HUBUNGAN KADAR MONOCYTES CHEMOATTRACTANT PROTEIN-1 (MCP-1) DENGAN UMUR LUKA TERBUKA PADA MENCIT (Mus musculus)
THE CORRELATION BETWEEN THE LEVELS OF MONOCYTES CHEMOATTRACTANT PROTEIN - 1 (MCP-1) AND THE AGE OF OPEN WOUNDS IN MICE (Mus Musculus)
Arkipus, Djumadi Achmad, Truly D, Dasril Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
Alamat Korespondensi : dr. Arkipus Bagian Ilmu kedokteran Forensik dan medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Jl. Kandea No. 2A Makassar, 90153 HP : 081356157468 Email :
[email protected]
ABSTRAK Monocytes Chemoattractant Protein-1 (MCP-1) adalah sub family dari chemokine yang telah diketahui sebagai kemotaktik yang kuat terhadap monosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar MCP-1 dengan umur luka terbuka. Metode yang digunakan adalah penelitian eksperimental. Sampel penelitian adalah 35 ekor mencit jantan (Mus musculus) yang dipilih dengan tehnik acak dan sederhana dan dikelompokkan menjadi 7 kelompok yaitu K1 sebagai kelompok kontrol, K2 sebagai kelompok perlakuan 12 jam, K3 sebagai kelompok perlakuan 24 jam, K4 sebagai kelompok perlakuan 36 jam, K5 sebagai kelompok perlakuan 48 jam, K6 sebagai kelompok perlakuan 60 jam dan K7 sebagai kelompok perlakuan 72 jam. Setiap mencit diberikan perlakuan yang sama berupa luka iris pada punggung. Kadar MCP-1 dalam serum dihitung dengan metode pemeriksaan Elisa. Uji statistik yang digunakan adalah Uji parametrik ANOVA dan Uji korelasi Pearson dengan derajat kemaknaan p<0,05. Dari hasil penelitian didapatkan nilai rerata kadar MCP-1 dalam serum tertinggi pada kelompok perlakuan 12 jam dan terendah pada kelompok perlakuan 60 jam. Nilai maximal tertinggi adalah 530,6 pg/mL yaitu pada kelompok perlakuan 12 jam dan nilai maximal terendah adalah 78,40 pg/mL, pada kelompok 60 jam. Hasil uji ANOVA didapatkan nilai p>0,05 dan pada Uji korelasi Pearson didapatkan nilai p>0,05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar MCP-1 antara masing-masing kelompok perlakuan, dan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar MCP-1 masing-masing kelompok perlakuan dengan umur luka terbuka.
Kata kunci : Monocytes Chemoattractant Protein -1 (MCP-1), Umur luka terbuka.
ABSTRACT Monocytes chemoattractant Protein-1 (MCP-1) is sub family of the chemokines who has been known as a potent chemotactic factor for monocytes. This study aims to determine the correlation between s of MCP-1 levels with open wound age. The method used was experimental research. The samples were 35 male mice (Mus musculus) selected by random and simple techniques and grouped into 7 groups: K1 as the control group, the treatment group K2 as 12 hours, K3 as a 24-hour treatment group, treatment group K4 as 36 hours, K5 as a 48-hour treatment group, the treatment group K6 and K7 as a 60-hour treatment group 72 hours. Each mice given the same treatment in the form of a cut on the back. Levels of MCP-1 in serum was calculated by the method of examination Elisa. The statistical test used was ANOVA parametric test and Pearson correlation test with significance level p <0.05. From the results, the mean levels of MCP-1 in the highest serum 12 hours in the treatment group and the lowest in the 60hour treatment groups. Highest maximum value is 530.6 pg / mL in the treatment group is 12 hours and the lowest maximum value was 78.40 pg / mL, in group 60 hours. ANOVA test results obtained p values> 0.05 and the Pearson correlation test score is p> 0.05. From these results it can be concluded that there is no significant difference in MCP-1 levels between each treatment group, and there was no significant correlation between the levels of MCP-1 each age group treated with open wounds.
Keywords: Monocytes Chemoattractant Protein-1 (MCP-1), Open wounds age
PENDAHULUAN Kasus perlukaan merupakan kasus forensik yang terbanyak ditemukan di Rumah Sakit. Dari data yang diperoleh dibeberapa Rumah Sakit di Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kasus akibat perlukaan dan keracunan yang memerlukan laporan hasil Visum et Repertum pada Unit Gawat Darurat mencapai 50-70%. (Atmadja, 2004). Data yang diperoleh di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, kasus perlukaan yang memerlukan laporan Visum et Repertum dari tahun 2010 sampai dengan 2011 mencapai kurang lebih 60% dari semua kasus forensik. Dalam kamus Dorlands Medical Dictionary, luka adalah diskontinuitas anatomi jaringan akibat trauma mekanik pada tubuh atau suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Sebagai respon tubuh terhadap adanya jejas/luka pada bagian tubuh untuk mempertahankan homeostasis adalah reaksi inflamasi. Dalam bidang patologi forensik, reaksi ini sangat penting diketahui terutama dalam menganalisa apakah suatu luka terjadi pada saat seseorang masih hidup (luka intravital) atau sudah meninggal (post mortem). Terjadinya luka tidak selalu sebagai akibat dari perjalanan penyakit, namun tidak jarang hal tersebut merupakan tindakan manusia yang patologis (tindakan kriminal). Untuk memberikan jaminan rasa aman dan tentram serta mengungkapkan kebenaran, maka aparatur penegak hukum dapat menggunakan seperangkat peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. (Lawrence, 2011). Dalam Pasal 133 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) ayat satu (1) disebutkan bahwa “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.” Meskipun dalam pasal tersebut tidak secara tegas disebutkan tentang penentuan umur luka, namun sebagai tanggung jawab dokter dalam memeriksa suatu perlukaan maka semua yang berhubungan dengan terjadinya luka/trauma sedapat mungkin dapat diungkapkan. Tidak jarang pula penyidik mempertanyakan tentang umur luka atau sudah berapa lama luka tersebut terjadi. Metode penentuan umur luka yang biasa digunakan dalam bidang forensik selama ini adalah dengan melihat gambaran luka secara makroskopik, berdasarkan perubahan warna yang mengikuti proses penyembuhan yang terjadi pada luka tersebut (Shkrum et al., 2007).
Namun penentuan umur luka secara makroskopik akan menjadi sulit apabila luka tersebut adalah luka terbuka, dimana perubahan warna yang terjadi tidak dapat dilihat dengan jelas seperti pada luka memar. Untuk mengatasi hal tersebut, penentuan umur luka secara mikroskopik ataupun secara serologik menjadi salah satu metode yang dapat digunakan, yaitu dengan melihat perubahan-perubahan biokimiawi yang terjadi pada jaringan dan cairan tubuh terutama dalam darah. Monocytes Chemoattractant Protein-1 (MCP-1) adalah subfamily dari kemokin yang telah diketahui salah satu fungsinya adalah sebagai chemoattractant yang kuat terhadap monosit. (Daly et al., 2003, Charo et al., 2004, Deshmane et al., 2009). Seperti diketahui bahwa pada proses inflamasi, leukosit dilepaskan ke tempat yang mengalami jejas untuk melakukan fagositosis. Pada waktu kurang dari 48 jam sel-sel PMN (neutrofil) akan dikirimkan ketempat jejas, setelah itu akan digantikan oleh monosit (Kumar et al., 2010, Murphy., 2009, Kindt., 2006). Sebelumnya telah banyak penelitian dilakukan untuk melihat ekspresi MCP-1 pada jaringan luka dengan menggunakan metode imunohistokimia (Kondo et a.l, 2002, Takamiya et al., 2008, Ishida et al., 2009). Dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis hubungan antara kadar MCP-1 dalam serum dengan umur luka terbuka dengan metode pemeriksaan ELISA. Penelitian ini diharapkan sebagai titik awal untuk melakukan riset terhadap berbagai jenis sitokin sebagai salah satu marker dalam penentuan umur luka, sehingga umur luka dapat ditentukan dengan lebih akurat.
BAHAN DAN METODE Sampel Penelitian ini merupakan suatu penelitian Eksperimental dengan menggunakan mencit sebagai hewan percobaan. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Lembaga Penelitian Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Desmber 2012 sampai Januari 2013. Populasi penelitian adalah mencit putih (Mus musculus ) strain albino, berumur 10-12 minggu dengan berat badan 30-40 gram. Hewan coba diperoleh dari Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Surabaya. Sampel penelitian adalah 35 ekor mencit jantan yang dipilih dengan tehnik acak dan sederhana. Sampel dikelompokkan atas 7 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit, yaitu K1 sebagai kelompok kontrol, K2
sebagai kelompok perlakuan 12 jam, K3 sebagai kelompok perlakuan 24 jam, K4 sebagai kelompok perlakuan 36 jam, K5 sebagai kelompok perlakuan 48 jam, K6 sebagai kelompok perlakuan 60 jam dan K7 sebagai kelompok perlakuan 72 jam. Pada kelompok perlakuan semua mencit diberikan perlakuan yang sama yaitu, dibuat luka iris pada punggung mencit dengan ukuran luka yang sama. Metode pemeriksaan ELISA Metode pemeriksaan Elisa berdasarkan prosedur pemeriksaan menggunakan kit Quantikine Mouse MCP-1/CCL2 immunoassay (R&D Systems), Kadar MCP-1 dihitung dengan menggunakan hasil baca dari mikroplat pembaca, dengan membandingkan hasil standar, kontrol dan sampel. Statistik Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian, dicatat kemudian dilakukan analisis yang sesuai yaitu : Uji-t untuk membandingkan dua kelompok tidak berpasangan dengan skala numerik, dalam hal ini membandingkan kadar
MCP-1 pada masing-masing kelompok
perlakuan. Uji One way Anova untuk membandingkan lebih dari dua kelompok tidak berpasangan dengan skala numerik, dalam hal ini membandingkan kadar MCP-1 pada masingmasing kelompok perlakuan. Uji Korelatif Pearson, untuk menentukan hubungan antara dua kelompok dengan skala numerik, dalam penelitian ini untuk menentukan hubungan antara kadar MCP-1 dengan umur luka.
HASIL Tabel 1 memperlihatkan hasil pengukuran kadar MCP-1 pada masing-masing kelompok. Dari hasil tersebut didapatkan nilai rerata kadar MCP-1 dalam serum tertinggi pada kelompok perlakuan 12 jam (kelompok 2) dan terendah pada kelompok perlakuan 60 jam (kelompok 6). Nilai maximal tertinggi adalah 530,6 pg/mL yaitu pada kelompok perlakuan 12 jam dan nilai maximal terendah adalah 78,40 pg/mL, pada kelompok 60 jam. Tabel 2 memperlihatkan hasil uji ANOVA yang digunakan untuk membandingan lebih dari dua kelompok tidak berpasangan dengan skala numerik dalam hal ini untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kadar MCP-1 antara masing-masing kelompok perlakuan. Dari hasil Uji ANOVA didapatkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (nilai p>0,05).
Tabel 3 memperlihatkan hasil uji Korelasi Pearson yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar MCP-1 masing-masing kelompok perlakuan dengan lamanya luka (umur luka). Hasil uji korelasi didapatkan tidak terdapat hubungan yang bermakna. (nilai p>0,05).
PEMBAHASAN Pada penelitian ini menunjukkan nilai rata-rata kadar MCP-1 pada kelompok tanpa perlakuan (kelompok kontrol) adalah 117,5 pg/mL, dengan nilai tertinggi adalah 183,9 pg/mL, dan terendah adalah 56,96 pg/mL. hal ini menunjukkan bahwa walaupun mencit yang diperiksa sudah dihomogenkan, tetapi kondisi dalam tubuh masing-masing mencit tidak dapat dikendalikan, karena itu perlu dilakukan pemeriksaan lain untuk memastikan apakah mencit benar-benar sehat, dalam hal tidak ada penyakit-penyakit kronis yang dapat mempengaruhi kadar MCP-1, seperti rheumathoid arthritis (Rantapaa et al., 2007), atherosclerosis (Charo et al., 2004), penyakit kanker (Conti et al., 2004), penyakit syndrome metabolik (Bhargava et al., 2012) Pada kelompok perlakuan 12 jam, nilai rata-rata MCP-1 adalah 160,598 pg/mL, dengan nilai tertinggi adalah 530,6 pg/mL dan nilai terendah 44,21 pg/mL. Sebaran nilai pada mencit 1,2 4 dan 5 relatif tidak ada perbedaan yang bermakna. Nilai tertinggi yang sangat ekstrim terdapat pada mencit ke-3, hal ini membuktikan bahwa faktor internal pada mencit sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Setelah nilai ekstrim di eksklusi, maka nilai terendah justru terdapat pada kelompok 12 jam. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada awal terjadinya radang, leukosit yang lebih berperan adalah neutrofil. (Kumar et al., 2010, Silbernagl., 2000, Murphy., 2009). Pada kelompok perlakuan 24 jam nilai rata-rata MCP-1 adalah 82,96 pg/mL dengan nilai tertinggi 122,9 pg/mL, dan nilai terendah 44,21pg/mL. Jika dibandingkan dengan kelompok 12 jam nilai rerata pada kelompok ini lebih tinggi, hal ini menunjukkan bahwa pada umur luka 24 jam terjadi perubahan dari monosit yang bersirkulasi menjadi monosit yang aktif untuk menggantikan peran neutrofil, pada saat perubahan monosit menjadi aktif, monosit juga akan mengeluarkan MCP-1 dan CCR-2 sebagai reseptornya. Pada kelompok perlakuan 36 jam nilai rata-rata kadar MCP-1 adalah 141,078 pg/mL, dengan nilai tertinggi adalah 222,9 pg/mL dan nilai terendah 78, 4 pg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok ini semakin banyak monosit yang aktif dan MCP-1 yang dihasilkan akan semakin banyak pula, ditambah dengan MCP-1 yang dihasilkan oleh endotel yang teraktivasi. ( Murdoch et al., 2000)
MCP-1 di produksi oleh berbagai tipe sel antara lain: sel endotel, epitel, otot polos, mesangial, astrosit, monosit dan microglia (Deshmane et al., 2009). Pada kelompok perlakuan 48 jam nilai rata-rata kadar MCP-1 merupakan nilai tertinggi dari semua kelompok perlakuan, hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu bahwa puncak dari monosit yang teraktivasi adalah pada umur luka 48 jam, sehingga MCP-1 yang dihasilkan akan semakin meningkat. (Kumar et al., 2010). Pada kelompok perlakuan 60 jam nilai rata-rata kadar MCP-1 adalah 61,65 pg/mL, hal ini menunjukkan bahwa monosit sudah keluar dari pembuluh darah dengan proses marginasi-rooling-adhesi kuat dan diapedesis yang diperankan oleh molekul-molekul adhesi untuk menggantikan peran neutrofil dalam melakukan fagositosis, sehingga MCP-1 yang terdeteksi dalam sirkulasi mengalami penurunan. Hasil yang didapat pada uji korelasi antara lamanya luka (umur luka) dengan masingmasing kelompok perlakuan, adalah tidak terdapat hubungan yang bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun secara teori MCP-1 berperan dalam rekruitmen monosit pada saat terjadi radang, dalam hal ini peneliti mengharapkan radang yang terjadi akibat luka yang dibuat pada punggung mencit, tetapi kondisi yang ada dalam tubuh mencit tidak dapat dikendalikan (walaupun mencit sudah di homogenkan) seperti adanya penyakit lain yang juga akan meningkatkan kadar MCP-1. Selain itu seharusnya sebelum dilakukan perlakuan semua mencit diperiksa untuk mengetahui berapa kadar awal MCP-1, sehingga dapat dinilai apakah ada peningkatan atau penurunan kadar berdasarkan umur luka. Hal tersebut menjadi salah satu keterbatasan penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar MCP-1 antara masing-masing kelompok perlakuan dan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar MCP-1 masing-masing kelompok dengan umur luka. Penentuan umur luka dengan menganalisis kadar MCP-1 sebagai marker pada mencit belum dapat diaplikasikan karena banyaknya faktor-faktor yang dapat meningkatkan kadar MCP-1 dan sulit dikendalikan. Untuk penentuan umur luka secara lebih akurat masih perlu dilakukan pemeriksaan marker lain seperti beberapa jenis sitokin yang berperan pada proses peradangan.
DAFTAR PUSTAKA Atmadja DS. (2004). Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, 23 Juni. Bhargava P, Lee C, (2012). Role and function of macrophages in the metabolic syndrome, Biochem. J. 442, 253–262 Charo IF, Taubman MB, (2004). Chemokines in the Pathogenesis of Vascular Disease, Circ. Res. 95 ; 858 – 66 Conti I, Rollins BJ. (2004), CCL2 (monocyte chemoattractant protein-1) and cancer. Semin Cancer Biol ;14:149–154 Daly C, Rollins BJ.( 2003). Monocyte chemoattractant protein-1 (CCL2) in inflammatory disease and adaptive immunity: therapeutic opportunities and controversies. Microcirculation. 10 : 247 - 57. Deshmane S, Kremlev S, Amini S, Sawaya BE, (2009). Monocyte Chemoattractant Protein 1 (MCP-1): An Overview, J Interferon Cytokine Res. 29(6): 313–326. Ishida Y, Tatsunori T, Eisenmenger W, Kondo T. (2009). Detection of Fibrocytes in human skin wounds and its application for wound age determination. Int J Legal Med.;123:299-304 Kindt, Goldsby, Osborne. (2006). Leukocyte Migration and Inflamation. Kuby, Imunology International edition. 6 ed: W.H Freeman .p. 339-46. Kondo TO, R. Mori, D.W.Guan, K.Ohshima, W. Eisenmenger. (2002). Immunohistochemical detection of chemokines in human skin wounds and its application to wound age determination. Int J Legal Med. 116 : 87 - 91. Kumar V, Fausto N, Aster JC. (2010). Acute and Chronic Inflamation. In: Vinay Kumar AKA, Nelson Fausto, Jon C Aster, editor. Robbin's and Cotran; Pathologic Basic of Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 43-77. Lawrence, G.S. (2011). Multiple Cause of Damage (MCOD) Dasar Pembuatan Visum et Repertum Korban Hidup. Pertemuan Ilmiah Berkala ke-17, FK-UNHAS, Makassar, Januari. Murphy HS. (2009). Inflamation. In: Rubin ER, Howard M, editor. Essentials of Rubin's Pathology 5ed: Lippincott William's & Wilkins .p.69-99 Murdoch C, Adam F, (2000). Chemokine reseptors and their role in inflamation and infectious diseases. The American Society of Hematology. 95 : 3034-43. Rantapaa-DS, Boman K, Tarkowski A, Hallmans G. (2007), Up regulation of monocyte chemoattractant protein-1 expression in anti-citrulline antibody and immunoglobulin M rheumatoid factor positive subjects precedes onset of inflammatory response and development of overt rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis, 66:121–123 Silbernagl S. Inflamation. In: Stefan Silbernagl FL, (2000). editor. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart · New York: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. p. 48-51. Shkrum J, Michael D, Ramsay A. (2007). Blunt Trauma. in : Forensic Pathology of Trauma. New Jersey : Humana Press. p.414 Takamiya M, Fujita S, Saigusa K, Aoki Y. (2008). Simultaneous detection of eight cytokines in human dermal wounds with a multiplex bead-based immunoassay for wound age estimation. Int J Legal Med. 122 : 143 - 8.
Tabel 1. Hasil pengukuran kadar MCP-1 pada masing-masing kelompok
KELOMPOK
Rerata
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
59.79
44.21
44.21
55.09
95.94
49.58
101.2
56.96
76.39
122.9
78.4
63.61
62.65
89.66
183.9
530.6
92.79
270.6
78.4
44.21
63.61
145.2
73.39
84.5
222.9
320.9
73.39
105.5
141.8
78.4
70.42
78.4
157.6
78.4
29.04
117.53
160.6
82.96
141.1
143.3
61.65
77.81
Tabel 2. Hasil Uji ANOVA
Kelompok
Rerata
Median
Std. Deviasi
Minimum
Maximum
1
117,5
141,8
56,49
56,96
183,9
2
160,6
79,39
207,3
44,21
530,6
3
82,96
84,5
28,95
44,21
122,9
4
141,1
78,4
98,39
55,09
270,6
5
143,3
95,94
105,5
63,61
320,9
6
61,65
62,65
14,74
44,21
78,40
7
77,81
89,66
31,76
29,04
105,5
T – test Anova One Way Test
df : 8 df : 6
p > 0.05 p = 0.622 (p > 0.05)
Tabel 3. Hasil Uji Korelasi Pearson
Kelompok
Rerata
Median
Minimum
Maximum
1 (kontrol )
117,5
141,8
56,96
183,9
2 ( 12 jam )
160,6
79,39
44,21
530,6
3 ( 24 jam )
82,96
84,5
44,21
122,9
4 ( 36 jam )
141,1
78,4
55,09
270,6
5 ( 48 jam )
143,3
95,94
63,61
320,9
6 ( 60 jam )
61,65
62,65
44,21
78,40
7 ( 72 jam )
77,81
89,66
29,04
105,5
Pearson Correlation Test
p = 0.270 (p>0.05)