BAB V PENUTUP
Dalam pandangan konstruktivisme, kebijakan diplomasi fatwa antinuklir sebagai senjata pemusnah massal adalah hasil proses dialektis antara kondisi sentimen anti-Islam pasca 11 September, idealisme dan cita-cita Iran sebagai negara Islam yang mandiri, dan juga sosok Khamenei sebagai Rahbar yang memiliki otoritas tertinggi dari Republik Islam Iran. Proses dialektika ini memunculkan fatwa sebagai representasi dari identitas keislaman Iran terkait program nuklirnya yang di satu sisi ingin menunjukkan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya (dalam masalah nuklir), dan di sisi lain sebagai puncak kekecewaan Iran terhadap proses negoisasi program nuklir dari Barat yang cenderung mencederai prinsip-prinsip keadilan sebagai nilai utama Republik Islam Iran. Kejadian 11 September yang menumbuhkan sentimen anti-Islam di Barat menjadi pukulan tersendiri bagi Iran. Serangan verbal dari beberapa pemimpin negara di Barat terhadap Islam, juga serangan militer ke Afganistan dan Irak, secara tidak langsung mengancam eksistensi Iran sebagai negara Islam. Apalagi, di saat yang sama Iran sedang melakukan negoisasi program nuklir dengan negara-negara Barat (AS dan Uni Eropa). Hal ini jelas membuat negoisasi tersebut semakin rumit. Rahbar sebagai otoritas tertinggi dalam kebijakan nuklir ini membuat kebijakan mengejutkan. Ia menyatakan fatwa antinuklir sebagai senjata pemusnah massal dalam proses negoisasi di salah satu forum pertemuan IAEA. Ini bukan kali pertama fatwa dijadikan sebagai produk politik. Sepanjang sejarah politik Iran modern, fatwa memiliki peranan sangat penting dan menentukan dalam hampir semua peristiwa besar yang terjadi di Iran. Sosok ulama sebagai individu di balik fatwa seolah mewakili ide-ide intersubjektif masyarakat Iran yang relijius. Fatwa Shirazi pada tahun 1890 dalam memprotes monopoli tembakau Inggris, misalnya, menjadi bukti kuatnya pengaruh fatwa. Fatwa tersebut direspon masyarakat dengan aksi boikot tembakau besar-besaran yang pada akhirnya berhasil menganulir kesempatan Inggris untuk monopoli di negeri itu. Hal yang sama terjadi dalam peristiwa-peristiwa besar berikutnya: fatwa berhasil mendorong Revolusi Konstitusi (1906-1911), pemberontakan terhadap shah Muhammad Ali (dinasti Qajar), protes 73
besar-besaran dan berdarah tahun 1963, dan terakhir adalah keberhasilan fatwa ulama dalam mendorong revolusi Islam tahun 1979. Pasca Revolusi Islam, dalam sistem pemerintahan baru yang diberi nama Wilayat alFaqih, konsep fatwa yang memiliki pengaruh besar dalam panggung sejarah politik Iran tidak hanya diperkuat, namun dimasukkan ke dalam sistem politik. Ini berarti fatwa tidak hanya berimplikasi relijius, tapi juga politis. Fatwa Khomeini terhadap Salman Rusydi, misalnya, menjadi contoh terbaik bagaimana fatwa tetap memiliki pengaruh sangat kuat tidak hanya di masyarakat Iran, tetapi juga dunia internasional. Terputusnya hubungan diplomatik IranInggris setelah fatwa tersebut menjadi bukti bagaimana fatwa dipercaya memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Fatwa memiliki kekuatan ‘mamaksa’ dalam penerapannya, karena ia adalah otoritas tertinggi yang tercantum dalam undang-undang Iran. Hal ini terbukti, misalnya, ketika fatwa Khamenei berhasil menggagalkan parlemen yang akan mengamandemen undang-undang pers pada 6 Agustus 2000. Ia menulis surat kepada parlemen “Perubahan Undang-Undang Pers sebagaimana yang direncanakan oleh komisi (parlemen) tidak legal dan tidak layak bagi kemaslahatan sistem dan negara.” Fatwa ini menimbulkan kegaduhan di parlemen. Juru bicara Parlemen yang membacakan surat tersebut, Mehdi Karoubi, menyatakan bahwa inilah negara bersistem wilayatul faqih yang dulu dibentuk oleh rakyat Iran (tahun 1979). Artinya, ketika seorang wali faqih (Rahbar) mengeluarkan perintah, perintah itu wajib ditaati. Sidang parlemen yang sedianya akan membahas rancangan amandemen terhadap UU Pers Iran harus dibatalkan.1 Kegaduhan tersebut disiarkan langsung oleh stasiun televisi dan ditonton oleh jutaan rakyat Iran. Tidak lama setelah itu, rakyat Iran melakukan demonstrasi besar di berbagai kota untuk menyatakan dukungan terhadap Rahbar dan mengecam anggota parlemen yang menunjukkan sikap pembangkangan.2 Inilah bukti dari kuatnya otoritas Rahbar, fatwanya bersifat final. Kejadian ini juga memperlihatkan besarnya ketaatan rakyat Iran pada Rahbar. Siapa pun yang menghinakan Rahbar, ia harus menanggung akibatnya. Inilah fatwa, otoritasnya bahkan melampaui kapasitas individu pemilik hak suara atasnya. Fatwa menjadi identitas tak terpisahkan dari Iran. Fatwa menjadi motor penggerak, 1
D.Y. Sulaeman, ‘Sistem Demokrasi ala Iran: Demokrasi Tangan Tuhan,’ Kajian Timur Tengah dan Studi Hubungan Internasional (daring), 1 November 2013,
, diakses 18 Agustus 2014 2 Sulaeman, ‘Sistem Demokrasi ala Iran: Demokrasi Tangan Tuhan.’
74
senjata perubahan, sekaligus cerminan idealisme Republik Islam Iran yang telah terbangun lama. Oleh karena itu, munculnya kutipan fatwa nuklir Rahbar dalam diplomasi nuklir Iran menjadi hal yang tidak mengherankan mengingat besarnya pengaruh fatwa dalam sejarah politik Iran. Dinamika negoisasi nuklir yang alot, khususnya yang dilakukan Iran dengan nengara-negara Uni Eropa dan IAEA, mengilhami kemunculan fatwa yang dianggap sebagai otoritas tertinggi Republik Islam Iran sebagai media diplomasi. Fatwa menjadi bukti komitmen Iran untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Iran merasa bahwa dengan adanya komitmen ini, ia sebagai anggota NPT berhak secara legal melanjutkan program nuklir damainya sebagaimana negara-negara anggota lain. Penolakan Iran terhadap tawaran tiga negara Uni Eropa (Inggris, Jerman, Perancis) yang akan membantu program nuklir Iran jika bersedia menghentikan aktifitas pengayaan dan daur ulang tidak berarti bahwa Iran menolak bekerja sama dengan mereka. Dari pengalaman terdahulu, Iran sadar bahwa harus ada kemandirian dalam penguasaan energi semacam ini. Ketergantungan terhadap negara lain berpotensi menuai kegagalan jika terjadi perpecahan atau perbedaan ide antara pihak-pihak yang terlibat. Ini bisa mengulangi runtuhnya program nuklir Iran sesaat setelah Revolusi Islam berlangsung. Komitmen Iran dalam masalah nuklir adalah bentuk dari idealisme dan cita-citanya sebagai negara Islam yang mandiri. Hal ini bisa dilihat dari pertimbangan-pertimbangan pembangunan energi Iran. Menurut para pemimpin Iran, penguasaan teknologi ini sangat penting untuk meraih kejayaan dan kemandirian di masa depan. Misalnya saja, jika Iran berhasil memanfaatkan teknologi nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik, maka Iran akan dapat membangun pembangkit listrik tenaga nuklir yang jauh lebih murah dan sangat efektif. Dengan begitu, anggaran subsidi untuk konsumsi listrik nasional yang terus bertambah setiap tahunnya dapat dikurangi secara drastis. Itu artinya, untuk jangka panjang Iran akan sangat dimungkinkan menjadi negara yang mandiri hampir di semua bidang. Belum lagi jika energi nuklir dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi mutakhir, seperti dalam bidang pertanian, kedokteran, dan industri. Idealisme jelas menjadi visi Khamenei sebagai Rahbar Iran. Dalam tekanan sentimen anti-Islam di Barat, visi Iran menjadi negara yang mandiri tentu harus selalu ditegakkan. Idealisme ini menjadi benteng pertahanan dalam menjunjung tinggi identitas keislaman Iran. Dalam kebijakan untuk memuat fatwa sebagai media diplomasi nuklir Iran, siapa pun 75
inisiatornya, pasti melalui persetujuan Khamenei sebagai Rahbar. Khamenei sebagai representasi dari masyarakat dan sistem politik Iran yang relijius dapat dipastikan merujuk kepada identitas keislaman Iran dalam setiap pengambilan kebijakan. Identitas keislaman pada akhirnya mempengaruhi munculnya empat nilai dasar Republik Islam, yaitu keadilan, komitmen keislaman, kemerdekaan, dan keadilan. Nilai-nilai ini sangat mengakar dalam diri Khamenei dalam merumuskan kebijakan, dan kemudian terefleksikan dalam kepentingan-kepentingan nasional Republik Islam Iran, termasuk dalam kebijakan nuklir. Dalam mempertahankan kebijakan nuklir damai, penegakan nilai keadilan menjadi hal yang tak bisa ditawar. Bagi Khamenei, kebijakan-kebijakan Iran adalah untuk menegakkan keadilan, bukan meraih kepentingan-kepentingan materil semata. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Iran begitu kuat mempertahankan program nuklir damainya, meskipun ada banyak tekanan khususnya dari AS yang kemudian diamini oleh negara-negara Uni Eropa. Tekanan ini bagi Iran adalah penistaan terhadap keadilan, di mana setiap negara berhak untuk mengembangkan program nuklir untuk kepentingan sipil. Apalagi, Iran adalah salah satu negara anggota NPT, yang memiliki hak sama dengan negara-negara anggota lain. Di samping sebagai penegakan keadilan, program nuklir damai Iran adalah bentuk dari komitmen keislaman Iran. Hal ini tidak aneh, sebab Iran bukan hanya negara dengan embelembel Islam, namun juga menerapkannya dalam sistem politik yang Islami. Dengan demikian, dapat dipahami bila sentimen anti-Islam pasca 11 September sungguh sangat melukai perasaan Iran. Bagi Iran, anggapan bahwa Islam identik dengan terorisme dan kekerasan adalah anggapan yang mengada-ada. Iran yang menjunjung tinggi nilai keislaman membuktikan diri dengan program nuklir damainya, dan sama sekali tidak akan mengembangkan program itu untuk persenjataan. Hal ini karena pembuatan dan penggunaan senjata semacam ini dilarang dalam agama Islam. Komitmen ini juga selaras dengan nilai kemerdekaan yang dianut oleh Republik Islam Iran. Kemerdekaan adalah kebebasan ekspresi yang tentunya tidak mengganggu dan mencederai hak-hak negara lain. Pembangunan program nuklir damai adalah hak dan kebebasan setiap negara mengingat, sumber energi ini memiliki prospek yang sangat cerah di masa depan. Selain ramah lingkungan, energi ini juga termasuk kategori energi terbarukan. Kecurigaan-kecuringaan dan tekanan-tekanan terhadap program ini dapat merongrong kedaulatan dan kemerdekaan negara. Kemerdekaan pada akhirnya juga terkait dengan nilai 76
kemandirian. Pandangan Khamenei tentang nilai ini cukup memberi bukti komitmen Iran dalam membangun kemandirian bangsa. Ia berpandangan bahwa terbangunnya kemandirian bangsa adalah cukup untuk membawa kepada independensi sektor ekonomi, yang akan mempengaruhi independensi di bidang politik.3 Ancaman AS terkait program nuklir Iran, permintaan Uni Eropa untuk menghentikan program ini dengan iming-iming garansi pasokan bahan bakar, dan inspeksi massif dari IAEA, tidak mengendurkan posisi Iran. Dengan memegang teguh nilai kemandirian, Iran tidak takut terhadap ancaman AS dan menolak tegas tawaran Uni Eropa karena pengalaman di masa lalu. Namun demikian, Iran membuka seluasluasnya inspeksi IAEA dan negoisasi lanjutan dengan negara mana pun ketika itu tidak mencederai prinsip kemandirian Iran. Keempat nilai yang mencerminkan identitas Iran di atas menimbulkan keyakinan pemerintah Iran, atas nama negara Islam, menjadikan fatwa (yang merupakan konsep Islam) sebagai media diplomasi dan sebagai bukti keseriusan Iran dalam program nuklir damainya. Fatwa itu juga dapat dinilai sebagai komitmen Iran untuk tidak mengembangkan nuklir untuk persenjataan, bukan hanya karena taat aturan yang berlaku di NPT dan perjanjian nuklir lainnya, tetapi lebih mendasar, yaitu karena senjata nuklir dilarang dan diharamkan dalam Islam. Sebagai negara yang menjadikan Islam sebagai pondasinya, Iran pasti patuh dan taat dengan aturan Islam. Sekali lagi, ini adalah sebuah penegasan dari pemerintah Iran bahwa fatwa antinuklir sebagai senjata pemusnah massal ini adalah cerminan dari Iran yang Islam, yang dengan jelas melarang nuklir untuk persenjataan. Ini sekaligus adalah upaya pemerintah Iran dalam membentuk dan membangun opini masyakarat internasional tentang identitas politik Iran. Konsistensi dan kegigihan pemerintah Iran dalam mempertahankan keyakinan atas hak program nuklir damai menjadi pelajaran penting dari tesis ini. Pembangunan identitas bangsa tidak bisa dilakukan dalam waktu sebentar. Ia tidak hanya dibangun, tetapi juga perlu dijaga agar tidak melenceng dari jalur yang benar. Hal ini patut ditiru oleh Indonesia, negara dengan beragam karakter dari berbagai suku dan budaya, untuk mempertahankan identitas nasionalnya. Identitas itu penting tidak hanya dalam politik dalam negeri, tetapi juga menjadi cerminan dari karakter bangsa dalam penentuan kebijakan luar negeri. Iran telah
3
Sadjadpour, p. 11.
77
memperlihatkan bahwa upaya mempertahankan keyakinan dan identitas di tengah-tengah tekanan internasional yang begitu dahsyat telah berdampak pada terus melajunya program nuklir damai Iran hingga kini.
78