HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI MASA LALU ANAK DAN PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK
NINA TRIANA
PROGRAM STUDI S1 GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
RINGKASAN NINA TRIANA. Hubungan antara Status Gizi Masa Lalu Anak dan Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Kejadian Tuberkulosis pada Murid Taman Kanak-Kanak. Dibimbing oleh Dr. Ir. SITI MADANIJAH, MS. Tujuan umum penelitian ini adalah meneliti hubungan antara status gizi masa lalu anak dan partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian TB pada murid TK. Sedangkan tujuan khususnya adalah : 1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh; 2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB pada murid TK; 3) Meneliti hubungan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian TB pada murid TK; 4) Meneliti hubungan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu murid TK; 5) Meneliti hubungan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu; 6) Meneliti hubungan antara status gizi masa lalu dengan kejadian TB pada murid TK; dan 7) Meneliti hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan kejadian TB pada murid TK Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Lokasi penelitian di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang yang ditentukan secara purposive dengan pertimbangan kepentingan peneliti sebagai petugas pelaksana program gizi di wilayah tersebut. Penelitian dilaksanakan selama Bulan Januari sampai dengan Mei 2006. Contoh pada penelitian ini terdiri dari 2 kelompok yaitu murid TK yang TB dan tidak TB. Penentuan contoh dilakukan dengan cara acak sebanyak 30 orang anak dari masing-masing kelompok. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi : karakteristik sosial ekonomi keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi TB pada anak, partisipasi ibu di Posyandu, pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan. Sementara itu, data sekunder meliputi : data status TB anak, tinggi badan, berat badan, umur, riwayat penyakit, kategori Keluarga Sejahtera, data murid TK se-Kecamatan Paseh untuk kerangka sampling, dan data gambaran lokasi penelitian. Data-data tersebut diperoleh dari Puskesmas, Kantor Kecamatan, Kantor Cabang Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan, dan dari setiap TK di wilayah Kecamatan Paseh. Data yang terkumpul selanjutnya diverifikasi dan diolah dengan menggunakan program SPSS 11 for Windows. Untuk mengetahui perbedaan variabel antara dua kelompok dilakukan uji t dan uji Mann Whitney. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Rank Spearman dan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel digunakan uji regeresi linier berganda. Rata-rata umur contoh kelompok TB relatif lebih tua dibanding kelompok tidak TB, yaitu 72,3 bulan dibanding 71,2 bulan. Rata-rata berat badan kelompok TB lebih ringan dibanding kelompok tidak TB, yaitu 16,7 kg dibanding17,8 kg. Rata-rata tinggi badan kelompok TB lebih rendah dibanding kelompok tidak TB, yaitu 107,3 cm dibanding 111,7 cm. Lebih dari 90% contoh pada kedua kelompok memiliki berat badan lahir normal.. Uji beda terhadap karakteristik contoh hanya menunjukkan perbedaan nyata dalam hal tinggi badan.
Rata-rata jumlah anggota keluarga kelompok TB lebih sedikit dibanding kelompok tidak TB, yaitu 4 orang dibanding 5 orang. Rata-rata umur orang tua kelompok TB lebih muda dibanding kelompok tidak TB, yaitu 35,1 tahun dibanding 37,4 tahun (ayah) dan 29,5 tahun dibanding 32,8 tahun (ibu). Pendidikan orang tua kedua kelompok berkisar antara SD-Perguruan Tinggi. Walaupun demikian, jumlah orang tua yang pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT lebih sedikit pada kelompok TB, yaitu 10,0% dibanding 23,4% (ayah) dan 13,3% dibanding 30,0% (ibu). Sebagian besar ayah contoh bekerja sebagai buruh yaitu 56,7% (TB) dan 43,3% (tidak TB). Sebagian besar ibu contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu 83,3% (TB) dan 80,0% (tidak TB). Jumlah pendapatan/bulan/kapita kelompok TB lebih rendah dibanding kelompok tidak TB, yaitu Rp 181.916,- dibanding Rp 227.789,-. Jumlah contoh dengan status sosial ekonomi kurang lebih banyak pada kelompok TB dibanding kelompok tidak TB, yaitu 46,7% dibanding 3,3%. Jadi, karakteristik sosial ekonomi kelompok TB cenderung kurang jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Uji beda terhadap karakteristik sosial ekonomi keluarga hanya menunjukkan perbedaan nyata dalam hal umur ibu dan status sosial ekonomi. Sebagian besar contoh pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu 53,3% (TB) dan 60,0% (tidak TB). Lingkungan fisik rumah kelompok TB cenderung kurang baik dibandingkan kelompok tidak TB yang ditunjukkan dengan rata-rata nilai kelompok TB yaitu 71,3 dibanding 90,0. Seluruh contoh pada kedua kelompok pernah diimunisasi BCG sewaktu bayi. Hampir semua contoh pada penelitian ini tidak pernah atau sedang menderita penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kejadian TB, yaitu 96,7% (TB) dan 100,0% (tidak TB). Seluruh contoh pada kelompok TB dan 63,3% pada kelompok tidak TB memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dewasa. Pada kelompok TB lebih sedikit yang merokok di rumahnya yaitu 50,0% dibanding 66,7%. Perilaku sumber penularan kelompok TB ada yang kurang sebanyak 20,0% sedangkan pada kelompok tidak TB tidak ada. Pada kelompok TB terdapat 16,6% contoh dengan status gizi masa lalu kurang dan buruk sedangkan pada kelompok tidak TB tidak ada. Uji beda terhadap variabel faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB menunjukkan perbedaan nyata dalam hal lingkungan fisik rumah, riwayat kontak dengan penderita TB dewasa, perilaku penderita TB dewasa, status sosial ekonomi keluarga, dan status gizi masa lalu anak. Berdasarkan uji regresi linier berganda faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian TB adalah perilaku penderita TB dewasa. Besarnya pengaruh faktor tersebut adalah 59,0%. Jumlah ibu dengan tingkat partisipasi di Posyandu dan tingkat pengetahuan kurang lebih banyak pada kelompok TB, yaitu 56,7% dan 73,3% dibanding 26,7% dan 26,7%. Jumlah ibu dengan perilaku dan sikap sedang dalam hal gizi dan kesehatan lebih banyak pada kelompok TB, yaitu 10,0% dan 70,0% dibanding 3,3% dan 26,7%. Terdapat korelasi signifikan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu, status gizi masa lalu anak, tingkat pengetahuan ibu, dan perilaku ibu dengan kejadian TB pada murid TK. Terdapat korelasi signifikan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu murid TK (p=0,05; r=0,547), tingkat pengetahuan ibu (p=0,01; r=0,513), dan perilaku ibu (p=0,01; r=0,357). Sedangkan analisis terhadap hubungan antara sikap ibu dengan kejadian TB pada murid TK dan tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan sikap ibu tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan.
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI MASA LALU ANAK DAN PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK
NINA TRIANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi S1 Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
PROGRAM STUDI S1 GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Skripsi
:
Hubungan Antara Status Gizi Masa Lalu Anak dan Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Kejadian Tuberkulosis pada Murid Taman Kanak-Kanak
Nama
:
Nina Triana
NIM
:
A54104303
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Siti Madanijah, MS NIP 130 541 472
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP 130 422 698
Tanggal Lulus : ………………………….
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah memungkinkan penulis untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Hubungan Antara Status Gizi Masa Lalu Anak dan Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Kejadian Tuberkulosis pada Murid Taman Kanak-Kanak”. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Siti Madanijah, MS yang telah membimbing penulis selama ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS yang telah memberikan berbagai saran berharga kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang beserta seluruh jajarannya untuk kesempatan penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya, kepada rekan-rekan mahasiswa GMSK 39, 40, dan alih jenjang 41 terima kasih penulis ucapkan untuk segala bantuan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini. Kepada suami tercinta, papah, mamah, dan seluruh keluarga penulis ucapkan terima kasih atas segala dukungan, do’a dan pengertiannya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006 Nina Triana
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sumedang pada tanggal 10 Agustus 1974 dari ayah R. Yusuf Supandi, BA dan ibu Ukayati, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Budiana, S.Pd, M.Pd dan dikarunia seorang putri bernama Annida Aulia Sholehah. Pendidikan dasar hingga menengah penulis lalui di Sumedang yaitu di SDN Sukaraja 1, SMPN 2, dan SMAN 1 dari tahun 1981-1993. Selanjutnya penulis diterima kuliah di Akademi Gizi Depkes RI Bandung hingga lulus tahun 1996. Penulis kemudian menjadi tenaga kontrak di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang dan lulus menjadi CPNS pada tahun 1999. Selanjutnya, penulis mendapat tugas menjadi pelaksana program gizi di Puskesmas Tomo sampai mendapat tempat tugas baru di Puskesmas Paseh pada tahun 2000. Tahun 2004 penulis lolos seleksi me njadi peserta tugas belajar dengan dana bersumber dari PHP II. Kemudian penulis diterima pada Program S1 Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………….
Viii
PENDAHULUAN…………………………………………………….
1
TINJAUAN PUSTAKA Tuberkulosis (TB) pada Anak-Anak ………………………..… Pemantauan Status Gizi dengan KMS di Posyandu………..….. Partisipasi Ibu di Posyandu…………………………………..... Penilaian Status Gizi Masa Lalu Murid TK ……………...…....
6 12 13 14
KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………….
16
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ……………………..… Contoh dan Cara Penarikan Contoh…………………..……….. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ………...……..…………… Pengolahan dan Analisis Data ……...…….....………………… Definisi Operasional ……………………………..……………. Kategori dalam Pengolahan Data ……………………………...
18 18 18 19 19 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………..……………… Karakteristik Contoh ………………………………..………… Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga …………………..…... Faktor-faktor yang Mempengaruhi TB …………………..…… Jenis Kelamin……………………………………………. Status Imunisasi BCG…………………………………… Penyakit Tertentu………………………………………… Lingkungan Fisik Rumah………………………………... Perilaku Sumber Penularan……………………………… Riwayat Kontak………………………………………….. Faktor Toksik…………………………………………….. Status Sosial Ekonomi…………………………………… Status Gizi……………………………………………….. Tingkat Partisipasi Ibu di Posyandu ………………...…..…….. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu...……….……… Hubungan Antar Variabel …………………………………….
23 24 27 34 34 35 36 36 37 39 40 41 41 43 46 50
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……………………………………………………. Saran……………………………………………………………
57 58
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
60
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Kategori dalam pengolahan data ………….………………..… Sebaran contoh menurut umur ……………………..………… Sebaran contoh menurut berat badan ……………..………….. Sebaran contoh menurut tinggi badan …………………..……. Sebaran contoh menurut berat badan lahir ………………..….. Sebaran contoh menurut jumlah anggota keluarga………..….. Sebaran contoh menurut umur orang tua …………………….. Sebaran contoh menurut pendidikan orang tua……………….. Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan ayah.. ……………… Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan ibu………………….. Sebaran contoh menurut pendapatan keluarga…..………...….. Sebaran contoh menurut jenis kelamin…………..…………… Rata-rata nilai lingkungan fisik rumah…………………...…… Sebaran contoh menurut lingkungan fisik rumah…….....……. Rata-rata nilai perilaku sumber penularan ……………...……. Sebaran contoh menurut perilaku sumber penularan…...…….. Sebaran contoh menurut riwayat kontak... ……….………….. Sebaran contoh menurut keberadaan faktor toksik…….……... Sebaran contoh menurut status sosial ekonomi keluarga...…… Sebaran contoh menurut status gizi masa lalu...………..…….. Rata-rata nilai ibu menurut aspek partisipasi di Posyandu…… Sebaran contoh menurut tingkat partisipasi ibu di Posyandu.... Sebaran contoh menurut tingkat kehadiran ibu di Posyandu..... Rata-rata nilai pengetahuan ibu menurut aspek yang diteliti…. Sebaran contoh menurut tingkat pengetahuan ibu…...……….. Rata-rata nilai sikap ibu menurut aspek yang diteliti………..... Sebaran contoh menurut sikap ibu…....………...…………….. Rata-rata nilai perilaku ibu menurut aspek yang diteliti..…...... Sebaran contoh menurut perilaku ibu…..……....…………….. Hubungan partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu anak………………………………………………………. Hubungan partisipasi ibu di Posyandu dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu………………………………………..
21 24 25 25 26 27 28 30 31 32 33 34 36 37 38 39 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 48 49 50 51 53
PENDAHULUAN Latar Belakang
Murid TK termasuk dalam kelompok usia pra sekolah. Pada masa ini seorang anak tengah berusaha membangun kemandiriannya. Tetapi karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki, dalam banyak hal mereka seringkali gagal. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikisnya sehingga anak pada masa ini rawan mengalami kecelakaan dan gangguan kesehatan (Hurlock 1999). Anak yang sakit tidak akan menjadi orang dewasa yang sehat. Akibatnya, ia tidak akan dapat berkarya untuk masyarakat dan bangsa. First Informal Consultation on Growth of Children (Unicef 1998) menyepakati bahwa pertumbuhan
anak
merupakan
indikator
kunci
dalam
kesehatan
dan
perkembangan anak dan dapat menggambarkan bagaimana suatu masyarakat akan melaksanakan
pembangunan.
Dengan
kata
lain,
anak-anak
merupakan
sumberdaya manusia suatu bangsa. Ukuran kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa dinyatakan dalam HDI (Human Development Index) yang merupakan indeks kualitas kesehatan, pendidikan, dan perekonomian suatu Negara. Laporan UNDP meyebutkan bahwa peringkat HDI Indonesia pada tahun 2005 berada di urutan ke-111 dari 175 negara di dunia. Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia masih rendah. Menurut Khomsan (2002) kualitas SDM yang rendah dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan. Salah satu masalah kesehatan yang akhir-akhir ini sering dijumpai pada anak-anak adalah penyakit Tuberkulosis (TB) (Sujayanto & SK 2000). Berdasarkan data dari Puskesmas Paseh Kabupaten Sumedang, pada tahun 2005 tercatat 88 (22,6%) murid sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) yang harus secara teratur menjalani pengobatan TB sampai tuntas (minimal 6 bulan berturut-turut). Angka ini merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya sehingga diperkirakan akan terjadi peningkatan angka kasus TB anak setiap tahun berikutnya.
Seorang anak yang terkena penyakit TB akan menjadi seorang manusia yang lemah. Akibatnya, ia tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bahkan dapat mengalami kematian. Jika kelak ia menjadi manusia dewasa, produktivitas kerjanya akan rendah, pendapatannya kecil, dan jatuh pada kondisi kemiskinan (Ikhsan 2002). Penyakit TB masih merupakan masalah besar dan serius di dunia meskipun sudah ditemukan paduan obat yang ampuh untuk menyembuhkannya. Pada tahun 1993 WHO menyatakan situasi ini sebagai global emergency karena setiap tahun selalu terjadi peningkatan kasus TB akibat penyebarannya yang sangat cepat dan meluas. Di Indonesia, berdasarkan hasil SKRT tahun 2001 TB menduduki peringkat pertama penyebab kematian dalam kelompok penyakit infeksi. Laporan internasional bahkan menunjukkan bahwa Indonesia adalah penyumbang kasus pasien TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina (WHO 2003). TB pada anak tidak lepas hubungannya dengan orang dewasa karena penularannya berasal dari orang dewasa yang menderita TB (Ismail 2003). Selain itu, faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk dan HIV/AIDS (Depkes RI et.al. 2001). Kuman TB juga mengalami masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit. Dengan demikian, kejadian TB yang terdeteksi pada murid TK memiliki kemungkinan akibat adanya infeksi pada masa lalu anak yang didukung oleh status gizi yang kurang baik. Masalah gizi yang dialami oleh anak disebabkan oleh faktor utama yaitu konsumsi gizi yang kurang memadai dan adanya penyakit infeksi. Kedua faktor utama tersebut sangat dipengaruhi antara lain oleh pola asuh gizi dan kesehatan yang diterapkan oleh ibu. Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang diterapkan sehari-hari seperti pemberian makan, pemeliharaan kesehatan, stimulasi mental, serta dukungan emosional dan kasih sayang akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap tumbuh kembang intelektual anak (Engel et.al. 1998 diacu dalam Wahidah 2004). Anak-anak dapat dengan mudah tertular penyakit TB apabila ibunya tidak menerapkan pola pengasuhan kesehatan yang baik seperti menghindarkan anak
dari kontak langsung dengan penderita TB dewasa, pemeliharaan status gizi anak, dan pemeliharaan higiene dan sanitasi lingkungan. Pola asuh yang diterapkan oleh ibu terhadap anaknya antara lain dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu terutama mengenai kesehatan dan gizi. Pengetahuan ibu selain ditentukan oleh karakteristik ibu (umur, pendidikan, keadaan sosial ekonomi) juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi
(Madanijah 2003). Pengetahuan masyarakat
khususnya ibu-ibu mengenai penyakit TB dapat mempengaruhi tingkat penyebaran penyakit ini. Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat yang dapat dimanfaatkan oleh ibu untuk memperoleh pelayanan dan informasi kesehatan. Ibu-ibu dapat memanfaatkan Posyandu yang terdekat sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuannya dalam hal gizi dan kesehatan. Melalui kegiatan di Posyandu, pemantauan status gizi dan kesehatan anak dapat dilakukan dengan baik.
Selain
itu,
anak
dapat
memperoleh
pelayanan
imunisasi
untuk
melindunginya dari penyakit menular seperti TB. Sayangnya, menjelang anak usia TK sebagian besar ibu-ibu jarang atau bahkan tidak pernah lagi datang ke Posyandu sehingga status gizi anaknya menjadi tidak terpantau dengan baik. Kenyataan ini dapat dilihat dari angka DO (Drop Out) sasaran Posyandu di wilayah Kecamatan Paseh yang mencapai 36,0% pada tahun 2005. Selain itu, cakupan tingkat partisipasi di Posyandu (D/S) pada kelompok umur 3-5 tahun di Kecamatan Paseh hanya mencapai sekitar 20% dari target 80% pada tahun yang sama. Oleh karena itu, kemungkinan seorang anak mengalami masalah gizi pada masa ini cukup besar. Akibatnya, daya tahan tubuh anak menjadi lemah sehingga mudah terkena penyakit menular seperti TB. Roedjito (1987) menyatakan bahwa TB dapat dipakai sebagai patokan untuk menilai keadaan gizi yang lalu maupun sekarang, asal umur anak diketahui dengan tepat. Selain itu, retardasi pertumbuhan dan pubertas yang terlambat dapat dihubungkan dengan penyakit kronis (Behrman & Vaughan 1988). Berdasarkan hal tersebut diatas penulis ingin meneliti hubungan antara status gizi masa lalu anak dan partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian TB pada murid TK.
Tujuan
Umum : Meneliti hubungan antara status gizi masa lalu anak dan partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian TB pada murid TK. Khusus : 1.
Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga murid TK yang TB dan yang tidak TB.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB pada murid TK.
3.
Meneliti hubungan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian TB pada murid TK.
4.
Meneliti hubungan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu murid TK.
5.
Meneliti hubungan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam hal gizi dan kesehatan anak.
6.
Meneliti hubungan antara status gizi masa lalu anak dengan kejadian TB pada murid TK.
7.
Meneliti hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam hal gizi dan kesehatan anak dengan kejadian TB pada murid TK. Hipotesis
1.
Terdapat hubungan negatif antara partisipasi ibu di posyandu dengan status gizi anak pada masa lalu.
2.
Terdapat hubungan positif antara partisipasi ibu di posyandu dengan kejadian TB pada murid TK.
3.
Terdapat hubungan positif antara partisipasi ibu di posyandu dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu.
4.
Terdapat hubungan negatif antara status gizi masa lalu anak dengan kejadian TB pada murid TK.
5.
Terdapat hubungan negatif antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan kejadian TB pada murid TK.
Kegunaan
Bagi dunia ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat diterima sebagai tambahan informasi mengenai variabel status gizi masa lalu anak dan partisipasi ibu di Posyandu sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian TB pada murid TK. Bagi masyarakat, penelitian ini berguna dalam upaya penangulangan TB dan mendorong peran serta masyarakat di Posyandu sebagai bagian dari upaya revitalisasi Posyandu. Sedangkan bagi peneliti, penelitian ini adalah sebagai suatu tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam rangka menerapkan dan menggali ilmu yang telah didapatkan di bangku kuliah. Selain itu, menjadi bekal untuk kembali melaksanakan tugas perbaikan gizi masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA Tuberkulosis (TB) pada Anak-Anak
Patogenesis Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI et.al 2001). Seorang anak menjadi terserang TB oleh kuman TB yang ada di sekelilingnya yang berasal dari penderita TB dewasa. Ketika seorang penderita TB dewasa batuk, percikan dahaknya akan menyebar di udara. Percikan ini mengandung basil TB yang masih hidup. Jika seorang anak menghirup udara yang sudah mengandung basil TB ini, perlahan-lahan basil akan berkembang biak dan menyebabkan lesi pada paru-paru (Biddulph & Stace 1999). Selain itu, kuman TB dapat menulari anak melalui makanan atau susu dari sapi yang terinfeksi TB serta melalui kulit yang luka dan terbuka (Crofton et.al 2002). Basil TB menyebar di dalam tubuh melalui saluran limfe dan aliran darah. Sebagian basil menyebar melalui pembuluh getah bening ke kelenjar getah bening (nodus limfatikus). Basil lalu tumbuh dan menyebabkan pembesaran nodus (Biddulph & Stace 1999). Pembengkakan kelenjar getah bening di bagian leher menjadi alat deteksi petugas kesehatan dalam menjaring anak yang terinfeksi TB. Sementara itu, basil TB yang menyebar melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh terutama organ dengan tekanan oksigen yang tinggi seperti hepar, lien, ginjal, tulang, otak, dan sebagainya. Basil tersebut dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam jaringan dan dapat menyebabkan TB aktif bertahun-tahun kemudian (Rahajoe 2002).
Banyak anak yang terinfeksi TB tapi hanya sedikit yang menjadi sakit. Hal ini ditentukan oleh tingkat kekebalan anak (imunitas spesifik). Pada sebagian besar anak, imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan basil TB. Dengan demikian, mereka tidak akan sakit. Beberapa anak mungkin sakit untuk sementara dengan gejala demam dan penurunan berat badan kemudian mereka akan sembuh dengan sendirinya. Pada anak dengan kekebalan lemah (imunitas spesifik tidak terbentuk atau tidak cukup kuat) akan terjadi penyakit TB dalam 12 bulan atau lebih setelah infeksi (Rahajoe 1994). Pada umumnya, reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Bahkan, 25% penderita TB akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi. Apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh pada seseorang yang telah terpapar kuman TB, akan timbul TB pasca primer yaitu kerusakan paru yang luas. Penurunan daya tahan tubuh dapat terjadi akibat terinfeksi HIV/AIDS atau status gizi yang buruk (Depkes RI et.al 2001). Diagnosis TB pada Anak Diagnosis TB pada anak sulit ditegakan. Hal ini karena specimen untuk pemeriksaan mikrobiologis seperti sputum (dahak) atau bilasan lambung sukar didapat. Seandainya pun specimen itu di dapat, hasil pemeriksaan mikroskopis dengan biakan sering negatif (Rahajoe 2002). Berdasarkan Depkes RI et.al. 2001, seorang anak harus dicurigai menderita TB kalau : •
Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif,
•
Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari),
•
Terdapat gejala umum TB, yaitu :
•
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).
•
Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
•
Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
•
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal).
•
Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
•
Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen. Crofton et.al (2002) sangat menganjurkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan klinis dalam upaya menghindari kesalahan-kesalahan dalam pengobatan TB pada anak-anak. Pemeriksaan tersebut terutama meliputi : riwayat kesehatan keluarga, berat badan, bunyi nafas, perabaan kelenjar getah bening, tes Mantoux (reaksi tuberkulin), dan foto toraks (Rontgen). Dalam kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak yang dilaksanakan oleh Puskesmas Paseh, dilakukan pemeriksaan dengan cara perabaan/palpasi kelenjar limfe di daerah leher anak. Bila teraba adanya pembengkakan, maka anak akan dirujuk ke Puskesmas dan rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam rangka penegakan diagnosis TB. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB 1.
Umur Bayi dan anak kecil mempunyai daya tahan tubuh yang lemah. Anak kecil mempunyai lebih sedikit kekebalan tubuh dibanding anak yang lebih tua. Makin muda umur anak makin rentan ia terhadap serangan penyakit (Crofton et.al. 2002). Sementara itu penelitian Atmosukarto et.al. (2000) diacu dalam Na’im (2004) menunjukan bahwa risiko terkena TB pada kelompok usia 0-4 tahun adalah 6 kali lebih besar daripada kelompok usia 5-14 tahun.
2.
Jenis Kelamin Data WHO menunjukan bahwa TB paru adalah pembunuh wanita nomor 1 di dunia. Wanita usia reproduksi mempunyai risiko lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama untuk menderita TB paru. Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap hal tersebut adalah karena hormon dan keadaan gizi wanita terutama saat hamil melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kerentanan tubuh untuk terkena infeksi TB paru (Mulyadi 2003). 3.
Ras Terdapat bukti-bukti yang jelas bahwa populasi terasing seperti orang Eskimo atau orang Indian ketika pertama kali mereka terkena TB daya tahan tubuhnya sangat buruk (Crofton et.al 2002). Penelitian John Adam di Amerika Serikat diacu dalam Mulyadi (2003) juga menunjukan bahwa ras kulit hitam dan hispanik mempunyai risiko terkena TB aktif lebih besar dibandingkan dengan orang kulit putih.
4.
Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi mengarah pada kemiskinan dan kondisi pemukiman yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk sehingga dapat menurunkan daya tahan tubuh dan memudahkan terjadinya infeksi. Orang-orang yang hidup dalam kondisi ini juga sering bergizi buruk. Masalah yang sangat kompleks ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi penyakit (Crofton et.al. 2002).
5.
Status Gizi Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun (Moehji 1988). Selain itu, Depkes RI et.al (2001) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS. Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi, sebaliknya infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi. Hal tersebut dapat berlangsung melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan,
menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare atau muntah-muntah, dan mempengaruhi metabolisme makanan (Santoso & Ranti 1999). Infeksi TB sering dianggap sebagai biang keladi penyebab utama kesulitan makan pada anak (Judarwanto 2005). Hal ini dapat mengakibatkan munculnya masalah gizi pada anak terutama kejadian KEP (Kurang Energi Protein). Masalah gizi ini merupakan akibat dari interaksi antara berbagai faktor, tetapi yang paling utama adalah akibat konsumsi makanan yang kurang memadai dan adanya penyakit infeksi (Beck 1995). TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk gizi anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan malnutrisi dan infeksi (Biddulph & Stace 1999). Anak-anak dengan penyakit
kronis
seperti
TB
biasanya
mengalami
keterlambatan
pertumbuhan, tubuh mereka akan menjadi kecil terutama bila pengobatan tidak diberikan sejak dini (Jellife & Jellife 1979). 6.
Lingkungan Fisik Rumah Dengan memperhatikan cara keluar kuman TB
dari penderita TB
BTA (+) dan sifat kuman TB yang tahan panas, mati apabila terkena sinar matahari langsung, serta tahan beberapa jam di tempat lembab, maka ruangan yang gelap dan relatif tertutup dengan ventilasi minimum akan memperpanjang umur kuman. Kusnindar et.al. (1993) diacu dalam Mulyadi (2003) menyatakan bahwa lingkungan perumahan yang merupakan faktor risiko penularan TB paru adalah kepadatan hunian terutama kamar tidur, pencahayaan terutama sinar matahari dan perhawaan (ventilasi). Untuk mengurangi risiko tersebut Depkes RI (1994) mensyaratkan rumah sehat harus memiliki rasio luas lantai dengan penghuni minimal 9 meter persegi perorang dan ventilasi minimal seperlima luas lantai. 7.
Adanya Penyakit Tertentu The Advertising Committee for Elimination of Tuberculosis-CDC Atlanta (1990) diacu dalam Mulyadi (2003) merekomendasikan perlunya dilakukan screening terhadap beberapa kelompok untuk infeksi TB. Salah
satu diantaranya adalah kelompok yang mempunyai risiko medis, yaitu : silicosis, Gastrectomy, berat badan kurang (10% atau lebih di bawah ideal), gangguan ginjal kronik, diabetes mellitus, beberapa kelainan hematologis, leukemia, dan sebagainya. Biddulph & Stace (1999 ) juga menyatakan bahwa TB lebih mudah menyebar dalam tubuh anak yang sudah diperlemah oleh adanya penyakit batuk rejan, campak atau infeksi lainnya seperti malaria atau diare kronik. 8.
Kontak dengan Sumber Penyakit ( Penderita TB Dewasa) Kontak erat seperti dalam keluarga
dan pemaparan besar-besaran
seperti pada petugas kesehatan memungkinkan penularan lewat percikan dahak. Hubungan fisik yang erat dengan sumber penyakit bisa mempengaruhi
kemungkinan
infeksi.
Makin
menigkatnya
berhubungan dengan penderita juga memberi kemungkinan yang
waktu lebih
besar pada kontak dengan sumber penyakit (Mulyadi 2003). 9.
Imunisasi BCG BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya. BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG, TB dapat memasuki tubuh tetapi karena adanya daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh kuman-kuman tersebut. Efek BCG mungkin bertahan sampai 15 tahun, setidak-tidaknya pada populasi yang berkecukupan gizi (Crofton et.al. 2002). Sementara itu hasil penelitian Na’im (2004) menunjukan bahwa anak-anak yang tidak mendapat vaksin BCG mempunyai risiko sakit paru lebih besar 2,2 kali daripada anakanak yang divaksin. Meskipun demikian, daya kekebalan vaksin BCG untuk mencegah TB hanya 20 % (Ismail 2003). Selanjutnya, Ten Dam & Pio (1982) diacu dalam Na’im (2004) menyatakan bahwa vaksinasi BCG tidak memberikan perlindungan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya TB sampai orang menjadi dewasa. Vaksinasi BCG tetap diberikan karena diyakini masih cukup berguna untuk memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB berat pada anak-anak.
10.
Faktor-Faktor Toksik Merokok tembakau dan minum banyak alkohol merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh. Sama halnya dengan obat kortikosteroid dan immunosuposif lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit tertentu (Crofton et.al. 2002). Penelitian Snider (1992) diacu dalam Mulyadi (2003) menunjukan bahwa merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
11.
Perilaku Perilaku yang berkaitan dengan penularan TB paru antara lain meludah di sembarang tempat. Perilaku tersebut berisiko untuk menularkan kepada orang lain dimana penderita TB paru dewasa sering kurang memperhatikan kesehatan dirinya dan baru menyadarinya setelah kondisi tubuh melemah atau batuk mengeluarkan darah dan sesak nafas. Kondisi tersebut padahal merupakan kondisi yang sangat infeksius sehingga apabila penderita meludah maka ludah yang mengandung kuman TB paru akan tersebar di lingkungan sekitarnya (Ngastiyah 1997).
Pemantauan Status Gizi dengan Menggunakan KMS di Posyandu
Salah satu kegiatan yang dilakukan di Posyandu adalah penimbangan bulanan bayi dan anak balita. Melalui data hasil penimbangan berat badan yang dilakukan setiap bulan di Posyandu, perkembangan status gizi anak dapat dipantau dalam rangka pemeliharaan kesehatannya (Depkes RI 1986). Status gizi erat hubungannya dengan pertumbuhan dan massa jaringan tubuh (Abunain & Jahari 1989). Dengan demikian, pemantauan status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan indikator pertumbuhan.
Menurut Narendra
(2005) penilaian pertumbuhan merupakan komponen essensial dalam surveilan kesehatan anak karena hampir setiap masalah yang berkaitan dengan fisiologi, interpersonal, dan domain sosial dapat memberikan efek yang buruk pada pertumbuhan anak. Alat yang sangat penting untuk penilaian pertumbuhan anak adalah kurva pertumbuhan (growth chart).
Di Indonesia, terdapat KMS (Kartu Menuju Sehat) yang merupakan modifikasi growth chart NCHS yaitu berat badan terhadap umur balita. KMS adalah alat sederhana dan murah, yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. KMS balita dapat berguna apabila penimbangan dan deteksi tumbuh kembang balita dilakukan setiap bulan dan orang tua selalu memperhatikan catatan dalam KMS balita (Dinkes Propinsi Jabar 2002). Grafik pertumbuhan berat badan yang terputus-putus dalam catatan KMS tidak dapat digunakan untuk memantau keadaan kesehatan dan gizi anak dengan baik. Oleh karena itu, agar status gizi dan kesehatannya dapat dipantau dengan baik maka balita harus ditimbang setiap bulan terutama di Posyandu terdekat.
Partisipasi Ibu di Posyandu
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan merupakan bagian dari perilaku kesehatan seseorang (Notoatmojo 1997). Dalam kegiatan Posyandu, tingkat partisipasi masyarakat di suatu wilayah dapat diukur dengan melihat perbandingan antara jumlah anak balita di daerah kerja Posyandu (S) dan jumlah balita yang datang ditimbang (D) pada setiap jadwal yang ditentukan (Kasmita 2000). Sungguhpun sasaran utama kegiatan Posyandu adalah bayi dan anak balita akan tetapi mereka hanya akan datang dibawa oleh ibu mereka (Moehji 1988). Kedatangan ibu-ibu ke Posyandu dengan membawa anaknya sungguh sangat penting dalam rangka pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak (Sulistiyowati 2004). Hasil penelitian Mushofiah (2002) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sasaran (ibu-ibu) dalam kegiatan Posyandu berhubungan nyata dengan status gizi anak. Selain itu, penelitian Irawan (2003) menunjukan bahwa tingkat partisipasi ibu balita mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kinerja Posyandu. Salah satu ukuran keberhasilan kinerja suatu Posyadu adalah tingkat partisipasi masyarakat (kehadiran ibu dan anaknya) yang > 50% dan kasus kurang gizi yang semakin berkurang di wilayah kerja Posyandu tersebut (Moehji 1988).
Penelitian Hutagalung (1995) mendefinisikan peran serta pengguna Posyandu sebagai keterlibatan ibu balita, kader, dan tokoh masyarakat yang meliputi : kehadiran, keaktifan, penggunaan KMS, dan upaya pengembangan Posyandu. Sementara itu, Mushofiah (2002) mengelompokkan partisipasi ibu di Posyandu ke dalam bentuk-bentuk partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam evaluasi dan monitoring, dan partisipasi dalam menikmati manfaat. Sulamto (1993) menyatakan bahwa partisipasi peserta, kader, dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posyandu berhubungan dengan kemampuan dan kemauan masing-masing kelompok tersebut untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, kegiatan di Posyandu harus mampu menjadikan ibu dan anak balita merasa perlu datang ke posyandu dan merasa rugi jika tidak datang.
Penilaian Status Gizi Masa lalu Murid TK
Murid TK termasuk ke dalam kelompok umur prasekolah. Karakteristik periode ini ditandai oleh tingkat pertumbuhan yang melambat dan relatif tetap. Apabila anak-anak kurang memperoleh perawatan kesehatan dan gizi yang memadai akan mengalami keterlambatan dalam pertumbuhannya (Hurlock 1999). Masalah gizi pada anak prasekolah meliputi masalah stunting, underweight, dan wasting. Stunting atau proses pertambahan Tinggi Badan (TB) yang tidak cukup menurut Umur (U), merupakan implikasi kesehatan yang jelek dan malnutrisi jangka panjang (Riyadi 2001). Prevalensi stunting yang tinggi banyak terjadi di Negara-negara berkembang. Keller (1991) menyatakan bahwa proporsi yang tinggi dari indeks TB/U yang rendah menunjukkan kemiskinan dan tingkat kesehatan yang rendah termasuk konsumsi yang kurang. Penelitian Bardosono (2005) di Indonesia menunjukkan stunting dengan tingkat keparahan sedang (2030%) terjadi di Banggai Sulawesi Utara, stunting dengan tingkat keparahan tinggi di Nabire (33,1%), dan stunting dengan tingkat keparahan sangat tinggi di NTT (47,8%). Penyebab stunting pada usia dini belum diketahui dengan pasti, namun kondisi tersebut diperkirakan akibat kekurangan gizi dan juga kejadian penyakit
infeksi, termasuk infeksi parasit berulang (Bardosono 2005). Retardasi pertumbuhan dan pubertas yang terlambat juga dapat dihubungkan dengan penyakit kronis (Behrman & Vaughan 1988). Berdasarkan penelitian di Cebu Filipina, stunting dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang kurang, pemberian ASI yang kurang memadai, faktor genetik, penyakit infeksi saluran pernafasan, diare, dan berat badan lahir yang rendah (Unicef 1998). Pada anak-anak, informasi tentang umur, berat badan, dan tinggi badan akan dapat memberikan gambaran tentang akut tidaknya kekurangan gizi yang diderita oleh anak, yaitu dengan melihat rasio berat badan dengan tinggi badan, berat badan dengan umur, dan tinggi badan dengan umur. Kekurangan makan yang akut akan mengakibatkan anak kurus berapapun umur atau tinggi badannya. Sedangkan kekurangan makan yang berlangsung lama akan mengakibatkan anak tidak hanya kurus tapi juga pendek. Tinggi badan yang kurang dari normal ini masih akan tampak walaupun anak telah mendapatkan makanan yang cukup kembali (Masjkuri 1991). Indikator antropometri yang menjelaskan proses tersebut adalah TB/U yang rendah/stunted. Gibson (1990) menyatakan bahwa indeks TB/U yang merupakan indeks stunting dari potensi pertumbuhan optimal anak-anak dapat digunakan untuk menilai status gizi masa lalu. Tinggi badan pada umur tertentu adalah hasil kumulatif pertumbuhan sejak lahir sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu (Abunain & Jahari 1989). Indeks TB/U yang rendah bila dikombinasikan dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang normal dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang rendah diinterpretasikan sebagai keadaan anak yang cukup makan tapi pernah kurang gizi Ketiga indeks tersebut digunakan secara bersamaan dalam rangka evaluasi program intervensi (WHO 1983). Berdasarkan Riyadi (2001), sistem pelaporan indeks TB/U dapat dinyatakan dengan cara persen terhadap median. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menggunakan cara persen terhadap median adalah sebagai berikut : 1.
TB diukur dengan menggunakan alat ukur TB atau PB dan catat umurnya dengan tepat.
2.
Data TB aktual tersebut dibandingkan dengan data median TB referensi NCHS/WHO pada umur yang sama dan dikalikan 100%.
3.
Hasilnya
dibandingkan
dengan
kriteria
penggolongan
status
gizi
menggunakan indikator TB/U sehingga didapatkan kriteria status gizinya.
KERANGKA PEMIKIRAN Penyakit TB yang terdeteksi pada murid TK dapat disebabkan oleh infeksi TB yang diperolehnya pada masa lalu. Hal ini karena kuman TB yang dorman dalam tubuh anak selama bertahun-tahun menjadi aktif setelah dipicu oleh daya tahan tubuh anak yang lemah. Lemahnya daya tahan tubuh anak tersebut diakibatkan oleh status gizi yang kurang baik pada saat sebelum terkena penyakit TB. Untuk menilai status gizi masa lalu murid TK, digunakan indeks Tinggi Badan (TB) menurut Umur (U). Pertumbuhan tinggi badan ini dipengaruhi juga oleh faktor genetik, berat badan lahir, kebiasaan makan, dan terpenuhinya makanan bergizi pada anak. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB pada anak, yaitu : jenis kelamin, lingkungan fisik rumah (udara dalam rumah, pencahayaan, ventilasi, dan kepadatan penghuni), adanya penyakit tertentu yang dapat semakin memicu dan memperberat penyakit TB pada anak, kontak dengan sumber penular (penderita TB dewasa), faktor-faktor toksik (rokok dan obat-obat tertentu), perilaku kesehatan sumber penular (batuk, meludah sembarangan, dan kontak fisik yang erat dengan anak), dan status sosial ekonomi keluarga. Karakteristik
sosial
ekonomi
keluarga
juga
akan
mempengaruhi
pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu yang menentukan pola asuh gizi dan kesehatan yang diterapkan terhadap anaknya. Variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu ini dapat pula dipengaruhi oleh tingkat partisipasi ibu di Posyandu. Hal ini karena Posyandu merupakan sumber informasi kesehatan dan gizi yang tepat bagi bayi dan balita. Di Posyandu pula ibu-ibu dapat memperoleh pelayanan imunisasi bagi anaknya untuk pencegahan penyakit menular seperti TB. Imunisasi BCG dapat membentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit TB sehingga daya tahan tubuh anak terhadap penyakit tersebut menjadi meningkat. Pada penelitian ini, variabel-variabel dan hubungan antar variabel yang akan diteliti ditunjukkan oleh Gambar 1 berikut :
BB Lahir
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu
Pola Asuh
Partisipasi Ibu di Posyandu
Imunisasi BCG
Konsumsi Gizi
Genetik
Status Gizi Masa Lalu (TB/U)
Status Gizi Saat ini
Daya Tahan Tubuh
Karakteristik Sosial Ekonomi Penyakit TB Faktor-faktor Yang Mempengaruhi TB: • Jenis Kelamin • Lingkungan fisik rumah • Penyakit tertentu • Kontak dengan sumber penyakit • Faktor Toksik • Perilaku penderita TB dewasa • Status sosial ekonomi
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Hubungan antara status gizi masa lalu anak dan partisipasi ibu di posyandu dengan kejadian TB pada murid TK.
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dan dilakukan di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan kepentingan peneliti sebagai petugas gizi di wilayah tersebut. Penelitian dilaksanakan selama Bulan Januari -Mei 2006.
Contoh dan Cara Penarikan Contoh Contoh pada penelitian ini adalah murid TK yang TB dan yang tidak TB. Menurut Hadi (1980) jumlah contoh sebanyak 30 dapat dikategorikan sebagai contoh dengan jumlah besar yang distribusi sampling statistiknya mendekati distribusi normal. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan 30 murid TK yang TB dan 30 murid TK yang tidak TB sebagai contoh sehingga keseluruhan contoh menjadi 60 orang murid TK. Jumlah TK yang ada di Kecamatan Paseh adalah 19 dengan jumlah murid sebanyak 389 orang. Sedangkan jumlah murid TK yang TB adalah 88 orang. Penentuan contoh dilakukan dengan terlebih dulu membuat kerangka sampling berdasarkan daftar nama murid TK yang TB dan daftar nama murid TK yang tidak TB. Selanjutnya, dari masing-masing daftar tersebut dipilih secara acak 30 orang anak yang akan menjadi contoh dalam penelitian ini.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi TB pada anak, partisipasi ibu di Posyandu, dan pengetahuan, sikap, serta perilaku ibu. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara menggunakan kuesioner. Pertanyaan diajukan dengan cara dibacakan kepada responden yaitu ibu dari anak TK. Selain itu, dilakukan pengamatan untuk melihat kondisi lingkungan fisik rumah responden dan cross cek data dengan register Posyandu untuk melihat tingkat kehadiran ibu di Posyandu. Sementara itu, data sekunder meliputi data status TB anak, tinggi badan, berat badan, umur, riwayat penyakit, kategori Keluarga Sejahtera, data murid TK
se-Kecamatan Paseh, dan data gambaran umum lokasi penelitian. Data-data tersebut diperoleh dari Puskesmas, kantor kecamatan, kantor Dinas Pendidikan Nasional kecamatan, dan dari setiap TK.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul selanjutnya diverifikasi dan diolah dengan program SPSS 11.0 for Windows. Perbedaan variabel antara dua kelompok dianalisis dengan uji t dan uji Mann Whitney. Hubungan antar variabel dianalisis dengan uji korelasi Rank Spearman dan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel digunakan uji regresi linier berganda.
Definisi Operasional Murid TK adalah anak yang bersekolah di Taman Kanak-Kanak dan telah diperiksa pada kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak yang dilaksanakan oleh Puskesmas Paseh pada tahun 2005. Penyakit TB adalah penyakit akibat Mycobacterium tuberculosis pada anak dengan penegakan diagnosa melalui hasil Tes Mantoux, pemeriksaan laboratorium dan foto roentgen oleh rumah sakit. Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah keadaan orang tua murid TK yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan/bulan/kapita. Status sosial ekonomi keluarga adalah tingkat sosial ekonomi keluarga responden berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga menurut standar BKKBN. Data ini diperoleh dari hasil pendataan keluarga oleh BKKBN Kecamatan Paseh. Faktor-faktor yang mempengaruhi TB adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian TB pada anak, meliputi : jenis kelamin, lingkungan fisik rumah, adanya penyakit tertentu, kontak dengan sumber penular, faktor-faktor toksis, perilaku kesehatan sumber penular, dan status sosial ekonomi keluarga . Lingkungan fisik rumah adalah keadaan rumah responden yang meliputi kebersihan, udara di dalam rumah, pencahayaan, ventilasi, dan kepadatan penghuni.
Faktor-faktor toksik adalah bahan-bahan kimia yang memperburuk kondisi infeksi TB pada anak yaitu rokok. Adanya penyakit tertentu adalah adanya penyakit yang mempermudah dan memperberat penyakit TB pada anak seperti gangguan ginjal kronik, diabetes mellitus, leukemia, campak, batuk rejan, malaria atau diare kronik. Riwayat kontak adalah kontak fisik dengan penderita TB dewasa. Perilaku kesehatan sumber penularan adalah kebiasaan penderita TB dewasa yang meliputi aspek menutup mulut jika batuk atau bersin, lokalisasi ludah dan dahak, dan kontak erat dengan anak-anak. Status Imunisasi BCG adalah riwayat pemberian imunisasi BCG pada anak sewaktu bayi. Partisipasi posyandu adalah tingkat keterlibatan ibu di posyandu pada masa anak seharusnya masih hadir di Posyandu, meliputi aspek kehadiran, upaya pengembangan, keaktifan bertanya, dan penggunaan KMS. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku adalah tingkat pemahaman, tanggapan, dan tindakan ibu dari murid TK, yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan terutama mengenai penyakit Tuberkulosis. Status Gizi adalah keadaan gizi murid TK pada masa sebelum sakit TB yang ditentukan dengan indikator Tinggi Badan (TB) menurut Umur (U), sesuai dengan metode NCHS/WHO. Data tinggi badan diperoleh dari hasil pengukuran oleh petugas Puskesmas pada kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak TK.
Kategori dalam pengolahan data Variabel-variabel penelitian yang akan digunakan selanjutnya dikategorikan berdasarkan kriteria yang sudah ada untuk memudahkan pengolahan data. Kriteria untuk semua variabel ditentukan berdasarkan kondisi dan jawaban yang diberikan oleh responden. Bila kondisi lingkungan fisik rumah responden baik diberi skor 1 dan bila tidak baik diberi skor 0. Bila jawaban responden tentang variabel perilaku sumber penularan dan partisipasi Posyandu Ya maka diberi skor 3, bila KadangKadang diberi skor 2, dan bila Tidak diberi skor 1. Selanjutnya, variabel pengetahuan ibu bila jawaban responden benar maka diberi skor 1 dan bila
jawaban responden salah diberi skor 0. Dalam variabel sikap ibu skor 3 diberikan untuk jawaban positif atas pernyataan positif dan jawaban negatif atas pernyataan negatif, skor 2 untuk jawaban netral, dan skor 1 untuk jawaban positif atas pernyataan negatif atau jawaban negatif atas pernyataan positif.
Sedangkan
variabel perilaku ibu skor 3 diberikan untuk jawaban ya/tepat, skor 2 untuk jawaban kadang-kadang/kurang tepat, dan skor 1 untuk jawaban tidak/tidak tepat. Tabel 1 menunjukkan pengkategorian variabel-variabel dalam penelitian ini. Tabel 1 Kategori dalam pengolahan data Variabel Kejadian TB
Kategori Sakit TB
Kriteria Sedang menjalani pengobatan TB
Tidak sakit TB
Sumber
Tidak sedang menjalani
Puskesmas Paseh
pengobatan TB Status gizi (TB/U)
Baik
median > 95%
Sedang
median 90-95%
Riyadi
Kurang
85 > median < 90%
(2001)
Buruk
median < 85%
Normal
= 2500 g
Depkes RI
Kurang
< 2500 g
(1992)
Jumlah Anggota
Kecil
=4
BKKBN
Keluarga
Besar
>4
(1985)
Status Imunisasi
Ya
Pernah diimunisasi BCG
Berat badan lahir
BCG
Lingkungan fisik rumah
Tidak pernah diimunisasi Tidak
BCG
Baik
Bersih, Tidak Pengap, Terang, Tidak Padat, Ventilasi Cukup (Skor 5)
Kurang Riwayat Kontak
Ada
Tidak bersih, Pengap, Gelap, Padat, Ventilasi Kurang (Skor < 5) Pernah kontak dengan penderita TB dewasa
Tidak
Tidak pernah kontak dengan penderita TB dewasa
Crofton et.al. (2002)
Depkes RI (1994)
Mulyadi (2003)
Tabel 1 (lanjutan)
Variabel Penyakit tertentu
Kategori Ada
Tidak Ada
Faktor toksik Perilaku kesehatan sumber penular Status sosial ekonomi keluarga Pengetahuan ibu
Sikap Ibu
Ada Tidak Ada Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang Baik Sedang Kurang Baik Sedang
Kriteria Pernah atau sedang menderita penyakit yang memperberat TB Tidak Pernah atau tidak sedang menderita penyakit yang memperberat TB Ada yang merokok Tidak ada yang merokok > 80% 60-80% < 60% KS III KS II KS I > 80% 60-80% < 60% > 80% 60-80% < 60%
Sumber
Crofton et.al. (2002)
Crofton et.al. (2002) Mulyadi (2003) Register Pendataan Keluarga Khomsan (2002)
-
Kurang Perilaku Ibu
Baik Sedang Kurang
> 80% 60-80% < 60%
Tingkat partisipasi Baik ibu di Posyandu Sedang Kurang
> 80% 60-80% < 60% < 20
Umur ayah dan Umur Ibu (tahun)
Remaja Dewasa awal Dewasa tengah
Pendapatan keluarga
Diatas rata-rata Dibawah rata-rata
20-40 40-65 > Rp 137..929,< Rp 137.929,-
-
-
Papalia & Olds (1981) BPS & BAPPEDA (2004)
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Paseh merupakan salah satu dari 26 wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang dengan luas wilayah 3297,6 ha. Kecamatan ini dilintasi oleh jalan propinsi yang menuju Cirebon. Sarana tranportasi umum untuk mencapai 10 desa yang termasuk wilayah kerja kecamatan tersebut sebagian besar harus menggunakan ojeg. Jumlah penduduk Kecamatan Paseh saat ini adalah 34.299 jiwa dengan 16.912 jiwa laki-laki dan 17.387 jiwa perempuan. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Paseh sebagian besar adalah petani pemilik tanah. Wilayah ini cukup terkenal dengan keahlian penduduknya sebagai pembuat mebel. Dengan keahlian tersebut cukup banyak penduduk yang bekerja pada perusahaan mebel di luar kota. Selain itu, terdapat dua desa yaitu Citepok dan Haurkuning yang sumber penghasilan penduduknya sebagian besar dari hasil berdagang mie rebus instant di Jakarta. Dengan demikian, tidak sedikit kepala keluarga yang jarang berkumpul dengan anggota keluarganya. Di Kecamatan Paseh tidak tercatat keluarga dengan kategori Pra KS, namun dalam bidang kesehatan tercatat 9,2% KK pemegang Kartu Sehat. Sarana kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat meliputi Puskesmas Kecamatan, 3 Puskesmas pembantu, 10 tempat bidan desa, 2 bidan praktek swasta, 2 dokter praktek swasta, 1 balai pengobatan, 1 apotik, dan 52 Posyandu. TB paru di Kecamatan Paseh termasuk dalam 10 pola penyakit yang diderita oleh masyarakat. Upaya penanggulangan TB di Kecamatan Paseh sampai dengan Trimester I tahun 2006 telah mencapai angka kesembuhan TB paru sebesar 81,8%. Hal ini sangat ditunjang oleh penerapan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy). Kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK) murid TK dan Pemeriksaan Dini bagi murid SD serta SMP menjadi salah satu sarana bagi penjaringan penderita TB. Pada tahun 2005 kegiatan Deteksi Dini Tumbuh Kembang murid TK telah dilaksanakan di 19 sekolah terhadap 389 orang siswa.
Karakteristik Contoh
Umur Umur contoh diketahui dengan cara pengurangan tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan kegiatan DDTK di setiap TK oleh tanggal, bulan, dan tahun kelahiran contoh. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data umur contoh secara tepat dalam satuan tahun dan bulan. Sebaran contoh menurut umur pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran contoh menurut umur Umur (bulan)
TB
Tidak TB
n
%
n
%
< 60
1
3,3
1
3,3
60-72
28
93,3
27
90,0
>72
1
3,4
2
6,7
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
72,3±6,1
71,2±7,2
P=0,501
Umur contoh pada kedua kelompok berkisar antara 56-85 bulan. Rata-rata umur pada kelompok TB adalah 72,3 bulan. Sedangkan pada kelompok tidak TB adalah 71,2 bulan. Dengan demikian rata-rata umur contoh pada kelompok TB sedikit lebih tua jika dibandingkan dengan rata-rata umur contoh pada kelompok tidak TB. Hampir seluruh contoh pada kedua kelompok berumur antara 60-72 bulan ( 93,3% dan 90,0%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal umur pada kedua kelompok contoh. Berat Badan Data berat badan contoh diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan timbangan injak oleh petugas puskesmas pada saat pelaksaaan kegiatan
DDTK. Pengkategorian berat badan contoh ditentukan berdasarkan
interval kisaran berat badan seluruh contoh yang kemudian dikelompokan menjadi dua kategori. Hasil penelitian berat badan contoh pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada kelompok TB berat badan contoh berkisar antara 10-20 kg dengan rata-rata 16,7 kg. Sedangkan pada kelompok tidak TB berat badan contoh berkisar antara 14-21 kg dengan rata-rata 17,8 kg. Dengan demikian, rata-rata berat badan pada kelompok TB lebih ringan dibandingkan dengan yang tidak TB. Tabel 3 Sebaran contoh menurut berat badan Berat Badan
TB
Tidak TB
(kg)
n
%
n
%
10-15
18
60,0
7
23,3
16-21
12
40,0
23
76,7
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
16,7±2,3
17,8±2,5
P=0,069
Sebagian besar contoh pada kelompok TB memiliki berat badan
pada
kategori 10-15 kg (60,0%). Sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar contoh memiliki berat badan pada kategori 16-21 kg (76,7%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal berat badan pada kedua kelompok contoh. Tinggi Badan Tinggi badan contoh diukur oleh petugas puskesmas pada saat kegiatan DDTK dilaksanakan di setiap TK. Kategori tinggi badan contoh dibuat berdasarkan interval kisaran tinggi badan seluruh contoh yang kemudian dikelompokan menjadi dua kategori sebagaimana tampilan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh menurut tinggi badan Tinggi Badan
TB
Tidak TB
(cm)
n
%
n
%
95-107
14
46,7
6
20,0
107,5-119,5
16
53,3
24
80,0
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
107,3±4,3 P=0,000
111,7±4,5
Pada kelompok TB tinggi badan contoh berkisar antara 95-115 cm dengan rata-rata 107,3 cm. Sedangkan pada kelompok tidak TB tinggi badan contoh berkisar antara 103-119,5 cm dengan rata-rata 111,7 cm. Dengan demikian ratarata tinggi badan contoh pada kelompok TB lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Sebagian besar contoh pada kedua kelompok memiliki tinggi badan pada kategori 107,5-119,5 cm (53,3% dan 80,0%). Uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata dalam hal tinggi badan pada kedua kelompok. Berat Badan Lahir (BBL) Tabel 5 berikut ini menunjukkan hasil penelitian berat badan lahir pada kedua kelompok contoh. Tabel 5 Sebaran contoh menurut berat badan lahir Berat Badan
TB
Tidak TB
Lahir
n
%
n
%
Normal (= 2500 g)
28
93,3
27
90,0
Kurang (< 2500 g)
2
6,7
3
10,0
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
3223,3±558,1
3010,0±579,2
P= 0,152
Sebagian besar contoh pada kedua kelompok memiliki berat badan lahir normal, yaitu 93,3% pada kelompok TB dan 90,0% pada kelompok tidak TB. Berat badan lahir pada kelompok TB berkisar antara 2000-4400 g dengan rata-rata 3223,3 g. Sedangkan pada kelompok tidak TB berkisar antara 1700-4500 g dengan rata-rata 3010,0 g. Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal berat badan lahir pada kedua kelompok contoh. Hurlock (1999) menyatakan bahwa pada masa usia pra sekolah kegiatan fisik seorang anak semakin banyak. Selain itu, pada masa ini seorang anak mulai meninggalkan periode ketergantungan sehingga berusaha mengembangkan kemandirian. Sayangnya, dalam banyak hal mereka tidak berhasil dan mudah mengalami gangguan kesehatan, kecelakaan, dan stress.
Anak yang sehat bila bertambah umur maka akan bertambah pula berat dan tinggi badannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata berat badan dan tinggi badan pada anak yang TB lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang
tidak
TB. Artinya, gangguan
kesehatan
seperti
penyakit TB dapat
menghambat pertumbuhan anak. Gangguan kesehatan berupa penyakit kronis memang dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan dan pubertas pada anak (Berhman & Vaughan 1988). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal berat badan dan berat badan lahir antara anak yang TB dengan yang tidak TB. Seringkali kenyataan ini membuat orang tua contoh merasa kaget dan heran ketika diberi tahu kalau anaknya terkena penyakit TB. Apalagi bila orang tua jarang memantau perkembangan berat badan anaknya. Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme perjalanan penyakit TB yang tidak sama pada setiap anak. Dengan demikian, jangka waktu perubahan fisik terutama penurunan berat badan pada setiap anak pun berbeda tergantung jangka waktu dari sejak terinfeksi kuman TB sampai menjadi penyakit TB. Waktu yang diperlukan sejak terinfeksi hingga menjadi penyakit TB adalah 12 bulan atau lebih (Rahajoe 1994). Selain itu, terdapat faktor genetik dan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain adalah asupan gizi, higiene, sanitasi, dan stimulasi psikososial. Hasil penelitian ini juga menunjukkan BBL kelompok TB lebih banyak yang normal (93,3%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (90,0%). Hal ini karena BBL merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan anak (Unicef 1998), sedangkan kejadian TB lebih ditentukan oleh daya imunitas anak. Faktor lingkungan yang baik juga dapat membantu anak mengejar ketertinggalan pertumbuhan terutama sebelum usia dua tahun (Riyadi 2001). Dengan demikian, anak yang lahir dengan BBL kurang dapat tumbuh sebagaimana anak yang dilahirkan dengan BBL normal.
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga dikategorikan berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), yaitu kecil bila = 4 orang dan besar bila > 4 orang. Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok TB sebagian besar berasal dari keluarga kecil (63,3%) sedangkan kelompok tidak TB sebagian besar berasal dari keluarga besar (53,3%). Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota
TB
Tidak TB
Keluarga
n
%
n
%
Kecil (= 4 orang)
19
63,3
14
46,7
Besar (>4 orang)
11
36,7
16
53,3
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
4,3±1,4
4,8±1,3
P=0,144
Jumlah anggota keluarga baik pada kelompok TB maupun tidak TB berkisar antara 3-7 orang, dengan rata-rata 4 orang pada kelompok TB dan 5 orang pada kelompok tidak TB. Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal jumlah anggota keluarga pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, jumlah anggota keluarga tidak mendasari kejadian TB. Hal ini dapat terjadi mengingat walaupun keluarga contoh tercatat sebagai keluarga besar, namun dalam kesehariannya banyak contoh lebih sering tinggal hanya dengan 1-2 orang anggota keluarga yang lain terutama ibu. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar ayah contoh bekerja sebagai buruh di luar kota dan diikuti oleh anggota keluarga lain terutama yang laki-laki. Jumlah anggota keluarga berkaitan dengan kepadatan hunian yang merupakan salah satu faktor resiko penularan TB. Selain itu, jumlah anggota keluarga yang besar tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan mengakibatkan pendistribusian pangan dalam keluarga yang tidak merata. Apabila
persediaan pangan terbatas, biasanya keluarga besar dan miskin menderita gizi lebih parah daripada keluarga yang lebih kecil (Harper 1984). Status gizi yang kurang baik dapat melemahkan daya tahan tubuh seseorang sehingga menjadi lebih mudah terkena penyakit menular seperti TB. Umur Orang Tua Kategori umur orang tua contoh ditentukan berdasarkan teori Papalia & Olds (1981) yaitu < 20 tahun (remaja), 20-40 tahun (dewasa awal), dan 41-65 tahun (dewasa tengah). Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kedua kelompok contoh umur ayah sebagian besar berada dalam kategori dewasa awal yaitu 76,67% pada kelompok TB dan 60,0% pada kelompok tidak TB. Tabel 7 Sebaran contoh menurut umur orang tua Umur
TB
Orang Tua
Tidak TB
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
(thn)
n
%
n
%
n
%
n
%
20-40
23
76,7
29
96,7
18
60,0
25
83,3
41-65
7
23,3
1
3,3
12
40,0
5
16,7
Jumlah
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
P
35,1±7,0
29,5±5,1
37,4±8,4
32,8±6,2
Ayah : 0,250 Ibu : 0,028
Umur ayah pada kelompok TB berkisar antara 26-52 tahun dengan rata-rata 35,1 tahun. Sedangkan pada kelompok tidak TB berkisar antara 24-59 tahun dengan rata-rata 37,4 tahun. Walaupun demikian, pada kelompok tidak TB lebih banyak ayah yang masuk pada kategori dewasa tengah (40,0%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (23,3%). Seluruh ayah pada kedua kelompok contoh tidak ada yang termasuk dalam kategori umur remaja. Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kedua kelompok contoh dalam hal umur ayah. Umur ibu pada kelompok TB berkisar antara 23-45 tahun dengan rata-rata 29,5 tahun. Sedangkan pada kelompok tidak TB umur ibu berkisar antara 22-41 tahun dengan rata-rata 32,8 tahun. Pada kelompok TB sebagian besar umur ibu berada pada kategori dewasa awal (96,7%), demikian pula pada kelompok yang
tidak TB (83,3%). Tetapi, pada kelompok tidak TB jumlah ibu yang masuk pada kategori dewasa tengah lebih banyak (16,7%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (3,3%). Ibu pada kedua kelompok contoh tidak ada yang masuk dalam kategori umur remaja. Uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal umur ibu pada kedua kelompok contoh. Individu dewasa awal baru memulai sebuah keluarga sedangkan individu dewasa menengah telah memantapkan perannya sebagai orang tua. Papalia & Olds (1981) menyatakan bahwa status baru sebagai orang tua bagi individu dewasa awal menjadi sumber konflik dan kegelisahan mereka. Sementara itu, pada masa dewasa tengah seseorang biasanya berada dalam kondisi kesehatan yang prima baik secara fisik maupun psikologis. Mereka juga ada dalam kondisi keuangan yang paling aman sepanjang kehidupannya. Dengan demi kian, peran individu dewasa menengah dalam pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk dalam pemeliharaan dan perawatan kesehatan anak dapat lebih optimal. Pendidikan Orang Tua Hasil penelitian tingkat pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 8. Pendidikan ayah pada kedua kelompok contoh berkisar antara SD-Perguruan Tinggi. Baik pada kelompok TB maupun tidak TB sebagian besar pendidikan ayah masuk dalam kategori SD/sederajat (53,3%). Walaupun demikian, jumlah ayah yang pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT lebih banyak pada kelompok tidak TB (16,7% dan 6,7%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (6,7% dan 3,3%). Tabel 8 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua Tingkat
TB
Pendidikan
Tidak TB
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
Orang Tua
n
%
n
%
n
%
n
%
SD/sederajat
16
53,3
12
40,0
16
53,3
14
46,7
SMP/sederajat
11
36,7
14
46,7
7
23,3
7
23,3
SMA/sederajat
2
6,7
4
13,3
5
16,7
8
26,7
PT
1
3,3
0
0,0
2
6,7
1
3,3
Jumlah
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
P
0,653
0,739
Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ayah pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena lebih dari separuh ayah contoh pada kedua kelompok pernah bersekolah di SD/sederajat. Pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh berkisar antara SD-Perguruan Tinggi. Pada kelompok TB bagian terbesar ibu (46,7%) memiliki tingkat pendidikan SMP/sederajat. Sedangkan pada kelompok tidak TB bagian terbesar ibu (46,7%) memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat. Tetapi, jumlah ibu yang pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT lebih banyak pada kelompok tidak TB (26,7% dan 3,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (13,3% dan 0,0%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena kategori terbesar tingkat pendidikan masing-masing kelompok contoh memiliki jumlah yang sama yaitu 46,7%. Pendidikan orang tua melalui mekanisme hubungan efisiensi penjagaan kesehatan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Selain itu, Atmarita (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, orang tua yang memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi dapat lebih optimal dalam memelihara kesehatan dan gizi anaknya termasuk dalam pencegahan dan pengobatan penyakit menular seperti TB. Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan ayah pada kedua kelompok contoh terdiri dari buruh, wiraswasta, sopir, petani, dagang, TNI, PNS, dan pegawai swasta sebagaimana yang ditampilkan oleh Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan ayah Pekerjaan Ayah
TB
Tidak TB
n
%
n
%
Buruh
17
56,7
13
43,3
Wiraswasta
5
16,7
5
16,7
Sopir
2
6,7
0
0,0
Petani
1
3,3
1
3,3
Dagang
3
10,0
6
20,0
TNI
1
3,3
0
0,0
PNS
1
3,3
1
3,3
Pegawai Swasta
0
0,0
4
13,3
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,148
Pada kedua kelompok contoh sebagian besar ayah bekerja sebagai buruh. Walaupun demikian, jumlah ayah yang bekerja sebagai buruh lebih banyak pada kelompok TB (56,7%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (43,3%). Selain itu, jumlah ayah yang bekerja sebagai pedagang dan pegawai swasta lebih banyak pada kelompok tidak TB (20,0% dan 13,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (10,0% dan 0,0%). Pekerjaan sebagai buruh biasanya memiliki penghasilan yang relatif rendah sedangkan pekerjaan sebagai pedagang dan pegawai swasta dianggap memiliki penghasilan yang relatif tinggi. Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan gizi dan kesehatan anak dapat lebih terjamin pada kelompok yang tidak TB. Status gizi dan kesehatan yang baik dapat mengurangi risiko anak terkena penyakit. Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pekerjaan ayah pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar ayah contoh pada kedua kelompok sama-sama bekerja sebagai buruh. Selain itu, sebanyak 23,33% ayah contoh pada kedua kelompok memiliki jenis pekerjaan yang sama yaitu sebagai wiraswasta, petani, dan Pegawai Negeri Sipil (16,7%, 3,3%, dan 3,3%)
Hasil penelitian pekerjaan ibu contoh sebagaimana disajikan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa Jenis pekerjaan ibu pada kedua kelompok contoh terdiri dari buruh, dagang, guru, PNS, dan ibu rumah tangga. Tabel 10 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan ibu TB
Pekerjaan Ibu
Tidak TB
n
%
n
%
Buruh
2
6,7
1
3,3
Dagang
2
6,7
4
13,3
Guru Swasta
1
3,3
0
0,0
PNS
0
0,0
1
3,3
IRT
25
83,3
24
80,0
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,776
Pada kedua kelompok contoh sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga (83,3% dan 80,0%). Tetapi, jumlah ibu yang bekerja sebagai pedagang pada kelompok tidak TB lebih banyak (13,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (6,7%). Dengan demikian, dapat memberikan penghasilan yang cukup layak untuk biaya pemeliharaan gizi dan kesehatan anak. Selain itu, ibu yang bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga lebih banyak pada kelompok TB (6,7% dan 83,3%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (3,3% dan 80,0%). Pekerjaan sebagai buruh memiliki penghasilan yang relatif rendah. Sedangkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tidak memiliki penghasilan yang dapat menambah pendapatan suami yang sebagian besar bekerja sebagai buruh. Hal ini dapat menimbulkan risiko dalam pemenuhan biaya pemeliharaan gizi dan kesehatan anak. Akibatnya, anak menjadi rawan terkena penyakit. Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pekerjaan ibu pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, pekerjaan ibu tidak mendasari kejadian TB pada anak. Hal ini dapat terjadi karena jumlah ibu yang bekerja justru lebih banyak pada kelompok yang tidak TB sehingga asumsi bahwa ibu yang tidak bekerja dapat lebih optimal memelihara
gizi dan kesehatan anaknya agar dapat mencegah kejadian TB ternyata tidak terbukti. Pekerjaan dengan penghasilan yang rendah menyebabkan kemampuan untuk menyediakan makanan bagi keluarga dengan kualitas dan kuantitas yang cukup menjadi terbatas (Hartoyo, dkk 2003). Hal ini akan berdampak pada penurunan status gizi anak yang selanjutnya akan mengurangi daya tahan tubuh anak terhadap penyakit. Selain itu, jika orang tua memliki pekerjaan dengan penghasilan yang rendah maka biaya untuk pemeliharaan kesehatan anaknya pun menjadi terbatas. Orang tua yang bekerja terutama ibu juga memiliki keterbatasan dalam hal waktu yang tersedia bagi anaknya. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehatan anak dapat menjadi tidak optimal. Pendapatan Kategori tingkat pendapatan keluarga contoh dibuat berdasarkan jumlah pendapatan/bulan/kapita penduduk Jawa Barat (BPS 2004) seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 11. Kisaran jumlah pendapatan/bulan/kapita pada kelompok TB adalah Rp 71.429,- sampai dengan Rp 283.333,- sedangkan pada kelompok tidak TB adalah Rp 71.429,- sampai dengan Rp 485.714,-. Rata-rata pendapatan/bulan/kapita pada kelompok TB adalah Rp 181.917,- dan pada kelompok tidak TB adalah Rp 227.790,-. Tabel 11 Sebaran contoh menurut pendapatan keluarga Pendapatan Keluarga
TB
Tidak TB
(Rp/Bulan/Kapita)
n
%
n
%
< Rp 137.929,-
13
43,3
11
36,7
> Rp 137.929,-
17
56,7
19
63,3
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
181.917±77.151
227.790±183.629
P=0,212
Jumlah pendapatan/bulan/kapita pada kedua kelompok contoh sebagian besar berada pada kategori diatas rata-rata jumlah pendapatan/bulan/kapita penduduk Jawa Barat pada tahun 2004. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan jumlah pendapatan/bulan/kapita kelompok TB lebih rendah (56,7%) jika dibandingkan
dengan kelompok tidak TB (63,3%). Uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendapatan/bulan/kapita pada kedua kelompok. Hal ini dapat terjadi karena lebih dari separuh contoh pada penelitian ini memiliki jumlah pendapatan/bulan/kapita diatas rata-rata. Pendapatan yang lebih tinggi akan mendukung perbaikan kesehatan dan gizi anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya daya beli keluarga tersebut (Berg 1986). Pendapatan keluarga yang rendah mengakibatkan daya beli terhadap pangan yang berkualitas menjadi rendah, akibatnya status gizi anggota keluarga terutama anak-anak akan menurun. Rendahnya status gizi akan menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit. Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh pada penelitian ini hanya berbeda nyata dalam hal umur ayah. Artinya, umur ayah pada kelompok yang TB lebih muda jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak TB. Seorang kepala keluarga yang berusia dewasa awal kemungkinan besar masih belum mantap menjalankan peran sebagai orang tua. Dengan demikian, upaya pemeliharaan kesehatan dan gizi anaknya kurang optimal. Hal ini dapat menimbulkan risiko kejadian penyakit pada anaknya. Sementara itu, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, dan tingkat pendapatan keluarga tidak berbeda nyata pada kedua kelompok contoh. Artinya, dalam penelitian ini kejadian TB pada murid TK tidak didasari oleh variabel-variabel tersebut. Dengan demikian, penyakit TB dapat menyerang hampir seluruh keluarga murid TK di wilayah Kecamatan Paseh terutama apabila para kepala keluarga (ayah) kurang mantap dalam menjalankan perannya dalam hal pencegahan penyakit TB bagi anaknya.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi TB
Jenis Kelamin Tabel 12 berikut ini menunjukkan sebaran contoh pada kedua kelompok menurut jenis kelamin.
Tabel 12 Sebaran contoh menurut jenis kelamin Jenis Kelamin
TB
Tidak TB
n
%
n
%
Laki-laki
16
53,3
18
60,0
Perempuan
14
46,7
12
40,0
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,605
Sebagian besar contoh pada kedua kelompok penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu 53,3% pada kelompok TB dan 60,0% pada kelompok tidak TB. Selain itu, jumlah contoh laki-laki pada kelompok TB lebih banyak (53,3%) jika dibandingkan
dengan
jumlah
perempuan
(46,7%).
Uji
Mann
Whitney
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal jenis kelamin pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, pada penelitian ini jenis kelamin tidak mendasari kejadian TB. Hal ini dapat terjadi karena lebih dari separuh contoh pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki. Crofton et. al. (2002) menyatakan bahwa angka kejadian TB pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun. Perlawanan tubuh terhadap basil TB pada anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas menurutnya memang hampir tidak ada perbedaan. Status Imunisasi BCG Usia yang tepat saat pemberian imunisasi BCG adalah 0-2 bulan. Semakin cepat bayi memperoleh imunisasi BCG maka akan semakin cepat ia memperoleh kekebalan dari serangan penyakit TB (Ismail 2003). Seluruh contoh pada kedua kelompok dalam penelitian ini pernah diimunisasi BCG sewaktu bayi (100,0%) dengan kisaran umur 0-3 bulan. Dengan demikian, pada penelitian ini status imunisasi BCG tidak dapat dianalisis sebagai dasar kejadian TB. Meskipun demikian, rata-rata umur imunisasi BCG pada kelompok tidak TB sedikit lebih muda jika dibandingkan dengan kelompok TB. Rata-rata umur imunisasi BCG pada kelompok TB adalah 1.4 bulan sedangkan pada kelompok tidak TB adalah 1.3 bulan.
Selain itu, Ismail (2003) menyatakan bahwa di Indonesia masih banyak anak yang menderita TB meski pada waktu bayi sudah diimunisasi BCG. Hal ini karena daya kekebalan vaksin BCG untuk me ncegah TBC hanya 20%. Sesudah vaksinasi BCG, TB masih dapat memasuki tubuh. Meskipun demikian, dalam kebanyakan kasus, dengan pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh kuman-kuman tersebut. Efektifitas imunisasi BCG untuk dapat mencegah penyakit TB ditentukan juga antara lain oleh keadaan gizi anak (Crofton et.al 2002). Penyakit Tertentu Penyakit tertentu yang memiliki risiko medis terhadap TB adalah silicosis, Gastrectomy, berat badan kurang (10% atau lebih di bawah ideal), gangguan ginjal kronik, diabetes mellitus, beberapa kelainan hematologis, leukemia,batuk rejan, campak atau infeksi lainnya seperti malaria atau diare kronik. Data mengenai riwayat penyakit tertentu ini diperoleh dari Buku Kesehatan Murid yang merupakan hasil pemeriksaan dokter pada saat kegiatan DDTK. Hampir semua contoh pada penelitian ini tidak pernah atau sedang menderita penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kejadian TB. Pada kelompok TB sebagian besar contoh tidak pernah atau sedang menderita penyakit tertentu (96,7%). Hanya ada satu contoh yang pernah menderita kelainan jantung bawaan meskipun saat ini sudah tidak menjalani pengobatan lagi. Contoh tersebut menderita risiko medis yaitu berat badan kurang (lebih dari 10% di bawah ideal). Pada kelompok tidak TB seluruh contoh tidak pernah atau sedang menderita penyakit tertentu (100,0%). Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kedua kelompok dalam hal keberadaan penyakit tertentu. Hal ini dapat terjadi karena hampir seluruh contoh pada penelitian ini tidak memiliki riwayat penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kejadian TB. Lingkungan Fisik Rumah Variabel lingkungan fisik rumah meliputi aspek kebersihan, udara dalam rumah, cahaya dalam rumah, kepadatan penghuni, dan ukuran ventilasi (Lampiran). Secara detail ditampilkan pada Tabel 13.
data mengenai lingkungan fisik rumah contoh
Tabel 13 Rata-rata nilai lingkungan fisik rumah No.
Aspek
TB
Tidak TB
P
1
Kebersihan
93,3
96,7
0,557
2
Udara
73,3
93,3
0,039*
3
Cahaya
63,3
80,0
0,155
4
Kepadatan
60,0
90,0
0,008*
5
Ventilasi
66,7
90,0
0,030*
71,3±31,4
90,0±23,9
Rata-rata±SD
Keterangan : * = Berbeda nyata pada alpha 0,05 Aspek lingkungan fisik rumah yang paling baik pada kedua kelompok adalah sama yaitu kebersihan (93,3 dan 96,7). Sedangkan aspek yang paling kurang adalah kepadatan (60,0) pada kelompok TB dan cahaya (80,0) pada kelompok tidak TB. Rata-rata skor setiap aspek yang diteliti pada kedua kelompok adalah sedang (60,0-80,0). Walaupun demikian, terdapat kecenderungan bahwa kelompok TB kurang baik dalam seluruh aspek yang diteliti jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Kecenderungan tersebut terutama nyata dalam aspek udara, kepadatan, dan ventilasi (P<0,05). Kategori lingkungan fisik rumah contoh selanjutnya ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh dari keseluruhan aspek yang diteliti (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh menurut lingkungan fisik rumah Lingkungan
TB
Tidak TB
Fisik Rumah
n
%
n
%
Baik
11
36,7
23
80,0
Kurang
19
63,3
7
20,0
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,002
Lingkungan fisik rumah pada kelompok TB sebagian besar masuk dalam kategori kurang (63,3%). Sedangkan lingkungan fisik rumah pada kelompok tidak TB sebagian besar masuk pada kategori baik (80,0%). Tetapi, terdapat 20,0% rumah contoh pada kelompok tidak TB memiliki kategori kurang. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan fisik rumah bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kejadian TB pada anak. Walaupun demikian, uji Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal lingkungan fisik rumah pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian lingkungan fisik rumah menjadi dasar kejadian TB pada anak. Ruangan yang gelap dan relatif tertutup dengan ventilasi minimum akan memperpanjang umur kuman TB. Kusnindar et.al (1993) diacu dalam Mulyadi (2003) menyatakan bahwa lingkungan perumahan yang merupakan faktor risiko penularan TB paru adalah kepadatan hunian terutama kamar tidur, pencahayaan terutama sinar matahari yang kurang, dan perhawaan (ventilasi) yang tidak memadai. Perilaku Sumber Penularan (Penderita TB Dewasa) Penderita TB dewasa dengan kondisi yang infeksius apabila batuk tanpa menutup mulut dan meludah sembarangan akan menyebabkan kuman TB mudah menyebar di lingkungannya (Ngastiyah 1997). Oleh karena itu, penderita TB dewasa terutama yang infeksius perlu diberi tahu untuk selalu menutup mulut mereka dan memalingkan muka mereka disaat batuk. Selain itu, kebiasaan meludah sembarangan dan kontak fisik yang erat dengan anak-anak juga perlu dihindari. Perilaku sumber penularan dikategorikan berdasarkan perilaku penderita TB dewasa dalam hal menutup mulut jika batuk dan atau bersin, tidak membuang ludah dan atau dahak sembarangan, dan menghindari kontak yang erat dengan anak-anak (Lampiran). Seluruh aspek tersebut ditampilkan pada Tabel 15 berikut ini : Tabel 15 Rata-rata nilai perilaku sumber penularan No.
Aspek
TB
Tidak TB
P
1
Mencegah penyebaran kuman di udara
65,6
66,7
0,009*
2
Lokalisasi ludah/dahak
55,6
70,2
0,846
3
Kontak dengan anak-anak
55,6
70,2
0,009*
59,3±13,2
68,4±7,7
Rata-rata±SD Keterangan : *= Berbeda nyata pada alpha 0,05
Perilaku sumber penularan pada kelompok TB paling baik dalam aspek mencegah penyebaran kuman lewat udara (65,6) dan kurang dalam aspek lokalisasi ludah/dahak dan kontak dengan anak-anak (55,6 dan 55,6). Sementara itu, pada kelompok tidak TB aspek yang paling baik adalah lokalisasi ludah/dahak dan kontak dengan anak-anak (70,2 dan 70,2) sedangkan aspek yang kurang adalah mencegah penyebaran kuman lewat udara (66,7). Secara keseluruhan ratarata skor setiap aspek perilaku sumber penularan pada kelompok TB adalah kurang sedangkan kelompok tidak TB adalah sedang. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan perilaku sumber penularan pada kelompok TB kurang dalam seluruh aspek yang diteliti jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Kecenderungan tersebut terutama nyata dalam aspek mencegah penyebaran kuman lewat udara dan kontak dengan anak-anak (P<0,05). Selanjutnya, kategori perilaku sumber penularan ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh oleh contoh sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 16. Sebagian besar perilaku sumber penularan pada kedua kelompok contoh masuk dalam kategori sedang (80,0 % dan 94,7%). Terdapat satu orang penderita TB dewasa yang memiliki perilaku baik pada kelompok tidak TB. Sedangkan pada kelompok TB tidak ada sama sekali penderita TB dewasa yang memiliki perilaku baik. Tabel 16 Sebaran contoh menurut perilaku sumber penularan Perilaku Sumber
TB
Tidak TB
Penularan
n
%
n
%
Baik
0
0,0
1
5,3
Sedang
24
80,0
18
94,7
Kurang
6
20,0
0
0,0
Total
30
100,0
19
100,0
P=0,009
Walaupun demikian, pada kelompok tidak TB jumlah sumber penularan yang berperilaku baik hanya sedikit (5,3%) jika dibandingkan dengan yang berperilaku sedang (94,7%). Hal ini karena berdasarkan Tabel 17 setiap aspek yang diteliti pada kelompok tidak TB memiliki rata-rata nilai sedang (60,0-80,0).
Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal perilaku sumber penularan pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, perilaku sumber penularan menjadi dasar kejadian TB pada anak. Hal ini mendukung hasil penelitian Mulyadi (2003) yang menunjukkan bahwa perilaku penderita TB paru dewasa merupakan variabel risiko yang paling dominan terhadap kejadian TB paru pada balita gizi buruk. Riwayat Kontak Riwayat kontak contoh meliputi riwayat kontak dengan penderita TB dewasa yang tinggal serumah dan atau dengan penderita TB dewasa di lingkungannya (Tabel 17). Lingkungan yang dimaksud adalah tetangga, sekolah, tempat mengaji, tempat kursus, dan tempat perantauan apabila sewaktu balita contoh pernah dibawa merantau oleh orang tuanya. Pada kelompok TB seluruh contoh memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dewasa (100,0%). Sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dewasa (63,3%). Tabel 17 Sebaran contoh menurut riwayat kontak TB
Riwayat Kontak
Tidak TB
n
%
n
%
Ada
30
100,0
19
63,3
Tidak Ada
0
0,0
11
36,7
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,000 Dengan demikian, walaupun contoh memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dewasa tapi dapat tidak terkena penyakit TB. Hal ini diduga karena daya tahan tubuh contoh yang cukup baik sehingga kuman TB dari penderita TB dewasa tidak mampu menularinya. Selain itu, kemungkinan penderita TB dewasa yang kontak dengan contoh tidak infeksius. Tabel 17 juga menunjukkan bahwa perilaku sumber penularan pada kelompok tidak TB cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok TB. Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal riwayat kontak dengan penderita TB dewasa pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, riwayat kontak menjadi dasar bagi kejadian TB. Mulyadi (2003) menyatakan bahwa hubungan yang erat
dengan sumber penyakit TB bisa mempengaruhi kemungkinan infeksi. Hal ini tergantung dari seberapa besar konsentrasi basil dalam dahak penderita TB dewasa dan seberapa kuat daya tahan tubuh orang yang ada di sekelilingnya. Faktor Toksik Faktor toksik yang dapat mempengaruhi kejadian TB adalah asap rokok, minuman beralkohol, dan obat-obatan pada penyakit tertentu. Faktor toksik yang diamati pada penelitian ini adalah sumber asap rokok dalam rumah contoh. Hasil penelitian mengenai faktor toksik dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini : Tabel 18 Sebaran contoh menurut keberadaan faktor toksik Merokok
TB
Tidak TB
n
%
n
%
Ada
15
50,0
20
66,7
Tidak Ada
15
50,0
10
33,3
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,226
Separuh dari contoh pada kelompok TB ada yang merokok di rumahnya (50,0%). Sedangkan pada kelompok tidak TB justru sebagian besar contoh ada yang merokok di rumahnya (66,7%). Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal faktor toksik pada kedua kelompok contoh. Hal ini dapat terjadi karena meskipun sebagian besar contoh ada yang merokok di dalam rumahnya akan tetapi para perokok biasanya adalah ayah contoh dan atau anggota keluarga lain yang laki-laki, yang sebagian besar bekerja di luar kota sehingga tidak sering merokok di rumah. Dengan demikian, pada penelitian ini asap rokok bukan merupakan faktor toksik yang mendasari kejadian TB pada anak. Crofton et.al (2002) menyebutkan bahwa merokok tembakau adalah salah satu faktor toksik yang dapat menurunkan daya tahan tubuh. Selain itu, penelitian Snider (1992) diacu dalam Mulyadi (2003) menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Dengan demikian, asap rokok yang terhisap oleh anak-anak juga dapat menjadi faktor risiko kejadian TB.
Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi keluarga contoh dikategorikan berdasarkan kategori keluarga sejahtera menurut BKKBN yaitu Pra KS, KS I, KS II, KS III, dan KS III plus. Tabel 19 menunjukkan sebaran contoh menurut status sosial ekonomi. Tabel 19 Sebaran contoh menurut status sosial ekonomi keluarga Status Sosial
TB
Tidak TB
Ekonomi
n
%
n
%
Kurang (KS I)
14
46,7
1
3,3
Sedang (KS II)
16
53,3
29
96.7
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,000
Seluruh keluarga contoh pada penelitian ini tidak ada yang masuk dalam kategori pra KS, KS III, dan KS III plus. Status sosial ekonomi keluarga kedua kelompok contoh sebagian besar adalah sedang, yaitu 53,3% pada kelompok TB dan 96,7% pada kelompok tidak TB. Walaupun demikian, jumlah anggota keluarga dengan status sosial ekonomi kurang lebih banyak pada kelompok TB (46,7%) jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak TB (3,3%). Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal status sosial ekonomi keluarga pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, status sosial ekonomi keluarga mendasari kejadian TB. Status sosial ekonomi antara lain mengarah pada kemiskinan dan kepadatan hunian sehingga dapat menurunkan daya tahan tubuh dan memudahkan terjadinya infeksi. Kondisi ini memudahkan TB berkembang menjadi penyakit (Crofton et.al. 2002). Status Gizi Infeksi TB dapat berkembang menjadi penyakit TB dalam jangka waktu minimal 12 bulan (Rahajoe 1994). Hal ini sangat ditentukan oleh daya tahan tubuh anak sebagai hasil dari kondisi status gizi selama masa terinfeksi kuman TB. Dengan demikian, status gizi contoh yang dianalisis pada penelitian ini adalah status gizi contoh pada masa diduga belum sakit TB yaitu saat sebelum bersekolah di TK. Selain itu, sebelum bersekolah di TK contoh seharusnya masih menjadi sasaran kegiatan Posyandu. Oleh karena itu, upaya pemeliharaan status gizi
contoh dapat dilakukan melalui partisipasi ibu di Posyandu. Status gizi contoh yang dianalisis pada penelitian ini selanjutnya disebut sebagai status gizi masa lalu. Kategori status gizi masa lalu tersebut ditentukan dengan menggunakan metode median WHO-NCHS (Riyadi 2001) sebagaimana hasil yang ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran contoh menurut status gizi masa lalu Status Gizi
TB
Tidak TB
(TB/U)
n
%
n
%
Baik
4
13,3
19
63,3
Sedang
21
70,0
11
36,7
Kurang
4
13,3
0
0,0
Buruk
1
3,3
0
0,0
Total
30
100,0
30
100,0
Rata-rata±SD
92,7±4,0
96,8±3,3
P=0,000
Rata-rata nilai median kelompok TB adalah 92.7% (sedang) sedangkan kelompok tidak TB adalah 96.8% (baik). Pada kelompok TB sebagian besar contoh masuk pada kategori status gizi masa lalu sedang (70,0%). Sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar contoh memiliki status gizi masa lalu baik (63,3%). Selain itu, jumlah contoh yang memiliki status gizi masa lalu baik lebih banyak pada kelompok tidak TB (63,3%) jika dibandingkan dengan kelompok TB (13,3%). Pada kelompok TB jumlah contoh berstatus gizi sedang lebih banyak (70,0%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (36,7%). Status gizi masa lalu dalam kategori sedang diduga merupakan akibat dari ketidak optimalan pemeliharaan gizi dan kesehatan anak di masa lalu seperti tidak hadir ke Posyandu setiap bulan dan perilaku kesehatan orang tua yang kurang baik. Oleh karena itu, anak menjadi mungkin terkena penyakit seperti TB. Pada kelompok yang TB terdapat contoh yang memiliki status
gizi
masa lalu
kurang
dan buruk.
Sedangkan pada kelompok tidak TB tidak ada yang masuk dalam kategori tersebut. Uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dalam
hal status gizi masa lalu pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian status gizi masa lalu mendasari kejadian TB pada murid TK. TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk status gizi anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan malnutrisi dan infeksi (Biddulph & Stace 1999). Setelah melalui uji statistik regresi linier berganda, diketahui bahwa faktorfaktor yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kejadian TB pada murid TK adalah status gizi, kontak dengan sumber penularan, perilaku sumber penularan, dan status sosial ekonomi (thitung > 2,000 ). Dari keempat faktor tersebut, faktor perilaku sumber penularan memberikan pengaruh yang paling besar yaitu 59,0% (r2=0,590). Dengan demikian, ketiga faktor lainnya yaitu status sosial ekonomi, status gizi, dan kontak dengan sumber penularan memberikan pengaruh terhadap kejadian TB pada anak sebesar 41,0%.
Tingkat Partisipasi Ibu di Posyandu
Pertanyan yang diajukan mengenai partisipasi ibu di Posyandu meliputi aspek tingkat kehadiran, upaya pengembangan Posyandu, keaktifan bertanya, dan penggunaan KMS (Lampiran). Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini : Tabel 21 Rata-rata nilai ibu menurut aspek partisipasi di Posyandu No
Aspek
TB
Tidak TB
P
1
Kehadiran
48,9
67,8
0,022*
2
Upaya pengembangan Posyandu
41,1
49,6
0,042*
3
Keaktifan bertanya
83,7
84,4
0,942
4
Penggunaan KMS
51,5
63,3
0,293
57,8±12,0
66,0±15,7
Rata-rata±SD Keterangan : * = Berbeda nyata pada alpha 0,05
Partisipasi ibu di Posyandu pada kedua kelompok paling baik dalam aspek yang sama yaitu keaktifan bertanya (83,7 dan 84,4). Sedangkan aspek yang paling kurang pada kedua kelompok juga dalam aspek yang sama yaitu upaya
pengembangan Posyandu (41,1 dan 49,6). Walaupun demikian, terdapat kecenderungan bahwa kelompok TB kurang dalam seluruh aspek partisipasi Posyandu jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Kecenderungan tersebut nyata dalam aspek kehadiran dan upaya pengembangan Posyandu (P<0,05). Hasil penelitian secara keseluruhan mengenai tingkat partisipasi ibu di Posyandu kemudian dikategorikan berdasarkan skor total yang diperoleh dari seluruh aspek (Tabel 22). Tabel 22 Sebaran contoh menurut tingkat partisipasi ibu di posyandu Partisipasi Ibu di
TB
Tidak TB
Posyandu
n
%
n
%
Baik
0
0,0
7
23,3
Sedang
13
43,3
15
50,0
Kurang
17
56,7
8
26,7
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,028
Tingkat partisipasi ibu di Posyandu pada kelompok TB sebagian besar berada pada kategori kurang (56,7%) sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar berada pada kategori sedang (50,0%). Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 21, kurangnya tingkat partisipasi ibu contoh pada kelompok TB terutama dalam hal tingkat kehadiran dan upaya pengembangan Posyandu. Meskipun demikian, terdapat 26,7% ibu pada kelompok tidak TB yang juga memiliki tingkat partisipasi kurang. Berdasarkan Tabel 21 hal ini karena rata-rata nilai ibu pada kelompok tidak TB dalam aspek upaya pengembangan Posyandu memang kurang (<60,0). Selain itu, terdapat 23,3% ibu pada kelompok tidak TB memiliki tingkat partisipasi Posyandu yang baik sedangkan pada kelompok yang TB tidak ada sama sekali. Uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dalam hal tingkat partisipasi ibu di Posyandu pada kedua kelompok contoh. Dengan demikian, tingkat partisipasi ibu di Posyandu menjadi dasar kejadian TB pada murid TK. Berdasarkan hasil uji beda yang nyata pada Tabel 21, hal ini
terutama apabila ibu-ibu selalu hadir di Posyandu setiap bulan dan selalu mendukung upaya pengembangan Posyandu. Kegiatan pemantauan tumbuh kembang anak di Posyandu memerlukan kehadiran ibu dan anaknya setiap bulan. Hal ini karena kegiatan tersebut hanya dapat bermakna apabila anak hadir dan ditimbang di Posyandu setiap bulan. Hasil penelitian mengenai tingkat kehadiran ibu di Posyandu disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran contoh menurut tingkat kehadiran ibu di Posyandu Kehadiran
TB
Tidak TB
di Posyandu
n
%
n
%
Baik
1
3,3
14
46,7
Sedang
12
40,0
3
10,0
Kurang
17
56,7
13
43,3
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,022
Tingkat kehadiran ibu di Posyandu dikategorikan menjadi baik apabila garis grafik berat badan pada KMS tidak pernah terputus (hadir dan ditimbang setiap bulan di Posyandu), sedang apabila garis grafik pada KMS tersambung minimal dua bulan berturut-turut, dan kurang apabila garis grafik pada KMS tidak terbentuk (tidak hadir dan tidak ditimbang setiap bulan di Posyandu). Tingkat kehadiran ibu di Posyandu pada kelompok TB sebagian besar berada pada kategori kurang (56,7%). Sedangkan pada kelompok tidak TB bagian terbesar berada pada kategori baik (46,7%). Walaupun demikian, jumlah ibu yang memiliki kategori tingkat kehadiran di Posyandu sedang lebih banyak pada kelompok TB (40,0%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (10,0%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kehadiran di Posyandu pada kategori sedang tidak dapat secara optimal mencegah kejadian TB pada anak. Artinya, walaupun grafik berat badan anak cukup bermakna karena dapat menunjukkan kenaikan/penurunan berat badan anak, tetapi masih ada kemungkinan status gizi anak tidak terpantau dengan baik sehingga antisipasi terhadap kemungkinan anak menderita TB menjadi kurang. Uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dalam hal tingkat kehadiran ibu di Posyandu pada kedua
kelompok contoh. Artinya, tingkat kehadiran di Posyandu pada kelompok TB lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita di Posyandu dengan menggunakan KMS baru akan berguna bila dilakukan setiap bulan (Dinkes Propinsi Jabar 2002).
Hal ini karena grafik pertumbuhan berat badan yang
terputus-putus dalam KMS tidak dapat digunakan untuk memantau keadaan kesehatan dan gizi anak dengan baik. Anak dengan keadaan gizi yang kurang baik akan memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga lebih mudah terkena penyakit menular seperti TB.
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu
Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan ibu contoh diukur berdasarkan aspek pengetahuan tentang penyakit TB, pengetahuan tentang Posyandu, pengetahuan tentang imunisasi BCG, dan pengetahuan tentang KMS. Hasil yang diperoleh ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24 Rata-rata nilai pengetahuan ibu menurut aspek yang diteliti No.
Aspek
TB
Tidak TB
P
1
Penyakit TB
35,0
55,7
0,001*
2
Posyandu
84,4
90,0
0,274
3
Imunisasi BCG
43,3
57,8
0,065
4
KMS
57,5
80,0
0,001*
48,2±15,1
66,0±19,8
Rata-rata±SD Keterangan : * =Berbeda nyata pada alpha 0,05
Aspek pengetahuan ibu yang paling baik pada kedua kelompok adalah sama yaitu mengenai Posyandu (84,4 dan 90,0). Aspek pengetahuan yang paling kurang pada kedua kelompok juga sama yaitu mengenai penyakit TB (35,0 dan 55,7). Walaupun demikian, terdapat kecenderungan bahwa pengetahuan ibu dalam seluruh aspek yang diteliti lebih baik pada ibu kelompok tidak TB jika dibandingkan dengan ibu pada kelompok TB. Hal ini terutama nyata dalam aspek
pengetahuan mengenai penyakit TB dan KMS (P<0,05). Berdasarkan analisis lebih lanjut diketahui bahwa lebih banyak ibu pada kelompok tidak TB (36,7%) yang mengetahui arti pita warna pada KMS jika dibandingkan dengan ibu pada kelompok TB (16,7%). Sehingga dalam penelitian ini terungkap bahwa cukup banyak ibu-ibu (46,6%) yang hanya sekedar melihat isi KMS dan belum mengetahui maknanya. Tingkat pengetahuan ibu selanjutnya dikategorikan berdasarkan skor total yang diperoleh dari seluruh aspek (Tabel 25). Tingkat pengetahuan ibu pada kelompok TB sebagian besar berada pada kategori kurang (73,3%). Sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar ibu contoh memiliki tingkat pengetahuan sedang (53,3%). Tabel 25 Sebaran contoh menurut tingkat pengetahuan ibu TB
Pengetahuan Ibu
Tidak TB
n
%
n
%
Baik
0
0,0
6
20,0
Sedang
8
26,7
16
53,3
Kurang
22
73,3
8
26,7
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,000
Selain itu, tidak ada ibu yang memiliki tingkat pengetahuan baik pada kelompok TB sedangkan pada kelompok tidak TB ada 20,0% yang memiliki tingkat pengetahuan baik sehingga terdapat kecenderungan bahwa pengetahuan ibu kelompok tidak TB lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok TB. Hal ini dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan ibu pada kelompok tidak TB yang lebih banyak pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT (Tabel 18). Atmarita (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat antara lain untuk menyerap informasi kesehatan dan gizi. Walaupun demikian, terdapat 26,7% ibu pada kelompok tidak TB yang memiliki tingkat pengetahuan kurang. Hal ini karena berdasarkan hasil uji beda
pada Tabel 24 rata-rata skor ibu kelompok tidak TB dalam aspek pengetahuan tentang penyakit TB dan imunisasi BCG masih kurang (<60.0). Walaupun demikian, uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada kedua kelompok dalam hal tingkat pengetahuan ibu. Artinya, pada penelitian ini tingkat pengetahuan ibu mendasari kejadian TB. Domain yang sangat penting yang akan membentuk suatu tindakan dalam diri seseorang adalah pengetahuan/kognitif (Notoatmojo 2003). Dengan demikian, ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan melakukan tindakan yang juga baik dalam hal perawatan kesehatan anaknya. Oleh karena itu, ibu tersebut dapat melakukan upaya pencegahan yang baik terhadap penyakit menular seperti TB pada anaknya. Sikap Ibu Variabel sikap ibu yang diteliti meliputi aspek bahaya TB, imunisasi BCG, pentingnya status gizi yang baik, partisipasi Posyandu, dan cara mengurangi risiko terkena TB (Tabel 26). Sikap ibu yang paling baik pada kedua kelompok adalah dalam aspek cara mengurangi risiko terkena TB yaitu 98,5 pada kelompok TB dan 100,0 pada kelompok tidak TB. Sikap ibu yang paling kurang pada kedua kelompok adalah dalam aspek imunisasi BCG (89,4 dan 88,9). Tabel 26 Rata-rata nilai sikap ibu menurut aspek yang diteliti No.
Aspek
TB
Tidak TB
P
1
Bahaya TB
96,7
99,2
0,094
2
Imunisasi BCG
89,4
88,9
0,749
3
Pentingnya status gizi yang baik
94,4
93,9
0,775
4
Partisipasi Posyandu
98,1
98,3
0,720
5
Cara mengurangi risiko terkena TB
98,5
100,0
0,317
96,2±5,7
97,0±4,6
Rata-rata±SD
Selain itu, terdapat kecenderungan sikap ibu kelompok TB lebih baik dalam aspek bahaya TB, partisipasi Posyandu, dan cara mengurangi risiko TB. Sedangkan dalam aspek imunisasi BCG dan arti penting status gizi yang baik sikap ibu pada kelompok TB justru sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan ibu kelompok tidak TB. Hasil penelitian sikap ibu secara keseluruhan selanjutnya
dikategorikan berdasarkan jumlah skor total dari seluruh aspek yang diteliti sebagaimana tampilan pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran contoh menurut sikap ibu Sikap Ibu
TB
Tidak TB
n
%
n
%
Baik
27
90,0
29
96,7
Sedang
3
10,0
1
3,3
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,721
Sebagian besar ibu pada kedua kelompok contoh menunjukkan sikap yang baik, yaitu 90,0% pada kelompok TB dan 96,7% pada kelompok tidak TB. Walaupun demikian, berdasarkan data tersebut terdapat kecenderungan bahwa ibu yang bersikap baik
lebih banyak terdapat pada kelompok tidak TB jika
dibandingkan dengan kelompok TB. Sikap dipengaruhi salah satunya oleh pengetahuan (Madanijah 2003). Dengan demikian, sikap ibu yang cenderung lebih baik pada kelompok tidak TB merupakan pengaruh dari tingkat pengetahuan ibu yang juga lebih baik pada kelompok tidak TB jika dibandingkan dengan kelompok TB (Tabel 25). Tidak ada ibu contoh yang menunjukkan sikap kurang pada penelitian ini tetapi jumlah ibu yang bersikap sedang lebih banyak pada kelompok TB (10,0%) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (3,3%). Hal ini dapat terjadi karena rata-rata skor ibu pada aspek sikap terhadap imunisasi BCG dan pentingnya status gizi yang baik ternyata sedikit lebih besar pada kelompok TB jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (Tabel 26). Uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam hal sikap ibu pada kedua kelompok contoh. Hal ini karena hampir seluruh ibu yang diteliti menunjukkan sikap yang baik (= 90,0%). Selain itu, Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata nilai ibu dari seluruh aspek sikap yang diteliti juga baik (>80.0). Perilaku Ibu Notoatmojo (1997) menyatakan bahwa : Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang antara lain berkaitan dengan sakit dan penyakit. Perilaku yang berkaitan dengan sakit dan penyakit ini
dapat secara pasif (mengetahui, bersikap, dan berpersepsi tentang penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya atau diluar dirinya) maupun aktif (tindakan yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut). Aspek-aspek yang diteliti dalam variabel perilaku ibu meliputi kebiasaan ibu menjauhkan anak dari sumber TB, kehadiran di Posyandu, memiliki dan membaca KMS, dan pencegahan TB (Tabel 28). Tabel 28 Rata-rata nilai perilaku ibu menurut aspek yang diteliti No.
Aspek
TB
Tidak TB
P
1
Menjauhkan anak dari sumber TB
47,8
35,1
0,005*
2
Kehadiran di Posyandu
48,9
67,8
0,022*
3
Memiliki dan membaca KMS
93,9
96,1
0,487
4
Pencegahan TB
80,9
86,2
0,036*
Rata-rata±SD
78,2±9,6 84,2±9,1
Keterangan : * =Berbeda nyata pada alpha 0,05
Perilaku ibu yang paling baik pada kedua kelompok adalah dalam aspek memiliki dan membaca KMS (93,9 dan 96,1). Sedangkan perilaku ibu yang paling kurang pada kedua kelompok adalah dalam aspek menjauhkan anak dari sumber TB (47,8 dan 35,1). Walaupun demikian, terdapat kecenderungan bahwa perilaku ibu pada kelompok tidak TB lebih baik hampir dalam seluruh aspek yang diteliti jika dibandingkan dengan kelompok TB. Terdapat satu aspek yaitu menjauhkan anak dari sumber TB yang rata-rata nilainya lebih baik pada kelompok TB (47,8) jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB (35,1). Berdasarkan hasil wawancara hal ini diduga karena ibu pada kelompok tidak TB banyak yang tidak ingin membuat penderita TB dewasa merasa tersinggung apabila dijauhi oleh mereka dan keluarganya. Hasil penelitian perilaku ibu secara keseluruhan selanjutnya dikategorikan berdasarkan skor total dari seluruh aspek yang diteliti sebagaimana tampilan pada Tabel 29. Sebagian besar ibu pada kelompok TB berperilaku sedang (70,0%). Sedangkan pada kelompok tidak TB sebagian besar ibu berperilaku baik (73,3%).
Tidak ada ibu yang berperilaku kurang pada
penelitian ini. Tetapi, terdapat 30,0 % ibu pada kelompok TB yang berperilaku
baik. Hal ini dapat terjadi karena kejadian TB pada anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor perilaku ibu saja. Tabel 29 Sebaran contoh menurut perilaku ibu Perilaku Ibu
TB
Tidak TB
n
%
n
%
Baik
9
30,0
22
73,3
Sedang
21
70,0
8
26,7
Total
30
100,0
30
100,0
P=0,009
Uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dalam hal perilaku ibu pada kedua kelompok contoh. Artinya, perilaku ibu pada kelompok TB kurang baik jika dibandingkan dengan perilaku ibu pada kelompok tidak TB dalam aspek kebiasaan menjauhkan anak dari penderita TB dewasa, upaya pencegahan TB, dan partisipasi di Posyandu.
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Status Gizi Masa Lalu Anak Melalui kegiatan di Posyandu, pemantauan status gizi dan kesehatan anak dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, Posyandu juga merupakan pusat informasi kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi. Pengetahuan kesehatan dan gizi yang memadai dapat mendukung upaya ibu dalam memelihara kesehatan dan gizi keluarga. Hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu anak ditunjukkan pada Tabel 30. Pada ibu yang memiliki tingkat partisipasi Posyandu baik, lebih dari separuh jumlah anaknya berstatus gizi baik (71,4%) dan tidak ada yang berstatus gizi kurang atau buruk. Sedangkan pada ibu yang memiliki tingkat partisipasi Posyandu sedang hanya separuh dari jumlah anaknya berstatus gizi baik (50,0%). Tabel 30 Hubungan partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu anak
Partisipasi Posyandu Status Gizi
Baik
Sedang
Total
Kurang
n
%
n
%
n
%
n
%
Baik
5
71,4
14
50,0
4
16,0
23
38,3
Sedang
2
28,6
12
42,9
18
72,0
32
53,3
Kurang
0
0,0
2
7,1
2
8,0
4
6,7
Buruk
0
0,0
0
0,0
1
4,0
1
1,7
Total
7
100,0
28
100,0
25
100,0
60
100,0
Selain itu, pada ibu yang memiliki partisipasi Posyandu sedang terdapat 7,1% anak yang berstatus gizi kurang meskipun juga tidak terdapat anak yang berstatus gizi buruk. Sementara itu, pada ibu yang memiliki tingkat partisipasi Posyandu kurang sebagian besar anaknya berstatus gizi sedang (72,0%) dan terdapat lebih dari 10% anak yang berstatus gizi kurang serta buruk. Jumlah anak yang berstatus gizi sedang pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu sedang ternyata cukup banyak (42,9%). Selain itu, pada ibu yang memiliki partisipasi Posyandu kurang ternyata terdapat 16,0% anak yang berstatus gizi baik. Adanya faktor lain yang lebih mempengaruhi status gizi anak selain partisipasi ibu di Poyandu seperti faktor genetik dan lingkungan diduga dapat memperbaiki status gizi anak. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu murid TK (p=0,01; r=-0,547). Artinya, semakin kurang tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan anaknya memiliki status gizi yang kurang baik. Demikian pula halnya dengan hubungan antara tingkat kehadiran ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu murid TK. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara tingkat kehadiran ibu di Posyandu dengan status gizi masa lalu murid TK (p=0,05; r=-0,320). Artinya, semakin rendah tingkat kehadiran ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan anaknya memiliki status gizi yang kurang baik. Hal ini berhubungan dengan tidak dapat terpantaunya status gizi anak dengan baik melalui KMS.
Hubungan Tingkat Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Kejadian TB Melalui kegiatan di Posyandu ibu-ibu dapat melakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita dengan menggunakan KMS. Walaupun demikian, KMS baru akan berguna antara lain bila hasil penimbangan dicatat setiap bulan. Grafik pertumbuhan berat badan yang terputus-putus dalam KMS tidak dapat digunakan untuk memantau keadaan kesehatan dan gizi anak dengan baik. Anak dengan keadaan gizi yang kurang baik akan memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga lebih mudah terkena penyakit menular seperti TB. Apabila berdasarkan grafik pada KMS terpantau status gizi anak kurang baik (berat badan anak tidak naik, turun, atau tetap) maka ibu-ibu dapat segera melakukan tindakan pencegahan dengan segera memeriksakan anaknya tersebut kepada tenaga kesehatan. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu pada dengan kejadian TB pada murid TK (p=0,05; r=0,320). Artinya, semakin baik tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan anak menjadi tidak TB pada usia TK. Selain itu, berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman terdapat pula korelasi signifikan antara tingkat kehadiran ibu di Posyandu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0,05; r=0,299). Artinya, semakin baik tingkat kehadiran ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan anak menjadi tidak TB pada usia TK. Tabel 22 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi ibu di Posyandu lebih banyak yang kurang pada kelompok TB. Hal ini berhubungan dengan status gizi anak pada kelompok tidak TB yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok TB (Tabel 20). Status gizi yang baik dapat membuat daya tahan tubuh anak juga baik sehingga tidak mudah terkena penyakit. Selain itu, hal ini juga dapat dikaitkan dengan tingkat pengetahuan ibu kelompok tidak TB yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok TB (Tabel 25). Hubungan Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan dan informasi kesehatan. Ibu-ibu dapat memanfaatkan Posyandu yang terdekat sebagai sumber informasi untuk meningkatkan
pengetahuannya. Pengetahuan ibu selain ditentukan oleh karakteristik ibu (umur, pendidikan, keadaan sosial ekonomi) juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi (Madanijah 2003). Ibu yang memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik diharapkan dapat bersikap dan berperilaku baik pula dalam upaya pemeliharaan kesehatan dan gizi anaknya. Tabel 31 berikut ini menunjukkan hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu. Pada ibu yang memiliki tingkat partisipasi di Posyandu baik tidak ada yang kurang tingkat pengetahuannya. Sedangkan pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu sedang terdapat 35,7% ibu yang memiliki tingkat pengetahuan kurang. Selanjutnya, pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu kurang terdapat 80,0% ibu yang memiliki tingkat pengetahuan kurang. Tabel 31 Hubungan partisipasi ibu di Posyandu dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu Variabel
Baik n
Pengetahuan Baik Sedang Kurang Total Sikap Baik Sedang Total Perilaku Baik Sedang Total
Partisipasi Posyandu Sedang % n %
Total
Kurang n %
n
%
4 3 0 7
57,1 42,9 0,0 100,0
3 15 10 28
10,7 53,6 35,7 100,0
0 5 20 25
0,0 20,0 80,0 100,0
6 24 30 60
10,0 40,0 50,0 100,0
7 0 7
100,0 0,0 100,0
26 2 28
92,9 7,1 100,0
23 2 25
92,0 8,0 100,0
56 4 60
93,3 6,7 100,0
6 1 7
85,7 14,3 100,0
16 12 28
57,1 42,9 100,0
9 16 25
36,0 64,0 100,0
31 29 60
51,7 48,3 100,0
Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa semakin kurang tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin kurang tingkat pengetahuan ibu. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan tingkat pengetahuan ibu (p=0,01; r=0,513).
Artinya, semakin baik tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin baik pula pengetahuan ibu. Seluruh ibu yang berpartisipasi di Posyandu baik menunjukkan sikap yang baik (100,0%). Pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu sedang terdapat 92,9% ibu yang bersikap baik. Sedangkan pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu kurang terdapat 92,0% ibu yang bersikap baik. Meskipun demikian, pada ibu yang berpartisipasi kurang lebih banyak yang bersikap sedang (8,0%). Terdapat kecenderungan bahwa semakin baik partisipasi ibu di Posyandu semakin baik pula sikapnya. Tetapi, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi signifikan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan sikap ibu (p=0,05; r=-0,186). Dengan demikian, sikap ibu pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh tingkat partisipasi ibu di Posyandu. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar ibu pada penelitian ini menunjukkan sikap yang baik (Tabel 27). Pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu baik sebagian besar ibu berperilaku baik (85,7%). Pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu sedang sebagian besar ibu juga berperilaku baik (57,1%). Hal ini dapat terjadi karena ibuibu yang berpartisipasi di Posyandu sedang tetapi berperilaku baik sebagian besar berasal dari kelompok contoh yang TB (64,3%). Mereka juga memiliki nilai sangat baik (100.0) pada aspek perilaku pencegahan TB. Dengan demikian, perilaku ibu tersebut lebih dipengaruhi oleh kesadaran akan bahaya TB yang telah menyerang anaknya. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan pada ibu yang berpartisipasi di Posyandu kurang lebih banyak ibu yang berperilaku sedang (64,0%) jika dibandingkan dengan ibu yang berpartisipasi di Posyandu baik (14,3%) dan sedang (42,9%). Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara partisipasi ibu di Posyandu dengan perilaku ibu (p=0,01; r=-0,357). Artinya, semakin kurang tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan ibu berperilaku kurang baik. Hubungan Status Gizi Masa Lalu dengan Kejadian TB pada Murid TK TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk status gizi anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan malnutrisi dan infeksi (Biddulph & Stace 1999). Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa pada
kelompok TB lebih banyak anak yang berstatus gizi sedang, kurang, dan buruk (Tabel 20) sehingga uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara status gizi pada masa lalu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0,01; r=-0,546). Hal ini berarti semakin rendah status gizi anak pada masa lalu semakin besar kemungkinan ia menjadi TB pada usia TK. Infeksi oleh basil TB bisa berkembang menjadi penyakit TB setelah 12 bulan atau lebih (Rahajoe 1994). Murid TK yang saat ini terkena penyakit TB mungkin mengalami infeksi pada usia balita. Rendahnya daya tahan tubuh pada masa balita sebagai akibat dari status gizi yang kurang baik dapat menyebabkan infeksi tersebut berkembang menjadi penyakit. Apalagi dengan sulitnya mendeteksi infeksi TB pada masa balita sehingga pengobatan terhadap infeksi tersebut menjadi tidak dilakukan sedini mungkin. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu dengan Kejadian TB Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang pengetahuannya kurang lebih banyak pada kelompok TB (Tabel 25). Melalui uji korelasi Rank Spearman diketahui terdapat korelasi signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0,01; r=-0,500). Artinya, semakin kurang baik tingkat pengetahuan ibu semakin besar kemungkinan anak untuk menjadi TB. Pengetahuan ibu yang memadai mengenai penyakit TB, Posyandu, imunisasi, dan KMS dapat mengurangi risiko anak menderita TB. Domain yang sangat penting dalam pembentukan suatu tindakan adalah pengetahuan (Notoatmojo 1997). Dengan demikian, pengetahuan ibu yang memadai tentang kesehatan dan gizi akan melahirkan sikap dan perilaku yang baik dalam pemeliharaan kesehatan dan gizi keluarganya. Sementara itu, hasil uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara sikap ibu dengan kejadian TB menunjukkan tidak terdapat korelasi signifikan antara sikap ibu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0,05; r=-0,134). Madanijah (2003) menyatakan bahwa meskipun dengan sikap yang ditunjukkan dapat diramalkan perbuatan seseorang, tetapi sikap seseorang tersebut belum merupakan suatu perbuatan. Dengan demikian, sikap ibu yang baik dalam upaya pemeliharaan gizi dan kesehatan anak belum tentu menghasilkan perilaku gizi dan kesehatan yang baik pula.
Selanjutnya, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara perilaku ibu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0,01; r=-0,434). Artinya, semakin kurang baik perilaku ibu semakin besar kemungkinan anak untuk menjadi TB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku ibu yang sedang lebih banyak pada kelompok TB (Tabel 29). Perilaku ibu yang selalu menjauhkan anak dari penderita TB dewasa, melakukan upayaupaya pencegahan TB, selalu hadir di Posyandu setiap bulan, dan memiliki serta membaca KMS dapat mengurangi risiko terjadinya TB pada anak. Seluruh tindakan positif yang dilakukan oleh ibu tersebut merupakan perilaku kesehatan secara aktif yang dapat lebih bermakna dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TB di masyarakat (Notoatmojo 1997).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan nyata pada karakteristik sosial ekonomi keluarga dalam hal umur ibu yaitu rata-rata umur ibu pada kelompok TB lebih muda (29,5 tahun dibanding 32,8 tahun). Tetapi, terdapat kecenderungan bahwa karakteristik sosial ekonomi keluarga kelompok TB kurang jika dibandingkan dengan kelompok tidak TB. Hal ini diketahui dari : jumlah orang tua yang pernah bersekolah di SMA/sederajat dan PT lebih sedikit pada kelompok TB yaitu 10,0% dibanding 23,4% (ayah) dan 13,3% dibanding 30,0% (ibu); Sebagian besar ayah contoh bekerja sebagai buruh yaitu 56,7% (TB) dan 43,3% (tidak TB). Sebagian besar ibu contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga
yaitu
83,3%
(TB)
dan
80,0%
(tidak
TB).
Jumlah
pendapatan/bulan/kapita kelompok TB lebih rendah dibanding kelompok tidak TB, yaitu Rp 181.916,- dibanding Rp 227.789,-. Jumlah contoh dengan status sosial ekonomi kurang lebih banyak pada kelompok TB dibanding kelompok tidak TB, yaitu 46,7% dibanding 3,3%. 2.
Terdapat perbedaan nyata pada variabel faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB dalam hal lingkungan fisik rumah, riwayat kontak dengan penderita TB dewasa, perilaku penderita TB dewasa, status sosial ekonomi keluarga, dan status gizi masa lalu anak. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian TB adalah perilaku penderita TB dewasa. Besarnya pengaruh faktor tersebut adalah 59,0%. Lingkungan fisik rumah kelompok TB cenderung kurang baik dibandingkan kelompok tidak TB yang ditunjukkan dengan rata-rata nilai kelompok TB yaitu 71,3 dibanding 90,0. Seluruh contoh pada kelompok TB dan 63,3% pada kelompok tidak TB memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dewasa. Perilaku penderita TB dewasa pada kelompok TB ada yang kurang sebanyak 20,0% sedangkan pada kelompok tidak TB tidak ada. Jumlah contoh dengan status sosial ekonomi kurang lebih banyak pada kelompok TB yaitu 46,7%. Pada kelompok TB terdapat 16,6%
contoh dengan status gizi masa lalu kurang dan buruk sedangkan pada kelompok tidak TB tidak ada. 2. Terdapat korelasi signifikan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan kejadian TB, status gizi masa lalu murid TK, tingkat pengetahuan ibu, dan perilaku ibu; semakin baik tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan anak menjadi tidak TB pada usia TK dan semakin baik tingkat pengetahuan ibu. Semakin kurang tingkat partisipasi ibu di Posyandu semakin besar kemungkinan anak memiliki status gizi yang kurang baik dan semakin besar kemungkinan ibu untuk berperilaku kurang baik. 3.
Terdapat korelasi signifikan antara status gizi masa lalu anak, tingkat pengetahuan ibu, dan perilaku ibu dengan kejadian TB pada murid TK; semakin rendah status gizi anak pada masa lalu, semakin kurang tingkat pengetahuan ibu, dan semakin kurang perilaku ibu semakin besar kemungkinan anak menjadi TB pada usia TK.
4.
Analisis hubungan antara tingkat partisipasi ibu di Posyandu dengan sikap ibu dan antara sikap ibu dengan kejadian TB tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Hal ini karena sikap ibu pada kedua kelompok tidak berbeda nyata dan sebagian besar ibu pada penelitian ini menunjukkan sikap yang baik.
5. Tingkat partisipasi ibu di Posyandu berhubungan dengan minimalisasi kejadian TB pada anak, perbaikan status gizi anak, peningkatan pengetahuan ibu, dan perbaikan perilaku ibu. Dengan demikian, Posyandu merupakan sarana yang efektif bagi upaya pemeliharaan gizi dan kesehatan masyarakat.
Saran
1. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TB di masyarakat perlu adanya perbaikan dalam hal lingkungan fisik rumah, peningkatan status sosial ekonomi keluarga, perbaikan status gizi anak, dan terutama pengobatan serta perbaikan perilaku penderita TB dewasa. 2. Tingkat partisipasi ibu di Posyandu pada kedua kelompok sebagian besar kurang optimal. Oleh karena itu, perlu upaya untuk meningkatkan motivasi ibu-ibu berpartisipasi di Posyandu. Hal ini dapat dilaksanakan dengan
dukungan gerakan revitalisasi Posyandu termasuk revitalisasi Pokjanal (Kelompok Kerja Operasional) Posyandu yang beranggotakan lintas program dan lintas sektor di setiap tingkatan. 3. Mengingat ruang lingkup upaya penanggulangan TB dan revitalisasi Posyandu yang sangat luas, maka hal tersebut memerlukan kesungguhan dan koordinasi yang baik dari seluruh dinas/instansi yang terkait termasuk peran serta aktif dari segenap lapisan masyarakat. 4. Kegiatan konseling terhadap ibu-ibu yang anaknya TB perlu lebih ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemberian sarana penyuluhan berupa leaflet dan kunjungan rumah oleh petugas atau kader Posyandu. 5. Penyakit TB memerlukan terapi pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menimbulkan tekanan fisik dan psikologis pada anak. Oleh karena itu, perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai dampak penyakit TB terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
DAFTAR PUSTAKA Abunain D, Jahari AB. 1989. TBABS Sebagai Alat Pemantauan Status Gizi dalam Kaitannya dengan Kualitas Fisik Penduduk. Di dalam : Soedono et.al., editor. Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah Badan Litbangkes 1988-1990. Jakarta : Depkes RI.
Atmarita. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam Soekirman,dkk, editor. Prosiding WNPG VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi. Hlm. 129-161. Jakarta : LIPI.
Bardosono S. 2005. Anak Pendek IQ Bisa Rendah. http://naila.rad.net.id [1 Juni 2005].
Basri C. 2002. Vaksinasi BCG dan Resiko Terjadinya Tb Berat pada Anak di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo 1997-2001. [Tesis]. Depok : PPS PSIKM UI.
Beck ME. 1995. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat dan Dokter. Di dalam : Hartono A, Kristiani , Editor. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.
Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Jakarta : Rajawali.
Berhman RE, Vaughan VC. 1988. Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : EGC.
Biddulph J, Stace J. 1999. Kesehatan Anak untuk Perawat, Petugas Penyuluh Kesehatan dan Bidan di Desa. Di dalam : Harsono et.al, editor. Yogyakarta : Gadjah Mada Univ.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1985. Pedoman Sistem Pencatatan dan Pelaporan UPGK. Jakarta : BKKBN.
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang. 2004. PDRB Kabupaten Sumedang Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004. Sumedang : BPS dan BAPPEDA.
Crofton J et.al. 2002. Tuberkulosis Klinis. Di dalam : Harun M, editor. Jakarta : Widya Medika.
Depkes RI. 1986. Posyandu. Jakarta : Depkes RI.
Depkes RI. 1994. Pedoman Epidemiologi Tuberkulosis Paru. Jakarta : Depkes RI.
Depkes RI et.al. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Bandung : Proyek Peningkatan Upaya Kesehatan Pemberantasan Penyakit Menular [LPM] Jawa Barat.
Dinkes Propinsi Jawa Barat. 2002. Pedoman Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Untuk Memantau Pertumbuhan dan Perkembangan Balita. Tim Seksi Gizi Sub Din Yankes Dinkes Propinsi Jabar et. al, Tim Penyusun. Bandung : Dinkes Propinsi Jawa Barat.
Gibson RS. 1990. Principles of Nutritional Assessment. New York : Oxford Univ.
Hadi Sutrisno. 1980. Metodologi Research 3 untuk Penelitian, Paper, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Harper, LJ. 1984. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Bogor : Jurusan GMSK, Faperta IPB.
Hartoyo, dkk. 2003. Pengembangan Model Tumbuh Kembang Anak Terpadu. Bogor : Plan Indonesia.
Hurlock, EB. 1999. Perkembangan Anak. Tjandrasa & Zarkasih (penerjemah) Dharma, A (Editor). Jakarta : Erlangga.
Hutagalung MM. 1995. Peran Serta Pengguna Posyandu pada Posyandu Teladan dan Bukan Teladan serta Faktor-Faktor yang mempengaruhinya [Skripsi]. Bogor : Jurusan GMSK IPB.
Ikhsan M. 2002. Tuberkulosis Paru dan Kesempatan Kerja. Di dalam : Lesmana LA et.al., editor. Prosiding Simposium Temu Ilmiah Akbar 2002, April 2002. Hlm 310-321. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Irawan RY. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Posyandu [Skripsi]. Bogor : Departemen GMSK IPB.
Ismail
D.
2003.
Vaksin
BCG
Cukup
Sekali
Saja.
http://www.
Republika.co.id/suplemen/cetak [6 Mei 2003].
Jellife D, Jellife EFP. 1979. Human Nutrition A Comprehensive Treatise Nutrition and Growth 2. New York : Millenium.
Judarwanto W. Kesulitan Makan pada Anak : Penanganan dan Permasalahannya (Part 1). http:// www. pdpersi. co.id/pdpersi/news/artikel [25 April 2005].
Kasmita. 2000. Kinerja Posyandu dan Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Pariaman Propinsi Sumatera Barat [Tesis]. Bogor : PPS IPB.
Keller W. 1991. Stature and Weight as Indicators of Undernutrition. Di dalam : Himes JH, editor. Anthropometric Assessment of Nutritional Status. New York : Wiley Liss. Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Bogor : Jurusan GMSK Fakultas Pertanian IPB.
Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “GSI-PSI-SEHAT” bagi Ibu serta Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan, dan Status Gizi Anak Usia Dini [Disertasi]. Bogor : PPS IPB.
Masjkuri NMK. 1991. Ukuran Frekuensi Penyakit, Exposure, dan Outcome di Bidang Gizi. Di dalam : Anhari E, et.al., editor. Prosiding Kursus II Epidemiologi Gizi, Kampus UI Depok, 02-14 September 1991. Hlm 64-73. Depok : FK dan FKM UI.
Moehji S. 1988. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.
Mulyadi D. 2003. Analisis Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian TBC pada balita Berstatus Gizi Buruk di Kota Bogor tahun 2003 [Tesis]. Depok : PPS-PSIKM UI.
Mushofiah. 2002. Pengaruh Tingkat Partisipasi Sasaran dalam Kegiatan Posyandu terhadap Status Gizi Anak di Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor Jawa Barat [Skripsi]. Bogor : Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB.
Na’im M. 2004. Hubungan Status Vaksinasi BCG dengan Sakit Tuberkulosis pada Anak-Anak Usia Kurang dari 15 Tahun di RSU Mayjen HM Ryacudu Kotabumi Kabupaten Lampung Utara tahun 2002-2003 [Tesis]. Depok : PPS-FKM UI.
Narendra MB. 2005. Pengukuran Antropometri pada Penyimpangan Tumbuh Kembang Anak. http://www.pediatric.com [10 September 2005].
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Notoatmojo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Papalia DE, Olds SW. 1981. Human Development. New York : Mc. Graw-Hill.
Rahajoe N. 1994. Berbagai Masalah Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Di dalam : Rahajoe et.al., editor. Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat Ini, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Depok : FK UI.
________. 2002. Masalah Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Di dalam : LA Lesmana et.al., editor. Prosiding Simposium Temu Ilmiah Akbar 2002. Hlm 221-231. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Riyadi H. 2001. Bahan Ajar Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor : Jurusan GMSK Fakultas Pertanian IPB.
Roedjito DD. 1987. Pengantar Penelitian dan Metode Survey Gizi. Jakarta : PT Merpati Alam Semesta Le Ruwista Indonesia.
Santoso S, Ranti AL. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Rineka Cipta.
Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak [disertasi]. Semarang : FK Universitas Diponegoro.
[SKRT] Survey Kesehatan Rumah Tangga. 2001. Jakarta : Depkes RI.
Sujayanto G, SK Anglingsari. 2000. Waspadai Tuberkulosis Pada Anak. Di dalam : Majalah Intisari Edisi Pebruari 2000. Jakarta : Intisari Mediatama.
Sulamto. 1993. Partisipasi Masyarakat Desa dalam Peningkatan Kegiatan Posyandu [Tesis]. Bogor : PPS IPB.
Sularso K. 1994. Studi Kasus Kontrol, Faktor Resiko TB Paru di Kotamadya Surakarta Tahun 1992 [Tesis]. Depok : PPS-PSIKM UI.
Sulistiyowati NH. 2004. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi IbuIbu Membawa Bayinya Berkunjung ke Posyandu di 4 Kabupaten di Jawa Barat [Skripsi]. Depok : FKM UI.
Tampubolon D. 1996. Perilaku Ibu Balita dalam Penggunaan Posyandu [Skripsi]. Bogor : Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB.
[Unicef] United Nation of Children Foundation. 1998. The State on The World Children 1998. New York : Oxford Univ. Wahidah ST. 2004. Ketahanan Pangan, Pola Pengasuhan, Konsumsi Zat Gizi, dan Pertumbuhan Anak Baduta Keluarga Nelayan di Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan Kota Medan [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.
[WHO] World Health Organization. 1983. Meaning Change in Nutritional Status, Guidelines for Programes for Vulnerable Groups. Geneva : WHO.
[WHO] World Health Organization. 2003. Annual Report on Global TB Control 2003. Geneva : WHO.
Kode :
KUESIONER
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI MASA BALITA DAN PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK
Nama Responden : ………………….. Alamat : ………………….. Tanggal Wawancara : …………………..
PROGRAM STUDI S1 GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Karakteristik Sosial Ekonomi Identitas Anak Nama : ……………………………(L/P) Tanggal Lahir : ………………………. Umur ………..(bln) Berat Lahir : ………… (gr) Tinggi Badan : ……….. (cm) Diagnosa TB : (+) / (-) *) *) : coret yang tidak perlu Identitas Keluarga
No
Nama
Jk
Umur
Pendidikan Pekerjaan
Keadaan Ekonomi Keluarga No
Sumber Pendapatan
Rp/hr
Rp/mg
Rp/bln
JUMLAH Status Sosial Ekonomi Keluarga Kriteria keluarga menurut BKKBN : KS I/ KS II/ KS III *) coret yang tidak perlu
*)
Partisipasi Ibu di Posyandu 1. Apakah ketika masih balita anak ibu dibawa setiap bulan ke Posyandu? (Wawancara dan cross cek data dengan kader). a. Ya b. Ya, minimal setiap 2 bulan c. Tidak 2. Apakah ibu memberikan sumbangan tenaga atau dana kepada Posyandu? a. Ya, setiap bulan b. Kadang-kadang c. Tidak pernah
3. Apakah ibu pernah memberikan saran kepada petugas Posyandu? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 4. Apakah ibu membantu pelaksanaan kegiatan pada hari buka Posyandu? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 5. Jika hasil penimbangan yang dicatat di KMS tidak benar, apakah ibu menanyakannya kepada kader? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 6. Jika hasil penimbangan menunjukkan berat badan anak ibu menurun, apakah ibu menanyakan masalah ini kepada kader? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 7. Apakah ibu bertanya kepada kader di Posyandu mengenai masalah kesehatan yang ingin ibu ketahui? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 8. Apakah ibu menggunakan KMS untuk mengetahui jadwal dan jenis imunisasi anak? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 9. Apakah ibu membaca KMS anak ibu setelah hasil penimbangan dicatat oleh kader? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 10. Apakah ibu menggunakan KMS untuk mengetahui tahapan pemberian makan kepada anak ibu? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Pengetahuan 1. Apakah ibu tahu tentang penyakit TB? a. Ya, sebutkan ……………………………………………………………………………… b. Tidak 2. Apakah ibu mengetahui tanda-tanda orang yang terkena penyakit TB? a. Ya, sebutkan ……………………………………………………………………………… b. Tidak 3. Apakah ibu tahu penyebab penyakit TB? a. Ya, sebutkan ……………………………………………………………………………… b. Tidak 4. Apakah ibu tahu akibat penyakit TB terhadap anak? a. Ya, sebutkan ………….…………………………………………………………………... b. Tidak 5. Apakah ibu tahu cara penularan penyakit TB? a. Ya, sebutkan ………………………………………………………………………………….. b. Tidak
6. Apakah ibu tahu keadaan rumah yang mendukung perkembangbiakan kuman TB? a. Ya, sebutkan ……………………………………………………………………………… b. Tidak 7. Apakah ibu tahu bahwa rokok dapat memperparah penyakit TB? a. Ya, karena …………………………………………………………………………………. b. Tidak 8. Apakah ibu tahu bahwa kebiasaan batuk dan meludah sembarangan dapat menularkan penyakit TB? a. Ya b. Tidak 9. Apakah penyakit TB ada hubungannya dengan keadaan gizi anak? a. Ya, karena ……………………………………………………………………………… b. Tidak 10. Apakah anak yang keadaan gizinya tidak dipantau setiap bulan akan mudah terkena penyakit TB? a. Ya b. Tidak 11. Apakah ibu tahu bahwa di posyandu ibu dapat memantau keadaan gizi anak setiap bulan? a. Ya, caranya ……………………………………………………………………………… b. Tidak 12. Apakah ibu tahu bahwa di posyandu ibu bisa memperoleh berbagai informasi tentang gizi dan kesehatan ? a. Ya b. Tidak 13. Apakah ibu tahu di posyandu ada pelayanan imunisasi? a. Ya b. Tidak 14. Apakah imunisasi dapat mencegah penyakit TB? a. Ya b. Tidak 15. Jika ya, apa nama jenis imunisasinya? ………………………………………………………………………………….. 16. Pada umur berapa sebaiknya imunisasi tersebut diberikan kepada anak ibu? ……… bulan 17. Apakah ibu tahu manfaat KMS? a. Ya, sebutkan ……………………………………………………………………………… b. Tidak 18. Apakah ibu tahu apa saja yang tercantum dalam KMS? a. Ya, sebutkan ……………………………………………………………………………… b. Tidak
19. Apakah ibu tahu arti dari pita warna pada KMS? a. Ya, sebutkan Hijau artinya ……………………………………………………………….. Kuning artinya ……………………………………………………………... Garis Merah artinya ………………………………………………………... b. Tidak 20. Apakah ibu tahu bahwa anak yang naik berat badannya belum tentu sehat? a. Ya, karena ……………………………………………………………………………… b. Tidak Sikap No Pernyataan S N 1 TB adalah penyakit yang berbahaya. 2 Anak-anak tidak perlu dijauhkan dari orang dewasa yang sudah lama sakit batuk. 3 Anak yang TB tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. 4 Anak yang menurun nafsu makannya tidak perlu dikhawatirkan karena sudah biasa. 5 Imunisasi BCG perlu diberikan kepada bayi untuk mencegah penyakit TB 6 Imunisasi membuat anak menjadi rewel. 7 Anak yang status gizinya baik tidak mudah terkena penyakit. 8 Status gizi anak tidak perlu dipantau setiap bulan. 9 Posyandu bermanfaat untuk memantau status gizi anak. 10 Ibu-ibu tidak dapat memperoleh informasi tentang masalah kesehatan di Posyandu 11 Dengan membaca KMS ibu dapat mengetahui waktu dan jenis imunisasi yang harus diberikan kepada anak. 12 Ibu tidak perlu membaca KMS apabila sudah tahu berat badan anak naik 13 Rumah yang bersih, terang, tidak pengap, dan tidak sesak dapat mencegah perkembangbiakan kuman TB. 14 Kasur yang rutin dijemur tidak akan mengandung kuman TB. 15 Merokok adalah suatu hal yang biasa sehingga tidak berbahaya bagi anak-anak Keterangan : S = Setuju N = Netral TS = Tidak Setuju
TS Skor
Perilaku 1. Apakah ibu menghindarkan anak ibu dari orang dewasa yang mengidap penyakit TB? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak
2. Apakah anak ibu diberi imunisasi BCG ketika bayi? a. Ya b. Tidak 3. Jika ya, pada umur anak berapa bulan? ……………. Bulan 4. Apakah anak ibu dijauhkan dari orang yang merokok? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 5. Apa yang ibu lakukan ketika anak ibu menurun nafsu makannya? ………………………………………………………………………………… 6. Apa yang ibu lakukan ketika anak ibu terlihat semakin kurus? ………………………………………………………………………………….. 7. Apakah ibu rutin menjemur kasur? a. Ya b. kadang-kadang c. Tidak 8. Apakah ketika masih balita anak ibu ditimbang setiap bulan? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 9. Apakah anak ibu pernah memiliki KMS? a. Ya b. Tidak 10. Jika ya, apakah ibu membacanya setiap selesai ditimbang? a. Ya b. Kadang-kadang c.Tidak
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TB Status Imunisasi BCG Apakah anak ibu pernah diimunisasi BCG ? a. Ya b. Tidak pernah Lingkungan Fisik Rumah (Pengamatan) Kebersihan : 1= Tidak Bersih 2= Bersih Udara dalam rumah : 1= Pengap 2= Tidak Pengap Pencahayaan dalam rumah : 1= Gelap 2= Terang Jumlah penghuni : 1= Padat ( < 9m2 /org) 2= Tidak Padat (> 9m2 /org) Ventilasi : 1= Kurang (< 1/5 luas lantai) 2= Cukup (= 1/5 luas lantai) Adanya Penyakit Tertentu Apakah anak ibu pernah atau sedang menderita penyakit selain TB? a. Ya b. Tidak Jika Ya, penyakit apa? ………………………… Kontak dengan Sumber Penular 1. Apakah ada penghuni rumah lain yang pernah atau sedang menderita TB selain anak ibu? a. Ada b. Tidak 2. Jika tidak, apakah ada tetangga atau saudara ibu yang menderita TB? a. Ada b. Tidak c. Tidak tahu
Faktor Toksik Apakah ada penghuni rumah yang merokok? a. Ada b. Tidak Perilaku Kesehatan Sumber Penular 1. Apakah Bapak/Ibu menutup mulut jika batuk? a. Ya b. kadang-kadang c. Tidak 2. Apakah Bapak/Ibu membuang ludah sembarangan? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 3. Apakah Bapak/Ibu menghindari kontak dengan anak-anak? a. Ya b. kadang-kadang c. Tidak