HUBUNGAN ASUPAN SERAT MAKANAN DAN AIR DENGAN POLA DEFEKASI ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA BOGOR
ELYZZABETH MAYORGA AMBARITA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan Asupan Serat Makanan dan Air dengan Pola Defekasi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014 Elyzzabeth Mayorga Ambarita
NIM I14090003
ABSTRAK ELYZZABETH MAYORGA AMBARITA. Hubungan Asupan Serat Makanan dan Air dengan Pola Defekasi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara asupan serat makanan dan air dengan pola defekasi pada anak sekolah dasar. Sebanyak 527 siswa SD dengan kisaran usia 9−13 tahun diambil sebagai contoh. Berdasarkan indeks IMT/U dan TB/U status gizi contoh sebagian besar normal. Rata-rata asupan serat contoh 12.4 g/hari; rata-rata asupan air contoh 1086 ml/hari. Frekuensi BAB contoh 6 kali/minggu dengan mayoritas konsistensi feses menurut Bristol Stool Chart termasuk kategori normal (tipe 3 dan 4). Sebanyak 8.5% contoh memiliki konsistensi feses keras (tipe 1 dan 2 ) dan 8.3% contoh memiliki konsistensi feses lunak/cair (tipe 5−7). Sebanyak 22.2% contoh mengalami nyeri ketika buang air besar dan 18.0% contoh mengeluh sulit buang air besar (konstipasi). Terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara asupan serat dengan frekuensi BAB dan konsistensi feses, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara asupan serat dengan keluhan nyeri ketika BAB dan keluhan konstipasi, asupan air dengan frekuensi BAB, konsistensi feses, rasa nyeri ketika BAB dan keluhan konstipasi (p>0.05). Kata kunci: asupan air, asupan serat, frekuensi BAB, konstipasi, pola defekasi. ABSTRACT ELYZZABETH MAYORGA AMBARITA. Association of dietary fiber and water intake with defecation pattern among elementary school students in Bogor City. Supervised by SITI MADANIJAH. The study aimed to analyze corelation between dietary fiber and water intake with defecation pattern among elementary school students. The number of samples in this research as much as 527 students with a range of ages 9−13 years old. The average dietary fiber intake as much as 12.4 g/d. The average water intake as much as 1086 ml. The average frequency of bowel movements as much as 6 times/week with the consistency of the stool according to Bristol Stools Chart categories include into normal (type 3 and 4). There were 8.5% subject had hard stools (type 1 and 2) and 8.3% subject had watery stools (type 5−7). There were 22.2% of subject who experience pain when defecating and as much as 18.0% of subject complained of difficult bowel movements. Based on BMI/A and H/A index, sample had normal nutritional status. Based on correlation test, there was a significant correlation between fiber intake with stool frequency and consistency of stool (p<0.05). However, there was no significant correlation between fiber intake with painfulness when defecate, water intake with stool frequency, consistency of stool and painfulness when defecate,fiber and water intake with constipation (p>0.05). Keywords: constipation, defecation pattern, fiber intake, stool frequency, water intake.
HUBUNGAN ASUPAN SERAT MAKANAN DAN AIR DENGAN POLA DEFEKASI ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA BOGOR
ELYZZABETH MAYORGA AMBARITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Hubungan Asupan Serat Makanan dan Air dengan Pola Defekasi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor Nama : Elyzzabeth Mayorga Ambarita NIM : I14090003
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Hubungan Asupan Serat Makanan dan Air dengan Pola Defekasi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan arahan, saran, dan motivasi kepada penulis sejak awal penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini. 2. dr. Naufal Muharam Nurdin selaku pemandu seminar dan penguji yang telah banyak memberikan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Tim penelitian BOPTN−Lintas Fakultas/Departemen/Pusat/Advanced Research dengan koordinasi Southeast Asian Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB yang telah memberikan kesempatan untuk bergabung dalam kegiatan penelitian. 4. Orang tua, kak Ellien, bang Victor Manulang, kak Frisca, Rabecca, dan keluarga besar yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, motivasi, dan dukungan baik moril maupun materi selama masa pendidikan. 5. Teman-teman sesama tim penelitian Uthu, Dian serta sahabat dan teman terdekat Evi, Lativa, Weny, Nisa, Sarah, Debora, Velyn, Sefri, Lisa, Ika, Hanum, Tania, Fera, Anggar, Suty, Ayu, Erwin, Diego, Onald, Tami, Nabil, Etong, Irul, Kak Ai, Yuyun,Icha dan adik-adik Wisma Jenius atas semua saran, motivasi, bantuan, dan dukungannya selama ini. 6. Teman-teman Gizi 46 atas kebersamaannya selama ini, semangat, motivasi, saran dan juga bantuan baik dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas segala doa, dukungan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis dengan terbuka menerima saran dan kritik yang membangun berkaitan dengan penulisa skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Bogor, Maret 2014 Elyzzabeth Mayorga Ambarita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
5
Desain, Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
5
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Karakteristik Contoh
11
Karakteristik Keluarga Contoh
12
Status Gizi Contoh
14
Asupan Energi dan Zat Gizi
16
Asupan Serat
20
Asupan Air
20
Pola Defekasi
21
Hubungan antar Variabel
24
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
29
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Jenis variabel dan cara pengumpulan data Kategori status gizi berdasarkan indeks IMT/U dan TB/U Sebaran contoh berdasarkan kelas dan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan uang saku dan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan keluarga Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua Sebaran contoh berdasarkan status gizi indeks IMT/U dan TB/U Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan energi contoh Sebaran contoh berdasarkan TKE dan jenis kelamin Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan protein contoh Sebaran contoh berdasarkan TKP dan jenis kelamin Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan lemak contoh Sebaran contoh berdasarkan TKL dan jenis kelamin Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan karbohidrat contoh Sebaran contoh berdasarkan TKKh dan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan serat Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan air contoh Sebaran contoh berdasarkan tingkat pemenuhan air minum Sebaran contoh berdasarkan frekuensi BAB per minggu Sebaran contoh berdasarkan konsistensi feses Sebaran contoh berdasarkan Nyeri ketika BAB Sebaran contoh berdasarkan keluhan konstipasi 1 bulan terakhir Sebaran contoh berdasarkan asupan serat dan pola defekasi Sebaran contoh berdasarkan asupan air dan pola defekasi Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) dan pola defekasi
6 9 11 11 12 12 13 13 14 15 16 16 17 17 18 18 19 19 20 21 21 22 23 23 24 25 26 28
DAFTAR GAMBAR 1 2
Kerangka pemikiran mengenai asupan serat makanan dan air serta pola defekasi anak sekolah dasar Bristol stool chart
4 9
PENDAHULUAN Latar belakang Anak sekolah dasar merupakan kelompok usia yang rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Salah satu masalah yang sering dihadapi anak usia sekolah dasar yaitu pergeseran pola makan yang cenderung mengonsumsi makanan tinggi energi dan rendah serat. Berbagai penelitian melaporkan bahwa ada hubungan antara kurangnya asupan serat makanan dengan pola defekasi. Hal ini mendorong konsumsi serat makanan menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi karena serat dapat membantu memelihara kesehatan terutama sistem pencernaan dan mencegah atau mengontrol kejadian penyakit (Sulistijani 2002). Sejauh ini penelitian tentang konsumsi serat Indonesia masih sangat terbatas. Rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia secara umum yaitu 10.5 gram/orang/hari (Depkes 2001). Nilai ini hanya mencapai setengah dari kecukupan serat yang dianjurkan. Kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi untuk orang dewasa usia 19−29 tahun adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan. Data rata-rata konsumsi serat untuk anak di Indonesia belum ada. Kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk anak-anak berusia 9-13 tahun adalah 26–35 g/hari (WNPG 2012). Serat makanan adalah zat non gizi yang tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk dalam sirkulasi darah. Serat akan dilewatkan menuju usus besar (kolon) dengan gerakan peristaltik usus (Sulistijani 2002). Serat makanan memiliki kemampuan mengikat air di dalam kolon membuat volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan demikian feses lebih mudah dieliminir. Pengaruh nyata yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume feses, melunakkan konsistensi feses dan memperpendek waktu transit di usus (Kusharto 2006). Tensiska (2008) juga mengemukakan konsumsi serat pangan yang cukup, akan memberi bentuk, meningkatkan air dalam feses, menghasilkan feses yang lembut dan tidak keras sehingga hanya dengan kontraksi otot yang rendah feses dapat dikeluarkan dengan lancar. Hal ini berdampak pada fungsi gastrointestinal lebih baik dan sehat. Oleh karena itu penelitian tentang konsumsi serat pada anak menjadi sangat penting. Selain serat, faktor lain yang dapat memperlancar proses defekasi adalah asupan air. Air merupakan zat yang vital dalam memelihara hidup dan sangat dibutuhkan oleh manusia. Air memiliki banyak fungsi. Salah satu fungsi air adalah media eliminasi sisa metabolisme. Tubuh menghasilkan berbagai sisa metabolisme yang tidak diperlukan termasuk toksin. Berbagai sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui saluran kemih, saluran nafas, kulit dan saluran cerna yang memerlukan media air ( Santoso et al. 2011). Di Indonesia, hasil penelitian The Indonesian Regional Hydration Study (THIRST) (2009) menunjukkan sebanyak 46,1% dari 1.200 contoh remaja dan dewasa di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, mengalami dehidrasi ringan (Santoso et al. 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kant dan Graubard (2010) menggunakan data National Health and Nutrition Examination
2 Surveys (NHANES) tahun 2005−2010, menunjukkan bahwa rata-rata asupan air pada anak di United States lebih rendah daripada kebutuhan tubuhnya. Asupan rata-rata air pada kelompok usia 9−13 tahun sebesar 1.6 L pada perempuan dan sebesar 1.7 L pada laki-laki. Berdasarkan penelitian Linorita 2009 menggunakan Data Riskesdas 2010 menunjukkan rata-rata asupan air minum pada anak Indonesia masih kurang. Rata-rata konsumsi air minum anak usia 10−12 tahun sebesar 905 ml/hari untuk laki-laki dan 887 ml/hari pada perempuan. Proses defekasi dapat berjalan lancar jika kebutuhan air tercukupi. Sanjoaquin et al. 2003 melaporkan terdapat peningkatan jumlah pergerakan usus dengan meningkatkan asupan air. Klauser et al. 1990 meneliti 8 orang sehat yang diberi air 2500 ml selama 1 minggu, kemudian 1 minggu berikutnya hanya diberi air kurang dari 500 ml. Hasil menunjukkan frekuensi buang air besar dan berat feses menurun secara bermakna. Penelitian mengenai asupan air pada anak, pengaruh asupan air dan serat terhadap pola defekasi masih terbatas. Data mengenai pola defekasi juga masih terbatas. Oleh karena itu peneliti ingin melihat asupan serat makanan, air dan pola defekasi serta hubungan antara variabel tersebut pada anak sekolah dasar di Kota Bogor.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan pokokpokok permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik contoh dan keluarga contoh. 2. Bagaimana asupan serat makanan dan asupan air contoh. 3. Bagaimana status gizi contoh. 4. Bagaimana tingkat kecukupan serat dan air contoh. 5. Bagaimana pola defekasi contoh. 6. Bagaimana hubungan antara asupan serat dan air dengan pola defekasi contoh. 7. Bagaimana hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan pola defekasi.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Hubungan Asupan Serat Makanan dan Air dengan Pola Defekasi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor. Adapun tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengindentifikasi karakteristik contoh (usia, kelas, jenis kelamin, uang saku) dan keluarga contoh (besar keluarga, total pendapatan, pekerjaan dan pendidikan orang tua). 2. Menganalisis asupan energi dan zat gizi makro contoh (lemak, protein dan karbohidrat). 3. Menganalisis status gizi contoh. 4. Menganalisis asupan serat dan air contoh. 5. Menganalisis pola defekasi contoh.
3
6. Menganalisis hubungan antara asupan serat dan air dengan pola defekasi. 7. Menganalisis hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan pola defekasi.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang asupan serat makanan dan konsumsi air serta status kesehatan (pola defekasi) anak sekolah dasar di Kota Bogor. Selain itu dapat memberikan informasi tentang zat gizi yang diperlukan oleh anak sekolah serta pentingnya serat makanan bagi anak usia sekolah. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta berguna sebagai tambahan pustaka pada penelitian selanjutnya.
KERANGKA PEMIKIRAN Anak sekolah dasar merupakan kelompok usia yang rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Salah satu masalah yang sering dihadapi anak usia sekolah dasar yaitu pergeseran pola makan yang cenderung mengonsumsi makanan tinggi energi dan rendah serat. Karakteristik individu seperti jenis kelamin dan umur bepengaruh terhadap kecukupan serat dan air. Karakteristik keluarga diantaranya pendidikan orang tua dan pendapatan orang tua akan berpengaruh pada pengetahuan dan sikap seseorang dalam mengonsumsi serat dan air sedangkan besar keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi. Lingkungan sosial yang berada di sekitar individu akan membentuk suatu kebiasaan seseorang untuk mengonsumsi makanan mengandung serat dan minum air. Kebiasaan makan anak-anak cenderung mengarah pada pola konsumsi pada makanan cepat saji. Anak-anak cenderung tidak menyukai makanan seperti buah dan sayur yang banyak mengandung serat. Serat merupakan zat non gizi yang penting untuk mengatasi konstipasi. Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar. Jika konsumsi pangan anak baik, maka tingkat kecukupannya juga semakin baik dan akan mempengaruhi status gizi anak. Penentuan status gizi anak menggunakan metode antropometri IMT/U. IMT/U digunakan sebagai indikator terbaik untuk anak usia sekolah dan remaja. Selain serat, asupan air juga perlu diperhatikan mengingat asupan air anak sekolah masih kurang. Konsumsi air pada penelitian ini meliputi asupan air dari minuman (kemasan atau tidak). Asupan air yang kurang terutama air putih juga dapat menyebabkan proses pencernaan terganggu. Pemenuhan kecukupan akan air dipengaruhi oleh konsumsi air dan kecukupan air. Perhitungan kecukupan air dilakukan dengan membandingkan konsumsi air terhadap kecukupan air pada individu.
4 Asupan serat dan air kemudian dihubungkan dengan pola defekasi meliputi frekuensi buang air besar, konsistensi feses, rasa nyeri ketika buang air besar dan keluhan konstipasi. Kerangka pemikiran penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
Karakteristik sosial ekonomi keluarga 1. Pendidikan orang tua 2. Pekerjaan orang tua 3. Besar keluarga 4. Pendapatan keluarga
Karakteristik contoh 1.1.Umur Umur 2.2.Kelas Kelas 3.3.Jenis Jenis kelamin kelamin 4.4.Besar Besar uang uang saku saku
Konsumsi pangan contoh Konsumsi makanan 1. Jenis bahan pangan 2. Jumlah bahan pangan
Konsumsi air Air minum
Asupan serat
Tingkat pemenuhan - Serat - Air
Pola defekasi : 1. Frekuensi BAB 2. Konsistensi feses 3. Nyeri ketika BAB 4. Keluhan konstipasi
Kebutuhan -Serat -Air
Status gizi - IMT/U - TB/U
Keterangan : = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang dianalisis = hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran mengenai asupan serat makanan dan air serta pola defekasi anak sekolah dasar
5
METODE Desain, Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian BOPTN−Lintas Fakultas/Departemen/Pusat/Advanced Research yang berjudul “Pola Konsumsi Pangan Sumber Serat dan Formulasi Produk Intervensi pada Anak Usia Sekolah”, dengan koordinasi Southeast Asian Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross sectional study. Penelitian dilaksanakan di 20 (dua puluh) sekolah dasar di wilayah perkotaan Bogor, Jawa Barat meliputi 6 (enam) kecamatan yaitu kecamatan Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor Timur Bogor Barat, Bogor Tengah dan Tanah Sereal. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai Februari 2014.
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Populasi penelitian adalah anak laki-laki dan perempuan usia 9−13 tahun yang tinggal di Kota Bogor, sedangkan populasi terjangkau adalah anak-anak yang terdaftar di 20 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di 6 kecamatan di Kota Bogor yang dipilih secara acak menggunakan metode Simple Random Sampling. Jumlah SD di setiap kecamatan ditentukan proporsional berdasarkan jumlah penduduk di kecamatan tersebut terhadap jumlah penduduk kota Bogor, menurut data statistik kota Bogor 2012. Jumlah SD di setiap kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Bogor selatan Kecamatan Bogor timur Kecamatan Bogor utara Kecamatan Bogor tengah Kecamatan Bogor barat Kecamatan Bogor tanah sareal
: 4 SD : 2 SD : 3 SD : 3 SD : 4 SD : 4 SD
Jumlah contoh ditetapkan berdasarkan angka simpangan baku asupan serat pada anak sekolah menurut data NHANES 2003−2006, yakni 12g/hari, dengan ketepatan absolut sebesar 1.5 g/hari. Berikut adalah rumus perhitungan pengambilan contoh :
Keterangan: n Z S d
= Jumlah contoh yang diambil = Deviat baku normal = 1.96 = Simpangan baku asupan serat anak sekolah = 12 = Presisi yang diinginkan = 1.5
6 Berdasarkan rumus perhitungan diatas maka diperoleh n= 246, dibulatkan menjadi 250 untuk setiap kelompok jenis kelamin. Dengan demikian, dari setiap sekolah akan diambil sebanyak 13 contoh perempuan dan 12 contoh laki-laki, dengan total contoh minimal sebanyak 500 anak. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini 527 anak. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik anak (usia, kelas, uang saku), karakteristik keluarga (tingkat pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga), konsumsi pangan, asupan serat dan air, status gizi anak berdasarkan IMT/U dan TB/U, pola defekasi serta data hasil review kandungan serat pangan. Tabel 1 menunjukkan jenis dan cara pengumpulan data. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terstruktur. Data karakteristik dan pola defekasi dikumpulkan melalui wawancara pada ibu contoh dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur. Data konsumsi pangan dan air diukur dengan menggunakan metode food recall 2x24 jam. Data status gizi dikumpulkan dengan pemeriksaan antropometri yang meliputi berat badan dan tinggi badan. Alat ukur timbangan berupa timbangan injak digital sedangkan pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise. Tabel 1 Jenis variabel dan cara pengumpulan data No
Jenis data
1
Karakteristik contoh
2
Karakteristik keluarga
3
Status gizi
4
Asupan serat dan air
Variabel Usia Jenis kelamin Uang saku Besar keluarga Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Total pendapatan Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Jumlah makanan yang dikonsumsi 2x24 jam Jumlah minuman yang dikonsumsi 2x24 jam
Cara pengumpulan Wawancara kepada contoh menggunakan kuisioner terstruktur. Pengisian kuesioner oleh ibu contoh
Penimbangan berat badan menggunakan timbangan injak dan pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise Wawancara kepada contoh menggunakan kuisioner terstruktur.
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap
7 jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu melakukan pengecekan terhadap isian data yang di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner atau isian data yang diluar kewajaran. Karakteristik contoh dan keluarga dianalisis secara deskriptif. Karakteristik anak adalah usia, jenis kelamin, kelas dan uang saku. Jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan perempuan. Usia anak dilihat berdasarkan tanggal lahir dan dikelompokkan menjadi 5 kategori yaitu usia 9 tahun, 10 tahun, 11 tahun, 12 tahun dan 13 tahun. Uang saku anak sekolah dasar diolah dengan mengelompokkannya menjadi 4 kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokkan uang saku anak SD dengan mencari simpangan kuartilnya. Data peubah karakteristik contoh disajikan secara deskriptif yang meliputi kelas dikategorikan menjadi kelas V (lima) dan VI (enam). Data karakteristik keluarga berupa besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga. Menurut BKKBN (2009), data besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, keluarga sedang 5−6 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang. Data pendidikan orang tua dikategorikan menurut jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu tamat SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan Tinggi yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Data pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi tidak bekerja (ibu rumah tangga untuk ibu), PNS/Polisi/ABRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa (penjahit, supir, ojeg, reparasi) dan lainnya. Pendapatan orang tua dihitung berdasarkan total pendapatan per bulan dan dikelompokkan menjadi 5 kategori < Rp 1 juta, Rp 1 juta – Rp 2 juta, Rp 2 juta – Rp 4 juta, Rp 4 juta – Rp 6 juta dan > Rp 6 juta. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT diolah dengan menggunakan Aplikasi Analisis Konsumsi Pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT kemudian dikonversi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi untuk energi, protein, lemak dan karbohidrat. Angka kecukupan zat gizi yang digunakan mengacu pada angka kecukupan gizi yang dianjurkan menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2012. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah : KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan : KGij Bj Gij BDDj
= Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi = Berat bahan makanan j (gram) = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j = Persen bahan makanan j yang dapat dimakan
8 Pengukuran tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat merupakan tahap lanjutan dari penghitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual siswa dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2012. Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut: TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan Untuk menentukan AKG individu dapat dilakukan dengan melakukan koreksi terhadap berat badan, dengan rumus: AKG Aktual =
x AKG
Tingkat konsumsi energi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: defisiensi tingkat berat (<70% AKG), defisiensi tingkat sedang (70−90% AKG), dan defisiensi tingkat ringan (80−89% AKG), cukup (90−119% AKG) dan lebih ≥120% AKG) (Depkes RI 1996). Intik “serat” dihitung berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari sumber review seperti penuntun diet, USDA National Nutrient Database for Standard Reference, dan DKBM Singapure. Data asupan serat contoh dibandingkan dengan kebutuhan serat orang dewasa dan dilakukan penggolongan tingkat konsumsi serat berdasarkan anjuran asupan serat per hari yaitu 20−30 gram/hari dengan kategori kurang (<19 g/hari), cukup (19−30 g/hari), dan lebih (> 30 g/hari). Data konsumsi air pada penelitian ini diperoleh dari minuman. Perhitungan air dari minuman diperoleh berdasarkan data recall 2x24 jam dan dihitung dalam ml. Penggolongan tingkat pemenuhan air minum dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu kurang minum (<2 000 ml) dan cukup minum ( ≥2 000 ml). Pengelompokan kategori didapat berdasarkan angka kecukupan air anak usia 9−13 tahun. Data pola defekasi diperoleh menggunakan kuesioner yang diberikan kepada ibu contoh. Setelah kusioner diberikan, enumerator wajib untuk menanyakan lagi kepada contoh agar jawaban yang diberikan lebih valid. Pola defekasi yang ditanyakan kepada contoh meliputi frekuensi BAB, konsistensi feses dengan memilih jawaban tipe feses yang tersedia pada Bristol Stool Chart, rasa nyeri ketika BAB dengan jawaban ya atau tidak dan frekuensinya, dan keluhan konstipasi dengan jawaban ya atau tidak. Frekuensi BAB dikategorikan menjadi 2 yaitu <3 kali/minggu dan ≥3 kali/minggu, konsistensi feses dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu konsistensi feses keras (tipe 1 dan 2), konsistensi feses normal (tipe 3 dan 4), konsistensi feses lunak atau cair (tipe 5−tipe 7) (Gambar 2). Keluhan konstipasi diperoleh dengan cara menanyakan pandangan subjektif contoh terhadap kebiasaan buang air besar dikelompokkan
9 menjadi 2 kategori yaitu konstipasi (sulit buang air besar) dan tidak konstipasi. Bristol Stool Chart disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Bristol stool chart Data jenis kelamin dan umur contoh diperoleh melalui wawancara langsung kepada contoh. Status gizi contoh dihitung berdasarkan data umur dan ukuran antropometri (BB dan TB) dengan menggunakan parameter indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) dan parameter tinggi badan menurut umur (TB/U), dengan menggunakan software WHO anthroplus 2007. Berikut adalah batasan zskor untuk klasifikasi status gizi berdasarkan kedua indeks tersebut (Tabel 2). Tabel 2 Kategori status gizi berdasarkan indeks IMT/U dan TB/U Indeks
IMT/U
TB/U
Variabel Z-skor < -3 -3 ≤ z-skor < -2 -2 ≤ z-skor ≤ +1 +1 < z-skor ≤ +2 Z-skor > +2 Z-skor < -3 -3 ≤ z-skor < -2 -2 ≤ z-skor ≤ +2 Z-skor > +2
Kategori Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obese Sangat pendek Pendek Normal Tinggi
Sumber: WHO (2007)
Data diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferesia dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Hubungan uji beda dianalisis menggunakan Independent Sampel t-test dan Mann-Whitney dan hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi rank Spearman dan Chi-square. Analisis statistik yang dilakukan adalah menguji beda antara dua kelompok yaitu laki-laki dan perempuan, dengan menggunakan uji beda t-test dan MannWhitney. Uji beda dilakukan pada variabel uang saku, asupan energi dan zat gizi, asupan air serta asupan serat. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk menguji hubungan antara asupan serat dengan pola defekasi contoh (frekuensi BAB, rasa nyeri ketika BAB, dan keluhan konstipasi), hubungan asupan air dengan pola defekasi contoh (frekuensi BAB, konsistensi feses, rasa nyeri ketika BAB, dan
10 keluhan konstipasi), status gizi IMT/U dengan pola defekasi (frekuensi BAB, konsistensi feses, rasa nyeri ketika BAB, dan keluhan konstipasi) . Uji korelasi Chi-square dilakukan untuk menguji hubungan antara asupan serat dengan konsistensi feses. Semua analisis statistik menggunakan program SPSS vs 16.
Definisi Operasional Contoh adalah anak kelas 5 dan 6 SD berusia 10 − 13 tahun yang diambil secara acak distratifikasi berdasarkan jenis kelamin dan kelas dari sekolah yang ditetapkan berdasarkan kriteria penelitian yang dilakukan oleh SEAFAST. Karakteristik contoh adalah berbagai ciri yang membedakan individu satu dengan individu yang lainnya mencakup jenis kelamin, umur, berat badan dan tinggi badan yang dikumpulkan melalui kuisioner. Karakteristik keluarga adalah kondisi keluarga yang mencakup besar keluarga, pendapatan, pekerjaan dan pendidikan orang tua. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Besar keluarga dikategorikan sebagai keluarga besar, sedang, dan kecil. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh ayah dan ibu contoh. Pendapatan orang tua adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan ayah dan ibu dalam satu bulan yang dinilai dalam bentuk uang. Konsumsi pangan adalah berbagai jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari dengan metode food recall 2x24. Asupan zat gizi adalah kandungan energi, protein, lemak dan karbohidrat terdapat dalam makanan yang diukur dengan food recall 2x24 jam. Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein diklasifikasikan menjadi kurang (<90%) dan baik (>90%). Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang diukur secara antropometri dan ditentukan berdasarkan IMT/U dan TB/U. Asupan serat adalah asupan serat yang dikonsumsi oleh contoh dari makanan dan minuman dalam satuan gram sehari. Kebutuhan air adalah jumlah air yang dibutuhkan oleh tubuh setelah dikoreksi kebutuhan air contoh. Asupan air adalah jumlah air yang masuk ke dalam tubuh contoh yang diperoleh dari minuman. Air minum adalah air yang diperoleh dari minuman yang memberikan kontribusi asupan air bagi contoh. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Zat Gizi adalah nilai yang menunjukkan pemenuhan asupan zat gizi terhadap kebutuhan zat gizi sampel. Defekasi atau buang air besar adalah proses pengeluaran atau pengosongan usus dari zat/sisa makanan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Konstipasi adalah perubahan frekuensi buang air besar yang lebih jarang dan konsistensi feses yang lebih keras dari sebelumnya
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Contoh dalam penelitian ini merupakan siswa kelas V dan VI SD dari 20 SDN terpilih yang terletak pada 6 kecamatan di Kota Bogor. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah contoh sebanding baik kelas V maupun kelas VI dengan persentase masing-masing 50.1% dan 49.9%. Jumlah contoh berdasarkan jenis kelamin juga relatif sama seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan kelas dan jenis kelamin Variabel Kelas Lima Enam Total
Laki-laki n % 133 130 263
50.6 49.4 100
Perempuan n % 131 133 264
49.6 50.4 100
Total n
%
264 263 527
50.1 49.9 100
Hurlock (2004) membedakan periodisasi masa anak berdasarkan perkembangan psikologis menjadi 3 kategori, yaitu early childhood (2−6 tahun), late childhood (6−12 tahun), dan remaja awal (13−14 tahun). Usia 9−12 tahun termasuk dalam masa kanak-kanak kedua atau masa sekolah. Berdasarkan pengelompokan usia pada Tabel 4, median usia contoh yaitu 11 tahun. Sebagian besar contoh pada umumnya termasuk dalam kategori anak-anak dengan persentase 98.1% dan sisanya tergolong usia remaja awal sebanyak 1.9%. Sebagian besar anak termasuk dalam kategori anak berusia 11 tahun dan 10 tahun dengan persentase sebesar 49.5% dan 32.8%. Hanya sebagian kecil contoh yang berusia 9 dan 13 tahun yaitu 1.9%. Sebaran contoh berdasarkan usia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia (tahun) 9 10 11 12 13 Total Median (min;max) Rata-rata±SD
Laki-laki n % 4 1.5 78 29.6 129 49.1 44 16.7 8 3.1 263 100 11(9;13) 10.9±0.8
Perempuan n % 6 2.3 95 36.0 132 50.0 29 10.9 2 0.8 264 100 11(9;13) 10.7±0.7
Total n % 10 1.9 173 32.8 261 49.5 73 13.9 10 1.9 527 100 11(9;13) 10.8±0.8
Jumlah uang saku tergantung pada jumlah pendapatan orang tua. Oleh karena itu, uang saku pada siswa dapat dikatakan sebagai representasi atas pendapatan orang tua dalam keluarga dan tinggi atau rendahnya kecukupan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Uang saku pada anak sekolah dapat
12 digunakan untuk mengukur status sosial keluarga. Semakin besar uang saku yang diterima oleh anak maka semakin besar pendapatan keluarga (Slamet 2009). Hasil analisis menunjukkan uang saku contoh berkisar Rp 0−Rp 30 000. Berdasarkan Tabel 5 sebagian besar uang saku contoh berada pada kisaran Rp 4 000–Rp 7 000 yaitu sebanyak 45.5% dengan persentase contoh perempuan (46.2%) dan laki-laki (44.9%) relatif sama. Hasil uji beda Mann-Whitney juga membuktikan tidak terdapat perbedaan signifikan antara uang saku contoh laki-laki maupun perempuan (p=0.607). Berikut sebaran contoh berdasarkan uang saku disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan uang saku dan jenis kelamin Laki-laki
Uang saku (Rp/hari)
Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
Rendah ( 0−4 000 ) Sedang (4 000−7 000) Tinggi (7 000−10 000) Sangat tinggi (>10 000 )
85 118 13 47
32.3 44.9 4.9 17.9
77 122 14 51
29.2 46.2 5.3 19.3
162 240 27 98
30.7 45.5 5.1 18.6
Total
263
100
264
100
527
100
Median (min;max)
5 000 (0;28 000)
5 000 (1 000;30 000) 5 000 (0;30 000)
Karakteristik Keluarga Contoh Tingkat Pendidikan Orang tua Pendidikan orang tua dibedakan menjadi pendidikan ayah dan ibu. Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang/strata pendidikan formal yang ditempuh. Tingkat pendidikan orang tua disajikan pada Tabel 7 sebagai berikut. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Pendidikan Terakhir Tidak sekolah SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan Tinggi Total
Ayah n 12 92 84 226 113 527
Ibu % 2.3 17.5 15.9 42.9 21.4 100
n 4 135 111 187 90 527
% 0.8 25.6 21.1 35.5 17.1 100
Berdasarkan Tabel 7 sebagian besar pendidikan ayah contoh tergolong tinggi. Sebagian besar pendidikan ayah contoh (42.9%) adalah tamat SMA/sederajat. Demikian hal nya dengan pendidikan ibu sebagian besar merupakan tamat SMA/sederajat dengan persentase 35.5%. Pendidikan ayah dan ibu contoh jika dibandingkan menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat pendidikan ayah rata-rata lebih tinggi daripada tingkat pendidikan ibu. Kualitas pendidikan dari orang tua mungkin saja mempengaruhi kualitas dari keluarga itu sendiri, karena pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan pengetahuan gizi seseorang. Tingkat pendidikan sangat
13 berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Menurut Atmarita & Fallah (2004), tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang/masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendapatan Keluarga Besar kecilnya pendapatan akan menentukan kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan. Salah satu faktor penting dalam pemilihan makanan adalah pendapatan dan jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan. Terdapat sejumlah bukti bahwa makanan yang banyak direkomendasikan untuk pola makan sehat bukan hanya bergizi, lebih mengenyangkan dan padat energi, namun juga harus dibeli dengan harga yang tinggi (Gibney et al.2005). Pendapatan keluarga merupakan akumulasi pendapatan yang dihasilkan oleh ayah dan ibu yang bekerja per bulan. Hasil menunjukkan sebagian besar keluarga contoh memiliki tingkat pendapatan yang cukup rendah < Rp 1 juta sebanyak 40.1%, Rp 1 juta–Rp 2 juta sebanyak 25.8%, Rp 2 juta–Rp 4 juta sebanyak 16.3%. Terdapat juga keluarga yang memiliki tingkat pendapatan yang cukup tinggi, 9.1% keluarga contoh memiliki tingkat pendapatan Rp 4 juta–Rp 6 juta dan 8.7% keluarga contoh memiliki tingkat pendapatan ≥ Rp 6 juta. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan keluarga disajikan pada Tabel 8. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan keluarga Tingkat Pendapatan (Rp/bulan) <1 juta 1 juta−2 juta 2 juta−4 juta 4 juta−6 juta >6 juta Total
n 211 136 86 48 46 527
% 40.1 25.8 16.3 9.1 8.7 100
Besar Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat terdiri atas ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumber daya yang sama. Sementara besar keluarga menggambarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal di bawah satu atap (dalam satu rumah). Hasil menunjukkan sebagian besar contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil (45.5%) dan keluarga sedang (49.5%). Hanya sedikit contoh yang termasuk dalam kategori keluarga besar (5.0%). Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga disajikan pada Tabel 6. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga (orang) Kecil (≤ 4) Sedang (5−7) Besar (≥ 8) Total
n 240 261 26 527
% 45.5 49.5 5.0 100
14 Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan gizi anggota keluarga terutama keluarga miskin. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga. Semakin besar anggota keluarga maka kecukupan pangan yang harus tercukupi akan semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kecukupan pangan keluarga akan tinggi (Sanjur 1982). Pekerjaan Orang tua Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Soehardjo 1989). Pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi 6 kelompok yaitu: PNS/POLRI/TNI, Swasta, Petani/Buruh tani, Wiraswasta, Tidak bekerja, dan lainnya selain yang disebutkan di atas. Berikut sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua Jenis Pekerjaan PNS/POLRI/TNI Swasta Petani/Buruh tani Wiraswasta Tidak bekerja Lainnya Total
Ayah n 51 204 29 155 0 88 527
Ibu % 9.7 38.7 5.5 29.4 0.0 16.7 100
n 16 33 0 32 425 21 527
% 3.0 6.3 0.0 6.1 80.7 3.9 100
Sebanyak 38.7% pekerjaan ayah contoh adalah swasta, kemudian disusul oleh wiraswasta sebesar 29.4%. Terdapat juga ayah contoh yang bekerja sebagai PNS/POLRI/TNI (9.7%), petani/buruh tani 5.5% dan lainnya 16.7% seperti buruh non tani, jasa (penjahit, supir, ojeg, reparasi). Sebaliknya, sebagian besar ibu termasuk dalam kategori tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga yaitu sebesar 80.7%, tetapi ada juga sebagian kecil ibu yang bekerja. Sebanyak 3.0% bekerja sebagai PNS/POLRI/TNI, 6.3% bekerja sebagai karyawan swasta, 6.1% bekerja dibidang wiraswasta dan lainnya sebanyak 3.9%. Menurut Soehardjo (1989), semakin baik pekerjaan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pendapatannya, hal tersebut juga akan mempengaruhi dalam pemenuhan kebutuhan gizi keluarga demi tercapainya taraf hidup yang lebih baik. Status Gizi Contoh Status gizi adalah suatu kondisi tubuh akibat asupan, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama ( Supariasa et al. 2001). Gibson (2005) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh individu atau kelompok individu sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, dan pemanfaatan zat gizi dari makanan. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak langsung.
15 Pengukuran secara langsung terdiri atas antropometri, pemeriksaan biokimia, klinis, dan biofisik. Penilaian status gizi contoh dalam penelitian ini menggunakan indeks IMT/U dan TB/U, dengan parameter z-skor yang diklasifikasikan menurut WHO (2007). Tabel 10 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kedua indeks tersebut. Secara keseluruhan status gizi contoh cenderung berbeda antara laki-laki dan perempuan tetapi tidak signifikan (p=0.05). Sebanyak 70.8% contoh memiliki status gizi berdasarkan IMT/U normal dengan persentase perempuan lebih tinggi (72.3%) daripada laki-laki (69.2%). Sebaliknya, proporsi contoh laki-laki (20.1%) yang memiliki status gizi di atas normal lebih banyak dibandingkan contoh perempuan (17.4%). Proporsi contoh yang memiliki status gizi kurus juga lebih banyak pada laki-laki (10.6%) dibandingkan contoh perempuan (10.2%). Status gizi yang baik pada seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh faktor konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang (Riyadi 2003). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi indeks IMT/U dan TB/U Indeks
Kategori
Sangat kurus Kurus IMT/U Normal Overweight Obese Total Rata-rata z skor ± SD Sangat pendek TB/U Pendek Normal Total Rata-rata z skor ± SD a
Laki-laki n % 4 1.5 24 9.1 182 69.2 33 12.5 20 7.6 263 100 -0.39±1.44 11 4.2 39 14.8 213 81.0 263 100 -1.07±1.15
Perempuan n % 5 1.9 22 8.3 191 72.3 24 9.1 22 8.3 264 100 -0.21±1.38 12 4.5 41 15.5 211 79.9 264 100 -0.94±1.23
Nilai signifikansi uji beda T, signifikan jika p < 0.05; signifikan jika p < 0.05.
b
Total n % 9 1.7 46 8.7 373 70.8 57 10.8 42 8.0 527 100 -0.3±1.41 23 4.4 80 15.2 424 80.5 527 100 -1.01±1.19
Uji beda p=0.05b
p=0.229a
Nilai signifikansi uji Mann-Whitney,
Salah satu aspek penting yang menjadi perhatian utama dalam kehidupan anak adalah pertumbuhan. Supariasa et al. (2001) menjelaskan bahwa pertumbuhan merupakan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, dan fungsi baik pada tingkat sel, organ, maupun individu yang diukur dengan ukuran berat (gram, kilo gram), ukuran panjang (centimeter, meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik. Tinggi badan dalam keadaan normal bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu indeks TB/U merupakan indikator masalah gizi yang bersifat kronis atau jangka panjang. Sebagian besar contoh (80.5%) memiliki status gizi TB/U tergolong normal, dengan proporsi contoh laki-laki relatif sama dengan contoh perempuan yaitu 81.0% dan 79.9% (Tabel 10). Proporsi contoh yang berstatus gizi sangat pendek antara contoh laki-laki dan perempuan juga relatif sama yaitu 4.2% dan 4.5%, sedangkan untuk status gizi
16 contoh yang termasuk kategori pendek lebih banyak pada perempuan (15.5%) daripada laki-laki (14.8%). Hasil uji beda T menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi TB/U contoh laki-laki dan perempuan (p=0.229). Asupan Energi dan Zat Gizi Asupan energi Energi merupakan suatu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik (Hardinsyah & Tambunan 2004). Hasil analisis menunjukkan rata-rata asupan energi contoh per hari secara keseluruhan adalah 1763.0±587.2 kkal dengan asupan contoh perempuan lebih tinggi 1822.0 ± 587.2 kkal daripada laki-laki 1703.0 ± 582.2, nilai ini sedikit dibawah angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk anak sekolah. Angka kecukupan energi untuk anak berusia 9 tahun sebesar 1 850 kkal. Angka kecukupan energi anak laki-laki usia 10−12 tahun sebesar 2 100 kkal, usia 13−15 tahun 2 475 kkal, sedangkan angka kecukupan energi untuk anak perempuan usia 10−12 tahun sebesar 2 000 kkal, usia 13−15 tahun 2 125 kkal. Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan energi contoh disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan energi contoh Rata-rata ± SD Laki-laki Perempuan Asupan (g/hari) 1703.0 ± 582.2 1822.0 ± 587.2 Kebutuhan (g/hari) 1888.9 ± 320.6 1805.6 ± 305.0 Tingkat Kecukupan (%) 86.9 ± 32.7 101.3 ± 39.1 Energi
Total 1763.0 ± 587.2 1805.6 ± 316.6 93.3 ± 36.1
Hasil penelitian Masti (2009) yang membandingkan rata-rata asupan energi SD swasta dan SD negeri di Kota Bogor menunjukkan hasil serupa, ratarata asupan energi siswa SD Swasta dan SD negeri berturut-turut yaitu 1 679 kkal/hari dan 1 546 kkal/hari. Hasil uji beda T menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan energi laki-laki maupun perempuan (p=0.020). Hal ini diduga akibat dari baik frekuensi maupun jumlah makanan yang dikonsumsi contoh laki-laki dan perempuan berbeda. Asupan energi yang telah dihitung kemudian dibandingkan dengan kebutuhan contoh sehinggga didapatkan tingkat kecukupan energi contoh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan TKE dan jenis kelamin Tingkat Kecukupan Energi (%AKG) Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total
Laki-laki n 69 37 31 83 43 263
% 26.2 14.1 11.8 31.6 16.3 100
Perempuan n % 43 16.3 30 11.4 31 11.7 73 27.7 87 33.0 264 100
Total n 112 67 62 156 130 527
% 21.3 12.7 11.8 29.6 24.7 100
17 Berdasarkan Tabel 12 didapatkan bahwa sebagian besar contoh tingkat kecukupan energi termasuk dalam kategori normal (29.6%) selebihnya defisit berat sebanyak 21.3%, defisit sedang 12.7%, defisit ringan 11.8% dan lebih 24,7%. Tingkat kecukupan energi yang berlebih banyak terdapat pada contoh perempuan daripada laki-laki. Masih banyak contoh yang tingkat pemenuhan kecukupan energi kurang baik. Total contoh yang masuk dalam kategori tingkat kecukupan defisit baik berat, sedang maupun ringan sebesar 45.8%. Keadaan tersebut diduga konsumsi pangan contoh pada saat dilakukan recall dalam jumlah yang sedikit.Terdapat juga contoh yang termasuk kategori tingkat kecukupan lebih. Asupan energi yang berlebihan akan tertimbun di dalam tubuh, terutama dalam jaringan adiposa dalam bentuk lemak yang dapat menimbulkan obesitas dan pada akhirnya akan menyebabkan resistensi insulin dan sindrom metabolik (Gross et al. 2004). Asupan Protein Protein merupakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh; karena selain sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Selain zat pembangun, fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru (Muchtadi 2008). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012, diketahui angka kecukupan protein untuk laki-laki usia 9−13 tahun adalah 49−72 g/hari sedangkan untuk perempuan usia 9−13 tahun adalah 49−69 g/hari. Rata-rata asupan protein contoh secara keseluruhan yaitu 52.4 ± 20.2 g/hari. Asupan protein perempuan 53.9 ± 19.3 g/hari relatif sama dengan contoh laki-laki 50.9 ± 21.1 g/hari. Hasil uji beda T menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein laki-laki maupun perempuan (p=0.094). Tabel 13 Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan protein contoh Rata-rata ± SD Laki-laki Perempuan Asupan (g/hari) 50.9 ± 21.1 53.9 ± 19.3 Kebutuhan (g/hari) 50.3 ± 8.7 53.1 ± 9.1 Tingkat Kecukupan (%) 103.3 ± 44.3 101.1 ± 40.0 Protein
Total 52.4 ± 20.2 51.7 ± 9.01 103.6 ± 42.2
Asupan protein yang telah dihitung kemudian dibandingkan dengan kebutuhan contoh sehinggga didapatkan tingkat kecukupan protein contoh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan TKP dan jenis kelamin Tingkat Kecukupan Protein (%AKG) Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total
Laki-laki n % 59 22.4 22 8.4 33 12.5 77 29.3 72 27.4 263 100
Perempuan n % 53 20.1 21 8 23 8.7 84 31.8 83 31.4 264 100
Total n 112 43 56 161 155 527
% 21.3 8.2 10.6 30.6 29.4 100
18 Hasil analisis menunjukkan tingkat kecukupan protein contoh hampir merata dalam 5 kategori tersebut. Sebagian besar contoh berada pada kategori tingkat kecukupan normal dan lebih dengan persentase masing-masing yaitu 30.6% dan 29.4%. Terdapat contoh yang pemenuhan kecukupan protein kurang baik, dibuktikan dengan 21.3% contoh termasuk dalam kategori defisit tingkat berat, 8.2% termasuk defisit tingkat sedang dan 10.6% termasuk kategori defisit tingkat ringan. Keadaan tersebut diduga konsumsi pangan contoh pada saat recall khususnya pangan sumber protein sedikit. Asupan lemak Peranan lemak dalam bahan pangan yang utama adalah sebagai sumber energi. Lemak merupakan sumber energi yang dapat menyediakan energi sekitar 2.25 kali lebih banyak daripada yang diberikan oleh karbohidrat (pati, gula) atau protein (Muchtadi 2008). Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada Tabel 15. Median asupan lemak contoh secara keseluruhan adalah 48.7 g/hari.Median asupan lemak contoh laki-laki adalah 47.3 g/hari sedikit lebih kecil daripada perempuan yaitu sebesar 50.4 g/hari. Median asupan lemak contoh masih kurang di bawah rata-rata kebutuhan contoh. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan lemak lakilaki maupun perempuan (p=0.073). Median asupan, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lemak contoh disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan lemak contoh Lemak Asupan (g/hari) Kebutuhan (g/hari) Tingkat Kecukupan (%)
Median (min;max) Laki-laki 47.3 (12.7;139.7) 63.0 (39.5;103.6) 77.8 (22.9;254.1)
Perempuan 50.4 (5.57;130.7) 60.5 (37.8;84.5) 87.3 (10.42; 294.7)
Total 48.7 (5.6;139.7) 60.5 (37.8;103.6) 82.3 (10.4;294.7)
Asupan lemak yang telah dihitung kemudian dibandingkan dengan kebutuhan contoh sehinggga didapatkan tingkat kecukupan lemak contoh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan TKL dan jenis kelamin Tingkat Kecukupan Lemak (%AKG) Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total
Laki-laki n % 105 39.9 35 13.3 27 10.3 47 17.9 49 18.6 263 100
Perempuan n % 78 29.5 32 12.1 28 10.6 65 24.6 61 23.1 264 100
Total n 183 67 55 112 110 527
% 34.7 12.7 10.4 21.3 20.9 100
Berdasarkan tingkat kecukupan lemak (TKL), rata-rata TKL contoh secara keseluruhan 82.3% dengan persentse TKL perempuan 87.6% lebih besar daripada laki-laki (77.8%). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan lemak lakilaki dan perempuan termasuk kategori defisit ringan. Sebagian besar contoh
19 (34.7%) contoh termasuk dalam kategori TKL defisit berat, dengan persentase laki-laki (39.9%) lebih tinggi daripada perempuan (29.5%). Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kecukupan lemak contoh kurang baik. Keadaan tersebut dapat terjadi diduga konsumsi pangan contoh pada saat dilakukan recall dalam jumlah sedikit.Contoh yang termasuk kategori TKL normal dan lebih tidak berbeda jauh antara laki-laki maupun perempuan dengan persentase 21.3% dan 20.9%. Asupan Karbohidrat Karbohidrat merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah besar untuk menghasilkan energi atau tenaga. Kebutuhan yang besar akan karbohidrat terjadi karena zat gizi ini terpakai habis dan tidak di daur ulang (Hartono 2006). Karbohidrat banyak terdapat dalam makanan pokok seperti nasi, mie, kentang singkong, dll. Selain itu, minuman ringan juga mengandung karbohidrat dalam bentuk gula. Median asupan karbohidrat siswa secara keseluruhan adalah 300.4 g/hari, lebih tinggi sedikit dari angka kecukupan karbohidrat yang dianjurkan adalah 254−289 g/hari. Median asupan karbohidrat siswa laki-laki dan perempuan melebihi angka kecukupan karbohidrat yang dianjurkan. Median asupan karbohidrat contoh perempuan 315.1 g/hari lebih tinggi dibanding contoh laki-laki 288.9 g/hari. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan karbohidrat laki-laki maupun perempuan. Median asupan, angka kecukupan dan tingkat kecukupan karbohidrat disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan karbohidrat contoh Karbohidrat
Median (min;max)
Total Laki-laki Perempuan Asupan (g/hari) 288.9 (79.1;1436.9) 315.1(52.3;1202.4) 300.4 (52.3;1436.9) Kebutuhan (g/hari) 259.7 (161.9;427.6) 248.3 (155.1;355.2) 248.3 (155.1;427.6) Tingkat Kecukupan (%) 115.3 (28.01;469.6) 136.8 (14.7; 535.7) 121.2(14.7;535.7)
Tabel 18 menggambarkan tingkat kecukupan karbohidrat contoh. Secara keseluruhan 51.8% contoh termasuk dalam tingkat kecukupan karbohidrat lebih. Kelebihan asupan karbohidrat akan disimpan dalam bentuk lemak di dalam tubuh. Apabila tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang baik akan mengakibatkan kelebihan berat badan. Hanya 23.3% contoh termasuk kategori tingkat kecukupan karbohidrat normal. Masih ada contoh yang pemenuhan kebutuhan lemak kurang baik.termasuk kategori pada tingkat kecukupan defisit berat, defisit sedang, dan defisit ringan dengan persentase masing-masing yaitu 12.0%, 5.7%, dan 7.2%. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan TKKh dan jenis kelamin Tingkat Kecukupan Karbohidrat (%AKG) Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total
Laki-laki n % 36 13.7 19 7.2 28 10.6 61 23.2 119 45.2 263 100
Perempuan n % 27 10.2 11 4.2 10 3.8 62 23.5 154 58.3 264 100
Total n 63 30 38 123 273 527
% 12 5.7 7.2 23.3 51.8 100
20 Asupan Serat Serat makanan (dietary fiber) adalah komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan manusia (Beck 2011). Hasil analisis menunjukkan asupan serat contoh berkisar antara 2.6−61.1 g/hari. Rata-rata asupan serat contoh pada umumnya termasuk kategori kurang (89.2%). Hanya 8.7% contoh yang termasuk kategori asupan serat cukup sedangkan terdapat 2.1% contoh yang asupan seratnya lebih. Kranz et al. 2012 melaporkan rata-rata asupan serat anak laki-laki dan perempuan di Amerika Serikat masih kurang. Dibuktikan rata-rata asupan serat anak laki-laki usia 6−11 tahun dan 12−19 tahun adalah 13.7 g/hari dan 14.9 g/hari sedangkan pada perempuan 12.0 g/hari dan 13.3 g/hari. Studi Guimaraes et al. 2001 menunjukkan rata-rata asupan serat pada anak usia 4−14 tahun 10.3 g/hari. Paulo et al. 2006 membandingkan rata-rata asupan serat pada anak yang konstipasi dan tidak konstipasi. Hasil menunjukkan rata-rata asupan serat pada anak yang mengalami konstipasi sebesar 16.6 g/hari dan 18.2 g/hari untuk anak yang tidak konstipasi. Kekurangan dan kelebihan serat dapat memberikan dampak negatif bagi tubuh. Menurut Beck 2011 asupan serat yang rendah dapat mengakibatkan gangguan kolon seperti konstipasi. Menurut Khomsan (2008) konsumsi serat berlebihan akan berdampak terhadap penyerapan mineral seperti besi, seng dan magnesium. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan serat laki-laki maupun perempuan (p<0.05). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan serat dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan serat Tingkat Kecukupan Serat (%AKG) Kurang (<19 g/hari) Cukup (19−30 g/hari) Lebih (>30 g/hari) Total Rata-rata±SD Median (min;max)
Laki-laki n % 242 92 18 6.8 3 1.1 263 100 11.45±5.9 10.33 (2.6;61.1)
Perempuan n % 228 86.4 28 10.6 8 3.0 264 100 13.3±7.4 11.6 (3.8;57.8)
Total n % 470 89.2 46 8.7 11 2.1 527 100 12.4±6.8 11.0 (2.6;61.1)
Asupan Air Asupan air adalah total konsumsi minuman yang dikonsumsi oleh contoh. Rata-rata konsumsi air contoh dari minuman sebesar 1086.0±456.5 ml/hari dengan asupan contoh laki-laki sebesar 1066.0±423.8 ml/hari dan perempuan sebesar 1106.0±486.9 ml/hari. Angka kecukupan air pada anak usia 9 tahun adalah 1 900 ml, sedangkan angka kecukupan air anak usia 10−12 tahun dan 13−15 tahun pada anak laki-laki dan perempuan sebesar 1 800 ml dan 2 000 ml, Penelitian Linorita (2009) menggunakan data RISKESDAS melaporkan Rata-rata total asupan air dari minuman pada contoh berusia 10−12 tahun adalah 896.3±431.3 ml, usia 13−15 tahun adalah 933.1±474.3 ml. Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan air contoh laki-laki maupun perempuan (p =0.589). Rata-rata asupan, kebutuhan dan kecukupan air contoh disajikan pada Tabel 20.
21 Tabel 20 Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan air contoh
Air Kebutuhan (ml/hari) Asupan (ml/hari) Tingkat Kecukupan (%)
Laki-laki Rata-rata±SD 1915±277.9 1066.0±423.8 59.0±23.6
Perempuan Rata-rata±SD 1935±341.9 1106.0±486.9 61.3±27.0
Total Rata-rata±SD 1925±311.5 1086.0±456.5 60.2±25.4
Asupan air yang digunakan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang diperkirakan sejumlah 1.5 liter berasal dari air minum dan sekitar 1.0 liter berasal dari kandungan air dalam bahan makanan yang dikonsumsi ( Winarno 1992). Tabel 20 menunjukkan rata-rata kebutuhan, asupan, dan tingkat pemenuhan air contoh. Berdasarkan tabel diketahui bahwa asupan air contoh masih kurang dari kebutuhan air contoh tersebut. Asupan rata-rata contoh hanya memenuhi setengah dari kebutuhan. Rata-rata tingkat pemenuhan kebutuhan air contoh sebesar 60.2±25.4%. Tingkat pemenuhan kebutuhan air contoh perempuan dan laki-laki relatif sama yaitu 61.3±27.0% dan 59.0±23.6%. Tingkat pemenuhan kebutuhan air dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu cukup jika konsumsi air ≥ 2 000 ml/hari dan kurang jika konsumsi air < 2000 ml/hari. Pengelompokan ini diacu dari kebutuhan contoh berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yaitu sebesar 2 000 ml/hari. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pemenuhan air disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pemenuhan air minum Kategori air Kurang Cukup Total
Laki-laki n 256 7 263
% 97.3 2.7 100
Perempuan n % 247 93.6 17 6.4 264 100
Total n 503 24 527
% 95.4 4.6 100
Sebagian besar contoh termasuk kategori tingkat pemenuhan air kurang (95.4%). Hanya 4.6% contoh memenuhi kebutuhan air berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan persentase contoh perempuan (6.4%) lebih tinggi daripada laki-laki (2.7%). Menurut Khomsan (2005) kurang air dapat menyebabkan konstipasi, infeksi saluran urin, terbentuknya batu ginjal, kelelahan, dan masalah-masalah seputar kulit, rambut dan kuku. Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pemenuhan air contoh laki-laki dan perempuan (p=0.09). Pola Defekasi Beberapa aspek yang terkait dengan pola defekasi contoh adalah rata-rata frekuensi BAB, rasa nyeri ketika BAB, konsistensi feses, dan keluhan konstipasi. Defekasi adalah suatu proses pengosongan usus yang sering disebut buang air besar. Defekasi bersifat individual dan bervariasi. Defekasi yang normal ditandai dengan frekuensi BAB yang lebih sering, tidak ada rasa nyeri, feses tidak keras dan tidak diperlukan proses mengejan yang kuat. Apabila buang air besar kurang
22 dari tiga kali seminggu dan terdapat gejala lain seperti feses keras dan terdapat rasa nyeri sering dikaitkan dengan kesulitan buang air besar. Gangguan pencernaan ini sering disebut konstipasi. The American Gastroenterological Association menggambarkan konstipasi atau kesulitan buang air besar merupakan suatu gejala yang didefinisikan sebagai ketidakpuasan dalam defekasi dengan karakteristik gerakan usus yang jarang, kesulitan buang air besar atau keduanya. Kesulitan buang air besar meliputi perlu ekstra mengejan, sensasi tidak tuntas buang air besar, feses keras atau menggumpal, membutuhkan waktu yang lama ketika defekasi ( Locke et al. 2000) Sebaran contoh berdasarkan frekuensi buang air besar selama satu minggu terakhir dapat dilihat pada Tabel 22. Mengacu pada Kriteria Rome III, frekuensi buang air besar contoh dikelompokkan menjadi <3 kali/minggu dan ≥3 kali/minggu. Buang air besar < 3 kali/minggu merupakan salah satu indikator sulit buang air besar (konstipasi). Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi BAB per minggu Frekuensi BAB/minggu <3 kali/minggu ≥3kali/minggu Total Rata-rata±SD
Laki-laki n % 32 12.2 231 87.8 263 100 6.0±3.0
Perempuan n % 29 10.9 235 89.1 264 100 6.0±3.0
Total n % 61 11.6 466 88.4 527 100 6.0±3.0
Uji beda p=0.291
Sebagian besar contoh pada umumnya termasuk dalam frekuensi BAB lebih dari 3 kali/minggu (88.4%) dengan rata-rata frekuensi buang air besar sebanyak 6 kali/minggu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebagian besar frekuensi BAB contoh normal. Sedikit contoh yang mengalami BAB kurang dari 3 kali/minggu (11.6%). Penelitian Jenning et al. 2009 melaporkan terdapat 20% anak mengalami frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali/minggu. Wu et al. 2011 dalam surveynya pada anak-anak di Taiwan sebanyak 27.7% frekuensi buang air besar ≥ 4 hari satu kali atau kurang dari 3 kali/minggu. Buang air besar (BAB) kurang dari 3 kali per minggu mengindikasikan adanya gejala konstipasi. Menurut Corwin (2007) konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi. Definisi ini bersifat subjektif dan dianggap sebagai penurunan relatif jumlah buang air besar pada individu karena frekuensi defekasi berbeda pada setiap individu. Pada umumnya pengeluaran defekasi kurang dari 1 setiap 3 hari yang dianggap mengindikasikan konstipasi. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi buang air besar contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05). Konsistensi Feses Bristol Stool Chart membagi konsistensi feses menjadi 7 tipe (Gambar 2). Tipe 1 dan 2 merupakan bentuk feses yang keras dan sulit dikeluarkan. Tipe feses/konsistensi feses yang keras termasuk salah satu indikator sulit buang air besar (konstipasi). Tipe 3 dan 4 merupakan feses normal dan mudah dikeluarkan sedangkan tipe 5−7 merupakan tipe feses lunak atau cair dan merupakan salah satu indikator diare.
23 Berikut sebaran contoh berdasarkan konsistensi feses yang disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan konsistensi feses Bristol Stool Chart Keras (tipe 1 dan 2) Normal (tipe 3 dan 4) Lunak/cair (tipe 5 s/d 7) Total
Laki-laki n % 19 7.2 226 85.9 18 6.8 263 100
Perempuan n % 26 9.8 212 80.3 26 9.8 264 100
Total n 45 438 44 527
% 8.5 83.1 8.3 100
Berdasarkan Tabel 23 pada umumnya contoh mempunyai bentuk dan konsistensi feses tipe 3 dan 4 yaitu sebanyak 83.1%. Konsistensi feses tipe 3 dan 4 merupakan tipe feses yang paling ideal. Sebanyak 8.5% contoh memiliki konsistensi feses kategori tipe 1 dan 2. Tipe feses 1 dan 2 merupakan tipe feses yang keras, kadar air yang rendah dan sulit dikeluarkan. Tipe feses ini merupakan salah satu indikator terjadinya konstipasi. Terdapat juga anak yang mempunyai konsistensi feses tipe 5−7 sebanyak 8.3%. Tipe feses 5−7 merupakan tipe feses lunak sampai cair. Tipe feses ini merupakan salah satu indikator diare. Bekkali et al. (2007) meneliti 20 anak berusia 4-16 tahun yang menderita konstipasi didapatkan bahwa 7 orang (35%) memiliki konsistensi feses yang keras. Nyeri ketika buang air besar (BAB) Berdasarkan Tabel 24 didapatkan bahwa terdapat sebagian kecil contoh yang mengalami rasa nyeri ketika buang air besar (BAB) yaitu sebesar 22.2%. Rasa nyeri ketika buang air besar dapat mengakibatkan anak tidak ingin buang air besar. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh konstipasi. Bekkali et al. (2007) meneliti 20 anak berusia 4−16 tahun yang menderita konstipasi didapatkan bahwa 13 anak (65%) mengalami rasa nyeri ketika buang air besar. Berdasarkan uji beda Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan signifikan nyeri yang dirasakan ketika BAB antara contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05). Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan Nyeri ketika BAB Nyeri ketika BAB Pernah Tidak Total
Laki-laki n % 62 23.6 201 76.4 263 100
Perempuan n % 55 20.8 209 79.2 264 100
Total n 117 410 527
% 22.2 77.8 100
Uji beda p=0.482
Keluhan sulit buang air besar (Konstipasi) Data konstipasi didapatkan dengan cara bertanya kepada contoh mengenai keluhan kesulitan buang air besar selama 1 bulan terakhir. Sebanyak 18.0% pernah mengalami konstipasi 1−7 kali 1 bulan terakhir dengan persentase terbanyak 4.4% pernah mengalami konstipasi sebanyak 2 kali. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar 84.8% anak laki-laki tidak mengeluh konstipasi sedangkan anak perempuan sebesar 79.2%. Jumlah contoh yang mengalami konstipasi lebih banyak pada anak perempuan dari pada laki-laki yaitu berturut-
24 turut sebesar 20.8 % dan 15.2%. Sebaran contoh berdasarkan keluhan konstipasi disajikan pada tabel 25. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan keluhan konstipasi 1 bulan terakhir
Pernah Tidak
Laki-laki n % 40 15.2 223 84.8
Perempuan n % 55 20.8 209 79.2
n 95 432
% 18.0 82.0
Total
263
264
527
100
Konstipasi
100
100
Total
Survey nasional yang dilakukan pada anak-anak di Taiwan yang melibatkan 2375 anak menunjukkan sebanyak 767 anak atau sekitar 32.2% yang mengalami konstipasi. Anak perempuan lebih banyak mengalami konstipasi daripada anak laki-laki berturut-turut 36.1% dan 29.2% (Wu et al. 2011). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Jenning et al. 2009 menunjukkan hal yang sama. Persentase anak perempuan yang pernah mengalami konstipasi lebih besar daripada laki-laki yaitu sebanyak 36.0%. Dampak negatif dari konstipasi telah di laporkan Youssef et al. 2005. Hasil penelitian menunjukkan anak yang mengalami konstipasi mengalami penurunan kualitas hidup baik dari segi fisik, emosional, sosial maupun sekolah.
Hubungan antar Variabel Hubungan asupan serat dengan pola defekasi Hasil analisis rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan frekuensi buang air besar contoh (rs = 0.107, p<0.05) yang artinya semakin tercukupi asupan serat maka maka frekuensi buang air besar semakin baik/normal dan sebaliknya semakin tidak tercukupi asupan serat maka frekuensi buang air besar akan semakin jarang atau berkurang. Penelitian Yang et al. 2012 menunjukkan hal yang sama bahwa asupan serat berkorelasi positif terhadap frekuensi buang air besar. Penelitian ini juga menghubungkan asupan serat dengan rasa nyeri ketika buang air besar. Hasil uji rank Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan rasa nyeri ketika buang air besar (p>0.05). Yang et al. 2012 menyatakan asupan serat jelas dapat meningkatkan frekuensi buang air besar, tetapi tidak jelas dalam mengurangi rasa nyeri ketika buang air besar. Faktor yang menyebabkan rasa nyeri ketika buang air besar tidak hanya asupan serat yang kurang. Faktor lain yang dapat menyebabkan rasa nyeri ketika buang air besar antara lain asupan air putih yang kurang, konsumsi air yang bersifat diuretik seperti kopi dan air karbonasi, terlalu banyak mengonsumsi makanan yang tinggi lemak/berminyak serta kebiasaan menahan buang air besar yang dapat menyebabkan feses tertahan dan air terserap oleh dinding kolon dan akibatnya feses menjadi keras dan timbul rasa nyeri ketika dikeluarkan. Hasil uji rank Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan keluhan konstipasi (p>0.05). Studi Guimaraes et al. 2001 juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
25 antara asupan serat dan konstipasi. Sebaran contoh berdasarkan asupan serat dan pola defekasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan asupan serat dan pola defekasi Asupan Serat Pola Defekasi
Kurang n
Frekuensi BAB <3x/minggu 57 ≥3x/minggu 413 Total 470 Rasa nyeri ketika BAB Pernah 103 Tidak pernah 367 Total 470 Konsistensi feses Tipe 1 & 2 41 Tipe 3 & 4 392 Tipe 5 s/d 7 37 Total 470 Keluhan Konstipasi Pernah 83 Tidak pernah 387 Total 470 a
Cukup
Lebih
Uji hubungan
Total
%
n
%
n
%
n
%
12.1 87.9 100
4 42 46
8.7 91.3 100
0 11 11
0.0 100 100
61 466 527
11.6 88.4 100
p=0.014a rs=0.107
21.9 78.1 100
12 34 46
26.1 73.9 100
2 9 11
18.2 81.8 100
117 410 527
22.2 77.8 100
p=0.262a
8.7 83.4 7.9 100
4 39 3 46
8.7 84.8 6.5 100
0 7 4 11
0.0 63.6 36.4 100
45 438 44 527
8.5 83.1 8.3 100
p=0.016b
17.7 82.3 100
10 36 46
21.7 78.3 100
2 9 11
18.2 81.8 100
95 432 527
18.0 82.0 100
p=0.706a
Nilai signifikansi rank Spearman, signifikan jika p < 0.05; signifikan jika p < 0.05
b
Nilai signifikansi Chi-square,
Serat makanan yang cukup mampu mencegah kesulitan BAB apabila diiringi dengan peningkatan konsumsi air minum yang cukup setiap hari karena dapat membantu kerja serat makanan dalam tubuh sehingga tidak terjadi rasa nyeri ketika buang air besar (Muchtadi 2001). Faktor penyebab terjadinya konstipasi antara lain 1) pola hidup yang diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, kurang olah raga; 2) Obat-obatan seperti antikolinergik, suplemen besi dan kalsium, opiate ( kodein dan morfin); 3) Kelainan stuktural kolon seperti tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum; 4) Penyakit sistemik seperti hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus; 5) Penyakit neurologic seperti hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati otonom; 6) Disfungsi otot dinding dasar pelvis; 7) motilitas kolon yang lemah (Djojoningrat 2009). Konsumsi serat pangan yang cukup, akan memberi bentuk, meningkatkan air dalam feses menghasilkan feses yang lembut dan tidak keras sehingga hanya dengan kontraksi otot yang rendah feses dapat dikeluarkan dengan lancar. Berdasarkan uji rank Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan konsistensi feses (p=0.016) artinya semakin tercukupi asupan serat maka konsistensi feses semakin lembut, bervolume dan dapat dikeluarkan dengan lancar begitupun sebaliknya. Hasil penelitian Hillemeier 1995 menunjukkan bahwa asupan serat membuat konsistensi feses menjadi lunak dan bervolume dan
26 memungkinkan untuk menurunkan transit time feses di dalam usus besar. Zaslavsky et al. 1998 membandingkan asupan serat anak konstipasi dengan tidak konstipasi dan menunjukkan asupan serat antara kedua kelompok ini sebanding. Hubungan Asupan air dengan pola defekasi Hasil analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan air dengan frekuensi buang air besar, konsistensi feses dan rasa nyeri ketika buang air besar dan keluhan konstipasi (p>0.05). Hal ini mungkin terjadi diduga karena hampir semua contoh mengonsumsi air minum kurang (95.4%) dengan tingkat kecukupan 60.2%. Klauser et al. 1990 meneliti 8 orang sehat yang diberi air 2500 ml selama 1 minggu, kemudian 1 minggu berikutnya hanya diberi air kurang dari 500 ml (kurang dari 20% dari konsumsi sebelumnya). Hasil menunjukkan frekuensi buang air besar dan berat feses menurun secara bermakna. Dapat disimpulkan bahwa asupan air dapat berkorelasi positif dengan frekuensi buang air besar jika contoh mengonsumsi air sangat kurang (<20%) sedangkan pada penelitian ini contoh telah memenuhi kebutuhan airnya lebih dari 50%. Sebaran contoh berdasarkan asupan air dan pola defekasi disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan asupan air dan pola defekasi Pola defekasi
Kurang n %
Frekuensi BAB <3 kali/minggu 54 ≥ 3 kali/minggu 378 Total 432 Konsistensi/tipe feses Tipe 1 dan 2 30 Tipe 3 dan 4 368 Tipe 5–7 34 Total 432 Nyeri ketika BAB Pernah 95 Tidak 337 Total 432 Keluhan konstipasi Pernah 81 Tidak 351 Total 432 a
12.5 87.5 100
Asupan Air Cukup n % 7 88 95
7.4 92.6 100
Total
Uji hubungan
n
%
61 466 527
11.6 88.4 100
p=0.158a
p=0.184a 6.9 85.2 7.9 100
15 70 10 95
15.8 73.7 10.5 100
45 438 44 527
8.5 83.1 8.3 100
22 78 100
22 73 95
23.2 76.8 100
117 410 527
22.2 77.8 100
p=0.805a
18.8 81.2 100
14 81 95
14.7 85.3 100
95 432 527
18.0 82.0 100
p=0.358a rs= -0.40
Nilai signifikansi rank Spearman, signifikan jika p < 0.05
Proses defekasi dapat berjalan dengan lancar apabila minimal mengonsumsi air putih 2 liter per hari. Hasil studi Young et al. 1998 dalam Rajindrajith & Devanarayana 2011 menunjukkan tidak ada perubahan pada frekuensi buang air besar, konsistensi feses dan kesulitan buang air besar ketika
27 asupan air ditingkatkan 50%. Tidak adanya hubungan antara asupan air dan rasa nyeri ketika buang air besar diduga dipengaruhi faktor lain yaitu kebiasaan contoh menunda dorongan buang air besar. Kebiasaan menahan buang air besar menyebabkan feses tertahan di kolon. Akibatnya air pada feses diserap oleh kolon sehingga menyebabkan feses kering dan keras dan menimbulkan rasa nyeri ketika dikeluarkan. Gangguan pencernaan merupakan gangguan kesehatan yang terkait dengan ketidaknormalan fungsi saluran pencernaan. Salah satu kelainan yang sering mengganggu kesehatan pencernaan yaitu konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak tuntas buang air besar, terdapat rasa sakit/nyeri, perlu ekstra mengejan atau konsistensi feses yang keras. Faktor yang juga mempengaruhi terjadinya konstipasi selain asupan serat dan air adalah aktivitas fisik. Peningkatan asupan air lebih berpengaruh pada penderita konstipasi daripada contoh yang tidak konstipasi. Pada umumnya penelitian sebelumnya percaya bahwa peningkatan asupan cairan memperbaiki konstipasi/kesulitan buang air besar. Dalam satu percobaan, relawan sehat diberi peningkatan jumlah cairan hingga 2 liter/hari. Volume urin meningkat, tetapi frekuensi buang air besar tidak (Chung et al. dalam Bove et al. 2012). Tabber et al. 2012 melaporkan review penelitianpenelitian sebelumnya bahwa tidak ditemukan bukti bahwa peningkatan asupan air lebih efektif meningkatkan buang air besar atau menurunkan kesulitan buang air besar (konstipasi). Hubungan status gizi (IMT/U) dengan pola defekasi Masalah yang sering timbul saat ini pada anak adalah timbulnya berat badan yang berlebih (overweight atau obesitas) yang ternyata merupakan faktor pencetus terjadinya konstipasi pada anak. Pashankar & Baucke 2005 pada studi retrospektif melaporkan 22.0% anak-anak konstipasi memiliki status gizi obesitas sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 11.0% obesitas. Pada studi ini disimpulkan bahwa obesitas memiliki hubungan yang kuat dengan angka kejadian konstipasi. Peningkatan angka prevalensi obesitas dapat diperoleh dari diet, tingkatan aktivitas, atau pengaruh hormon. Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi (IMT/U) dan pola defekasi (frekuensi buang air besar, konsistensi feses, rasa nyeri ketika buang air besar dan keluhan konstipasi) (p>0.05). Hasil menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi (IMT/U) dan pola defekasi (frekuensi buang air besar, konsistensi feses, rasa nyeri ketika buang air besar dan keluhan konstipasi) (p>0.05). Hal ini diduga contoh dalam penelitian ini yang memiliki status gizi obesitas tidak memiliki gejala-gejala kesulitan buang air besar. Hal ini dibuktikan contoh dengan status gizi overweight dan obese sebagian besar frekuensi buang air besar ≥3kali/minggu,hanya sedikit yang mengalami rasa nyeri ketika BAB, konsistensi feses sebagian besar normal, dan hanya sebagian kecil yang mengeluh konstipasi. Kavehmanesh et al. 2013 juga melaporkan tidak ada hubungan yang jelas status gizi dengan konstipasi. Faktor risiko yang mempengaruhi konstipasi antara lain jenis kelamin, tingkat pergerakan kerusakan tulang belakang, asupan serat harian,asupan cairan harian, penggunaan kamar mandi, kondisi fisiologis dan psikologis serta medikasi (Richmond & Wright 2005). Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) dan pola defekasi disajikan pada Tabel 28.
28 Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) dan pola defekasi Status gizi (IMT/U) Pola Defekasi
Sangat Kurus n %
Kurus
Normal
Overweight
Obese
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
b
Frekuensi BAB (p=0.317 ) <3x/minggu
2
22.2
3
6.5
48
12.9
6
10.5
2
4.8
61
11.6
≥3x/minggu
7
77.8
43
93.5
325
87.1
51
89.5
40
95.2
466
88.4
9
100.0
46
100.0
373
100.0
57
100.0
42
100.0
527
100.0
Total
b
Konsistensi feses (p=0.840 ) Keras
1
11.1
4
8.7
32
8.6
4
7.0
4
9.5
45
8.5
Normal
8
88.9
35
76.1
312
83.6
48
84.2
35
83.3
438
83.1
Lunak/cair
0
.0
7
15.2
29
7.8
5
8.8
3
7.1
44
8.3
9
100.0
46
100.0
373
100.0
57
100.0
42
100.0
527
100.0
Total
b
Nyeri ketika BAB (p=0.141 ) Pernah
3
33.3
12
26.1
89
23.9
9
15.8
4
9.5
117
22.2
Tidak
6
66.7
34
73.9
284
76.1
48
84.2
38
90.5
410
77.8
9
100.0
46
100.0
373
100.0
57
100.0
42
100.0
527
100.0
Total
b
Keluhan konstipasi (p=0.865 ) Pernah
2
22.2
7
15.2
71
19.0
8
14.0
7
16.7
95
18.0
Tidak
7
77.8
39
84.8
302
81.0
49
86.0
35
83.3
432
82.0
Total 9 100.0 46 100.0 373 100.0 b Nilai signifikansi Chi-square, signifikan jika p < 0.05
57
100.0
42
100.0
527
100.0
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Contoh dalam penelitian adalah siswa-siswi kelas V dan VI di Kota Bogor dengan kisaran usia 9-13 tahun. Contoh memiliki uang saku antara Rp 0−Rp 30 000. Sebagian besar contoh mempunyai keluarga sedang terdiri dari 5-7 orang dengan pendidikan ayah dan ibu adalah tamat SMA. Sebagian besar pekerjaan ayah contoh yaitu karyawan swasta sedangkan ibu lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga (IRT) dengan tingkat pendapatan keluarga kurang dari Rp 1 juta. Status gizi berdasarkan IMT/U dan TB/U contoh sebagian besar normal. Tingkat kecukupan energi dan protein contoh termasuk normal sedangkan tingkat kecukupan lemak defisit ringan dan karbohidrat termasuk kategori lebih. Sebagian besar contoh termasuk kategori kurang asupan serat dan air. Pola defekasi contoh dapat dilihat dari frekuensi buang air besar, konsistensi feses, rasa nyeri ketika buang air besar dan keluhan konstipasi satu bulan terakhir. Rata-rata frekuensi buang air besar contoh 6 kali per minggu dengan kisaran 1-14 kali per minggu. Kisaran rasa nyeri ketika buang air besar contoh adalah 0 sampai 9 kali dalam seminggu. Sebagian besar contoh memiliki konsistensi feses normal.
29 Terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan frekuensi buang air besar dan konsistensi feses (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan rasa nyeri ketika buang air besar dan keluhan konstipasi, asupan air dengan frekuensi buang air besar, rasa nyeri ketika buang air besar, konsistensi feses dan keluhan konstipasi, status gizi (IMT/U) dengan frekuensi buang air besar, rasa nyeri ketika buang air besar, konsistensi feses dan keluhan konstipasi (p>0.5). Saran Perlunya mengatur pola konsumsi pangan agar tercapai tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan baik sesuai dengan angka kecukupan yang dianjurkan khususnya serat dan air. Pendidikan gizi dan penyuluhan tentang PGS (Pedoman Gizi Seimbang) perlu dilakukan disekolah-sekolah agar konsumsi buah, sayur dan air putih lebih ditingkatkan untuk mencapai asupan yang cukup. Penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang diduga juga berhubungan dengan defekasi seperti aktivitas fisik.
DAFTAR PUSTAKA Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Penelitian Indonesia. Bekkali NLH, Bongers MEJ, Maartje M Van den Berg, Liem O, Benninga MA. 2007. The role of a probiotics mixture in the treatment of childhood constipation: a pilot study. Nutrition Journal. 6:17−23. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2009. Modul keluarga berencana. [terhubung berkala] http://www.bkkbn.go.id . [10 Agustus 2013]. Bove A, Bellini M, Battaglia E, Bocchini R, Gambaccini D, Bove V, Pucciani F, Altomare DF, Dodi G, Sciaudone G,Falletto E, Piloni V. 2012. Consensus statement AIGO/SICCR diagnosis and treatment of chronic constipation and obstructed defecation (Part II: Treatment). World Journal of Gastroenterology. 18(36):4994−5013 [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Kegemukan Akibat Kurang Serat. http://www.depkes.go.id [Agustus 2013]. Djojoningrat Dharmika, 2006. Pendekan Klinis Penyakit Gastroenterologi. In: Sudoyo W. Aru, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, Internal Publishing: 444-445. Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. 2005. Gizi Kesehatan Masyarakat. Hartono A, penerjemah; Widyastuti P, Hardiyanti EA; editor.
30 Jakarta (ID): Penerbit EGC. Terjemahan dari : Public Health Nutrition. Ed ke-1. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Oxford (GB): Oxford University Pr. Gross LS, Li L, Ford ES, Liu S. 2004. Increased consumption of refined carbohydrates and the epidemic of type 2 diabetes in the United States : an ecologic assessment. Am J Clin Nutr. 79:774–779. Guimaraes EV, Goulart EMA, Penna FJ. 2001. Dietary fiber intake, stool frequency and colonic transit time in chronic functional constipation in children. Brazilian Journal of Medical and Biological Research. 34: 1147−1153 Hardinsyah. Briawan D. Retnaningsih. Herawati T. Wijaya R. 2002. Analisis kebutuhan konsumsi pangan. Bogor: Pusat studi Kebijakan Pangan (PSKPG) IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan. Deptan. Hardinsyah, Biawan D, Hartati, Adiningsih, Thaha. Kebiasaan Minum dan Status Dehidrasi pada Remaja dan Dewasa di beberapa Daerah di IndonesiaTHIRST, PERGIZI PANGAN Indonesia, FEMA IPB, FKM UNAIR, dan FKM UNHAS. 2010. Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC. Hillemeier C. An Overview of the Effects of Dietary Fiber on Gastrointestinal Transit. 1995. Journal of The American Academy of Pediatrics. 96:997−999 Hurlock EB. 2004. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta (ID): Erlangga. Instalasi Gizi Perjan RSCM. 2010. Penuntun Diet. Almatsier S, editor. Jakarta (ID): Gramedia. Jahari AB. Sumarno. 2001. Epidemiologi Konsumsi Serat di Indonesia. Gizi Indonesia. XXV. Jennings A, Davies BJ, Costarelli V, Dettmar PW. 2009. Dietary fibre, fluids and phisical activity in relation to constipation symptoms in pre-adolescent childrent. Journal of Child Health Care.13(2):116−117. Kant AK, Graubard BI. 2010. Contributors of water intake in US children and adolescents: associations with dietary and meal characteristics—National Health and Nutrition Examination Survey 2005–2006. Am J Clin Nutr 92: 887–96. Kavehmanesh Z, Saburi A, and Maavaiyan, A. 2013. Comparison of Body Mass Index on Children with Functional Constipation and Healthy Controls. J Family Med Prim Care. 2(3): 222–226. Khomsan. A. 2002. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 59−61. Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
31 Khomsan. 2008. Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat dengan Makanan Tepat. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika). Klauser AG, Beck A, Schindlbeck NE, Muller-Lissner SA (1990). Low fluid intake lowers stool output in healthy male volunteers. J Gastroenterol. 28: 606–609. Kranz S. Brauchla M. Slavin JL. Miller KB. 2012. What do we know about dietary fiber intake in children and health? The effects of fiber intake on constipation. obesity. and diabetes in children. Advances in Nutrition. 3: 47–53. Kranz S. Lin PJ. Wagstaff DA. 2007. Children’s dairy intake in the United States: too little. too fat? J. Pediatr. 151(6):642−646. Kusharto CM. 2006. Serat Makanan dan Peranannya bagi Kesehatan. Jurnal Gizi dan Pangan 1(2):45−54 Linorita, Itni. 2009. Analisis Asupan Air Dan Mutu Gizi Asupan Pangan pada Remaja di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Locke GR III, Pemberton JH, Phillips SF. AGA. 2000. Technical Review on Constipation. Gastroenterology.119:1766−1778. Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai Sumber Serat Pangan untuk mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. Jurnal Teknol dan Industri Pangan. XII(1): 61−71. Pashankar, DS & Baucke, VL. 2005. Increased Prevalence of Obesity in Children With Functional Constipation Evaluated in an Academic Medical Center. Pediatrics.116 (3):377−380. Paulo AZ, Amancio OMS, MB de Morais, Tabacow KMMD. 2006. Low-dietary fiber intake as a risk factor for recurrent abdominal pain in children. European Journal of Clinical Nutrition. 60:823–827 Rajindrajith, S & Devanarayana, NM. 2011. Constipation in Children: Novel Insight Into Epidemiology, Pathophysiology and Management. J Neurogastroenterol Motil.17(1):35−47 Richmond JP, Wright ME. Development of a constipation risk assesment scale. Clin effect nurs.9:37−48 Riyadi. 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta : Universitas Terbuka. Sanjoaquin MA. Appleby PN, Spencer EA, Key TJ. 2003. Nutrition and lifestyle in relation to bowel movement frequency: a cross-sectional study of 20 630 men and women in EPIC–Oxford. Public Health Nutrition. 7(1):77– 83. Sanjur D. 1982. Social Cultural Perspective in Nutrition. New Jersey: Prentice- Hall, Englewood Cliffs. Santoso BI, Hardinsyah, Siregar P, Pardede SO. Jakarta: Centra Communications.
2011. Air bagi Kesehatan.
Sediaoetama. A.D.. 2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. 245−253.
32 Slamet. 2009. Pola makan remaja. Http//www.edu.org [06 November 2013] Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Perguruan Tinggi Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Sudiarti T, Indrawani YM, Utari DM, Kusharisupeni, Fikawati S, Syafiq A, Fatmah, Pujinarti SA, Achadi EL, Triyanti et al. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): RajaGrafindo Persada. Sulistijani AD. 2002. Sehat dengan Menu Berserat. Trubus Agriwijaya. Jakarta. Supariasa IDN. B Bakri & I Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Tabbers MM, Boluyt N, Marjolein Y. Berger, Marc A, Benninga. 2011. Nonpharmacologic Treatments for Childhood Constipation: Systematic Review. American Academy Pediatric. 128:753−761 Tensiska, 2008. Serat Makanan. Jurusan Teknologi Industri Pangan. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran, Bandung [WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi X. 2012. Pemantapan Ketahanan Pangan Perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal. Jakarta: 20−21 November 2012. [WHO] World Health Organization. 2007. Growth reference 5−19 years. [Diacu 2013 Agustus 27]. Tersedia dari: http://www.who.int /growthref/ who2007bmi for age/en/index.html Wu, T.C, Chen, L.K, Pan, W.H, Tang, R.B, Hwang, S.J, Wu, Lite., James F.E, Chen, P.H. 2011. Constipation in Taiwan elementary school students: A nationwide survey. Journal of the Chinese Medical Association. 74:57−61. Yang Jing, Wang Hai-Peng, Zhou Li, Xu Chun-Fang.2012. Effect of dietary fiber on constipation: A meta analysis. World Journal of Gastroenterology. 18(48): 7378−7388. Young, R.J., Beerman, L.E. and Vanderhoof, J.A. (1998) ‘Increasing oral fluids in chronic constipation in children’.Gastroenterology Nursing. 21(4):156–161. Zaslavsky, C., Raverbel da Silveira, T. and Maguilnik,I. 1998. ‘Total and segmental transit time with radio opaque markers in adolescents with functional constipation’. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 27(2):138−142.
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kayuagung pada tanggal 15 Mei 1991. Penulis merupakan putri ke tiga dari empat bersaudara pasangan Rolan Ambarita (alm) dan Darmaulina Panjaitan. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1997−2003 di Sekolah Dasar Negeri 01 Kayuagung dan melanjutkan masa pendidikannya di SMP Negeri 06 Kayuagung tahun 2003−2006 serta SMA Negeri 03 Unggulan Kayuagung tahun 2006−2009. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah satu tahun mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis melanjutkan studi di mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama masa perkuliahan penulis aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan kemahasiswaan. Penulis juga aktif diberbagai kepanitiaan internal di departemen. Penulis aktif sebagai staf kulinari gizi IPB tahun 2010-2011 dan sebagai sekretaris pada tahun 2011−2012. Penulis juga memperoleh beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) padaa tahun 2010-2013. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Condong Campur Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah dan pada Maret 2013 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Umum Tangerang.