HUBUNGAN KARAKTERISTIK PERSONAL DAN SUBYEK PENILAI KINERJA AUDITOR TERHADAP PENERIMAAN DYSFUNCTIONAL AUDIT BEHAVIOR 1.PENDAHULUAN Munculnya kasus fraud pada perusahaan, seperti kasus Enron (2001) diketahui terjadi perilaku moral
hazard
diantaranya
adalah
manipulasi
laporan keuangan dimana KAP Arthur Anderson1 menjadi auditor dan diduga
ikut andil dalam
manipulasi tersebut. Selanjutnya kasus
Worldcom
(1998) di USA, yaitu terjadinya masalah fundamental ekonomi berupa besarnya kapasitas telekomunikasi, sementara
di
USA
sehingga
Worldcom
mengalami
resesi
ekonomi,
menggunakan
sumber
pendanaan dari luar atau berhutang. Kasus Kimia Farma, (2001) terdapat rekayasa dimana laba bersih dinilai terlalu besar. Bank Century (2003 – sekarang) dan terakhir kasus penggelapan dana nasabah oleh Relationship Manager di Citibank Indonesia (2010) serta ditutupnya beberapa Kantor Akuntan Publik di 1
KAP Arthur Anderson berdiri sejak 1913. Enron dan Anderson dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk menghancurkan dokumen bukti keuangan yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron.
1
Indonesia
menjadi
suatu
persoalan
besar
bagi
profesi akuntan publik dan menjadi tantangan berat untuk memperbaiki citra profesi audit. Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua pihak
yang
mendasarkan
keputusannya
atas
informasi dalam laporan keuangan tersebut. Oleh karena
itu
akuntan
publik
seharusnya
dapat
mendeteksi dan mencegah lebih dini agar tidak terjadi fraud. Auditor
bertugas
melakukan
pemeriksaan
untuk dapat mengetahui apakah laporan keuangan organisasi telah disusun wajar sesuai dengan SAK yang
berlaku
dan
memberikan
opini
terhadap
kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut. Ada
kalanya
respon
opini
yang
kemungkinan
audit
positif terjadinya
kurang
mendapatkan
dikarenakan
adanya
penyimpangan
perilaku
oleh seorang auditor dalam proses audit (Donelly et. al., 2003). Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seorang
auditor
kecurangan
dalam
ataupun
bentuk
manipulasi,
penyimpangan
terhadap
standar audit dikenal sebagai perilaku disfungsional auditor. Kasus suap yang dilakukan oleh Kepala Bidang Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset
Daerah
(DPPKAD)
Kota
Bekasi
dan
Inspektur Wilayah Kota Bekasi, yang juga menjabat Kepala 2
Bawasda
Kota
Bekasi
terhadap
Kepala
Auditoriat BPK Jawa Barat III (2010) dengan tujuan supaya hasil audit terhadap laporan keuangan dinyatakan wajar tanpa pengecualian sebagai salah satu contoh perilaku disfungsional auditor. Perilaku disfungsional
ini
dapat
mempengaruhi
kualitas
audit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku
yang
diantaranya
mempunyai
adalah
penghentian
pengaruh
premature
prosedur
sign
audit
langsung off
secara
atau dini,
pemerolehan bukti yang kurang, pemrosesan yang kurang akurat, dan kesalahan dari tahapan-tahapan audit
(Donelly
Sementara
et.
perilaku
al.,
2003;
yang
Maryanti,
mempunyai
2005).
pengaruh
tidak langsung terhadap kualitas audit adalah underreporting of time (Donelly et. al., 2003; Lightner et. al., 1982; Maryanti, 2005). Sementara itu khusus dalam
penelitian
ini
penerimaan
perilaku
disfungsional auditor ditunjukkan melalui perilaku premature sign-off, tidak melaporkan secara tepat waktu dan perubahan atau penggantian prosedur audit.
Perilaku-perilaku
tersebut
berpengaruh
negatif terhadap profesi auditor (Donelly et. al., 2003). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Public Oversight Board (2000) yang menyatakan 85% bentuk penyimpangan yang terjadi adalah penyelesaian langkah-langkah audit yang terlalu dini tanpa melengkapi keseluruhan prosedur dan kira-kira 12,2% bentuk penyimpangan yang terjadi adalah melaporkan waktu audit dengan total 3
waktu yang lebih pendek daripada waktu yang sebenarnya. Selebihnya bentuk penyimpangan yang terjadi adalah bukti-bukti yang dikumpulkan kurang mencukupi dan mengganti prosedur audit yang telah ditetapkan pada waktu pemeriksaan di lapangan. Penurunan
kualitas
audit
selanjutnya
akan
berdampak pada ketidakpuasan pengguna jasa audit terhadap
keabsahan
kebenaran laporan
informasi keuangan
menyebabkan
serta yang
keyakinan
akan
terkandung
dalam
auditan.
terkikisnya
Hal
tingkat
ini
akan
kepercayaan
masyarakat terhadap profesi audit. Penelitian yang dilakukan oleh Donnelly et. al., (2003) menyebutkan bahwa penyebab para auditor melakukan
penyimpangan
tersebut
adalah
karakteristik personal yang berupa lokus kendali eksternal (external locus of control), keinginan untuk berhenti bekerja (turnover intention), dan tingkat kinerja
pribadi
karyawan
(self
rate
employee
performance) yang dimiliki oleh para auditor. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara external locus of control dan turnover intention dengan tingkat penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit serta adanya hubungan negatif antara self
rate
employee performance
dengan
tingkat
penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit. Sementara hubungan
4
itu
karakteristik
tidak
langsung
personal
memiliki
dengan
tingkat
penerimaan perilaku disfungsional auditor berupa komitmen organisasi. Berbagai
penelitian
tentang
perilaku
disfungsional belum mengkaji peran dari subyek penilai kinerja sebagai faktor yang berhubungan dengan
perilaku
karakteristik
tersebut,
personal.
di
luar
Lingkungan
dari
faktor
kerja
yang
menyenangkan sangat penting untuk mendorong tingkat kinerja karyawan yang paling produktif. Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan bawahan muncul berbagai asumsi dan harapan yang seringkali berbeda, pada akhirnya perbedaanperbedaan
ini
akan
berpengaruh
pada
tingkat
kinerja dan menjadi menarik untuk diteliti dalam lingkup profesi auditor eksternal. Subyek penilai kinerja auditor merupakan faktor yang penting dalam hubungannya dengan perilaku disfungsional auditor. Dengan menambahkan variabel subyek penilai kinerja auditor sebagai faktor yang juga memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor, diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang variasi penyebab dari penerimaan perilaku auditor yang menyimpang dalam penugasan. Secara singkat, dalam penelitian ini dikembangkan model yang mengidentikkan karakteristik personal auditor yang diukur dengan locus of control, turnover intention, tingkat kinerja pribadi karyawan, dan komitmen organisasi serta subyek penilai kinerja merupakan 5
faktor yang memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor.
2.KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1.
Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor Dalam melaksanakan tugasnya, auditor harus
mengikuti standar audit yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan
serta
kode
etik
akuntan.
Dalam
kenyataan di lapangan, auditor banyak melakukan penyimpangan terhadap standar audit dan kode etik. Perilaku ini diperkirakan sebagai akibat dari adanya karakteristik personal auditor disamping adanya kemungkinan lainnya. Dampak negatif dari perilaku ini adalah peluang terjadinya kualitas audit
secara
negatif
yaitu
keakuratan
dan
reliabilitas. Penyimpangan yang dilakukan auditor dalam audit dapat dikategorikan sebagai sebuah perilaku disfungsional dalam audit. Dysfunctional audit behavior merupakan suatu bentuk reaksi terhadap lingkungan atau semisal sistem
pengendalian
(Otley
dan
Pierce,
1995;
Lightner et. al., 1983; Alderman dan Deitrick, 1982 dalam Donelly et. al., 2003). Sistem pengendalian yang
berlebihan
akan
menyebabkan
terjadinya
konflik dan mengarah pada perilaku disfungsional. 6
Donelly et. al., (2003) menyatakan bahwa sikap auditor
yang
menerima
perilaku
disfungsional
merupakan indikator perilaku disfungsional aktual. Dilihat dari aspek adanya penerimaan perilaku disfungsional oleh auditor, maka diperlukan sebuah teori yang dapat memperkuat dan mendukung alasan
para
auditor
menerima
penyimpangan
perilaku ini. Adapun dalam bidang psikologi dikenal sebuah teori yang berkaitan dengan intensi dan kontrol dari sikap serta perilaku seseorang
yaitu
Theory
yang
of
Planned
Behavior
(TPB)
dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun 1988
dan
1991
dimana
minat
dan
perilaku
seseorang (behavioral intention) dipengaruhi oleh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control.
Gambar 1. Kerangka Theory of Planned Behavior (TPB) Sumber : Ajzen, I. 2006
7
Behavioral Control Beliefs
Beliefs,
Normative
Beliefs
dan
masing-masing memiliki korelasi
hubungan yang pada akhirnya berpengaruh pada terbentuknya Attitude toward the behavior, Subjective norm dan Perceived behavioral control. Ketiga hal tersebut yang membentuk intensi dan berpengaruh pula pada perilaku seseorang. Attitude toward the behavior merupakan sikap yang mendukung atau menolak yang didorong oleh ketertarikan atau keyakinan seseorang atas hasil yang
diharapkan.
penelitian
ini,
Dalam
attitude
kaitannya
toward
the
dengan behavior
berhubungan dengan locus of control yaitu ketika keberhasilan
seseorang
ditentukan
dari
faktor
internal atau eksternal. Keyakinan inilah yang akhirnya
mendorong
menerima
atau
seseorang
berperilaku
perilaku
disfungsional
menolak
auditor. Subjective norm adalah persepsi tekanan sosial untuk
menggunakan
atau
tidak
menggunakan
perilaku. Subjective norm didapatkan dari normative beliefs, yaitu persepsi perilaku yang diharapkan dari referensi seseorang atau kelompok yang penting seperti
keluarga
menerima
perilaku
dan
teman.
disfungsional
Ketika auditor
auditor maka
persepsi tekanan sosial yang akan muncul adalah adanya pelanggaran prinsip serta kode etik akuntan publik yang memang dibuat untuk membatasi sikap 8
dan perilaku auditor dalam pelaksanaan tugasnya agar profesionalitasnya selalu terjaga. Perceived behavioral control adalah persepsi seseorang tentang kemampuan orang tersebut untuk melaksanakan perilaku yang diberikan. Perceived behavioral control didapatkan dari control beliefs, yaitu
persepsi
memfasilitasi
keberadaan
atau
faktor
menghalangi
yang
kinerja
dapat sebuah
perilaku. Perceived behavioral control muncul ketika perilaku seseorang bukan lagi dikendalikan oleh diri sendiri dan juga oleh norma yang berlaku, namun juga oleh faktor lain diluar itu. Subyek penilai kinerja auditor dalam hal ini menjadi salah satu contoh faktor lain diluar kendali individu yang pada akhirnya memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor. Selain perilaku
berhubungan
disfungsional
dengan
dalam
penerimaan
audit,
semua
komponen dalam Theory of Planned Behavior (TPB) juga berkaitan dengan karakteristik personal. Hal ini terbukti
dari
mengidentifikasi mempengaruhi
penelitian
Ajzen
faktor-faktor attitude
toward
(2005)
yang
eksternal
yang
the
behavior,
subjective norm, dan perceived behavioral control ke dalam tiga kategori, yaitu : faktor personal, faktor sosial dan faktor informasi. Faktor personal disini jelas mencakup karakteristik personal yang dapat dipakai untuk menjelaskan sikap dan perilaku auditor secara umum. 9
2.2.
Karakteristik Personal Karakteristik
faktor
yang
personal
secara
unik
merupakan
faktor-
berhubungan
dengan
individual atau ciri yang membedakan seseorang dengan orang lain (Gibson et.al.,1995; Robbins, 2001; Kreitner dan Kinicki, 2000 dalam Silaban Adanan,
2009).
Karakteristik
personal
meliputi
kepribadian, gender, kebangsaan dan hasil-hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan sumber daya manusia seperti komitmen organisasional serta komitmen profesional (Ford dan Richardson, 1994 dalam Silaban Adanan, 2009). Pada penelitian ini karakteristik personal auditor yang dikaji adalah locus of control, tingkat kinerja pribadi karyawan, turnover intention, dan komitmen organisasi. 2.2.1 Hubungan
antara
karakteristik
personal
dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor a.
Locus of Control dengan Penerimaan
Perilaku Disfungsional Auditor Beu dan Buckley (2001) dengan mengutip Rotter (1996), menyatakan bahwa locus of control adalah tingkat keyakinan seseorang akan hasil, tergantung tersebut.
pada
karakter
Locus of
control
atau
perilaku
individu
orang
digolongkan
menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control internal memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang timbul 10
dari lingkungan (Brownell, 1978; Robberts et. al., 1997; Pasewark dan Stawser, 1996 dalam Irwandi, 2002) dan berusaha memecahkan permasalahan dengan keyakinan mereka yang tinggi. Sebaliknya individu dengan locus of control eksternal lebih mudah merasa terancam dan tidak berdaya serta strategi yang dipilih dalam menyelesaikan sebuah permasalahan cenderung bersifat reaktif (Ardiansah, 2003). Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara locus of control eksternal dengan keinginan untuk melakukan ketidak jujuran atau manipulasi
untuk
mencapai
tujuan
pribadinya
(Gable dan Dangello, 1994; Coiner, 1985; Solar dan Bruehl, 1971). Dalam konteks audit, manipulasi atau
ketidakjujuran
pada
akhirnya
akan
menimbulkan perilaku disfungsional auditor. Hasil dari perilaku ini adalah penurunan kualitas audit yang
dapat
dilihat
sebagai
hal
yang
perlu
dikorbankan oleh individu untuk bertahan dalam lingkungan
kerja
audit.
Hal
dugaan bahwa semakin tinggi eksternal
individu,
semakin
ini
menghasilkan
locus of control besar
tingkat
penerimaan perilaku disfungsional dalam audit. H1 : Terdapat hubungan positif antara locus of control
eksternal
dengan
penerimaan
perilaku
disfungsional dalam ruang lingkup audit
11
Tingkat
b.
Kinerja
Pribadi
Karyawan
dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor Kinerja merupakan hasil dari perilaku anggota organisasi, dimana tujuan aktual yang dicapai adalah dengan adanya perilaku. Kinerja adalah hasil usaha
sendiri
dengan
banyak
faktor
yang
mempengaruhinya. Lee dalam Kartika dan Profita (2007) menyebutkan bahwa orang akan menyukai pekerjaan jika mereka termotivasi untuk pekerjaan tersebut, dan secara psikologi bahwa pekerjaan yang dilakukan
berarti,
ada
terhadap
pekerjaan
rasa yang
tanggung dilakukan
jawab dan
pengetahuan mereka tentang hasil kerja, sehingga hasil
pekerjaan
akan
meningkatkan
motivasi,
kepuasan dan kinerja. Gable dan Dangello (1994) dalam Donelly et.al., (2003) menjabarkan penyimpangan perilaku terjadi dalam situasi dimana individu melihat diri mereka
kurang
memiliki
kemampuan
untuk
mencapai hasil yang diinginkan atau diharapkan melalui usaha mereka sendiri. Sementara Solar dan Bruehl
(1971)
dalam
Donelly
et.
al.,
(2003)
menyatakan bahwa individu yang tingkat kinerjanya dibawah standar memiliki kemungkinan yang lebih besar
terlibat
perilaku
disfungsional
karena
menganggap dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam organisasi melalui usaha sendiri. Oleh karena itu, auditor yang memiliki 12
persepsi
yang
rendah
terhadap tingkat
kinerja
mereka akan menunjukkan tingkat penerimaan perilaku disfungsional yang lebih tinggi. H2 : Terdapat hubungan negatif antara tingkat kinerja pribadi karyawan dan penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi adanya locus of control dan komitmen organisasi c. Turnover Intention dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor Turnover Intention terkait dengan keinginan untuk berhenti atau berpindah bekerja. Memiliki keinginan untuk berhenti atau berpindah bekerja dapat membuat seseorang menjadi kurang peduli terhadap apa yang dilakukan dalam organisasi tempat bekerja. Sikap ini dapat mengakibatkan kinerja yang buruk bagi karyawan tersebut sehingga dapat
menyebabkan Individu
perilaku.
terjadinya yang
penyimpangan
bermaksud
untuk
meninggalkan organisasi kurang memperhatikan pengaruh balik potensial dari perilaku disfungsional terhadap
promosi
dan
penilaian
kinerja.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh McEuoy dan Casao, (1987) dalam Maryanti (2003) menemukan bukti bahwa
tingkat
turnover
paling
rendah
terjadi
diantara karyawan yang berkinerja baik.
13
Malone dan Roberts (1996) dalam Donelly et.al.,
(2003)
menyatakan
bahwa
auditor
yang
memiliki keinginan untuk meninggalkan perusahaan lebih dapat terlibat dalam perilaku disfungsional karena menurunnya rasa takut akan kemungkinan jatuhnya sanksi apabila perilaku tersebut terdeteksi. Lebih lanjut, individu yang berniat meninggalkan perusahaan dapat dianggap tidak begitu peduli dengan dampak perilaku disfungsional terhadap penilaian kinerja dan promosi. Jadi, auditor yang memiliki keinginan yang tinggi untuk berhenti bekerja
dari
perusahaan
akan
lebih menerima
perilaku disfungsional. H3 : Terdapat hubungan positif antara turnover intention dengan penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi adanya tingkat kinerja pribadi karyawan, locus of control, dan komitmen organisasi 2.2.2 Hubungan Subyek Penilai Kinerja dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor Penilaian kinerja merupakan suatu sistem untuk melakukan evaluasi terhadap karyawan yang dilakukan oleh subyek penilai kinerja. Adapun subyek penilai kinerja memiliki beberapa variasi, diantaranya adalah penilaian kinerja hanya oleh atasan kepada bawahan atau mekanisme penilaian kinerja yang dilakukan oleh semua unsur karyawan, 14
baik atasan, bawahan, rekan sekerja dan termasuk diri sendiri sebagai penilai. Subyek penilai kinerja dari berbagai unsur ini diharapkan lebih efektif untuk dapat melakukan penilaian secara obyektif, dibandingkan
dengan
penilaian
kinerja
pada
umumnya dimana masih memungkinkan adanya subyektifitas yang dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahan ataupun sebaliknya. Dalam konteks audit, mekanisme penilaian kinerja auditor pada umumnya dilakukan secara top down oleh partners dan supervisor terhadap senior dan atau junior staff. Akan tetapi dimungkinkan juga bahwa penilaian kinerja dilakukan secara bottom up yaitu
level
staf
melakukan
penilaian
terhadap
supervisor dan partners, disamping dimungkinkan pula dilakukan penilaian secara horisontal atau dilakukan oleh rekan sekerja. Melalui subyek penilai kinerja yang bervariasi inilah yang disinyalir dapat menimbulkan perilaku disfungsional, terutama jika ditemukan adanya penilaian kinerja yang kurang atau bahkan tidak fair dari subyek penilai kinerja, seperti
menggunakan
faktor
kedekatan
dan
“like/dislike”. Akibatnya auditor yang merasa kurang dekat dengan atasan atau rekan sekerja dan merasa kurang disukai akan cenderung lebih menerima perilaku disfungsional. Penilaian kinerja merupakan suatu sistem formal dan terstrukur yang mengukur, menilai, dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan 15
pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah karyawan tersebut dapat berkinerja sama atau bahkan lebih efektif pada masa yang akan datang, sehingga karyawan, organisasi, dan masyarakat semuanya Jackson,
memperoleh 1996:3).
manfaat
Penilaian
(Schuler
kinerja
dan
merupakan
metode mengevaluasi dan menghargai kinerja yang paling umum digunakan. Dalam penilaian kinerja melibatkan
komunikasi
dua
arah
yaitu
antara
pengirim pesan sebagai subyek penilai dan penerima pesan sebagai obyek penilaian, sehingga komunikasi dapat
berjalan
menitikberatkan proses
dengan
baik.
pada
penilaian
pengukuran
sejauh
Penilaian
kinerja
sebagai
mana
kerja
suatu dari
seseorang atau sekelompok orang dapat bermanfaat untuk mencapai tujuan yang ada. H4 : Terdapat hubungan negatif antara subyek penilai
kinerja
dengan
penerimaan
perilaku
disfungsional dalam ruang lingkup audit 2.2.3 Hubungan Antar Karakteristik Personal di Luar Hubungan dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor a.
Locus of Control dan Tingkat Kinerja
Pribadi Karyawan
16
Perbedaan antara locus of control eksternal dan internal memudahkan untuk memasukkan dalam tipe posisi tertentu, sehingga hubungan antara locus of control dan kinerja tergantung pada tugas yang diberikan. Spector (1982) dalam Donelly et.al., (2003) menyatakan bahwa locus of control internal lebih cocok untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan teknik yang tinggi, sedangkan locus of control eksternal lebih cocok untuk pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. Hyatt dan Parwitt (2001) dalam Donelly
et.al., (2003) menemukan bukti
bahwa locus of control internal diasosiasikan dengan peningkatan kinerja. Lingkungan pekerjaan audit memerlukan karakteristik profesional dan teknis maka locus of control internal memberikan kinerja yang lebih tinggi. Semakin luas subyek penilai kinerja,
semakin
kecil
penerimaan
perilaku
disfungsional auditor. b.
Locus of Control dan Turnover Intention
Hasil penelitian Andrisani dan Nestle (1976); Organ dan Greene (1974); Harvey (1971) dalam Donelly et.al., (2003) menyatakan tentang keinginan untuk berhenti bekerja yang dimiliki oleh individu dengan
locus
of
control
internal,
lebih
rendah
dibandingkan dengan dengan individu yang memiliki locus of control eksternal. Secara spesifik, locus of control eksternal dianggap memperlihatkan tingkat yang lebih tinggi dalam keinginan untuk berhenti 17
bekerja atau mencari alternatif pekerjaan lain dan belum terwujud dalam bentuk perilaku nyata. c.
Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan dan
Turnover Intention McEvoy dan Cascio (1987) dalam Donelly et.al., (2003) menyatakan bahwa turnover paling rendah ditemukan pada karyawan yang berkinerja sangat bagus. Auditor yang memiliki kinerja yang tinggi akan dipromosikan, sementara bagi yang tidak mampu mencapai standar kerja minimum akhirnya akan dikeluarkan dari perusahaan. Berdasarkan temuan ini, diharapkan bahwa kinerja karyawan akan berbanding terbalik dengan keinginan untuk berhenti bekerja. d.
Komitmen
Organisasi
dan
Locus
of
Control Penelitian yang dilakukan oleh Luthans et.al., (1987); Kinicki dan Vecchio (1994) telah menemukan adanya pengaruh locus of control terhadap komitmen organisasi. Ketika individu dengan locus of control internal
bergabung
dengan
perusahaan,
kecenderungannya adalah memiliki komitmen yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan locus of control eksternal. Hal ini disebabkan individu dengan locus of control internal memiliki anggapan mereka akan berhasil apabila mereka loyal terhadap organisasi dan mau bekerja keras serta memiliki 18
komitmen yang tinggi dalam mencapai hasil yang diinginkan. Komitmen
e.
Organisasi
dan
Tingkat
Kinerja Pribadi Karyawan Mowdey
et.al.,
(1974)
mengatakan
bahwa
karyawan yang berkomitmen tinggi memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan karyawan yang kurang memiliki komitmen. Sementara Ferris (1981) dalam Donelly et.al., (2003) menemukan bahwa kinerja profesional akuntan junior berhubungan dengan tingkat komitmen mereka pada organisasi. Nouri dan Parker (1998) dalam Donelly et.al., (2003) menemukan komitmen pada organisasi berdampak secara
positif
pada
kinerja.
Dalam
penelitian
terbaru, karyawan dengan komitmen yang lebih besar diharapkan memberikan kinerja yang lebih baik. f.
Komitmen
Organisasi
dan
Turnover
Intention Mowdey et.al., (1982) dalam Donelly et.al., (2003) memprediksikan dan menemukan bahwa perilaku individu yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi memiliki dampak keinginan berhenti bekerja lebih rendah. Mathieu dan Zajac (1990) dalam Donelly et.al., (2003) menggambarkan bahwa komitmen
pada
organisasi
berhubungan
positif
19
dengan kehadiran dan berhubungan negatif dengan keterlambatan dan pergantian karyawan. Komitmen Organisasi merupakan alat prediksi yang sangat baik untuk beberapa perilaku penting, diantaranya adalah perputaran karyawan, kesetiaan karyawan kepada nilai organisasi dan keinginan untuk
melakukan
pekerjaan
ekstra
(untuk
melakukan pekerjaan melebihi apa yang seharusnya dikerjakan). Robbins (2003) dalam Petronila dan Irawati (2006) mengartikan komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak
pada
suatu
organisasi
tertentu
dan
tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Sementara Robbins dan Coulter (1996) dalam Petronila dan Irawati (2006) mengartikan orientasi
komitmen
pada
seseorang
organisasi
karyawan
adalah terhadap
kesetiaannya, identifikasinya, dan keterlibatannya di dalam organisasi tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas, diperoleh sebuah
gambaran
model
teoritis
yang
menggambarkan hubungan antar variabel adalah sebagai berikut :
20
Gambar 2. Model Penelitian
3.METODE PENELITIAN Sumber data penelitian ini adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Semarang dan Surakarta. Cuplikan sampel dipilih dengan menggunakan metode convenience sampling, Pada penelitian ini terdapat 25 indikator, maka jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah sebanyak 125. Data yang digunakan adalah data primer berupa data demografi responden, karakteristik personal,
mekanisme
penerimaan Pengumpulan
perilaku data
penilaian
kinerja,
disfungsional dilakukan
dengan
dan
auditor. cara
menyebarkan kuesioner kepada responden.
21
Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris Variabel Locus of control eksternal
Komitmen organisasi
22
Definisi Individu dengan locus of control eksternal lebih mudah merasa terancam dan tidak berdaya serta strategi yang dipilih dalam menyelesaikan sebuah permasalahan cenderung bersifat reaktif (Ardiansah, 2003) Orientasi seseorang karyawan terhadap kesetiaannya, identifikasinya, dan keterlibatannya di dalam organisasi tersebut. Robbins dan Coulters (1996) dalam Petronila dan Irawati (2006).
Indikator Empiris Keberhasilan dalam pekerjaan dilihat dari: 1. Keberuntungan 2. Usaha dari diri sendiri
Pengukuran Skala likert dengan skor 1–7
1. Kepedulian terhadap organisasi 2. Kebanggaan terhadap organisasi 3. Dedikasi terhadap organisasi 4. Kesesuaian dengan nilai-nilai organisasi
Skala likert dengan skor 1-7
Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris (lanjutan) Variabel Tingkat kinerja pribadi karyawan
Definisi Hasil usaha sendiri dengan banyak faktor yang mempengaruhinya, tingkat kinerja pribadi di bawah rata-rata atau di atas rata-rata. Kartika, Indri & Profita Wijayanti (2006).
Turnover Intention
Keinginan untuk berhenti atau berpindah bekerja. Robbins dalam Petronila dan Irawati (2006).
Indikator Empiris Pengukuran 1. Perencanaan Skala likert (menentukan dengan skor tujuan, 1–7 kebijakan) 2. Investigasi (inventarisasi, pengenalan dan pengumpulan informasi) 3. Koordinasi (berinteraksi dan bertukar informasi dgn pihak lain) 4. Pengawasan (perintah pimpinan maupun supervisi bawahan) 5. Kepegawaian (promosi, rotasi, mutasi) 6. Perwakilan (mewakili kepentingan organisasi secara umum) 1. Bekerja sampai Skala likert pensiun dengan skor 2. Bekerja paling 1–7 tidak 2 tahun lagi 3. Bekerja paling tidak 5 tahun lagi
23
Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris (lanjutan) Variabel Subyek Penilai Kinerja
Definisi Suatu sistem untuk melakukan penilaian terhadap karyawan.
Penerimaan perilaku disfungsion al
Penerimaan perilaku disfungsional merupakan suatu bentuk reaksi terhadap lingkungan atau semisal sistem pengendalian (Otley dan Pierce, 1995; Lightner et. al., 1983; Alderman dan Deitrick, 1982 dalam Donelly et. al., 2003).
24
Indikator Empiris 1. Penilaian kinerja hanya oleh atasan 2. Penilaian kinerja hanya oleh bawahan 3. Penilaian kinerja oleh atasan dan bawahan, 4. Penilaian kinerja oleh atasan dan teman sekerja 5. Penilaian kinerja oleh atasan, bawahan, dan teman sekerja 6. Penilaian kinerja oleh diri sendiri, atasan, bawahan, dan teman sekerja 1. Pengunduran diri 2. Perubahan/pengg antian prosedur audit 3. Ketidaktepatan memberikan laporan audit
Pengukuran Skala likert dengan skor 1–7
Skala likert dengan skor 1-7
Teknik, alat, dan langkah analisis Data mengenai demografi responden digunakan untuk
menganalisa
deskriptif
dari
responden.
Pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan
dengan
menggunakan
SPSS18.00.
Sementara untuk melakukan pengujian hubungan antar variabel menggunakan Structural Equation Model (SEM) dari paket software statistic LISREL 8.8.
4.
PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Responden dan Uji Klasik Indikator Kuesioner yang telah disebarkan berjumlah 150
kuesioner dengan jumlah 132 kuesioner kembali dan 129 kuesioner yang dapat diolah. Untuk mengetahui karakteristik dari sampel, berikut ini akan disajikan statistik deskriptif dari responden.
25
Tabel 2. Demografi Responden Frekuensi
Persentase
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
94 35
73% 27%
Umur Responden 20 s.d 30 tahun 30 s.d 40 tahun
77 23
60% 18%
29
22%
46 70 9
36%
4
3%
Jurusan Akuntansi Non Akuntansi
93 36
72%
Posisi terakhir dalam pekerjaan Junior Staf Senior Staf Supervisor
55 61 12
43% 47% 9%
1
1%
> 40 tahun Jenjang Pendidikan D3 S1 S2 S3
Manajer
26
54% 7%
28%
Tabel 3. Statistik Deskriptif
Variabel Locus of Control Komitmen Organisasi Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan Turnover Intention Subyek Penilai Kinerja Penerimaan Perilaku Disfungsional
Cron. Alpha 0.861 0.861
75.90 37.69
Std. Dev. 14.215 9.959
0.889 0.728 0.911
28.16 11.49 26.23
9.222 3.790 8.075
7 3 6
48 21 41
0.901
60.08
14.960
14
92
Mean
Min
Max
40 9
119 61
Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas dari setiap konstruk yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bantuan
software
SPSS
18.0.
Uji
validitas
menggunakan Corrected Item to Total Correlation. Data dikatakan valid jika nilai koefisien corrected item – total correlation > 0.30. Sementara uji reliabilitas dengan menggunakan
Cronbach’s
Alpha,
dimana
data
dikatakan reliabel jika koefisien bernilai minimal 0,60 atau lebih. Berdasarkan pernyataan diatas, dasar pengambilan keputusan uji validitas dan reliabilitas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Locus of Control Terdapat 13 (tiga belas) pertanyaan indikator yang valid dan 5 (lima) pertanyaan indikator yang tidak valid, namun reliabilitas dari kuesioner masih terjaga. (Lampiran 3)
27
Komitmen Organisasi Terdapat 8 (delapan) pertanyaan indikator yang valid dan 1 (satu) pertanyaan indikator yang tidak valid, namun reliabilitas dari kuesioner masih terjaga. (Lampiran 3)
Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan Dari 7 (tujuh) pertanyaan indikator semuanya valid dan reliabel. (Lampiran 3)
Turnover Intention Ketiga
pertanyaan
indikator
valid
dan
reliabilitas kuesioner tetap terjaga. (Lampiran 3)
Subyek Penilai Kinerja Dari 6 (enam) pertanyaan indikator semuanya valid dan reliabilitas tetap terjaga. (Lampiran 3)
Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor Terdapat 14 (empat belas) item pertanyaan indicator
yang
kesemuanya
valid
dan
reliabilitas kuesioner tetap terjaga. (Lampiran 3)
28
Pengujian Kecocokan Model Model yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode estimasi Maximum Likelihood. Metode ini merupakan metode estimasi yang sering digunakan untuk analisis data dengan menggunakan metode SEM dengan program Lisrel 8.8. Untuk pengujian selanjutnya sesuai dengan Joreskog dan Sorbom (1996), model yang harus diuji dan dianalisis terlebih dahulu adalah model pengukuran. Setelah model pengukuran diuji selanjutnya dilakukan analisis dan pengujian model struktural. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah model pengukuran yang telah diuji dan dianalisis dapat menjelaskan model struktural. Tahapan
ini
ditujukan
untuk
mengevaluasi
tingkat kecocokan antara data dengan model, model pengukuran serta signifikasi koefisien dari model struktural dengan menggunakan SEM dengan aplikasi LISREL 8.8. Hasil perhitungan pengujian kecocokan keseluruhan model dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :
29
Tabel 4. Uji Kecocokan Model Keseluruhan
Kriteria RMSEA NFI NNFI CFI IFI RFI RMR GFI dan AGFI
Hasil Estimasi Model 0,00* 0,19 0,55 0,57 0,62 0,15 0,079 GFI = 0,71
AGFI = 0,69
Indikator Tingkat Kecocokan <0,05 >0,90 >0,90 >0,90 >0,90 >0,90 < 0.05 GFI >0,90 (good fit); 0,90 < GFI >0,80 (marginal fit) AGFI =0 – 1
Ket : *signifikan
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Memperhatikan approximation
nilai
root-mean-square
(RMSEA)
yaitu
error
0,00
of
maka
kesimpulannya adalah model SEM layak untuk digunakan. 2. Nilai dari NFI, NNFI, CFI, IFI dan RFI tidak menunjukkan bahwa model fit. 3. Pada
output
terlihat
standardized
RMR
yang
melebihi dari kriteria GOF sehingga menunjukkan model yang tidak fit. 4. Nilai GFI = 0,71 dan AGFI = 0,69 berada di antara nilai 0 dan 1, namun berada di bawah 0,90 sehingga model belum fit.
30
Hasil Pengujian Hipotesis Gambar 3 menunjukkan nilai koefisien jalur persamaan model struktural, sehingga dapat dilihat hubungan antar variabel.
Gambar 3. Structural Equation Model dengan Koefisien Jalur
Koefisien jalur diatas menunjukkan ada atau tidaknya hubungan langsung maupun tidak langsung antara karakteristik personal dan subyek penilai kinerja dengan penerimaan perilaku disfungsional. Hubungan langsung dengan penerimaan perilaku disfungsional terlihat dari hipotesis yang terbentuk, di luar
itu
merupakan
hubungan
antar
variabel
karakteristik personal yang secara tidak langsung berhubungan
dengan
penerimaan
perilaku
disfungsional. Nilai koefisien determinan yang dilihat dari R2 berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh masingmasing
variabel
independen
mampu
menjelaskan 31
variabel dependen. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5. Model Persamaan Struktural Persamaan 1
KO = 0.58*LC, Errorvar.= 0.0039 , R² = 0.77 (0.61) (0.0089) 0.95 0.44
2
KP = 1.01*KO + 0.99*LC, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.99 (2.48) (1.59) 0.41 0.62 TI = 2.71*KO - 0.89*KP + 1.00*LC, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.99 (10.22) (8.16) (7.86) 0.26 -0.11 0.13
3
4
PD = 1.62*KP - 0.27*TI - 1.17*LC - 0.12*SP, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.98 (3.14) (2.17) (5.74) (3.46) 0.52 -0.13 -0.20 -0.035
Hasil pengolahan data di atas menunjukan bahwa
secara
keseluruhan
karakteristik
personal
(locus of control eksternal, tingkat kinerja pribadi karyawan, intention)
komitmen tidak
organisasi,
berhubungan
dan
dengan
turnover
penerimaan
disfungsional dalam ruang lingkup audit. Hal yang menjadi penyebab kondisi ini dapat dilihat dari data demografi
responden
dimana
sebagian
besar
responden merupakan auditor staf. Auditor dalam level
staf
pengambilan
tidak
memiliki
keputusan
kewenangan terutama
penerimaan perilaku disfungsional auditor. 32
dalam
mengenai
Locus of control eksternal tidak berhubungan dengan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor diduga karena auditor dengan kesadarannya mengetahui bahwa keberhasilan yang diperolehnya tidak murni dari dirinya sendiri melainkan berasal dari pihak luar yaitu organisasi tempat bekerja beserta dengan
orang-orang
yang
ada
dalam
pekerjaan
tersebut (teman sekerja, pimpinan, dan klien). Jika pada kajian teori disebutkan bahwa seseorang dengan locus of control eksternal identik dengan manipulasi yang
berujung
disfungsional
pada
maka
penerimaan
dugaan
berikutnya
perilaku berkaitan
dengan hasil pengujian hipotesis ini adalah auditor memiliki keyakinan dan ketaatan penuh pada aturan yang mengikat kerja auditor serta konsekuensi jika aturan-aturan tersebut dilanggar. Tingkat berhubungan
kinerja
pribadi
dengan
karyawan
penerimaan
tidak
perilaku
disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi
adanya
locus
of
control
dan
komitmen
organisasi diduga karena dilihat dari data demografi responden yang sebagian besar adalah auditor staf yang berada pada level junior dan senior maka para auditor ini dengan kesadarannya melakukan yang terbaik untuk menunjukkan kinerjanya dengan terus berkomitmen pada organisasi tempat bekerja. Auditor merasa perlu mematuhi semua aturan kode etik dan standar profesi yang menjadi acuan utama dalam berperilaku, sehingga dalam kasus ini kemungkinan
33
perilaku disfungsional dalam lingkup audit itu dapat terjadi adalah kecil. Turnover intention tidak berhubungan dengan penerimaan
perilaku
disfungsional
dalam
ruang
lingkup audit, dengan kondisi adanya tingkat kinerja pribadi karyawan, locus of control, dan komitmen organisasi diduga juga disebabkan oleh sebagian besar responden yang berada di level staf, auditor ini sebagian
besar
sedang
memulai
merintis
karir
pekerjaannya sehingga belum ada dalam pemikiran mereka
mengenai
perilaku
disfungsional
yang
dilakukan dalam lingkup audit. Hasil lain dalam penelitian ini adalah adanya variasi yang kecil dalam hal pengisian jawaban kuesioner. KAP dengan jumlah karyawan yang besar ternyata
memiliki
jawaban
yamg
sama
dalam
pengisian kuesioner, demikian pula dengan KAP yang memiliki jumlah karyawan sedikit.
34
5.
PENUTUP
Simpulan Penelitian
ini
merupakan
perluasan
studi
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan auditor menerima perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit. Perluasan dilakukan dengan menguji secara simultan hubungan antara karakteristik
individual
auditor
(locus
of
control,
komitmen organisasi, turnover intention dan tingkat kinerja pribadi karyawan) dan subyek penilai kinerja terhadap penerimaan perilaku disfungsional dalam audit. Studi ini dilakukan di KAP yang berada di Kota Semarang dan Surakarta, Propinsi Jawa Tengah mulai pada level junior sampai dengan manajer auditor. Karakteristik personal auditor yang meliputi Locus of Control, Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan, Turnover Intention dan Komitmen Organisasi tidak memiliki
hubungan
dengan
Penerimaan
Perilaku
Disfungsional dalam ruang lingkup audit. Auditor akan menggunakan keyakinan dan kesadaran penuh dalam berperilaku dengan mempertimbangkan normanorma subyektif yang membatasi dan mengikat tiap fungsi audit yang dilakukan oleh auditor, sehingga segala hal yang dilakukan dan berkaitan dengan pelaksanaan
audit
tentunya
dilaksanakan
sesuai
dengan tanggung jawab dan kesadaran akan semua risikonya.
35
Subyek
penilai
kinerja
memiliki
hubungan
negatif dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional dalam ruang lingkup audit, itu berarti bahwa di dalam KAP sudah terdapat mekanisme penilaian kinerja. Di samping itu auditor merasa bahwa subyek penilai kinerja turut menentukan evaluasi atas pekerjaan mereka, ketika penilaian tidak secara rutin dilakukan atau jika subyek penilai kinerja hanya pada level setara maka dimungkinkan akan terjadi penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit. Sehingga dapat dilihat bahwa variabel ini justru lebih menjadi pertimbangan para auditor dalam melakukan penerimaan perilaku disfungsional atau tidak. Implikasi Implikasi yang muncul adalah bahwa penelitian seperti ini akan memperoleh hasil yang berbeda jika dilakukan terhadap responden yang berada di level yang lebih tinggi daripada staf, karena auditor dalam level staf hanya dapat menuruti perintah dari atasan sebagai contoh level supervisor, manajer atau partner karena level-level tersebut lebih memiliki kewenangan dalam hal pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
penerimaan
ruang lingkup audit.
36
perilaku
disfungsional
dalam
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
Ajzen, Icek., 1991. “The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes”. Volume 5. Amaliah, Khusnul., 2008. “Peranan Sikap, Norma Subyektif dan Perceived Behavioral Control dalam Memprediksi Intensi Mahasiswa untuk Bersepeda di Kampus”. Ayu, Dyah L.W.A., 2006. “Penciptaan Sistem Penilaian Kinerja yang Efektif dengan Assesment Centre”. Jurnal Manajemen Vol. 6, No.1, Universitas Maranatha Bandung. Arens, Alvin A and James K.L., 1995. “Auditing An Integrated Approach, 4th ed”. New Jersey : Prentice Hall,Inc. Basuki dan Krisna Yunika., 2006. “Pengaruh Tekanan Anggaran Waktu terhadap Perilaku Disfungsional Auditor dan Kualitas Audit pada Kantor Akuntan Publik di Surabaya”. Jurnal MAKSI Vol. 6, No. 2, Universitas Diponegoro Semarang. Donnelly, David P., Jeffrey J.Q, and David O., 2003. “Auditor Acceptance of Dysfunctional Audit Behavior : An Explanatory Model Using Auditors’ Personal Characteristics”. Journal of Behavioral Research In Accounting : vol. 15 : 87-107. Ferdinand, Augusty., 2002. “Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen : Aplikasi Modelmodel Rumit dalam Penelitian untuk Tesis Magister dan Disertasi Doktor”. Harini, Dwi., Agus W dan Indah A., 2010. “Analisis Penerimaan Auditor Atas Dysfunctional Audit Behavior : Sebuah Pendekatan Karakteristik Personal Auditor”. Jurnal Akuntansi dalam SNA XIII Purwokerto. Irawati, Yuke., Thio A dan Mukhlasin., 2005. “Hubungan Karakteristik Personal Auditor Terhadap Tingkat Penerimaan Penyimpangan Perilaku Dalam Audit”. Jurnal Akuntabilitas Vol. 6, No. 1 : 1-13. Joreskog, Karl G and Sorbom., 1996. “LISREL 8 : User’s Reference Guide”. Kartika, Indri dan Provita W., 2007. “Locus of Control Sebagai Anteseden Hubungan Kinerja Pegawai dan Penerimaan Perilaku Disfungsional Audit”. Jurnal SNA X Makassar. Marietza, Fenny., 2008. “Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Auditor Terhadap Perilaku
37
13. 14. 15. 16. 17. 18.
19.
38
Disfungsional Auditor pada Kantor Akuntan Publik di Surabaya” Ramayah., 2004. “Technology Acceptance : An Individual Perspective Current and Future Research in Malaysia”. Riduwan., 2009. “Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian : untuk Mahasiswa S-1, S-2, dan S-3”. Sekaran, Uma., 2006. “Metodologi Penelitian untuk Bisnis”. Edisi keempat. Salemba Empat. Silaban, Adanan., 2009. “Perilaku Disfungsional Auditor Dalam Pelaksanaan Program Audit”. Wijanto, Setyo Hari., 2008. “Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8 : Konsep dan Tutorial”. http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/penilaiankinerja-karyawan-definisi.html. “Penilaian Kinerja Karyawan : Definisi, Tujuan dan Manfaat”. Diakses tanggal 28 Oktober 2011. http://www.antaranews.com/berita/1280918253/kpkrekonstruksi-kasus-suap-di-pemkot-bekasi. “KPK Rekonstruksi Kasus Suap di Pemkot Bekasi”. Diakses tanggal 1 Desember 2011.