Nurmiati 2006).. Menurut Sobalia (2009) Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhnya. Kekurangan gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di suatu negara merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi di negara tersebut. Pengetahuan dan pendidikan orang tua sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga, karena pendidikan seseorang dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga gizi, sehingga kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi pada anak.
10
Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah (Mariani 2002). FAO (1989) menyatakan tingkat pendidikan ibu, status kesehatan, dan lingkungan hidup dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga. Saat ini, pemerintah Indonesia menjalankan program wajib belajar (Wajar) 9 tahun. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Pengertian wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar tersebut adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat. Pengeluaran rumah tangga perkapita Data-data sosial di Indonesia yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) , mengukur kesejahteraan bukan dari pendapatan tetapi dari konsumsi atau pengeluaran. Setiap rumah tangga sampel mempunyai data total pengeluaran perbulan (dalam rupiah), tetapi ini bukan secara langsung menjadi ukuran kesejahteraan karena harus dilihat dulu berapa jumlah anggota rumah tangganya. Jika total pengeluaran perbulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga maka akan diperoleh data pengeluaran rumah tangga perkapita perbulan. Pengeluaran rumah tangga perkapita inilah yang digunakan sebagai ukuran kesejahteraan penduduk dan rumah tangga. Angka kemiskinan, indeks ketimpangan kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan dan gini rasio, semua perhitungaannya merujuk ke pengeluaran rumah tangga perkapita ini (Andi 2006). Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indikator yang
dapat
memberikan
gambaran
keadaan
kesejahteraan
penduduk.
11
Pengeluaran rumah tangga perkapita mencerminkan pendapatan keluarga (Sugianti 2009). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam satu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (netto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS 2009). PDRB berasal dari sembilan sektor usaha yang terdiri atas: (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas, dan air bersih, (5) bangunan (konstruksi), (6) perdagangan, hotel, dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, serta (9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005). PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai harga dasar. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (BPS 2009). Nilai PDRB dibagi menjadi dua, yaitu PDRB yang dihitung dengan migas dan PDRB yang dihitung tanpa migas. PDRB dengan migas menunjukkan keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan ditambah dengan sektor migas. Sumber daya migas merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis. Dengan adanya pembagian PDRB ini dapat menunjukkan perkembangan besarnya nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu wilayah di masa yang akan datang, sehingga dapat diketahui besarnya PDRB wilayah tersebut saat sumber daya migas sudah habis (BPS 2005). Data PDRB adalah salah satu indikator ekonomi makro yang dapat menunjukkan kondisi perekonomian daerah setiap tahun (BPS 2009). Sementara itu, PDRB perkapita adalah indikator makro yang secara agregat dapat
12
digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (Bappenas 2008). Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar manusia antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi laki-laki maupun perempuan (Bappenas 2004 dalam Harniati 2008). Menurut Bappenas (2008), angka kemiskinan memberi gambaran mengenai intensitas penduduk dengan tingkat pendapatan terendah di perekonomian. Kemiskinan merupakan hulu dari berbagai permasalahan yang ada seperti tingginya angka kesakitan dan kematian, pengangguran, gizi buruk, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia (Trihono dan Gitawati 2009). Menurut Bappenas (2008), salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya
13
beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin (Bappenas 2008). Menurut BPS (2007), daerah miskin adalah wilayah kabupaten/kota dengan karakterisik kemiskinan diatas persen kemiskinan nasional (lebih dari 16.5%). Perdesaan dan Perkotaan Menurut undang-undang (UU) No.24 Tahun 1992 pasal 1, wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Pipip (2011), pengklasifikasian wilayah menjadi wilayah perdesaan atau perkotaan dilakukan melalui Sensus. Wilayah yang dicakup adalah desa atau kelurahan yang berada langsung dibawah kecamatan. Klasifikasi didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di bidang pertanian, dan tersedianya fasilitas kota seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, dan listrik (BPS 2003). Definisi
perkotaan
adalah
suatu
penduduknya
lebih
dibandingkan
dengan
pencaharian
utama
penduduknya
bukan
tempat
dengan
kondisi
pada
merupakan
(1)
kepadatan
umumnya;
aktivitas
(2)
ekonomi
primer/pertanian; dan (3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi, atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya menurut (Daldjoeni 2003 dalam Humayrah 2009). Menurut Komsiah (2007), wilayah perdesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian.
14
KERANGKA PEMIKIRAN Masalah gizi ganda merupakan keadaan pada suatu masyarakat dengan gizi kurang dan gizi lebih yang terjadi bersamaan (FAO 2006). Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat adalah dengan menggunakan pengukuran antropometri. Berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Depkes RI 2008). Masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi (WHO 2008). Faktor sosial ekonomi mempunyai kaitan dengan tingkat prevalensi masalah gizi di masyarakat, baik gizi kurang maupun gizi lebih. Menurut Kimani-Murage (2010), transisi gizi merupakan penyebab utama dibalik terjadinya masalah gizi ganda. Popkin (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya transisi gizi adalah adanya transisi laju ekonomi, urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial. Ini adalah fenomena yang ditemui di negara-negara berkembang yang sedang mengalami peningkatan laju ekonomi. Aspek sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan ibu sedangkan aspek ekonomi dilihat dari pengeluaran rumah tangga perkapita, tingkat kemiskinan, dan PDRB perkapita. Pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap status gizi, baik status gizi jangka pendek maupun jangka panjang (Alderman & Gracia (1994) dalam Mariani (2002)). Semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak akan semakin baik. Menurut Bappenas (2008), dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dan tingkat kesejahteraan dinilai memiliki peranan penting sebagai pencetus masalah gizi. Pengeluaran rumah tangga perkapita mencerminkan pendapatan masyarakat (Sugianti 2009). Sementara itu, PDRB perkapita adalah indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (Bappenas 2008).
15
-
Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah: Proporsi ibu lulus wajar 9 tahun Pengeluaran rumah tangga perkapita Tingkat kemiskinan PDRB perkapita
Transisi Masalah Gizi
Masalah Gizi pada Kelompok Usia Balita - Masalah kurang gizi (undernutrition) - Masalah gizi lebih (overnutrition)
Masalah Gizi Ganda (Double Burden of Malnutrition) pada Kelompok Usia Balita Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor yang mempengaruhi masalah gizi ganda
Keterangan: Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti
16
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Departemen Kesehatan. Selain itu digunakan pula data statistik tingkat kemiskinan dan PDRB kabupaten/kota tahun 2007. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan April-Juni 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Kerangka sampel penelitian ini adalah seluruh wilayah kabupaten/kota yang tercakup dalam Riskesdas 2007. Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota yang tersebar di 33 propinsi. Jumlah tersebut merupakan sebagian dari jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia (456 kabupaten/kota). Sebanyak 16 kabupaten tidak termasuk dalam sampel Riskesdas 2007 karena merupakan pengembangan kabupaten baru yang pada saat perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan. Terdapat 2 kabupaten yang masuk dalam sampel Riskesdas 2007, namun tidak masuk kedalam sampel Susenas 2007. Kriteria inklusi dalam pemilihan sampel penelitian ini adalah: (1) kabupaten/kota yang menjadi sampel Riskesdas 2007; dan (2) memiliki data prevalensi gizi balita, sebaran pendidikan terakhir ibu, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sebanyak 418 kabupaten/kota. Sebanyak 318 kabupaten/kota terkategori sebagai wilayah perdesaan dan 100 kabupaten/kota terkategori sebagai wilayah perkotaan. Pengklasifikasian kabupaten/kota menjadi termasuk wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan atau perkotaan menggunakan persentase jumlah penduduk yang tinggal di wilayah administratif desa/kelurahan yang dikategorikan sebagai wilayah perdesaan atau perkotaan. Suatu kabupaten/kota dikatakan sebagai wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan apabila sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas di kabupaten/kota tersebut tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut BPS. Hal sebaliknya untuk wilayah kabupaten/kota yang dikatakan wilayah karakteristik dominan perkotaan.
17
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data sekunder, meliputi data status gizi balita dan karakteristik sosial ekonomi wilayah. Semua data merupakan data dalam kurun waktu 2007. Data diperoleh dari data mentah (raw data) dan laporan Riskesdas 2007 serta publikasi BPS. Tabel 4 Jenis data yang dikumpulkan No 1 2 3
Variabel Prevalensi gizi buruk, gizi kurang, dan gizi lebih kabupaten/kota Klasifikasi perdesaan atau perkotaan wilayah tempat tinggal Karakteristik sosial ekonomi a. Pendidikan terakhir ibu b. Pengeluaran rumah tangga perkapita c. PDRB perkapita d. Tingkat kemiskinan
Sumber Data Laporan Riskesdas 2007 (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI) Data mentah (Raw data) Riskesdas 2007 (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI) Data mentah (Raw data) Riskesdas 2007 (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI) PDRB kabupaten/ kota di Indonesia 20042008 (BPS) Indikator sosial ekonomi tingkat propinsi 2007 (BPS)
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dan terkumpul dianalisa dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for windows. Tahap pengolahan data pertama adalah cleaning dan pengeditan data yang sudah ada, kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Tahap selanjutnya adalah pembuatan variabel menurut data yang ada. Variabel masalah gizi lebih (overnutrition) diperoleh dari prevalensi gizi lebih (overweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi lebih apabila gizi lebih di wilayah tersebut sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan (2000), yaitu prevalensinya melampaui atau sama dengan 5 persen. atau menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan. Variabel masalah kurang gizi (undernutrition) diperoleh dari gabungan antara prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah kurang gizi apabila memiliki prevalensi kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) melampaui 18.5 persen atau belum dapat mencapai target MDGs. Pengkategorian masalah kurang gizi tidak menggunakan kategori kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan karena jika menggunakan kategori ini semua wilayah kabupaten/kota di Indonesia masuk ke dalam kategori wilayah dengan masalah
18
kurang gizi (prevalensi kurang gizi lebih dari atau sama dengan 5 persen) sehingga digunakan target pencapaian MDGs. Variabel masalah gizi ganda merupakan variabel komposit dari variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi ganda apabila wilayah tersebut memiliki masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Wilayah yang tidak memiliki salah satu atau keduanya dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih tidak dikatakan memiliki masalah gizi ganda. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda diberi skor 1 sedangkan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda diber skor 0. Pemberian skor dengan cara yang sama juga dilakukan pada variabel masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Variabel proporsi ibu balita lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat di suatu wilayah. Sementara itu, variabel pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di suatu wilayah. Variabel PDRB perkapita adalah nilai PDRB suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Kemudian data tingkat kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin di suatu wilayah. Wilayah dikatakan miskin apabila memiliki penduduk miskin melebihi dari penduduk miskin nasional (16.5%). Analisis statistik yang dilakukan yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensia. Statistik deskripif meliputi frekuensi dan rata-rata sedangkan statistik inferensia meliputi uji Chi-Square, uji Independet sample t-test, dan uji korelasi Moment Pearson. Keterkaitan antara proporsi masalah gizi ganda dengan tipe wilayah wilayah (perdesaan dan perkotaan) dianalisis menggunakan uji ChiSquare. Perbedaan nilai statistik variabel antara wilayah perdesaan dan perkotaan dianalisis menggunakan uji Independent sample t-test. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Moment Pearson.
19
Definisi Operasional Masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) adalah suatu keadaan yang dialami oleh suatu wilayah dimana terjadi masalah kurang gizi (undernutrition) dan masalah gizi lebih (overnutrition) secara bersamaan. Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami wilayah apabila memiliki prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang (moderate underweight) melebihi dari 18.5 persen (target MDGs Indonesia tahun 2015). Masalah gizi lebih (overnutrition) adalah masalah yang dialami wilayah apabila memiliki prevalensi gizi lebih (overweight) melampaui atau sama dengan 5 persen (Klasifikasi masalah kesehatan masyarakat Depkes (2000)). Prevalensi masalah gizi adalah persentase balita di suatu wilayah yang mengalami status gizi tertentu. Gizi buruk (severe underweight) adalah status gizi balita yang mempunyai Zscore indeks berat badan menurut umur (BB/U) kurang dari -3 SD terhadap total balita. Gizi kurang (moderate underweight) adalah status gizi balita yang mempunyai Z-score indeks berat badan menurut umur (BB/U) -3 SD sampai dengan kurang dari -2 SD terhadap total balita. Gizi baik adalah status gizi balita yang mempunyai Z-score indeks berat badan menurut umur (BB/U) -2 sampai dengan 2. Gizi lebih (overweight) adalah status gizi balita yang mempunyai Z-score indeks berat badan menurut umur (BB/U) lebih dari 2 SD terhadap total balita. Proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun adalah persentase ibu di suatu wilayah yang lulus minimal SMP atau sederajat. Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah perbulan) di suatu wilayah yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Wilayah miskin adalah wilayah yang memiliki penduduk miskin melebihi dari penduduk miskin nasional (16.5%). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan
hasil
bagi
antara
PDRB
pertengahan tahun wilayah tersebut.
dengan
jumlah
penduduk
20
Perdesaan adalah wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan ditandai sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut BPS. Perkotaan adalah wilayah dengan karakteristik dominan perkotaan ditandai sebagian besar rumah tangga responden Riskesdas tinggal di wilayah administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perkotaan menurut BPS.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berikut disajikan keragaan statistik variabel sosial ekonomi pada tabel 5. Tabel 5 Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota Proporsi Ibu lulus wajar (%)
Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp/bln)
PDRB Perkapita (Rp/thn)
Tingkat Kemiskinan (%)
Rata-rata
46.5
242,000
9,311,770
20.4
Standar deviasi
15.5
57,634
6,133,094
7.8
Rata-rata
72.9
372,000
16,600,000
16.6
Standar deviasi
13.0
87,606
12,050,409
5.4
Rata-rata
52.8
272,679
11,056,070
16.5
Standar deviasi
18.7
86,288
8,530,416
4.1
t=-7.992 p=0.000*
t=11.161 p=0.000*
Wilayah Perdesaan
Perkotaan
Total
t=-15.423 t=-17.226 p=0.025* p=0.000* Keterangan: *berbeda nyata pada α=0.05 Uji Statistik
Proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita disuatu wilayah yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat. Secara nasional, rata-rata proporsi ibu yang lulus wajib belajar 9 tahun adalah 52.8 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan yaitu sebesar 72.9 persen. Berdasarkan uji statistik, proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan berbeda dengan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan (t=-15.423, p=0.025). Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang disajikan pada tabel 4, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita nasional adalah 273 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perkotaan adalah 372 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan yaitu 242 ribu rupiah/bulan. Berdasarkan uji statistik, terdapat perbedaan antara
22
pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan dengan di perkotaan (t=17.226, p=0.000). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Rata-rata PDRB perkapita Indonesia adalah sebesar 11.1 rupiah/tahun. Wilayah di perdesaan memiliki rata-rata PDRB perkapita yang lebih rendah dibandingkan angka nasional, yaitu 9.3 juta rupiah/tahun. Sementara itu rata-rata PDRB perkapita wilayah perkotaan adalah 16.6 juta rupiah/tahun. Berdasarkan uji statistik, PDRB perkapita wilayah perdesaan berbeda dengan PDRB perkapita wilayah perkotaan (t=-7.992, p=0.000). Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 16.5 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Tingkat kemiskinan wilayah perdesaan sebesar 20.4 persen, lebih tinggi dari nasional. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Tingkat kemiskinan di perkotaan yaitu sebesar 16.6 persen. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Berdasarkan uji statistik, tingkat kemiskinan wilayah perdesaan berbeda dengan tingkat kemiskinan wilayah perkotaan (t=11.161, p=0.000). Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 merupakan salah satu wujud pengejawantahan berfungsinya
dari
sistem
4
grand
informasi
strategy kesehatan
Departemen yang
Kesehatan,
evidence-based
yaitu
melalui
pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan. Indikator yang dihasilkan berupa antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum, merepresentasikan gambaran wilayah nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Salah satu data dasar yang dihimpun dalam Riskesdas 2007 adalah data status gizi balita. Penilaian status gizi balita yang dilaksanakan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 meliputi penilaian status gizi menurut indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penelitian ini hanya menganalisis status gizi balita yang diukur melalui indikator BB/U.
23
Tabel 6 Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Perdesaan 6.4 14.0 Perkotaan 4.2 11.7 Total 5.4 13.0 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2007
Gizi Baik (%) 75.7 79.3 77.2
Gizi Lebih (%) 3.9 4.9 4.3
Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5.4 persen. Prevalensi gizi buruk di perdesaan sebesar 6.4 persen lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yaitu sebesar 4.2 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi kurang pada balita adalah 13 persen. Sama halnya dengan prevalensi gizi buruk, prevalensi gizi kurang di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Prevalensi gizi kurang di perdesaan adalah sebesar 14 persen dan di perkotaan sebesar 11.7 persen. Dengan demikian, prevalensi nasional untuk gizi buruk dan gizi kurang adalah 18.4 persen. Bila dibandingkan dengan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5 persen, maka secara nasional target tersebut sudah terlampaui. Namun apabila data prevalensi dilihat terpisah antara wilayah perdesaan dan perkotaan, maka target MDGs tersebut baru dapat dicapai oleh wilayah perkotaan dengan prevalensi gabungan gizi kurang dan gizi buruk sebesar 16.9 persen. Sementara itu, wilayah perdesaan memiliki prevalensi sebesar 20.4 persen sehingga belum dapat mencapai target MDGs. Sebanyak 216 kabupaten/kota di Indonesia belum dapat mencapai target MDGs. Proporsi balita dengan status gizi baik
secara nasional adalah 77.2
persen (perdesaan=75.7% dan perkotaan=79.3%). Gianyar dan Tabanan merupakan dua Kabupaten dengan proporsi balita dengan status gizi baik terbesar yaitu masing-masing sebesar 90 persen dan 90.6 persen. Dengan demikian sebanyak 9 dari 10 balita di kabupaten tersebut memiliki status gizi baik. Secara keseluruhan, baik di perdesaan, perkotaan maupun nasional, gizi lebih tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya tidak melebihi 5 persen. Namun secara wilayah kabupaten/kota, terdapat sebanyak 142 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi lebih melampaui 5 persen. Dengan demikian di kabupaten/kota tersebut gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
24
Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami suatu wilayah apabila belum dapat mencapai target MDGs untuk prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 51.7 persen wilayah kabupaten/kota Indonesia mengalami masalah kurang gizi. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah kurang gizi dengan tipe wilayah (x2= 0.981, p=0.000). Masalah kurang gizi sering terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, balita, remaja, dan akan terus berlanjut terutama pada remaja putri dan wanita dewasa. Anak-anak yang kurang gizi akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan pertumbuhan ini akan mengakibatkan tingginya angka kematian anak, berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap penyakit serta berkurangnya produktifitas kerja (Soekirman 2000). Tabel 7 Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Wilayah
Masalah kurang gizi n %
Masalah gizi lebih n %
Perdesaan (n=318) Tidak ada 125 39.3 215 67.6 Ada 193 60.7 103 32.4 Perkotaan (n=100) Tidak ada 77 77.0 61 61.0 Ada 23 23.0 39 39.0 Total (n=418) Tidak ada 202 48.3 276 66.0 Ada 216 51.7 142 34.0 2 2 Uji statistik (x = 0.981, p=0.000*) (x = 0.254, p=0.182) Keterangan: *keterkaitan nyata pada α=0.05
Masalah gizi ganda n % 269 49
84.6 15.4
93 7
93.0 7.0
362 86.6 56 13.4 2 (x = 0.671, p=0.003*)
Berdasarkan kategori ambang batas masalah gizi Departemen Kesehatan tahun 2000, sebanyak 34.0 persen wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki masalah gizi lebih (overnutrition) yaitu dengan prevalensi gizi lebih melebihi 5 persen. Terdapat sebanyak 32.4 persen wilayah perdesaan yang mengalami masalah gizi lebih. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah gizi lebih adalah sebanyak 39.0 persen. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi lebih dengan tipe wilayah (x2= 0.254, p=0.182). Fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang
25
gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat (BPPSDMK 2011). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 56 kabupaten/kota atau 13.4 persen wilayah di Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Rincian data kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda disajikan dalam lampiran 3. Wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen dari keseluruhan wilayah perdesaan. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (x2= 0.671, p=0.003). Hasil penelitian menunjukkan Sebagian besar wilayah perdesaan (45.3%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah gizi lebih. Akan tetapi sebagian besar wilayah perkotaan (45.0%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah kurang gizi dan juga tidak memiliki masalah gizi lebih. Tabel 8 menyajikan sebaran wilayah dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda tersebar di 22 propinsi di Indonesia. Propinsi dengan proporsi wilayah kabupaten/kota terbanyak yang memiliki masalah gizi ganda adalah Propinsi Jambi. Sebanyak 4 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi memiliki masalah gizi ganda. Selain itu, Propinsi Jambi tidak memiliki kabupaten/kota yang terbebas dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Propinsi Jawa Barat, Bali, Lampung, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang tidak memiliki wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta memiliki proporsi tertinggi wilayah kabupaten/kota yang bebas dari masalah kurang gizi serta masalah gizi lebih secara bersamaan. Lebih dari separuh kabupaten/kota di propinsi tersebut bebas dari kedua masalah tersebut secara bersamaan. Wilayah kabupaten/kota lain yang tidak tidak tercantum dalam tabel merupakan daerah yang tidak memiliki masalah gizi ganda namun memiliki salah satu diantara masalah kurang gizi atau masalah gizi lebih.
26
Tabel 8 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007
No
Propinsi
Total
Jumlah Kabupaten/kota Bebas masalah Masalah gizi ganda kurang gizi dan masalah gizi lebih n % n %
1
NAD
21
7
33.3
4
19
2
Sumatera Utara
25
3
12
5
20
3
Sumatera Barat
19
2
10.5
9
47.4
4
Riau
11
2
18.2
3
27.3
5
Jambi
10
4
40
-
-
6
Sumatera Selatan
14
4
28.6
3
21.4
7
Bengkulu
9
1
11.1
1
11.1
8
Lampung
10
-
-
6
60
9
Bangka Belitung
6
2
33.3
2
33.3
10
Kepulauan Riau
6
1
16.7
2
33.3
11
DKI Jakarta
5
-
-
-
-
12
Jawa Barat
25
-
-
18
72
13
Jawa Tengah
35
-
-
20
57.1
14
DI Yogyakarta
5
-
-
3
60
15
Jawa Timur
37
1
12.5
15
40.5
16
Banten
6
-
-
3
50
17
Bali
9
-
-
6
66.7
18
NTB
8
1
8.3
2
25
19
NTT
15
-
-
-
-
20
Kalimantan Barat
12
2
5.4
1
8.3
21
Kalimantan Tengah
11
3
21.4
-
-
22
Kalimantan Selatan
13
1
7.7
2
15.4
23
Kalimantan Timur
12
3
25
4
33.3
24
Sulawesi Utara
3
-
-
-
-
25
Sulawesi Tengah
10
1
10
-
-
26
Sulawesi Selatan
23
7
30.4
-
-
27
Sulawesi Tenggara
9
2
22.2
1
11.1
28
Gorontalo
5
1
20
-
-
29
Sulawesi Barat
3
-
-
-
-
30
Maluku
7
2
28.6
-
-
31
Maluku Utara
8
-
-
1
12.5
32
Papua Barat
9
1
11.1
1
11.1
33
Papua
17
5
29.4
4
23.5
Indonesia
418
56
13.4
116
27.8
27
Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 9, Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah yang memiliki proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun lebih rendah dari rata-rata nasional atau kurang dari 52.8 persen. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah dengan pengeluaran rumah tangga perkapita yang lebih rendah dari rata-rata nasional, atau kurang dari 273 ribu rupiah/bulan. Masalah gizi ganda juga lebih banyak terjadi di wilayah kabupaten/kota dengan PDRB perkapita wilayah yang lebih rendah dibanding PDRB perkapita nasional. Sebanyak 33 kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda memiliki PDRB perkapita kurang dari 11.1 juta rupiah/tahun. Tabel 9 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah Karakteristik sosial ekonomi Proporsi ibu lulus wajar Pengeluaran rumah tangga perkapita PDRB perkapita Tingkat kemiskinan
Jumlah kabupaten/kota Diatas Dibawah rata-rata nasional rata-rata nasional 22 34
Total 56
22
34
56
23 31
33 25
56 56
Dengan demikian, masalah gizi ganda terjadi di wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional maupun sebaliknya. Akan tetapi daerah dengan karakteristik sosial ekonomi wilayah yang lebih rendah dari karakteristik sosial ekonomi nasional memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami masalah gizi ganda. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga, dan PDRB sangat diperlukan. Selain itu harus pula dilakukan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan, karakteristik sosial ekonomi wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda lebih baik dibandingkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda. Tabel 10 menyajikan karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang memiliki gizi ganda dan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda. Rata-rata proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun di wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 53.7 persen sedangkan di wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 47.2 persen. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 274 ribu rupiah/bulan sementara wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 267
28
ribu rupiah/bulan. Rata-rata PDRB perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda sebesar 11.1 juta rupiah/tahun sedangkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 10.8 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 18.0 persen sementara tingkat kemiskinan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 20.5 persen. Tabel 10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda
Ada
47.2
Pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah) 267,092
Tidak ada
53.7
273,544
11,088,000
18.0
Total
52.8
272,679
11,056,070
16.5
Masalah gizi ganda
Proporsi Ibu lulus Wajar (%)
PDRB Perkapita (rupiah) 10,846,000
Tingkat Kemiskinan (%) 20.5
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun Berdasarkan hasil penelitian, proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=-0.233, p=0.000) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.172, p=0.093). Nilai r yang negatif menunjukkan adanya hubungan kebalikan antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah kurang gizi. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Tabel 11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih r p r p Perdesaan -0.233** 0.000 0.031 0.551 Perkotaan -0.172 0.093 0.293** 0.001 Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Wilayah
Masalah gizi ganda r p -0.084 0.164 -0.022 0.841
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mahgoub (2006) di Bostwana, Afrika menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan angka kurang gizi pada anak-anak. Tidak terdapatnya hubungan nyata proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun di perkotaan diduga karena ibu di wilayah perkotaan lebih mudah mengakses media-media yang memberikan edukasi terkait kesehatan dan gizi sehingga ibu yang memiliki pendidikan pada tingkat yang lebih rendah pun dapat memiliki pengetahuan
29
tentang kesehatan dan gizi sama baiknya dengan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi darinya. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.293, p=0.001) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=0.031, p=0.551). Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Nurmiati mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga meningkat. Hubungan searah yang terjadi antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi lebih diduga karena peningkatan proporsi hanya seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi tanpa adanya peningkatan pengetahuan gizi. Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=-0.084, p=0.164) maupun di perkotaan (r=-0.022, p=0.841). Hal ini mengindikasikan bahwa ada atau tidaknya peningkatan proporsi ibu yang lulus wajar sembilan tahun tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan suatu wilayah baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mengalami masalah gizi ganda. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Hasil uji korelasi Moment Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.215, p=0.042) tapi tidak di perdesaan (r=-0.066, p=0.271). Pengeluaran rumah tangga perkapita juga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.224, p=0.032) tapi tidak di perdesaan (r=0.076, p=0.228). Peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tabel 12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih r p r p Perdesaan -0.066 0.271 0.076 0.228 Perkotaan -0.215* 0.042 0.224* 0.032 Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 Wilayah
Masalah gizi ganda r r 0.102 0.071 -0.075 0.523
30
Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indiaktor yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan masyarakat (Sugianti 2009). Masyarakat yang sejahtera akan memiliki akses terhadap pangan dan kesehatan lebih baik. Tidak terdapatnya hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi dan gizi lebih di perdesaan diduga karena masyarakat di wilayah perdesaan lebih bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka kelola sendiri seperti pangan hasil kebun atau pekarangan rumah. Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 12, tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=0.102, p=0.071) maupun di perkotaan (r=-0.075, p=0.523). Adanya atau tidaknya peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda di suatu wilayah perdesaan maupun perkotaan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita PDRB perkapita merupakan indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan (BPS 2009). Tabel 13 menyajikan hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi di perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.023, p=0.681) dan perkotaan (r=-0.155, p=0.132). PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.015, p=0.981) dan perkotaan (r=0.194, p=0.053). Tabel 13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi Wilayah Perdesaan Perkotaan
Masalah kurang gizi r p 0.023 0.681 -0.155 0.132
Masalah gizi lebih r p -0.015 0.981 0.194 0.053
Masalah gizi ganda r p 0.072 0.243 -0.045 0.697
Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.072, p=0.243) dan perkotaan (r=-0.045, p=0.697). Dengan demikian, Ada atau tidaknya peningkatan PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda di wilayah perdesan maupun perkotaan.
31
Menurut Gama (2007), hasil pembangunan belum tentu dapat dinikmati oleh semua kalangan, seringkali hanya oleh kelompok minoritas. Angka kemiskinan justru meningkat karena semakin lebarnya kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, maupun masalah gizi ganda diduga karena PDRB perkapita tidak dapat benar-benar mencerminkan kesejahteraan masayarakat karena hasil pembangunan
tersebut
tidak
terdistribusi
secara
merata
pada
seluruh
masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, tidak adanya hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda diduga karena sebagian besar wilayah kabupaten/kota Indonesia memiliki nilai PDRB perkapita yang rendah. Penelitian Ulfani (2010) menunjukkan bahwa 72.1 persen kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB perkapita yang rendah yaitu kurang dari 12.1 juta. Dengan demikian, karena sebagian besar wilayah memiliki PDRB yang rendah maka hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda menjadi tidak terlihat. Oleh karena itu, upaya pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan PDRB perkapita. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk pangan. Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik (Bappenas 2008). Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.163, p=0.001) tapi tidak di perkotaan (r=0.075, p=0.512).
Adanya
peningkatan
tingkat
kemiskinan
akan
meningkatkan
kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.063, p=0.267) maupun di perkotaan (r=-0.086, p=0.434). Tabel 14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih r p r p Perdesaan 0.163** 0.001 -0.063 0.267 Perkotaan 0.075 0.512 -0.086 0.434 Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Wilayah
Masalah gizi ganda r P 0.037 0.618 0.083 0.442
32
Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.037, p=0.618) dan perkotaan (r=0.083, p=0.442). Dengan demikian, ada atau tidaknya peningkatan tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih dan gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi ganda terjadi baik di wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan diatas angka nasional atau wilayah miskin maupun wilayah tidak miskin. Menurut Kimani-Murage et al. (2010), wilayah yang lebih maju menghadapi masalah gizi lebih. Namun saat ini wilayah miskin yang masih menghadapi masalah kurang gizi juga mulai menghadapi adanya masalah gizi lebih. Hal ini dikarenakan adanya transisi pola makan masyarakat. Hal ini diduga menjadikan kemiskinan tidak berhubungan dengan masalah gizi ganda. Menurut Hasan (2004), hubungan antar dua variabel atau derajat hubungan antarvariabel dapat diukur dengan koefisien korelasi (r). Pada koefisien korelasi yang bernilai 0.20 < r ≤ 0.40 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut lemah tapi pasti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Sedangkan koefisein korelasi yang bernilai 0.40 < r ≤ 0.70 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut cukup kuat. Tabel 15 menyajikan hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Tabel 15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Variabel
Masalah kurang gizi r p
Perdesaan Proporsi ibu lulus wajar -0.233** 0.000 Pengeluaran rumah -0.066 0.271 tangga perkapita PDRB perkapita 0.023 0.681 Tingkat kemiskinan 0.163** 0.001 Perkotaan Proporsi ibu lulus wajar -0.172 0.093 Pengeluaran rumah -0.215* 0.042 tangga perkapita PDRB perkapita -0.155 0.132 Tingkat kemiskinan 0.075 0.512 Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 ** berhubungan nyata pada α=0.01
Masalah gizi lebih r p
Masalah gizi ganda r p
0.031
0.551
-0.084
0.164
0.076
0.228
0.102
0.071
-0.015 -0.063
0.981 0.267
0.072 0.037
0.243 0.618
0.293**
0.001
-0.022
0.841
0.224*
0.032
-0.075
0.523
0.194 -0.086
0.053 0.434
-0.045 0.083
0.697 0.442
Berdasarkan tabel diatas, terdapat hubungan antara beberapa variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Hubungan
33
yang terjadi merupakan hubungan yang lemah, hal ini diduga karena faktor sosial ekonomi bukan merupakan faktor penyebab langsung terhadap terjadinya masalah gizi melainkan penyebab dasar masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih. Sebagaimana yang tertuang dalam kerangka pikir Unicef tentang masalah gizi. Menurut Unicef (1997) dalam WHO (2008), penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi sementara sosial ekonomi merupakan penyebab dasar. Kerangka pikir Unicef juga menunjukkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang sangat kompleks. Hubungan yang lemah antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi semakin menunjukkan masalah gizi sebagai masalah yang kompleks dan penanganannya tidak hanya dilakukan dengan menangani satu aspek saja, atau dalam hal ini variabel sosial ekonomi saja. Akan tetapi terdapatnya hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia dengan status gizi yang baik. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini menguatkan hipotesis banyak peneliti yang menyatakan bahwa masalah gizi ganda merupakan masalah yang banyak dialami oleh negara-negara berkembang (Kimani-Murage et al. 2010). Kejadian masalah gizi ganda semakin meningkat di berbagai negara berkembang seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini ditandai dengan adanya transisi masalah gizi, yaitu masih tingginya masalah kurang gizi dan makin meningkatnya masalah gizi lebih (FAO 2006).
34
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perkotaan hampir dua kali lipat dari di perdesaan yaitu sebesar 72.9 persen. Pengeluaran perkapita di perdesaan sebesar 242 ribu rupiah/bulan, lebih rendah dari perkotaan yaitu 372 ribu rupiah/bulan. Wilayah perdesaan memiliki PDRB perkapita 9.3 juta rupiah/tahun. PDRB perkapita wilayah perkotaan lebih tinggi dari pada PDRB perkapita wilayah perdesaan yaitu 16.6 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan di perdesaan adalah 20.4 sementara di perkotaan adalah 16.6 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi di perdesaan. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Kejadian masalah gizi lebih di perdesaan lebih dibanding di perkotaan. Wilayah perdesaan dengan masalah gizi lebih adalah 32.4 persen sedangkan wilayah perkotaan adalah 39 persen. Hasil penelitian menunjukkan wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Proporsi ibu lulus wajar berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan. Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus wajar dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun perkotaan. Terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah kurang gizi di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Pengeluaran rumah
35
tangga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak di perdesaan.
Peningkatan
kecenderungan
timbulnya
pengeluaran masalah
rumah
tangga
kurang
gizi
akan dan
menurunkan meningkatkan
kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi baik di perdesaan dan perkotaan. PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan perkotaan. Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak di perkotaan. Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan di perkotaan. Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Saran Selain melakukan penanggulangan terhadap masalah kurang gizi pada kelompok usia balita, pemerintah harus mulai memperhatikan masalah gizi lebih yang mulai terjadi di perdesaan maupun perkotaan karena jika dibiarkan akan menjadi faktor penentu keberlangsungan kualitas generasi masa depan. Diperlukan upaya percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun serta upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan terutama di wilayah perdesaan yang masih memiliki angka kurang gizi yang tinggi. Sementara itu, diperlukan upaya peningkatan pengetahuan gizi serta daya beli masyarakat perkotaan agar dapat menurunkan masalah kurang gizi serta gizi lebih. Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan pula masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Masalah gizi ganda yang tidak berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi merupakan gejala yang harus diperhatikan. Hal ini menandakan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi masalah serius dan masalah gizi lebih pun menjadi masalah yang mulai muncul di berbagai wilayah termasuk wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang rendah.
36
DAFTAR PUSTAKA Ali AR. 2008. Pengelolaan Program Gizi di Puskesmas. Polewali Mandar: Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar. Aminuddin. 2008. Laporan Modul Pembelajaran Berbasis SCL. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Andi.
2009. Pendekatan Quintile untuk http://andi.stk31.com. [10 Januari 2010].
Analisa
Kemiskinan.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana aksi nasional Pangan dan gizi 2006-2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ______________________________________________. 2007. Laporan pencapaian millenium development goals Indonesia 2007. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. _______________________________________________. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Indikator Sosial Ekonomi 2003. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _________________________. 2005. Produk Domestik Regional Bruto PropinsiPropinsi di Indonesia Menurut Penggunaannya 2000-2004. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _________________________. 2009. Produk Domestik Regional Bruto PropinsiPropinsi di Indonesia 2004-2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. [BPPSDMK] Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehata.n 2011. Gizi Lebih Merupakan Ancaman Masa Depan Anak. http://www.bppsdmk.depkes.go.id. [10 Juni 2011] Cogill B. 2001. Anthropometric Indicators Measurement Guide. Washington DC: Food and Nutrition Technical Assistance Project, Academy for Educational Development. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan. [FAO] Food and Agriculture. 2006. The double burden of malnutrition. Roma: Food and Agriculture, United Nations. Fotso JC. 2008. Urban-rural differentials in child malnutrition: trends and socioeconomic correlates in sub-saharan africa. Social Science and Medicine. 44:7. Gama AS. 2007. Disparitas dan konvergensi produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita antar kabupaten/kota di Propinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial. 2(1) Hadi H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.
37
Harniati. 2008. Program sektor pertanian yang berorientasi penanggulangan kemiskinan: pengalaman proyek pembinaan peningkatan pendapatan petani-nelayan kecil (P4K) sebagai sebuah model penanggulangan kemiskinan di perdesaan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional: Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 52-67. Hasan I. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik.Jakarta: PT Bumi Aksara. Humayrah W. 2009. Faktor gaya hidup dalam hubungannya dengan risiko kegemukan orang dewasa di Propinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kimani-Murage et al. 2010. The Prevalence of Stunting, Overweight and Obesity, and Metabolic Disease Risk in Rural South African Children. BMC Public Health. 10:158 Komsiah S. 2007. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Fakultas Komunikasi, Universitas Mercubuana. Lanigan J dan Singhal A. 2009. Early Nutrition and Long-Term Health: A Practical Approach. Proc Nutr Soc: 1-8. Mahgoup et al. 2006. Factor affecting prevalence of malnutrition among children under three years old age in Bostwana, AJFAND. 6(1) Mariani. 2002. Hubungan pola asuh makan, konsumsi pangan, dan status kesehatan dengan status gizi anak balita [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurmiati. 2006. Pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan status gizi stunting. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Oktamizar S. 2000. Pengaruh krisis ekonomi terhadap alokasi pengeluaran dan coping strategi keluarga [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pipip.
2011. Klasifikasi Wilayah Perkotaan http://sukabumikab.bps.go.id. [7 Juli 2011]
dan
Perdesaan.
Popkin B. 2003. The Nutrition Transition in the Developing World. Dev Policy Rev 21(5-6):581-597. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sobalia ET. 2009. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga, kondisi lingkungan, morbiditas, dan hubungannya dengan status gizi anak balita pada rumah tangga di daerah rawan pangan Banjarnegara, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sugianti E. 2009. Faktor risiko obesitas sentral pada orang dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
38
Supariasa B. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Encourage Creativity (EGC). Susilowati 2008. Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi. Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Ahmad Yani. Trihono dan Gitawati R. 2009. Hubungan antara Penyakit Menular dengan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Penyakit Menular Indonesia 1 (1): 38-43. Ulfani D H. 2010. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [WHO] World Health Organization. 2000 Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. ___________________________. 2005. WHO Child Growth Standards. Geneva: World Health Organization, United Nations. ___________________________. 2008. Prevalence of stunting among children under five years of age. Geneva: World Health Organization, United Nations.
39
LAMPIRAN
40
Lampiran 1
KUESIONER RISKESDAS
41
42
43
Lampiran 2
TUJUAN, TARGET, DAN INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA No 1
Tujuan Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
Target Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$1 perhari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015
Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015 2
3
Mencapai pendidikan dasar untuk semua
Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
Menjamin pada tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
f) g) h) i) j) c) d) a) b) c) a)
b)
c) d) e) f)
Indikator Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari. Persentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional. Indeks kedalaman kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan. Proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama). Persentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi buruk (severe underweight). Persentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang (moderate underweight). Angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun). Angka partisipasi murni (APM), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun). Angka melek huruf usia 15-24 tahun. Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki (%). Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender) (%). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan (%). Tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan (%). Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan (%). Tingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PPP) pada
43
44
No
Tujuan
Target g)
4
Menurunkan angka kematian anak
5
Meningkatkan kesehatan ibu
Menurunkan angka kematian balita sebesar dua-pertiganya dalam kurun waktu 1990 – 2015 Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga-perempatnya dalam kurun waktu 1990 – 2015
a) b) c) a) b) c)
6
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya
Mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015
a) b) c) d)
7
Memastikan kelestarian lingkungan hidup
Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015 Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang
a) b) c) d) a) b)
c) d) e)
Indikator kelompok perempuan (%). Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) (%). Angka kematian bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita (AKB) per 1000 kelahiran hidup. Anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak (%). Angka kematian ibu melahirkan (aki) per 100.000 kelahiran hidup. Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan (%). Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat keluarga berencana (%). Prevalensi HIV dan AIDS (%). Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi (%). Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi (%). Persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS (%). Prevalensi malaria per 1.000 penduduk. Prevalensi tuberkulosis per 100.000 penduduk. Angka penemuan pasien tuberkulosis bta positif baru (%). Angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%). Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan satelit Landsat terhadap luas daratan (%). Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas daratan (%). Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan (%). Rasio luas kawasan lindung perairan (marine protected area) terhadap luas daratan (%). Jumlah emisi karbondioksida (CO2) (metrik ton).
44
45
No
Tujuan
Target
Menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar sebesar separuhnya pada 2015
8
Membangun kemitraan global untuk pembangunan
Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020 Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif. Menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar pengelolaan hutang berkesinambungan dalam jangka
Indikator f) Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) (ton). g) Rasio jumlah emisi karbondioksida (CO2) terhadap jumlah penduduk indonesia (%). h) Jumlah penggunaan energi dari berbagai jenis (setara barel minyak, SBM), Fosil dan non-fosil. i) Rasio penggunaan energi (total) dari berbagai jenis terhadap produk Domestik bruto (%). j) Penggunaan energi dari berbagai jenis secara absolut (metrik ton). a) Proporsi rumah tangga terhadap penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (total) (%) b) Proporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (perdesaan) (%) c) Proporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (perkotaan) (%) d) Cakupan pelayanan perusahaan daerah air minum (KK) e) Proporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak (total) (%) f) Proporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak (perdesaan) (%) g) Proporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak (perkotaan) (%) Proporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah (%). a) Rasio antara jumlah ekspor dan impor dengan PDB (%). b) Rasio antara kredit dan tabungan (LDR) bank umum (%). c) Rasio antara kredit dan tabungan (LDR) bank perkreditan rakyat (%). a) Rasio antara jumlah ekspor dan impor dengan PDB (%). b) Rasio antara kredit dan tabungan (LDR) bank umum (%). c) Rasio antara kredit dan tabungan (LDR) bank perkreditan rakyat (%).
45
46
No
Tujuan
Target panjang Menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar pengelolaan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang Bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi untuk menciptakan lapangan kerja yang baik dan produktif bagi penduduk usia muda Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi
Indikator a) Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB. b) Debt-to-Service Ratio (DSR).
a) Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun); b) Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut jenis kelamin; c) Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut propinsi. a) Persentase rumah tangga yang memiliki telepon dan telepon selular. b) Persentase rumah tangga yang memiliki komputer personal dan mengakses internet melalui komputer.
46
47
Lampiran 2
WILAYAH KABUPATEN/KOTA INDONESIA DENGAN MASALAH GIZI GANDA No
Kab/Perkotaan
Propinsi
Tipe wilayah
Ibu lulus Wajar (%)
Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp)
Tingkat Kemiskinan (%)
PDRB Perkapita (Ribu Rp)
Prevalensi Underweight
Prevalensi Overweight
1
Aceh Timur
NAD
perdesaan
59.9
262,733
28.2
9,015
21.8
13.1
2
Aceh Barat
NAD
perdesaan
59.7
376,091
32.6
13,371
29.9
6.5
3
Aceh Utara
NAD
perdesaan
53.2
247,553
33.2
8,096
35.5
5.2
4
Gayo Lues
NAD
perdesaan
31.5
237,500
32.3
8,606
19.5
10.2
5
Nagan Raya
NAD
perdesaan
64.4
276,494
33.6
15,192
35.7
5.9
6
NAD
perkotaan
73.2
312,472
14.3
8,263
27.1
10.4
7
Perkotaan Langsa Perkotaan Lhokseumawe
NAD
perkotaan
78.0
307,708
12.8
18,933
24.0
5.6
8
Tapanuli Selatan
SUMUT
perdesaan
68.9
211,070
20.3
7,236
27.3
5.8
9
Labuhan Batu
SUMUT
perdesaan
63.9
280,165
12.3
14,218
22.7
7.9
10
Humbang Hasundutan
SUMUT
perdesaan
80.9
204,116
18.8
11,228
30.1
6.2
11
Solok Selatan
SUMBAR
perdesaan
43.2
229,696
17.4
7,067
27.3
6.9
12
Dharmas Raya
SUMBAR
perdesaan
59.8
283,041
14.4
10,180
27.2
6.6
13
Indragiri Hilir
Riau
perdesaan
43.9
271,388
14.6
22,492
24.0
12.7
14
Kampar
Riau
perdesaan
73.2
359,130
10.7
15,491
23.0
11.2
15
Muaro Jambi
Jambi
perdesaan
55.3
274,170
7.1
6,061
26.7
9.9
16
Tanjung Jabung Barat
Jambi
perdesaan
35.4
261,521
12.8
12,773
18.5
16.2
17
Bungo
Jambi
perdesaan
50.6
308,358
7.6
8,604
24.4
12.4
18
Perkotaan Jambi
Jambi
perkotaan
86.1
403,717
5.0
11,797
22.4
16.7
19
Muara Enim
SUMSEL
perdesaan
46.5
236,207
19.9
12,590
28.1
7.0
47
48
No
Kab/Perkotaan
Propinsi
Tipe wilayah
Ibu lulus Wajar (%)
Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp)
Tingkat Kemiskinan (%)
PDRB Perkapita (Ribu Rp)
Prevalensi Underweight
Prevalensi Overweight
20
Musi Rawas
SUMSEL
perdesaan
34.2
259,294
32.9
7,670
20.6
6.3
21
Musi Banyu Asin
SUMSEL
perdesaan
32.4
267,184
33.6
14,969
20.0
8.7
22
Ogan Ilir
SUMSEL
perdesaan
36.6
269,292
21.6
6,664
19.7
6.3
23
Mukomuko
Bengkulu
perdesaan
46.5
251,101
20.1
6,540
19.7
7.5
24
Bangka Barat
BABEL
perdesaan
32.2
344,927
7.4
26,441
20.5
5.5
25
Bangka Selatan
BABEL
perdesaan
26.6
372,278
6.7
12,115
23.1
8.2
26
Natuna
KEPRI
perdesaan
35.7
401,081
8.7
15,904
20.0
5.8
27
Jombang
JATIM
perkotaan
66.7
243,908
21.2
7,667
19.4
7.6
28
Lombok Barat
NTB
perdesaan
28.7
213,089
29.0
4,687
27.6
6.8
29
Landak
KALBAR
perdesaan
54.4
202,291
25.0
6,699
20.3
10.3
30
Ketapang
KALBAR
perdesaan
22.5
242,697
17.9
10,442
24.6
7.7
31
Perkotaanwaringin Barat
KALTENG
perdesaan
48.8
350,035
8.7
15,688
18.7
5.1
32
Barito Selatan
KALTENG
perdesaan
63.8
324,754
10.4
12,072
23.2
5.6
33
Seruyan
KALTENG
perdesaan
36.4
240,715
11.3
16,098
29.8
5.7
34
Perkotaan Baru
KALSEL
perkotaan
48.6
427,756
8.6
24,845
22.9
5.3
35
Kutai Kartanegara
KALTIM
perdesaan
55.6
365,925
12.6
33,877
22.0
5.9
36
Nunukan
KALTIM
perdesaan
49.1
318,595
20.0
13,122
26.5
5.3
37
Perkotaan Samarinda
KALTIM
perkotaan
82.9
462,476
6.6
26,646
22.6
9.5
38
Banggai Kepulauan
SULTENG
perdesaan
31.0
184,746
27.9
6,107
23.6
5.3
39
Bantaeng
SULSEL
perdesaan
28.1
198,049
12.1
6,008
19.3
7.6
40
Jeneponto
SULSEL
perdesaan
27.6
171,636
24.6
3,909
20.3
10.3
41
Takalar
SULSEL
perdesaan
37.2
228,631
13.8
5,071
27.1
7.5
42
Pangkajene Kepulauan
SULSEL
perdesaan
39.4
194,181
23.9
10,817
18.9
8.9
43 48
49
No
Kab/Perkotaan
Propinsi
Tipe wilayah
Ibu lulus Wajar (%)
Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp)
Tingkat Kemiskinan (%)
PDRB Perkapita (Ribu Rp)
Prevalensi Underweight
Prevalensi Overweight
43
Bone
SULSEL
perdesaan
41.8
184,768
18.8
6,311
22.3
6.8
44
Wajo
SULSEL
perdesaan
36.5
215,713
11.4
8,252
20.0
7.4
45
Sidenreng Rappang
SULSEL
perdesaan
54.3
256,977
8.1
7,869
18.5
7.2
46
Bombana
SULTRA
perdesaan
33.0
206,413
20.5
6,380
26.7
6.5
47
Kolaka Utara
SULTRA
perdesaan
41.9
244,189
26.3
13,267
19.2
9.0
48
Perkotaan Gorontalo
Gorontalo
perkotaan
67.8
300,556
8.1
6,044
21.8
6.6
49
Buru
Maluku
perdesaan
33.1
216,458
31.3
3,195
37.5
5.7
50
Seram Bagian Barat
Maluku
perdesaan
60.7
194,712
37.9
3,013
23.9
10.8
51
Raja Ampat
Papua Barat
perdesaan
32.5
153,643
3.0
8,237
24.0
5.0
52
Jayawijaya
Papua
perdesaan
23.0
178,499
50.3
4,449
22.8
19.3
53
Paniai
Papua
perdesaan
15.0
181,353
52.2
4,789
27.1
5.8
54
Yakuhimo
Papua
perdesaan
0.8
119,191
48.3
1,129
25.7
14.6
55
Sarmi
Papua
perdesaan
27.0
296,908
31.2
12,055
24.1
6.4
56
Waropen
Papua
perdesaan
81.1
329,987
46.9
7,162
29.4
13.2
49